Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sejak era globalisasi, krisis keuangan menjadi lebih sering terjadi daripada
sebelumnya. Dalam dua dekade terakhir, setidaknya dua krisis keuangan besar
terjadi, yaitu Krisis Keuangan Asia Timur 1997 dan Krisis Keuangan Global
2008. Jika krisis pada tahun 1997 disebabkan oleh kurangnya transparansi dan
kredibilitas pemerintah yang menyebabkan distorsi struktural dan kebijakan,
gejolak ekonomi tahun 2008 terutama dipicu oleh inovasi yang cepat dalam
produk keuangan seperti praktek sekuritisasi dan “credit default swap”. Hal ini
diperburuk oleh spekulasi properti dan peringkat kredit yang tidak akurat. Pada
kedua kasus, perkembangan krisis menyebar ke benua-benua lain dan dalam
waktu singkat, menjadi krisis global karena efek menular di tengah sistem
keuangan yang terintegrasi secara global dan persebaran informasi yang cepat.
( Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2012).
Gelombang default (gagal bayar) di AS dan Eropa yang terjadi pada
sekuritas yang terkait dengan subprime mortgage AS, memunculkan krisis
kepercayaan yang parah di pasar keuangan global. Di tengah kerugian yang harus
ditanggung lembaga-lembaga keuangan akibat penempatan ke subprime mortgage
AS, perilaku menghindar (risk aversion) yang muncul akibat krisis kepercayaan di

antara pelaku pasar finansial akhirnya menciptakan kondisi sangat ketat di pasar
keuangan. Krisis yang terjadi di sektor finansial ini kemudian dengan cepat
menjadi bola salju yang bergulir ke seluruh perekonomian. Jatuhnya harga

perumahan di AS, meningkatnya foreclosures (pengambilalihan) kepemilikan
rumah akibat ketidakmampuan debitur dalam melakukan pembayaran, dan juga
kerugian dari aktivitas di pasar finansial, membuat konsumen di AS dan Eropa
segera kehilangan daya beli. Kondisi ini kemudian dengan cepat memukul
aktivitas bisnis. Dampak krisis finansial di AS dan Eropa selanjutnya menyebar ke
seluruh dunia, termasuk di antaranya negara-negara emerging markets. Intensitas
krisis ke pasar finansial global yang mengalami eskalasi pada akhir triwulan III2008 menyusul kolapsnya Lehman Brothers pada Oktober 2008, telah
menimbulkan tekanan pada stabilitas keuangan di Indonesia. Salah satu indikator
peningkatan tekanan tersebut adalah Indeks Stabilitas Keuangan atau Financial
Stability Index (FSI), yang sempat melampaui batas indikatif maksimum 2,
dengan posisi tertinggi pada bulan November 2008 sebesar 2,43. Tingginya angka
FSI dalam dua bulan terakhir tersebut terutama disebabkan oleh anjloknya IHSG
dan harga SUN. Di pasar saham, volume perdagangan saham dan IHSG
mengalami

tekanan


kuat

hingga memaksa

otoritas

BEI menghentikan

perdagangan (blackout) pada Oktober 2008. Gelombang kerugian di pasar
finansial global menyebabkan banyak investor asing yang mengalami kesulitan
likuiditas sehingga terpaksa menarik dananya (deleveraging) dari Indonesia.
Selain disebabkan oleh kesulitan likuiditas yang memicu deleveraging, anjloknya
pasar saham juga diduga kuat didorong oleh perilaku risk aversion dari investor
yang kemudian memicu terjadinya flight to quality dari aset yang dipandang
berisiko ke aset yang lebih aman. (Outlook Ekonomi Indonesia 2009 – 2014,
2009).

Di Indonesia, yang terkena dampak dari adanya krisis global adalah sektor
riil. Sektor-sektor yang paling terkena imbas krisis global adalah sektor yang

mengandalkan permintaan eksternal (tradable) seperti industri manufaktur,
pertanian, dan pertambangan. Ketiga sektor ini menyumbang lebih dari 50 persen
PDB

dan

menyerap

lebih

dari

60

persen

tenaga

kerja


nasional.

