Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi O. rhinoceros L.

Klasifikasi kumbang badak menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum

: Arthropoda

Class

: Insecta

Ordo

: Coleoptera

Family


: Scarabaidae

Genus

: Oryctes

Spesies

: O. rhinoceros L.

Bentuk telur lonjong, warna putih, panjang 3-4 mm, lebar 2-3 mm. Ratarata lamanya telur 12 hari. Telur diletakan pada sampah membusuk, tumpukan
serbuk gergaji/sekam, pohon yang lapuk, kotoran hewan (Gambar 1)
(Lekahena, 2011).

Gambar 1. Telur O. rhinoceros
Sumber: Foto langsung

Universitas Sumatera Utara

Larva atau uret berwarna putih bersih, semakin tua warna berubah semakin

kekuningan dengan panjang 75-100 mm. uret mempunyai tiga pasang tungkai
pada dadanya, kepala berwarna coklat tua. Ujung perutnya membesar dan terdapat
susunan bulu yang khas (Gambar 2). Umur larva mencapai 99-121 hari
(BPTP Yogyakarta, 2005).

Gambar 2. Larva O. rhinoceros
Sumber: Foto langsung

Larva instar terakhir masuk ke tanah sedalam ± 30 cm dan tidak aktif
selama 8-13 hari (masa prapupa). Pra pupa berada dalam kokon yang terbuat dari
tanah atau bagian tanaman. Warna pupa putih kekuningan dengan panjang 5-9 cm
(Gambar 3) (BPTP Yogyakarta, 2005).

Gambar 3. Pupa O. rhinoceros
Sumber: Foto langsung

Universitas Sumatera Utara

Panjang kumbang dewasa 35-45 mm, dengan sayap berwarna hitam
mengkilat kumbang jantan mempunyai tanduk yang membengkok pada

pangkalnya sepanjang 8-10 mm. sedangkan kumbang betina bertanduk lebih
pendek atau hampir tidak bertanduk (Gambar 4). Kumbang dewasa aktif pada
malam hari yaitu pukul 18.00-21.00 dengan jarak terbang sejauh 9 km
(BPTP Yogyakarta, 2005).
Siklus hidup O. rhinoceros berlangsung selama 4-9 bulan, menghasilkan
lebih dari 1 generasi dalam setahun. Daya hidup imago sekitar 3 bulan
(Howard dkk, 2001).

Gambar 4. Imago O. rhinoceros
Sumber: Foto Sendiri

Gejala Serangan

Kumbang dewasa biasanya terbang ke tajuk kelapa pada malam hari, dan
masuk melalui salah satu ketiak pada bagian atas tajuk. Pada dasarnya ketiak
pelepah ketiga, empat atau lima dari pucuk merupakan tempat masuk yang paling
di sukai. Jika tanaman kelapa baru berumur satu tahun atau kurang, maka titik
masuk pada pangkal batang di permukaan tanah. Setelah kumbang menggerek ke
batang tanaman, kumbang akan memakan pelepah daun muda yang sedang


Universitas Sumatera Utara

berkembang. karena kumbang memakan daun yang masih terlipat, maka bekas
gigitn akan menyebabkan daun seperti tergunting dan jelas terlihat setelah pelepah
daun terbuka (Gambar 5) (Mawikere dkk, 2007).
Kumbang O. rhinoceros merupakan stadia yang merusak tanaman kelapa.
Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke
bagian dalam ketiak pelepah daun yang paling atas. Kumbang menyerang pucuk
dan pangkal daun muda yang belum membuka dengan cara menggerek dan
memakan helaian daun sehingga mengakibatkan daun terpotong-potong/
tergunting membentuk huruf “V” bila telah membuka. Gejala ini merupakan ciri
khas serangan hama O. rhinoceros (Wibawanti, 2011).

