Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Dagang Internasional

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adolf, Huala., Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Badan Pengkajian Hukum Nasional (BPHN), ”Asas Hukum Kontrak Nasional”, Departement Kehakiman, Januari 1989.

Berger, Klaus Peter., “Contrat with no Governing Law in Private International Law and Non State Law”, diterjemahkan oleh Gunawan Widjaja, Germany: Country Report.

Burnham, Scott J., Drafting Contract 2nd ed., diterjemahkan oleh Gunawan Widjaja, Charlottesville: The Michie Company, 1993.

Fuady, Munir., Arbitrase Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Gautama, Sudargo (I)., Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1986. ______Sudargo (II)., Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata

Internasional, Bandung: Alumni, 1978.

______Sudargo (III)., Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8), Bandung: Alumni, 1979.

______Sudargo (IV)., Hukum Dagang & Arbitrase Internasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

______Sudargo (V)., Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Bandung: Alumni, 1985.

Goodpaster, Gary et.al, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, dalam Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk, eds, “Arbitrase di Indonesia”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995. Harahap, M. Yahya., Arbitrase, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Haley, Jacqueline M. Nolan., Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1992.

Henderson, Dan Fenno., Conciliation and Javanese Law: Tokugawa and Modern, Tokyo: University of Tokyo Press, 1965.

Hikmahanto Juwana., ”Kepastian Hukum”, Seputar Indonesia 30 Juli 2007.

Ikhsan, Muhammad., ”Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru”, Kompas, 31 Mei 2004.

Ismail, Maqdir., Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007.

Khairandy, Ridwan (II)., Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.


(2)

Latif, Yansen Derwanto., Pilihaan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi Ke-4, Yogyakarta: Liberty, 1999.

Rajagukguk, Erman., Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama, 2000.

Sato, Yasunobu., “The Japanese Model of Dispute Processing”, Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,” Bangkok, Tanggal 19-20 November 2001.

Sembiring, Sentosa., Hukum Investasi, Bandung: Nuansa Alia, 2007.

Sjahdeini, Sutan Remy., Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.

Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

______Soerjono., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Suparman, Erman., Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Jakarta: Tatanusa, 2004.

Sumartono, Gatot., Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Tanaka, Hideo., ed, The Japanese Legal System, Tokyo: University of Tokyo Press, 1988.

United Kingdom Report, Departement of Trade and Industry, London: 1996. Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Widjaja, Gunawan (II)., Seri Hukum Bisnis: Transaksi Bisnis Internasional, Jakarta:

Rajawali Pers, 2000.

B. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa.

PERMA Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Arbitrase Asing.

Herziene Indonesich Reglement (HIR). Reglement op de Rechtsvordering (Rv).


(3)

Konvensi Jual Beli 1951 (1955.

Convention on Contracts for the International Sales Goods (CISG). Konvensi Jual Beli 1964.

Konvensi Jual Beli 1958.

C. Makalah, Jurnal, Artikel, dan Diktat

Alkostar, Artidjo., “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salah Satu Bentuk Mekanisme Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, Makalah Seminar, Jakarta, 28 Februari 2007.

Khairandy, Ridwan (I)., Aspek Hukum Dalam Kontrak Dagang Internasional, Jurnal Hukum Bisnis, Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional, Vol. 27 No. 4 Tahun 2008.

Kelly, David., Business Law, edisi ke-4, diterjemahkan oleh Ricardo Simanjuntak dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008, Cavendish Publishing Limited, 2002.

LP3ES, “Program Penguatan Balai Mediasi Desa”, Naskah Proposal yang Dibuat Dalam Rangka Pencarian Pendanaan, Jakarta, 2005.

Meliala, Adrianus., ”Adakah Model-Model Resolusi Konflik”, artikel, Koran Tempo, tanggal 10 April 2001.

Ricardo Simanjuntak., “Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, “Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional”, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008.

Santosa, Mas Achmad., & Wiwiek Awiati., ”Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi)”, Naskah Presentasi, ICEL, Jakarta: tanpa penerbit dan tanpa tahun.

Sardjono, Agus., “Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Dalam Cross Border Transaction: Antara Norma dan Fakta”, Jurnal Hukum Bisnis, ”Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional”, Vol. 27, No. 4, Tahun 2008.

Simanjuntak, Ricardo (II), Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional, Makalah dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22 No. 4 tahun 2003.

Sirait, Ningrum Natasya., Hukum Kontrak Internasional, Bab Alternative Dispute Resolution, bahan Kuliah Program Pascasarjana Fakultas Hukum MHB UMA, 2004.

Siregar, Mahmul., ”Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional”, Volume 27 Nomor 24 Tahun 2008.

Sitepu, Runtung., “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan rapat terbuka


(4)

Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 1 April 2006.

Soedarsono, Teguh., Kadiv Binkum Polri, dalam presentasi Makalah mengenai ”Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, Jakarta, Mabes Polri, Desember 2006.

Tambunan, Fred B.G., ”Kekuatan Mengikat Perjanjiandan Batas-Batasnya”, Makalah, Jakarta: Juli 1998.

Widjaja, Gunawan (I)., Aspek Hukum Dalam Kontrak Dagang Internasional, Jurnal Hukum Bisnis, Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional, Vol. 27 No. 4 Tahun 2008.

D. Surat Kabar

Lubis, Todung Mulya., ”Infrastruktur dan Kepastian Hukum”, Kompas: Selasa, 14 Juni 2005.

E. Internet

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepastian-hukum-2html, diakses terakhir tanggal 25 September 2008.


(5)

BAB III

PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA

E. Pengakuan Berdasarkan Prinsip Teritorial

Pengakuan (recognition) harus dibedakan dengan pelaksanaan (enforcement). Menurut Sudargo Gautama56

Putusan-putusan badan peradilan suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Hal ini merupakan asas dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) dan sudah lama dianut dalam berkontrak, dimana putusan Hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja.

pengakuan tidak begitu mendalam akibatnya dari pada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak, seperti tindakan-tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan yang demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang dapat dengan mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri dari pada pelaksanaannya.

57

Negara Indonesia menganut ketentutan bahwa putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di wilayah Indonesia.

58

56

Sudargo Gautama (III), Loc. cit, hal. 278.

57

Sudargo Gautama (V), Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 281.

58

Lihat, Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) walaupun sebenarnya ketentuan R.V. sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun oleh karena Herziene Indonesich Reglement (HIR) yang mengatur hukum acara perdata bagi golongan Bumiputra dan yang sekarang digunakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menyebutkan atau mengatur mengenai putusan asing ini,maka ketentuan R.V. tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman.

Putusan Hakim asing tidak dapat dianggap sama dan sederajat dengan putusan Hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia sendiri. Ketentuan tersebut erat kaitannya dengan


(6)

principle of territorial soveregnty (prinsip kedaualatan teritorial) dimana berdasarkan asas ini putusan Hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas ketentuannya sendiri.59

Jika menggunakan penafsiran argumentum a contrario

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak merumuskan pengertian arbitrase nasional, justru disebutkan adalah pengertian putusan arbitrase internasional. Dalam Pasal 1 Angka 9 disebutkan; ”Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbitrase perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase internasional”.

60

dapat dirumuskan pengertian putusan arbitrase nasional sebagai putusan yang dijatuhkan di wilayah hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan prinsip kewilayahan atau kedaulatan teritorial.61

Oleh karena itu, sepanjang putusan arbitrase dilakukan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase internasional atau asing. Jadi, ciri putusan arbitrase asing yang didasarkan pada faktor teritorial tidak mensyaratkan perbedaan kewarganegaraan dan perbedaan tata

59

Sudargo Gautama (III), Ibid, hal. 279.

60

Sudikno Mertokusumo., Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi Ke-4, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal. 165-167. Argumentum a contrario berdasarkan pada postulat Aristoteles bahwa, ”peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama”. Artinya,pengertian tertentu (yaitu arbitrase nasional) tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi justru diatur adalah kebalikan dari pengertian tersebut (yaitu arbitrase internasional). Dalam situasi demikian, untuk pengertian yang tidak secara khusus diatur dalam undang-undang tersebut berlaku sebaliknya.

61

Gatot Sumartono., Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 69.