(www.kompasiana.com).
Dampak krisis global mulai dirasakan ketika pertumbuhan ekonomi
Indonesia menurun tajam pada akhir tahun 2008. Meskipun perekonomian
Indonesia tetap menunjukkan daya tahan terhadap krisis yang terjadi
dibandingkan dengan Negara-negara tetangga lain, yang ditandai dengan
pertumbuhan GDP sebesar 4,4 persen pada kuartal pertama tahun 2009,
ditemukan penyusutan cepat pada volume perdagangan, penurunan eksport dalam
jumlah besar, dan kemerosotan harga komoditas utama.

Penurunan terbesar

terjadi pada sektor manufaktur (tekstil-kulit-alas kaki, kayu dan produk kayu).
(www.smeru.or.id).
Ada beberapa dampak atas terjadinya krisis keuangan tersebut, salah
satunya adalah terdapat beberapa perusahaan yang menjadi de-listing akibat dari
krisis tersebut. Menurut Pranowo et al (2010), terjadinya de-listing beberapa
perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia (IDX) disebabkan karena kesulitan
keuangan atau berada pada kondisi financial distress. Salah satu perusahaan

manufaktur yang de-listing dari Bursa Efek Indonesia terhitung sejak tanggal 21
Januari 2015 adalah PT. Davomas Abadi, Tbk. yang merupakan perusahaan
multinasional yang memproduksi makanan dan telah berdiri sejak tahun 1993.

Perseroan telah disuspensi sahamnya sejak bulan Maret 2012 di seluruh pasar
karena mengalami kegagalan bayar kupon obligasi. Proses gagal bayar tersebut
terjadi akibat kelanjutan kasus default perseroan yang tergerus krisis ekonomi
global. Keputusan de-listing dilakukan setelah suspensi saham perseroan dicabut
di pasar negosiasi selama 20 hari sejak perdagangan pada tanggal 18 Desember
2014 hingga 21 Januari 2015 (www.metrotvnews.com).
Suatu perusahaan dapat dikategorikan sedang mengalami financial distress
jika perusahaan tersebut memiliki kinerja yang menunjukkan laba operasinya
negatif, laba bersih negatif, nilai buku ekuitas negatif, dan perusahaan yang
melakukan merger (Brahmana, 2007). Kondisi yang dialami oleh perusahaan
memaksa manajemen untuk menyusun langkah-langkah untuk memperbaiki
kinerja keuangannya. Salah satu langkah yang dilakukan oleh manajemen adalah
membuat strategi penyehatan atau yang dikenal dengan istilah turnaround (Smith
dan Graves, 2005).
Turnaround merupakan sebuah proses untuk membawa sebuah perusahaan
dari situasi poor performance menjadi situasi baru good sustained performance.

Turnaround yang sukses adalah sebuah proses yang kompleks meliputi kombinasi
dari faktor lingkungan, sumber daya internal, strategi perusahaan yang relevan
pada berbagai tahap penurunan kinerja, yang menghasilkan peningkatan kinerja
keuangan. Perusahaan memerlukan strategi yang memang efektif untuk dapat
mencapai recovery atau keberhasilan turnaround (Francis dan Desai, 2005).
Penelitian mengenai financial distress dan turnaround mempunyai keterkaitan
yang erat karena keberhasilan turnaround ditentukan dari respon perusahaan

dalam mengatasi masalah yang membawa perusahaan pada kondisi financial
distress.
Fenomena keberhasilan turnaround dapat dilihat antara lain adalah
keberhasilan yang diraih oleh perusahaan Nissan. Nissan, saat di bail-out oleh
Schweitzer (Renault) tahun 1998 yang mengirim Carlos Ghosn sebagai CEO,
adalah perusahaan raksasa dengan manajemen yang kacau, boros dan tidak dapat
memproduksi mobil yang menghasilkan keuntungan serta memiliki masalah
cashflow yang parah.

