Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pengertian Financial Distress
Beberapa ahli ekonomi memiliki pengertian yang berbeda mengenai financial
distress antara lain :
1. Menurut Platt dan Platt (2002),

financial distress merupakan tahap

penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan
maupun likuidasi.
2. Menurut Altman dan Hotchkiss (2006), financial distress digolongkan ke
dalam empat istilah umum, yaitu:
a. Economic Failure
Economic Failure terjadi ketika pendapatan perusahaan tidak dapat
menutup total biaya termasuk biaya modal. Usaha yang mengalami hal
tersebut dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditur berkeinginan
untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat
pengembalian (return) di bawah tingkat bunga pasar.

b. Business Failure
Business Failure seringkali digunakan untuk menggambarkan berbagai
macam kondisi bisnis yang tidak memuaskan. Business Failure mengacu
pada sebuah perusahaan berhenti beroperasi karena ketidakmampuannya
untuk menghasilkan keuntungan atau mendatangkan penghasilan yang

cukup untuk menutupi pengeluaran. Sebuah bisnis yang menguntungkan
dapat gagal jika tidak menghasilkan arus kas yang cukup untuk memenuhi
pengeluaran.
c. Insolvency
1. Technical insolvency
Kondisi dimana perusahaan tidak mampu memenuhi kewajibannya
yang jatuh tempo sebagai akibat dari ketidakcukupan arus kas.
2. Insolvency in Bancrupty Sense
Kondisi dimana total kewajiban lebih besar dari nilai pasar total aset
perusahaan dan karena itu memiliki ekuitas yang negatif.
d. Legal Bankruptcy
Sebuah bentuk formal kebangkrutan dan telah disahkan secara hukum.
2.1.2. Penyebab Financial Distress
Financial distress terjadi ketika perusahaan mengalami kesulitan keuangan

(financial difficult) yang dapat diakibatkan oleh bermacam-macam faktor.
Menurut Damodaran (1997), faktor penyebab financial distress dapat berasal dari
dalam maupun luar perusahaan. Penyebab dari dalam perusahaan lebih bersifat
mikro. Adapun faktor-faktor dari dalam perusahaan tersebut adalah :
1. Kesulitan arus kas
Terjadi ketika penerimaan pendapatan perusahaan dari hasil kegiatan operasi
tidak cukup untuk menutupi beban-beban usaha yang timbul atas aktivitas
operasi perusahaan. Selain itu kesulitan arus kas juga bisa disebabkan adanya
kesalahan manajemen ketika mengelola aliran kas perusahaan dalam

melakukan pembayaran aktivitas perusahaan dimana dapat memperburuk
kondisi keuangan perusahaan.
2. Besarnya jumlah hutang
Kebijakan pengambilan hutang perusahaan untuk menutupi biaya yang timbul
akibat operasi perusahaan akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan untuk
mengembalikan hutang di masa mendatang. Ketika tagihan jatuh tempo,
sedangkan perusahaan tidak mempunyai cukup dana untuk melunasi tagihantagihan tersebut, maka kemungkinan yang dilakukan kreditur adalah
melakukan

penyitaan


harta

perusahaan

untuk

menutupi

kekurangan

pembayaran tagihan tersebut.
3. Kerugian dalam kegiatan operasional perusahaan selama beberapa tahun
Dalam hal ini merupakan kerugian operasional perusahaan yang dapat
menimbulkan arus kas negatif dalam perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena
beban operasional lebih besar dari pendapatan yang diterima perusahaan.
Faktor eksternal perusahaan lebih bersifat makro, di mana cakupannya lebih
luas. Faktor eksternal dapat berupa kebijakan pemerintah yang dapat menambah
beban usaha yang ditanggung perusahaan, misalnya tarif pajak yang meningkat
dapat menambah beban perusahaan. Selain itu masih ada kebijakan suku bunga

pinjaman yang meningkat, di mana bisa menyebabkan peningkatan beban bunga
yang ditanggung perusahaan.
2.1.3. Pengukuran Financial Distress
Analisis diskriminan merupakan teknik statistik yang digunakan oleh
Altman dalam penelitiannya untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan, yang

terkenal dengan sebutan Multiple Discriminant Analysis (MDA). Analisis
diskriminan meliputi pembentukan kombinasi linear dari dua atau lebih variabel
independen yang mampu dengan baik dalam membedakan antara dua kelompok
tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu (Hair et al, 1998).
MDA digunakan untuk mengklasifikasikan pengamatan menjadi salah satu
dari beberapa kelompok yang tergantung pada karakteristik pengamatan. Tehnik
ini terutama digunakan untuk mengklasifikasikan atau membuat prediksi dalam
permasalahan di mana variabel dependen yang muncul adalah dalam bentuk
kualitatif seperti pilihan antara laki-laki atau perempuan, bangkrut atau tidak
bangkrut (Altman, 2000). Pendekatan MDA dapat mengkombinasikan berbagai
rasio menjadi suatu model prediksi yang berarti dan dapat digunakan untuk
seluruh perusahaan. Hasil penelitian yang dikembangkan Altman, yaitu :
Z-Score = 0,717 WC/TA + 0,847 RE/TA + 3,107 EBIT/TA+ 0,42 MVE/BVD + 0,998 S/TA


