Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)

(1)

KAJIAN KEMAMPUAN MENYEBAR KUMBANG TANDUK

(Oryctes rhinoceros L.) BERDASARKAN ARAH MATA ANGIN

(UTARA-SELATAN) PADA AREAL PERTANAMAN KELAPA

SAWIT (Elais guinensis Jacq.)

SKRIPSI

OLEH

DEWI HANDAYANI S 060302025

HPT

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

KAJIAN KEMAMPUAN MENYEBAR KUMBANG TANDUK

(Oryctes rhinoceros L.) BERDASARKAN ARAH MATA ANGIN

(UTARA-SELATAN) PADA AREAL PERTANAMAN KELAPA

SAWIT (Elais guinensis Jacq.)

SKRIPSI

OLEH

DEWI HANDAYANI S. 060302025

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana

Di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ir. Mena uly Tarigan, MS

Ketua Anggota

Ir. Marheni, MP

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

ABSTRACT

Dewi Handayani Sinulingga, "Dispersing Capabilities Study Horn Beetle

(Oryctes rhinoceros L.) Based Eye Direction Wind (North-South) on oil palm plantation area (Elais guinensis Jacq.)" Under the guidance of Mena Uly Tarigan and Marheni. Oryctes rhinoceros is a pest of oil palm plantations are mostly found in areas of immature (TBM). This study aims to determine the spread of Oryctes rhinoceros in immature (TBM) that uses cover crops Mucuna bracteata. The experiment was conducted in Afdeling VII Kebun Rambutan, starting in July-September 2010. The study uses the relationship between correlation and regression to the direction of north and south the realase beetle.

The results showed that the wind, humidity and rainfall affect the number of beetles caught. Beetles caught more female than male beetles, beetle tail that is 29 females and 20 male beetles tail. the highest number of beetles caught in the trap is first in the south that is as much as 17 tails, while the lowest number of beetles caught in traps are both in the north even as many as 7 heads.


(4)

ABSTRAK

Dewi Handayani Sinulingga, “Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang

Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)” di bawah bimbingan Mena Uly Tarigan dan Marheni. Oryctes rhinoceros merupakan hama tanaman kelapa sawit yang banyak menyerang di areal tanaman belum menghasilkan (TBM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran Oryctes rhinoceros pada tanaman belum menghasilkan (TBM) yang menggunakan tanaman penutup tanah Mucuna bracteata. Penelitian dilaksanakan di afdeling VII Kebun Rambutan, mulai bulan Juli-September 2010. Penelitian ini menggunakan hubungan antara korelasi dan regresi dengan arah pelepsan kumbang utara dan selatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa angin, kelembaban dan curah hujan berpengaruh terhadap jumlah kumbang yang tertangkap. Kumbang betina lebih banyak tertangkap daripada kumbang jantan yakni 29 ekor kumbang betina dan 20 ekor kumbang jantan. Jumlah kumbang tertangkap yang tertinggi adalah pada perangkap pertama di arah selatan yaitu sebanyak 17 ekor, sedangkan jumlah kumbang tertangkap yang terendah adalah pada perangkap kedua di arah utara yaitu sebanyak 7 ekor.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Dewi Handayani Sinulingga lahir pada tanggal 14 Januari 1988 di Desa

Lingga dari Ayahanda T. Sinulingga dan Ibunda L. br Ujung. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

- Lulus dari Sekolah Dasar Negeri No 033915 Pasi, Sidikalang pada tahun 2000 - Lulus dari MTsN Kabanjahe pada tahun 2003.

- Lulus dari SMA Negeri 2 Kabanjahe pada tahun 2006.

- Pada tahun 2006 diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan melalui jalur PMDK.

Penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu menjadi anggota IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman) tahun 2006-2010, menjadi anggota KOMUS HPT (Komunikasi Muslim HPT), menjadi Asisten Dasar Perlindungan Tanaman tahun 2007/2008, 2008/2009, 2009/2010, menjadi asisten Dasar Perlindungan Hutan 2008/2009, menjadi asisten Mikrobiologi Pertanian 2008/2009, pernah mengikuti Seminar Ilmiah dengan tema “Dengan Pertanian Berkelanjutan Kita Wariskan Kehidupan Berwawasan Lingkungan” dan Seminar “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional”. Penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTPN III Afdeling VII Kebun Rambutan, Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2010 dan melaksanakan penelitian skripsi di Afdeling VII Kebun Rambutan pada bulan Juli-September 2010.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat meyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini berjudul, ‘ Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang

Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)’, merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh

gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing Ir. Mena Uly Tarigan, MS selaku Ketua dan Ir. Marheni, MP selaku Anggota

yang telah memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, November 2010


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRACT... i

ABSTRAK………... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... iv

DAFTAR ISI………... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 5

Hipotesis Peneliti……….. 5

Kegunaan Penelitian………. 5

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Tanduk O.rhinoceros……….. 6

Gejala Serangan Kumbang Tanduk O.rinoceros………... 10

Metode Pengendalian... 13

Perangkap Feromon (ethyl -4 methyloctanoate)... 15

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Serangga... 16

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Populasi... 21

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian... 23

Bahan dan Alat... 23

Metode Penelitian ... 23

Metoda Pelaksanaan... 24

Pemasangan perangkap……… 24

Penempatan Perangkap……… 25

Pelepasan Oryctes rhinoceros... 26

Pengamatan ... 27

Peubah Amatan ... 27


(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor yang mempengaruhi penyebaran serangga pada

setiap jarak Pelepasan………... 28 Korelasi antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Selatan)... 29 Korelasi antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Utara)……… 30 Persentase kumbang sampel yang tertangkap……… 31 Persentase Kumbang Betina dan Jantan Sampel yang Tertangkap……… 33 Persentase kumbang lain yang tertangkap... 35

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan……… 38 Saran………. 38


(9)

DAFTAR TABEL

No. Keterangan Hlm.

1. Faktor yang mempengaruhi penyebaran kumbang 28 setiap jarak pelepasan

2. Korelasi antara jumlah serangga dengan jarak ferotrap 29 di arah selatan

3. Korelasi antara jumlah serangga dengan jarak ferotrap 30 di arah selatan

4. Persentase kumbang sampel yang tertangkap 31 5. Persentase kumbang sample betina dan jantan yang 33

tertangkap pada Ferotrap

6. Persentase kumbang betina dan jantan lain yang 35 tertangkap pada Ferotrap


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan Hlm.

1. Gambar 1. Telur Oryctes rhinoceros 7

2. Gambar 2. Larva Oryctes rhinoceros 8

3. Gambar 3. Pupa Oryctes rhinoceros 9

4. Gambar 4. Imago Oryctes rhinoceros 10

5. Gambar 5. Gejala Serangan Oryctes rhinoceros 12

6. Gambar 6. Ferotrap di Lapangan 16

7. Gambar 7. Periringan Serangga 24

8. Gambar 7. Perangkap Feromon 25

9. Gambar 8. Denah Lokasi Pemasangan Perangkap 26 dan pelepasan kumbang


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Keterangan Hlm.

1. Denah Lokasi Pemasangan Perangkap dan pelepasan kumbang 38

2. Peta Lokasi Kajian Penelitian 39

3. Data Penelitian 40

4. Korelasi Jumlah kumbang yang Tertangkap dengan Arah 42 Penyebaran Kumbang (Selatan)

5. Korelasi Jumlah kumbang yang Tertangkap dengan Arah 42 Penyebaran Kumbang (Utara)

6.

Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 43 yang Tertangkap pada Arah Utara (200m)

7.

Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 45 yang Tertangkap pada Arah Utara (400m)

8.

Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 47 yang Tertangkap pada Arah Selatan (200m)

9. Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 49 yang Tertangkap pada Arah Selatan (400m)

10.

Plank Penelitian 51

11.

Ferotrap 51

12. Kegiatan Penelitian 51


(12)

ABSTRACT

Dewi Handayani Sinulingga, "Dispersing Capabilities Study Horn Beetle

(Oryctes rhinoceros L.) Based Eye Direction Wind (North-South) on oil palm plantation area (Elais guinensis Jacq.)" Under the guidance of Mena Uly Tarigan and Marheni. Oryctes rhinoceros is a pest of oil palm plantations are mostly found in areas of immature (TBM). This study aims to determine the spread of Oryctes rhinoceros in immature (TBM) that uses cover crops Mucuna bracteata. The experiment was conducted in Afdeling VII Kebun Rambutan, starting in July-September 2010. The study uses the relationship between correlation and regression to the direction of north and south the realase beetle.

The results showed that the wind, humidity and rainfall affect the number of beetles caught. Beetles caught more female than male beetles, beetle tail that is 29 females and 20 male beetles tail. the highest number of beetles caught in the trap is first in the south that is as much as 17 tails, while the lowest number of beetles caught in traps are both in the north even as many as 7 heads.


(13)

ABSTRAK

Dewi Handayani Sinulingga, “Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang

Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)” di bawah bimbingan Mena Uly Tarigan dan Marheni. Oryctes rhinoceros merupakan hama tanaman kelapa sawit yang banyak menyerang di areal tanaman belum menghasilkan (TBM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran Oryctes rhinoceros pada tanaman belum menghasilkan (TBM) yang menggunakan tanaman penutup tanah Mucuna bracteata. Penelitian dilaksanakan di afdeling VII Kebun Rambutan, mulai bulan Juli-September 2010. Penelitian ini menggunakan hubungan antara korelasi dan regresi dengan arah pelepsan kumbang utara dan selatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa angin, kelembaban dan curah hujan berpengaruh terhadap jumlah kumbang yang tertangkap. Kumbang betina lebih banyak tertangkap daripada kumbang jantan yakni 29 ekor kumbang betina dan 20 ekor kumbang jantan. Jumlah kumbang tertangkap yang tertinggi adalah pada perangkap pertama di arah selatan yaitu sebanyak 17 ekor, sedangkan jumlah kumbang tertangkap yang terendah adalah pada perangkap kedua di arah utara yaitu sebanyak 7 ekor.