(7)

hukum. Meskipun para pihak yang terlibat dalam sengketa adalah warga negara Indonesia, jika putusan arbitrase atas sengketa mereka dijatuhkan di luar wilayah hukum Indonesia, maka secara otomatis putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. Di sini jelas karena faktor teritorial mengungguli faktor kewarganegaraan dan faktor tata hukum.

Prinsip teritorial di atas juga dianut oleh Konvensi New York 1958 hal ini terdapat pada Pasal 1 Ayat (1) konvensi tersebut.62

Ketentuan tersebut menyangkut putusan yang dilakukan di dalam negeri dengan menggunakan hukum asing. Artinya, jika para pihak menggunakan hukum asing sebagai dasar bagi penyelesaian sengketa mereka, maka, walaupun putusan arbitrase tersebut dijatuhkan di wilayah Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase Internasional (bagi Indonesia). Sebaliknya, walaupun para pihak yang bersengketa bukan warga negara Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai hukum substantif bagi penyelesaian Dalam ketentuan ini lebih menegaskan prinsip kewilayahan, bahkan tidak melihat lagi perbedaan mengenai status kewarganegaraan para pihak dan juga hukum yang digunakan. Jadi. Jadi, putusan arbitrase dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing atau Internasional jika diputuskan di luar wilayah negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi (enforcement).

Di samping itu, Pasal 1 Ayat (1) Konvesi New York 1958 juga menyatakan bahwa ruang lingkup konvensi berlaku atas putusan-putusan arbitrase yang tidak dianggap sebagai putusan-putusan domestik di negara di mana pengakuan dan pelaksanaan arbitrase tersebut dimohonkan.

62


(8)

sengketa arbitrase mereka di Indonesia, maka putusan arbitrase tersebut merupakan putusan arbitrase nasional. Dalam kaitan itu, perlu dibedakan antara pelaksanaan putusan arbitrase Nasional dengan arbitrase Internasional. Pelaksanaan arbitrase Nasional berdasarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Konvensi New York 1985, dan Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Untuk Pelaksanaan arbitrase Internasional berdasarkan Konvensi New York 1985.

Lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 1990, ditujukan untuk mengantisipasi permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Dikeluarkannya Perma ini, maka berakhir masa kekosongan hukum tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Jangkauan kekuatan Perma ini tidak hanya meliputi arbitrase asing yang telah ada sebelum Perma dikeluarkan, baik terhadap putusan yang belum pernah diajukan, maupun yang sudah pernah ditolak eksekusinya. Penolakan atau pernyataan eksekusi putusan arbitrase asing tidak dapat diterima atas alasan peraturan pelaksana belum ada seperti yang terjadi di masa sebelum Perma Nomor 1 Tahun 1990 berlaku.

F. Pengakuan Terhadap Putusan Arbitrase Asing

Masalah pengakuan tidak begitu mendalam terhadap yang diakibatkannya daripada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak, seperti tindakan-tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan yang demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang dapat dengan mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri dari


(9)

pada pelaksanaannya. Oleh karenanya, maka untuk istilah pelaksanaan (enforcement) harus dibedakan dengan istilah pengakuan (recognition).63

Putusan-putusan badan peradilan dan arbitrase suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Hal ini merupakan asas pengakuan terhadap unsur-unsur dalam HPI dan sudah lama dianut dalam berkontrak, dimana putusan Hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja.

64

Negara Indonesia menganut ketentutan bahwa putusan Hakim asing tidak dapat diakui untuk dilaksanakan di wilayah Indonesia.

65

Putusan Hakim asing tidak dapat dianggap sama atau sederajat dengan putusan Hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia sendiri. Ketentuan tersebut erat kaitannya dengan prinsip kedaualatan teritorial dimana berdasarkan asas ini putusan Hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas ketentuannya sendiri.66

Konvensi arbitrase Internasional utama yang erat kaitannya dengan pengakuan adalah The New York Convention on the Recognition and Enforcement of Arbitrase Awards of 1958 yakni Konvensi New York tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase tahun 1958.67

63

Sudargo Gautama (III), Op. cit, hal. 278.

64

Sudargo Gautama (V), Op. cit, hal. 281.

65

Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) walaupun sebenarnya ketentuan R.V. sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun oleh karena Herziene Inland Reglement (HIR) yang mengatur hukum acara perdata bag golongan Bumiputra dan dan yang sekarang digunakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menyebutkan atau mengatur mengenai putusan asing ini,maka ketentuan Rv. tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman.

66

Sudargo Gautama (III), Op. cit, hal. 279.

67

Australia, Indonesia, Malaysia dan Singapura telah meratifikasi konvensi ini.

Dimana bahwa dalam konvensi ini tidak berkenaan dengan peraturan pelaksanaan arbitrase internasional, tetapi mengatur masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang


(10)

dibuat oleh berbagai badan arbitrase, baik domestik maupun internasional. Konvensi ini juga mengatur pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan arbitrase.

Dalam Pasal II Konvensi New York 1958, dinyatakan bahwa:68

1. Setiap orang yang mengadakan perjanjian harus mengakui perjanjian tertulis dimana para pihak menyerahkan semua perselisihan yang telah atau akan timbul di antara mereka sehubungan dengan hubungan hukum yang telah ditentukan, baik yang bersifat kontraktual atau tidak, berkenaan dengan sesuatu hal yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, kepada arbitrase;

2. Istilah kesepakatan tertulis memuat klausa arbitrase di dalam sebuah perjanjian atau sebuah kesepakatan arbitrase, yang ditandatangani oleh para pihak atau dimuat dalam exchange of letter atau telegram;

3. Pengadilan dari suatu negara yang membuat perjanjian, saat ini bertindak dengan para pihak telah membuat kesepakatan menurut pengertian pasal ini, atas permintaan dari salah satu pihak akan merujukkan para pihak kepada arbitrase, kecuali bila pengadilan tersebut menemukan bahwa kesepakatan tersebut batal demi hukum, tidak berlaku atau tidak mungkin dilaksanakan. Konvensi New York berfungsi untuk mendorong kerjasama antara negara-negara pembuat kontrak, dan menyeragamkan kebiasaan negara-negara-negara-negara tersebut dalam melaksanakan putusan arbitrase asing. Konvensi ini dianggap sebagai traktat Internasional yang paling penting sehubungan dengan arbitrase komersial Internasional, karena konvensi ini menawarkan kepastian dan efisiensi dalam pelaksanaan putusan-putusan arbitrase Internasional.

Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 ini melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Dalam ratifikasi tersebut, Indonesia meletakkan persyaratan yaitu; Pertama, Indonesia hanya akan melaksanakan putusan apabila putusan tersebut mengenai sengketa yang termasuk ke dlaam ruang lingkup hukum dagang. Kedua, Indonesia hanya akan melaksanakan ptusan arbitrase asing, apabila negara dimana

68

Maqdir Ismail., Loc. cit, hal. 17. terjemahan dalam bentuk bahasa Indonesia atas Pasal II Konvensi New York 1958.


(11)

putusan arbitrase tersebut dibuat, juga adalah negara peserta Konvensi New York 1958. prinsip ini dikenal pula dengan istilah resiprositas. Ketiga, Indonesia hanya akan melaksanakan putusan arbitrase asing apabila putusan tersebut tidak melanggar ketertiban umum ditanah air. Sebaliknya apabila ternyata putusan tersebut melanggar ketertiban umum, maka putusan tersebut tidak akan diakui dan dilaksankan.

Dalam Konvensi New York 1958, mengatur masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di dalam wilayah para pihak yang membuat perjanjian. Putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang dibuat di luar yurisdiksi pihak yang membuat perjanjian, yang di wilayah merekalah putusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan.69

Berdasarkan pengertian arbitrase asing, menyiaratkan kewajiban yang luas bagi para pihak pembuat perjanjian terhadap Konvensi New York 1958. Kewajiban ini mengharuskan pihak pembuat perjanjian melaksanakan putusan arbitrase yang

Konsep yang luas ini meliputi putusan arbitrase yang dibuat di luar negara dimana putusan itu akan dilaksanakan. Traktat ini juga dapat diperluas pada putusan-putusan yang dianggap sebagai putusan-putusan dalam negeri yang tunduk pada hukum dari negara tempat dimana dibuat pelaksanaan putusan tersebut.

