Literate dan Liberate Kaum Terdidik dan
‘Literate’ dan ‘Liberate’:
Kaum Terdidik dan Liberalisme Salah Arah
Oleh : Afandi Satya .K
Sebuah motto dalam bahasa Latin di logo Saint John College Amerika
Serikat yang lahir pada tahun 1696 berbunyi, “facio liberos ex liberis libris
libraque” (dengan buku dan keseimbangan, saya menjadikan anakanak
yang lahir sebagai manusia merdeka). Motto tersebut menjadi tujuan Saint
John College untuk membuat muridmurid merdeka melalui pendidikan
liberal dengan berpedoman pada kurikulum ‘Great Books’, yakni sejumlah
100150 jenis literatur berbeda yang menjadi pondasi utama kebudayaan
Barat, yang tetap berlaku hingga hari ini. Pada motto tersebut, terdapat dua
hal yang saling berkaitan, yakni keberaksaraan (competency of ‘literate’)
dan paham tentang kebebasan (ideology of ‘liberate’), selain juga gambaran
singkat mengenai semangat liberalisme dalam peri kehidupan Barat.
________________________________________________________________________________
Liberalisme
Sebagai sebuah paham, liberalisme berasaskan pada esensi kata
liberal—yang menjadi ruh sekaligus nafas dari paham tersebut. Oxford Wordpower
mendefinisikan kata liberal sebagai sebuah sikap yang terbuka, “willing to accept
different opinions or kinds of behaviour; tolerant” (Oxford, 2011:460). Namun,
pengertian tersebut cenderung mengaburkan makna ‘liberal’ itu sendiri jika tidak
ditelusuri pada asal katanya. Definisi yang diberikan oleh kamus Oxford adalah
salah bentuk aspek ethic, titik akhir dari keniscayaan yang seharusnya terjadi oleh
karena paham liberal atau sistem liberal yang dianut. Secara terminologis, ‘liberal’
bermakna sebagai freedom, ‘kebebasan’, meski secara literal, makna ‘liberal’ adalah
‘tolerant’, berantonim dengan sifat “conservative, intolerant, strict, oppressive,
totalitarian” (Parker, 2008:133). Bisa juga ia disebut sebagai ‘libertate’ untuk kata
1
yang semakna dengan ‘freedom’ (Parker, 2008:133). Hal ini dibuktikan dalam
bahasa Latin, ‘liberatus’, yakni bentuk past participle (Verb 3) dari kata ‘liberare’
yang bermakna ‘merancang kebebasan’, dari asal kata ‘liber’ dengan pengucapan ‘i’
panjang, yang bermakna ‘bebas’ sebagaimana dalam kalimat, “de oppresso liber
(liiber)”, “merdeka dari penindasan”. ‘Libertus’ dimaknai sebagai seorang yang
1
terbebas dari belenggu perbudakan: a freedman (Riddle, 1838:180). Dalam bahasa
Perancis, kata liberal memiliki medan makna yang sama dengan dengan kata liberal
dalam bahasa Inggris, ‘liberate’ yang berarti “to set free; to set freedom” misalkan
pada kalimat, “Voltaire aura incarné la force de la culture à éclairer et à libérer les
peuples”, yang berarti “Voltaire memasukkan kekuatan budaya untuk mencerahkan
dan membebaskan masyarakat. Ia termasuk juga sebagai ‘free will’, atau ‘libré’,
‘liberté’, seperti dalam kalimat “Il vous est libre de faire ce qu’il vous plaira”, “you may
do what you please (with freewill)” (Boyer, 1833:325). Esensi kata ‘liberal’ berarti
sebagai sebuah sifat ‘liberty’, ‘freedom’, atau kebebasan. Kamus Bahasa Indonesia
(KBI) memaknai kata ‘liberal’ sebagai, “sifat yang condong kepada kebebasan; orang
yang berpandangan bebas (luas dan terbuka)” (Pusat Bahasa, 2008:857). Dengan
makna asal sebagai sifat yang terus memperjuangkan kebebasan, dengan demikian
paham ‘liberal’ (liberalisme) dapat dilihat sebagai sebuah paham yang menyiratkan
perjuangan kebebasan atau serangkaian usaha untuk membebaskan diri dari
berbagai macam unsur yang mengekang kebebasan, kemerdekaan, dan
kemajemukan dalam dan oleh berbagai unsur, baik itu ekonomi, sosial, budaya,
politik, dan agama yang mewujud dalam bentuk otoritas; teks (dogma), individu
atau kelompok. Kendati dipenuhi oleh semangat ‘pembebasan’, dalam Liberalisme,
setiap individu berhak untuk menentukan nilainilainya sendiri yang berasal dari
apa yang ia inginkan tanpa ada satu pun bentuk campur tangan maupun paksaan
dari pihakpihak di luar dirinya untuk menggunakan nilainilai yang ia pilih itu. Oleh
karena itu, sebagai sebuah paham yang memusatkan perhatiannya pada individu,
1
Liber dengan pengucapan ‘i’ pendek (liber, bukan liiber) bermakna sebagai buku.
2
liberalisme terkait erat dengan humanisme—di mana ukuran kebenaran adalah
manusia—yang berarti nilai kebenaran selalu berubah seiring berubahnya manusia.
Sandra Pralong (Suda & Musil, 2000:85) bahkan menyimpulkan dalam kalimat
sarkastik bahwa sejatinya Liberalisme adalah sistem tanpa nilai.2
Dalam pengertian yang lebih padu, Liberalisme mencakup filsafat politis
yang mengakui kebebasan individu sebagai tujuan politik yang paling utama, dan
memberi penekanan pada hakhak individu dan persamaan kesempatan.
Liberalisme adalah sebuah filsafat pemerintahan dan sosial (government and social
philosophy) yang menekankan pada kata ‘kemerdekaan’, ‘liberty’, sebuah kata yang
penuh tenaga dan melintasi generasi (Reitan, 2003:1). Dari berbagai aliran liberal
yang ada, semuanya sepakat bahwa apa yang kaum liberal perjuangkan adalah
sejumlah prinsip seperti kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berbicara,
pembatasan kekuatan pemerintah, penerapan peraturan hukum, ekonomi pasar,
dan sistem pemerintahan yang demokratis dan transparan. Liberalisme meyakini
bahwa masyarakat seharusnya diatur bersesuaian dengan Hak Asasi Manusia yang
tidak berubah dan tidak dapat diganggu gugat, terutama hak untuk hidup, hak
kebebasan, dan properti. Selain pada pembatasan campurtangan pemerintah pada
3
individu, liberalisme juga berarti sebuah kepercayaan pada rasionalitas dan
tanggung jawab individu (Emy, 1973:2). Dalam bentuk yang lebih ekstrim dan
radikal, Liberalisme mewujud sebagai anarkisme—yang jika dipandang dari sudut
“I shall argue that the ‘value’ of liberalism is precisely that it lacks any claim to substantive values, both for
the individual and collectively. Thus liberalism’s greatest value is … the absence of values!”
3
Terdapat dua macam pemikiran besar yang terkait dengan Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan
Liberalisme Sosial. Liberalisme Klasik meyakini bahwa kemerdekaan yang asasi adalah “kemerdekaan dari
segala macam paksaan”, dan bahwa intervensi negara dalam tataran ekonomi adalah sebuah bentuk
kekuatan yang memaksa terjadinya pembatasan dalam kebebasan ekonomi setiap individu. Sedangkan,
Liberalisme Sosial berpendapat bahwa pemerintah harus memainkan peran aktif dalam mengajukan dan
menjamin kebebasan para rakyatnya, kemerdekaan atau kebebasan sejati hanya akan terwujud jika rakyat
berada dalam kondisi sehat, terdidik, dan terbebas dari kemiskinan yang mengerikan. Selain dua macam
aliran tersebut, masih ada beberapa aliran Liberal lainnya seperti; Liberalisme Konservatif, Liberalisme
Ekonomi, Liberalisme Baru (Neoliberalism), Liberalisme Amerika, Libertarianisme, Liberalisme Nasional,
Ordoliberalisme, Paleoliberalisme, dan Liberalisme Kultural.