Adapun rasio-rasio tersebut adalah :
1. Modal Kerja / Total Aktiva (WC/TA)
Rasio ini mengukur likuiditas dengan membandingkan aktiva lancar bersih
dengan total aktiva. Modal kerja didefinisikan sebagai total aktiva lancar
dikurangi total kewajiban lancar.
2. Laba Ditahan / Total Aktiva (RE/TA)
Rasio

ini

mengukur

kemampulabaan

(profitabilitas)

kumulatif

dari


perusahaan. Pada beberapa tingkat, rasio ini juga mencerminkan umur
perusahaan. Umumnya, bila perusahaan mengalami kesulitan keuangan,

modal kerja akan turun lebih cepat daripada total aktiva menyebabkan rasio
ini turun.
3. Earning Before Interest and Tax / Total Aktiva (EBIT/TA)
Rasio

ini

mengukur

kemampulabaan

(profitabilitas)

yaitu

tingkat


pengembalian dari aktiva, yang dihitung dengan membagi laba sebelum
bunga dan pajak (EBIT) tahunan perusahaan dengan total aktiva pada neraca
akhir tahun.
4. Modal Sendiri / Total Hutang (MVE/BVD)
Modal sendiri yaitu jumlah saham perusahaan dikalikan dengan harga pasar
per lembar sahamnya. Umumnya perusahaan yang gagal, mengakumulasikan
lebih banyak hutang dibandingkan modal sendiri.
5. Penjualan/Total Aktiva (S/TA)
Rasio perputaran modal adalah standar rasio keuangan yang menggambarkan
kemampuan peningkatan penjualan dari aktiva perusahaan yang merupakan
suatu ukuran dari kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi yang
kompetitif.
Kriteria resiko kebangkrutan (cut-off) sebuah perusahaan berdasarkan metode
analisis Altman dapat dilihat dari nilai Z-Score-nya sebagai berikut:
a. Z-Score > 2,90 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat
sehingga tidak mengalami kesulitan keuangan.
b. 1,23 < Z-Score < 2,90 berada di daerah abu-abu sehingga dikategorikan
sebagai

perusahaan


yang

memiliki

kesulitan

keuangan,

namun

kemungkinan terselamatkan dan kemungkinan bangkrut sama besarnya

tergantung dari keputusan kebijaksanaan manajemen perusahaan sebagai
pengambil keputusan.
c. Z-Score < 1,23 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan
keuangan yang sangat besar dan beresiko tinggi sehingga kemungkinan
bangkrutnya sangat besar (Altman dan Hotchkiss, 2006).
2.1.4.


Pengertian Turnaround
Turnaround adalah sebuah proses untuk membawa sebuah perusahaan dari

situasi poor performance kepada situasi baru good sustained performance
(Bibeault, 1982). Menurut Pandit (2000), turnaround merupakan perbaikan atas
kondisi ekonomi perusahaan menyusul adanya penurunan yang bersifat
mengancam perusahaan.
Menurut Chowdhury (2002), turnaround berkaitan dengan kelangsungan
hidup perusahaan sehingga turnaround dipandang sebagai permasalahan yang
terkait dengan kinerja perusahaan di dalam manajemen strategi. Turnaround
terjadi ketika sebuah perusahaan berusaha untuk melewati ancaman atas
keberadaan perusahaan seperti penurunan kinerja, mengakhiri ancaman dengan
kombinasi strategi, sistem, keterampilan, dan kemampuan dan mencapai
pemulihan yang berkelanjutan.
2.1.5. Jenis – jenis Turnaround
Turnaround sebagai strategi perusahaan yang sukses, dapat dijalankan
dalam beberapa tahap siklus hidup perusahaan. Beberapa jenis turnaround yang
dijalankan dalam perusahaan menurut yang dikemukakan oleh Kamel (2005)
antara lain :


1.

Smart Turnaround
Ketika perusahaan mengalami penurunan hasil dan atau profitabilitas karena
beberapa alasan dan perusahaan segera melakukan percobaan turnaround
untuk secepatnya membelokkan perusahaan ke arah yang benar. Jenis
turnaround ini membutuhkan perusahaan dengan sistem pengukuran yang
tepat untuk faktor yang mempengaruhi lingkungan internal maupun
eksternal dan kepemimpinan yang visioner dan proaktif.

2.

Just In Time (JIT) Turnaround
Jenis turnaround ini digunakan ketika perusahaan menghadapi kondisi
penurunan hasil dan profitabilitas secara berkelanjutan. JIT melibatkan
pengajuan

percobaan

turnaround tepat


sebelum

perusahaan

mulai

kehilangan laba.
3.

Survival Turnaround
Jenis turnaround ini digunakan ketika perusahaan sudah kehilangan laba dan
mengalami penurunan hasil dalam jangka waktu yang cukup lama. Dalam
situasi ini, sumber daya perusahaan langka dan mendekati kebangkrutan.

