Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Indikasi Geografis

BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDIKASI GEOGRAFIS

A. Perlindungan Indikasi Geografis dalam Kerangka Perlindungan Merek di
Indonesia
Indonesia merupakan negara megadiversity, negara dengan keragaman
budaya dan sumberdaya baik sumberdaya alami maupun sumber daya manusia dari
segi budaya. Banyak produk unggulan daerah yang telah dihasilkan Indonesia dan
mendapatkan tempat di pasar internasional, sebagai contoh : kopi Mandailing, lada
Muntok, batik Jawa, songket Palembang, sarung Samarinda dan masih banyak lagi
yang lain. Bila ciri khas dipertahankan dan dijaga konsistensi mutu tingginya maka
produk tersebut akan tetap mendapatkan pasaran yang baik, sebaliknya bila ciri khas
dan mutu produk tersebut tidak konsisten maka nilainya akan merosot. Suatu produk
yang bermutu khas tentu banyak ditiru orang sehingga perlu diupayakan perlindungan
hukum yang memadai bagi produk-produk tersebut56.
Dikarenakan muara dari peraturan perundang-undangan mengenai indikasi
geografis adalah mutadis mutandis dengan merek maka Merek sebagai salah satu
bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual. Memang dalam Undang-Undang Merek
tidaklah menyebut bahwa merek merupakan salah satu wujud dari karya intelektual,
suatu hal yang perlu dipahami dalam penempatan hak merek dalam kerangka hak atas


56

“ Indikasi Geografis “http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/files/content/2/Indikasi
Geografis_Final20060106141403.doc, diakses pada tanggal 7 November 2008.

27
Universitas Sumatera Utara

28

kekayaan intelektual adalah bahwa kelahiran hak atas merek tersebut diawali dengan
temuan-temuan dalam bidang hak atas kekayaan intelektual lainnya57.
Dalam dunia perdagangan khususnya dalam lalu lintas perdagangan barang
dan jasa, “merek” sebagai salah satu karya intelektual mempunyai peranan yang
penting. Peran “merek” disamping sebagai suatu tanda yang dikenal oleh konsumen
juga dapat menjadi jaminan bagi kualitas barang atau jasa terutama bagi konsumen
yang sudah terbiasa memakai merek tertentu.
Dalam rangka mengikuti langkah-langkah penyesuaian tersebut maka dalam
peraturan hukum merek juga mengalami beberapa perkembangan hukum. Khususnya
dengan hubungan dalam masalah legislasi dan konvensi Internasional maka hukum

merek Indonesia mengalami perubahan dengan digantinya Undang-Undang No.19
Tahun 1992 (pengganti Undang-Undang Merek No.21 Tahun 1961) tentang Merek
dengan Undang-Undang No.14 Tahun 1997. Pergantian Undang-Undang ini juga erat
kaitannya dengan diratifikasinya Trade Mark Law Treaty (Keputusan Presiden No.16
Tahun 1997).
Undang-Undang No.14 Tahun 1997 juga tidak bertahan lama sebab
pemerintah pada tahun 2001 menggantinya lagi dengan Undang-Undang No.15
Tahun 2001 tentang Merek, adapun alasan mendasar pergantian undang-undang
tersebut adalah dalam rangka persiapan menyambut era globalisasi dan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perbedaan yang menonjol daripada
Undang-Undang No.15 Tahun 2001 antara lain adalah58 :
57
58

H. OK Sadikin, Op.Cit., hal 330.
Penjelasan Umum Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek.

Universitas Sumatera Utara

29


1. Menyangkut penyelesaian permohonan, dalam Undang-Undang No.15 Tahun
2001 pemeriksaan substantif dilakukan setelah setelah permohonan dinyatakan
memenuhi penyelesaian substantif dilakukan setelah permohonan dinyatakan
memenuhi syarat secara administrasi. Semula pemeriksaan substantif dilakukan
setelah selesainya masa pengumuman adanya Permohonan. Dengan perubahan ini
diharapkan agar lebih cepat pihak pemohon mengetahui apakah permohonan
mereknya ditolak atau diterima dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk
mengajukan keberatan terhadap permohonan yang telah disetujui untuk didaftar
2. Jangka waktu pengumuman yang dilaksanakan selama 3 bulan, jangka waktu ini
lebih singkat dibanding dengan jangka waktu pada undang-undang yang lama.
Diharapkan dengan dipersingkatnya waktu permohonan maka secara keseluruhan
akan dipersingkat pula jangka waktu penyelesaian permohonan dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
3. Berkenaan dengan hak prioritas, dalam UU No.15 Tahun 2001 diatur apabila
pemohon tidak melengkapi bukti penerimaan permohonan yang pertama kali
menimbulkan hak prioritas dalam jangka waktu tiga bulan setelah berakhirnya
hak prioritas, maka permohonan tersebut diproses seperti permohonan biasa tanpa
menggunakan hak prioritas
4. Adanya pemberitahuan


kepada pemohon

mengenai penolakan terhadap

permohonannya disertai dengan alasan-alasan.
5. Perlindungan terhadap indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah
asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam atau

Universitas Sumatera Utara

30

faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan
kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
6. Penyelesaian sengketa merek, pengaturan mengenai penyelesaian sengketa merek
dalam undang-undang merek yang terbaru ini adalah di badan peradilan khusus
yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan penyelesaian sengketa terhadap
merek diharapkan akan lebih cepat, disamping itu untuk memberikan kesempatan
yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa dalam undang-undang ini juga

dimuat ketentuan tentang arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
Secara garis besar di seluruh dunia dikenal setidak-tidaknya ada dua sistem
yang dalam pendaftaran merek yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif
(atributif). Indonesia pada saat masih menggunakan Undang-Undang No.21 Tahun
1961 menganut sistem deklaratif setelah adanya pergantian dengan Undang-Undang
No.19 Tahun 1992 jo Undang-Undang No.14 Tahun 1997 jo Undang-Undang No.15
Tahun 2001, Indonesia menganut sistem konstitutif (atributif).
Kedua sistem diatas setidak-tidaknya memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri dalam penggunaannya, dalam sistem deklaratif penekanannya terletak pada
pemakaian pertama merek tersebut (siapa yang pertama kali menggunakan merek
tersebut maka pihak tersebutlah yang berhak untuk menggunakannya), pendaftaran
pada sistem deklaratif hanya dianggap sebagai hak prasangka menurut hukum saja,
dugaan hukum (rechtvermoeden) bahwa orang yang mendaftar adalah si pemakai
pertama, yaitu adalah yang berhak atas merek bersangkutan. Dalam sistem konstitutif
penekanannya adalah pendaftaran pertama atas merek tersebut, jadi pemilik hak