Pelepah daun putus

Gambar 5. Gejala Serangan O. rhinoceros
Sumber: www.google.com

Universitas Sumatera Utara


Metode Pengendalian O. rhinoceros

Pengendalian terhadap hama O. rhinoceros dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu:
1. Sanitasi
Membersihkan tempat perkembangbiakan larva O. rhinoceros seperti
tanaman mati membusuk, tunggul kelapa dipotong-potong kemudian dibakar
agar tidak menjadi sarang O. rhinoceros
2. Mekanis
Mengumpulkan larva/pupa kemudian dimusnahkan dan menebang serta
memusnahkan pohon yang telah mati.
3. Kultur Teknis
Batang yang tidak dimanfaatkan ditutup dengan tanaman penutup tanah
seperti Centrosema pubescens atau Pueraria phaseoloides.
4. Biologi
Menggunakan jamur antagonis Metarhizium anisopliae. Jamur ini tidak
hanya efektif untuk mengendalikan larva namun juga dapat menginfeksi
kumbang. Selain itu juga bisa menggunakan Baculovirus oryctes.
5. Penggunaan Feromon
Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada

pasangan

seksualnya,

mangsanya,

tanaman

inang

dan

tempat

berkembangbiaknya. Komponen utama feromon sintetis O. rhinoceros adalah
etil-4 metil oktanoat. Penggunaan feromon akan optimal apabila dipadukan
dengan komponen pengendalian lainnya.
(Wibawanti, 2011).

Universitas Sumatera Utara


Biologi Steinernema spp.

Klasifikasi Steinernema spp. menurut Hunt (2007) adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Nematoda

Class

: Secermenteae

Ordo

: Rhabditida


Family

: Steinernematidae

Genus

: Steinernema

Spesies

: Steinernema spp.

Steinernematidae memiliki kutikula yang halus dibagian lateralnya,
esophagus memiliki tiga bagian termasuk metacorpus dan menyebabkan warna
karamel hingga coklat tua pada uji kutikula serangga inang. Panjang tubuhnya
berkisar antara 221-676 μm dengan lebar 19-28 μm. Lubang eksretori dan nerve
ring larva infektif di bagian anterior. Setelah dewasa jantan memiliki testis
tunggal, sepasang spikula dan terdapat gubernaculums (Erningtyas, 2006).
Menurut Tanada dan Kaya (1993) jenis kelamin nematoda biasanya
terpisah. Jantan memiliki sistem reproduksi yang berkembang masuk ke rektum

dan membentuk kloaka. Jantan dewasa dicirikan dengan keberadaan satu atau dua
testis dan spikula yang bergabung dengan kloaka, sedangkan betina sistem
reproduksinya tersusun atas satu atau dua ovari dan vulva yang terletak ventral
(Widianingsih dkk, 2009).
Steinernema jantan mempunyai panjang tubuh 1000 – 1900 μm, lebar
90 – 200 μm, panjang stoma 4,5 – 7 μm, lebar stoma 4 – 5 μm, panjang ekor
19 – 27 μm, panjang spikula 72 – 89 μm, gubernakulum 57 – 70 μm, panjang

Universitas Sumatera Utara

mucron 2,8 – 4,5 μm. Steinernema betina, panjang tubuh 3020 – 3972 μm, lebar
153 – 192 μm, panjang stoma 7 – 12 μm, lebar stoma 5,0 – 8,5 μm, panjang ekor
30 – 47 μm, lebar vulva 49 – 54 μm. Untuk stadia ‘Infective juvenile” : panjang
tubuh 500 – 570 μm, lebar 15 – 25 μm, panjang ekor 47 – 54 μm (Stock, 1993).
Nematoda entomopatogen terdiri atas 2 famili penting yaitu famili
Steinernematidae yang terdiri atas 2 genus yaitu Steinernema dan Neosteinernema
dan famili Heterorhabditidae yang mempunyai 1 genus yaitu Heterorhabditis.
Juvenil infektif (JI) dari genus Steinernema mempunyai panjang total tubuh
berkisar 700 μm dan terdiri atas 25 spesies (Adams dan Nguyen, 2002).
Menurut Tanada dan Kaya (1993) di dalam perkembangannya, nematoda