2
3
pandang sejarah, liberalisme maupun anarkisme samasama berdiri sebagai lawan
dari berbagai bentuk otoritarianisme; baik itu komunisme, sosialisme, fasisme, atau
jenis lain dari totalitarianisme. Seiring berjalannya waktu, pada beberapa dekade
berjalan, pengertian Liberalisme juga perubahan yang membuat maknanya berbeda
dengan liberalisme yang muncul pertama kali (von Mises, 1985:v).
Perkembangan Liberalisme: Peran ‘Literate’
Liberalisme memiliki genealogi atau silsilah yang merujuk pada tiga masa;
demokrasi Yunani, kesadaran Renaissance pada kepribadian individu, dan
penekanan pada reformasi hubungan antara manusia dengan tuhannya (Reitan,
2003:2). Perkembangan Liberalisme awal (early liberalism) yang pertama terjadi
ketika King John (11661216) di Inggris, pada tahun 1215 mengeluarkan dokumen
Magna Charta (Piagam Besar, Great Charter) atau yang juga disebut sebagai Magna
Carta Libertatum (Piagam Besar tentang Kemerdekaan) yang membatasi otoritas
raja. Selanjutnya, perkembangan liberalisme terus berjalan terutama setelah
terjadinya “The Glorious Revolution of 1688” di Britania yang setahun setelahnya, Bill
of Right diakui oleh parlemen Inggris dengan isi; penghapusan kekuasaan raja,
jaminan terhadap hakhak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris. Proses lahirnya
liberalisme yang damai di Inggris, tidak terjadi di daratan Eropa raya yang berada di
seberang gugusan pulau Britannia Raya. 4
Pendapat yang mungkin untuk dijadikan alasan sebab lahirnya Liberalisme yang damai di Inggris dan tidak
demikian dengan negara di daratan Eropa, yakni Perancis, yang lebih disebabkan oleh adanya perbedaan
faktor kebudayaan (Perancis (baca: Eropa) yang terkekang oleh Roma, dan Inggris, yang mandiri dan tidak
terkekang oleh Roma), selain kemungkinan faktor sentimen Raja Henry VII yang menolak tradisi Katolik
untuk tidak bercerai dengan istrinya sampai mati. Raja Henry VII menceraikan istrinya, Ratu Catherine dari
Aragon untuk dapat menikahi Anne Boleyn. Keputusan Henry VII sekaligus menandai keputusannya untuk
memisahkan hubungan antara Inggris dengan Vatikan, dengan berdirinya ordo baru bernama Anglikan.
Bebasnya Inggris dari pengaruh Roma yang juga mengekang otoritas raja dan kemerdekaan berpikir para
cendekiawan, besar kemungkinan memicu timbulnya revolusi damai 1688 yang timbul lebih karena
kesadaran akan Liberalisme, bukan karena kebutuhan akan Liberalisme seperti yang dialami oleh Perancis.
Di luar masalah tersebut, hal yang tak kalah kuat menjadi pembeda proses terjadinya Liberalisme di Inggris
dan Perancis adalah masalah kebudayaan. Seorang sarjana sejarah Eropa, Henri Pirenne menyebutkan
bahwa identitas mayoritas masyarakat di dataran Eropa adalah identitas Romawi, sedangkan Inggris lebih
4
4
Revolusi Perancis yang digerakkan oleh ideide liberal pada 17891799
memainkan peranan penting bagi masa depan Liberalisme, di lain hal, Revolusi
Perancis juga muncul sebagai titik kulminasi muaknya masyarakat sipil, terutama
dipelopori oleh kaum pelajar terhadap dominasi para monarch (raja) dan bishop
(tokoh agama di gereja) yang telah lama melakukan pengekangan dalam bentuk
pemikiran, dan hak milik. Selain dikenal sebagai Declaration of the Right Man and
5
the Citizen, Revolusi Perancis juga muncul oleh pemikir liberal abad ke18 seperti
FrançoisMarie Arouet (Voltaire) (16941778) dan Baron de Montesqiau
(16891755) yang terinspirasi oleh contoh kesuksesan Liberalisme yang terjadi di
Inggris (Reitan, 2003:2). Namun, Liberalisme secara keseluruhan tidak dibangun
oleh satu orang tokoh saja, melainkan muncul dari rangkaian pemikiran para
sarjana Barat yang bermula setelah masa skolastik, yang semua sarjana itu meski
memiliki konsep berbeda, tetap memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu, ketika
6
Revolusi Perancis pecah, slogan yang didengungkan adalah nafas yang telah mereka
(para sarjana) itu mimpikan sejak lama, “liberté, égalité, fraternité,” (kebebasan,
keadilan, persaudaraan) dengan satu kata yang berfungsi sebagai opsi pada
akhirannya, “ou la mort!” (atau mati!). Dengungan nafas dan semangat ideide
liberal yang dihembuskan pada zaman Empirisme dan Rasionalisme menimbulkan
corak bagi cikal bakal corak kebudayaan Eropa modern; ilmu alam dan ilmu pasti
berkembang, menentang tradisi menjadi sangat kritis, analisis psikologis
dipentingkan, bahasa Latin ditinggalkan sebagai bahasa ilmiah dan diganti
pada identitas Nordik. “Negeri Inggrislah di antara negerinegeri Kaum Biadab yang paling sedikit mengalami
pengaruh kebudayaan Romawi, dan disitu kesusilaan dunia baru Jerman dan Nordik telah berdaya
memperkukuh diri. Disitu mereka hidup sebagai dirinya sendiri. (AlAttas, 1972:7)”
5
‘The Father of Liberalism’, John Locke melalui Two Treatises on Government pada tahun 1689 menetapkan
dua pemikiran yang mendasar mengenai Liberalisme, yakni kemerdekaan ekonomi—yang berarti sebagai
hak untuk memiliki dan menggunakan barang miliknya—dan juga kemerdekaan intelektual yang juga
mencakup mengenai kemerdekaan nurani, ‘freedom of conscience’.
6
Lihat corak rangkaian pemikiran daripada para sarjana terhadap ideide Liberalisme; John Locke
(16321704), David Hume (17111776), J.J Rousseau (17121778), Adam Smith (17231790), dan Immanuel
Kant (17241804).
5
bahasabahasa modern, watakwatak perseorangan dan nasional lebih tampak ke
muka, citacita kebebasan menjadi anarki (Sudiarja, dkk, 2006:1044).
Pada abad ke18, kata ‘liberty’ memiliki makna sebagai kemerdekaan
(independence) atau hakhak istimewa (privileges) bagi kelompokkelompok khusus
terhadap hakhak individual, yang mana oleh John Locke (16321704), ditegaskan
melalui hakhak kodrati yang melekat pada seluruh manusia; hak hidup,
kemerdekaan, dan hak kepemilikan (Reitan, 2003:1). Liberté menggambarkan cita
tentang kebebasan dari segala kungkungan otoritas gereja dan raja, égalité
menggambarkan cita tentang kesejahteraan yang tidak merata dari ancaman
diskriminasi sosial, fraternité adalah cita tentang bangsa yang bersatu padu dalam
satu semangat, dan ou la mort adalah pilihan terakhir dalam bentuk anarkisme yang
menjadi semangat—jika tidak dapat dibilang sebagai keputusasaan—untuk memilih
satu dari dua hal: liberté, égalité, fraternité di satu sisi dan ou la mort di sisi yang
lain, semakna dengan perkataan jenderal John Stark pada tahun 1809 dalam Perang
Revolusi Amerika, yang mengatakan, “live free or die: death is not the worst of evils”,
“merdeka atau mati”, “hidup mulia atau mati syahid.” Artinya, kematian dalam
berjuang, atau kematian itu sendiri adalah lebih baik daripada tidak terwujudnya
liberté, égalité, fraternité. Kasus ini juga sama dengan pernyataan Patrick Henry
yang menyatakan, “give me liberty, or give me death!” ketika berusaha meredam
gangguan gubernur Dunmore pada Konvensi Virginia kedua di St. John’s Church,
Williamsburgh pada 1755. Apa yang disampaikan oleh Patrick Henry memiliki dua
makna; pertama, sebagai klaimnya sendiri atas posisinya sebagai seorang individu.