Universitas Sumatera Utara

31


merek adalah pihak yang pertama mendaftarkan mereknya. Dalam sistem konstitutif
hak atas merek tidak ada tanpa adanya suatu pendaftaran.
Penggunaan kedua sistem ini diantara para ahli hukum Indonesia masih
terdapat pertentangan pendapat, disatu sisi ada ahli yang berpendapat Indonesia
adalah sangat relevan apabila menggunakan sistem deklaratif sedang ada juga ahli
yang berpendapat bahwa sistem konstitutif adalah sistem yang sangat relevan dan
baik diterapkan dalam hukum merek di Indonesia dengan alasan-alasan antara lain
berkaitan dengan kepastian hukum59. Memang apabila ditinjau dari kepastian hukum
sistem konstitutif lebih jauh menjamin adanya kepastian hukum namun hal ini tentu
harus diikuti dengan pengadaan infrastruktur dan sosialisasi yang baik sendiri
berkaitan merek. Sebab dapat dibayangkan wilayah Indonesia yang sedemikian luas
dan belum adanya sarana prasarana transportasi dan komunikasi yang memadai tentu
menjadi hambatan dalam pihak-pihak yang melakukan pendaftaran.
Salah satu bagian daripada pendaftaran yang cukup harus diperhatikan adalah
pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1160 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek. Hak prioritas disini adalah hak yang menguntungkan pendaftar merek
59

60


Dalam pandangan pro dan kontra terhadap sistem pendaftaran merek, Sudargo Gautama telah
menganjurkan agar sebaiknya beralih pada sistem konstitutif. Alasan utamanya adalah kepastian
hukum, hal ini dikemukakan juga pada seminar hak merek yang diadakan di Jakarta bulan
Desember 1976. Dan dalam Model law for developing countries on Marks Trade Names and acts
unfair competition, ternyata dipilih sistem konstitutif sebagai sistem yang terbaik. H.OK.Sadikin,
op.cit., hal 365.
Permohonan dengan menggunakan hak prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6
(enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama
kali diterima oleh negara lain, yang merupakan anggota Paris Convention for the Protection of
Industrial Property atau anggota Agreement Establishing the World Trade Organization.

Universitas Sumatera Utara

32

terutama dalam hal pemeriksaannya yang mengikuti pendaftaran merek tersebut
pertama kali di negara lain.
Tata cara permohonan pendaftaran merek di Indonesia diajukan dengan
aplikasi yang diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat

Jenderal dengan persyaratan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Merek No.15
Tahun 2001. Untuk daerah-daerah lain dapat juga mengajukan kepada Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia yang bertempat di
ibukota Propinsi.
Dalam kerangka hukum internasional memang telah ada kesepakatan bersama
mengenai perlindungan merek secara internasional yang dikenal dengan Madrid
Agreement (1891) yang kemudian direvisi di Stockholm tahun 1967. Inti daripada
Madrid Agreement ini adalah perjanjian merek dagang melalui pendaftaran merek
dagang internasional, yang berdasarkan pendaftaran di negara asal, namun
perlindungan tersebut tidaklah seragam tetapi sama dengan yang akan diberikan
diberikan oleh negara anggota kepada warga negaranya61.
Setelah Indonesia meratifikasi persetujuan WTO-TRIPs melalui UndangUndang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Pengaturan mengenai perlindungan indikasi geografis di Indonesia pertama kali
terdapat dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1997 tentang Merek kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang didalam salah
61

H.OK.Sadikin, op.cit., hal 341.


Universitas Sumatera Utara

33

satu pasalnya yaitu Pasal 56 ayat (9) menyatakan bahwa prosedur pendaftaran
indikasi geografis harus diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Sesuai
dengan ketentuan yang mengatur tentang hierarkhi peraturan perundang-undangan
nasional, peraturan pemerintah berkedudukan di bawah undang-undang dan
merupakan kewenangan penuh Presiden62.
Dalam UU Merek perlindungan indikasi geografis tercantum pada pasal 56
sampai dengan 60 UU yang bersangkutan. Dalam ketentuan pasal 56, indikasigeografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang,
karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau
kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada
barang yang dihasilkan63.
Indikasi-geografis mendapat perlindungan setelah terdaftar atas dasar
permohonan yang diajukan oleh :
1. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang
bersangkutan, yang terdiri atas:
a. pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan
alam;

b. produsen barang hasil pertanian;
c. pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau
d. pedagang yang menjual barang tersebut;

62

63

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
DITJEN KPI Jakarta, http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/files/content/2, diakses pada
tanggal 7 November 2008.

Universitas Sumatera Utara

34

2. Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau
3. Kelompok konsumen barang tersebut.
Ketentuan penting lain dalam Undang-Undang itu ialah bahwa permohonan

pendaftaran indikasi-geografis ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila tanda tersebut:
1. Bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau dapat
memperdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas, asal
sumber, proses pembuatan, dan/atau kegunaannya;
2. Tidak memenuhi syarat untuk didaftar sebagai indikasi-geografis.
Indikasi-geografis terdaftar mendapat perlindungan hukum yang berlangsung
selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas
indikasi- geografis tersebut masih ada.
Sehingga atas dasar itulah kemudian diundangkan Peraturan Pemerintah
No.51 Tahun 2007 tentang indikasi geografis. Pemahaman tentang undang-undang
berdasarkan jenisnya adalah64:
1. Undang-undang dalam arti formil adalah undang-undang dilihat dari siapa yang
membentuk. Artinya merupakan suatu keputusan dari pembentuk undang-undang
yang dilakukan menurut prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang dasar
terlepas dari isi dan materi yang dimuatnya.
2. Undang-undang dalam arti materiil adalah undang-undang merupakan suatu
peraturan dengan materi muatan yang khas dan tertentu oleh karenanya harus

64

Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Kanisius, Jakarta,
2007, hal.52.