entomopatogen Steinernema spp. mempunyai siklus hidup sebagai berikut : telur,
juvenil dan dewasa. Sebelum mencapai dewasa, nematoda entomopatogen ini
akan mengalami empat kali ganti kulit, baik yang terjadi di dalam telur, dalam
lingkungan atau di dalam tubuh inangnya (Widianingsih dkk, 2009).
Siklus hidup Steinernema spp. ini dapat juga dibagi dalam siklus
reproduktif dan infektif. Stadium infektif nematoda dinamakan juvenil infektif
(JI). Juvenil nematoda yang infektif adalah J3, masuk ke dalam serangga lewat
lubang-lubang alami (mulut, spirakel dan anus) dan penetrasi ke dalam homocoel.
J3 ini dalam tubuhnya membawa simbion mutualistik bakteri Xenorhabdus spp.
Bakteri masuk dalam body cavity (lubang dalam tubuh) serangga, berbiak dan
mampu membunuh serangga dalam waktu 48 jam. Nematoda kemudian memakan
sisa-sisa tubuh serangga yang sudah mati (oleh bakteri) kemudian berbiak dan
berpencar (Uhan, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Steinernema spp. dasarnya mempunyai stadia utama dari perkembangan
telur, juvenil dan dewasa. Secara morfologis larva infektif (Juvenil 3 atau J3)
teradaptasi untuk tetap hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan sambil
menunggu serangga inang. Pada umumnya mengalami empat kali pergantian kulit

sebelum mencapai dewasa dan pergantian kulit dapat saja terjadi di dalam telur, di
lingkungan

dan

di

dalam

tubuh

serangga

inangnya

(Kaya dan Gaugler, 1993 dalam Erningtyas, 2006).

Gambar 6. Siklus hidup Steinernema spp. (Poinar 1990 dalam Arinana, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Dalam rangka untuk menyergap mangsa, beberapa spesies Steinernema
mengejapkan mata, atau mengangkat tubuh mereka dari permukaan tanah
sehingga mereka lebih siap untuk memparasit serangga lewat, yang ukurannya
jauh lebih besar (Campbell dan Lewis, 2002 )
Ada beberapa strategi NEP dalam mencari inangnya (foraging behaviour)
antara lain :
1) Teknik Ambushers, contohnya Steinernema carpocapsae dan S. scapterisci
yang menggunakan strategi "diam dan menunggu". Strategi ini adalah untuk
menyerang serangga sangat mobile sehingga akan mudah terinfeksi oleh
jenis NEP ini. Strategi ambushers umumnya efektif dalam menginfeksi
serangga yang berada di permukaan tanah.
2) Teknik Cruiser, contohnya nematoda Steinernema glaseri dan S. kraussei .
Strategi ini adalah dengan cara NEP bergerak aktif dalam mencari inang
yang mempunyai kecenderungan diam atau tidak bergerak aktif dan NEP
akan cenderung menyebar ke seluruh tanah. Strategi Cruiser biasanya lebih
merespon karbon dioksida yang dilepaskan oleh serangga inang sebagai
isyarat.
3) Strategi Intermediate atau strategi gabungan antara Ambusher dan Cruiser,
contohnya Steinernema feltiae dan S.riobrave. NEP yang menggunakan
strategi ini

akan menyerang inang baik yang bergerak aktif atau

diam/kurang aktif bergerak, dan yang berada dipermukaan tanah maupun
yang ada jauh di dalam tanah.
(Campbell dan Lewis, 2002 )

Universitas Sumatera Utara

Gejala Serangan Steinernema spp.