Kedua, sebagai tuntutan merdeka dari koloni Virginia dari kaum asing dan
pemerintahan tirani Raja George III. Piagam Kemerdekaan, Declaration of
Independence 1776 merupakan satu bentuk deklarasi yang bernafaskan dua maksud
‘liberty’ pada kasus Patrick Henry (Reitan, 2003:1). Bagi Liberalisme, unsur apapun
yang menciderai prinsip kebebasan adalah ancaman bagi kehidupan ideal yang
6
semestinya dilawan. Oleh karena itu, adalah suatu keniscayaan ketika Revolusi
Perancis berhasil, pengusung ide Liberalisme—dan juga mereka yang
setuju—enggan untuk mengulangi masa kelam mereka dahulu dengan memberikan
atau sekedar membiarkan peluang bagi unsurunsur yang pernah mengekang
kebebasan untuk meraih otoritasnya kembali. Dekonstruksi adalah alat yang paling
efektif untuk mencegah kembalinya otoritas bagi mereka yang pernah menciderai
prinsipprinsip liberal.
Ada banyak faktor yang membuat pasang surut Liberalisme, yang semuanya
berkaitan pada pengalaman hidup kaum terdidik (scholar) pada masamasa
skolastik hingga masa ketika sebagian besar masyarakat Eropa akhirnya sepakat
bahwa Liberalisme adalah jalan keluar bagi permasalahan lokal mereka—yang
mana hal ini ditunjukkan dengan pemberian dukungan pada pecahnya Revolusi
Perancis di akhir abad yang ke18 Masehi—dan sayangnya, dijadikan sebagai
patokan baku bahwa pengalaman lokal dan kekecewaan mereka terhadap otoritas
politik maupun agama adalah pengalaman universal semua bangsa. 7 Akhir hidup
yang tidak baik, yang dialami oleh Giordano Bruno (15481600) setelah berpikir
tentang panteisme, monade, dan emanasi, juga bantahan Copernicus dan
pembuktian ilmiah Galileo (15641642) mengenai tata surya sekaligus untuk
membantah pendapat geosentris Ptolomeus yang telah ditetapkan oleh gereja
sebagai sebuah kebenaran a priori—bahwa bumi itu datar dan seperti pulau yang
mengapung di udara—mengakibatkan mereka berakhir di bawah hukuman gereja
dengan tuduhan sebagai pelaku inovasi, tindak heretik (bid’ah) yang murtad.8
Sebagai catatan, Revolusi Perancis tidak digagas oleh para filosof besar seperti Descartes, Hume, maupun
Hegel. Revolusi Perancis terjadi karena usahausaha sebuah kelompok yang dinamakan sebagai philosophes,
yakni kelompok nonfilsuf akademis profesional yang lebih sebagai tipe cendekiawan, pencipta opini, aktivis
politik dalam ilmu pengetahuan dan seni, pemberitaan dan pengkaji gagasan para filosof. Sebagian anggota
philosophes adalah tokoh penyair, dramawan, sejarawan, esais, seperti Voltaire, Diderot, La Metrie,
Helvetius dan Holbach.
8
Gereja menanggapi teori Copernicus dengan sangat keras, para ilmuwan yang mendukung teori
heliosentris segera dikucilkan, dipenjara, dianggap murtad. Copernicus sadar dengan reaksi gereja sehingga
ia mengumumkan teorinya secara diamdiam, akan tetapi para pengikutnya seperti Bruno maupun Galileo
7
7
Hukuman inkuisisi yang ditetapkan oleh gereja pada siapapun yang melawan
doktrin gereja adalah jerami pemantik bagi api kebencian kaum terdidik (literate)
bahwa agamawan (gereja) adalah musuh bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebebasan berpikir yang pada akhirnya menjadi prasyarat bagi kukuhnya
Liberalisme—bahwa untuk meraih hidup yang merdeka, sebelumnya seseorang itu
harus merdeka dahulu dari kungkungan agama, atau teksteks agama yang dianggap
memiliki penafsiran tunggal (rigid). Secara perlahan, satu per satu bukti yang
9
menyatakan bahwa gereja—sebagai representasi agama—telah berperan besar
dalam menghambat kebebasan kodrati dan ilmu pengetahuan, terbongkar pada
masa filsafat Modern ketika empirisme dan rasionalisme menjadi semakin kritis
terhadap segala hal, terlebih ketika berhadapan dengan ilmu “mengenai ada yang
nampak” (fisika), juga ilmu “mengenai ada yang tidak nampak” (metafisika) yang
samasama membedah pengetahuan warisan (taqlid) doktrin gereja. Sementara itu,
otoritas gereja nampaknya lebih memilih untuk tetap berpegang teguh pada
‘kebenaran’ ‘teksteks suci’ yang terbukti tidak sejalan dengan buktibukti ilmiah
daripada menerima kebenaran pembuktian (bayan, demonstrasi) secara lapang
dada. Gereja bahkan mengeluarkan semacam antagonisme untuk mempertahankan
dan melakukan pembelaan terhadap kebenaran a priorinya tentang kesakralan
injil, Paus, gereja, dan Curia Romana yang terancam oleh ilmu pengetahuan dengan
10
menghukumi pelanggarnya sebagai orangorang murtad, kafir, pelaku bid’ah yang
patut dihukum dengan hukuman sepihak bernama inkuisisi. Dengan berbagai
menyuarakannya dengan apa adanya. Sebagai akibatnya, pada 1600 gereja membakar hiduphidup Bruno di
Roma. Seorang naturalis bernama Vanini juga dibakar hiduphidup pada 1620 di Toulouse, demikian pula
Foontainer di Paris setahun setelah kematian Vanini. Galileo agaknya lebih beruntung karena ia hanya
dikenakan hukuman tahanan rumah seumur hidup, dipaksa berlutut dan menyangkal keyakinannya
mengenai Heliosentrisme dan harus membaca tujuh ayat Zabur seminggu sekali selama tiga tahun.
9
Lihat definisi tentang Liberalisme yang diberikan oleh Simon Blackburn dalam Oxford Dictionary of
Philosophy, “liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak
dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari
ikatanikatan agama dan ideologi (Blackburn, 2005:209210).”
10
Departemen yang bertanggung jawab pada ajaran dan semua hukum kanon gereja Katolik (codex luris
cannonici), yang juga berfungsi sebagai pengatur tatatertib aturan gereja (regula fidei).
8
macam faktor tersebut, gereja semakin memperkuat keyakinan para sarjana dan
rakyat bahwa gereja melakukan pengekangan terhadap hakhak dasar manusia
secara semenamena. Bahkan, pandangan buruk pun semakin bertambah ketika
rahasia gereja mengenai penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya terbongkar.
Kini gereja tidak hanya menghadapi kritikan dari luar, yakni para sarjana yang
bukan agamawan, tetapi juga oleh para sarjana yang berasal dari lingkungan gereja
itu sendiri. Ditemukannya mesin cetak oleh seorang anggota keuskupan agung di
Mainz, Johannes Gutenberg (13981468) pada tahun 1450an adalah awal bencana
bagi gereja. Pertama, karena ia telah membuat Gutenberg untuk ‘mengisi waktu
luangnya’ mencetak lebih banyak ‘surat pengampunan’ gereja yang banyak
disalahgunakan oleh para bishop sebagai komoditi untuk memperkaya diri, dan
kedua, karena mesin cetak Gutenberg memicu penyebaran informasi secara lebih
cepat dan lebih merata pada masyarakat Eropa—yang menyebabkan meningkatnya
jumlah kaum literer, dan kesadaran bahwa liberate adalah jawaban yang diperlukan
bagi perubahan kehidupan mereka yang lebih baik. Singkatnya, ditemukannya
mesin cetak Gutenberg adalah awal dari berkembangnya liberalisasi sekaligus awal
dari kejatuhan gereja.
Martin Luther (14831546) yang menemukan penyalahgunaan otoritas Curia
Romana Vatikan (Katolik Roma) pada masalah ‘surat pengampunan’—yang
disalahgunakan dengan memperbolehkan dibelinya ‘letters of credit’ untuk
mendapatkan indulgensia menjadi semacam ‘perdagangan suci, the holy
trade’—juga menyerang otoritas gereja dalam melakukan monopoli pada
interpretasi injil dengan cara menulis perjanjian baru dalam bahasa Jerman.