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacg) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika selatan yaitu Brazil kerena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil jika dibandingkan dengan di Afrika. Pada kenyataanya tanaman kelapa sawit hidup subur diluar daerahnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand dan Papua nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi perhektar yang lebih tinggi (Fauji dkk, 2005).

Sejarah dari budidaya kelapa sawit di Indonesia telah lama berlangsung lebih dari 150 tahun. Budidaya kelapa sawit saat ini menghadapi masalah yang cukup pelik yaitu adanya gangguan hama dan penyakit. Oryctes rhinoceros merupakan hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan khususnya di areal replanting yang saat ini sedang dilakukan secara besar-besaran di Indonesia. Hal ini disebabkan di areal replanting kelapa sawit banyak tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan sebagai tempat berkembang biak hama ini (PPKS, 2010).

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi ekspor non migas yang terpenting dan memiliki kontribusi yang nyata dalam lingkup regionalmaupun nasional untuk memacuh pertumbuhan ekonomi. Minyak kelapa sawit (crude palm oil) digunakan untuk berbagai keperluan antar lain untuk sebagai bahan makanan, bahan industry, dan kecantikan. Oleh karenanya minyak kelapa sawit


(15)

merupakan produk pertanian yang memiliki prospek yang cerah dimasa yang akan datang (Lubis,1992).

Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) dikenal sebagai hama yang menyerang hampir di seluruh pertanaman kelapa di Indonesia dan merupakan salah satu hama yang paling merusak (Mahmud, 1990). Di Indonesia kerugian yang ditimbulkan akibat serangan kumbang Oryctes sp. cukup tinggi. Di Jawa saja diduga kehilangan produksi per tahun berkisar 10-20 milyar rupiah (Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).

Kumbang tanduk Oryctes rhinoceros merupakan hama utama pertanaman kelapa sawit muda, terutama pertanaman ulang di areal yang sebelumnya terserang berat, tanaman dapat mati. Jika dapat bertahan, maka daya hasil tanaman menurun bahkan saat awal produksinya tertunda (Asri, 2010). Masalah kumbang tanduk saat ini semakin bertambah dengan adanya aplikasi tandan kosong di gawangan maupun pada sistem lubang tanam besar (Susanto, dkk, 2005).

Kumbang O. rhinoceros menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di lapangan sampai berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali di jumpai menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun demikian, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit (TKS) yang lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini sekarang juga dijumpai di areal TM (Utomo, dkk, 2007).

Areal TBM menjadi sasaran utama hama O. rhinoceros dengan pelepah-pelepah muda yang mengering diantara daun-daun tua yang masih hijau (PPKS, 2004). Imago menggerek terutama bagian sisi batang pada pangkal pelepah yang lebih rendah, mencapai langsung titik tumbuh. Imago ini juga


(16)

menyerang pelepah pertama pada mahkota dengan memakan jaringan tanaman yang masih muda sehingga pertumbuhan pelepah baru akan terganggu bentuknya dan mengganggu proses fotosintesis (PPKS, 1996).

Kumbang O. rhinoceros jantan dan betina yang menggerek selalu berpindah-pindah dari pohon yang satu ke pohon sekitarnya sehingga menyebabkan serangan semakin meluas (Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).

Biasanya serangan kumbang O. rhinoceros akan diikuti oleh kumbang

R. ferrugineus atau bakteri ataupun cendawan, sehingga terjadi pembusukan yang

berkelanjutan. Keadaan seperti ini tanaman mungkin menjadi mati atau terus hidup dengan gejala pertumbuhan yang tidak normal (PPKS, 2004).

Kumbang terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai agak malam (sampai dengan pukul 21.00 wib), dan jarang dijumpai pada waktu larut malam. Dari pengalaman diketahui, bahwa kumbang banyak menyerang kelapa pada malam sebelum turun hujan. Keadaan tersebut ternyata merangsang kumbang untuk keluar dari persembunyiannya (PPKS, 2004). Pada kelapa sawit yang ditanam pada tahun-tahun pertama, seekor kumbang tanduk meyerang sebatang pohon selama 4-6 hari sebelum ia pindah menyerang pohon lain. Akibatnya walaupun populasi yang kecil saja, tetapi populasi itu dapat menyebabkan kerusakan besar pada kelapa sawit (PPKS, 1996).

Setiap hama mempunyai musuh alami yang dapat berupa parasit, predator (pemangsa) atau penyakit. Kalau musuh-musuh alami ini tidak cukup banyak, maka hama akan mudah berkembang biak (Mahmud, 1990). O. rhinoceros dapat dikendalikan dengan cara fisik, pengutipan langsung, kimia yaitu dengan


(17)

penggunaan pestisida atau dengan biologi yaitu penggunaan

Metharizium anisopliae dan Baculovirus oryctes (PPKS, 2004).

Feromon berperan dalam monitoring populasi hama sebagai bagian penting dalam pengendalian hama secara terpadu serta dapat digunakan dalam pengendalian hama yang berwawasan lingkungan. Penggunaan feromon dalam pengendalian hama O. rhinoceros sudah dilakukan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa feromon agregasi sintetik dapat menangkap kumbang O. rhinoceros betina lebih banyak dibanding kumbang jantan (Alouw, 2007).

Pola penyebaran dan kepadatan serangga di suatu tempat akan berbeda-beda. Penyebaran dan kepadatan serangga dapat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya populasi serangga, perilaku serangga dan tempat hidup (habitat) (Gallangher dan lilies, 1991).

Penyebaran hewan dan tumbuhan di alam ini bukanlah terjadi secara kebetulan namun sebagai hasil interaksi dari pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadapnya. Sebaran geografis suatu organisme antara lain dibatasi oleh

faktor-faktor fisik yaitu suhu, kelembaban udara, cahaya dan tersedianya air (Ysvina, 2010).

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Daya jelajah Oryctes rhinoceros L. pada tanaman belum menghasilkan (TBM).


(18)

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui penyebaran Oryctes rhinoceros pada areal pertanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq.)

Hipotesis Penelitian

1. Diduga adanya perbedaan kumbang O. rhinoceros yang betina dan jantan yang tertangkap.

2. Diduga adanya hubungan antara pengaruh faktor lingkungan terhadap penyebaran Oryctes rhinoceros.

3. Diduga adanya hubungan antara penyebaran O. rhinoceros dengan keadaan areal pertanaman.

Kegunaan Penelitian

• Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.)

Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Coleoptera Famili : scarabaeidae Genus : Oryctes

Spesies : Oryctes rhinoceros L.

Siklus hidup kumbang tanduk bervariasi tergantung pada habitat dan kondisi lingkungannya. Musim kemarau yang panjang dengan jumlah makanan yang sedikit akan memperlambat perkembangan larva serta ukuran dewasa yang

lebih kecil dari ukuran normal. Suhu perkembangan larva yang sesuai adalah 27°C-29°C dengan kelembaban relatif 85-95%. Satu siklus hidup hama ini dari

telur sampai dewasa sekitar 6-9 bulan (Riostone, 2010).

Telur

Kumbang badak betina bertelur di tempat sampah, daun-daunan yang telah membusuk, pupuk kandang serta batang kelapa yang telah membusuk. Jumlah telurnya 30-70 butir atau lebih. Setelah sekitar 12 hari telur akan menetas (Pracaya, 2009).


(20)

Telur berbentuk bulat-lonjong, berwarna putih, berukuran paanjang 3 mm dan lebar 3 mm. Seekor kumbang betina bertelur 35-70 butir. Biasanya telur dijumpai pada sampah-sampah yang sedang membusuk, juga pada pohon kelapa yang mempunyai bekas luka yang sedang membusuk. Stadium telur lamanya ± 12 hari (Setyamidjaja, 1991).

Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian bulat dengan diameter kurang lebih 3 mm. Telur-telur ini diletakkan oleh serangga betina pada tempat yang baik dan aman (misalnya dalam pohon kelapa yang melapuk). Setelah dua minggu telur-telur ini akan menetas. Rata-rata fekunditas seekor serangga betina berkisar antara 49-61 butir telur, sedangkan di Australia berkisar 51 butir telur, bahkan dapat mencapai 70 butir. Stadium telur berkisar antara 11-13 hari, rata-rata 12 hari (Kalshoven, 1981).

Gambar 1. Telur Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung

Larva

Periode larva 2.5-6 bulan (tergantung temperatur dan kelembaban). Setelah dewasa larva akan berhenti makan, kemudian akan mencari tempat

terlindung yang dingin dan lembab untuk persiapan membentuk pupa (Rukmana, 1997).


(21)

Dalam penelitian tentang sensor fisiologi seperti suhu, larva O. rhinoceros tertarik pda suhu 27-29 ºC dan menghindari suhu yang lebih rendah. Tingkah laku larva didominasi oleh faktor cahaya, larva bergerak dipengaruhi oleh cahaya yang muncul secara tiba-tiba. Di lingkungan alami, jika larva ditempatkan pada permukaan medium perkembangbiakan larva akan cepat bergerak turun menjauhi cahaya, larva bergerak mengikuti phototaksis negatif, kemungkinan hal ini merupakan adaptasi untuk menghindar dari pemangsa. Larva tertarik pada kelembaban yang rendah (85-95%) daripada kelembaban tinggi. Mekanisme ini dapat berjalan tunggal atau kombinasi untuk menuntun larva keluar dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan atau perkembangan (Riostone, 2010).