Dengan demikian putusan arbitrase asing adalah setiap putusan arbitrase yang pengaruhnya tidak didasarkan pada hukum domestik di tempat putusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan. Menurut Pasal I Ayat (2) Konvensi New York 1958, istilah putusan arbitrase memuat bukan saja putusan yang dibuat oleh para arbiter yang ditunjuk untuk setiap kasus, namun juga putusan yang dibuat oleh badan-badan arbitrase permanen dimana para pihak telah menyerahkan kasus mereka.

69


(12)

ditetapkan menurut hukum suatu negara yang menolak untuk menerima Konvensi New York 1958. Konsekuensi ini tidak konsisten dengan pengertian resiproksitas (timbal balik), yang menjadi dasar dari kebanyakan konvensi dan traktat internasional.

Para pihak yang terikat dalam pembuatan kontrak atau perjanjian dalam konvensi ini diijinkan untuk mengumumkan bahwa pelaksanaan putusan hanya terbatas pada mereka yang melakukan hubungan komersial sebagaimana diakui di dalam hukum pihak yang membuat perjanjian atau kontrak tersebut.70

Putusan asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu ”fakta”, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Ketentuan putusan hakim asing pada umumnya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusan-putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai perhitungan umum terhadap kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi keputusan arbitrase pada umumnya dapat dilaksanakan di luar negeri.

70

Teks asli menyatakan, ”saat menandatangai, mensahkan atau mnyetujia konvensi ini, atau memberitahukan perpanjangan di abwah Pasal X, negara manapun pada dasar pelaksanaan putusan yang mengeluarkan di wilayah negara pembuat perjanjian lainnya. Negara tersebut juga dapat menyaakan bahwa mereka akan menggunakan konvensi tersebut kepada perbedaan-perbedaan yang timbul dari hubungan-hubungan hukum, baik mngenai perjanjian maupun tidak, yang dianggap sebagai komersial di bawah hukum nasional dari negara yang mengeluarkan deklarasi tersebut”.


(13)

Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa ”...keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia.”71

71

Putusan asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu ”fakta”, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa ”...keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia.”

Kedaulatan hukum adalah harga yang sangat tinggi untuk dibayar. Belum lagi masalah formalitas putusan, sistem hukum yang diterapkan, serta proses putusan itu sendiri dibuat. Untuk putusan misalnya yang sederhana, putusan di Indonesia harus dimulai dengan kepala putusan yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak adanya bunyi kepala putusan tersebut, maka akan membuat putusan tersebut menjadi tidak sah atau batal (null and void).

Kendala lain yang mengganjal adalah bahwa konvensi-konvensi yang ada akan mendapat resistensi dari negara-negara yang sednag berkembang. Masalahnya adalah menyangkut fakta bahwa negara-negara inilah yang kemungkinan akan lebih banyak dihadapkan pada masalah permohonan pengakuan putusan badan pengadilan asing. Masalah lain misalnya Indonesia belum atau tidak mau menjadi anggota the Hague Conference, dengan demikian prospek ke depan terhadap mengikatnya substansi aturan Konvensi Den Haag 2005, masih tetap tampak jauh dari harapan.

Hal ini berlainan dengan keputusan di dalam pengadilan. Secara internasional, pengaturan pelaksanaan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959.


(14)

Dalam Pasal V Konvensi New York 1958, memuat alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan putusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut. Pasal ini memuat 7 (tujuh) alasan penolakan pelaksanaan suatu putusan arbitrase yaitu:

1. Bahwa para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara dimana putusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku;

2. Pihak terhadap mana putusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mempertahankan sengketa (pembelaannya);

3. Putusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau putusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan oleh badan arbitrase; dan

4. Komposisi arbitrator atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau putusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara dimana putusan dibuat.

Konvensi New York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981. Keppres ratifikasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung


(15)

Republik Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

Tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri kemudian diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Peraturan yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian exequatur putusan arbitrase asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma Nomor 1 Tahun 1990. peraturan yang menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada Pasal 436 R.V. dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR.72

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase Internasional. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan lembaga arbitrase/arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase Internasional.

Belakangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Menurut Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase asing yang berkakekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981.

72


(16)

Ciri putusan arbitase asing di dasarkan pada faktor wilayah atau teritorial. Setiap putusan yang dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing.73

Hal ini, tidak menguntungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum, meskipun para pihak yang terlibat di dalam putusan adalah orang-orang Indonesia dan sama-sama warga negara Indonesia, jika putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing.74

1. Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitase atau arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pelaksanaanna didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas);

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

2. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang;

3. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

73

Ibid, hal. 438.

74


(17)

Dalam kontrak dagang internasional selalu terdapat kemungkinan bertemunya dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Tidak mungkin semua sistem hukum tersebut diberlakukan. Di sini sangat diperlukan adanya pilihan hukum untuk diakui masalah kepastian hukumnya. Ketika negosiasi dilakukan, permasalahan pilihan hukum ini harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Pilihan hukum tersebut diikuti dengan pilihan yurisdiksi. Bagi pengusaha Indonesia sebaiknya pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi diarahkan kepada hukum Indonesia dan pengadilan dan arbitrase Indonesia.

G. Pelaksanaan Putusan Pengadilan atau Arbitrase Asing

Pihak asing dalam menentukan klausul pilihan yurisdiksi dan pilihan hukum umumnya lebih menghendaki pengadilan dan hukum di negara mereka sendiri. Jika tidak, mereka bersedia menggunakan hukum Indonesia, tetapi pilihan yurisdiksinya mengacu kepada pengadilan atau arbitrase asing yang tidak harus mengacu kepada pengadilan atau arbitrase di negara mereka, yang intinya tidak diadili di Indonesia.

Kemudian, pilihan yirusdiksinya juga mengacu kepada pengadilan di negara bagian New York. Terhadap keadaan semacam ini, akan menimbulkan persoalan sehubungan dengan bagaimana melaksanakan putusan pengadilan tersebut jika yang kalah dalam pengadilan adalah pengusaha Indonesia. Padahal yang bersangkutan jelas berdomisili di Indonesia dan tidak memiliki harta benda di New York, apakah putusan Hakim tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia?, apakah putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa harus mengadilinya lagi di Indonesia?, dan apakah Hakim dari Indonesia terikat pada putusan Hakim dari negara asing tersebut?.


(18)

Umumnya ketentuan putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusan-putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai perhitungan avarai umum (grosse avaraij) terhadap oemilik kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.

Keputusan arbitrase pada umumnya dapat dilaksanakan di luar negeri. Hal ini berlainan dengan keputusan di dalam pengadilan. Secara internasional, pengaturan pelaksanaan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959

Konvensi New York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981. Keppres ratifikasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

Tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri kemudian diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Peraturan yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian pelaksanaan putusan arbitrase asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma Nomor 1


(19)

Tahun 1990. Sedangkan peraturan yang menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada Pasal 436 R.V. dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR.75

Ciri putusan arbitase asing di dasarkan pada faktor wilayah atau teritorial. Setiap putusan yang dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing.

Belakangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Menurut Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase asing yang berkakekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase Internasional. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan lembaga arbitrase/arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase Internasional.

76

Ciri putusan arbitrase asing di dasarkan pada faktor teritorial, tidak menguntungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum, meskipun para pihak yang terlibat di dalam putusan adalah orang-orang Indonesia

75

Ibid, hal. 437.

76


(20)

dan sama-sama warga negara Indonesia, jika putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing.77

1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional;

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;

3. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;

4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat; dan 5. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang

menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari amhkamah agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kontrak dagang internasional selalu terdapat kemungkinan bertemunya dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Tidak mungkin semua sistem hukum tersebut diberlakukan. Di sini sangat diperlukan adanya pilihan hukum. Ketika negosiasi dilakukan, permasalahan pilihan hukum ini harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Pilihan hukum tersebut diikuti dengan pilihan yurisdiksi. Bagi pengusaha Indonesia sebaiknya pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi diarahkan kepada hukum Indonesia dan pengadilan dan arbitrase Indonesia.

Untuk lebih jeasnya, mengenai pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Asing di Indonesia, Undang-Undang Nomor 30

77


(21)

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah, telah menggariskan ketentuan di dalam Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69.