11
Pada masa Luther, dalam ranah bahasa pengantar ilmu pengetahuan, bahasa Latin memiliki kedudukan
sebagai ‘lingua franca’ yang digunakan di seluruh daratan Eropa sebagai bahasa pengantar dalam penulisan
karyakarya ilmu pengetahuan. Bahasabahasa daerah (Jerman, Inggris, Perancis, dll disebut sebagai bahasa
kampung, “it’s a language of farmers.” Namun sayangnya bahasa Latin hanya dipelajari secara terbatas oleh
para sarjana dan kaum gereja sehingga pemahaman mengenai karyakarya ilmiah, termasuk juga injil yang
ketika itu ditulis hanya dalam bahasa Latin.
11
9
Luther yang berasal dari ordo Sanct Augustin Eremita menolak monopoli penafsiran
gereja dengan menyatakan,setiap orang berhak menafsirkan alkitab menurut Roh
yang bergerak di dalam dirinya (Bayer, 2008:89). Orangorang yang membencinya,
menyebut Luther sebagai ‘tukang protes’, yang segera menjadi aliran gereja dengan
penafsiran baru bernama Protestan. Usaha yang telah dilakukan Luther membawa
12
banyak dampak baru dalam segi politik, sosial, dan agama dalam peri kehidupan
Eropa. Pertama, adalah jatuhnya kepercayaan terhadap gereja (yang juga dapat
diartikan sebagai kejatuhan otoritas gereja), kedua adalah tumbuh dan
mengerasnya semangat identitas kebangsaan regional daerahdaerah di Eropa,
13
ketiga, adalah pemicu bagi jatuhnya kuasa para raja, dan keempat, yang paling
penting bagi Liberalisme adalah tersebarnya ‘frijheit’ (semangat kebebasan atau
kemerdekaan), kebebasan menafsir yang ditampilkan oleh Luther telah merangsang
kebebasan dalam bidang lainnya, terutama dalam ranah akademik. Mesin Gutenberg
menimbulkan kapitalisasi percetakan dan menggemakan suarasuara yang
berkaitan dengan ‘frijheit’. Kemenangan Luther terhadap Vatikan adalah separuh
kemenangan liberalisme atas “dua kekuasaan yang mengekang”, yang satu unsur
lainnya—otoritas para raja—baru dapat dihancurkan dan kemenangan bulat
sepenuhnya terjadi ketika Revolusi Perancis meletus.
Liberalisme Salah Arah
Luther disebut gereja sebagai ‘pelaku bid’ah yang keji’. Bahkan Vatikan menetapkan Luther sebagai
buronan agama yang harus ditangkap hiduphidup.
13
Setelah terbitnya injil baru dalam bahasa Jerman, dan dibantu penyebarannya oleh mesin cetak
Gutenberg, imbasnya adalah munculnya kesadaran daerahdaerah regional untuk menjadi bangsa sendiri
dengan penguatan unsurunsur partikularnya, yakni bahasa. Banyak raja yang pada mulanya mendukung
gereja, tibatiba beralih dengan melepaskan diri dan melakukan penerjemahan kitab suci dalam bahasanya
masingmasing. Bahasa Latin mulai ditinggalkan, sementara itu karyakarya ilmiah, humaniora, susastra, dan
filsafat, banyak bermunculan dalam bahasa selain Latin.
12
10
Revolusi Perancis berhasil membawa Eropa menuju babak baru, bukan
dalam arti sebenarnya, melainkan sebagai lambang bagi dunia modern bahwa ruh
‘frijheit’ dan ‘liberte’ berhasil berjaya di atas tiran, meski pada kenyataannya, hasil
yang ditampakkan adalah kenyataan yang saling bertentangan.14 Demokrasi liberal
mewujud dalam bentuk republik untuk menggantikan otoritas raja (monarch), suara
rakyat menjadi otoritas politik dan pengawalnya. Bertujuan untuk ‘membebaskan’
manusia dari terkungkungnya hakhak kodrati mereka. Liberalisme mungkin telah
berhasil menumbangkan otoritas raja dan membuat otoritas Paus maupun Vatikan
menjadi semakin terbatas, akan tetapi ia tidak benarbenar yakin telah berhasil
menumbangkan agama (baca: Kristen). Oleh karena itu, agar doktrin agama maupun
para cleric tidak turut dalam otoritas pemerintahan, maka disahkanlah sekularisme
sebagai asas politik yang murni dilandasi oleh prinsipprinsip semangat
humanisme, bukan dengan semangat ‘God Sovereignty’, yakni supremasi kedaulatan
Tuhan melalui hukumhukum yang ia turunkan sendiri melalui kitab sucinya. Bagi
Sekularisme, mengukuhkan prioritas pada hakhak manusia adalah lebih penting
daripada memperjuangkan hakhak Tuhan. Liberalisme, pada akhirnya bersikap
antipati terhadap agama. Jika tidak, Liberalisme mengupayakan dekonstruksi
teksteks keagamaan agar sejalan dengan prinsipprinsip humanisme yang sedang
berlaku. Pada titik yang lebih ekstrim, liberalisme memicu timbulnya atheisme,
revolusi nilainilai adat yang kukuh dalam
budaya tertentu dan dianggap
mengekang hak kodrati manusia. Liberalisme adalah pembebasan, perjuangan pada
kebebasan, dan usaha membebaskan diri dari segala hal yang dianggapnya
mengekang. Dalam praktiknya, karena tidak ada batasan mengenai makna
“Tujuan politik Revolusi Perancis adalah menjatuhkan rezim Louis XVI dan menggantinya dengan
republiknamun revolusi berakhir dengan pembalikan fakta lainnya, konsekuensi yang tidak diharapkan atas
bangkitnya Napoleon yang berkuasa sebagai kaisar Perancis, yang pemerintahan tangan besinya jauh lebih
absolut daripada raja yang sudah dieksekusi. Lebih lagi, Revolusi Perancis sebenarnya berdiri untuk kejayaan
pandangan perjuangan manusia atas kemerdekaan, namun kenyataannya justru terbalik, berdiri sebagai
pandangan kapasitas manusia yang memalukan karena berubah menjadi pemuasan kebiadaban dan
pembunuhan masal (Lavine, 2002:184185).”
14
11
‘kebebasan kodrati’ yang jelasbahkan kata ‘kebebasan’ mengindikasikan dirinya
sebagai lawan dari ‘batasanbatasan’membuat Liberalisme menjadi perjuangan
tentang kebebasan yang seringkalidan hampir selalusalah arah dalam
perjuangannya.
Daftar Pustaka:
AlAttas, Syed Muhammad Naguib. 1972. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan
Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Blackburn, Simon. 2005. The Oxford Dictionary of Philosophy: Second Edition. Oxford:
Oxford University Press.
Bayer, Oswald. 2008. Martin Luther’s Theology: A Contemporary Interpretation.
Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
Boyer, Abel. 1833. Boyer’s French Dictionary. Boston: Hilliard, Gray and Co.
Brattleboro’ Power Press Office.
Emy, H. V. 1973. Liberals Radicals and Social Politics 18921914. London: Cambridge
University Press.
Lavine, T.Z. 2002. Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sartre. Yogyakarta: Penerbit
Jendela.
Oxford Dictionary. 2011. Oxford Wordpower: EnglishArabic Dictionary AZ. Great
Clarendon: Oxford University Press.
Parker, Philip. M. 2008. Webster’s Romanian (Latin Script)–English Thesaurus
Dictionary. San Diego: ICON Group International, Inc.
12
Reitan, Earl. A. 2003. Liberalism: TimeTested Principles for the TwentyFirst Century.
Lincoln: iUniverse, Inc.
Riddle, Joseph Esmond. 1838. A Complete EnglishLatin Dictionary, for The Use of
Colleges and Schools. London: Longman, Orme, Brown, Green, and Longmans,
PaternosterRow.
Suda, Zdenek, and Musil, Jiri. 2000. The Meaning of Liberalism: East and West.
Budapest: Central European University Press.
Sugono, Dendy, dkk. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Von Mises, Ludwig. 1985. Liberalism in the Classical Tradition. San Fransisco: The
Foundation for Economic Education, Inc.