Maturity

Sustainability
Smart
Turnaround

Growth

+

Profit

JIT
Turnaround

Recovery
TIME

Startup
2nd turnaround

Survival
Turnaround

Insolvency

Insolvency

Gambar 2.1. Siklus Hidup Turnaround, Kamel, 2005
2.1.6. Proses Turnaround
Bibeault (1982) memandang proses turnaround sebagai melibatkan lima
tahap yang saling bergantung, yaitu :
a. Tahap perubahan manajemen
Tahap ini berfokus pada pergantian manajemen yang saat ini berkuasa dengan
manajemen baru karena manajemen lama tidak mampu untuk mengatasi
permasalahan atau manajemen lama justru merupakan masalah di dalam
perusahaan karena kurangnya kredibilitas manajemen dalam mengatasi
masalah. Manajemen baru dapat dipilih dari pihak internal maupun ekternal
perusahaan. Dalam kondisi turnaround yang sulit, umumnya perusahaan
memilih pihak luar dengan pertimbangan objektivitas dalam mengevaluasi
situasi dan lebih cakap dalam mengambil langkah dan tindakan yang drastis.

b. Tahap evaluasi
Tahap ini berfokus pada kelangsungan hidup perusahaan dan persiapan untuk
bertahan atau rencana melakukan turnaround. Pemahaman yang baik atas
bisnis sebelum mengambil tindakan adalah kritis untuk kredibilitas dan
memperkenankan pemimpin baru untuk menjalankan pengendalian yang
lebih banyak. Dalam tahap ini pula, penting bagi manajemen untuk segera
mengidentifikasi masalah, memutuskan penyelesaian untuk masalah tersebut,
mempersiapkan rencana tindakan secara tertulis dan mengkomunikasikan
rencana tersebut baik ke manajemen puncak untuk persetujuan maupun ke
tim kunci manajemen.
c. Tahap Emergency
Pada tahap ini perusahaan melakukan hal-hal penting untuk memastikan
kelangsungan hidupnya. Pada tahap ini, kas memiliki peranan penting
sehingga perusahaan wajib menghentikan kelebihan arus kas yang terjadi.
Beberapa perusahaan mengambil pendekatan yang berbeda dengan mengatur
cadangan dalam rekening untuk mengantisipasi kerugian.
d. Tahap Stabilisasi
Dalam tahap ini, perusahaan mulai untuk melihat di luar permasalahan yang
dihadapi setiap hari dan persyaratan untuk mempertahankan perusahaan.
Selama tahap ini, perhatian atau tekanan bergeser pada tiga hal yaitu berfokus
pada profitabilitas untuk menambah arus kas, yang kedua adalah menjalankan
operasional dengan lebih baik dan memperbaiki pengambilan sikap

perusahaan untuk menyediakan dasar untuk pertumbuhan masa menengah.
Fokus pada tahap ini adalah mengendalikan pertumbuhan laba.
e. Tahap kembali ke pertumbuhan normal
Prioritas utama perusahaan adalah pertumbuhan pendapatan yang didukung
dengan penambahan produk baru, pengembangan pasar baru dan peningkatan
pembelian secara efektif serta perbaikan pelayanan kepada pelanggan.
Dalam model proses Turnaround yang dikemukakan oleh Smith dan Graves
(2005) dijabarkan bahwa proses turnaround terdiri dari dua tahap yaitu :
a. Decline stemming phase yang dipengaruhi beberapa faktor seperti tingkat
ketahanan perusahaan terhadap distress, sumber-sumber bebas yang tersedia
dan ukuran perusahaan serta recovery phase. Decline stemming phase
bertujuan untuk menstabilisasi kondisi keuangan perusahaan dengan
pengumpulan dukungan pemegang saham, meningkatkan efisiensi dan cash
flow, meningkatkan manajemen secara internal dan proses pengambilan
keputusan.
b. Recovery phase yang bertujuan untuk memastikan penyebab dari kondisi
penurunan perusahaan telah ditanggulangi. Strategi dalam tahap ini meliputi
mempertahankan efisiensi, konfigurasi ulang pengelolaan perusahaan maupun
kombinasi keduanya.
Kedua tahap ini biasanya dilaksanakan secara berurutan, namun kadang kala
pelaksanaannya tergantung kepada kondisi yang memungkinkan kedua tahap
tersebut dijalankan secara bersamaan.

Gambar 2.2. Model Proses Turnaround (Smith dan Graves, 2005)

2.1.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround
2.1.7.1.Ukuran perusahaan/Firm Size
Menurut Francis dan Desai (2005), ukuran perusahaan merupakan gambaran
dari besar kecilnya suatu perusahaan yang dapat dilihat dari total aset, omset
penjualan ataupun jumlah karyawan suatu perusahaan.
Berdasarkan teori berbasis sumber daya, perusahaan besar akan lebih
bersifat mengisolasi (Hannan dan Freeman, 1984) dan stabil dalam menghadapi
situasi ekonomi, karena sistem institusional perusahaan yang lebih luas
(Haveman, 1993).
LoPucki dan Doherty (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara ukuran perusahaan dan keberhasilan
turnaround ketika kesuksesan diukur dengan konfirmasi atau penyempurnaan
rencana. Perusahaan besar lebih mungkin untuk berhasil dan reorganisasi
perusahaan yang melibatkan pengurangan ukuran perusahaan yang lebih besar
juga akan lebih sering berhasil.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Graves (2005),
ditemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh secara positif terhadap
keberhasilan turnaround. Semakin besar ukuran perusahaan dapat mendukung
kemampuan perusahaan yang mengalami financial distress dalam melakukan
turnaround. Hasil penelitian ini sejalan juga dengan yang dilakukan oleh Marbun
(2014).
Akan tetapi ada juga penelitian dengan hasil yang berlawanan antara lain
menurut Francis dan Desai (2005) menemukan bahwa ukuran perusahaan tidak

memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberhasilan turnaround. Hal ini
cukup menarik karena walaupun secara konseptual ukuran perusahaan yang besar
akan menolong reorientasi strategi melalui akses kepada sumber daya internal
yang lebih besar dan hubungan dengan unsur pokok eksternal, namun
pengaruhnya tidak signifikan bagi hasil turnaround.
2.1.7.2.Profitabilitas / Profitability
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
selama periode tertentu (Brigham dan Houston, 2001). Profitabilitas juga
mempunyai arti penting dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidup
perusahaan dalam jangka panjang, karena profitabilitas menunjukkan apakah
badan usaha tersebut mempunyai prospek yang baik di masa yang akan datang.
Dengan demikian setiap badan usaha akan selalu berusaha meningkatkan
profitabilitasnya, karena semakin tinggi tingkat profitabilitas suatu badan usaha
maka kelangsungan hidup badan usaha tersebut akan lebih terjamin.
Menurut pendapat Hermuningsih (2013), profitabilitas penting untuk
menjaga aktivitas perusahaan dalam jangka panjang, dan mencerminkan
prospek perusahaan. Dengan cara ini, semua perusahaan akan mencoba untuk
meningkatkan
Profitabilitas

profitabilitas
juga

untuk

mencerminkan

meyakinkan
efisiensi

kelangsungan

manajemen,

bisnisnya.

diukur

dengan

yield atas pengembalian.
Profitabilitas berpengaruh secara positif terhadap keberhasilan turnaround.
Semakin tinggi profitabilitas, semakin mendorong perusahaan untuk mencapai
keberhasilan turnaround. Menurut Robbin dan Pearce (1992), perusahaan dengan

kondisi financial distress mengindikasikan bahwa kinerja operasi perusahaan
mengalami penurunan, sehingga laba yang dihasilkan juga kurang optimal.
Semakin rendah produktifitas seluruh aset perusahaan dalam menghasilkan laba,
maka akan semakin sulit bagi perusahaan untuk mencapai keberhasilan
turnaround.
2.1.7.3.Kecenderungan tingkat kesehatan perusahaan (∆Severity)
∆Severity dari financial distress melibatkan kemampuan perusahaan untuk
mewujudkan pemulihan kondisi perusahaan (Smith dan Graves, 2005). Pendapat
bahwa karakteristik penurunan kondisi perusahaan merupakan tanda untuk
mengambil tindakan merupakan pengertian yang diperoleh dari school of thought
(Kiesler dan Sproull, 1982). Pada dasarnya, teori ini menyarankan bahwa
perusahaan yang mengalami penurunan dan berada dalam krisis kemungkinan
besar akan mengambil tindakan drastis yang penting untuk mencapai hasil
pemulihan dibandingkan dengan perusahaan yang mengalami lebih sedikit kondisi
penurunan yang berat. Menurut Hofer (1980) perusahaan yang mengalami kondisi
financial distress yang berat perlu untuk mencapai pengurangan biaya dan aset
secara agresif.
Perusahaan dengan tingkat penurunan kinerja (distress) yang tidak terlalu
parah dapat menerapkan berbagai strategi seperti mengembangkan pemasaran dan
promosi penjualan atau bergerak ke dalam segmen pasar yang lain (Lohrke dan
Bedeian, 1998), sedangkan perusahaan yang memiliki tingkat distress lebih parah
mempunyai keterbatasan aksi untuk memanfaatkan sumber daya (Robbin dan
Pearce, 1992).

∆Severity pada kondisi kesulitan keuangan akan ditentukan oleh
komponen ukuran kesulitan keuangan dan mengidentifikasi sumber utama atas
kesulitan keuangan tersebut. Arah dan perluasan atas perubahan ∆severity
menyediakan dukungan lebih lanjut untuk kemungkinan turnaround (Smith dan
Graves, 2005).
2.1.7.4. Free Assets
Menurut Singh (1986), free assets adalah sumber daya likuid perusahaan
yang tidak dijaminkan. Free assets secara khusus dirujuk kepada kelebihan biaya
yang ditahan maupun tidak ditahan dan merupakan sumber daya likuid yang tidak
terikat pada perusahaan. Free assets digunakan sebagai proksi ukuran kemampuan
perusahaan untuk menjamin pinjaman. Pengukuran sumber daya yang masih bebas
yaitu jumlah aset yang melebihi jumlah total hutang, dibandingkan dengan total
assets (Francis dan Desai, 2005). Menurut White (1989) dalam Smith dan Graves

