Variasi Dialek Bahasa Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS

2.1 Pengantar
Dialek merupakan khazanah kebudayaan suatu bangsa yang perlu dipelajari, dikaji, serta
dipelihara sebaik mungkin. Bidang ilmu yang mengkaji dialek suatu bahasa disebut dialektologi
(Chambers dan Trudgil, 1980:1). Dialek dalam konteks ini adalah variasi bahasa yang digunakan
oleh sekumpulan orang atau masyarakat yang tinggal dalam kawasan geografis tertentu.
Bab II menjelaskan kajian pustaka yang mencakup kerangka konseptual dan kerangka
teoretis yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun konsep dasar yang digunakan dalam
menganalisis kajian dialektologi ini adalah konsep dialek, konsep geografi dialek, konsep variasi
bahasa, konsep isoglos dan berkas isoglos, serta konsep peta bahasa. Selanjutnya, kerangka teori
yang digunakan adalah teori dialektologi karena penelitian ini mengkaji variasi dialek dengan
memperlakukan perbedaan dalam BM. Dalam penelitian ini diungkapkan kondisi geografis yang
berbeda dan berjauhan sehingga secara variasi telah memunculkan isolek yang berbeda atau yang
disebut dengan variasi dialek.

2.2 Kajian Pustaka
Penelitian di bidang dialektologi telah banyak dilakukan oleh peneliti asing, di antaranya
oleh Dennis Girard dan Donald Larmouth (1987) dari University of Wisconisin Green Bay yang
melakukan penelitian dialektologi dengan fokus “Log-linear Statistical Model: Explaining the

Dynamics of Dialect Diffusion”, yaitu dengan cara menentukan bahwa dinamika difusi dialek
secara signifikan adalah juga sosial dengan menggunakan log linear analysis.

Universitas Sumatera Utara

Di tanah air, penelitian dalam bidang dialektologi pernah dilakukan oleh Ayatrohaedi
(1985) dengan bukunya Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Beliau menemukan dan
menggambarkan peta bahasa dan digambarkan pula garis batas dialek tersebut. Penelitian juga
dilanjutkan oleh peneliti lainnya seperti Lauder (1993) dengan judul kajian yaitu Pemetaan dan
Distribusi Bahasa-Bahasa di Tangerang, dengan komputerisasi pemetaan bahasa. Pembuatan
program pemetaan bahasa dengan komputer dapat membantu mempercepat proses pemetaan
bahasa di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan di Tangerang dengan penghitungan
dialektometri pada semua peta leksikal (580 buah peta). Hasil penelitian menunjukkan wilayah
Tangerang terdiri dari satu bahasa dengan tiga dialek, yaitu bahasa Tangerang dialek Barat laut,
bahasa Tangerang dialek Timur, dan bahasa Tangerang dialek Selatan. Di samping itu,
ditemukan pula tiga daerah-pakai kosakata, yakni daerah-pakai kosakata Sunda, daerah-pakai
kosakata Jawa, dan daerah-pakai kosakata Melayu dan dua daerah pengaruh, yakni daerah
pengaruh Jawa dan daerah pengaruh Melayu.
Penelitian ”Bahasa Bali di Daerah Propinsi Bali: Sebuah Analisis Geografi Dialek” oleh
Bawa (1983). Dalam penelitiannya dikaji aspek fonologi dan aspek leksikal dengan penerapan

teori struktural dan dialektologi tradisional (aliran Prancis). Temuannya berupa pengelompokan
bahasa Bali menjadi lima kelompok, yaitu bahasa Bali Baku, bahasa Bali daerah [a] yang
terdapat di daerah Bali Aga, bahasa Bali daerah [ə] yang terdapat di luar daerah Bali Aga, bahasa
Bali daerah ɤ[ ] yang terdapat di beberapa desa di Tabanan, dan bahasa Bali daerah [o] yang
terdapat di beberapa desa di Tabanan. Secara umum, berdasarkan variasi fonologi dan leksikal,
bahasa Bali dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahasa Bali dialek Bali Aga/Bali Pegunungan
dan bahasa Bali dialek Dataran.

Universitas Sumatera Utara

Penelitan Danie (1991) dengan judul ”Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut”,
menetapkan 61 buah pemukiman sebagai titik pengamatan. Temuannya berupa perbedaan
persentase kekognatan antara ketiga dialek, yakni dialek Tonsea, Tolour, dan dialek Tombulu.
Dialek-dialek yang wilayah pakainya bersentuhan memperlihatkan adanya saling pengaruh unsur
kebahasaan antar sesamanya.
Penelitian Mahsun (1994) dengan judul ”Penelitian Dialek Geografi Bahasa Sumbawa”,
menemukan bahwa bahasa Sumbawa dibagi atas empat kelompok dialek, yaitu dialek Jereweh
meliputi daerah pengamatan 3, 4, 6; dialek Taliwang meliputi daerah pengamatan 7, 8, 9, 10, 11,
dan 12; dialek Tongo terdapat pada daerah pengamatan 1, 2, 5, 23, dan 25; serta dialek Sumbawa
Besar meliputi daerah pengamatan 13─22, 24, 26 —30. Keempat dialek tersebut mengalami dua