13
Kaum Terdidik dan Liberalisme Salah Arah
Oleh : Afandi Satya .K
Sebuah motto dalam bahasa Latin di logo Saint John College Amerika
Serikat yang lahir pada tahun 1696 berbunyi, “facio liberos ex liberis libris
libraque” (dengan buku dan keseimbangan, saya menjadikan anakanak
yang lahir sebagai manusia merdeka). Motto tersebut menjadi tujuan Saint
John College untuk membuat muridmurid merdeka melalui pendidikan
liberal dengan berpedoman pada kurikulum ‘Great Books’, yakni sejumlah
100150 jenis literatur berbeda yang menjadi pondasi utama kebudayaan
Barat, yang tetap berlaku hingga hari ini. Pada motto tersebut, terdapat dua
hal yang saling berkaitan, yakni keberaksaraan (competency of ‘literate’)
dan paham tentang kebebasan (ideology of ‘liberate’), selain juga gambaran
singkat mengenai semangat liberalisme dalam peri kehidupan Barat.
________________________________________________________________________________
Liberalisme
Sebagai sebuah paham, liberalisme berasaskan pada esensi kata
liberal—yang menjadi ruh sekaligus nafas dari paham tersebut. Oxford Wordpower
mendefinisikan kata liberal sebagai sebuah sikap yang terbuka, “willing to accept
different opinions or kinds of behaviour; tolerant” (Oxford, 2011:460). Namun,
pengertian tersebut cenderung mengaburkan makna ‘liberal’ itu sendiri jika tidak
ditelusuri pada asal katanya. Definisi yang diberikan oleh kamus Oxford adalah
salah bentuk aspek ethic, titik akhir dari keniscayaan yang seharusnya terjadi oleh
karena paham liberal atau sistem liberal yang dianut. Secara terminologis, ‘liberal’
bermakna sebagai freedom, ‘kebebasan’, meski secara literal, makna ‘liberal’ adalah
‘tolerant’, berantonim dengan sifat “conservative, intolerant, strict, oppressive,
totalitarian” (Parker, 2008:133). Bisa juga ia disebut sebagai ‘libertate’ untuk kata
1
yang semakna dengan ‘freedom’ (Parker, 2008:133). Hal ini dibuktikan dalam
bahasa Latin, ‘liberatus’, yakni bentuk past participle (Verb 3) dari kata ‘liberare’
yang bermakna ‘merancang kebebasan’, dari asal kata ‘liber’ dengan pengucapan ‘i’
panjang, yang bermakna ‘bebas’ sebagaimana dalam kalimat, “de oppresso liber
(liiber)”, “merdeka dari penindasan”. ‘Libertus’ dimaknai sebagai seorang yang
1
terbebas dari belenggu perbudakan: a freedman (Riddle, 1838:180). Dalam bahasa
Perancis, kata liberal memiliki medan makna yang sama dengan dengan kata liberal
dalam bahasa Inggris, ‘liberate’ yang berarti “to set free; to set freedom” misalkan
pada kalimat, “Voltaire aura incarné la force de la culture à éclairer et à libérer les
peuples”, yang berarti “Voltaire memasukkan kekuatan budaya untuk mencerahkan
dan membebaskan masyarakat. Ia termasuk juga sebagai ‘free will’, atau ‘libré’,
‘liberté’, seperti dalam kalimat “Il vous est libre de faire ce qu’il vous plaira”, “you may
do what you please (with freewill)” (Boyer, 1833:325). Esensi kata ‘liberal’ berarti
sebagai sebuah sifat ‘liberty’, ‘freedom’, atau kebebasan. Kamus Bahasa Indonesia
(KBI) memaknai kata ‘liberal’ sebagai, “sifat yang condong kepada kebebasan; orang
yang berpandangan bebas (luas dan terbuka)” (Pusat Bahasa, 2008:857). Dengan
makna asal sebagai sifat yang terus memperjuangkan kebebasan, dengan demikian
paham ‘liberal’ (liberalisme) dapat dilihat sebagai sebuah paham yang menyiratkan
perjuangan kebebasan atau serangkaian usaha untuk membebaskan diri dari
berbagai macam unsur yang mengekang kebebasan, kemerdekaan, dan
kemajemukan dalam dan oleh berbagai unsur, baik itu ekonomi, sosial, budaya,
politik, dan agama yang mewujud dalam bentuk otoritas; teks (dogma), individu
atau kelompok. Kendati dipenuhi oleh semangat ‘pembebasan’, dalam Liberalisme,
setiap individu berhak untuk menentukan nilainilainya sendiri yang berasal dari
apa yang ia inginkan tanpa ada satu pun bentuk campur tangan maupun paksaan
dari pihakpihak di luar dirinya untuk menggunakan nilainilai yang ia pilih itu. Oleh
karena itu, sebagai sebuah paham yang memusatkan perhatiannya pada individu,
1
Liber dengan pengucapan ‘i’ pendek (liber, bukan liiber) bermakna sebagai buku.
2
liberalisme terkait erat dengan humanisme—di mana ukuran kebenaran adalah
manusia—yang berarti nilai kebenaran selalu berubah seiring berubahnya manusia.
Sandra Pralong (Suda & Musil, 2000:85) bahkan menyimpulkan dalam kalimat
sarkastik bahwa sejatinya Liberalisme adalah sistem tanpa nilai.2
Dalam pengertian yang lebih padu, Liberalisme mencakup filsafat politis
yang mengakui kebebasan individu sebagai tujuan politik yang paling utama, dan
memberi penekanan pada hakhak individu dan persamaan kesempatan.
Liberalisme adalah sebuah filsafat pemerintahan dan sosial (government and social
philosophy) yang menekankan pada kata ‘kemerdekaan’, ‘liberty’, sebuah kata yang
penuh tenaga dan melintasi generasi (Reitan, 2003:1). Dari berbagai aliran liberal
yang ada, semuanya sepakat bahwa apa yang kaum liberal perjuangkan adalah
sejumlah prinsip seperti kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berbicara,
pembatasan kekuatan pemerintah, penerapan peraturan hukum, ekonomi pasar,
dan sistem pemerintahan yang demokratis dan transparan. Liberalisme meyakini
bahwa masyarakat seharusnya diatur bersesuaian dengan Hak Asasi Manusia yang
tidak berubah dan tidak dapat diganggu gugat, terutama hak untuk hidup, hak
kebebasan, dan properti. Selain pada pembatasan campurtangan pemerintah pada
3
individu, liberalisme juga berarti sebuah kepercayaan pada rasionalitas dan
tanggung jawab individu (Emy, 1973:2). Dalam bentuk yang lebih ekstrim dan
radikal, Liberalisme mewujud sebagai anarkisme—yang jika dipandang dari sudut
“I shall argue that the ‘value’ of liberalism is precisely that it lacks any claim to substantive values, both for
the individual and collectively. Thus liberalism’s greatest value is … the absence of values!”
3
Terdapat dua macam pemikiran besar yang terkait dengan Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan
Liberalisme Sosial. Liberalisme Klasik meyakini bahwa kemerdekaan yang asasi adalah “kemerdekaan dari
segala macam paksaan”, dan bahwa intervensi negara dalam tataran ekonomi adalah sebuah bentuk
kekuatan yang memaksa terjadinya pembatasan dalam kebebasan ekonomi setiap individu. Sedangkan,
Liberalisme Sosial berpendapat bahwa pemerintah harus memainkan peran aktif dalam mengajukan dan
menjamin kebebasan para rakyatnya, kemerdekaan atau kebebasan sejati hanya akan terwujud jika rakyat
berada dalam kondisi sehat, terdidik, dan terbebas dari kemiskinan yang mengerikan. Selain dua macam
aliran tersebut, masih ada beberapa aliran Liberal lainnya seperti; Liberalisme Konservatif, Liberalisme
Ekonomi, Liberalisme Baru (Neoliberalism), Liberalisme Amerika, Libertarianisme, Liberalisme Nasional,
Ordoliberalisme, Paleoliberalisme, dan Liberalisme Kultural.