(2005), free assets merupakan kelebihan aset atas kewajiban.
Perusahaan yang mengalami financial distress dengan jumlah free assets
yang cukup kemungkinan besar dapat menghindari kebangkrutan karena dapat
meningkatkan kemampuan untuk mendapatkan dana tambahan yang diperlukan
untuk mewujudkan keberhasilan turnaround dan sebagai alat untuk menyakinkan
pemberi pinjaman atau kreditor bahwa terdapat aset yang cukup untuk membayar
kembali pinjaman jika diperlukan.
Menurut Barker dan Duhaime (1997) dalam Francis dan Desai (2005)
mengemukakan bahwa keberadaan slack resources atau free assets, seperti uang

tunai, persediaan, atau akses ke kredit, dapat memberikan perusahaan
perlindungan yang diperlukan untuk menerapkan strategi pemulihan perusahaan.
Menurut Castrogiovanni (1991), sumber daya yang bebas atau free assets
merupakan kunci penentu utama baik dalam pemulihan penurunan kondisi
perusahaan dan sebagai pilihan dalam strategi turnaround yang dipilih.
2.1.7.5.Retrenchment
Retrenchment merupakan sebuah strategi bertahan yang dilakukan oleh
perusahaan melalui reduksi biaya dan aset perusahaan. Retrenchment dirancang
agar perusahaan mampu bertahan pada pasar pesaingnya dengan mengubah
pengelompokan lewat penghematan biaya dan aset untuk membalik penjualan dan
laba yang menurun (David, 2002).
Robbin dan Pierce (1992) berpendapat bahwa pelaksanaan langkah
retrenchment

merupakan

langkah

pertama

untuk

mencapai

kesuksesan

Turnaround. Robbin dan Pearce (1992) yang mempelajari retrenchment sebagai
bagian dari proses turnaround menemukan bahwa perusahaan yang melakukan
retrenchment memperoleh peningkatan kinerja perusahaan yang lebih baik.
Menurut mereka, retrenchment dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Assets Retrenchment
Dioperasionalisasikan sebagai pengurangan bersih pada aset jangka panjang
dan aset jangka pendek (kas dan setara kas, piutang usaha, persediaan, aktiva
tetap) yang dianggap kurang produktif di dalam garis waktu penentuan
keberhasilan turnaround perusahaan. Menurut Hofer (1980), penentuan
terhadap aset yang akan dijual atau tetap disimpan oleh perusahaan

tergantung kepada strategi saat ini dan strategi masa depan serta kemudahan
penjulan aset. Secara umum, aset yang dipertahankan adalah aset yang pasti
akan digunakan dalam satu atau dua tahun mendatang. Kecuali kalau
kebangkrutan sudah mendekati, bagaimanapun penjualan atas sisa aset harus
diselesaikan dengan tenang dan hati-hati daripada terburu-buru karena
ketergesaan dalam penjualan aset akan mengurangi harga jual.
b. Expenses Retrenchment
Dioperasionalisasikan sebagai pengurangan bersih pada biaya termasuk harga
pokok penjualan, biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi (Francis
dan Desai, 2005) di dalam garis waktu penentuan keberhasilan turnaround
perusahaan. Pengurangan yang dilakukan bukan hanya sekedar melakukan
pengurangan investasi pada bagian fungsional didalam perusahaan seperti
biaya pemasaran, penelitian dan pengembangan, dan produksi. Akan tetapi
juga merupakan strategi dengan mengurangi investasi dan melikuidasi proyek
perusahaan yang tidak memberikan keuntungan. Sehingga, semakin baik
strategi efisiensi yang dilakukan perusahaan dari sisi penghematan biaya,
akan berdampak pada semakin mampunya perusahaan melakukan turnaround
(Lohrke and Bedeian, 1998).
Terdapat pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh Castrogiovani
dan Bruton (2000) yang menyatakan bahwa retrenchment tidak mempengaruhi
turnaround pada sampel penelitian mereka. Mereka mengusulkan bahwa
retrenchment merupakan hal yang spesifik dan perlu diteliti kembali dalam
berbagai jenis industri.

2.2. Review Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti terdahulu telah banyak melakukan penelitian tentang
turnaround perusahaan. Penelitian Robbin dan Pearce (1992) dengan judul
Turnaround : Retrenchment and Recovery. Penelitian dilakukan pada perusahaan
manufaktur yang bergerak di bidang Textile Mill Product di Amerika Serikat
sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 1985. Variabel dependen berupa hasil
turnaround dan variabel independen berupa assets retrenchment, cost
retrenchment, severity dan retrenchment response. Hasil yang diperoleh adalah
bahwa baik assets retrenchment maupun cost retrenchment berpengaruh
signifikan dalam memprediksi hasil turnaround di mana perusahaan yang
berusaha untuk mengejar pengurangan akan mencapai tingkat kesuksesan
turnaround yang lebih tinggi. Demikian juga dengan severity memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap hubungan antara retrenchment dengan hasil turnaround.
Selain itu juga diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif
antara retrenchment response dengan hasil turnaround tanpa memperhatikan
penyebab utama situasi turnaround.
Penelitian Francis dan Desai (2005) dengan judul Situational and
organisational determinants of turnaround. Penelitian dilakukan pada perusahaan
manufaktur yang bergerak di bidang Industrial and Commercial Machinery and
Computer Equipment di Amerika Serikat sejak tahun 1980 sampai dengan tahun
1997. Variabel dependen berupa hasil turnaround dan variabel independen berupa
environmental munificence, severity of decline, suddenness of decline, urgency of
decline, size of the firm, slack resources, capital productivity, employee