fase historis, yaitu fase pertama dimulai dengan pecahnya prabahasa Sumbawa ke dalam dua
dialek, yaitu dialek Jereweh, Taliwang, dan Tongo pada satu pihak serta dialek Sumba Besar
pada pihak lainnya. Kemudian, fase kedua adalah terpisahnya satu kelompok dialek Jereweh,
Taliwang, dan Tongo menjadi tiga dialek, yaitu dialek Jereweh, dialek Taliwang, dan dialek
Tongo. Hal itu menunjukkan bahwa dialek Sumbawa Besar memiliki pengaruh yang cukup kuat
terhadap ketiga dialek bahasa Sumbawa lainnya.
Sibarani dan Ridwan Hanafiah (2000) pernah melakukan penelitian dengan judul
”Geografi Dialek Bahasa Mandailing”, penelitian ini hanya memfokuskan pada variasi unsur
kosakata bahasa Mandailing dengan pemetaan variasi dialek serta penafsiran peta dialek bahasa
Mandailing. Dari hasil penelitian itu ditemukan bahwa bahasa Mandailing masih termasuk ke
dalam perbedaan dialek karena memiliki 53,13% perbedaan leksikal. Hal ini diperoleh
berdasarkan data bahwa dari 495 kosakata yang diajukan terdapat perbedaan sebanyak 263
kosakata.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian ”Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan: Kajian
Dialektologis” dilakukan oleh Kisyani-Laksono (2001), lewat penelitian ini dikelompokkan
bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan menjadi dua kelompok dialek, yaitu
dialek Osing dan dialek Jawa Timur (bukan Osing). Pada kedua dialek itu ditemukan banyaknya

leksikon bahasa Jawa Kuno yang masih dipelihara dan dipertahankan penggunaannya sampai
saat ini. Selain itu, bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan ternyata
bersentuhan dan dipengaruhi oleh bahasa lain, yaitu bahasa Madura, bahasa Bali, dan bahasa
Melayu. Hal itu terbukti dengan beberapa bentuk serapan atau pola serapan dari bahasa-bahasa
tersebut yang digunakan di daerah pengamatan. Disamping itu, dikatakan pula bahwa daerah
Tengger merupakan daerah relik dan cenderung terisolasi dan daerah inovatif meliputi subdialek
Sidoarjo, Rowo Gempol, dan dialek Osing.
Dhanawaty (2002) dengan kajian ”Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi
Lampung Tengah”, penelitian ini melibatkan dialek sosial dan diglosia sekaligus memberikan
warna baru bagi penelitian dialektologi di Indonesia yang selama ini terfokus pada dialek
geografi saja. Penelitian ini menemukan beberapa bahasa dan lek dengan fungsi yang berbedabeda dalam kehidupan berbahasa transmigran Bali di Lampung Tengah, sehingga menyebabkan
situasi diglosia daerah itu menjadi lebih kompleks daripada situasi diglosia di Bali.
Kebervariasian bahasa dalam tataran fonologi bahasa Bali di Lampung Tengah ditemukan pada
tuturan semua kelompok usia pada semua titik pengamatan, hanya derajatnya berbeda-beda.
Tinggi rendahnya akomodasi para penutur bahasa Bali di Lampung Tengah berkorelasi dengan
derajat perbedaan sehingga muncul variasi bahasa melalui proses akomodasi linguistis. Hasilnya
kecenderungan berakomodasi tertinggi dilakukan oleh penutur lek Nusa Penida, disusul penutur
lek Tabanan, dan penutur lek Karangasem yang hampir tidak berakomodasi.

Universitas Sumatera Utara


Penelitian ”Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu Kajian
Dialektologi” dilakukan oleh Anak Agung Putu Putra (2007). Penelitian ini menemukan bahwa
lek-lek Bahasa Sumba di Pulau Sumba dapat dikelompokkan ke dalam lima dialek, yakni dialek
Mauralewa-Kambera, dialek Wano Tana, dialek Waijewa-Louli, dialek Kodi, dan dialek
Lamboya. Temuan dialek dan subdialek Bahasa Sumba di Pulau Sumba ini menerapkan metode
pengelompokan bahasa, yaitu penggunaan berkas isoglos, penghitungan dialektometri (leksikal
dan fonologis), penghitungan gabungan dialektometri leksikal dan fonologis, serta penghitungan
permutasi.
Sembiring (2009) melakukan penelitian dengan judul penelitian “Variasi Dialek Bahasa
Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat” menggunakan teori dialektologi yang
dikembangkan oleh Ayatrohaedi di Indonesia sejak 1979. Data untuk bahan analisis diambil dari
lima puluh empat orang informan, yaitu tiga orang dari setiap titik tempat pengamatan (18 titik
tempat pengamatan). Dari pentabulasian dapat diperoleh peta sebaran variasi sebanyak 43 buah
(19 perbedaan fonologis dan 24 perbedaan leksikal). Selanjutnya, diaplikasikan metode
dialektometri untuk menghitung jarak peta yang diperbandingkan untuk menemukan jumlah
dialek dan subdialek bahasa Karo di ketiga kabupaten tersebut. Sebagai hasilnya dapat
ditemukan bahwa di ketiga kabupaten tersebut sudah ada tiga dialek bahasa Karo, yaitu dialek
Karo Singalor Lau yang daerah pakainya di Kecamatan Juhar dan Lau Baleng, dialek Karo Julu
yang daerah pakainya di Kecamatan Tiga Panah dan Merek dengan subdialeknya di Kecamatan