2
3
pandang sejarah, liberalisme maupun anarkisme samasama berdiri sebagai lawan
dari berbagai bentuk otoritarianisme; baik itu komunisme, sosialisme, fasisme, atau
jenis lain dari totalitarianisme. Seiring berjalannya waktu, pada beberapa dekade
berjalan, pengertian Liberalisme juga perubahan yang membuat maknanya berbeda
dengan liberalisme yang muncul pertama kali (von Mises, 1985:v).
Perkembangan Liberalisme: Peran ‘Literate’
Liberalisme memiliki genealogi atau silsilah yang merujuk pada tiga masa;
demokrasi Yunani, kesadaran Renaissance pada kepribadian individu, dan
penekanan pada reformasi hubungan antara manusia dengan tuhannya (Reitan,
2003:2). Perkembangan Liberalisme awal (early liberalism) yang pertama terjadi
ketika King John (11661216) di Inggris, pada tahun 1215 mengeluarkan dokumen
Magna Charta (Piagam Besar, Great Charter) atau yang juga disebut sebagai Magna
Carta Libertatum (Piagam Besar tentang Kemerdekaan) yang membatasi otoritas
raja. Selanjutnya, perkembangan liberalisme terus berjalan terutama setelah
terjadinya “The Glorious Revolution of 1688” di Britania yang setahun setelahnya, Bill
of Right diakui oleh parlemen Inggris dengan isi; penghapusan kekuasaan raja,
jaminan terhadap hakhak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris. Proses lahirnya
liberalisme yang damai di Inggris, tidak terjadi di daratan Eropa raya yang berada di
seberang gugusan pulau Britannia Raya. 4
Pendapat yang mungkin untuk dijadikan alasan sebab lahirnya Liberalisme yang damai di Inggris dan tidak
demikian dengan negara di daratan Eropa, yakni Perancis, yang lebih disebabkan oleh adanya perbedaan
faktor kebudayaan (Perancis (baca: Eropa) yang terkekang oleh Roma, dan Inggris, yang mandiri dan tidak
terkekang oleh Roma), selain kemungkinan faktor sentimen Raja Henry VII yang menolak tradisi Katolik
untuk tidak bercerai dengan istrinya sampai mati. Raja Henry VII menceraikan istrinya, Ratu Catherine dari
Aragon untuk dapat menikahi Anne Boleyn. Keputusan Henry VII sekaligus menandai keputusannya untuk
memisahkan hubungan antara Inggris dengan Vatikan, dengan berdirinya ordo baru bernama Anglikan.
Bebasnya Inggris dari pengaruh Roma yang juga mengekang otoritas raja dan kemerdekaan berpikir para
cendekiawan, besar kemungkinan memicu timbulnya revolusi damai 1688 yang timbul lebih karena
kesadaran akan Liberalisme, bukan karena kebutuhan akan Liberalisme seperti yang dialami oleh Perancis.
Di luar masalah tersebut, hal yang tak kalah kuat menjadi pembeda proses terjadinya Liberalisme di Inggris
dan Perancis adalah masalah kebudayaan. Seorang sarjana sejarah Eropa, Henri Pirenne menyebutkan
bahwa identitas mayoritas masyarakat di dataran Eropa adalah identitas Romawi, sedangkan Inggris lebih
4
4
Revolusi Perancis yang digerakkan oleh ideide liberal pada 17891799
memainkan peranan penting bagi masa depan Liberalisme, di lain hal, Revolusi
Perancis juga muncul sebagai titik kulminasi muaknya masyarakat sipil, terutama
dipelopori oleh kaum pelajar terhadap dominasi para monarch (raja) dan bishop
(tokoh agama di gereja) yang telah lama melakukan pengekangan dalam bentuk
pemikiran, dan hak milik. Selain dikenal sebagai Declaration of the Right Man and
5
the Citizen, Revolusi Perancis juga muncul oleh pemikir liberal abad ke18 seperti
FrançoisMarie Arouet (Voltaire) (16941778) dan Baron de Montesqiau
(16891755) yang terinspirasi oleh contoh kesuksesan Liberalisme yang terjadi di
Inggris (Reitan, 2003:2). Namun, Liberalisme secara keseluruhan tidak dibangun
oleh satu orang tokoh saja, melainkan muncul dari rangkaian pemikiran para
sarjana Barat yang bermula setelah masa skolastik, yang semua sarjana itu meski
memiliki konsep berbeda, tetap memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu, ketika
6
Revolusi Perancis pecah, slogan yang didengungkan adalah nafas yang telah mereka
(para sarjana) itu mimpikan sejak lama, “liberté, égalité, fraternité,” (kebebasan,
keadilan, persaudaraan) dengan satu kata yang berfungsi sebagai opsi pada
akhirannya, “ou la mort!” (atau mati!). Dengungan nafas dan semangat ideide
liberal yang dihembuskan pada zaman Empirisme dan Rasionalisme menimbulkan
corak bagi cikal bakal corak kebudayaan Eropa modern; ilmu alam dan ilmu pasti
berkembang, menentang tradisi menjadi sangat kritis, analisis psikologis
dipentingkan, bahasa Latin ditinggalkan sebagai bahasa ilmiah dan diganti
pada identitas Nordik. “Negeri Inggrislah di antara negerinegeri Kaum Biadab yang paling sedikit mengalami
pengaruh kebudayaan Romawi, dan disitu kesusilaan dunia baru Jerman dan Nordik telah berdaya
memperkukuh diri. Disitu mereka hidup sebagai dirinya sendiri. (AlAttas, 1972:7)”
5
‘The Father of Liberalism’, John Locke melalui Two Treatises on Government pada tahun 1689 menetapkan
dua pemikiran yang mendasar mengenai Liberalisme, yakni kemerdekaan ekonomi—yang berarti sebagai
hak untuk memiliki dan menggunakan barang miliknya—dan juga kemerdekaan intelektual yang juga
mencakup mengenai kemerdekaan nurani, ‘freedom of conscience’.
6
Lihat corak rangkaian pemikiran daripada para sarjana terhadap ideide Liberalisme; John Locke
(16321704), David Hume (17111776), J.J Rousseau (17121778), Adam Smith (17231790), dan Immanuel
Kant (17241804).
5
bahasabahasa modern, watakwatak perseorangan dan nasional lebih tampak ke
muka, citacita kebebasan menjadi anarki (Sudiarja, dkk, 2006:1044).
Pada abad ke18, kata ‘liberty’ memiliki makna sebagai kemerdekaan
(independence) atau hakhak istimewa (privileges) bagi kelompokkelompok khusus
terhadap hakhak individual, yang mana oleh John Locke (16321704), ditegaskan
melalui hakhak kodrati yang melekat pada seluruh manusia; hak hidup,
kemerdekaan, dan hak kepemilikan (Reitan, 2003:1). Liberté menggambarkan cita
tentang kebebasan dari segala kungkungan otoritas gereja dan raja, égalité
menggambarkan cita tentang kesejahteraan yang tidak merata dari ancaman
diskriminasi sosial, fraternité adalah cita tentang bangsa yang bersatu padu dalam
satu semangat, dan ou la mort adalah pilihan terakhir dalam bentuk anarkisme yang
menjadi semangat—jika tidak dapat dibilang sebagai keputusasaan—untuk memilih
satu dari dua hal: liberté, égalité, fraternité di satu sisi dan ou la mort di sisi yang
lain, semakna dengan perkataan jenderal John Stark pada tahun 1809 dalam Perang
Revolusi Amerika, yang mengatakan, “live free or die: death is not the worst of evils”,
“merdeka atau mati”, “hidup mulia atau mati syahid.” Artinya, kematian dalam
berjuang, atau kematian itu sendiri adalah lebih baik daripada tidak terwujudnya
liberté, égalité, fraternité. Kasus ini juga sama dengan pernyataan Patrick Henry
yang menyatakan, “give me liberty, or give me death!” ketika berusaha meredam
gangguan gubernur Dunmore pada Konvensi Virginia kedua di St. John’s Church,
Williamsburgh pada 1755. Apa yang disampaikan oleh Patrick Henry memiliki dua
makna; pertama, sebagai klaimnya sendiri atas posisinya sebagai seorang individu.