productivity, asset retrenchment, expense retrenchment. Hasil penelitian Francis
dan Desai (2005) menunjukkan bahwa severity of decline, slack resources, capital
productivity, urgency of decline, employee productivity, asset retrenchment dan
expense retrenchment berpengaruh signifikan terhadap hasil turnaround.
Sedangkan environmental munificence, suddenness of decline, size of the firm
tidak mendukung.
Penelitian oleh Smith dan Graves (2005) dengan judul Corporate
turnaround and financial distress. Penelitian dilakukan pada perusahaan
manufaktur di Inggris yang terdaftar dalam London Stock Exchange sejak tahun
1980 sampai dengan tahun 1990. Variabel dependen berupa successfull
turnaround dan variabel independen berupa severity of distress, efficiency
strategies/ downsizing, free assets, CEO turnover dan firm size. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa variabel severity of distress (tingkat distress) berpengaruh
signifikan negatif terhadap keberhasilan turnaround, downsizing bukanlah faktor
yang signifikan, akan tetapi berpengaruh negatif terhadap keberhasilan
turnaround, free assets juga berpengaruh positif terhadap keberhasilan
turnaround namun tidak signifikan, CEO turnover (pergantian CEO) bukan
merupakan faktor yang signifikan sedangkan firm size (ukuran perusahaan)
berpengaruh positif signifikan terhadap keberhasilan turnaround.
Penelitian lain dilakukan oleh Candrawati (2008) dengan judul Analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan turnaround pada perusahaan yang
mengalami Financial Distress. Penelitian dilakukan pada perusahaan non
keuangan yang terdaftar di BEJ selama tahun 2000-2005. Variabel dependen yang

digunakan adalah keberhasilan turnaround, sedangkan variabel independen yang
digunakan adalah kecenderungan tingkat kesehatan (∆Severity), Size, Free assets,
Assets retrenchment, Perubahan CEO dan

Pengurangan jumlah karyawan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa variabel kecenderungan tingkat kinerja
keuangan (∆Severity) dan assets retrenchment, size, free assets, pergantian CEO
dan pengurangan karyawan berpengaruh positif terhadap keberhasilan turnaround
tetapi yang berpengaruh signifikan dengan tingkat signifikansi 5%, hanya variabel
kecenderungan tingkat kesehatan perusahaan (∆Severity), size, dan free assets,
sedangkan assets retrenchment, pergantian CEO, dan pengurangan karyawan
tidak berpengaruh signifikan. Hal ini menandakan perusahaan masih mengalami
tahap menahan penurunan (stemming decline) atau stabilisasi dari penurunan
karena yang berpengaruh signifikan adalah faktor kondisi internal perusahaan
yaitu kecenderungan tingkat kesehatan perusahaan (∆Severity), size dan
tersedianya free assets.
Penelitian Abebe (2009) dengan judul Leadership characteristics of
declining firms attempting turnaround. Penelitian dilakukan pada perusahaan
manufaktur di Amerika Serikat sejak tahun 1985 sampai dengan tahun 2000
dengan variabel dependen berupa hasil turnaround dan variabel independen
berupa CEO tenure, CEO fuctional background, CEO duality. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa CEO tenure memiliki hubungan yang negatif dengan hasil
turnaround, CEO fuctional background memiliki hubungan yang signifikan
positif terhadap hasil turnaround. Sedangkan variabel CEO duality tidak
berpengaruh signifikan terhadap hasil turnaround.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Makgeta (2010) dengan judul
Turnaround determinants of distressed firms funded by the industrial development
corporation. Penelitian dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang berhasil
menjalankan restrukturisasi yang terdaftar pada Industrial Development
Corporation of South Africa Ltd (IDC) selama tahun 1998 sampai dengan tahun
2008. Variabel dependen yang digunakan adalah keberhasilan turnaround,
sedangkan variabel independen yang digunakan adalah Firm Size (ukuran
perusahaan), Efficiency strategy, Severity, Free Assets, Top Management changes
dan Black Economic Empowerment. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa
Size, Efficiency strategy, Severity of distress, Free Assets, Top Management
changes tidak berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan turnaround,
sedangkan Black Economic Empowerment berpengaruh secara signifikan terhadap
keberhasilan turnaround.
Penelitian kembali dilakukan oleh Abdullah dan Hussin (2010) dengan
judul moderating effects of Government assistance & Turnaround strategies: a
Research on private Manufacturing companies. Penelitian dilakukan pada
perusahaan eksportir manufaktur di Sumatera Utara sejak tahun 2000 sampai
dengan tahun 2005. Variabel dependen berupa keberhasilan turnaround,
sedangkan variabel independen berupa operational-efficiency strategies, productmarket refocusing strategy. Penelitian ini menggunakan variabel moderating
berupa firm size dan government assistance. Hasil penelitian yang diperoleh
adalah bahwa operational-efficiency strategies tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap keberhasilan turnaround. Sedangkan product market

