Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruh Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Pajak Daerah dengan PDRB sebagai Variabel Moderating Pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori
2.1.1. Konsep Dasar Perpajakan

Jika kita melihat perkembangan penerimaan pajak dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka dapat terlihat bahwa pajak
mendominasi sumber penerimaan negara. Hal ini tentu sangat membanggakan,
dimana bangsa kita sudah semakin mandiri dalam membiayai anggaran rumah
tangganya.
Menurut Rochmat Soemitro, pengertian Pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontra-pretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2002).
Sedangkan menurut P.J.A. Andriani (dalam Prabowo, 2002) juga
dinyatakan bahwa : Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan)
terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan
tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung atau tidak langsung dapat
ditunjuk, yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan
dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum
dan tata cara perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang,

dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2.1.1.1 Teori Pemungutan Pajak
Terdapat beberapa teori

yang menjelaskan atau memberikan

justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teoriteori tersebut antara lain adalah (Mardiasmo, 2006) :
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya.
Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai
suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan

(misalnya

perlindungan)

masing-masing

orang.

Semakin

besar

kepentingan seseorang terhadap negara, maka makin tinggi pajak yang
harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak
harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk
mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :
a. Unsur objektif, yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.

b. Unsur subjektif, yaitu dengan memperhatikan besarnya kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi.

4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
menungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat
untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan
kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih
diutamakan.
2.1.1.2 Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak terdiri dari (Mardiasmo, 2006) :
1. Asas domisili (asas tempat tinggal). Negara berhak mengenakan pajak
atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di
wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun
luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.

2. Asas sumber. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib
Pajak.
3. Asas kebangsaan. Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan
suatu negara.

2.1.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal ada 3 (tiga) sistem pemungutan
(Mardiasmo 2006), yaitu:
1. Official Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2. Self Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak
dan/atau Pengusaha Kena Pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau
memungut besarnya pajak yang terutang terhadap Wajib Pajak.
2.1.1.4 Pengelompokan Pajak

Menurut lembaga pemungutnya, pajak dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu :
1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, PBB P3, dan Bea Meterai.
2. Pajak Daerah, yaitu Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak
Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
BPHTB, dan PBB P2.

2.1.2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
2.1.2.1. Konsep, Pengertian dan Dasar Hukum BPHTB
Tanah dan bangunan mempunyai nilai manfaat ekonomi yang tinggi
karena merupakan kebutuhan dasar manusia. Selain sebagai tempat tinggal, juga
merupakan aset untuk lahan usaha. Akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang
terus meningkat maka kebutuhan akan tanah dan bangunan juga terus meningkat.
Hal ini menyebabkan tanah dan bangunan tidak hanya memiliki fungsi sosial saja,
namun juga merupakan alat investasi yang menguntungkan.
Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Maka tanah
sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
harus dikelola dengan baik. Ketika hal tersebut memberi manfaat ekonomi bagi
pemiliknya, maka sangatlah wajar jika sebagian dari nilai ekonomi yang
diperolehnya itu diberikan kepada Negara melalui pembayaran pajak. Karena
pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang dapat digunakan
untuk melaksanakan pembangunan bagi kemakmuran rakyat.
Setiap proses pengalihan hak kepemilikan atas tanah dan bangunan
memerlukan kepastian hukum. Maka untuk setiap pengalihan hak kepemilikan
harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Dasar hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan terkait lainnya antara lain:

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 tentang
Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala
Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak ;
2. Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor SE-12/MK.07/2014, Nomor

593/2278/SJ dan Nomor 4/SE/V/2014 tentang Petunjuk Pemungutan
BPHTB dalam Kaitannya dengan Pendaftaran Hak Atas Tanah atau
Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah;
3. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 Tahun 2010 tentang Tahapan
Persiapan Pengalihan BPHTB sebagai Pajak Daerah,
4. Peraturan Daerah yang dibuat oleh masing-masing daerah sebagai dasar
pemungutan BPHTB.
Buku Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah
Terhadap Kondisi Fiskal Daerah (2012) yang disusun oleh Tim Asistensi
Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia
dan didukung oleh Program Australia Indonesia Partnership for Decentralisation
(AIPD) menyatakan bahwa pajak properti dapat dijadikan sumber peningkatan
pendapatan dikarenakan:
a. Pajak properti memiliki nilai pasar relatif lebih stabil dibandingkan
dengan pendapatan dan penjualan.
b.