Kedua, sebagai tuntutan merdeka dari koloni Virginia dari kaum asing dan
pemerintahan tirani Raja George III. Piagam Kemerdekaan, Declaration of
Independence 1776 merupakan satu bentuk deklarasi yang bernafaskan dua maksud
‘liberty’ pada kasus Patrick Henry (Reitan, 2003:1). Bagi Liberalisme, unsur apapun
yang menciderai prinsip kebebasan adalah ancaman bagi kehidupan ideal yang
6
semestinya dilawan. Oleh karena itu, adalah suatu keniscayaan ketika Revolusi
Perancis berhasil, pengusung ide Liberalisme—dan juga mereka yang
setuju—enggan untuk mengulangi masa kelam mereka dahulu dengan memberikan
atau sekedar membiarkan peluang bagi unsurunsur yang pernah mengekang
kebebasan untuk meraih otoritasnya kembali. Dekonstruksi adalah alat yang paling
efektif untuk mencegah kembalinya otoritas bagi mereka yang pernah menciderai
prinsipprinsip liberal.
Ada banyak faktor yang membuat pasang surut Liberalisme, yang semuanya
berkaitan pada pengalaman hidup kaum terdidik (scholar) pada masamasa
skolastik hingga masa ketika sebagian besar masyarakat Eropa akhirnya sepakat
bahwa Liberalisme adalah jalan keluar bagi permasalahan lokal mereka—yang
mana hal ini ditunjukkan dengan pemberian dukungan pada pecahnya Revolusi
Perancis di akhir abad yang ke18 Masehi—dan sayangnya, dijadikan sebagai
patokan baku bahwa pengalaman lokal dan kekecewaan mereka terhadap otoritas
politik maupun agama adalah pengalaman universal semua bangsa. 7 Akhir hidup
yang tidak baik, yang dialami oleh Giordano Bruno (15481600) setelah berpikir
tentang panteisme, monade, dan emanasi, juga bantahan Copernicus dan
pembuktian ilmiah Galileo (15641642) mengenai tata surya sekaligus untuk
membantah pendapat geosentris Ptolomeus yang telah ditetapkan oleh gereja
sebagai sebuah kebenaran a priori—bahwa bumi itu datar dan seperti pulau yang
mengapung di udara—mengakibatkan mereka berakhir di bawah hukuman gereja
dengan tuduhan sebagai pelaku inovasi, tindak heretik (bid’ah) yang murtad.8
Sebagai catatan, Revolusi Perancis tidak digagas oleh para filosof besar seperti Descartes, Hume, maupun
Hegel. Revolusi Perancis terjadi karena usahausaha sebuah kelompok yang dinamakan sebagai philosophes,
yakni kelompok nonfilsuf akademis profesional yang lebih sebagai tipe cendekiawan, pencipta opini, aktivis
politik dalam ilmu pengetahuan dan seni, pemberitaan dan pengkaji gagasan para filosof. Sebagian anggota
philosophes adalah tokoh penyair, dramawan, sejarawan, esais, seperti Voltaire, Diderot, La Metrie,
Helvetius dan Holbach.
8
Gereja menanggapi teori Copernicus dengan sangat keras, para ilmuwan yang mendukung teori
heliosentris segera dikucilkan, dipenjara, dianggap murtad. Copernicus sadar dengan reaksi gereja sehingga
ia mengumumkan teorinya secara diamdiam, akan tetapi para pengikutnya seperti Bruno maupun Galileo
7
7
Hukuman inkuisisi yang ditetapkan oleh gereja pada siapapun yang melawan
doktrin gereja adalah jerami pemantik bagi api kebencian kaum terdidik (literate)
bahwa agamawan (gereja) adalah musuh bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebebasan berpikir yang pada akhirnya menjadi prasyarat bagi kukuhnya
Liberalisme—bahwa untuk meraih hidup yang merdeka, sebelumnya seseorang itu
harus merdeka dahulu dari kungkungan agama, atau teksteks agama yang dianggap
memiliki penafsiran tunggal (rigid). Secara perlahan, satu per satu bukti yang
9
menyatakan bahwa gereja—sebagai representasi agama—telah berperan besar
dalam menghambat kebebasan kodrati dan ilmu pengetahuan, terbongkar pada
masa filsafat Modern ketika empirisme dan rasionalisme menjadi semakin kritis
terhadap segala hal, terlebih ketika berhadapan dengan ilmu “mengenai ada yang
nampak” (fisika), juga ilmu “mengenai ada yang tidak nampak” (metafisika) yang
samasama membedah pengetahuan warisan (taqlid) doktrin gereja. Sementara itu,
otoritas gereja nampaknya lebih memilih untuk tetap berpegang teguh pada
‘kebenaran’ ‘teksteks suci’ yang terbukti tidak sejalan dengan buktibukti ilmiah
daripada menerima kebenaran pembuktian (bayan, demonstrasi) secara lapang
dada. Gereja bahkan mengeluarkan semacam antagonisme untuk mempertahankan
dan melakukan pembelaan terhadap kebenaran a priorinya tentang kesakralan
injil, Paus, gereja, dan Curia Romana yang terancam oleh ilmu pengetahuan dengan
10
menghukumi pelanggarnya sebagai orangorang murtad, kafir, pelaku bid’ah yang
patut dihukum dengan hukuman sepihak bernama inkuisisi. Dengan berbagai
menyuarakannya dengan apa adanya. Sebagai akibatnya, pada 1600 gereja membakar hiduphidup Bruno di
Roma. Seorang naturalis bernama Vanini juga dibakar hiduphidup pada 1620 di Toulouse, demikian pula
Foontainer di Paris setahun setelah kematian Vanini. Galileo agaknya lebih beruntung karena ia hanya
dikenakan hukuman tahanan rumah seumur hidup, dipaksa berlutut dan menyangkal keyakinannya
mengenai Heliosentrisme dan harus membaca tujuh ayat Zabur seminggu sekali selama tiga tahun.
9
Lihat definisi tentang Liberalisme yang diberikan oleh Simon Blackburn dalam Oxford Dictionary of
Philosophy, “liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak
dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari
ikatanikatan agama dan ideologi (Blackburn, 2005:209210).”
10
Departemen yang bertanggung jawab pada ajaran dan semua hukum kanon gereja Katolik (codex luris
cannonici), yang juga berfungsi sebagai pengatur tatatertib aturan gereja (regula fidei).
8
macam faktor tersebut, gereja semakin memperkuat keyakinan para sarjana dan
rakyat bahwa gereja melakukan pengekangan terhadap hakhak dasar manusia
secara semenamena. Bahkan, pandangan buruk pun semakin bertambah ketika
rahasia gereja mengenai penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya terbongkar.
Kini gereja tidak hanya menghadapi kritikan dari luar, yakni para sarjana yang
bukan agamawan, tetapi juga oleh para sarjana yang berasal dari lingkungan gereja
itu sendiri. Ditemukannya mesin cetak oleh seorang anggota keuskupan agung di
Mainz, Johannes Gutenberg (13981468) pada tahun 1450an adalah awal bencana
bagi gereja. Pertama, karena ia telah membuat Gutenberg untuk ‘mengisi waktu
luangnya’ mencetak lebih banyak ‘surat pengampunan’ gereja yang banyak
disalahgunakan oleh para bishop sebagai komoditi untuk memperkaya diri, dan
kedua, karena mesin cetak Gutenberg memicu penyebaran informasi secara lebih
cepat dan lebih merata pada masyarakat Eropa—yang menyebabkan meningkatnya
jumlah kaum literer, dan kesadaran bahwa liberate adalah jawaban yang diperlukan
bagi perubahan kehidupan mereka yang lebih baik. Singkatnya, ditemukannya
mesin cetak Gutenberg adalah awal dari berkembangnya liberalisasi sekaligus awal
dari kejatuhan gereja.
Martin Luther (14831546) yang menemukan penyalahgunaan otoritas Curia
Romana Vatikan (Katolik Roma) pada masalah ‘surat pengampunan’—yang
disalahgunakan dengan memperbolehkan dibelinya ‘letters of credit’ untuk
mendapatkan indulgensia menjadi semacam ‘perdagangan suci, the holy
trade’—juga menyerang otoritas gereja dalam melakukan monopoli pada
interpretasi injil dengan cara menulis perjanjian baru dalam bahasa Jerman.