Pasal 67 dinyatakan sebagai berikut:

(1) Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitra Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;

(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat1 harus disertai dengan:

a. lembar asli atau salinan otentik Putusan arbitrase internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;

b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahas Indonesia; dan

c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat diajukan banding maupun kasasi,dan penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing dapat diajukan di tingkat kasasi, serta dengan pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Untuk lebih jelasnya di dalam Pasal 68 dinyatakan sebagai berikut:

(1) Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi;

(2) Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi; (3) mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap kasasi

sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, dalam jangka waktu paling lama 90 hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh mahkamah agung; dan (4) Terhadap putusan mahkamah agung sebagaiman dimaksud dalam pasal 66


(22)

Untuk pelaksanaan sita eksekusi, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusata memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memiliki kewenangan relatif di bidangnya. Dalam Pasal 69, telah disebutkan secara tegas sebagai berikut:

(1) Setelah ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya;

(2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi; dan

(3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan megikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata.

Pelaksanaan putusan arbitrase asing di Australia dilaksanakan berdasarkan undang-undang federal dan neara bagian. Pasal 8 International Arbitration Act 1974 mengatur mengenai pengakuan dan penyelenggaraan sebuah putusan asing. Pasal 8 Ayat (2) menyatakan bahwa, “putusan arbitrasi asing dapat dilaksanakan di dalam wilayah hukum pengadilan negera bagian atau wialayah sebagaimana bila putusan dibuat di negara bagian atau wilayah tersebut menurut hukum yang berlaku”.78

Di Indonesia putusan Arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan melalui perintah yang diberikan berdasarkan peraturan konvensi yang berlaku, misalnya Konvensi Jenewa 1927 atau Konvensi New York 1958, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan putusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, tetapi Sebuah putusan asing adalah putusan yang dibuat menurut kesepakatan arbitrase di sebuah negara selain Australia, dan yang mengikuti hasil Konvensi New York 1958. mengikuti Pasal 8 Ayat (1) sebagai suatu dasar hukum penting menyatakan bahwa penyelenggara putusan asing di semua negara bagian di Australia kecuali Queensland dilakukan berdasarkan peraturan Mahkamah Agung.

78


(23)

karena ratifikasi tidak selalu disertai dengan penjelasan yang detil mengenai prosedur pelaksanaannya, maka pelaksanaan putusan sering kali tidak mudah, termasuk pelaksanaan putusan atas dasar kesepakatan bilateral dan Convention for the Settlement Investment Disputes 1965.

Karena itu masalah utama bagi Indonesia saat ini adalah tidak adanya peraturan mengenai prosedur pelaksanaan putusan arbitrase yang didapatkan melalui pengadilan Indonesia, sehingga putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan secara langsung di Indonesia.79

Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentan Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia apabila putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis Arbitrase di siatu negara yang terikat secara bilateral maupun multilateral terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional. Putusan inipun Pada tahun 1990, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompetensi Pengadilan Arbitrase, yang intinya menegaskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberi kuasa sebagai badan yang berwenang manangani pelaksanaan putusan arbitrase (Ayat 1). Sementara pada Ayat 2 disebutkan bahwa setiap putusan arbitrase memiliki status final dan mengikat. Sedangkan Ayat 3 satu demi satu mengatur mengenai persyaratan prosedur penyelenggaraan yaitu dinyatakan bahwa putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di Indonesia bila putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.

79

Syarat-syarat suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia bila memenuhi ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah, antara lain; putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis Arbitrase di suatu negara yang terikat oleh perjanjian dengan Indonesia secara bilateral atau multilateral tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional.


(24)

hanya terbatas pada putusan yang masuk dalam lingkup hukum perdagangan. Putusan ini juga dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi bila putusan itu menyangkut negara Republik Indonesia, maka putusan itu baru dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang melaksanakan putusan arbitrase asing tidak dapat diajukan banding ataupun kasasi, hanya saja putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolaklah yang dapat diajukan kasasi.80

H. Penolakan Terhadap Putusan Pengadilan Arbitrase Asing

Penolakan terhadap putusan pengadilan arbitase asing, sangat berkaitan erat dengan fungsi dan kewenangan suatu lemabaga arbitrase domestik. Putusan arbitrase asing yang domohonkan untuk dilaksanakan atau diaeksekusi pada suatu negara tertentu dapat ditolak permohonannya jika tidak sesuai atau bertentangan dengan kewenangan (kompetensi atau jurisdiksi) suatu negara.

Begitu pula dengan suatu perkara yang belum diputus ataupun yang akan dieksekusi pada suatu negara tertentu, dapat dibatalkan permohonannya apabila bertentangan dengan wilayah kekuasaan hukum negara tersebut. Misalnya di Indonesia, Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan disebut dalam pasal-pasal harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti,

80

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, Pasal 66.


(25)

maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.81

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atu dinyatakan palsu;

Masalah pembatalan putusan arbitrase di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu sebagai berikut: Pasal 70 menyebutkan bahwa: ”Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; dan

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”

Dalam Pasal 71 dinyatakan bahwa, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri.”

Menurut Pasal 72, dinyatakan bahwa:

(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri;

(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikabulkan, ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase;

(3) Putusan atas permohonan pembatalan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diterima;

(4) Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke mahkamah agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir; dan (5) Mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan

banding sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh mahkamah agung.

81


(26)

Masalah penolakan terhadap putusan pengadilan arbitase asing, erat kaitannya dengan masalah kewenangan (kompetensi atau yurisdiksi) suatu lemabaga arbitrase domestik untuk menerima, mengadili, dan memutus, serta mengeksekusi terhadap suatu perkara bisnis Internasional.

Yurisdiksi pengadilan di dalam kaidah HPI merupakan kekuasaan dan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan. Yurisdiksi yang diakui dan dijalankan secara internasional, bagi pengadilan suatu negara harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan yang dipersengketakan.

Dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku dewasa ini di Indonesia dan juga pengaturannya terdapat pada HIR dan Rbg tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan (yurisdiksi) di Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yang mengandung elemen asing.

Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat bertempat tinggal atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka di tempat sebenarnya ia berada.

Tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah suatu Pengadilan Negeri, menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal.

Yurisdiksi menurut Sudargo Gautama, merupakan ketentuan penting yang ada hubungannya dengan perkara yang bersifat HPI terdapat dala Pasal 118 ayat (3)


(27)

HIR.82

Yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara diamana tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia, sehingga prosedur khusus telah dilakukan.

Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri ditempat penggugat. Kemudian apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri dimana benda tetap itu terletak.

Pasal 118 ayat (4) HIR, terdapat ketentuan yang menegaskan, bahwa jika terdapat pilihan domisili, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang telah dipilih tersebut.

83

Pengkajian di dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 sub 8 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvorerdering (RV)

84

mengenai Dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat kepada yang bertempat tinggal di luar Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat pengadilan dimana seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim.85

82

Sudargo Gautama (III), Op. cit, hal. 210.

83

Ibid, hal. 211.

84

Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi. Namun apabila di dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, maka ketentuan Rv dapat dijadikan sebagai pedoman.

85

Sudargo Gautama (III), Ibid, hal. 211.


(28)

Uraian di atas memberikan arahan untuk dapat disimpulkan, bahwa prinsip penyampaian gugatan harus dilakukan di tempat tinggal pihak tergugat. Kewenangan mengadili pertama-tama didasarkan pada asas the basis of presence, yakni pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang dan benda yang berada dalam batas-batas wilayah negaranya. Pengecualiannya adalah berkaitan dengan imunitas negara berdaulat dan staf diplomatik.86

Prinsip efektivitas juga memegang peranan penting, di samping pertimbangan-pertimbangan untuk memberi perlindungan sewajarnya terhadap semua orang yang mencari keadilan. Prinsip efektivitas berarti, bahwa pada umumnya Hakim hanya akan memberikan putusan yang pada hakikatnya akan dapat dilaksanakan kelak. Tentunya yang paling terjamin apabila gugatan diajukan di hadapan pengadilan dimana pihak tergugat dan benda-bendanya berada.87

86

Ibid, hal. 213.

87

Ibid.