Tanah


dan

bangunan

yang

terlihat

sehingga

menyembunyikan.
c. Pajak properti sulit untuk dilakukan penggelapan.

sulit

untuk

d.

Pajak properti merupakan pajak yang adil karena penilaian properti

berdasarkan

pemanfaatan lahan yang intensif.

Dari hal tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa BPHTB sangat berpotensi
untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah. Jika dikelola dengan baik
maka penerimaan BPHTB dapat ditingkatkan setiap tahunnya.
2.1.2.2 BPHTB Sebagai Pajak Daerah
Sejak diterbitkannya UU No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, BPHTB tidak lagi menjadi Pajak Pusat namun sudah menjadi
bagian dari Pajak Daerah. Hal ini berarti pemungutan dan pengelolaan BPHTB
menjadi wewenang sepenuhnya masing-masing Kabupaten/Kota.
Tujuan dari UU Nomor 28 Tahun 2009 (Mulyawan, 2010) adalah:
1. Memperbaiki kewenangan pemungutan;
2. Meningkatkan local taxing power;
3. Meningkatkan efektivitas pengawasan;
4. Meningkatkan sistem pengelolaan.
Dari hal tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa UU Nomor 28 Tahun 2009
merupakan bukti nyata dari upaya pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan dialihkannya BPHTB menjadi Pajak Daerah, diharapkan dapat menjadi

sumber

penerimaan

daerah

yang

digunakan

untuk

menyelenggarakan

pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah.
Seiring bertambahnya Pajak Daerah yang dikelola langsung oleh
Pemerintah

Daerah,


maka

kesempatan

bagi

Pemerintah

Daerah

untuk

meningkatkan penerimaan pajak dari sektor BPHTB semakin meningkat.

Pengalihan BPHTB ini diharapkan menjadi salah satu sumber pendapatan yang
potensial bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya bagi pemerintah
kabupaten/kota di Sumatera Utara.

2.1.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah. PDRB juga merupakan
gambaran sejauh mana tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai oleh suatu wilayah
atau daerah. Nilai dari PDRB identik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di
suatu daerah, karena berhubungan erat dengan pendapatan per kapita penduduk.
Hal ini disebabkan karena PDRB mengukur jumlah pembelanjaan untuk barang
dan jasa di seluruh pasar dalam perekonomian dalam suatu wilayah (Mankiw,
2013)
Data PDRB dapat diketahui dengan cara menjumlahkan nilai output bersih
perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah
tertentu (provinsi dan kabupaten/kota), dalam satu kurun waktu tertentu, misalnya
satu tahun. Kegiatan ekonomi yang dimaksud adalah seluruh kegiatan pertanian,
industri pengolahan, pertambangan, perdagangan, hotel dan jasa lainnya.
Sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi, PDRB dapat
dikelompokkan ke dalam kegiatan memproduksi dan kegiatan mengkonsumsi
barang dan jasa. Dari kegiatan memproduksi dan mengkonsumsi barang dan jasa,
maka akan menghasilkan pendapatan. Dengan pendapatan ini masyarakat dapat
membeli barang dan jasa untuk keperluan konsumsi maupun investasi.
Badan Pusat Statistika selaku lembaga pemerintah yang bertugas
melakukan perhitungan PDB di Indonesia memberikan pengertian PDB sebagai

jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi atau
jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara
tertentu.
2.1.3.1 Penghitungan dan Penyajian Data PDRB
Data yang disajikan dalam menghitung PDRB meliputi 9 (sembilan)
sektor ekonomi sesuai dengan Sistem Penghitungan Nasional (System of National
Account) Sektor ekonomi tersebut adalah 1) pertanian; 2) penggalian; 3) industri
pengolahan; 4) listrik, gas dan air minum; 5) bangunan; 6) perdagangan besar dan
eceran, restoran dan hotel; 7) pengangkutan dan komunikasi; 8) keuangan
persewaan bangunan dan; 9) jasa perusahaan serta jasa-jasa. PDRB seringkali
disajikan menurut:
1. Harga berlaku (current year price)
yaitu jumlah seluruh nilai barang dan jasa yang dihitung berdasarkan
harga pada tahun yang bersangkutan, termasuk kenaikan harga-harga.
Metode ini sering digunakan untuk menghitung PDRB dari suatu periode
ke periode lainnya.
2. Harga konstan (base year price).
Yaitu nilai barang dan jasa yang dihitung dengan menetapkan tahun
dasar yang akan digunakan sebagai basis perhitungan. Kemudian harga
yang berlaku pada tahun dasar tersebut, seterusnya akan digunakan
untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun yang
lainnya.
PDRB Provinsi Sumatera Utara menurut lapangan usaha Atas Dasar Harga
Berlaku (ADHB) dengan migas tahun 2012 mencapai 351,118 miliar rupiah lebih

tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. PDRB ADHB dengan migas Provinsi
Sumatera Utara menyumbang sebesar 5,22 persen terhadap PDB nasional (33
provinsi). Perkembangan ekonomi Sumatera Utara (BPS, 2013) dalam tiga tahun
terakhir mengalami percepatan, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2012 mencapai
6,22% lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara untuk
pertumbuhan sektor, seluruh sektor tumbuh positif pada tahun 2011 dan sektor
dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi serta sekaligus pendorong
pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara adalah: Sektor keuangan (13,61%), sektor
pengangkutan (8,96%), dan sektor bangunan (8,54%)
Jika besarnya PDRB suatu daerah setiap periodenya dapat diketahui, maka
sumber daya yang potensial dari daerah tersebut juga dapat diketahui. BPHTB
adalah sumber daya yang potensial bagi penerimaan pajak daerah, merupakan
bagian dari PAD. Maka PDRB dianggap berkorelasi positif terhadap penerimaan
BPHTB daerah tersebut.

2.1.4 Konsumsi
Konsumsi adalah fungsi dari pendapatan yang dapat digunakan untuk
kegiatan membeli barang dan jasa. Konsumsi rumah tangga adalah proses
pembelanjaan barang dan jasa uang dilakukan rumah tangga untuk mencapai
kepuasan dalam memiliki maupun menggunakan barang atau jasa tersebut.
Menurut asumsi Keynes, Konsumsi rumah tangga maupun konsumsi
agregat merupakan fungsi dari pendapatan rumah tangga absolut atau pendapatan
nasional absolut. Besarnya pendapatan agregat akan diiringi dengan besarnya
konsumsi agregat, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi akan meningkat

apabila pendapatan juga meningkat. Hanya saja, peningkatan konsumsi tidak
sebesar peningkatan pendapatan, karena sebagian dari pendapatan yang meningkat
selain untuk konsumsi juga akan ditabung.
Peningkatan konsumsi agregat berbanding lurus dengan peningkatan
pendapatan nasional. Jadi, semakin besar pendapatan maka semakin besar pula
pengeluaran konsumsi maupun tabungan. Perbandingan besarnya tambahan
pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut hasrat marjinal
untuk berkonsumsi (Marginal Propensity to Consume, MPC). Sedangkan nisbah
besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut
hasrat marjinal untuk menabung (Marginal Propensity to Save, MPS).
Menurut Hipotesis pendapatan relatif, ada perbedaan antara MPC jangka
panjang dengan MPC jangka pendek, perbedaan ini disebut dengan ratchet effet.
ratchet effet merupakan peristiwa terjadinya kenaikan pendapatan akan segera
diikuti dengan naiknya konsumsi, namun turunnya pendapatan tidak diikuti
dengan turunnya konsumsi dengan kecepatan yang sama. Peristiwa ini umumnya
dapat terjadi pada saat perekonomian dalam keadaan resesi (Supriana, 2013).
Dalam perekonomian, peran pemerintah dalam pasar adalah sebagai
pembeli barang dan jasa. Konsumsi yang dilakukan pemerintah adalah pembelian
barang yang akan dikonsumsi seperti membayar gaji pegawai, pembelian alat
ATK dan lainnya. Untuk membayar seluruh konsumsi tersebut, maka pemerintah
mendapat masukan ataupun pendapatan misalnya dari pembayaran pajak. Jadi,
jumlah barang dan jasa yang disediakan pemerintah sama besarnya dengan jumlah
pajak yang dibayar masyarakat.