Dalam proses turnaround, serangkaian langkah kunci

dilakukan untuk merevitalisasi kebesaran Nissan. Beberapa diantaranya adalah

meluncurkan Nissan Recovery Plan yang berisi secara detail dan jelas tindakan
kunci apa saja yang perlu dilakukan untuk mentransformasi Nissan. Dalam
recovery plan ini terdapat dua strategi kunci. Yang pertama adalah segera
melakukan revitalisasi produk-produk baru Nissan. Proses pengembangan produk
baru harus dipercepat dan segera ditingkatkan kapabilitasnya. Strategi yang kedua
adalah melakukan efisiensi biaya secara besar-besaran. Termasuk didalamnya
adalah menutup pabrik-pabrik yang tidak produktif, sentralisasi proses purchasing
secara global agar lebih efisien, serta juga mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan
yang non value-added. Langkah lainnya yang dilakukan oleh Ghosn adalah
membentuk Cross Functional Team (CFT) yang terdiri dari Business
Development,

Purchasing,

Manufacturing

and

Logistik,


Research

and

Development, Sales Marketing, General and administrative, Finance and Cost,
Phase Out Products and Part, Complexity management dan Organizational
Structure untuk memastikan bahwa semua yang tercantum dalam recovery plan

dapat dijalankan dengan tuntas. Serangkaian strategi yang dijalankan tersebut
membawa keberhasilan bagi Nissan. Pada tahun 2001 Nissan telah kembali
meraih keuntungan, dan terus mengalami pertumbuhan yang mengesankan hingga
hari ini. Ini dapat dilihat dari keberhasilan produk Nissan antara lain Nissan XTrail yang pada tahun 2005 pernah menjadi No.1 SUV di Indonesia, disusul oleh
kesuksesan mobil Grand Livina pada tahun 2007. Dua produk ini dan juga
sejumlah varian lain Nissan lainnya lantas melambungkan kembali nama Nissan
dalam pasar otomotif di Indonesia, dan juga dalam industri mobil dunia
(www.strategimanajemen.net).
Salah satu keberhasilan turnaround yang terjadi di Indonesia adalah pada
PT. Pos Indonesia (Persero). Proses turnaround yang dilakukan oleh PT. Pos
Indonesia (Persero) hanya melakukan perubahan orientasi dan penajaman cakupan
bisnis melalui ekspansi dalam kerangka reinventing bisnis melalui pembentukan

beberapa SBU dan Proyek Bisnis. Tidak ada pengurangan pada lini bisnis atau
produk yang merupakan salah satu dari tahapan retrenchment. Proses turnaround
atau reorganisasi PT Pos Indonesia (Persero) yang berlangsung sejak tahun 2007
hingga saat ini memberikan implikasi bagi kelangsungan salah satu unit binisnya
yaitu SBU Pos Admail yang bergerak dalam industri variable printing dengan
segmentasi pelanggan korporat. Pembentukan ini dinilai sebagai langkah yang
tepat karena masih dalam kerangka bisnis dengan kompetensi inti yang dimiliki
perusahaan yaitu mail, logistik, serta jasa keuangan. SBU ini juga mencapai
tingkat pertumbuhan pendapatan yang cukup tinggi, serta mampu memberikan
real value added bagi pelanggan ritel premium dan korporat. SBU Pos Admail

yang termasuk ke dalam kelompok core business mail menjadi sebuah unit bisnis
pada tahun 2009 sesuai dengan concern perusahaan dalam mengembangkan bisnis
Pos Admail pada Strategic Business Program 2009. Pada tahapan reorganisasi
korporat tahun 2012, SBU Pos Admail tidak lagi sebagai unit bisnis perusahaan
yang berkembang menjadi anak perusahaan, namun justru menjadi organisasi area
yang memiliki keterbatasan dalam wewenang serta pengelolaan operasional
hariannya. Di sisi lain, kinerja Pos Admail yang dinilai memiliki pertumbuhan
produksi yang relatif meningkat dalam kurun waktu 2005-2007 menjadi salah satu
alasan mengapa unit bisnis ini direncanakan akan dikembangkan menjadi anak