Patogenitas nematoda entomopatogen Steinernema spp.

terjadi karena

adanya simbiosis mutualistik dengan bakteri Xenorhabdus spp. Kompleks
simbion bakteri-nematoda entomopatogen dapat menghancurkan sistem kekebalan
serangga inang dengan toksin yang di hasilkannya, dimana bakteri berbiak dengan
cepat menghasilkan toksin dalam hemolimfa serangga hingga fase stasioner.
Jaringan serangga akan terurai oleh toksin, hingga menyebabkan kematian
serangga dalam kurun waktu 24-48 jam (Burnell dan Stock, 1999).
Setelah nematoda melakukan penetrasi ke dalam tubuh larva, sistem
pencernaan nematoda yang semula tertutup mulai aktif membuka dan
mengeluarkan bakteri simbion ke dalam haemolympa yang mengakibatkan
kematian pada serangga hama akibat toksin intraseluler dan ekstraseluler yang
dihasilkan

oleh

bakteri

simbion

dalam

waktu

24–48

jam

(Chaerani dan Nurbaeti,1996).
Setelah masuk tubuh serangga, Steinernema spp. akan melepaskan bakteri
Xenorhabdus spp yang dapat membunuh serangga dengan cepat dan membuat
kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan reproduksi nematoda di dalam tubuh
serangga yang mati (Korlina, 2011).
Bakteri simbion mampu memproduksi senyawa antimikroba seperti
antibiotik, bakteriosin, dan fages yang dapat menghambat perkembangan
mikroorganisme

sekunder

yang

ada

di

dalam

tubuh

serangga

inang

(Boemare et al., 1996). Menurut Ehlers (1996) selama perbanyakan nematoda,
cadangan makanan di dalam bangkai serangga menurun sampai terbentuk dauer

Universitas Sumatera Utara

juvenil,

kemudian

bakteri

disimpan

kembali

oleh

dauer

juvenil

(Widianingsih dkk, 2009).
Senyawa antimikroba ini mampu menghasilkan lingkungan yang sesuai
untuk reproduksi nematoda dan bakteri simbionnya sehingga mampu menurunkan
dan mengeliminasi populasi mikroorganisme lain yang berkompetisi mendapatkan
sumber makanan di dalam serangga mati. Keadaan demikian memungkinkan
nematoda

entomopatogen

meminimalkan

menyelesaikan

terjadinya

siklus

pembusukan

perkembangannya
serangga

dan

inangnya

(Burnell dan Stock, 2000).
Menurut Sulistyanto (1999) meskipun toksin yang dikeluarkan bakteri
simbion memiliki peranan penting dalam meracuni serangga inang namun
simbiosis antara bakteri dan nematoda merupakan syarat mutlak yang hampir
tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Dalam hal ini bakteri tidak pernah dapat
masuk ke dalam tubuh serangga inang tanpa nematoda. Sehingga antara bakteri
simbion

dan

nematoda

saling

menguntungkan

satu

dengan

lainnya

(Erningtyas, 2006).
Gejala

serangan

terhadap

inang

yang

mati

karena

serangan

Steinernema spp. dengan bakteri simbionnya Xenorhabdus spp., dapat dikenali
dengan adanya perubahan warna menjadi hitam kecoklatan/karamel, karena
pigmen yang dihasilkan oleh bakteri pada serangga inangnya. (Zahro’in, 2010).
Tubuh larva yang mati berwarna coklat karamel, lunak, tidak berbau busuk
dan apabila dibedah didalamnya terdapat nematoda. Warna coklat karamel pada
tubuh serangga menunjukkan ciri khas serangan dari nematoda entomopatogen
Steinernema spp. (Nugrohorini, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Menurut