Gambar 2. Larva Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung

Pupa

Ketika akan membentuk pupa, larva meninggalkan sampah dan bergerak ke pinggir atau dasar dari tumpukan sampah dan larva lebih menyukai membentuk kokon di dalam tanah yang lembab, pada kedalaman sekitar 30 cm. Larva dapat mati, jika kondisi untuk membentuk pupa tidak sesuai (Kalshoven, 1981).


(22)

Ukuran pupa lebih kecil dari larvanya, kerdil, bertanduk dan berwarna merah kecoklatan dengan panjang 5-8 cm yang terbungkus kokon dari tanah yang berwarna kuning. Stadia ini terdiri atas 2 fase: Fase I : selama 1 bulan, merupakan perubahan bentuk dari larva ke pupa. Fase II : lamanya 3 minggu, merupakan perubahan bentuk dari pupa menjadi imago dan masih berdiam dalam kokon (Riostone, 2010).

Gambar 3. Pupa Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung

Imago

Kumbang ini berwarna coklat tua mengilap. Panjangnya bisa mencapai ± 5-6 cm. Kumbang yang muncul akan mulai beterbangan pada waktu senja atau

malam hari menuju mahkota daun tanaman kelapa dan ujung batang (Pracaya, 2009). Kumbang tinggal dalam terowongan ± 1 minggu. Bila cukup

makanan, jarak terbangnya dekat. Bila kurang makanan, jarak terbangnya bisa mencapai ± 10 km (Rukmana, 1997).

Imago berwarna hitam, ukuran tubuh 35-45 mm, sedangkan menurut Mohan (2006), imago Oryctes rhinoceros mempunyai panjang 30-57 mm dan lebar 14-21 mm, imago jantan lebih kecil dari imago betina. Oryctes rhinoceros betina mempunyai bulu tebal pada bagian ujung abdomenya, sedangkan yang


(23)

jantan tidak berbulu. O.rhinoceros dapat terbang sampai sejauh 9 km. Imago aktif pada malam hari untuk mencari makanan dan mencari pasangan untuk berkembang biak (Prawirosukarto dkk., 2003 dan Mohan, 2006).

Kumbang Oryctes rhinoceros warnanya hitam, permukaan bagian bawah badannya berwarana hitam kecoklatan, panjang tubuh 34- 45 mm dan lebarnya 20 mm. Culanya yang terdapat pada kepala menjadi ciri khas kumbang ini . Cula kumbang jantan lebih panjang dari cula kumbang betina. Selain itu kumbang ini mempunyai mandible yang kuat dan cocok untuk melubangi pohon (Borror,1976). Kumbang dewasa betina dapat hidup sampai 274 hari, sedangkan kumbang dewasa jantan dapat hidup sampai 192 hari (PPKS, 2010).

Gambar 4. Imago Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung

Gejala Serangan

Pada tanaman muda kumbang tanduk ini mulai menggerek dari bagian samping bonggol pada ketiak pelepah terbawah, langsung ke arah titik tumbuh kelapa sawit. Panjang lubang gerekan dapat mencapai 4,2 cm dalam sehari.


(24)

Apabila gerekan sampai ke titik tumbuh, kemungkinan tanaman akan mati. Pucuk kelapa sawit yang terserang, apabila nantinya membuka pelepah daunnya akan kelihatan seperti kipas atau bentuk lain yang tidak normal atau berbentuk segitiga atau seperti huruf V (Prawirosukarto dkk., 2003).

Pada pohon kelapa mempunyai ciri kerusakan yang khas yaitu daun sebagian hilang dan bila membuka daun kelapa nampak berbentuk seperti kipas/ada deretan lubang-lubang besar di daun. Bagian yang dirusak hama ini biasanya akan digunakan oleh hama lain untuk menyerang tanaman yang sama, sehingga kerusakan menjadi lebih berat. Jadi kumbang badak sering sebagai pembuka jalan bagi hama lain (Subyanto, 1991).

Pada tanaman yang berumur antara 0-1 tahun, kumbang dewasa (baik jantan maupun betina) melubangi bagian pangkal yang dapat mengakibatkan kematian titik tumbug atau terpuntirnya pelepah daun yang dirusak. Pada tanaman dewasa kumbang dewasa akan melubangi pelepah termuda yang belum terbuka. Jika yang dirusak adalah pelepah daun yang termuda (janur) maka ciri khas bekas kerusakannya adalah janur seperti digunting berbentuk segitiga. Stadium hama yang berbahaya adalah stadium imago (dewasa) yang berupa kumbang (Suhardiyono, 1995).

Serangga dewasa dapat menyebabkan kerusakan dengan melubangi pangkal daun tombak dan jaringan leher akar, pohon muda akan mati jika titik tumbuhnya dirusak, kerusakan pada daun tombak biasanya mengakibatkan malformasi. Serangan yang berulang-ulang akan menyebabkan pertumbuhan terhambat dan saat menjadi dewasa menjadi terlambat. Masa paling kritis adalah dua tahun pertama setelah tanam dilapangan. Tanaman menjadi lebih tahan


(25)

terhadap serangan Oryctes rhinoceros jika kanopi telah saling menutup. Pada

tanaman menghasilkan jarang menimbulkan masalah (http://membangunkebunkelapasawit.webs.com).

Imago menggerek bagian pangkal daun pucuk bahkan sampai ke titik tumbuh sehingga daun yang keluar menjadi lebih pendek, patah dan bentuknya berubah. Imago menggerek untuk mendapatkan cairan dari jaringan bekas gereken. Setelah menggerek, imago betina menuju tempat yang cocok untuk meletakkan telur yaitu pada bahan material yang baru mulai membusuk. Imago jantan hanya mengikuti imago betina menuju ke lubang makan (Rahayuwati, dkk, 2002).

Kumbang dewasa terbang ketajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke dalam bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah daun yang paling atas. Kumbang merusak pelepah daun yang belum terbuka dan dapat menyebabkan pelepah patah. Kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf V.

Gejala ini merupakan ciri khas serangan kumbang O. rhinoceros (Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).

Tunas tanaman di pembibitan menjadi kering karena gerekan dibagian pangkalnya. Areal TBM menjadi sasaran utama serangan hama dengan pelepah-pelepah muda yang mengering diantara daun-daun tua yang masih hijau. Adanya lubang bekas gerekan kumbang pada bagian pangkal pelepah muda tanaman. Pelepah daun terlihat terpuntir sehingga posisinya tampak tidak beraturan (PPKS, 2010).


(26)

Gambar 5. Gejala serangan pada Tanaman Belum Menghasilkan

Sumber: Foto Langsung

Metode Pengendalian

Kumbang badak tidak bisa terbang jauh, kisaran penerbangan 200 yard dari tempat pembibitan. Metode pengendalian adalah berburu pada tempat-tempat pembiakan, membunuh kumbang dalam tahap muda, larva, kemudian pastikan bahwa tidak ada kumbang lain yang dapat berkembang biak di sana. Kumbang betina bertelur pada semua jenis vegetasi yang membusuk, pupuk kandang, kompos, dan terutama di batang kelapa mati (Piggot, 1964).

Pengendalian biasanya dilakukan dengan menangkap kumbang setiap hari atau aplikasi insektisida setiap minggu. Biaya operaional teknik ini sangat tinggi. Sebagai alternatif, daya tarik ethyl 4-metyloctanoate, komponen utama feromon O. rhinoceros terhadap kumbang ini telah di uji (Asri, 2010).

Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah penggunaan perangkap feromon. PPKS saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat (dengan nama dagang Feromonas) untuk menarik kumbang jantan maupun betina. Feromon agregat ini berguna sebagai alat kendali populasi hama dan sebagai


(27)

perangkap massal. Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros dengan menggunakan ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (PPKS, 2010).

Pengendalian O. Rhinoceros pada saat telah terjadi serangan di tanaman belum menghasilkan (TBM) dapat dilakukan dengan cara menggunakan feromon. Feromon diletakkan pada posisi di pinggiran seluruh areal tanaman baru atau tanaman muda., sehingga O.rhinoceros yang ada di dalam areal akan berpindah ke pinggiran areal tempat feromon dipasang. Sementara untuk serangan O.rhinoceros dari luar areal TBM akan tertahan juga pada pinggiran areal (Pasaribu, 2005).

Penggunaan feromon dapat menurunkan populasi O. rhinoceros di lapangan, 5-27 ekor kumbang per hektar dapat terperangkap setiap bulan (APCC, 2006). Kumbang O. rhinoceros berbahaya pada tanaman kelapa, lima ekor kumbang (dalam tahap makan) per hektar dapat mematikan setengah dari tanaman yang baru ditanam (Balitka, 1989). Oleh sebab itu penggunaan feromon dapat menyelamatkan tanaman kelapa dari ancaman kehilangan produksi bahkan kematian tanaman. Penggunaan perangkap feromon dapat menurunkan populasi hama dan tingkat kerusakan hama sampai batas tidak merugikan serta menurunkan penggunaan insektisida dan kerusakan lingkungan (Roelofs, 1978). Di samping itu, feromon dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan penggunaan virus di lokasi-lokasi pelepasan virus untuk mengendalikan O. rhinoceros (APCC, 2006).

Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah penggunaan perangkap feromon. PPKS saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat (dengan nama dagang Feromonas) untuk menarik kumbang jantan maupun betina. Feromon agregat ini berguna sebagai alat kendali populasi hama dan sebagai


(28)

perangkap massal. Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros dengan menggunakan ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (PPKS, 2009). Pengendalian dengan menggunakan feromon untuk mengendalikan populasi hama O.

rhinoceros sudah dilakukan oleh beberapa negara antara lain Filipina, Malaysia,

Srilanka, India, Thailand dan Indonesia (APCC 2005a, 2005b). Hal ini dilakukan mengingat O. rhinoceros adalah hama yang berbahaya baik pada tanaman kelapa yang masih di pembibitan sampai tanaman dewasa (Singh and Rethinam, 2005).

Perangkap Feromon (etil-4 metil oktanoate)

Feromon adalah substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke lingkungannya yang memampukan organisme tersebut mengadakan komunikasi secara intraspesifik dengan individu lain. Feromon bermanfaat dalam monitoring populasi maupun pengendalian hama. Di samping itu feromon bermanfaat juga dalam proses reproduksi dan kelangsungan hidup suatu serangga. Keberhasilan penggunaan feromon dipengaruhi oleh kepekaan penerima, jumlah dan bahan kimia yang dihasilkan dan dibebaskan per satuan waktu, penguapan bahan kimia, kecepatan angin dan temperatur (Alouw, 2007).

Feromon terdiri atas asam-asam lemak tak jenuh. Senyawa kimia dengan berat molekul rendah seperti ester, alkohol, aldehida, keton, epoxida, lactone, hidrokarbon, terpen dan sesquiterpene adalah komponen umum dalam feromon (Nation, 2002).

Feromon agregasi adalah jenis feromon yang dikeluarkan untuk menarik serangga jantan maupun betina untuk berkelompok dan jenis feromon ini juga dapat meningkatkan kemungkinan kopulasi di dalam populasi tersebut. Feromon agregasi umumnya diproduksi oleh serangga-serangga dari ordo Coleoptera untuk


(29)

mempertahankan diri terhadap serangan predator dan untuk mengatasi resistensi tanaman inang terhadap serangan kumbang tersebut (Klowden, 2002).

Feromon ini mempunyai bahan aktif Ethyl-4 methyloctanoate dimana bahan aktif ini 10 kali lipat lebih efektif dibandingkan feromon terdahulu yang bahan aktifnya Ethyl chrysanthemumate. Feromon diletakkan dalam ferotrap yaitu menggunakan ember plastik dan perangkap PVC. Satu ferotrap cukup efektif

untuk 2 ha dan kantong feromon sintetik dapat digunakan selama 60 hari (Utomo, dkk, 2007).

Gambar 6. Ferotrap Sumber: Foto langsung

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Serangga

Jika lingkungan cocok dan pakan cukup, kumbang badak terbang dalam jarak yang dekat saja. Namun jika pakan kurang baik kumbang bisa terbang sampai sejauh 10 km (Pracaya, 2007).

a. Angin

Angin berpengaruh terhadap perkembangan hama, terutama dalam proses penyebaran hama tanaman. Misalnya kutu daun dapat terbang terbawa angin sejauh 1.300 km. Kutu loncat (Heteropsylla cubana), penyebarannya dipengaruhi oleh angin. Seperti halnya pada tahun 1986, pernah terjadi letusan hama (outbreak


(30)

atau explosive) kutu loncat lamtoro pada daerah yang luas dalam waktu relatif singkat. Belalang kayu (Valanga nigricornis Zehntneri Krauss), bila ada angin dapat terbang sejauh 3-4 km. Selain mendukung penyebaran hama, angin kencang bisa menghambat bertelurnya kupu-kupu, bahkan sering menimbulkan kematian (Arantha, 2010).

b. Cahaya

Beberapa aktivitas serangga dipengarui oleh responya terhadap cahaya sehingga timbul jenis serangga yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari. Cahaya matahari dapat mempengarui aktifitas dan distribusi lokalnya. Habitat serangga dewasa (imago) dan serangga pradewasa (larva dan pupa) ada yang sama dan ada yang berbeda. Pada ordo lepidoptera, larva aktif makan dan biasanya menjadi hama, sedangkan serangga dewasanya hanya menghisap nectar atau madu bunga. Pada ordo coleoptera, umumnya larva dan imago aktif makan dengan habitat yang sama sehingga kedua-duanya menjadi hama ( Jumar, 2000).

Cahaya mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan, perkembangannya dan tahan kehidupannya serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya mempengaruhi aktifitas serangga, cahaya membantu untuk mendapatkan makanan, tempat yang lebih sesuai. Setiap jenis serangga membutuhkan intensitas cahaya yang berbeda untuk aktifitasnya. Berdasarkan hasl di atas serangga dapat digolongkan :

o Serangga diurnal yaitu serangga yang membutuhkan intensitas cahaya tinggi aktif pada siang hari


(31)

o Serangga krepskular adala serangga yang membutuhkan intensitas cahaya sedang aktif pada senja hari.

o Serangga nokturnal adalah serangga yang membutuhkan intensitas cahaya rendah aktif pada malam hari

o Penelitian menunjukkan bahwa cahaya bulan berpengaruh nyata pada tangkapan lampu perangkap terhadp serangga nokturnal

(Ysvina, 2010).

C. Suhu

Serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia dapat hidup. Diluar kisaran suhu tersebut serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pengaruh suhu ini jelas terlihat pada proses fisiologi serangga. Pada waktu Tertentu

aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu yang lain akan berkurang ( menurun ). Pada umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 15 ºC, suhu optimum 25 ºC dan suhu maksimum 45 ºC. Pada suhu optimum

kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian ( mortalitas ) sebelum batas umur akan sedikit ( Jumar, 2000).

Pengaruh suhu terhadap kehidupan serangga banyak dipelajari di negara beriklim dingin/sedang, dimana suhu selalu berubah menurut musim. Di negara tropika seperti Indonesia keadaanya berbeda, iklimnya hampir sama sehingga variasi suhu relatif kecil. Perbedaan suhu yang nyata adalah karena ketinggian. Serangga adalah organisme yang sifatnya poikilotermal sehingga suhu badan serangga banyak dipengaruhi dan mengikuti perubahan suhu udara. Beberapa aktifitas serangga dipengaruhi oleh suhu dan kisaran suhu optimal bagi serangga bervariasi menurut spesiesnya. Secara garis besar suhu berpengaruh pada


(32)

kesuburan/produksi telur, laju pertumbuhan dan migrasi atau penyebarannya. Kematian serangga dalam hubungannya dengan suhu terutama berkaitan dengan pengaruh batas-batas ekstrim dan kisaran yang masih dapat ditahan serangga (suhu cardinal). Suhu yang sangat tinggi mempunyai pengaruh langsung terhadap denaturasi/ merusak sifat protein yang mengakibatkan serangga mati. Pada suhu rendah kematian serangga terjadi karena terbentukknya kristal es dalam sel (Ysvina, 2010).

d. Kelembaban / Hujan

Kelembaban atau curah hujan merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi, kegiatan, dan perkembangan serangga. Dalam kelembaban yang sesuai serangga biasanya lebih tahan terhadap suhu ekstrem. Pada umumnya serangga lebih tahan terhadap lebih banyak air, bahkan beberapa serangga yang bukan serangga air dapat tersebar karena hanyut bersama air. Akan tetapi, kebanyakan air seperti banjir dan hujan deras merupakan bahaya bagi beberapa serangga ( Jumar, 2000).

Serangga seperti juga hewan yang lain harus memperhatikan kandungan air dalam tubuhnya, akan mati bila kandungan airnya turun melewati batas toleransinya. Berkurangnya kandungan air tersebut berakibat kerdilnya pertumbuhan dan rendahnya laju metabolisme. Kandungan air dalam tubuh serangga bervariasi dengan jenis serangga, pada umumnya berkisar antara 50-90% dari berat tubuhnya. Pada serangga berkulit tubuh tebal kandungan airnya lebih rendah. Agar dapat mempertahankan hidupnya serangga harus selaluu berusaha agar terdapat keseimbangan air yang tepat. Beberapa serangga harus dilingkungan udara yang jenuh dengan uap air sedang yang lainnya mampu menyesuaikan diri


(33)

pada keadaan kering bahkan mampu menahan lapar untuk beberapa hari. Kelembaban juga mempengaruhi sifat-sifat, kemampuan bertelur dan pertumbuhan serangga (Ysvina, 2010).

e. Makanan

Kita mengetahui bahwa makanan merupakan sumber gizi yang dipergunakan oleh serangga untuk hidup dan berkembang biak. Jik makanan tersedia dengan kualitas yang cocok, maka populasi serangga akan naik cepat. Sebaliknya, jika keadaan makan kurng maka populasi serangga juga akan menurun. Pengaruh jenis makanan , kandungan air dalam makanan dan besarnya butiran material juga berpengaruh terhadap perkembangansuatu jenis serangga hama. Dalam hubungannya dengan makanan , masing – masing jenis serangga memiliki kisaran makanan ( inang ) dari satu sampai banyak makanan ( inang ) ( Jumar, 2000).