Dalam hukum Wagner mengatakan apabila pendapatan perkapita
meningkat, secara relatif pengeluaran konsumsi pemerintah juga meningkat. Ada
lima hal yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran konsumsi yang dilakukan
pemerintah antara lain peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan,
kenaikan

tingkat

pendapatan

masyarakat,

urbanisasi

yang

mengiringi

pertumbuhan ekonomi, perkembangan ekonomi, perkembangan demokrasi dan
ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan.
Berdasarkan pandangan teori Peacock dan Wiseman bahwa pemerintah
senantiasa memperbesar konsumsi sedangkan masyarakat cenderung tidak suka
membayar pajak yang semakin besar yang akhirnya akan digunakan pemerintah
untuk membiayai pengeluaran konsumsi. Menurut teori ini, pemungutan pajak
yang semakin tinggi walaupun tarif pajak tetap akan menyebabkan pengeluaran
konsumsi yang dilakukan pemerintah juga semakin meningkat (Mankoesoebrata,
2010).

2.1.4.1 Konsumsi dengan Penerimaan Pajak
Dalam perekonomian tertutup, secara tidak langsung permintaan agregat
dipengaruhi

oleh

penerimaan

pajak

melalui

disposable

income

dan

selanjutnya terhadap pengeluaran konsumsi. Apabila penerimaan pajak naik sebesar
ΔT
maka disposable income turun dengan jumlah yang sama dan pengeluaran
konsumsi juga turun sebesar : ΔC = -c ΔT dimana c adalah Marginal
Propensity to Consume (MPC), dan selanjutnya ΔC ini menurunkan AD
melalui proses multiplier sebesar 1/1-c x ΔC.

Dengan demikian kenaikan penerimaan pajak cenderung menurunkan
output dan bersifat deflasioner. Akan

tetapi,

apabila

penerimaan

pajak

digunakan untuk pembelian barang/jasa (ΔG) maka pengaruh pajak ini belum tentu
deflasioner. Apabila kenaikan penerimaan pajak sebesar ΔT seluruhnya digunakan
untuk pembelian barang/jasa (ΔG) maka kenaikan AD sebesar 1/1-c x ΔG. Apabila
penerimaan pajak meningkat sebesar ΔT dan seluruhnya digunakan untuk pembelian
barang/jasa sebesar ΔG maka akan meningkatkan permintaan agregat sebesar ΔAD.
Hal ini terkenal dengan dalil Anggaran Berimbang atau Balanced Budget
Multiplier (Boediono, 2001).
2.1.4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi
Besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain:
1. Faktor ekonomi
• Pendapatan Rumah Tangga, ketika pendapatan meningkat maka
kemampuan rumah tangga untuk membeli kebutuhan konsumsinya akan
semakin besar.
• Kekayaan rumah tangga, kekayaan riil dan financial dapat meningkatkan
konsumsi karena menambah pendapatan disposable.
• Tingkat bunga, dengan tingkat bunga yang tinggi maka biaya ekonomi
dari kegiatan konsumsi akan semakin mahal.
• Perkiraan akan masa depan, faktor-faktor internal seperti mendapatkan
pekerjaan, peningkatan karir, dan faktor-faktor eksternal seperti
kebijakan

ekonomi,

dan

kondisi

mempengaruhi tingkat konsumsi.

perekonomian

juga

dapat

2. Faktor demografi, seperti jumlah penduduk dan komposisi penduduk
dapat mempengaruhi besarnya tingkat konsumsi
3. Faktor non ekonomi, seperti sosial-budaya masyarakat.
Bagi masyarakat yang kehidupan ekonominya menengah
kebawah, apabila memperoleh tambahan pendapatan, maka sebagian
besar

tambahan

pendapatan

tersebut

akan

dialokasikan

untuk

pengeluaran konsumsi dibandingkan untuk menabung. Dimana nilai
MPC relatif lebih besar dibandingkan nilai MPS. Hal ini dipengaruhi
karena setiap orang ingin meningkatkan kualitas hidupnya terutama
dalam kebutuhan primer atau pokok. Bagi masyarakat yang kehidupan
ekonominya menengah keatas, umumnya mengalokasikan sebagian
besar tambahan pendapatannya untuk kebutuhan sekunder maupun
tersier ataupun menabung.