Negara-negara di dunia masing-masing memiliki hukum acara. Hukum acara ini terkadang memiliki persamaan tetapi terkadang juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh tradisi hukum yang diikuti, kondisi masyarakat dan sejarah hukum negara yang bersangkutan.

Kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul dikemudian hari dapat diantisipasi sejak dini. Permasalahan ini diselesaikan dengan merumuskan klausul pilihan yurisdiksi (Choice of Forum) di dalam kontrak bisnis yang bersangkutan. Pilihan yurisdiksi ini bermakna bahwa, para pihak di dalam kontrak sepakat memilih forum atau lemabaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di antara kedua belah pihak.


(29)

Pilihan yurisdiksi ini dapat mengacu kepada pengadilan di salah satu negara dari para pihak yang mengadakan transaksi. Pilihan yurisdiksi ini juga dapat merujuk kepada suatu lembaga arbitrase di negara tertentu yang dilaksanakan di negara tertentu.

Para pihak yang bersengketa mempunyai kebebasan untuk memilih forum. Mereka dapat menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih Hakim lain. Namun, sedemikian tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi tidak berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara yang bersangkutan Hakim tidak berwenang adanya. Misalnya untuk Nederland tidak dapat dipilih Hakim jika menurut hukum Belanda sama sekali tidak ada Hakim Belanda yang relatif berwenang mengadili perkara itu.88

1. Permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir (1);

Pilihan forum menurut Convention on the Choice of Court 1965 terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat Internasional. Pilihan forum tidak berlaku bagi status atau kewenangan orang atau badan hukum keluarga, termasuk kewajiban atau hak-hak pribadi atau financial antara orang tua dan atau antara suami dengan istri seperti:

2. Warisan; 3. Kepailitan; dan

4. Hak-hak atas benda yang tidak bergerak.89

Pengadilan Arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili

88

Ibid, hal. 233.

89


(30)

perkara tersebut. Salah satu cara untuk menentukan berwenang atau tidaknya ia mengadili perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti klausul pilihan yurisdiksi yang terdapat di dalam kontrak yang bersangkutan.

Hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung elemen asing menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau menunjuk kepada badan arbitrase lain tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka Hakim yang bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Misalnya dalam sebuah kontrak ekspor-impor antara pengusaha Indonesia dengan pengusaha Amerika Serikat di Indonesia, para pihak memilih yurisdiksi District of Court di New York. Jika terjadi sengketa antara pihak-pihak, kemudian pengusaha Indonesia itu mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka seharusnya Hakim menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut.

Para pihak di dalam substansi kontrak ternyata memilih forum arbitrase di luar negeri atau di Indonesia misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau Badan Arbitrase Syari’ah Nasional, maka perkaranya tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. Hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang dan menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan tersebut.

Pilihan yurisdiksi dalam praktik, walaupun sudah merujuk kepada sebuah lembaga arbitrase dan dilaksanakan di luar negeri seperti di Singapura atau di Paris, sering kali patner atau mitra dari Indonesia berusaha untuk tidak patuh terhadap isi kontrak yang bersangkutan. Mitra atau pengusaha Indonesia sering kali membawa perselisihan yang mereka hadapkan ke pengadilan negeri di Indonesia, kendati telah ada pilihan forum. Biasanya pihak pengusaha asing mengajukan eksepsi, yang isinya


(31)

menyatakan bahwa pengadilan negeri yang memiliki kompetensi untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan karena telah ada pilihan forum yang merujuk kepada arbitrase tertentu dan dilaksanakan di luar negeri. Atas pengadilan tersebut, putusan pengadilan negeri menunjukkan keragaman. Ada yang menerima eksepsi tersebut, tetapi juga ada yang menolaknya. Dengan ditolaknya eksepsi tersebut, maka Hakim melanjutkan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Praktik di Mahkamah Agung menunjukkan hal yang berbeda. Mahkamah Agung konsisten menghormati pilihan yurisdiksi yang telah ditentukan para pihak.

Pilihan yurisdiksi arbitrase seperti tersebut di atas telah diakui dan diatur dalam Konvensi New York tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri. Hasil konvensi tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34 Tahun 1981.

Badan-badan peradilan di Indonesia juga negara lainnya yang terikat pada konvensi tersebut harus pula menyatakan dirinya tidak berwenang atau menolak untuk mengadili suatu sengketa dimana para pihak telah menentukan pilihan terhadap arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi mereka.90

90

Sudargo Gautama (V), Op. cit, hal. 23.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terkait di dalam perjanjian arbitrase.


(32)

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

A. Pilihan Hukum Yang Mengatur Kontrak Dagang Internasional Mutlak Harus Ditegaskan

Sebagai suatu hubungan hukum, selain harus digambarkan bahasa atau diredaksikan dengan kalimat yang jelas dan mudah dimengerti, intepretasi keadilan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan kontrak tersebut akan sangat ditentukan oleh hukum yang berlaku. Dalam hal kontrak dagang tersebut merupakan kontrak internasional, sangat penting pula kiranyauntuk menentukan hukum mana yang menjadi dasar untuk memeriksa atau mengadili kontrak tersebut. Dengan kalimat lain, harus ada pilihan hukum (choice of law) yang tegas sebagai hukum yang mengatur kontrak dengan internasional tersebut. Karena bila kontrak dagang internasional tersebut dibangun tanpa dengan tegas menyatakan hukum mana yang dipilih sebagai hukum yang mengatur (governing law) dari kontrak tersebut, maka akan terjadi permasalahan dalam penentuan hukum mana yang menjadi dasar untuk mengadili permasalahan dalam kontrak tersebut nantinya.

Misalnya, jika suatu kontrak jual beli yang disepakati oleh pihak Indonesia sebagai penjual dengan pihak Jerman sebagai pembeli, tidak dengan jelas menyepakati hukum mana yang berlaku sebagai hukum yang mengatur kontrak tersebut, maka akan terjadi permasalahan karena ada dua hukum negara yang secara bersama-sama hadir yang menjadi dasar ketundukan dari masing-masing pihak berkontrak tersebut. Walaupun dalam prinsip-prinsip hukum perdata internasional dimungkinkan untuk terlebih dulu melakukan penentuan untuk memilih hukum mana


(33)

yang paling dominan mempengaruhi kontrak tersebut untuk dapat ditentukan sebagai hukum yang menjadi dasar mengadili, akan tetapi hal tersebut akan membutuhkan suatu proses yang tidak selalu mudah untuk diputuskan oleh hakim secara benar.

Ketentuan-ketentuan ataupun prinsip-prinsip hukum yang menjadi dasar pemenuhan keabsahan dari suatu kontrak juga akan sangat ditentukan berdasarkan hukum yang dipilih tersebut. Misalnya bagaimana suatu penawaran dan penerimaan dapat menjadi suatu kesepakatan, dan kemungkinan-kemungkinan apa yang membuat kesepakatan yang telah dicapai tersebut dapat dibatalkan, ataupun dapat dirubah, tanpa menimbulkan konsekuensi pelanggaran kontrak. Hukum yang dipilih (governing law) tersebut pula yang menentukan dasar dari kecakapan masing-masing pihak yang berkontrak. Misalnya, dalam hal pihak-pihak yang berkontrak adalah orang pribadi, maka governing law tersebut yang akan menjadi dasar penentuan dari umur berapa yang dapat dikategorikan telah cakap untuk berkontrak, 21 tahun atau 18 tahun91

Demikian pula halnya, untuk menentukan apakah segala perikatan-perikatan yang disepakati dalam kontrak tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum, ? dan bila pihak-pihak yang berkontrak tersebut ternyata merupakan perusahaan, maka akan perlu ditegaskan tentang sifat dari badan usaha tersebut, apakah dalam bentuk partnership atau badan hukum serta bagaimana ketentuan hukum setempat mengatur keabsahan pendirian dan keabsahan berkontrak dari perusahaan tersebut, serta bagaimana domisili suatu perusahaan yang mempunyai aktivitas multinasional ditentukan, termasuk juga status dan kedudukan seluruh harta yang dimilikinya.

91

Ricardo Simanjuntak (I)., Loc. cit, hal. 18. dijelaskan bahwa dewasa di Indonesia dalam KUH Perdata, Pasal 330, dinyatakan, “jika orang tersebut telah berumur 21 tahun atau berada di bawah 21 tahun akan tetapi telah menikah. Tetapi di banyak negara seperti Jerman, Inggris dewasa adalah 18 tahun, sementara di Switzerland 20 tahun, di Austria 19 tahun.