Kelimpahan serangga berhubungan erat dengan perbandingan antara kelahiran dan kematian pada suatu waktu tertentu. Kelahiran dipengaruhi antara lain oleh cuaca, makanan dan taraf kepadatannya. Kematian terutama dipengaruhi oleh cuaca dan musuh alami. Kepadatan dapat mengakibatkan emigrasi yang dapat berarti sebagai kurangnya individu di suatu lokasi yang dianggap suatu kematian. Cuaca berpengaruh langsung terhadap tingkat kelahiran dan kematian, secara tidak langsung cuaca mempengaruhi hama melalui pengaruhnya terhadap kelimpahan organisme lain termasuk musuh alaminya. Organisme, khususnya serangga mempunyai daya menahan pengaruh faktor lingkungan fisik sehingga menjadi kebal. Organisme serangga dapat mengatasi keadaan yang ekstrem berupa adaptasi yang berhubungan dengan faktor genetis atau penyesuain yang


(34)

sifatnya fisiologis. Serangga sesuai dengan sifatnya mempunyai kemampuan meyesuaikan diri dengan lingkungan tetapi karena serangga juga mempunyai sayap, serangga dapat pindah menghindari tempat yang ekstrim mencari tempat yang lebih sesuai.

Faktor cuaca dapat mempengaruhi segala sesuatu dalam sistem komunitas serangga anatara lain fisiologi, perilaku, dan ciri-ciri biologis lainnya baik langsung maupun tidak langsung. Faktor cuaca dapat dipisahkan menjadi unsur-unsur cuaca: suhu, kelembaban, cahaya dan pergerakan udara/angin.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan perkembangan populasi

Bila sejumlah kecil populasi tertentu menyerbu suatu habitat baru dan disukai, jumlah mereka akan semakin bertambah sampai mencapai suatu maksimum yang dapat didukung oleh lingkungan. Kelompok individu yang menyerbu suatu habitat yang disukai tidak segera bertambah jumlahnya. Hal itu memerlukan waktu bagi individu-individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya yang baru, menemukan pasangan dan menghasilkan individu muda (Michael, 1995).

Andrewartha and Birch (1954) mengartikan bahwa hubungan antara 4 komponen yaitu iklim, makanan, patogen dan tempat tinggal sebagai lingkungan untuk suatu organisme. Contohnya di Brazil, populasi serangga kadang-kadang berubah-ubah pada awal musim, terutama oleh faktor lingkungan yang mendukung seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban. Coleoptera dan serangga lainnya akan melimpah setelah hujan. Di hutan alami, kelimpahan dan


(35)

perkembangan spesies kumbang scarabid sangat dipengaruhi oleh ph tanah, tanaman penutup dan kepadatan makanan mereka (Kamarudin, dkk, 2005).

Kelakuan menggambarkan respon hewan terhadap lingkungannya. Serangga sangat sensitif terhadap variasi lingkungan, dan serangga dapat merubah kelakuan mereka dalam merespon naik turunnya kondisi lingkungan atau perubahan lingkungan. Serangga, khususnya yang dapat terbang dapat berpindah untuk menghindari naik turunnya temperatur, kelembaban, zat kimia atau faktor

abiotik lainnya untuk menghindar dari kondisi yang merugikan (Schowalter, 1996).

Berdasarkan teori Andrewartha dan birch kerapatan populasi alami di lapangan ditentukan oleh :

1. Tersedianya sumberdaya seperti makanan, ruang tempat hidup.

2. Keberadaan tempat sumberdaya dan kemampuan individu-individu populasi untuk mencapai dan memperoleh sumberdaya (antara lain sifat penyebaran, pemencaran dan kemampuan mencari).

3. Waktu atau kesemptan untuk memanfaatkan laju pertumbuhn yang tinggi, misalnya pada keadaan iklim yang menguntungkan untuk pertumbuhan. Walaupun faktor-faktor terpaut kerapatan (faktor-faktor biotik) terutama mempengaruhi pertumbuhan populasi makhluk hidup yang tumbuh pada habitat yang sesuai, namun tak dapat disangkal bahwa faktor iklim dan cuaca menentukan tempat hidup setiap makhluk hidup (pemencaran dan penyebaran populasi) (Tarumingkeng, 1994).


(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada areal Tanaman Kelapa Sawit di afdeling VII, kebun Rambutan PTPN III . Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - September 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah imago O. rhinoceros dimana jumlah jantan dan betina adalah sama yaitu 30 ekor, feromon ethyl 4-methyl octanoate, batang sawit busuk dan tanaman kelapa sawit.

Alat yang digunakan adalah 14 ferotrap, tinta india, kawat, stoples, karet, kain kasa dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan hubungan antara korelasi dan regresi dengan arah pelepasan kumbang utara dan selatan

Metoda linear yang digunakan adalah : Ý = a+ax1+ax2+ax3+ax4

Dimana :

Ý = Hubungan korelasi dan regresi

a = konstanta

x1 = Suhu


(37)

x3 = Curah hujan

x4 = Angin

(Sudjana, 1983).

Metoda Pelaksanaan

Penelitian dilakukan pada areal tanaman belum menghasilkan seluas 18,45 ha tahun tanam 2007 dengan menggunakan penutup tanah Mucuna bracteata di blok 35 afdeling VII kebun Rambutan. Kegiatan penelitian dilakukan sebagai berikut :

Periringan Serangga

Periringan dilakukan di rumah kasa dan laboratorium dengan banyak larva instar tiga dan pupa yang diriring berjumlah ±300 ekor. Media riringan menggunakan batang kelapa sawit yang telah membusuk dan stoples. Batang kelapa sawit di bor agar membentuk lubang, kemudian larva dimasukkan kedalam lubang. Stoples diisi dengan batang kelapa sawit yang telah membusuk, kemudian pupa dimasukkan ke dalam stoples tersebut. Tujuannya agar kondisi lingkungan riringan sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Gambar 7. Periringan Serangga Sumber : Foto Langsung


(38)

Pemasangan perangkap

Perangkap serangga menggunakan feromon yaitu Etl-4 metil oktanoate dalam pipa PVC. Feromon diletakkan dengan cara menggantungkan feromon kedalam pipa PVC yang berdiameter 6 – 8 (15 - 20 cm). Pipa PVC dipotong sepanjang 2 meter, lubang bagian bawah ditutup dengan menggunakan seng, sedangkan lubang bagian atas dibiarkan terbuka. Bagian atas pipa dibuat 2 buah jendela dengan ukuran 20 x 10 cm, pipa diisi dengan cacahan janjangan kosong kelapa sawit yang masih segar, bagian atas pipa PVC dipasang kawat untuk dapat menggantungkan feromon. (sesuai yang digunakan pihak perkebunan dan rekomendasi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat).

Gambar 8. Perangkap Feromon Penempatan perangkap

Perangkap ditempatkan dengan cara meletakkan dan menanam pipa PVC pada jarak 200 m, 400 m, 600 m, 800 m, 1.000 m, 1.200 m, dan 1.400 m dari titik


(39)

pusat pelepasan serangga ke arah empat mata angin yaitu Utara, Selatan, Timur, dan Barat.

Gambar 9. Denah Lokasi Pemasangan Perangkap dan pelepasan kumbang

Pelepasan Oryctes rhinoceros

Kumbang O. rhinoceros yang dilepaskan sebanyak 120 ekor (60 ekor betina dan 60 ekor jantan) merupakan kumbang yang baru muncul dari hasil pembiakan massal. Penandaan Kumbang dilakukan dengan menggunakan biomarker berupa tinta india yang tahan air pada thoraks.Penandaan bertujuan untuk memberi tanda penomoran untuk membedakan individu populasi dan kombinasi warna tinta untuk menandakan posisi pelepasan Oryctes rhinoceros sesuai arah mata angin (Utara, Selatan).

Pada masing-masing arah mata angin tersebut dilepaskan 15 pasang kumbang Oryctes rhinoceros dari tengah areal pertanaman yang merupakan jalan kebun, dan pelepasan kumbang dilaksanakan pada pukul 18.00 Wib sesuai dengan waktu aktif kumbang pada malam hari.


(40)

Pengamatan

Kumbang yang masuk ke dalam perangkap pada tiap jarak diamati pukul 07.00 Wib, dan kemudian dilepaskan kembali hingga diketahui kemampuan dispersal terjauh. Pengamatan dilakukan setiap hari selama lima minggu sesuai umur stadia kumbang.

Peubah Amatan

1. Oryctes rhinoceros yang tertangkap pada setiap jarak diamati dan dilepaskan kembali hingga diketahui kemampun dispersal terjauh

2. Populasi kumbang yang tidak diberi penandaan tetapi masuk kedalam ferotrap 3. Data analisis menggunakan SPSS untuk menguji signifikan (ANOVA) antara

populasi kumbang yang masuk ke dalam ferotrap dan korelasi jarak pelepasan dengan arah pelepasan kumbang


(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran serangga Pada Setiap Jarak Pelepasan

Dari analisis regresi antara jumlah kumbang yang tertangkp dengan faktor-faktor lingkungan menunjukkan adanya hubungan antara penyebaran dengan faktor lingkungan. Jumar (2000) menyatakan bahwa perkembangan serangga di alam dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam yang dimiliki serangga itu sendiri dan faktor luar yang berada di lingkungan sekitarnya.