Kuta Buluh dan Payung, dan dialek Karo Jahe yang daerah pakainya di Kabupaten Langkat serta
daerah subdialeknya di Kabupaten Deli Serdang.
Penelitian yang dilakukan ini adalah mengenai BM yang terdapat di Kabupaten
Mandailing Natal, apakah BM kini masih terjaga atau telah menjadi variasi bahasa/dialek yang

Universitas Sumatera Utara

berbeda mengingat geografis dan kebudayaan telah dipisahkan oleh batas-batas wilayah. Sejauh
ini, penelitian BM yang pernah dilakukan Sibarani dan Ridwan Hanafiah (2000) hanya
memfokuskan pada satu variasi yaitu variasi leksikal saja, dengan titik pengamatan sebanyak 8
kecamatan. Sementara itu, penulis memfokuskan penelitian BM ini pada 3 variasi yaitu variasi
fonologis, morfologis, dan leksikal, dengan titik pengamatan sebanyak 21 desa yang tersebar
pada 19 kecamatan, serta peta persebaran ketiga unsur variasi tersebut. Penulis juga mengkaji
berkas isoglos leksikal permedan makna, isoglos fonologis, maupun isoglos morfologis pada BM
dan memetakan hasil penghitungan dialektometri leksikal serta fonologisnya untuk mengetahui
jarak kosakata antar titik pengamatan, dan selanjutnya menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan dialek BM, khususnya pada Kabupaten Mandailing Natal.

2.3 Kerangka Teoretis
2.3.1 Konsep Dialek

Dalam linguistik umum, istilah dialek sering digunakan untuk menyebut variasi bahasa
dari kelompok-kelompok penutur tertentu. Umumnya penutur dari satu dialek masih dapat
memahami tuturan dari kelompok dialek lainnya karena masih berada dalam suatu lingkup
bahasa yang sama.
Ayatrohaedi (1985:30) menyatakan bahwa istilah dialek berasal dari kata Yunani
dialektos. Pada mulanya dialektos ini dinyatakan terhadap bahasa Yunani yang mempunyai
sedikit perbedaan saja. Oleh sebab itu, ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, dan
kesatuan dalam perbedaan. Peneliti geografi dialek suatu bahasa diharuskan menemukan
perbedaan-perbedaan unsur bahasa dalam bahasa yang diteliti.

Universitas Sumatera Utara

Dialektologi “ilmu tentang dialek” adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan bahasa
yang secara sistematis menangani berbagai kajian yang berkenaan dengan dialek atau variasi
bahasa, baik variasi bahasa berdasarkan perbedaan wilayah; variasi bahasa berdasarkan
perbedaan strata sosial; maupun variasi bahasa berdasarkan perbedaan waktu.
Menurut pandangan Fernandez (dalam Nadra, 2006:29), semua dialek dari suatu bahasa
mempunyai kedudukan yang sederajat, statusnya sama, tidak ada dialek yang lebih baik daripada
dialek yang lain, tidak ada dialek yang berprestise dan yang tidak berprestise. Dialek juga sering
dianggap sebagai beberapa jenis penyimpangan dari suatu norma – sebagai penyimpangan dari

suatu bahasa yang benar atau baku.
Menurut Nadra dan Reniwati (2009:4), dialektologi merupakan cabang linguistik yang
mempelajari variasi bahasa. Yang dimaksud dengan variasi bahasa adalah perbedaan-perbedaan
bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa. Perbedaan tersebut mencakup semua unsur
kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan semantik.
Kedudukan dialektologi sebagai cabang linguistik perlu ditekankan di sini mengingat
terdapat sementara ahli yang menekankan dominasi aspek geografis dalam kajian dialektologi
(periksa Trudgill, 2001) sehingga peta dijadikan sebagai alat utama dalam dialektologi (dialek
geografis). Penekanan kajian dialektologi pada tujuan geografis telah memunculkan pandangan
bahwa bahasan terhadap unsur-unsur

kebahasaan yang berbeda, yang telah dipetakan itu

merupakan cabang lain dari kajian dialektologi/dialek geografis (Ayatrohaedi, 1983:55) karena
tujuan utamanya adalah membuat peta bahasa.
Objek kajian dialektologi yang mengamati variasi bahasa adalah variasi regional, variasi
sosial, dan variasi historis. Hal ini berbeda dengan objek kajian sosiolinguistik yang mengamati
variasi bahasa berdasarkan medium atau pokok pembicaraan yang juga dikenal sebagai ragam