2.1.5 Tingkat Kepadatan Penduduk (Density)
Setiap tahun, angka pertumbuhan penduduk terus meningkat. Hal
ini menyebabkan jumlah penduduk juga meningkat. Konsep penduduk
menurut BPS adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis
Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang
berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap.
Jumlah penduduk yang terus meningkat sangat berpengaruh terhadap
tingkat kepadatan penduduk (density). Menurut BPS, kepadatan penduduk
(density) dibagi menjadi 3 jenis, meliputi:

1. Kepadatan Penduduk Kasar (Crude Population Density),

yang

menggambarkan banyaknya jumlah penduduk untuk setiap kilometer
persegi luas wilayah;
2. Kepadatan Fisiologis (Physiological Density), yang menunjukkan
banyaknya penduduk untuk setiap kilometer persegi wilayah lahan yang
ditanami
3. Kepadatan Agraris (Agriculture Density), yang menunjukkan banyaknya
penduduk petani untuk setiap kilometer persegi wilayah lahan yang
ditanami.
Dari ketiga jenis kepadatan penduduk tersebut, kepadatan penduduk kasar adalah
ukuran yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan karena cara
penghitungan dan data yang digunakan sederhana, yaitu:

2.1.5.1 Kepadatan Penduduk (Density) Terhadap BPHTB
Dalam perekonomian, penduduk dapat berfungsi ganda jika ditinjau dari
sisi permintaan dan sisi penawaran. Dilihat dari sisi permintaan, jumlah penduduk
yang besar merupakan pangsa pasar yang baik dan potensial. Karena pada sisi ini,
penduduk berfungsi sebagai konsumen yang harus memenuhi segala kebutuhan
pokoknya. Namun jika dilihat dari sisi penawaran, penduduk juga merupakan
produsen yang memproduksi barang dan jasa. Sehingga berdasarkan hal tersebut,
secara teori pertumbuhan penduduk yang besar bila diikuti oleh tingkat

produktivitas yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi tinggi
(Putong, 2008).
Sebagai konsumen yang harus memenuhi kebutuhan pokoknya, penduduk
membutuhkan tanah dan bangunan sebagai tempat tinggal. Penduduk yang juga
sebagai produsen juga membutuhkan tanah dan bangunan sebagai modal lahan
usaha untuk memproduksi barang dan jasa. Disamping sebagai tempat tinggal dan
lahan usaha, tanah dan bangunan juga merupakan investasi yang aman dan
menguntungkan. Tentu saja hal ini akan mengakibatkan usaha untuk memenuhi
kebutuhan terhadap tanah dan bangunan akan meningkat.
Jumlah penduduk di wilayah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011
sebanyak 13.103.596 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 183 jiwa per km2.
Penyebaran penduduk di Provinsi Sumatera Utara masih bertumpu di Kota Medan
yakni sebesar 16,2 persen dan Kabupaten Deli Serdang sebesar 13,8 persen
sedangkan kabupaten yang lainnya dibawah 10 persen. Sementara dilihat dari
kepadatan penduduk Kabupaten/Kota yang paling tinggi tingkat kepadatan
penduduknya adalah Kota Medan yakni sebanyak 7.987 jiwa per Km2 dan yang
paling rendah adalah Kabupaten Pakpak Barat dengan tingkat kepadatan
penduduk sebanyak 34 jiwa per Km2 (BPS, 2013).
Jumlah penduduk yang terus bertumbuh akan berpengaruh terhadap
tingkat kepadatan penduduk (density). Semakin besar jumlah penduduk dalam
suatu wilayah maka tingkat kepadatan penduduknya (density) juga meningkat.
Masalah kepadatan penduduk menyebabkan kurangnya lahan kosong untuk
ditempati di suatu daerah. Hal ini dianggap berpengaruh positif terhadap
permintaan tanah dan bangunan. Akibat permintaan terhadap tanah dan bangunan

yang terus meningkat, maka transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan
juga meningkat. Sehingga mendorong naiknya penerimaan BPHTB.

2.1.5.2 Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
IKK merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk menghitung
DAU. Tujuan dilakukannya penghitungan IKK adalah untuk memperoleh
gambaran tentang tingkat kesulitan geografis menyediakan data dasar dalam
rangka kebijakan dana perimbangan dan utamanya digunakan sebagai salah satu
variabel kebutuhan fiskal dalam penghitungan Dana Alokasi Umum untuk
pengalokasian pada tahun berikutnya (sumber:BPS).
DAU merupakan dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemeratan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang
merupakan instrumen transfer yang bertujuan untuk meminimumkan ketimpangan
fiskal antardaerah, sekaligus memeratakan kemampuan antardaerah (equalization
grant). Prinsip alokasi DAU meliputi:
a)Pemerataan keuangan antardaerah
b) Untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah
c)Penerapan formula
d) Mempertimbangkan kebutuhan potensi daerah (sumber: BPS)
Indeks kemahalan konstruksi (IKK) adalah angka indeks yang
menggambarkan perbandingan tingkat kemahalan konstruksi suatu
kabupaten/kota atau provinsi terhadap tingkat kemahalan konstruksi ratarata

nasional.