Penyebaran serangga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, kelembaban dan angin. Hal ini sesuai dengan pernyataan ysvina (2010) yang menyatakan bahwa penyebaran hewan dan tumbuhan di alam ini bukanlah terjadi secara kebetulan namun sebagai hasil interaksi dari pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadapnya. Sebran geografis suatu organisme antara lain dibatasi oleh faktor-faktor fisik yaitu suhu, kelembaban udara, cahaya dan tersedianya air. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran kumbang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran serangga Pada Setiap Jarak Pelepasan

Jarak Model Sig

Selatan(200) Angin 0.005

Selatan (400) Angin

Kelembaban

0.030 0.012

Utara (200) Angin

Curah hujan

0.012 0.030

Utara (400) Angin

Kelembaban

0.035 0.045


(42)

Pada hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada jarak S1, S2, U1, U2 faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyebaran kumbang adalah faktor angin. Dimana nilai koefisiennya adalah S1 (0.005), S2 (0.0300, U1 (0.012) dan U2 (0.035). hal ini sesuai dengan pernyataan Arantha (2010) yang menyatakan bahwa angin berpengaruh terhadap perkembangan hama, terutama dalam proses penyebaran tanaman.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada S2 dan U2 faktor kelembaban juga berpengaruh terhadap penyebaran kumbang. Dimana nilai koefisiennya adalah S2 (0.012) dan U2 (0.045). hal ini sesuai dengan pernyataan Jumar (2000) yang menyatakan bahwa kelembaban atau curah hujan merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusu, kegiatan, dan perkembangan serangga. Ysvina (2010) menyatakan bahwa kelembaban juga mempengaruhi sifat-sifat, kemampuan bertelur dan pertumbuhan serangga.

2. Korelasi Antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Selatan)

Korelasi antara jumlah serangga yang tertangkap dengan jarak ferotrap di Arah Selatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Korelasi antara jumlah serangga yang tertangkap dengan jarak ferotrap di Arah Selatan

Selatan (200 m) Selatan (400 m) Seltan (200 m) Pearson correlation

Sig. (2-tailed) N

1 34

.352* .041 34 Selatan (400 m) Pearson correlation

Sig. (2-tailed) N

.352* .041 34

1 34 *Correlation is significant at the 005 level (2-tailed)


(43)

Dari data pengamatan pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah serangga yang tertangkap pada jarak 400 m berhubungan nyata terhadap jumlah serangga yang tertangkap pada jarak 200 m. begitu juga sebaliknya, jumlah serangga yang tertangkap pada jarak 200 m berhubungan nyata terhadap jumlah kumbang yang tertangkap pada jarak 400 m. dimana nilai korelasinya adalah 0.352 (Korelasi ; SPSS Versi 12.00).

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa kumbang sampel yang dilepas hanya tertangkap pada jarak 200 meter (ferotrap pertama) dan 400 meter (perangkap kedua), hal tersebut terjadi karena feromon yang digunakan cukup efektif untuk 2 ha. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo, dkk (2007) yang menyatakan bahwa feromon diletakkan dalam ferotrap yaitu menggunakan ember plastik dan perangkap PVC. Satu ferotrap cukup efektif untuk 2 ha dan kantong feromon sintetik dapat digunakan selama 60 hari.

3. Korelasi antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Utara)

Korelasi antara jumlah kumbang yang tertangkap dengan jarak ferotrap di arah pelepasan Utara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Korelasi antara jumlah serangga yang tertangkap dengan jarak ferotrap di Arah Utara

Selatan (200 m) Selatan (400 m) Utara (200 m) Pearson correlation

Sig. (2-tailed) N 1 34 .678** .000 34 Utara (400 m) Pearson correlation

Sig. (2-tailed) N .352* .041 34 1 34 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)


(44)

Dari data pengamatan pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah serangga yang tertangkap pada jarak 400 m berhubungan sangat nyata terhadap jumlah serangga yang tertangkap pada jarak 200 m. Dimana nilai korelasinya adalah 0.678 (Korelasi ; SPSS Versi 12.00). Sedangkan jumlah kumbang yang tertangkap pada jarak 200 m berhubungan nyata terhadap jumlah kumbang yang tertangkap pada jarak 400 m. Dimana nilai korelasinya adalah 0.352 (Korelasi ; SPSS Versi 12.00).

4. Persentase kumbang sampel yang tertangkap

Hasil pengamatan menunjukan bahwa kumbang yang tertangkap pada ferotrap bukan hanya kumbang sampel yang dilepaskan ke Arah Utara dan Selatan, tetapi terddapat juga kumbang sampel yang berasal dari arah lain.

Jumlah kumbang yang dilepaskan ke setiap arah mata angin (Utara-Selatan) yaitu sebanyak 30 ekor (15 betina dan 15 jantan). Persentase jumlah kumbang sampel dan kumbang lain yang tertangkap pada ferotrap dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Jumlah Kumbang Sampel dan Kumbang Lain Yang Tertangkap Pada Ferotrap

Perangkap Kumbang sampel Kumbang lain

S1 12 5

S2 10 1

S3 S4 S5 S6 S7

Total 22 6

Persentase 73.33% 5%

U1 10 4


(45)

U3 U4 U5 U6 U7

Total 16 5

Persentase 53.33% 4,17%

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa persentase jumlah kumbang sampel yang tertangkap pada Arah Selatan yaitu sebesar 73.33 %, sedangakan pada Arah Utara sebesar 53.33 %. Persentase kumbang lain yang tertangkap pada Arah Selatan sebesar 20 %, sedangkan di Arah Utara sebesar 17 %. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari jumlah kumbang yang dilepaskan yaitu sebanyak 30 ekor ke setiap arah mata angin, yang tertangkap di ferotrap sebanyak 22 ekor di setiap Arah Selatan dan 16 ekor di Arah Utara. Dalam APCC (2006) menyatakan bahwa penggunaan feromon dapat menurunkan populasi O. rhinoceros di lapangan, 5-27 ekor kumbang per hektar dapat terperangkap setiap bulan. Kumbang O. rhinoceros berbahaya pada tanaman kelapa, lima ekor kumbang (dalam tahap makan) per hektar dapat mematikan setengah dari tanaman yang baru ditanam.

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah kumbang sampel yang tertangkap di Arah Selatan lebih tinggi dari pada di Arah Utara yaitu sebanyak 22 ekor, sedangkan di Arah Utara sebanyak16 ekor. Hal ini terjadi kerena ferotrap S1 dan S2 di letakkan di areal tanaman kelapa sawitbelum menghasilkan (TBM) yang merupakan sasaran utama kumbang Oryctes rhinoceros. Dalam PPKS (2010) menyatakan bahwa tunas tanaman di pembibitan menjadi kering karena gerekan di bagian pangkalnya. Areal TBM menjadi sasaran utama serangan hama dengan pelepah-pelepah muda yang mengering di antara daun-daun tua yang masih hijau.


(46)

Adanya lubang bekas gerekan kumbang pada bagian pangkal pelepah muda tanaman. Pelepah daun terlihat terpuntir sehingga posisinya tampak tidak beraturan.

5. Persentase kumbang sampel yang tertangkap

Hasil pengamatan penangkapan dengan ferotrap menunjukkan perbedaan Kumbang jantan dan Kumbang betina yug tertangkap. Persentase kumbang sample jantan dan betina yang tertangkap pada Ferotrap dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persentase kumbang sample betina dan jantan yang tertangkap pada Ferotrap

Perangkap Kumbang Betina Kumbang Jantan Total Lokasi

S1 9 8 17 TBM

S2 7 4 11 TBM

S3 - - - TM Karet

S4 - - - TM Karet

S5 - - - TM Karet

S6 - - - TM Karet

S7 - - - TM Karet

U1 9 5 14 TM Sawit

U2 4 3 7 TM Sawit

U3 - - - TM Sawit

U4 - - - TM Sawit

U5 - - - TM Sawit

U6 - - - TM Sawit

U7 - - - TM Sawit

Total 29 20 49

Persentase 59.18% 40.82%

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa selama pengamatan kumbang Oryctes rhinoceros sampel yang didapat dengan menggunakan ferotrap adalah sebanyak 49 ekor, yang terdiri dari 29 ekor betina dan 220 ekor jantan.


(47)

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah kumbang tertangkap yang tertinggi adalah pada perangkap pertama di Arah Selatan yaitu sebanyak 17 ekor, sedangkan jumlah kumbang tertangkap yang terendah adalah pada perangkap kedua di Arah Utara yaitu sebanyak 7 ekor.

Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa baik kumbang betina maupun kumbang jantan dapat tertangkap pada ferotrap. Hal ini terjadi karena feromon yang digunakan adalah feromon agregasi yang dapat menarik baik kumbang betina maupun kumbang jantan.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa persentase kumbang betina sampel yang

tertangkap pada ferotrap lebih tinggi daripada kumbang jantan sampel yaitu 59,18 %, sedangkan kumbang jantan 40,82 %. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Alow (2007) yang menyatakan bahwa Feromon berperan dalam monitoring populasi hama sebagai bagian penting dalam pengendalian hama secara terpadu serta dapat digunakan dalam pengendalian hama yang berwawasan lingkungan. Penggunaan feromon dalam pengendalian hama O. rhinoceros sudah dilakukan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa feromon agregasi sintetik dapat menangkap kumbang O. rhinoceros betina lebih banyak dibanding kumbang jantan.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa kumbang betina yang paling banyak tertangkap pada perangkap S1 dan U1 sebanyak 9 ekor, sedangkan jumlah kumbang betina yang paling sedikit tertangkap terdapat pada perangkap U2 sebanyak 4 ekor. Kumbang jantan yang pling banyak tertangkap terdapat pada perangkap S1 sebanyak 8 ekor, sedangkan jumlah kumbang jantan yang paling sedikit terdapat pada perangkap U2 sebanyak 3 ekor.