Universitas Sumatera Utara


atau register. Dialek adalah variasi bahasa yang terjadi karena perbedaan pemakai bahasa,
sedangkan register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya.
Variasi regional adalah variasi bahasa/dialek berdasarkan perbedaaan tempat atau daerah.
Variasi sosial adalah variasi bahasa/dialek berdasarkan perbedaan sosial penutur, seperti etnis,
usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi.
Jadi, variasi bahasa adalah keragaman yang terjadi karena kegiatan interaksi sosial yang
dilakukan peserta tutur.
Meillet (1967:69) mengungkapkan bahwa istilah dialek yang berasal dari kata Yunani
dialektos pada mulanya digunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani
terdapat perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang digunakan oleh para penuturnya, namun
tidak sampai menyebabkan anggapan bahwa mereka mempunyai bahasa yang berbeda.
Ayatrohaedi (1983) dalam bukunya Dialektologi Sebuah Pengantar telah menguraikan
dengan panjang lebar tentang penelitian dialektologi. Beliau memberi batasan bahwa geografi
dialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragamragam bahasa dengan bertumpu pada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam
tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya geografi dialek masih mempunyai hubungan yang erat
dengan ilmu bahasa bandingan, yang juga mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragamragam bahasa.
Pada dasarnya, kajian dialek yang berdasarkan pada tempat yang berbeda-beda disebut
geografi dialek. Wardhaugh (2009) menjelaskan bahwa geografi dialek adalah istilah yang
digunakan untuk mendeskripsikan usaha pembuatan peta pada distribusi ciri-ciri variasi

linguistik yang menunjukkan asal lokasi bahasa tersebut. Sehingga, variasi-variasi linguistik
yang muncul dapat dipetakan sebagaimana langkah akhir dari penelitian geografi dialek.

Universitas Sumatera Utara

Setiap ragam bahasa dipergunakan di suatu daerah tertentu, dan lambat laun
terbentuklah anasir kebahasaan yang berbeda-beda pula, seperti dalam lafal, tata bahasa,
dan tata arti, dan setiap ragam mempergunakan salah satu bentuk khusus (Guiraud dalam
Ayatrohaedi,1983:3). Pada tingkat dialek, perbedaan tersebut pada garis besarnya dapat
dibagi menjadi lima macam. Kelima macam perbedaan itu adalah :
1) Perbedaan fonetik, polimorfisme, atau alofonik. Perbedaan ini berada di bidang
fonologi, dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak
menyadari adanya perbedaan tersebut.
2) Perbedaan semantik, yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan
fonologi dan geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya juga terjadi geseran
makna kata itu. Geseran tersebut bertalian dengan corak, yaitu:
a) Pemberian nama yang berbeda untuk yang diberi lambang yang sama di beberapa
tempat yang berbeda, seperti turi dan turuy ’turi’.
b) Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat
yang berbeda. Misalnya calingcing untuk ’calingcing’.

3) Perbedaan onomasiologis yang menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu
konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda.
4) Perbedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis,
yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda.
5) Perbedaan morfologis, yang dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang bersangkutan,
oleh frekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh kegunaannya yang berkerabat, oleh
wujud fonetisnya, oleh daya rasanya, dan oleh sejumlah faktor lainnya lagi.

Universitas Sumatera Utara

Dalam bukunya Ayatrohaedi yang mengutip dari Guiraud, baik faktor kebahasaan
maupun faktor luar bahasa sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan dialek.
Keadaan alam, misalnya, mempengaruhi ruang gerak penduduk setempat, baik dalam
mempermudah penduduk berkomunikasi dengan dunia luar maupun mengurangi adanya
kemungkinan itu. Sejalan dengan adanya batasan alam itu, dapat dilihat pula adanya
batas-batas politik yang menjadi salah satu sarana terjadinya pertukaran bahasa.
Demikian pula halnya dengan ekonomi, cara hidup dan sebagainya, tercermin pula di
dalam dialek yang bersangkutan. Di samping itu, terjadinya ragam-ragam dialek itu
terutama disebabkan oleh adanya hubungan dan keunggulan bahasa-bahasa yang terbawa
ketika terjadi perpindahan penduduk, penyerbuan, atau penjajahan.

2.3.2 Konsep Geografi Dialek
Dari sejarah kelahirannya, geografi dialek merupakan perkembangan lebih lanjut dari
salah satu cabang ilmu bahasa bandingan, yang membedakannya ialah jika ilmu bahasa
bandingan di dalam kesimpulannya hampir selalu menunjuk pada bahasa purba yang sering tidak
pernah ada (Meillet, 1967:59). Geografi dialek juga menyajikan hal-hal yang bertalian dengan
pemakaian unsur bahasa yang diteliti pada saat penelitian dilakukan sehingga dapat dibuktikan.
Dialektologi dapat dibagi menjadi dua subcabang yaitu geografi dialek dan
sosiolinguistik. Geografi dialek mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal
dalam suatu wilayah bahasa, sementara sosiolinguistik mempelajari variasi bahasa berdasarkan
pola-pola kemasyarakatan. Menurut Dubois (dalam Ayatrohaedi, 2003:7), geografi dialek adalah
cabang dialektologi yang mengkaji hubungan dalam ragam-ragam bahasa.