(34)

kesusilaan, dan ketertiban umum yang berlaku, akan sangat ditentukan oleh hukum negara yang dipilih sebagai governing law tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa ketentuan hukum nasional suatu negara termasuk juga hukum yang tumbuh sebagai hasil dari pengakuan ataupun ratifikasi dari ketentuan-ketentuan ataupun hukum-hukum internasional yang telah disepakatinya melalui traktat ataupun kovensi sebagai salah satu sumber hukum internasional yang mengikat negara-negara yang menyetujuinya, seperti misalnya; komitmen internasional terhadap penghargaan HAKI, pemeliharaan lingkungan hidup melalui pembatasan-pembatasan produk kehutanan, kesepakatan anti dumping, kompetisi sehat serta komitmen pembebasan sekat-sekat perdagangan, dan lain-lain, sehingga juga menjadi suatu ketentuan yang harus dipatuhi dalam aktivitas kontrak dagang internasional yang melibatkan hukum nasional dari negara tersebut ataupun yang dilaksanakan di negara tersebut.

Secara teknis, dalam upaya untuk mengatisipasi suatu keadaan dimana ketentuan-ketentuan ataupun poin-poin perikatan yang telah disepakati oleh pihak yang berkontrak tersebut ternyata bertentang dengan ketentuan hukum yang berlaku, pada umumnya dalam kontrak dagang internasional tersebut dibangun suatu klausula yang dikenal dengan “klausula keterpisahan”. Klausula tersebut pada prinsipnya menegaskan bahwa jikapun ada kesepakatan-kesepakatan (poin-poin perikatan) dalam kontrak yang telah disepakati tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka disepakati bahwa hanya poin-poin kesepakatan (perikatan) tersebut saja yang batal, sementara ketentuan lainnya dalam kontrak tersebut akan tetap berlaku. Walaupun pelaksanaan ketentuan ini akan pula didasarkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip ataupun ketentuan yang berlaku di


(35)

negara yang menjadi pilihan hukum kontrak, akan tetapi kehadiran klausula ”Keterpisahan” ini menunjukkan adanya kesadaran dari awal bahwa kebebasan berkontrak yang dimiliki oleh masing-masing pelaku usaha sebenarnya dibatasi oleh keberlakukan dari kentuan hukum negara yang mengaturnya.

Pemahaman terhadap prinsip-prinsip tersebut di atas, akan membuat masing-masing pelaku usaha berupaya sejak awal perancangan kontrak untuk menyesuaian segala bentuk keinginan yang akan diikatnya dalam kontrak dagang internasional tersebut terhadap kepastian keberlakukan dan pelaksanaannya, berdasarkan ketentuan hukum dari negara yang dipilih, atau berdasarkan dimana aktivitas yang menjadi wilayah pelaksanaan aktivitas perdagangan tersebut dilaksanakan, dengan tetap memberlakukan “klausula keterpisahan” untuk mengantisipasi kemungkinan masih terjadinya pertentangan hukum dari bagian perikatan yang telah disepakati tersebut.

B. Kontrak Dagang Internasional Harus Secara Tegas Menentukan Pilihan Yurisdiksi Berperkara baik Melalui Pengadilan Atau Arbitrase

Dalam hal terjadinya konflik terhadap pelaksanaan suatu kontrak, sangat penting pula ditegaskan pengadilan ataupun forum penyelesaian mana yang akan mengadili jika terjadi konflik (dispute) dalam pelaksanaan dari kontrak tersebut. Pada umumnya pengadilan negara yang hukumnya telah dipilih sebagai governing law dari kontrak akan dipilih sebagai pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan setiap pekara yang timbul dari kontrak dagang internasional, walaupun para pihak dapat menyepakati pengadilan perkara yang timbul dari kontrak tersebut dapat dilakukan di negara lain.


(36)

Untuk pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi harus memerlukan perhitungan yang tepat, karena akan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dan pengadilan tersebut secara baik membela hak-hak dari pihak berkontrak. Misalnya dalam berkontrak dagang internasional tersebut hanya bernilai kecil, misalnya perjanjian antara pelaku usaha Indonesia dengan Swedia yang menyepakati kontrak jual beli senilai 1 miliar Rupiah, dimana pilihan hukum kontrak tersebut disepakati hukum Swedia dan pengadilan yang akan mengadili permasalahan yang timbul dari kontrak tersebut adalah pengadilan Swedia. Tentunya telah dapat dibayangkan bagaimana kesulitan yang dihadapi, bila kemudian pelaku usaha Swedia tersebut wan prestasi, yang membuat pelaku usaha Indonesia harus mengajukan gugatan perdata di pengadilan Swedia. Besar kemungkinan, walaupun dasar hukumnya kuat, akan sangat sulit untuk dilaksanakan mengingat biaya untuk mengajukan gugatan yang akan dikeluarkan akan tidak sangat seimbang dengan jumlah yang akan diklaim, belum lagi waktu yang akan digunakan.92

Pilihan yurisdiksi berperkara, juga secara strategis harus diperhitungkan terhadap wilayah hukum dari dimana proyek yang disepakati dalam kontrak tersebut dilaksanakan dan yang juga sangat penting dimana aset-aset mitra berkontrak tersebut berada. Dalam hal misalnya, pilihan hukum dan pilihan jurisdiksi dari suatu kontrak dagang internasonal berbeda dengan domisili hukum keberadaan dari aset yang akan dieksekusi sehubungan dengan putusan tersebut, maka putusan tersebut akan bersifat kebijakan luar negeri terhadap negara dimana aset tersebut berada, sehingga tidak dapat dengan begitu saja dieksekusi, kecuali bila diantara negara tempat pengadilan memutuskan tersebut telah terjalin kesepakatan internasional

92


(37)

untuk saling melaksanakan putusan masing-masing pengadilannya di masing-masing wilayah negaranya.

Hal yang sama juga terjadi dalam memilih forum penyelesaian perkara dari kontrak tersebut melalui Arbitrase (dalam bentuk lembaga ataupun ad hoc). Walaupun pilihan penyelesaian perkara yang merupakan alternatif diluar pengadilan ini telah menjadi pilihan yang lebih disukai oleh pelaku-pelaku usaha internasional, akan tetapi harus pula secara hati-hati diperhitungkan tentang tempat dimana Arbitrase tersebut akan dilakukan, dan bagaimana cara arbitrase tersebut akan dilakukan. Misalnya menggunakan arbiter tunggal atau panel.93

Di Indonesia, lembaga arbitrase Indonesia, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada dasarnya telah tumbuh menjadi tempat penyelesaian perkara yang diperhitungkan tidak saja oleh pelaku-pelaku usaha nasional akan tetapi juga oleh pelaku-pelaku usaha internasional, sehingga sangat pula layak untuk dinegosiasikan sebagai forum penyelesaian sengketa kontrak dagang internasional dalam setiap kontrak dagang internasional yang melibatkan pelaku usaha Indonesia. Akan tetapi dalam hal BANI tidak disetujui oleh mitra berkontrak asing sebagai forum penyelesaian sengketa dagang tersebut, daripada harus memilih lembaga Arbitrase yang berdomisili sangat jauh dari Indonesia, seperti misalnya di Prancis ataupun di Amerika, lembaga Arbitrase Singapur, SIAC perlu dipertimbangkan sebagai laternatif, karena sangat lebih memungkinkan bagi pelaku usaha Indonesia, dari sisi wilayah dan biaya.