(48)

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa lokasi pemasangan perangkap berada di areal tanaman kelapa sawit (TBM dan TM) dan di areal tanaman karet. Pemasangan perangkap di areal tanaman karet dilakukan karena areal tanaman kelapa sawit berdekatan dengan areal tanaman karet. Tujuannya yaitu untuk mengetahui apakah kumbang sampel yang di lepas dapat menyebar sampai ke tanaman karet.

6. Persentase kumbang lain yang tertangkap

Hasil pengamatan penangkapan dengan ferotrap menunjukkan perbedaan Kumbang jantan dan Kumbang betina yang tertangkap. Persentase kumbang betina dan jantan lain yang tertangkap pada Ferotrap dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Persentase kumbang jantan dan betina lain yang tertangkap pada Ferotrap

Perangkap Kumbang betina Kumbang jantan Total Lokasi

S1 36 26 62 TBM

S2 41 25 66 TBM

S3 28 26 54 TBM

S4 24 20 44 TM Karet

S5 23 17 40 TM Karet

S6 17 14 31 TM Karet

S7 15 13 28 TM Karet

U1 14 11 25 TM Sawit

U2 17 10 27 TM Sawit

U3 20s 13 33 TM Sawit

U4 21 18 39 TM Sawit

U5 15 9 24 TM Sawit

U6 18 13 31 TM Sawit

U7 12 9 21 TM Sawit

Total 301 224 525


(49)

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa selama pengamatan kumbang Oryctes rhinoceros lain yang didapat dengan menggunakan ferotrap adalah sebanyak 525 ekor, yang terdiri dari 301 ekor betina dan 224 ekor jantan.

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa persentase kumbang betina lain yang tertangkap pada ferotrap lebih tinggi daripada kumbang jantan lain yaitu 57,33 %, sedangkan kumbang jantan 42,67 %. Jumlah kumbang betina paling banyak tertangkap terdapat pada perangkap S2 sebanyak 41 ekor, sedangkan jumlah kumbang betina yang paling sedikit tertangkap terdapat pada perangkap U7 sebanyak 12 ekor. Jumlah kumbang jantan yang paling banyak tertangkap terdapat pada perangkap S1 dan s3 sebanyak 26 ekor, sedangkan jumlah kumbang jantan yang paling sedikit terdapat pada perangkap U5 dan U7 sebanyak 9 ekor.

Dari hasil pengamatan pada Tabel 6 dapat dilihat jumlah kumbang yang tertinggi adalah pada perangkap kedua di Arah Selatan yaitu sebanyak 66 ekor, sedangkan jumlah kumbang yang terendah adalah terdapat pada perangkap ketujuh di Arah Utara yaitu sebanyak 21 ekor.

Dari hasil pengamatan pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa baik kumbang betina maupun kumbang jantan dapat tertangkap pada ferotrap. Hal ini terjadi karena feromon yang digunakan adalah feromon agregasi yang dapat menarik baik kumbang betina maupun kumbang jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Klowden (2002) yang menyatakan bahwa feromon agregasi adalah jenis feromon yang dikeluarkan untuk menarik serangga jantan maupun betina untuk berkelompok dan jenis feromon ini juga dapat meningkatkan kemungkinan kopulasi di dalam populasi tersebut.


(50)

Pada hasil pengamatan pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah kumbang yang paling banyak tertangkap adalah di areal TBM sebanyak 62 ekor di perangkap pertama Arah Selatan dan 66 ekor di perangkap kedua di Arah Selatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo, dkk (20070 yang menyatakan bahwa kumbang O. rhinoceros menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di lapangan sampai berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali di jumpai menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun demikian, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit (TKS) yang lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini sekarang juga dijumpai di areal TM

Dari hasil pengamatan yang didapat diketahui bahwa Oryctes rhinoceros lebih banyak tertangkap pada areal tanaman belum menghasilkan (TBM) daripada tanaman menghasilkan (TM). Dalam PPKS (2004) yang menyatakan bahwa areal TBM menjadi sasaran utama hama O. rhinoceros dengan pelepah-pelepah muda yang mengering diantara daun-daun tua yang masih hijau.


(51)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Angin, kelembaban dan curah hujan merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran serangga.

2. Persentase jumlah kumbang sampel yang tertangkap pada Arah Selatan yaitu sebesar 53.33 %. Persentase kumbang lain yang tertangkap pada Arah Selatan sebesar 20 %, sedangkan di Arah Utara 17 %.

3. Jumlah kumbang sampel yang tertangkap tertinggi pada perangkap pertama di Arah Selatan yaitu sebanyak 17 ekor, dan terendah pada perangkap kedua di Arah Utara yaitu sebanyak 7 ekor.

4. Jumlah kumbang lain yang tertinggi adalah pada perangkap kedua di Arah Selatan yaitu sebanyak 66 ekor, dan terendah pada perangkap ketujuh di Arah Utara yaitu sebanyak 21 ekor.

5. Persentase kumbang betina sampel lebih tinggi daripada kumbang jantan sampel yaitu 59,18 %, sedangkan kumbang jantan 40,782 %.

6. Persentase kumbang betina lain lebih tinggi daripada kumbang jantan lain yaitu 57,33 %, sedangkan kumbang jantan 42,67 %.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan di musim yang berbeda untuk mengetahui jarak penyebaran kumbang.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Alouw, J. C . 2007. Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) Pheromone and its Use to Control Coconut Beetle, Oryctes rhinoceros (Coleoptera : Scarabaeidae). Indonesian Coconut and Other Palmae Research Institute. APCC 2006. Coconut Integrated Pest Management. Annual report. APCC.

Jakarta.195 p.

Arantha, 2010. Serangga Hama Tanaman.

Asri, 2010. Hama pada Tanaman Kelapa Sawit.

Balitka, 1989. Pengendalian kumbang Kelapa secara Terpadu. Badan litbang, Balika, FAO/UNDP, Dirjenbun, Direktorat Perlintan. 29 pp

Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2008. Pemanfaatan Musuh Alami Untuk

Mengendalikan Kumbang Nyiur. http://ditjenbun.deptan.go.id (Diakses Tanggal 28 Januari 2010).

Fauzi, Y., yustina, E. W., Iman, S dan Rudi. 2002. Kelapa Sawit. Edisi revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Gallangher, D. K dan S. Lilies, Ch., 1991. Metode Ekologi Lapangan. Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu, Jakarta.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crop In Indonesia. P.A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.Jakarta.

Kamarudin, N., M. Basri, W., dan Ramle, M., 2005. Environmental Factors affecting the population Density of Oryctes rhinoceros in a Zero-Burn Oil Palm Replant. Journal of Oil Palm Research.17:53-63

Lubis, A.U., 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat. Pematang Siantar.

Mahmud, Z., 1990. Pedoman Pengendalian Hama dan Penyakit Kelapa. Direktorat Penelitian dan Perlindungan Tanaman Perkebunan, Manado.


(53)

Michael, P., 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koester. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Mohan, C., 2006. The association for tropical biology and Conservation Ecology of The Coconut Rhinoceros Beetle (Oryctes rhinoceros L.). http//www.linkjstor.org (Diakses Tanggal 30 Januari 2010).

PPKS, 1996. Pengendalian Baru Kumbang Tanduk dengan Feromon, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan

_____, 2004. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan

_____, 2010. Pengendalian Oryctes rhinoceros yang Ramah Lingkungan

Menggunakan Feromonas dan Metari.

2010)

Pasaribu, H., R. D. de Chenon. 2005. Strategi Pengendalian Hama Oryctes rhinoceros di PT. Tolan Tiga Indonesia (SIPEF GROUP). Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005. Pemeliharaan Kesehatan Tanaman Kelapa Sawit melalui pengendalian terkini hama, penyakit dan Gulma serta Aplikasi Pemupukan. Yogyakarta, 13-14 September 2005. Hal 106.

Piggott, 1964. coconut growing. Oxford university press. london Pracaya. 2009. Hama dan Penyakit Tanaman.Penebar Swadaya.Jakarta

Prawirosukarto, S., Y.P. Roerrha, U. Condro dan Susanto. 2003. Pengenalan dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Kelapa Sawit. PPKS, Medan Rahayuwati, S., R. D de Chenon dan Sudharto ps. 2002. sistem Reproduksi Betina

Oryctes rhinoceros (Coleoptera:Scarabaeidae) dari Berbagai Populasi Berbeda di Perkebunan Kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 10(1):11-22.

Riostone, 2010. Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros.http://riostones.blogspot.com/2009/08/kumbang-kelapa-oryctes-rhinoceros(Diakses Tanggal 13 Februari 2010).

Roelofs, W. L., 1978. Chemical Control of Insect by Pheromones. In Rockstein, M., 1978. Biochemistry of Insect (edt). Acad Press, New York.Hal:419-464

Rukmana, R dan Uu, s., 1997. Hama Tanaman dan Teknik Pengendalian. Kanisius, Yogyakarta.


(54)

Schowalter, T, D., 1996. Insect Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press, New York.

Setyamidjaja, D., 1991. Bertanam Kelapa hibrida. Kanisius, Yogyakarta

Subiyakto dan Achmad, S., 1991. Kunci Determinasi serangga. Kanisius, Yogyakarta.

Sudjana, 1983. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Tarsito, Bandung Suhardiyono, 1991., Tanaman Kelapa. Kanisius, Yogyakarta.

Susanto, A., A.P. Dongoran., Fahridayanti., A.F. Lubis., dan A. Prasertyo. 2005. Pengurangan Populasi Larva Oryctes rhinoceros pada Sistem Lubang Tanam besar. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 13(1):1-9.