Boemare

dkk

(1996),

gejala

hama

yang

terinfeksi

Steinernema spp. berwarna kecoklatan/karamel karena bakteri Xenorhabdus spp.
yang bersimbiosis dengan nematoda Steinernema spp. menghasilkan enzim
lekitinase, protease serta entomotoksin (eksotoksin dan endotoksin) yang
mempengaruhi proses kematian pada hama. Bakteri Xenorhabdus spp. termasuk
bakteri gram negatif, katalase negatif dan bioluminenscens negatif sehingga gejala
larva yang terinfeksi nematoda Steinernema spp. berwarna kecoklatan/karamel.
Menurut Jarozs (1996) tidak adanya bau busuk pada larva yang terserang
nematoda Steinernema spp. diduga karena adanya aktifitas antibiotik yang
dihasilkan

bakteri

Xenorhabdus

spp.

dan

dapat

menghambat

aktifitas

mikroorganisme lain (Nugrohorini, dkk, 2009).
Setelah larva mati, nematoda memperbanyak diri dengan memanfaatkan
nutrisi yang ada di dalam tubuh larva tersebut. Selanjutnya induk nematoda
menghasilkan 2-3 generasi baru di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi
di dalam tubuh larva tersebut habis maka nematoda melakukan migrasi dengan
cara keluar dari tubuh larva dan mencari inang lain (Wibawanti, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi patogenitas Steinernema spp.

Faktor penentu patogenitas nematoda entomopatogen terletak pada bakteri
mutualistiknya, yaitu dengan diproduksinya toksin intraseluler dan ekstraseluler
yang dihasilkan bakteri dalam waktu 24-48 jam (Kaya dan Gaugler, 1993),
sedangkan menurut Akhrust dan Boemere (1990) patogenitas Xenorhabdus
bergantung pada kemampuan masuknya nematoda ke hemocoel serangga inang,

Universitas Sumatera Utara

juga kemampuan bakteri memperbanyak diri di haemolimpa serta kemampuannya
untuk melawan mekanisme pertahanan serangga inang (Uhan, 2008).
Patogenitas nematoda secara umum melalui beberapa tahap antara lain
invasi, evasi dan toksikogenitas. Tahapan tersebut di atas akan dilalui secara
berurutan, mulai saat nematoda berhasil mempenetrasi serangga inang hingga
bakteri simbion nematoda keluar menuju bagian dalam tubuh serangga. Masingmasing tahapan tersebut sangat di pengaruhi oleh enzim, pH, suhu dalam tubuh
serangga, dan suhu lingkungan (Erningtyas, 2006).
Nematoda tidak tahan terhadap faktor luar (kekeringan dan ultraviolet).
Untuk dapat berkembang dengan baik nematoda entomopatogen memerlukan
lingkungan fisik dan biotik yang mendukung kehidupannya. Nematoda ini
memiliki ketahanan yang rendah terhadap lingkungan fisik yang ekstrim,
khususnya kelembaban, kekeringan, cahaya matahari, dan suhu. Menurut
Molyneux (1985) umumnya batas suhu terendah untuk Steinernema masih tetap
aktif berkisar antara 4-14o C (Uhan, 2008).
Suhu lingkungan yang kurang menguntungkan akan menggagalkan proses
penetrasi nematoda ke dalam tubuh serangga, dan akan menyebabkan nematoda
mengalami kematian (Griffin, 1996). Demikian pula dengan pH dalam tubuh
serangga yang tidak mendukung perkembangbiakan bakteri simbion nematoda
akan menghambat perkembangbiakan bakteri simbion nematoda dalam tubuh
serangga inang (Schiroki dan Hague, 1997). Menurut Strauch dan Ehlers (1998)
perkembangbiakan bakteri simbion yang lambat juga akan memperlambat
kematian serangga inang (Arinana, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Kematian larva lebih banyak di tentukan oleh aktivitas bakteri simbion
sehingga sejumlah kecil nematoda yang masuk sudah dapat menyebabkan
kematian larva (Uhan, 2008).
Shannag dan Capinera (1995) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
kepadatan populasi nematoda menyebabkan semakin tinggi pula efektivitas
nematoda entomopatogen dalam mengendalikan serangga hama.