Universitas Sumatera Utara

35

dibentuk menurut prosedur yang sudah ditetapkan sehingga materi muatan
undang-undang adalah tertentu lingkupnya dan terbatas sifatnya.
Di dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan bahwa:
“Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.”65
Dalam

penjelasannya

dirumuskan

bahwa

yang

dimaksud

dengan

“sebagaimana mestinya” adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang
yang bersangkutan. Sehingga dalam peraturan pemerintah indikasi geografis
pengaturannya harus sejalan dengan undang-undang merek dan harus sesuai terhadap
apa yang didelegasikan oleh Undang-Undang Merek tersebut.
Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia adalah mutadis mutandis
dengan Perlindungan Merek, dikarenakan secara susunan peraturan perundangundangan pengaturan atas indikasi geografis berada dalam Undang-Undang Merek,
hal ini menyebabkan secara perlindungan Indikasi geografis adalah sama dengan
perlindungan terhadap merek.
Awal sekali indikasi geografis di Indonesia secara sisipan aturan telah ada
sejak Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1992 tentang Merek pengaturan tentang Indikasi Geografis diatur dalam
bab tersendiri. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang
65

Indonesia, Op.Cit., Ps.10 beserta penjelasannya.

Universitas Sumatera Utara

36

kini efektif berlaku, terdapat juga ketentuan baru di luar Bab Indikasi Geografis yang
kini efektif berlaku, terdapat juga ketentuan baru di luar bab indikasi geografis yang
memperluas cakupan merek dan menyiratkan pengakuan atas keberadaan indikasi
geografis. Ketentuan ini adalah Pasal 6 (1) c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek, yang menetapkan bahwa permohonan pendaftaran merek harus
ditolak jika merek tersebut memiliki persamaan esensial atau persamaan pada
pokoknya, atau persamaan secara keseluruhan dengan nikasi geografis yang telah
dikenal.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang
cenderung melemahkan kemungkinan suatu indikasi geografis untuk dilindungi
sebagai merek terdaftar. Ketentuan ini adalah pasal 5 (d) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek yang menetapkan lima elemen yang menjadi dasar
penolakan registrasi merek.
Dalam sistem perlindungan indikasi geografis di Indonesia, tampak bahwa
untuk indikasi geografis sistem perlindungan yang dianut adalah sistem konstitutif.
Artinya pendaftaran merupakan syarat utama perlindungan. Kelebihan sistem
konstitutif adalah lebih terjaminnya kepastian hukum perlindungan dan lebih
mudahnya pembuktian. Sayangnya sistem ini sering kali tidak mencerminkan
kenyataan di pasar. Dalam konteks indikasi geografis di Indonesia kenyataan sistem
konstitutif bertolak belakang dengan kenyataan riel. Jumlah potensi yang beredar di
masyarakat banyak sekali, sedangkan jumlah yang telah atau akan didaftarkan
sebagai indikasi geografis sebaliknya. Merujuk kepada pasal 59 dan pasal 60

Universitas Sumatera Utara

37

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, potensi indikasi geografis
yang belum didaftarkan tersebut disebut sebagai indikasi asal66.
Menurut pasal 59 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ada
2 (dua) sifat barang yang harus jelas untuk menenggarai suatu indikasi asal. Pertama,
indikasi asal adalah indikasi yang belum diregistrasi dan kedua, indikasi asal hanya
merupakan indikasi yang berfungsi menunjuk asal suatu barang atau jasa. Dengan
adanya pasal 59 ini ditentukan bahwa sekalipun belum didaftar, keberaaan indikasi
asal itu dilindungi. Faktor-faktor lain yang menentukan bahwa suatu indikasi asal itu
memang benar-benar eksis dan sudah layak untuk dilindungi tidak dicantumkan.
Meskipun demikian, sifat indikasi asal ini bisa disamakan dengan sifat indikasi
sumber dalam perjanjian internasional yang berlaku.
Secara hukum adanya hubungan mutatis mutandis antara Merek dengan
Indikasi Geografis ternyata dapat menimbulkan adanya pertentangan dalam
pemberian perlindungan yang menyebabkan adanya ketidakefektifan dan kerancuan
dalam pemberian perlindungan terhadap indikasi geografis yang dapat menimbulkan
terciptanya ketidakpastian hukum.

B. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Indikasi Geografis Terdaftar
Perbuatan-perbuatan pelanggaran hukum terhadap Indikasi Geografis terdaftar
yang dilakukan oleh pengusaha yang berbuat curang sangat merugikan produsen
sekaligus pemilik Indikasi Geografis yang sesungguhnya, karena akibat dari

66

Yasmon,Trademark Act Law of Republic of Indonesia No.15/2001, terjemahan tidak resmi untuk
IPR Specific Course Law Faculty UTS-IASTP Phase II IPR Specific Course, hlm 103

Universitas Sumatera Utara

38

pemalsuan dan peniruan Indikasi Geografis tersebut dapat menurunkan omzet
penjualan sehingga mengurangi keuntungan yang seharusnya diperoleh dan dapat
menurunkan kepercayaan masyarakat karena konsumen menganggap bahwa barang
yang dulu dipercaya memiliki mutu yang baik ternyata sudah mulai turun kualitasnya.
Hal ini tentu merugikan konsumen, karena konsumen memperoleh barang-barang
yang biasanya mempunyai mutu yang lebih rendah dibandingkan dengan barang yang
asli, bahkan adakalanya produksi palsu tersebut dapat membahayakan kesehatan dan
jiwa konsumen. Lebih dari itu perbuatan curang tersebut menyebabkan terjadinya
persaingan tidak jujur (unj it competition) diantara sesama pengusaha.
Timbulnya perbuatan pemalsuan dan peniruan terhadap suatu merek, tentunya
tidak terlepas dari fungsi merek itu sendiri. Ada 3 (tiga) fungsi utama dari merek,
yaitu: 1) Sebagai indikator sumber, artinya merek berfungsi untuk menunjukkan
bahwa suatu produk bersumber secara sah pada suatu unit usaha dan karenanya juga
berfungsi untuk memberikan indikasi bahwa produk itu dibuat secara profesional; 2)
Sebagai indikator kualitas, artinya merek berfungsi sebagai jaminan kualitas
khususnya dalam kaitan dengan produk-produk bergengsi; dan 3) sebagai fungsi
sugestif, artinya merek memberikan kesan bagi konsumennya akan menjadi kolektor
dari produk tersebut.67
Untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan berupa peniruan dan
pemalsuan ataupun pemberian keterangan yang menyesatkan konsumen berkenaan

67

Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Hukum Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Nomor 1 dan 2, Tahun VII, Jan-Feb-Maret, Yuridika, hal. 59.