93


(38)

C. Kontrak Dagang Internasional Tanpa Governing Law (Contract Sans Loi)

Pada umumnya dalam setiap kontrak dagang internasionalselalu dicantumkan pilihan hukum, baik itu hukum dari suatu negara tertentu maupun hukum yang merupakan general principles of lawi atau lex mercatoria, sebagai aturan hukum materil yang akan mengatur hubungan hukum yang ada dengan segala konsekuensinya yang lahir dari suatu kontrak dagang internasional. Namun demikian perkembangan hukum dewasa ini menunjukkan sudah adanya pembentukan kontrak dagang internasional yang tidak merujuk pada berlakunya suatu aturan hukum tertentu, kecuali yang sudah diatur dalam kontrak dagang internasional itu sendiri. Kontrak dagang internasional yang demikian seringkali disebut dengan nama perjanjian tanpa hukum yang berlaku (contrat sans loi).94

Secara konseptual, para pihak diberi kewenangan untuk membentuk kontrak dagang internasional dan mangatur isi kontrak dagang internasional sebagaimana yang mereka suka, namun yang demikian tidak dapat dilupakan bahwa adnya kewenangan yang demikian (kebebasan berkontrak) baru ada manakala sistem hukum yang ada yang berlaku pada suatu negara tertentu memungkinkan para pihak untuk melakukan hal tersebut. Dalam hal sistem hukum yang berlaku bagi para pihak dalam kontrak dagang internasional tersebut memberikan batasan dalam bentuk

Keberadaan dari kontrak dagang internasional tanpa hukum yang berlaku (contrat sans loi) ini bukan tanpa masalah dan telah menerbitkan berbagai macam kontroversi. Salah satunya adalah pengakuan akan keberadaan dari kontrak dagang internasional tanpa hukum yang berlaku (contrat sans loi) tersebut.

94

Klaus Peter Berger, “Contrat with no Governing Law in Private International Law and Non State Law”, diterjemahkan oleh Gunawan Widjaja, (Germany: Country Report), hal. 2.


(39)

ketentuan memaksa yang merupakan public order yang tidak boleh disimpangi, maka tentunya ketentuan-ketentuan yang bertentang tersebut (yang diatur dalam kontrak dagang internasional jual beli internasional tersebut) tidak dapat dipaksakan keberlakuannya oleh para pihak. Dalam hal ini, praktik pengadilan95

95

Gunawan Widjaja, Loc. cit, hal. 34.

dan arbitrase yang berlaku di dunia ini menunjukkan bahwa untuk mengisi kekosongan yang ada, serta untuk menentukan saat terbentuknya kontrak dagang internasional dan keabsahan dari kontrak dagang internasional yang dibentuk tetap merujuk pada ketentuan hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kontrak dagang internasional yang tidak menentukan hukum yang berlaku tersebut (contrat sans loi) tetap diberlakukan sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum jual beli tersebut, hanya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum domestik dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional ditunjuk dan selanjutnya dipergunkan sebagai hukum yang berlaku. Jadi dalam hal ini sebenarnya, berbeda dari lex mercatoria sebagai governing law dengan pelengkap hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku; sedangkan bagi kontrak dagang internasional yang mengakui dirinya sebagai contrat sans loi, the governing law adalah hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku dengan pelengkapnya adalah aturan yang dibuat dalam kontrak dagang internasional jual beli internasional tersebut, selama dan sepanjang tidak bertentangan dengan the governing law tersebut. Dikatakan demikian oleh karena dalam hal yang pertama jika terjadi


(40)

pertentangan antara lex mercatoria yang dipilih dengan hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku, yang dipergunakan adalah lex mercatoria. Sedangkan dalam hal kedua, jika terjadi pertentangan antara ketentuan hukum yang diatur dalam perjanjian yang mengakui dirinya sebagai contrat sans loi dengan hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku, yang dipergunakan adalah hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku.

D. Penyelesaian Sengketa Kontrak Dagang Internasional yang Dikenal di Indonesia

1. Masalah Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Dagang Internasional Indonesia

a. Kepastian hukum sebagai pertimbangan utama Investor

Apapun alasannya, pelaku bisnis selalu mencari kepastian hukum, sebab pengusaha atau Investor sangat membutuhkan ketenangannya berusaha, berharap mendapatkan insentif yang memadai dari pemerintah dimana para pelaku bisnis itu berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang dengan lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik. Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang. Selain faktor ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum.96

96

Sentosa Sembiring., Hukum Investasi, (Bandung: Nuansa Alia, 2007), hal. 52.

Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan


(41)

perundang-undangan sebagai dasar hukum setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.97

Kepastian hukum dalam transaksi kontrak dagang di Indonesia masih sangat rendah dan sangat mempengaruhi minat para investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dengan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, Badan Usaha Milik Negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap

Bila suatu negara ingin menjadi tujuan berinvestasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian hukum. Berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi, baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing menempatkan asas kepastian hukum dalam posisi teratas dari sepuluh asas penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia sebagai negara hukum ang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.

Namun masalah kepastian hukum dalam penyelenggaraan investasi, tidak seluruhnya ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum dalam undang-undang tersebut. Kepastian hukum dalam pengertian substansi harus pula didukung oleh substansi hukum pada bidang hukum bisnis lainnya dan ditentukan pula aspek dan ditentukan pula aspek kepastian dalam strukrut penegakan hukum.

97

Mahmul Siregar., ”Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional”, Volume 27 Nomor 24 Tahun 2008, hal. 60, dan bandingkan dengan Pasal 3 Undan-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.


(42)

ditengarahi adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyaknya investor jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan, kontrak dibatalkan oleh pengadilan.98

Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak seolah-olah tidak berlaku di Indonesia.99

Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Pridential, PT. Danareksa Jakarta, PT. Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper, serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi komersial yang dibuat berdasarkan perjanjian Internasional. Kondisi ini menimbulkan dampak besar terhadap tingkat resiko Indonesia di pasar modal Internasional dan atas arus modal langsung.

Investor asing mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka kepastian persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia.

100

Kontrak dagang Internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang telah disepakati dan mengikat. Dengan adanya kontrak yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan para pihak terhadap ekspektasi yang akan didapatkannya dari pelaksanaan kontrak tersebut, dan untuk harapan tersebut, para pihak bersedia

98

Richardo Simanjuntak (II)., Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional, Makalah dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22 No. 4 tahun 2003, hal. 61.

99

Muhammad Ikhsan., ”Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru”, (Kompas, 31 Mei 2004).

100

Hikmahanto Juwana., ”Kepastian Hukum”, Seputar Indonesia 30 Juli 2007, diakses dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepastian-hukum-2html, diakses terakhir tanggal 25 September 2008.


(43)

menggunakan sumber daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan tersebut. Untuk memastikan harapan para pihak tersebutlah kontrak yang diikat tidak saja sebagai sumber kewajiban moral tetapi juga sumber kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.101 Sebagai konsekuensinya, maka hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut.102

b. Kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing

Penyelesaian sengketa kontrak dagang umumnya dilakukan secara konvensional melalui litigasi, akan tetapi implikasi kegiatan bisnis yang sangat pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan, dimana pengadilan sering dianggap tidak profesional dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen.103

Sehingga para investor dalam menyelesaikan sengketa kontrak dagang dengan memilih jalan lain yakni melalui penyelesaian sengketa arbitrase. Banyak faktor yang mendorong para pelaku bisnis Internasional memilih arbitrase, di antaranya adalah karena putusan arbitrase bersifat final and binding (final dan mengikat) dan karenanya cenderung siap untuk dilaksanakan, dan sifat arbitrase yang menjamin netralitas Dewan Arbitrase yang dipilih para pihak, artinya tidak mempunyai karakter nasional.104

101

Todung Mulya Lubis., ”Infrastruktur dan Kepastian Hukum”, (Kompas: Selasa, 14 Juni 2005).

102

Fred B.G. Tambunan., ”Kekuatan Mengikat Perjanjiandan Batas-Batasnya”, Makalah, (Jakarta: Juli 1998), hal. 1.

103

United Kingdom Report, Departement of Trade and Industry, (London: 1996,) hal. 3.

104

Erman Suparman., Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hal. 3.


(44)

Alasan tersebut di atas, selalu menjadi pertimbangan pihak asing melakukan kontrak dagang di Indonesia. Pertimbangan pertama lebih mengarah kepada aspek kepastian hukum, dan pertimbangan kedua lebih ditujukan untuk menghindari kemungkinan terjadi nasionalisme sempit pada hakim pengadilan nasional.