Tarumingkeng, R. C., 1994. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. Utomo, C., T. Herawan dan A. Susanto. 2007. Feromon: Era Baru Pengendalian

Hama Ramah Lingkungan di Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, Medan. 15(2):69-82


(55)

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed

Method

1 Angin

Kelembaban Curah Hujan Suhua

Enter

a.All requested variables entered b. Dependent variable : Utara (200m)

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .593a .351 .262 .479

ANOVAb

Model Sum of

Squares df

Mean

Squares F Sig.

Regression Residual Total

3.593 6.642 10.235

4 29 33

.898 .229

3.922 .012a

a. Predictors : (Constant), Angin, Kelembaban, Curah Hujan, Suhu b. Dependent Variable: Utara (200 m)


(56)

Coefficientsa

Model

Unstandardized coefficients

Unstandardized

coefficients t Sig.

B Std. Error Beta (Constant) Suhu Kelembaban Curah Hujan Angin -10.225 .104 .071 .010 .239 4.936 .074 .046 .004 .090 .222 .249 .355 .402 -2.071 1.421 1.543 2.283 2668 .047 .166 .134 .030 .012

a. Dependent Variable ; Utara (200 m)

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual -.18 -.714 -1.781 -1.493 1.27 .822 2.604 1.718 .41 .000 .000 .000 .330 .449 1.000 .937 34 34 34 34


(57)

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed

Method

1 Angin

Kelembaban Curah Hujan Suhua

Enter

a.All requested variables entered b. Dependent variable : Utara (400m)

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .548a .301 .204 .366

ANOVAb

Model Sum of

Squares df

Mean

Squares F Sig.

Regression Residual Total

1.672 3.887 5.559

4 29 33

.418 .134

3.119 .030a

a. Predictors : (Constant), Angin, Kelembaban, Curah Hujan, Suhu b. Dependent Variable: Utara (400 m)


(58)

Coefficientsa Model

Unstandardized coefficients

Unstandardized

coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

(Constant) Suhu Kelembaban Curah Hujan Angin -8.635 .054 .074 .006 .151 3.776 .056 .035 .003 .069 .155 .350 .316 .346 -2.287 .953 2.096 1.960 2.211 .030 .349 .045 .060 .035 a. Dependent Variable : Utara (400 m)

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual -.18 -.714 -1.781 -1.493 1.27 .822 2.604 1.718 .41 .000 .000 .000 .330 .449 1.000 .937 34 34 34 34


(59)

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed

Method

1 Angin

Kelembaban Curah Hujan Suhua

Enter

a.All requested variables entered b. Dependent variable : Selatan (200m)

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .545a .297 .201 .504

ANOVAb

Model Sum of

Squares df

Mean

Squares F Sig.

Regression Residual Total

3.123 7.377 10.500

4 29 33

.781 .254

3.070 .032a

c. Predictors : (Constant), Angin, Kelembaban, Curah Hujan, Suhu d. Dependent Variable: Selatan (200 m)


(60)

Coefficientsa Model

Unstandardized coefficients

Unstandardized

coefficients t Sig.

B Std. Error Beta (Constant) Suhu Kelembaban Curah Hujan Angin .594 -.092 .008 .006 .284 5.202 .077 .049 .005 .094 -.192 .028 .220 .472 .114 -1.181 .167 1.358 3.013 .910 .247 .868 .185 .005

a. Dependent Variable : Selatan (200 m)

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual -14 -1.034 -2.096 -2.051 1.47 .895 3.156 1.775 .50 .000 .000 .000 .308 .473 1.000 .937 34 34 34 34


(61)

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed

Method

1 Angin

Kelembaban Curah Hujan Suhua

Enter

a.All requested variables entered b. Dependent variable : Selatan (400m)

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .571a .326 .234 .468

ANOVAb

Model Sum of

Squares df

Mean

Squares F Sig.

Regression Residual Total

3.082 6.359 9.441

4 29 33

.771 .219

3.514 .019a

e. Predictors : (Constant), Angin, Kelembaban, Curah Hujan, Suhu f. Dependent Variable: Selatan (400 m)


(62)

Coefficientsa Model

Unstandardized coefficients

Unstandardized

coefficients t Sig.

B Std. Error Beta (Constant) Suhu Kelembaban Curah Hujan Angin -11.653 .012 .121 .006 .199 4.830 .072 .045 .004 .088 .027 .440 .242 .349 -2.413 .170 2.684 1.526 2.275 .022 .866 .012 .1338 .030

a. Dependent Variable : Selatan (400 m)

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual -.21 -754 -1731 -1610 .99 1.271 2.189 2.715 .32 .000 .000 .000 .306 .439 1.000 .937 34 34 34 34


(63)

PETA LOKASI PENELITIAN


(64)

Plank Penelitian

Ferotrap

Kegiatan Penelitian


(65)

(66)

Data Penelitian

S1 S2 U1 U2 X1 X2 X3 X4

1 0 0 0 30,7 85 0 6

0 0 0 0 26 84,7 12,1 5

1 1 1 1 29 85,3 4,5 7

1 0 0 0 27,3 83,3 15,7 6

1 0 1 0 28,3 84,7 0 7

1 1 1 1 31 85 10 8

0 2 1 0 28,3 89,3 6,5 6

1 1 1 1 27,3 87,3 26,5 7

1 0 0 0 26,7 86 0 6

0 0 1 0 31,3 83 5 5

2 1 2 1 28,3 85 35,6 9

1 1 1 0 28,3 81 72,4 6

1 0 1 1 29 86,3 66 6

0 0 0 0 27,7 87,7 0,8 5

0 1 1 1 28 87,7 0 6

0 0 1 1 28,7 87,3 0,5 5

0 0 1 0 29,3 85,3 1,6 6

1 0 0 0 28 84,7 0 6

1 1 0 0 28,3 91 6,5 6

1 1 0 0 27,3 84,3 0,1 6

1 0 0 0 28,3 83,7 0 5

0 0 0 0 28,3 84 0 6

1 1 1 0 28,7 87 5 7

0 0 0 0 28,7 85,3 0 6

0 0 0 0 30,7 84,3 0 6

1 0 0 0 27 88 0 6

0 0 0 0 29,3 83,7 38,1 6

0 0 0 0 29 84,7 0 7

0 0 0 0 28 84,7 0 6

0 0 0 0 29,7 84 11,4 6

0 0 0 0 28,3 84,7 64 5

0 0 0 0 28,7 85,3 0 5

0 0 0 0 29,3 83,3 2,4 7

0 0 0 0 27,7 86,3 0 8


(1)

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables

Removed

Method

1 Angin

Kelembaban Curah Hujan Suhua

Enter

a.All requested variables entered b. Dependent variable : Selatan (400m)

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .571a .326 .234 .468

ANOVAb

Model Sum of

Squares df

Mean

Squares F Sig.

Regression Residual Total 3.082 6.359 9.441 4 29 33 .771 .219

3.514 .019a

e. Predictors : (Constant), Angin, Kelembaban, Curah Hujan, Suhu f. Dependent Variable: Selatan (400 m)


(2)

Coefficientsa Model

Unstandardized coefficients

Unstandardized

coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

(Constant) Suhu Kelembaban Curah Hujan Angin -11.653 .012 .121 .006 .199 4.830 .072 .045 .004 .088 .027 .440 .242 .349 -2.413 .170 2.684 1.526 2.275 .022 .866 .012 .1338 .030

a. Dependent Variable : Selatan (400 m)

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std.

Deviation N Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual -.21 -754 -1731 -1610 .99 1.271 2.189 2.715 .32 .000 .000 .000 .306 .439 1.000 .937 34 34 34 34


(3)

PETA LOKASI PENELITIAN


(4)

Plank Penelitian

Ferotrap


(5)

(6)

Data Penelitian

S1 S2 U1 U2 X1 X2 X3 X4

1 0 0 0 30,7 85 0 6

0 0 0 0 26 84,7 12,1 5

1 1 1 1 29 85,3 4,5 7

1 0 0 0 27,3 83,3 15,7 6

1 0 1 0 28,3 84,7 0 7

1 1 1 1 31 85 10 8

0 2 1 0 28,3 89,3 6,5 6

1 1 1 1 27,3 87,3 26,5 7

1 0 0 0 26,7 86 0 6

0 0 1 0 31,3 83 5 5

2 1 2 1 28,3 85 35,6 9

1 1 1 0 28,3 81 72,4 6

1 0 1 1 29 86,3 66 6

0 0 0 0 27,7 87,7 0,8 5

0 1 1 1 28 87,7 0 6

0 0 1 1 28,7 87,3 0,5 5

0 0 1 0 29,3 85,3 1,6 6

1 0 0 0 28 84,7 0 6

1 1 0 0 28,3 91 6,5 6

1 1 0 0 27,3 84,3 0,1 6

1 0 0 0 28,3 83,7 0 5

0 0 0 0 28,3 84 0 6

1 1 1 0 28,7 87 5 7

0 0 0 0 28,7 85,3 0 6

0 0 0 0 30,7 84,3 0 6

1 0 0 0 27 88 0 6

0 0 0 0 29,3 83,7 38,1 6

0 0 0 0 29 84,7 0 7

0 0 0 0 28 84,7 0 6

0 0 0 0 29,7 84 11,4 6

0 0 0 0 28,3 84,7 64 5

0 0 0 0 28,7 85,3 0 5

0 0 0 0 29,3 83,3 2,4 7