Universitas Sumatera Utara

39

dengan sifat dan asal-usul suatu produk Indikasi Geografis, maka perlu diberikan
perlindungan hukum terhadap merek Indikasi Geografis terdaftar sebagaimana
ditentukan dalam UU Merek Tahun 2001, adapun bentuk perlindungan hukum yang
diberikan oleh UU Merek Tahun 2001 tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan terhadap merek terdaftar pada umumnya diberikan dengan
berdasarkan kepada pertimbangan bahwa peniruan dan pemalsuan merek tersebut
pada prinsipnya dilandasi oleh adanya itikad tidak baik, terutama untuk mengambil
kesempatan dan menikmati keuntungan dari ketenaran merek orang lain yang sudah
lebih dulu ada. Oleh karena itu sudah seharusnyalah pemilik merek terdaftar
mendapatkan perlindungan hukum.
Perbuatan-perbuatan seperti pemalsuan, peniruan dan lain-lain perbuatan yang
berupa pemakaian dan penggunaan merek orang lain dengan tanpa hak tersebut,
sebenarnya dapat dituntut atau digugat menurut ketentuan hukum perdata berdasarkan
perbuatan melanggar hukum. Mengenai hal ini dapat kita lihat pengaturannya dalam
Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Selanjutnva sebagai pihak yang mengajukan gugatan, dalam hal ini pemilik
merek terdaftar tersebut harus dapat membuktikan bahwa karena perbuatan
melanggar hukum yang telah dilakukan oleh orang lain tersebut, menyebabkan secara
nyata la telah menderita kerugian.

Universitas Sumatera Utara

40

Sedangkan mekanisme perlindungan hukum terhadap Indikasi Geografis
terdaftar68 menurut UU Merek Tahun 2001, selain mclalut inisiatif pemilik dan
pemegang hak atas Indikasi Geografis, maka dapat pula ditempuh melaiLli penolakan
oleh Direktorat Jenderal HaKI khususnya kantor merek terhadap permohonan
pendaftaran Indikasi Geografis yang bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh UU Merek Tahun 2001.
Jika perlindungan hukum yang diperlukan tersebut datangnya atas inisiatif dan
permintaan dari pemilik Indikasi Geografis terdaftar, maka pemilik dan pemegang
hak yang sah dapat mengajukan gugatan ganti kerugian, gugatan secara perdata ini
dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga69, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 UU
Merek Tahun 2001, sebagai berl kut:
(1) Pemegang hak atas Indikasi Geografis dapat mengajukan gugatan
terhadap pemakai Indikasi Geografis yang tanpa hak berupa permohonan
ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket Indikasi
Geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut;
(2) Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya
dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan
kegiatan pembuatan, perbanyakan, serta memerintahkan pemusnahan
etiket Indikasi Geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut.
Dan rumusan yang terdapat pada Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 57 UU
Merek Tahun 2001, dapat diketahui bahwa pemegang hak atas Indikasi Geografis
terdaftar yang bertindak sebagai penggugat dalam gugatannya dapat meminta ganti

68

69

Menurut Pasal 56 ayat (2) UU Merek 2001 disebutkan bahwa: Indikasi Geografis mendapatkan
perlindungan hukum setelah didaftarkan.
Menurut Pasal 76 avat (2) UU Merek Tahun 2001, pihak disebutkan bahwa: Gugatan terhadap
pihak yang secara tanpa hak telah menggunakan merek terdaftar milik orang lain diajukan kepada
Pengadilan Niaga.

Universitas Sumatera Utara

41

kerugian dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket Indikasi Geografis
yang digunakan secara tanpa hak oleh pihak tergugat.
Permintaan ganti kerugian ini dapat berupa ganti rugi secara material dan
immaterial. Ganti rugi material yaitu berupa kerugian yang nyata dan dapat dinilai
dengan uang, misalnya akibat pemakaian dan penggunaan etiket Indikasi Geografis
oleh orang lain yang tidak berhak tersebut, menyebabkan jumlah penjualan produksi
barangnya menjadi menurun karena konsumen yang biasa membeli dan
menggunakan merek yang asli telah beralih dan membeli produk barang yang palsu
dengan harga yang jauh lebih murah dan barang yang asli tersebut. Akibat
menurunnya jumlah penjualan produk barang, Indikasi Geografis terdaftar tersebut,
maka pemilik Indikasi Geografis terdaftar menderita kerugian. Kerugian ini tentunya
dapat diperhitungkan secara nyata oleh penggugat selaku pihak yang mengetahui
berapa besar jumlah kerugian yang dideritanya dan jumlah kerugian inilah nantinya
yang harus diganti oleh pihak tergugat.
Sedangkan ganti kerugian secara immaterial yaitu berupa kerugian yang
disebabkan oleh pemakaian Indikasi Geografis secara tanpa hak tersebut telah
menyebabkan pihak pemilik Indikasi Geografis terdaftar mengalami kerugian secara
moril, misalnya pihak tergugat yang telah menggunakan Indikasi Geografis terdaftar
milik penggugat secara tanpa hak tersebut telah memproduksi barang dengan kualitas
yang rendah dan menggunakan label Indikasi Geografis terdaftar tersebut atas barang
yang diproduksinya serta menjual barangnya dengan harga yang lebih rendah dari
produk yang asli. Akibat dari perbuatan tergugat ini telah mendatangkan kerugian