Pasal 60 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS, karakteristik final and binding pada putusan arbitrase diakui secara imperatif karena tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali teradap putusan arbitrase. Namun pada kenyataannya, erdapat sengketa transaksi bisnis Internasional yang telah diputus oleh arbitrase, khususnya badan arbitrase nasional justru menimbulkan kontroversi dan pelaksanaan putusannya masih berlarut-larut yang berujung pada pencitraan lemahnya kepastian hukum di Indonesia.

c. Kepastian hukum dalam kepailitan

Salah satu bidang hukum yang terkait dengan kontrak dagang Internasional adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan juga mejadi salah satu faktor pertimbangan bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pada umumnya secara tradisional hukum kepailitan lebih banyak diperbincangkan dalam konteks hukum nasional. Namun dengan adanya kontrak dagang Internasional, kepastian hukum dalam hukum kepailitan menjadi sorotan masyarakat bisnis Internasional dan dapat mempengaruhi iklim investasi suatu negara.105

2. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Sebagai Alternatif

Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila

105


(45)

semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau ADR yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum peradilan yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia.

Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” atau “menang-“kalah-kalah”.106

Memang, tidak terlalu tepat untuk mengatakan yang sebaliknya, bahwa dalam suatu negara kekuasaan belaka atau machtstaat, yang cenderung dilakukan adalah proses penegakan hukum formal melalui litigasi. Dalam kenyataannya, di negara-negara seperti itu, kalaupun dilakukan suatu proses penegakan hukum terhadap suatu perbuatan melanggar hukum, yang sering terjadi adalah suatu formalitas hukum atau bahkan pengenyampingan hukum sama sekali. Adalah kooptasi besar-besaran pada elemen-elemen negara bidang hukum itulah (contoh adalah terhadap peradilan),

106

Teguh Soedarsono., Kadiv Binkum Polri, dalam presentasi Makalah mengenai ”Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, Jakarta, Mabes Polri, Desember 2006.


(46)

sehingga mampu menghasilkan putusan yang tidak hanya bias dan diskriminatif tetapi justru malah tidak adil107

Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata bentukan “resolusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka.

.

108

Salah satu persoalan penting yang menjadi pertanyaan adalah, bagimana hubungan antara ADR dan Restorative Justice (RJ). Tetapi RJ merupakan salah satu model ADR dimana lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu/anggota masyarakat dari pada kejahatan terhadap negara. Dalam RJ, pihak-pihak yang terlibat lebih diutamakan untuk menyelesaikan masalahnya bukan semata-mata melalui penyelesaian hukum, tetapi memberikan kesempatan kepada

Sedangkan kelemahan dari penggunaan sistem ini adalah, dapatnya menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelanggar aturan.

107

Adrianus Meliala, ”Adakah Model-Model Resolusi Konflik”, artikel, Koran Tempo, tanggal 10 April 2001.

108

Mas Achmad Santosa, & Wiwiek Awiati., ”Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi)”, Naskah Presentasi, ICEL, (Jakarta: tanpa penerbit dan tanpa tahun), hal. 5.


(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN

SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

SETIAWAN KARNOLIS LA’IA NIM: 050200047

DEPARTEMEN HUKUM DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN

SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG

INTERNASIONAL

SKRIPSI OLEH

SETIAWAN KARNOLIS LA’IA NIM: 050200047

DISETUJUI OLEH

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS NIP: 196204211988031004

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS Zulkifli Sembiring, SH NIP: 196204211988031004 NIP: 196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Faktor yang melatarbelakangi dalam melakukan penelitian dengan judul ”Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Dagang Internasional” ini adalah karena pada umumnya setelah pembuatan kontrak mengakibatkan persoalan hukum yang muncul ke permukaan, terkait dengan kegiatan perdagangan. Persoalan hukum tersebut sudah ada dan lahir mulai sejak para pihak melakukan negosiasi hingga terjadinya kesepakatan dagang, yang berlanjut pada pelaksanaan penyerahan benda yang diperdagangkan, peralihan risiko atas benda dan hak milik atas benda yang diperdagangkan, metode dan tata cara pembayaran yang paling aman bagi penjual, masalah cidera janji dan ganti rugi sebagai akibat tidak dilaksanakannya kesepakatan yang sudah dicapai. Permasalahan pokok yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah, Pertama, bagaimana hukum yang mengatur kontrak dagang Internasional? Kedua, bagaimana penyelesaian sengketa dalam hukum kontrak dagang Internasional? dan Ketiga, bagaimana pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan atau arbitrase asing di Indonesia?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dimana yang dijadikan sebagai bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, KUH Perdata, KUHD, HIR, Rbg, berbagai konvensi jual beli Internasional, PERMA Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Ekseksi Putusan Arbitrase Asing.

Adapun kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kontrak dagang Internasional mengandung elemen asing oleh sebab itu harus mengacu kepada berbagai peraturan Internasional. Dalam hal penyelesaian sengketa kontrak dagang bagi negara Indonesia yang bersifat internasional, harus memperhatikan pilihan hukum dalam kontrak, pilihan yurisdiksi melalui pengadilan atau arbitrase, contrat sans loi diberlakukan apabila sepanjang tidak bertentangan dengan hukum domestik di Indonesia. Sedangkan terhadap putusan pengadilan atau arbitrase asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan bagi setiap pelaku bisnis hendaknya dalam upaya penyelesaian sengketa kontrak dagang Internasional, dapat memilih arbitrase sebagai pilihan yang tepat. Hal ini dilakukan karena lebih cepat, murah biayanya, dan tidak terlalu formal seperti prosedur dalam persidangan di pengadilan.


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI... i

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penelitian ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penelitian... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : HUKUM YANG MENGATUR KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL ... 17

A. Pengaturan Hukum Mengenai Kontrak Dagang Internasional Dalam Berbagai Konvensi ... 17

1. Convention on The Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi atas Hukum yang Berlaku Dalam Penjualan Barang Internasional) ... 17

2. Convention on The Law Governing Transfer of Title in International Sales of Goods (Konvensi atas Hukum yang Mengatur Pengalihan Hak Dalam Penjualan Barang Internasional) ... 20

3. Convention on The Jurisdiction of The Selected Forum in The Case of International Sales Of Goods (Konvensi atas Jurisdiksi Pilihan Forum Dalam Kasus Penjualan Barang Internasional) ... 21

4. Convention Relating to a Uniform Law on The International Sales of Goods dan Convention Relating to a Uniform Law on The Formation of Contracts for The International Sales of Goods (Konvensi yang Berkaitan Dengan Hukum Uniform atas Penjualan Barang Internasional dan Konvensi yang Berkaitan Dengan Hukum Uniform atas Pembentukan Kontrak Bagi Penjualan Barang Internasional) ... 22

5. Vienna Convention on Contracts for The International Sales of Goods/CISG (Konvensi Vienna Tentang Kontrak Penjualan Barang Internasional) ... 24


(5)

C. Peraturan Hukum Kontrak Dagang Indonesia yang Berhubungan

Dengan Kontrak Dagang Internasional ... 37

1. Peraturan Hukum Peninggalan Kolonial ... 37

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ... 41

3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa (APS) ... 44

4. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi New York 1958) ... 47

5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing ... 49

6. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ... 51

D. Peraturan Hukum yang Otonom di Indonesia... 53

BAB III : PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA ... 57

A. Pengakuan Berdasarkan Prinsip Teritorial ... 57

B. Pengakuan Terhadap Putusan Arbitrase Asing ... 60

C. Pelaksanaan Putusan Pengadilan atau Arbitrase Asing ... 69

D. Penolakan Terhadap Putusan Pengadilan Arbitrase Asing... 76

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL ... 84

A. Pilihan Hukum Yang Mengatur Kontrak Dagang Internasional Mutlak Harus Ditegaskan ... 84

B. Kontrak Dagang Internasional Harus Secara Tegas Menentukan Pilihan Yurisdiksi Berperkara baik Melalui Pengadilan Atau Arbitrase ... 87

C. Kontrak Dagang Internasional Tanpa Governing Law (Contract Sans Loi) ... 90

D. Penyelesaian Sengketa Kontrak Dagang Internasional yang Dikenal di Indonesia ... 92

i. Masalah Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Dagang Internasional Indonesia ... 92

ii. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Sebagai Alternatif .. 96

iii. Arbitrase Sebagai Pilihan Hukum yang Paling Populer bagi Pelaku Bisnis ... 105

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 115


(6)

B. Saran ... 117 DAFTAR PUSTAKA ... 119