refocusing strategy memiliki pengaruh langsung yang kuat terhadap keberhasilan
turnaround. Firm size merupakan variabel yang memoderasi hubungan antara
product market refocusing strategy dengan keberhasilan turnaround namun tidak
cukup signifikan untuk memoderasi hubungan antara operational-efficiency
strategies dengan keberhasilan turnaround. Sedangkan Government assistance
mampu memoderasi hubungan antara operational-efficiency strategies dengan
keberhasilan turnaround namun gagal memoderasi hubungan antara product
market refocusing strategy dengan keberhasilan turnaround.
Penelitian yang dilakukan oleh Hansen (2012) dengan judul Corporate
Turnaround and corporate governance : An empirical investigation of the role of
ownership structure in corporate Turnarounds in Western European Firms.
Penelitian dilakukan pada perusahaan dagang publik Western European sejak
tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah hasil turnaround sedangkan variabel independen berupa ownership
concentration, dominant blockholder, cost retrenchment, asset retrenchment dan
firm size. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ownership concentration tidak
memiliki hubungan dengan hasil turnaround, dominant blockholder memiliki
hubungan yang lemah dan berpengaruh negatif terhadap hasil turnaround. Cost
retrenchment tidak berpengaruh terhadap hasil turnaround sedangkan Assets
retrenchment memiliki hubungan yang negatif terhadap hasil turnaround.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Lestari dan Triani (2013) dengan judul
Determinan keberhasilan turnaround pada perusahaan yang mengalami financial
distress. Penelitian dilakukan pada perusahaan non keuangan yang terdaftar di

BEI periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2012. Variabel dependen yang
diteliti adalah Keberhasilan turnaround. Variabel dependen berupa profitabilitas,
Δseverity, free assets, ukuran perusahaan, downsizing, dan CEO turnover
menunjukkan bahwa secara simultan profitabilitas, Δseverity, free assets, ukuran
perusahaan, downsizing dan CEO turnover tidak berpengaruh terhadap
keberhasilan turnaround. Secara parsial, hubungan variabel dependen dengan
independen adalah bahwa profitabilitas dan ukuran perusahaan berpengaruh
positif terhadap keberhasilan turnaround, Δseverity, free asset, downsizing, CEO
turnover tidak berpengaruh terhadap keberhasilan turnaround.
Secara ringkas, hasil penelitian terdahulu disajikan dalam tabel berikut ini:

Nama peneliti
Robbin and
Pearce (1992)

Tabel 2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu
Variabel yang
Hasil yang diperoleh
Topik
digunakan
Turnaround :
Dependen :
1. Assets
retrenchment
Retrenchment
Hasil turnaround
maupun
cost
Independen :
retrenchment
and recovery
a. Assets
berpengaruh signifikan
dalam memprediksi
retrenchment
b. Cost
hasil turnaround di
retrenchment
mana perusahaan yang
c. Severity
berusaha untuk
d. Retrenchment
mengejar pengurangan
akan mencapai tingkat
response
kesuksesan turnaround
yang lebih tinggi.
2. Severity
memiliki
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
hubungan
antara
retrenchment dengan
hasil turnaround.
hubungan
3. Terdapat
yang signifikan positif
antara retrenchment

Lanjutan tabel
2.1

Francis dan
Desai (2005)

Situational and
organisational
determinants of
turnaround

Smith &
Graves (2005)

Corporate
Dependen:
turnaround and Successfull
financial
turnaround
distress
Independen :
a. Severity of
distress
b. Efficiency
strategies/
downsizing
c. Free assets
d. CEO turnover
e. Firm size

Dependen :
Hasil turnaround
Independen :
a.Environmental
munificence
b.Severity of
decline
c. Suddenness of
decline
d.Urgency of
decline
e. Size of the firm
f. Slack resources
g.Capital
productivity
h.Employee
productivity
i. Asset
Retrenchment
j. Expense
Retrenchment

response dengan hasil
turnaround
tanpa
memperhatikan
penyebab utama situasi
turnaround.
1. Severity of decline,
slack
resources,
capital productivity,
urgency of decline,
employee roductivity,
asset retrenchment
dan
expense
retrenchment
berpengaruh
signifikan
terhadap
hasil turnaround.
2. Environmental
munificence,
suddenness of decline,
size of the firm tidak
mendukung.

1. Severity of distress
(tingkat
distress)
berpengaruh signifikan
negatif
terhadap
keberhasilan
turnaround
2. Downsizing bukanlah
faktor yang signifikan,
akan tetapi berpengaruh
negatif terhadap
keberhasilan
turnaround

Lanjutan tabel
2.1

Candrawati
(2008)

Analisis faktorfaktor yang
mempengaruhi
keberhasilan
Turnaround
pada
perusahaan
yang
mengalami
Financial
Distress

Dependen :
Keberhasilan
turnaround
Independen :
a. Severity
b. Size
c. Free assets
d. Assets
retrenchment
e. Perubahan
CEO
f. Pengurangan
jumlah
karyawan

3. Free
assets
berpengaruh
positif
terhadap keberhasilan
turnaround namun tidak
signifikan
4. CEO turnover bukan
merupakan faktor yang
signifikan
terhadap keberhasilan
turnaround
5. Firm size berpengaruh
signifikan
positif
terhadap keberhasilan
turnaround.
1. Kecenderungan tingkat
kinerja keuangan, assets
retrenchment, size, free
assets, pergantian CEO
dan pengurangan
karyawan
berpengaruh positif
terhadap keberhasilan
turnaround
2. Variabel
yang
berpengaruh signifikan
dengan
tingkat
signifikansi 5%, hanya
variabel kecenderungan
tingkat
kesehatan
perusahaan, size, dan
free assets.
3. Assets
retrenchment,
pergantian CEO, dan
pengurangan
jumlah
karyawan
tidak
berpengaruh signifikan
terhadap keberhasilan
turnaround
4. Hasil yang diperoleh
menunjukkan