Universitas Sumatera Utara

42

bagi pemilik Indikasi Geografis terdaftar dalam bentuk immaterial karena telah
menyebabkan is kehilangan reputasi dan kepercayaan dari konsumen yang telah
dibangunnya dalam jangka waktu yang cukup lama, hanya karena perbuatan tergugat
yang telah meniru dan memalsukan, reputasi yang telah dirintisnya dan kepercayaan
yang telah diperolehnya dari konsumen tersebut telah hilang dalam waktu sesaat.
Kehilangan reputasi dan kepercayaan dari konsumen karena konsumen
mengganggap barang yang diproduksi kualitasnya sudah menurun sehingga
konsumen beralih kepada produk yang lain, adalah bentuk kerugian immaterial yang
dapat dituntut oleh penggugat kepada tergugat dalam gugatannya.
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar dari pemegang hak atas merek
Indikasi Geografis terdaftar, maka hakim dapat memerintahkan untuk menghentikan
kegiatan pembuatan, perbanyakan, serta memerintahkan pemusnahan etiket Indikasi
Geografis tersebut.
Ketentuan tentang tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 1365 KUH
Perdata atas perbuatan melanggar hukum dalam hal ini berfungsi sebagai peraturan
yang bersifat umum (lex generalis) sedangkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 57
UU Merek Tahun 2001 merupakan peraturan yang bersifat khusus (lex specialis).
Perlindungan hukum terhadap Indikasi Geografis terdaftar dapat pula berupa
perlindungan yang diberikan oleh kantor merek dalam bentuk penolakan terhadap
permohonan pendaftaran Indikasi Geografis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
didaftarkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c jo Pasal 56 ayat (4)
UU Merek Tahun 2001, antara lain: a) karena merek yang dimohonkan

Universitas Sumatera Utara

43

pendaftarannya tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi
Geografis yang sudah dikenal; dan b) karena bertentangan dengan moralitas agama,
kesusilaan, ketertiban umum, atau dapat memperdayakan atau menyesatkan
masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas, asal sumber, proses pembuatan dan
kegunaannya.
Tindakan

lebih

lanjut

sebagai

bentuk

perlindungan

yaitu

berupa

dikeluarkannya surat penetapan sementara oleh hakim Pengadilan Niaga atas
permohonan yang diajukan secara tertulis oleh pemegang hak kepada Pengadilan
Niaga. Dengan berdasarkan bukti-bukti yang cukup, maka pihak pemegang hak yang
dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan
sementara, tentang pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran
hak merek dan tentang penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran
merek tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 58 jo Pasal 85 UU Merek Tahun
2001.
Apabila hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa gugatan tersebut telah
menerbitkan surat penetapan sementara, maka dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh hari) sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara, hakim Pengadilan
Niaga harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan atau menguatkan penetapan
tersebut. Terhadap putusan hakim Pengadilan Niaga ini, para pihak yang keberatan
hanya dapat mengajukan upaya hukum kasasi yang diajukan paling lama 14 (empat
belas) hari setelah tanggal putusan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 82 UU Merek
Tahun 2001.

Universitas Sumatera Utara

44

Sebagai bentuk perlindungan untuk Indikasi Geografis tanaman anggur,
Article 23 ayat (1) Persetujuan TRIPs, telah mengatur tentang larangan penggunaan
Indikasi Geografis yang telah dikenal secara umum seperti “Champagne” untuk jenis
produksi minuman anggur yang sebenarnya tidak berasal dari daerah Champagne
sekalipun wilayah asal dari barang itu disebutkan atau diserta dengan catatan seperti
“jenis”, “tipe”, “imitasi” atau sejenisnya.
Tetapi dalam Article 24 ayat (4) Persetujuan TRIPs, tidak mewajibkan negara
untuk melarang penggunaan Indikasi Geografis untuk jenis minuman anggur atau
minuman beralkohol yang berasal dari negara anggota lain untuk barang dan atau jasa
yang digunakan dalam wilayah hukum negara yang bersangkutan, asalkan
penggunaan tersebut telah berlangsung secara terus menerus sekurang-kurangnya
selama 10 (sepuluh) tahun, terhitung sebelum pertemuan tingkat menteri dari
perundingan multilateral Uruguay Round, atau penggunaan Indikasi Geografis
tersebut dilakukan dengan itikad baik.
Jika kita lihat dari pengaturan di atas, maka perlindungan hukum untuk
Indikasi Geografis yang sudah terkenal di negara lain yang termasuk negara anggota
terasa kurang cukup memadai. Disatu sisi ada larangan untuk menggunakan label
Indikasi Geografis yang sudah terkenal, tetapi pada sisi yang lain Persetujuan TRIPs
tidak mengharuskan negara anggota untuk melarang penggunaan label Indikasi
Geografis terkenal asalkan digunakan dengan itikad baik dan sudah digunakan selama
10 (sepuluh) tahun secara terus-menerus di negara yang bersangkutan. Oleh karena
itu, untuk perlindungan hukum terhadap Indikasi Geografis terkenal akan lebih efektif

Universitas Sumatera Utara

45

dan lebih terjamin kepastiannya. Jika diadakan perundingan atau perjanjian khusus,
antara satu negara dengan negara lain.
Khusus untuk Indikasi Geografis yang belum didaftarkan, atau pada saat
dimohonkan pendaftarannya sebagai Indikasi Geografis, ternyata telah dipakai
dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak mendaftar menurut ketentuan
sebagalmana diatur pada Pasal 56 ayat (2) UU Merek Tahun 2001,70 maka pihak yang
beritikad baik tersebut tetap dapat menggunakan Indikasi Geografis tersebut untuk
jangka waktu 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung sejak Indikasi Geografis tersebut
didaftarkan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 56 ayat (8) UU Merek Tahun 2001.
Baik Persetujuan TRIPs maupun UU Merek Tahun 2001 tidak ada mengatur
tentang permasalahan yang dihadapi dalam hal perlindungan hukum mengenai
penetapan batas-batas daerah atau wilayah geografis untuk. Indikasi Geografis
tertentu dan untuk daerah yang bernama sama, padahal ketentuan semacam ini sangat
penting untuk menjelaskan tentang sampai dimana luas lingkungan dan batas-batas
suatu wilayah yang berhak menggunakan Indikasi Geografis yang bersangkutan.
Terhadap permasalahan ini dapat diberikan contoh suatu kasus yang terjadi di
Australia. Di Australia ada suatu daerah yang bernama “Coonawarra”, yang
merupakan daerah penghasil tanaman anggur yang terkenal bukan hanya di Australia
tetapi juga di daerah Eropa. Pada saat yang sama, terdapat pula suatu kebun yang juga
ditanami dengan anggur yang terletak di luar batas resmi daerah “Coonawarra”.
Tetapi meskipun demikian, kebun anggur yang letaknya di luar balas daerah
“Coonawarra” tersebut memiliki cuaca dan karakteristik lingkungan geografis yang
70