Universitas Sumatera Utara

Nothofer (1993:169) mengungkapkan untuk penelitian geografi dialek diperlukan daerah
titik pengamatan. Di antara titik pengamatan atau dari satu titik pengamatan ke titik pengamatan
yang berdekatan diperlukan garis diagonal. Garis diagonal ditarik tidak boleh saling
berpotongan. Dengan demikian, garis diagonal yang menghubungkan satu titik pengamatan
dengan titik pengamatan yang lebih dekat dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam hal
penentuan perbedaan yang menjurus ke dialek suatu bahasa, subdialek suatu bahasa, perbedaan
suatu bahasa ataupun masih merupakan beda wicara.
Nadra dan Reniwati (2009:20) menyatakan bahwa geografi dialek adalah nama lain dari
dialektologi atau disebut juga dengan dialek regional. Geografi dialek mempelajari variasivariasi bahasa berdasarkan perbedaaan lokal (tempat) dalam suatu wilayah bahasa. Awalnya,
dialektologi mencakup dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal. Selanjutnya,
dialektologi pecah menjadi dua cabang yaitu dialektologi dan sosiolinguistik. Kedua disiplin
ilmu ini sama-sama merupakan cabang dari linguistik yang mempelajari perbedaan unsur-unsur
kebahasaan yang terdapat dalam satu bahasa. Hanya saja bedanya, dialektologi mempelajari
perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam satu bahasa yang disebabkan faktor
geografis, sedangkan sosiolinguistik mempelajari perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang
disebabkan faktor sosial.
Kajian geografi dialek dapat bersifat sinkronis dan dapat pula bersifat diakronis. Secara
sinkronis, kajian geografi dialek dilakukan dengan cara membandingkan variasi antara satu titik
pengamatan dengan titik pengamatan lain dalam masa yang sama. Secara diakronis, kajian
geografi dialek dilakukan untuk melihat perkembangan dialek itu dari masa yang berbeda.
Secara jelas, Abdul Chaer (2007:85) menyatakan bahwa kajian diakronis bahasa tentu
saja berkaitan dengan variasi-variasi, ragam-ragam atau dialek-dialek dari suatu bahasa. Bila

Universitas Sumatera Utara

kajian hanya berkenaan dengan dialek-dialek dari satu bahasa, maka bidang kajiannya disebut
dialektologi atau dialektologi diakronik. Selanjutnya, Chambers dan Trudgill (dalam Nadra dan
Reniwati, 2009:2) mengemukakan bahwa istilah dialek menunjuk pada variasi atau perbedaan
suatu bahasa, baik secara gramatikal, leksikal, maupun secara fonologis.
Konsep yang

digunakan dalam dialektologi bertumpu pada konsep-konsep yang

dikembangkan dalam linguistik, seperti konsep fonem dan alofon dalam bidang fonologi atau
konsep fitur distingtif untuk fonologi generatif; konsep morf, morfem, alomorf untuk bidang
morfologi. Konsep-konsep tersebut dimanfaatkan dalam kerangka deskripsi perbedaaan unsurunsur kebahasaan di antara daerah pengamatan dalam penelitian.
Tujuan penelitian geografi dialek adalah untuk mencari hubungan antara batas-batas
dialek atau bahasa dengan batas-batas alam maupun sejarah. Ada dua jenis geografi dialek yaitu
sinkronis dan diakronis. Nothofer (dalam Nadra dan Reniwati, 2009:22) mengemukakan tujuan
sinkronis penelitian geografi dialek adalah:
1) Memerikan varian berbagai tataran kebahasaan, seperti, varian fonologi, morfologi, leksikon,
sintaksis, dan semantik.
2) Pemetaan varian-varian itu.
3) Penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek dengan berpijak pada varian-varian unsur
kebahasaan yang telah dideskripsikan dan dipetakan itu.
4) Pemerian yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau subdialek: berian fonologi,
morfologi, leksikon, sintaksis, dan semantik yang membedakan dialek yang satu dengan
dialek yang lainnya dalam bahasa yang diteliti.
5) Pemerian dari aspek sosiolinguistiknya, seperti pengaruh dialek pusat kebudayaan atas dialek
lain.

Universitas Sumatera Utara

Tujuan diakronis atau historis penelitian geografi dialek adalah:
1) Merekonstruksi bahasa purba dari bahasa yang diteliti dengan memanfaatkan evidensi yang
terdapat dalam dialek atau subdialek yang mendukungnya.
2) Menentukan unsur-unsur yang merupakan inovasi, baik inovasi yang muncul dari dalam
(inovasi internal) maupun inovasi dari luar dialek itu sendiri (inovasi eksternal).
3) Menganalisis dialek ke dalam dialek lama dan dialek pembaharuan.
Ayatrohaedi (1983), Allen dan Linn (1986), Lauder (1993), dan Mahsun (2005)
menyatakan bahwa untuk menunjukkan perbedaan yang dianggap merupakan variasi dialek
suatu bahasa, perlu dibuat suatu atlas sesuai penyebaran pada lokasi penelitian.