perusahaan (Hikmah, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu seperti Robbin dan Pierce (1992),
Smith dan Graves (2005) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

keberhasilan turnaround perusahaan antara lain ∆severity. ∆severity menunjukkan
seberapa besar tingkat penurunan kinerja perusahaan yang dicerminkan oleh rasio
keuangan. Semakin tinggi tingkat penurunan kinerja perusahaan, maka semakin
kecil keberhasilan turnaround perusahaan dapat dicapai.
Faktor lain yang turut mempengaruhi keberhasilan turnaround adalah free
assets. Perusahaan yang mengalami financial distress dengan free assets yang
cukup (seperti aset yang melebihi hutang atau aktiva tetap yang melebihi jaminan
hutang) akan mempunyai peluang kesuksesan yang lebih tinggi dalam
menghindari kebangkrutan. Karena akan memudahkan perusahaan untuk
memperoleh tambahan dana yang diperlukan untuk tercapainya keberhasilan
turnaround, serta sebagai alat untuk menyakinkan pemberi pinjaman/kreditor

bahwa terdapat aset yang cukup untuk membayar kembali pinjaman jika
diperlukan (White, 1984, 1989) dalam Smith dan Graves (2005).
Selain free assets, faktor internal perusahaan yang mempengaruhi
keberhasilan turnaround adalah profitabilitas. Menurut Robbin dan Pearce (1992)

perusahaan dengan kondisi financial distress, mengindikasikan bahwa kinerja
operasi perusahaan mengalami penurunan, sehingga laba yang dihasilkan juga
kurang optimal. Semakin rendah produktifitas seluruh aset perusahaan dalam
menghasilkan laba, maka akan semakin sulit bagi perusahaan untuk mencapai
keberhasilan turnaround.
Menurut David (2006), Retrenchment sebagai salah satu strategi defensif
terjadi ketika suatu organisasi mengelompokkan ulang melalui pengurangan asset
dan biaya untuk membalikkan penjualan dan laba yang menurun. Robbin dan
Pearce (1992) yang mempelajari retrenchment sebagai bagian dari proses
turnaround menemukan bahwa perusahaan yang melakukan retrenchment
memperoleh peningkatan kinerja perusahaan yang lebih baik.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dan hasil yang diperoleh dalam
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan hasil
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan turnaround,
maka selanjutnya penulis bermaksud untuk melakukan pengujian dan menetapkan
judul penelitian “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
turnaround pada perusahaan yang mengalami financial distress”

1.2. Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah Ukuran perusahaan (Firm Size), Profitabilitas (profitability),
kecenderungan tingkat kesehatan perusahaan (∆severity), Free Assets, Assets
Retrenchment dan Expenses Retrenchment berpengaruh secara parsial
terhadap keberhasilan turnaround?
2. Apakah Ukuran perusahaan (Firm Size), Profitabilitas (profitability),
kecenderungan tingkat kesehatan perusahaan (∆severity), Free Assets, Assets
Retrenchment dan Expenses Retrenchment berpengaruh secara simultan
terhadap keberhasilan turnaround?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis pengaruh Ukuran perusahaan (Firm Size), Profitabilitas
(profitability), kecenderungan tingkat kesehatan perusahaan (∆severity), Free
Assets, Assets Retrenchment dan Expenses Retrenchment secara parsial
terhadap keberhasilan turnaround.
2. Menganalisis pengaruh Ukuran perusahaan (Firm Size), Profitabilitas
(profitability), kecenderungan tingkat kesehatan perusahaan (∆severity), Free
Assets, Assets Retrenchment dan Expenses Retrenchment secara simultan
terhadap keberhasilan turnaround.