Dalam

Undang-Undang

Nomor

33

Tahun

2004

menyebutkan bahwa IKK digunakan sebagai proxy untuk menggambarkan
tingkat kesulitan geografis suatu daerah. Dengan demikian semakin sulit
letak geografis suatu daerah maka semakin tinggi pula angka IKK-nya.
Oleh sebab itu, dapat diketahui semakin sulit letak geografis suatu daerah,
semakin sulit distribusi barang dan jasa maka harga barang dan jasa akan
naik yang pada akhirnya menurunkan permintaan yang sekaligus akan
menurunkan pendapatan masyarakat setempat.
Oleh karena dapat diketahui bahwa semakin sulit letak geografis suatu
daerah maka semakin sulit distribusi barang dan jasa di daerah tersebut. Dimana
harga barang dan jasa akan mengalami kenaikan dan permintaan akan menurun
yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan masyarakat di daerah tersebut.
IKK merupakan salah satu pengukur kebutuhan fiskal suatu daerah
yang secara umum mengindikasikan perkiraan besarnya kebutuhan
anggaran yang diperlukan oleh daerah dalam memberikan pelayanan
publik kepada masyarakat. Dalam penghitungan IKK jenis bangunan
dikelompokkan menjadi 3 (tiga), antara lain:
1. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal, yang terdiri dari :
a. Konstruksi gedung tempat tinggal seperti rumah, rumah susun,
ataupun perumahan.
b. Konstruksi gedung bukan tempat tinggal seperti perkantoran, tempat
hiburan, stasiun, dll.
2.

Bangunan pekerjaan umum untuk jalan, jembatan dan pelabuhan yang
terdiri dari
a. Bangunan jalan, jembatan, dan landasan

b. Bangunan jalan dan jembatan kereta.
c. Bangunan dermaga
3. Bangunan lainnya yang terdiri dari :
a. Bangunan sipil, pembangunan lapangan olahraga, lapangan parker,
dan sarana lingkungan pemukiman.
b. Bangunan pekerjaan umum untuk pertanian seperti bangunan
pengairan dan tempat proses hasil pertanian.
c. Bangunan elektrikal seperti pembangkit tenaga listrik.
d. Konstruksi telekomunikasi udara seperti bangunan pemancar.
e. Konstruksi sinyal dan telekomunikasi kereta api.
f. Konstruksi sentral telekomunikasi seperti bangunan sentral telepon.
Penghitungan IKK tahun 2005 hingga 2009 menggunakan kenaikan indeks
harga perdagangan besar (IHPB) bahan bangunan/konstruksi pada februari 2004
sampai dilaksanakan survei serentak pada periode berjalan. Pada tahun 2010
penghitungan IKK menggunakan kota Samarinda sebagai kota acuan. Dan pada
tahun 2011 kembali menggunakan IHPB konstruksi dan kota Samarinda sebagai
kota acuan. Kota Samarinda terpilih karena mempunyai nilai IKK yang mendekati
100 pada tahun 2010(sumber : BPS).

2.2 Review Peneliti Terdahulu
Dari hasil pengamatan literatur yang dilakukan, juga terdapat beberapa
penelitian terkait analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan BPHTB
yang pernah dilakukan, yaitu Agung (2013) melakukan penelitian dengan judul
“Tingkat Keakuratan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Terhadap Nilai Pasar