2.3.3 Konsep Variasi Bahasa
Istilah variasi dalam konsep penelitian ini merupakan padanan dari kata variety dan
bukan variation. Variation dipadankan dengan kevariasian atau keragaman. Oleh karena itu,
istilah variasi dapat disamakan dengan ragam.
Halliday (1979:84) mengklasifikasi variasi bahasa menjadi dua, yaitu dialek dan register.
Dialek merupakan variasi bahasa yang terjadi disebabkan oleh perbedaan berdasarkan
pemakai/penutur bahasa, sedangkan register adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh
perbedaan pemakaiannya. Atas dasar pandangan Warnant (dalam Ayatrohaedi, 1979:13─14)
dialek digolongkan menjadi dialek geografi dan dialek sosial. Dialek geografi meliputi: dialek 1
adalah dialek yang berbeda-beda karena keadaan alam sekitar sepanjang perkembangannya
secara geografis di dalam daerah pakainya dan dialek 2 adalah dialek yang digunakan di luar
daerah pakainya, sedangkan dialek sosial adalah variasi bahasa yang digunakan di dalam
kelompok tertentu untuk membedakan dari kelompok lainnya atas dasar pekerjaan, usia,

Universitas Sumatera Utara

kegiatan, jenis kelamin, pendidikan, dan sebagainya. Variasi bahasa yang berupa dialek geografi
dan dialek sosial menjadi objek penelitian dialektologi, sedangkan variasi bahasa yang berupa
ragam atau register merupakan objek penelitian sosiolinguistik.
Pada kajian dialek, variasi bahasa tidak hanya dapat direkam dalam wilayah geografi dan
variasi bahasa tidak semata-mata bergantung pada transkripsi fonetis saja tanpa memperhatikan
sistem dan struktur bahasa atau dialek yang diamati. Kajian dialek harus memahami bahwa
variasi bahasa dapat muncul karena bahasa mempunyai sistem fonemik tersendiri dalam struktur
fonologi bahasa. Sistem fonemik, misalnya dapat dikaji berdasarkan prinsip (1) penyebaran
bunyi yang saling melengkapi, (2) kesamaan bunyi, (3) adanya pasangan minimal (Petyt,
1980:119─120; Chambers dan Trudgill, 2004:43─35).
2.3.4 Konsep Isoglos dan Berkas Isoglos
Untuk memudahkan pembacaan peta data (berian) digunakan sebuah garis yang akan
memagari daerah pakai berian. Garis itu dinamakan isoglos, yaitu garis imajiner yang
menghubungkan tiap titik pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan yang serupa (Keraf,
1984:54─164). Garis ini mulai ditarik di salah satu titik pengamatan dan dilanjutkan ke titik
pengamatan yang lain yang mempunyai bentuk berian yang sama, garis ini akhirnya menyatukan
titik pengamatan-titik pengamatan yang memiliki berian yang sama tersebut. Isoglos itu
ditumpuk menjadi berkas isoglos yang akan memperlihatkan batas bahasa atau dialek.
Pemakaian istilah isoglos dipopulerkan oleh Bielenstein, seorang ahli dialek Latvia
kelompok bahasa Baltika pada tahun 1892. Isoglos lahir pada saat para ahli dialektologi mulai
mengakui adanya hubungan yang erat antara penyebaran gejala kebahasaan dengan hal-hal di
luar bahasa (Lauder, 1993: 87)

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya, Bloomfield (1995:464) menyatakan bahwa isoglos hanya menunjukkan
bahwa ada perubahan bunyi, perubahan analogi-semantis, atau peminjaman bahasa yang telah
terjadi di suatu tempat dan pada suatu waktu, tetapi isoglos tidak menunjukkan letak perubahan
dan kapan terjadinya.
Nothofer (1993:169) menjelaskan bahwa ukuran yang digunakan untuk membagi satu
daerah ke dalam dialek adalah isoglos leksikal, semua titik pengamatan dihubungkan oleh satu
garis lurus dan hasilnya merupakan jaringan hubungan di daerah yang diteliti. Jika jumlah
isoglos yang memisahkan dua titik pengamatan itu kecil, mungkin merupakan daerah dialek
yang sama; jika jumlahnya besar, maka mungkin sekali dua titik pengamatan itu merupakan dua
daerah dialek yang berbeda.

2.3.5 Konsep Peta Bahasa
Pemetaan sebagaimana disinggung sebelumnya sangat penting dalam menampilkan
gejala kebahasaan. Artinya, pemetaan dan kajian geografi dialek merupakan suatu kesatuan,
antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Hal ini diakui pula oleh Saussure (1988: 332—333)
bahwa penelitian ciri-ciri dialek adalah tolak usaha memetakan bahasa.
Penelitian dialektologis memunculkan deskripsi data penelitian. Data tersebut diletakkan
di peta dan letaknya disesuaikan dengan letak titik pengamatan. Sebuah peta dialektologis
berisikan tidak hanya letak daerah penelitian, tetapi juga berian yang diletakkan sesuai dengan
daerah pakai (titik pengamatan) berian yang bersangkutan. Peta merupakan representasi sifatsifat yang ada di daerah penelitian
Ayatrohaedi (1979:30) menyatakan bahwa gambaran umum mengenai sejumlah dialek
baru akan tampak jelas, jika semua gejala kebahasaan yang ditampilkan dari bahasa yang