Menurut Pasal 56 ayat (2) UU Merek 2001, para pihak yang berhak untuk mendaftarkan dan
menggunakan merek Indikasi Geografis, yaitu: a) lembaga yang mewakili masyarakat di daerah
yang memproduksi barang yang bersangkutam yang terdiri atas pihak yang mengusahakan barang
yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam, produsen barang hasil pertanian, pembuat
barang-barang kerajian tangan atau hasil industri, atau pedagang yang menjual barang tersebut, b)
lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau c) kelompok konsumen barang tersebut.

Universitas Sumatera Utara

46

sangat mirip dengan yang terdapat di daerah “Coonawarra” sehingga minuman
anggur yang dihasilkan memiliki cita rasa yang sama dengan minuman dan tanaman
anggur di daerah “Coonawarra” tersebut, tetapi para pemilik tanaman anggur tetap
tidak dapat karena daerah pertanian tanaman anggur tersebut berada di luar wilayah
“Coonawarra”.71
Menurut pendapat Mr. Stephane Passeri, Indikasi Geografis adalah sebuah
Hama yang berhubungan dengan daerah geografis dari produk yang dihasilkan,
namun demikian orang lain yang berada di luar lingkungan geografis tersebut bisa
berusaha untuk menggunakan nama Indikasi Geografis yang sama, apabila mereka
dapat memenuhi paling tidak salah satu dari 3 (tiga) kondisi berkenaan dengan
spesifikasi yang dimiliki oleh produk Indikasi Geografis tersebut, yaitu: a) Kualitas
dari barang yang diproduksi, b) Cara pembuatan barang yang diproduksi, dan c)
Proses akhir dari produk lersebut.72
Dengan adanya 3 (tiga) kondisi ini, maka suatu produk Indikasi Geografis
dapat memberikan jaminan kepada konsumen tentang konsistensi mutu dari produk
tersebut sekaligus dapat mencegah dan menghindari perbuatan dari pengusaha yang
beritikad buruk yang berusaha untuk menghancurkan reputasi Indikasi Geografis

71

72

Mark James Davison, Fungsi Nama Geografis Dalam Perdagangan, Makalah disampaikan pada
Diskusi Ilmiah Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Taruma Negara, Jakarta, 12 Mei 1998,
hal. 4.
Interview, Geographical Indication “How is it benefit .for Thais”, Intellectual Property Alumni
Association Newsletter, Vol. 2, No. 6, Desember 2003, hal. 8. Mr. Stephane Passeri adalah
seorang Atase Komersial Departemen Perekonomian, yang bertindak sebagai Koordinator
Regional Hak Kekayaan Intelektual, Kedutaan Perancis di Thailand. Beliau bertugas untuk
menyebarluaskan pengetahuan tentang hak kekayaan Intelektual melalui pelatihan dan seminar,
untuk negara-negara Asia, antara lain, Thailand, Vietnam, China, Jepang dan Korea.

Universitas Sumatera Utara

47

yang sesungguhnya dengan cara memproduksi barang yang tidak berkualitas tetapi
menggunakan Indikasi Geografis yang sama.
Suatu produk Indikasi Geografis mungkin saja telah terkenal di dalam negeri,
tetapi belum tentu terkenal di luar negeri atau di negara lain. Karena tidak terkenal di
negara lain, maka ada kemungkinan Indikasi Geografis tersebut telah digunakan
sebagai label atau etiket suatu produk. Kemungkinan seperti ini sebetulnya dapat
dicegah, apabila suatu negara aktif dalam mengikuti arus informasi dan komunikasi
global sehingga dapat senantiasa mengetahui produk-produk dan daerah asal dari
produk tersebut.
2. Perlindungan Hukum Represif
Pemilik Indikasi Geografis terdaftar mendapat perlindungan hukum terhadap
pelanggaran hak atas Indikasi Geografis baik dalam wujud gugatan ganti rugi,
gugatan pembatalan pendaftaran Indikasi Geografis serta melalui penolakan
permohonan pendaftaran yang dilakukan oleh kantor merek, maupun berdasarkan
tuntutan hukum pidana melalui aparat penegak hukum atau atas laporan dari pihak
yang merasa dirugikan.
Perlindungan hukum yang represif ini diberikan apabila telah terjadi
pelanggaran hak atas Indikasi geografis. Disini peran lembaga peradilan dan aparat
penegak hukum lainnya seperti kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
dan kejaksaan sangat diperlukan. Ketentuan tentang PPNS ini diatur dalam Pasal 89
UU Merek Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa selain Penyidik Pejabat Polisi,
maka PPNS tertentu dalam lingkungan Direktorat Jenderal HaKI, diberikan

Universitas Sumatera Utara

48

wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang bertugas untuk melakukan
penyidikan tindak pidana dibidang merek.
Terhadap tindakan-tindakan pelanggaran hak berupa penggunaan Indikasi
Geografis milik pihak lain yang sudah terdaftar yang dilakukan dengan sengaja dan
tanpa hak, dalam UU Merek Tahun 2001, hal ini dikategorikan sebagai tindakan
kejahatan. Sehingga sebagaimana terhadap delik kejahatan lainnya, maka kejahatan
atas Indikasi Geografis terdaftar ini juga diancam dengan hukum pidana penjara
kurungan dan denda.
Jika kita lihat dalam UU Merek Tahun 2001, maka tindakan pelanggaran hak
atas Indikasi Geografis yang berupa pemalsuan dan peniruan tersebut, terbagi atas 2
(dua) jenis tindak pidana, yaitu:
1. Tindak pidana kejahatan.
Menurut Pasal 92 ayat (1) UU Merek Tahun 2001, maka yang termasuk
kejahatan, adalah penggunaan dengan sengaja dan tanpa hak terhadap tanda yang
sama pada keseluruhannya dengan Indikasi Geografis terdaftar milik pihak lain
untuk barang yang sama atau sejenis, dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah) dan pada ayat (2) diatur tentang pelanggaran hak yaitu, penggunaan
dengan sengaja dan tanpa hak terhadap tanda yang sama pada pokoknya dengan
Indikasi Geografis terdaftar milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat.) tahun dan denda paling