1.4.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Perusahaan - perusahaan manufaktur yang mengalami financial distress yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia, untuk mengetahui faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap keberhasilan turnaround untuk selanjutnya dilakukan
upaya peningkatan kinerja perusahaan.
2. Pengguna informasi keuangan perusahaan, seperti kreditor maupun investor
dalam mengambil keputusan yang relevan dengan informasi kinerja
perusahaan dalam menghadapi kondisi financial distress.
3. Ilmu pengetahuan, sebagai konfirmasi atas teori faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan turnaround pada perusahaan yang mengalami
financial distress dan menjadi referensi penelitian-penelitian sejenis
berikutnya.

1.5. Originalitas
Sudah pernah dilakukan penelitian oleh Smith dan Graves (2005) dengan
judul “Corporate Turnaround and Financial Distress” dengan menggunakan
variable dependen berupa successfull turnaround dan variabel independen berupa
severity of distress, efficiency strategies/ downsizing, free assets, CEO turnover
dan firm size. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel severity of distress
(tingkat

distress)

berpengaruh

negatif

signifikan

terhadap

keberhasilan

turnaround, downsizing bukanlah faktor yang signifikan, akan tetapi berpengaruh
negatif terhadap keberhasilan turnaround, free assets juga berpengaruh positif
terhadap keberhasilan turnaround namun tidak signifikan, CEO turnover
(pergantian CEO) bukan merupakan faktor yang signifikan sedangkan firm size
(ukuran perusahaan) berpengaruh positif signifikan terhadap keberhasilan
turnaround.

Beberapa perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu
adalah :
1.

Variabel dependen
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah
keberhasilan

turnaround.

Pengukuran

variabel

dependen

dilakukan

berdasarkan analisis diskriminan Taffler.
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah keberhasilan
turnaround. Pengukuran variabel dependen dilakukan berdasarkan analisis
diskriminan Altman.
2.

Variabel independen
Variabel independen yang digunakan dalam penelitian

terdahulu adalah

severity of distress, efficiency strategies/ downsizing, free assets, CEO
turnover dan firm size.
Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ukuran
Perusahaan (Firm size), Profitabilitas (profitability), kecenderungan tingkat
kesehatan perusahaan (∆severity), Free Assets, Assets Retrenchment dan
Expenses Retrenchment. Peneliti tidak mengikutsertakan variabel CEO
turnover sesuai dengan penelitian terdahulu karena peneliti ingin melakukan
analisa data dengan analisis diskriminan yang mewajibkan seluruh variabel
independen berskala metrik, sementara CEO turnover merupakan variabel
berskala non metrik. Peneliti menambahkan variabel profitabilitas yang
merujuk kepada penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Triani (2013),

sedangkan penambahan variabel expenses retrenchment merujuk kepada
penelitian yang dilakukan oleh Francis dan Desai (2005).
3.

Populasi penelitian
Populasi penelitian dalam penelitian terdahulu adalah perusahaan manufaktur
di Inggris yang terdaftar dalam London Stock Exchange sejak tahun 1980
sampai dengan tahun 1990.
Populasi penelitian dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sejak tahun 2009 sampai
dengan tahun 2013. Peneliti memilih perusahaan manufaktur karena pada
umumnya perusahaan manufaktur merupakan perusahaan yang paling
dominan di Indonesia dan paling banyak terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Dokumen yang terkait

ANALISIS DETERMINAN KEBERHASILAN TURNAROUND PADA PERUSAHAAN YANG MENGALAMI KONDISI FINANCIAL DISTRESS

0 8 18

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN TURNAROUND PADA PERUSAHAAN Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada Perusahaan yang Mengalami Financial Distress (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Ta

0 3 19

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANGMEMPENGARUHIKEBERHASILAN TURNAROUND Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada Perusahaan yang Mengalami Financial Distress (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2010-2014).

1 3 16

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

2 2 16

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

0 0 2

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

0 0 29

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

1 7 4

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

0 0 60

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada Perusahaan yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

1 1 11

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada Perusahaan yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

0 0 2