Universitas Sumatera Utara

terkumpul selama penelitian itu dipetakan. Oleh karena itu, kedudukan dan peran peta bahasa di
dalam kajian geografi dialek merupakan hal yang mutlak diperlukan. Dengan peta-peta bahasa
tersebut, perbedaan maupun persamaan yang terdapat pada antardialek yang diteliti itu dapat
dijadikan sebagai alat bantu yang penting di dalam usaha menjelaskan perbedaan tersebut.
Peta bahasa bisa berupa peta peragaan (display maps) dan peta tafsiran (interpretive
maps). Pada peta peragaan ini sungguh-sungguh mentransfer jawaban tertabulasi untuk masalah
tertentu ke atas peta, yang meletakkan tabulasi ke perspektif geografis. Sementara peta tafsiran
mencoba membuat pernyataan yang lebih umum dengan menunjukkan distribusi variasi utama
dari satu daerah ke daerah lain (Chambers dan Trudgill, 1980: 29).
Peran peta adalah sebagai alat visualisasi yang dapat diamati secara kasat mata mengenai
distribusi geografis tentang hal-hal yang menjadi isi peta. Ada tiga jenis peta dalam laporan hasil
penelitian dialektologi. Ketiganya adalah 1) peta dasar, 2) peta titik pengamatan, dan 3) peta
data.
Nadra dan Reniwati (2009:72) menyatakan bahwa peta dasar berisikan sifat-sifat
(geografis) yang berhubungan dengan daerah seperti sungai, gunung, dan danau. Penelitian
dialektologis juga melibatkan lebih dari satu titik pengamatan karena akan memetakan varian
yang muncul bersama dengan daerah pakainya. Nama titik pengamatan tidak dituliskan di dalam
peta, nama tersebut diganti dengan angka. Angkanya mulai dari 1 (satu) sampai seterusnya,
sebanyak titik pengamatan yang dilibatkan. Selanjutnya, peta data berisikan data penelitian. Data
atau berian tersebut dipindahkan ke peta dan diteruskan sesuai dengan daerah pakainya.
Dengan peta-peta bahasa, kenyataan-kenyataan yang ada, baik perbedaan maupun
persamaan yang terdapat antardialek yang diteliti itu dapat dinyatakan (Ayatrohaedi,

Universitas Sumatera Utara

1983:31─32). Hal ini senada dengan pendapat Wardhaugh (2009) yang menyatakan bahwa peta
bahasa digambarkan untuk menunjukkan batas tertentu di sekitar ciri-ciri bahasa.

2.3.6 Kerangka Teori
Teori yang dipakai dalam penelitian ini ialah teori yang dikemukakan oleh para ahli ilmu
bahasa bandingan dan dialektologi, terutama teori yang dikemukakan oleh Pop dan Jaberg (lihat
Ayatrohaedi, 1978). Adapun teori yang dikemukakan oleh para ahli itu melukiskan cara
pemerian unsur-unsur bahasa, penyebaran unsur-unsur bahasa, ciri-ciri unsur-unsur bahasa, serta
melukiskan cara memetakan unsur-unsur bahasa itu.
Dialektologi adalah ilmu yang mempelajari variasi bahasa, baik sosial maupun regional.
Variasi sosial bahasa dipelajari dalam sosiolinguistik, sedangkan variasi regional bahasa
dipelajari dalam geografi dialek. Tentang hal ini Keraf (1984: 143) menyebutkan bahwa
sosiolinguistik mempelajari variasi bahasa berdasarkan pola-pola kemasyarakatan. Sebaliknya,
geografi dialek mempelajari variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah
bahasa. Dubois (dalam Ayatrohaedi, 1985) menyatakan bahwa geografi dialek adalah cabang
dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan
bertumpu pada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam tersebut.
Dalam penelitian ini diterima anggapan penutur yang menyatakan bahwa variasi bahasa
merupakan variasi dialektis. Artinya, variasi itu tidak mengakibatkan isolek-isolek dibedakan
satu sama lain sebagai perbedaan bahasa, tetapi sebagai perbedaan dialek. Dasar yang digunakan
dalam menerima anggapan penutur ini adalah kenyataan kebahasaan, yakni antarpenutur dapat
saling memahami (mutual intelligibility). Sebagaimana dikemukakan oleh Chambers dan

Universitas Sumatera Utara

Trudgill (1998; lihat juga Poedjosoedarmo), bahasa adalah kumpulan dialek yang saling
dimengerti (mutual intelligibility).
Gambaran umum mengenai sejumlah dialek akan tampak jelas jika semua gejala
kebahasaan yang terkumpul selama penelitian dipetakan (Ayatrohaedi, 1979: 30). Dalam
penelitian ini digunakan atlas sebagai peta dasar dengan pertimbangan bahwa peta jenis ini
mudah dikerjakan dan cukup memadai untuk memetakan gejala kebahasaan. Suatu peta
dikatakan lengkap apabila memuat judul, skala peta, orientasi peta, lintang bujur, sumber, dan
pembuat peta. Pemetaan bahasa dilakukan untuk mengetahui persebaran pemakaian bahasa dan
perwujudan variasi kebahasaan.
Untuk mempermudah pemahaman pada peta-peta yang dibuat ditentukan isoglosnya,
yaitu garis yang menunjukkan kontras dalam distribusi suatu unsur atau kelompok unsur
linguistik terhadap unsur lain. Isoglos atau garis batas kata, yaitu garis yang memisahkan dua
lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem peta (Ayatrohaedi, 1985:5).
Isoglos digunakan untuk memisahkan bentuk unsur bahasa yang berbeda sehingga isoglos dapat
berupa isofonis, isotonis, isomorfis, isosintagmis, atau isoleksis.
Penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Wardaugh (2009) yang
menyatakan bahwa variasi bahasa merupakan variasi ujaran antarpenuturnya dalam
berkomunikasi yang disebabkan oleh adanya perbedaan geografis. Namun, bila dialami oleh
penutur suatu bahasa bisa disebut sebagai geografi dialek, yang akan mendeskripsikan setiap
unsur untuk memperlihatkan perbedaan pada bahasa itu sendiri serta dapat menggambarkan
perbedaan tersebut di dalam peta.
Petyt (1980:29) mendefinisikan bahwa dialektologi sebagai kajian terhadap variasi
bahasa yang baku dalam suatu masyarakat bahasa. Istilah ini bukan berarti bahwa variasi-variasi