Universitas Sumatera Utara

49

banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).
Ketentuan pidana dalam UU Merek Tahun 2001 hanya membuat perbedaan
dalam ancaman pidananya terhadap penggunaan dengan sengaja dan tanpa hak
suatu merek yang memiliki persamaan secara keseluruhan dan memiliki
persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis terdaftar milik pihak lain
meskipun ada perbedaan hukuman, tetapi pada dasarnya mempunyai tujuan yang
sama, yaitu untuk memberikan perlindungan hukum secara represif kepada
pemilik hak tersebut. Dengan ancaman pidana penjara dan denda yang jumlahnya
tidak sedikit, diharapkan perbuatan-perbuatan pelanggaran hukum terhadap
Indikasi Geografis terdaftar ini dapat dicegah atau paling tidak bisa, berkurang.
2. Tindak pidana pelanggaran.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 94 UU Merek Tahun 2001, bahwa yang
termasuk

sebagai

jenis

tindak

pidana

pelanggaran

adalah

tindakan

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui, atau patut diketahui
bahwa barang dan jasa tersebut adalah merupakan hasil pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Oleh karena perbuatan seperti yang diatur dalam Pasal 94 UU Merek Tahun
2001 ini adalah pelanggaran, maka ancaman hukumannya lebih ringan dari
ancaman hukuman pada kejahatan.
Untuk melaksanakan isi Article 22 ayat Persetujuan TRIPs, maka ketentuan
tentang Indikasi Geografis dalam UU Merek Tahun 2001 menyediakan sarana

Universitas Sumatera Utara

50

hukum sebagai perlindungan atas hak Indikasi Geografis terdaftar terhadap
perbuatan berupa informasi yang dapat menyesatkan konsumen berkenaan dengan
sifat, asal usul dan kualitas barang yang diproduksi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 92 ayat (3) UU Merek Tahun 2001 menyebutkan bahwa terhadap
pencantuman asal-usul sebenarnya pada barang yang merupakan hasil
pelanggaran ataupun pencantuman kata-kata yang menunjukkan bahwa barang
tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan
Indikasi Geografis, maka diberlakukan ketentuan hukuman pidana penjara dan
denda sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (1) dan (2) UU Merek Tahun
2001.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap Indikasi Geografis terdaftar
yang diatur dalam UU Merek Tahun 2001 maupun dalam Persetujuan TRIPs, baik
dalam bentuk perlindungan preventif maupun perlindungan represif ini, secara
keseluruhan adalah bentuk perlindungan hukum yang ditujukan terhadap
produsen atau pemilik merek Indikasi Geografis yang bersangkutan untuk
mencegah dan menghindari perbuatan curang berupa pemalsuan dan peniruan
serta penyampaian informasi yang tidak benar mengenai kualitas dan asal-usul
barang tersebut.
3. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Selain perlindungan hukum terhadap produsen atau pemilik Indikasi
Geografis terdaftar, maka perlu pula diketahui tentang bentuk perlindungan
hukum terhadap konsumen atau pengguna barang Indikasi Geografis tersebut. UU

Universitas Sumatera Utara

51

Merek Tahun 2001 tidak ada mengatur tentang perlindungan hukum bagi
konsumen baransa Indikasi Geografis, padahal jika dilihat dari isi Pasal 56 ayat
(2) UU Merek Tahun 2001, disebutkan bahwa kelompok konsumen Indikasi
Geografis merupakan salah situ pihak yang dapat mengajukan permohonan
pendaftaran Indikasi Geografis.
Perlindungan yang harus diberikan kepada konsumen dari sudut hukum
adalah perlindungan atas hak-hak konsumen sebagai orang yang mengkonsumsi
dan menggunakan barang dengan merek tertentu, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga maupun orang lain dan tidak untuk diperdagangkan, yang telah
diyakininya memiliki kualitas yang baik, namun karena adanya perbuatan
pemalsuan dan peniruan produk Indikasi Geografis yang dilakukan oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab, mengakibatkan konsumen telah memperoleh
informasi yang salah dan menerima barang atau produk yang tidak sesuai dengan
yang diharapkannya, hingga akhirnya bagi mendatangkan kerugian bagi
konsumen.
Kerugian yang diderita oleh konsumen tersebut dapat diklasifikasikan dalam 2
(dua) bentuk, yaitu: 1) kerugian material, adalah kerugian yang dialami konsumen
karena telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli barang-barang yang
ternyata memiliki kualitas yang rendah dan tidak sesuai dengan barang yang asli
seperti yang diharapkan oleh konsumen, 2) kerugian immaterial, adalah kerugian
yang dialami konsumen karena akibat mengkonsumsi barang-barang yang tidak
berkualitas dan telah dipalsukan mereknya tersebut, telah membahayakan

Universitas Sumatera Utara

52

kesehatan dan jiwa konsumen.73
Terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen ini, sesuai ketentuan Pasal
1365 KUH Perdata, maka produsen atau pelaku usaha memiliki tanggung jawab
untuk mengganti kerugian yang timbal karena produk atau barang yang
diproduksinya. Tanggung jawab produsen tersebut lahir karena adanya product
liability yaitu tanggung jawab produsen untuk menjamin kualitas barang yang
diproduksinya. Tanggung jawab (liability) atas kerugian yang berkaitan dengan
barang-barang ini tidak hanya berkaitan dengan proses produksi tetapi juga
termasuk kegiatan promosi dan distribusi barang tersebut.74
Tanggung jawab produsen atas kerugian yang diderita oleh konsumen
berkaitan dengan barang-barang yang dikonsumsinya, pada hakekatnya berfungsi
sebagai pemulihan hak-hak konsumen yang telah dilanggar, pemulihan atas
kerugian materil dan immaterial dan pemulihan konsumen pada keadaan semula.
Tanggung jawab pihak yang melakukan pemalsuan dan peniruan Indikasi
Geografis terhadap konsumen memang tidak ada diatur dalam UU Merek Tahun
2001, tetapi UU Merek Tahun 2001 memberikan hak kepada pemilik hak Indikasi
Geografis terdaftar untuk mengajukan tuntutan provisi yang bertujuan untuk
mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, yaitu
pemilik hak dan konsumennya. Dalam tuntutan provisi, pemilik hak selaku
penggugat mengajukan permohonan kepada hakim yang mengadili perkara
73