Potensi Steinernema spp. Sebagai Agens Pengendali Hayati

Menurut Gaugler dan Kaya (1990) komplek simbiosis nematoda
entomopatogen-bakteri simbion sangat ideal dikembangkan sebagai agensia
pengendalian hayati serangga hama, karena beberapa faktor yang menguntungkan,
antara lain : aktif mencari mangsa, memiliki virulensi tinggi, kisaran inang luas,
mudah dibiakkan di media buatan, mudah diaplikasikan, tidak bersifat racun
terhadap lingkungan, dan bersifat kompatibel dengan beberapa jenis pestisida
sintetik (Suryadi, dkk, 2008).
Weiser (1991) juga mengemukakan bahwa nematoda entomopatogen
merupakan parasit yang potensial bagi serangga-serangga yang hidup di dalam
tanah atau di atas permukaan tanah. Kelebihan lain menurut Ehlers (1996) yaitu
nematoda entomopatogen dapat membunuh inangnya dengan cepat (24–72 jam),
mempunyai kisaran inang yang luas, tidak berbahaya bagi organisme bukan
sasaran, dapat diproduksi secara masal baik dalam media in vitro maupun in vivo
dengan biaya yang relatif murah, dapat diaplikasikan dengan mudah, serta
kompatibel dengan agens pengendali hayati lain (Nugrohorini, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Poinar (1979) melaporkan bahwa nematoda entomopathogenik dari
kelompok Steinernematidae dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai
hama. Serangga yang terserang oleh nematoda akan mati dua sampai tiga hari
setelah terjadi infestasi (Subagya, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shannag dan Capinera (1995)
diketahui bahwa nematoda Steinernema spp. dapat menyebabkan mortalitas pada
ulat melon (Diaphania hyalinata L.). Uhan dan Sastrosiswojo (1996) melaporkan
bahwa di sentra produksi tanaman sayuran dataran tinggi ditemukan nematoda
yang

dapat

Crocidolomia

membunuh
pavonana,

hama-hama
Plutella

dari

xylostella

golongan
L.,

Lepidoptera,

Helicoverpa

yaitu

armigera,

Spodoptera sp., dan Agrotis ipsilon (Uhan, 2005).
Pengujian di laboratorium yang dilakukan dengan metode kertas saring
dalam cawan petri, memberikan hasil bahwa nematoda entomopatogen
Steinernema feltiae dapat mematikan serangga Otiorhynchus sulcatus dengan
LD50 = 40 juvenil infektif (JI), sedangkan nematoda S. rudividae dapat
mematikan serangga yang sama dengan LD50 = 250 JI. Steinernema spp. lebih
efektif untuk mengendalikan larva dari ordo Lepidoptera (LD50 = 50 JI)
(Uhan, 2005).
Nematoda entomopatogen sangan potensial mengendalikan serangga hama
ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera (Nugrohorini dan Windriyanti, 2009).
Klein (1990) melaporkan bahwa pada kepadatan populasi 250 JI/ml,
S. carpocapsae dapat menyebabkan mortalitas C. borealis sebesar 48%. Menurut
Poinar (1979), S. anomali pada kepadatan 200–400 JI/ml dapat menyebabkan
mortalitas Anomala dubia sebesar 24–60%. Epsky dan Capinera (1994)

Universitas Sumatera Utara

menyatakan bahwa Steinernema spp. pada kepadatan populasi 800 JI/ml dengan
media tanah pasir dalam cawan petri dapat menyebabkan mortalitas larva
Spodoptera litura instar ke-3 sebesar 100% (Uhan, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) pada Musim Hujan di Kebun Rambutan PTPN III

7 84 51

Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang Tanduk (Oryctes Rhinoceros L.) Pada Musim Hujan Di Kebun Rambutan PTPN III

8 63 50

Uji Efektifitas Jamur Cordycep militaris Terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium

4 83 57

Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)

4 85 66

Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium

5 24 68

Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium

0 2 11

Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium

0 0 2

Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium

0 0 3

Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium

0 1 5

Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium

0 0 18