Universitas Sumatera Utara

ini merupakan subjek yang berikutnya dalam perubahan linguistik, tetapi juga berhubungan
dengan penutur setempat atau sumber sosial yang bergantung pada situasi saat tuturan terjadi.
Dalam karangan Seguy (dalam Mahsun, 2005:167) yang berjudul La Dialectometrie dans
l’atlas Linguistique de la Gascogne diperkenalkan suatu istilah yang disebut dialektometri.
Istilah ini dibentuk dengan beranalogi pada istilah ekonometri dalam ilmu ekonomi. Menurut
Ravier (dalam Ayatrohaedi, 1983:32), dialektometri adalah ukuran statistik yang digunakan
untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang
diteliti dengan membandingkan sejumlah unsur yang terkumpul dari tempat penelitian.
Rumus dialektometri tersebut adalah sebagai berikut:

S X 100
------------n

=

d %

S

= jumlah beda dengan titik pengamatan lain

n

= jumlah peta yang diperbandingkan

d

= persentase jarak unsur-unsur kebahasaan antartitik pengamatan
Hasil yang diperoleh persentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah

pengamatan itu; selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan
tersebut dengan kriteria sebagai berikut.

Perbedaan bidang leksikon;
81 % ke atas

: dianggap perbedaan bahasa

51 – 80 %

: dianggap perbedaan dialek

31 – 50 %

: dianggap perbedaan subdialek

Universitas Sumatera Utara

21 – 30 %

: dianggap perbedaan wicara

20 % ke bawah

: dianggap tidak ada perbedaan (Guiter, 1973:96)

Perbedaan bidang fonologi;
17 % ke atas

: dianggap perbedaan bahasa

12 – 16 %

: dianggap perbedaan dialek

8 – 11 %

: dianggap perbedaan subdialek

4–7%

: dianggap perbedaan wicara

0–3%

: dianggap tidak ada perbedaan (Guiter, 1973:96)

Dari pengkategorian kriteria di atas terlihat bahwa level yang tertinggi adalah bahasa
yang berbeda dan yang terendah adalah level tanpa perbedaan. Meskipun dalam kajian
dialektologi dibicarakan level perbedaan bahasa, akan tetapi relasi antarbahasa-bahasa yang
berbeda itu tidaklah menjadi perbincangan dalam dialektologi.

2.3.7 Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian maka disusunlah kerangka
pikir penelitian yang berfungsi memberikan arahan pokok masalah dan tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian berdasarkan teori dan metode yang digunakan. Rumusan ini menjadi dasar
dalam menganalisis data kebahasaan BM di Mandailing Natal agar tergambar dengan jelas.
Awalnya metode ini mencermati daerah penelitian dan masyarakat bahasa (informan dan
bahasanya) untuk memperoleh data kebahasaan. Melalui keterkaitan antara teori, metode,
rumusan masalah, dan tujuan penelitian dicoba mengkaji beberapa unsur kebahasaan BM secara
dialektologis. Lalu dihitung menggunakan metode penerapan dialektometri. Pengkajian secara
dialektologis juga membahas deskripsi variasi BM yang meliputi atas tiga hal yaitu (1) variasi
leksikal, (2) variasi fonologis, dan (3) variasi afiks. Ketiga variasi tersebut akan dijabarkan

Universitas Sumatera Utara

berkas isoglosnya sesuai dengan data informan BM. Selanjutnya faktor-faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman dialek dan subdialek BM meliputi faktor ekstralinguistik yaitu
historis, geografis, sosial budaya, dan migrasi.
Dengan demikian, kerangka pikir penelitian ini bermanfaat sebagai pegangan peneliti
baik sebelum penelitian, saat penelitian dilakukan, maupun saat penganalisisan data berdasarkan
data kebahasaan yang diperoleh di lapangan dari informan. Kerangka pikir tersebut tergambar
jelas pada gambar di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Metode

Teori

Daerah Penelitian Bahasa Mandailing
Masyarakat Bahasa Mandailing
Bahasa
Mandailing

Informan

Pengelompokan Dialek dan Subdialek BM

Dialek BM A

Dialek BM B

Dialek BM C

Deskripsi Variasi BM
Kajian
Dialektologis

Variasi
Bahasa
Mandailing

Medan Makna

Variasi
Leksikal
Penerapan
Dialektometri

Variasi
Fonologis

Variasi
Afiks

Berkas
Isoglos

Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Dialek BM

Faktor Intralinguistik

− Proses Asimilasi
− Proses Struktur
Silabel

Faktor Ekstralinguistik





Historis
Geografis
Sosial dan Budaya
Migrasi

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Universitas Sumatera Utara