74

Hadi Evianto, Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar Keinginan Melainkan Suatu
Kebutuhan, Hukum dan Pembangunan, Nomor 6 Tahun XVI, Desember 1986, hal.58
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

53

tersebut memerintahkan pihak yang melakukan pelanggaran hak untuk
menghentikan produksi dan perdagangan serta pemusnahan barang yang
menggunakan label Indikasi Geografis secara tanpa hak tersebut, sebagaimana
diatur dalam Pasal 57 ayat (2) UU Merek Tahun 2001.
Tuntutan provisi ini dapat diajukan sebelum perkara gugatan ganti rugi
diputus oleh Pengadilan Niaga. Apabila dikabulkan, maka hakim akan
memutuskan tuntutan provisi melalui putusan sela.
Jika ditinjau dari sudut tanggung jawab pemegang hak merek selaku pihak
produsen atau pelaku usaha terhadap barang-barang yang diproduksinya atau
product liability, maka perlindungan terhadap konsumen dapat pula ditinjau dari
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur tentang tanggung jawab produsen
yang disebut sebagai pelaku usaha. Perlindungan yang diberikan oleh UndangUndang tersebut bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi,
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
menjalankan usahanya, serta meningkatkan kualitas barang yang diproduksi yang
memberikan jaminan kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.

Universitas Sumatera Utara

54

Dalam

rangka

melaksanakan

product

liability,

berkenaan

dengan

perlindungan terhadap produsen barang Indikasi Geografis, ada beberapa
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, antara lain sebagai berikut:
a. Pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang yang tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang tersebut (Pasal 8 ayat (1) huruf e UU
Perlindungan Konsumen);
b. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan
suatu barang secara tidak benar atau seolah-olah barang tersebut berasal dari
daerah tertentu (Pasal 9 ayat (1) huruf h UU Perlindungan Konsumen);
c. Pelaku

usaha

dalam

menawarkan

barang

yang

ditujukan

untuk

diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau
membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang (Pasal 10 huruf c
UU Perlindungan Konsumen).
Sebagai salah satu pihak dalam suatu hubungan jual beli atau proses
perdagangan, konsumen mempunyai hak dan kewajiban. Setelah memenuhi
kewajibannya, yaitu membayar sesuai dengan harga yang telah disepakati, maka
salah satu hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 huruf h Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, adalah hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang yang diterimanya tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.

Universitas Sumatera Utara

55

Terhadap pelaku usaha yang beritikad tidak baik dan melakukan perbuatan
curang serta melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh undang-undang
dan akibat perbuatannya tersebut telah menyebabkan kerugian kepada konsumen,
sejalan dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 4 jo Pasal 19 Undangundang Perlindungan Kosumen, maka pelaku usaha bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi yang
diberikan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang yang sejenis dan
setara nilainya atau perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi
oleh produsen ini tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Namun, jika
produsen dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen, maka produsen bebas, dari tanggung jawab pemberian ganti rugi tersebut.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
produsen yang diajukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan produsen atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen selain dapat ditempuh melalui
pengadilan dapat juga diselesaikan di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara
sukarela dari para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa di luar pengadilan
tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana ditentukan dalam undangundang tentang adanya unsur kesalahan. Mengenai ketentuan ini seluruhnya diatur

Universitas Sumatera Utara

56

dalam Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
Penuntutan pidana yang melibatkan pihak kepolisian sebagai penyidik dan
kejaksaan sebagai penuntut umum dapat dilakukan terhadap pelaku usaha yang
terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan-ketentuan tentang perbuatanperbuatan yang
tidak boleh dilakukan terhadap barang yang diproduksinya, diantaranya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Sedangkan, terhadap pelanggaran yang
menyebabkan luka berat, cacat atau kematian kepada konsumen, maka diberlakukan
ketentuan undang-undang hukum pidana yang berlaku, ketentuan tentang jenis
hukuman ini seluruhnya diatur dalam Pasal 62 ayat UU Perlindungan Konsumen.
Ketentuan-ketentuan tentang perlindungan terhadap konsumen yang diatur
dalam UU Perlindungan konsumen ini pada dasarnya juga memberikan perlindungan
dalam bentuk preventif dan perlindungan represif, yaitu terhadap kerugian yang
dialami oleh konsumen, pihak konsumen dapat mengajukan gugatan ganti rugi secara
perdata kepada produsen atau pemilik hak indikasi Geografis terdaftar dan
penuntutan secara pidana yang dilakukan oleh pihak penyidik dan petugas kejaksaan,
sebagaimana perlindungan yang diberikan terhadap pemilik Indikasi Geografis
terdaftar.

C. Perlindungan
Internasional

Indikasi

Geografis

dalam

Perspektif

Nasional

dan

Negara anggota Uni Eropa yang telah lama mengembangkan produk indikasi
geografis seperti misalnya Perancis, Portugal, dan Spanyol. Disamping perlindungan
di tingkat nasional, Uni Eropa juga merasa perlu untuk memberikan perlindungan
yang efektif terhadap indikasi geografis di tingkat regional. Pendaftaran perlindungan

Universitas Sumatera Utara

57

ditingkat Uni Eropa akan memberikan dampak perlindungan yang lebih luas, yaltu di
seluruh negara-negara anggotanya. Perlindungan ini dianggap penting karena nama
tempat dapat menjadi sangat terkenal di luar tempat tersebut, dan juga
memungkinkan terjadinya persainga