11
Pada masa Luther, dalam ranah bahasa pengantar ilmu pengetahuan, bahasa Latin memiliki kedudukan
sebagai ‘lingua franca’ yang digunakan di seluruh daratan Eropa sebagai bahasa pengantar dalam penulisan
karyakarya ilmu pengetahuan. Bahasabahasa daerah (Jerman, Inggris, Perancis, dll disebut sebagai bahasa
kampung, “it’s a language of farmers.” Namun sayangnya bahasa Latin hanya dipelajari secara terbatas oleh
para sarjana dan kaum gereja sehingga pemahaman mengenai karyakarya ilmiah, termasuk juga injil yang
ketika itu ditulis hanya dalam bahasa Latin.
11
9
Luther yang berasal dari ordo Sanct Augustin Eremita menolak monopoli penafsiran
gereja dengan menyatakan,setiap orang berhak menafsirkan alkitab menurut Roh
yang bergerak di dalam dirinya (Bayer, 2008:89). Orangorang yang membencinya,
menyebut Luther sebagai ‘tukang protes’, yang segera menjadi aliran gereja dengan
penafsiran baru bernama Protestan. Usaha yang telah dilakukan Luther membawa
12
banyak dampak baru dalam segi politik, sosial, dan agama dalam peri kehidupan
Eropa. Pertama, adalah jatuhnya kepercayaan terhadap gereja (yang juga dapat
diartikan sebagai kejatuhan otoritas gereja), kedua adalah tumbuh dan
mengerasnya semangat identitas kebangsaan regional daerahdaerah di Eropa,
13
ketiga, adalah pemicu bagi jatuhnya kuasa para raja, dan keempat, yang paling
penting bagi Liberalisme adalah tersebarnya ‘frijheit’ (semangat kebebasan atau
kemerdekaan), kebebasan menafsir yang ditampilkan oleh Luther telah merangsang
kebebasan dalam bidang lainnya, terutama dalam ranah akademik. Mesin Gutenberg
menimbulkan kapitalisasi percetakan dan menggemakan suarasuara yang
berkaitan dengan ‘frijheit’. Kemenangan Luther terhadap Vatikan adalah separuh
kemenangan liberalisme atas “dua kekuasaan yang mengekang”, yang satu unsur
lainnya—otoritas para raja—baru dapat dihancurkan dan kemenangan bulat
sepenuhnya terjadi ketika Revolusi Perancis meletus.
Liberalisme Salah Arah
Luther disebut gereja sebagai ‘pelaku bid’ah yang keji’. Bahkan Vatikan menetapkan Luther sebagai
buronan agama yang harus ditangkap hiduphidup.
13
Setelah terbitnya injil baru dalam bahasa Jerman, dan dibantu penyebarannya oleh mesin cetak
Gutenberg, imbasnya adalah munculnya kesadaran daerahdaerah regional untuk menjadi bangsa sendiri
dengan penguatan unsurunsur partikularnya, yakni bahasa. Banyak raja yang pada mulanya mendukung
gereja, tibatiba beralih dengan melepaskan diri dan melakukan penerjemahan kitab suci dalam bahasanya
masingmasing. Bahasa Latin mulai ditinggalkan, sementara itu karyakarya ilmiah, humaniora, susastra, dan
filsafat, banyak bermunculan dalam bahasa selain Latin.
12
10
Revolusi Perancis berhasil membawa Eropa menuju babak baru, bukan
dalam arti sebenarnya, melainkan sebagai lambang bagi dunia modern bahwa ruh
‘frijheit’ dan ‘liberte’ berhasil berjaya di atas tiran, meski pada kenyataannya, hasil
yang ditampakkan adalah kenyataan yang saling bertentangan.14 Demokrasi liberal
mewujud dalam bentuk republik untuk menggantikan otoritas raja (monarch), suara
rakyat menjadi otoritas politik dan pengawalnya. Bertujuan untuk ‘membebaskan’
manusia dari terkungkungnya hakhak kodrati mereka. Liberalisme mungkin telah
berhasil menumbangkan otoritas raja dan membuat otoritas Paus maupun Vatikan
menjadi semakin terbatas, akan tetapi ia tidak benarbenar yakin telah berhasil
menumbangkan agama (baca: Kristen). Oleh karena itu, agar doktrin agama maupun
para cleric tidak turut dalam otoritas pemerintahan, maka disahkanlah sekularisme
sebagai asas politik yang murni dilandasi oleh prinsipprinsip semangat
humanisme, bukan dengan semangat ‘God Sovereignty’, yakni supremasi kedaulatan
Tuhan melalui hukumhukum yang ia turunkan sendiri melalui kitab sucinya. Bagi
Sekularisme, mengukuhkan prioritas pada hakhak manusia adalah lebih penting
daripada memperjuangkan hakhak Tuhan. Liberalisme, pada akhirnya bersikap
antipati terhadap agama. Jika tidak, Liberalisme mengupayakan dekonstruksi
teksteks keagamaan agar sejalan dengan prinsipprinsip humanisme yang sedang
berlaku. Pada titik yang lebih ekstrim, liberalisme memicu timbulnya atheisme,
revolusi nilainilai adat yang kukuh dalam
budaya tertentu dan dianggap
mengekang hak kodrati manusia. Liberalisme adalah pembebasan, perjuangan pada
kebebasan, dan usaha membebaskan diri dari segala hal yang dianggapnya
mengekang. Dalam praktiknya, karena tidak ada batasan mengenai makna
“Tujuan politik Revolusi Perancis adalah menjatuhkan rezim Louis XVI dan menggantinya dengan
republiknamun revolusi berakhir dengan pembalikan fakta lainnya, konsekuensi yang tidak diharapkan atas
bangkitnya Napoleon yang berkuasa sebagai kaisar Perancis, yang pemerintahan tangan besinya jauh lebih
absolut daripada raja yang sudah dieksekusi. Lebih lagi, Revolusi Perancis sebenarnya berdiri untuk kejayaan
pandangan perjuangan manusia atas kemerdekaan, namun kenyataannya justru terbalik, berdiri sebagai
pandangan kapasitas manusia yang memalukan karena berubah menjadi pemuasan kebiadaban dan
pembunuhan masal (Lavine, 2002:184185).”
14
11
‘kebebasan kodrati’ yang jelasbahkan kata ‘kebebasan’ mengindikasikan dirinya
sebagai lawan dari ‘batasanbatasan’membuat Liberalisme menjadi perjuangan
tentang kebebasan yang seringkalidan hampir selalusalah arah dalam
perjuangannya.
Daftar Pustaka:
AlAttas, Syed Muhammad Naguib. 1972. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan
Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Blackburn, Simon. 2005. The Oxford Dictionary of Philosophy: Second Edition. Oxford:
Oxford University Press.
Bayer, Oswald. 2008. Martin Luther’s Theology: A Contemporary Interpretation.
Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
Boyer, Abel. 1833. Boyer’s French Dictionary. Boston: Hilliard, Gray and Co.
Brattleboro’ Power Press Office.
Emy, H. V. 1973. Liberals Radicals and Social Politics 18921914. London: Cambridge
University Press.
Lavine, T.Z. 2002. Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sartre. Yogyakarta: Penerbit
Jendela.
Oxford Dictionary. 2011. Oxford Wordpower: EnglishArabic Dictionary AZ. Great
Clarendon: Oxford University Press.
Parker, Philip. M. 2008. Webster’s Romanian (Latin Script)–English Thesaurus
Dictionary. San Diego: ICON Group International, Inc.
12
Reitan, Earl. A. 2003. Liberalism: TimeTested Principles for the TwentyFirst Century.
Lincoln: iUniverse, Inc.
Riddle, Joseph Esmond. 1838. A Complete EnglishLatin Dictionary, for The Use of
Colleges and Schools. London: Longman, Orme, Brown, Green, and Longmans,
PaternosterRow.
Suda, Zdenek, and Musil, Jiri. 2000. The Meaning of Liberalism: East and West.
Budapest: Central European University Press.
Sugono, Dendy, dkk. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Von Mises, Ludwig. 1985. Liberalism in the Classical Tradition. San Fransisco: The
Foundation for Economic Education, Inc.
13