Lanjutan tabel
2.1

Abebe (2009)

Leadership
Dependen:
characteristics Hasil turnaround
of
declining Independen :
firms
a. CEO tenure
attempting
b. CEO fuctional
turnaround
background,
c. CEO duality

Makgeta
(2010)

Dependen :
Turnaround
determinants of Keberhasilan
distressed firms turnaround
Independen :
funded by the
a. Firm Size
industrial
b. Efficiency
development
strategy
corporation
c. Severity
d. Free Assets
e. Top

perusahaan masih
mengalami
tahap
menahan
penurunan
(stemming decline) atau
stabilisasi dari
penurunan karena yang
berpengaruh signifikan
adalah faktor kondisi
internal
perusahaan
yaitu
kecenderungan
tingkat
kesehatan
perusahaan,
ukuran
perusahaan
dan
tersedianya free assets.
1. CEO tenure memiliki
hubungan yang negatif
dengan
hasil
turnaround
2. CEO
fuctional
background memiliki
hubungan
yang
signifikan positif
terhadap
hasil
turnaround
3. CEO duality tidak
berpengaruh signifikan
terhadap
hasil
turnaround.
1. Size,
Efficiency
strategy, Severity of
distress, Free Assets,
Top
Management
changes
tidak
berpengaruh signifikan
terhadap keberhasilan
turnaround
Economic
2. Black
powerment
berpengaruh
secara
signifikan terhadap

Lanjutan tabel
2.1

Abdullah dan
Husin (2010)

Moderating
effects of
Government
assistance &
Turnaround
strategies: a
Research on
private
Manufacturing
companies

Management
changes
f. Black
Economic
Empowerment
Dependen :
Keberhasilan
turnaround
Independen :
a. Operationalefficiency
strategies,
b. Product-market
refocusing
strategy.
Moderating :
a. Firm size
b. Government
assistance

keberhasilan
turnaround.

1. Operational-efficiency
strategies
tidak
memiliki
pengaruh
yang
signifikan
terhadap keberhasilan
turnaround.
2. Product
market
refocusing
strategy
memiliki
pengaruh
langsung yang kuat
terhadap keberhasilan
turnaround.
3. Firm size merupakan
variabel
yang
memoderasi hubungan
antara product market
refocusing strategy
dengan keberhasilan
turnaround
namun
tidak cukup signifikan
untuk
memoderasi
hubungan
antara
operational-efficiency
strategies
dengan
keberhasilan
turnaround.
4. Government assistance
mampu memoderasi
hubungan
antara
operationalefficiency
strategies
dengan keberhasilan
turnaround
namun
gagal
memoderasi
hubungan antara

Lanjutan tabel
2.1

Hansen (2012)

Corporate
Dependen :
Turnaround
Hasil turnaround
and corporate
Independen :
governance :
a.Ownership
An empirical
concentration
investigation of b.Dominant
the role of
blockholder
ownership
c.Cost
structure in
retrenchment
corporate
d.Asset
Turnarounds in
retrenchment
Western
e. Firm size
European
Firms

1.

2.

3.

4.

Lestari
dan Determinan
Triani (2013)
keberhasilan
turnaround
pada
perusahaan
yang
mengalami
financial
distress

Dependen :
Keberhasilan
turnaround
Dependen :
a. Profitabilitas
b.Δseverity
c.Free assets
d.Ukuran
perusahaan
e.Downsizing
f. CEO turnover

1.

2.

product
market
refocusing strategy
dengan keberhasilan
turnaround.
Ownership
concentration
tidak
memiliki
hubungan
dengan
hasil
turnaround
Dominant blockholder
memiliki
hubungan
yang
lemah
dan
berpengaruh
negatif
terhadap
hasil
turnaround
Cost retrenchment dan
Firm Size
tidak
berpengaruh terhadap
hasil turnaround
Assets
retrenchment
memiliki hubungan
yang negatif terhadap
hasil turnaround.
Secara
simultan
profitabilitas,
Δseverity, free assets,
ukuran perusahaan,
downsizing dan CEO
turnover
tidak
berpengaruh terhadap
keberhasilan
turnaround.
Secara
parsial,
hubungan
variabel
dependen
dengan
independen
adalah
bahwa
profitabilitas
dan ukuran perusahaan
berpengaruh
positif
terhadap keberhasilan

Lanjutan tabel
2.1
turnaround, Δseverity,
free asset, downsizing,
CEO turnover tidak
berpengaruh terhadap
keberhasilan
turnaround.

Dokumen yang terkait

ANALISIS DETERMINAN KEBERHASILAN TURNAROUND PADA PERUSAHAAN YANG MENGALAMI KONDISI FINANCIAL DISTRESS

0 8 18

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN TURNAROUND PADA PERUSAHAAN Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada Perusahaan yang Mengalami Financial Distress (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Ta

0 3 19

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANGMEMPENGARUHIKEBERHASILAN TURNAROUND Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada Perusahaan yang Mengalami Financial Distress (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2010-2014).

1 3 16

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

2 2 16

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

0 0 2

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

0 1 12

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

1 7 4

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround Pada Perusahaan Yang Mengalami Financial Distress

0 0 60

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada Perusahaan yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

1 1 11

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada Perusahaan yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

0 0 2