Properti Sebagai Dasar Optimalisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dari Sektor Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) (Studi:
Tanah Di Kota Denpasar Tahun 2013)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Assessment Ratio pada kecamatan kecamatan di Kota Denpasar di sekitar angka
30-40an persen. Denpasar Selatan 30,63 persen, Denpasar Timur 31,21 persen,
Denpasar Barat 38,57 persen, dan yang terakhir Denpasar Utara 40,80 persen.
Akan tetapi rasio keempat kecamatan di Kota Denpasar masih di bawah standar
yang ditetapkan pemerintah, yaitu 80 persen (underassessment). Tingkat
keseragaman penentuan NPOP dari pergerakan indikasi nilai pasar properti tanah
di Kota Denpasar tergolong rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai COV
dari masing-masing kecamatan Kota Denpasar dari yang terendah adalah
Denpasar Utara (26,079 persen), Denpasar Selatan (40,844 persen), Denpasar
Barat (42,160 persen), dan Denpasar Timur (58,430 persen).
Kuswanto (2014) melakukan penelitian dengan judul “Akurasi Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Terhadap Nilai Pasar (Studi Di
Kecamatan Purwokerto Timur, Banyumas)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Akurasi penetapan NPOP sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB di wilayah
Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas masih relatif rendah
dibandingkan nilai pasar propertinya berdasarkan hasil pengukuran tendensi
sentral yang menunjukkan bahwa nilai mean sebesar 0,334, nilai median sebesar
0,353, dan nilai weighted mean sebesar 0,303 adalah berada di bawah nilai standar
IAAO sebesar 0,90. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam penetapan NPOP

sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB terjadi under assessment terhadap nilai
pasar.
Hak (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Penerimaan PBB Perdesaan dan Perkotaan”, dengan Hasil
pengujian hipotesis menunjukkan terdapat pengaruh positif secara tidak signifikan
jumlah Wajib Pajak terhadap penerimaan PBB P2, terdapat pengaruh positif
secara tidak signifikan inflasi terhadap penerimaan PBB P2, terdapat pengaruh
negatif secara signifikan tingkat suku bunga terhadap penerimaan PBB P2 di kota
Medan. sedangkan secara simultan terdapat pengaruh signifikan jumlah Wajib
Pajak, PDRB perkapita, Inflasi, tingkat suku bunga, dan investasi terhadap
penerimaan PBB P2 di kota Medan.
Budiharjo (2003) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Jumlah
Penduduk, PDRB, dan inflasi terhadap penerimaan PBB pada Kabupaten dan
Kota di Jawa Tengah”, dengan hasil penelitiannya yakni jumlah penduduk secara
signifikan berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB baik di kabupaten
maupun kota PDRB berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB di kota, tetapi
tidak signifikan pengaruhnya di kabupaten inflasi tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap penerimaan PBB baik di kabupaten maupun di kota, dan
dengan uji chow dapat diindikasikan adanya perbedaan struktur dalam penerimaan
PBB di kabupaten dan kota. Semuanya dapat diringkas dalam table 2.1 berikut

Tabel 2.1.
Penelitian Terdahulu
Peneliti / Tahun

Variabel yang
Judul Penelitian

digunakan

Analisis Dampak Pengalihan
Pemungutan BPHTB ke Daerah
terhadap Kondisi Fiskal Daerah

Dependen:
Kondisi Fiskal Daerah
Independen:
BPHTB

Tim
Asistensi
Kementerian
Keuangan (2012)

Dependen:
Nilai pasar Properti
Tingkat Keakuratan Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Terhadap Nilai Pasar Properti
Sebagai Dasar
Optimalisasi Penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dari Sektor Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan
Bangunan (BPHTB)
(Studi: Tanah Di Kota Denpasar
Tahun 2013)
(Tesis)

Independen:
- Assessment Rasio
NPOP
-Tingkat Keseragaman
NPOP

Hasil
penerimaan BPHTB tahun
2011 baru berhasil dipungut
di 406 daerah, masih lebih
rendah dibandingkan dengan
tahun 2010 yang berhasil
dipungut di 461 daerah.
Disamping itu, dari 406
daerah yang telah memungut
BPHTB tersebut sebagian
memperoleh
pemungutan
yang sangat rendah, bahkan
sebanyak 28 daerah hanya
berhasil memungut kurang
dari Rp20 juta.

Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
Assessment Ratio pada
kecamatan kecamatan
di Kota Denpasar di sekitar
angka 30-40an persen.
Denpasar Selatan
30,63 persen, Denpasar
Timur 31,21 persen,
Denpasar Barat 38,57
persen, dan persen
(underassessment). Tingkat
keseragaman penentuan
NPOP dari pergerakan
indikasi nilai pasar properti
tanah di Kota Denpasar
tergolong rendah. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan
nilai COV dari masingmasing kecamatan Kota
yang terakhir Denpasar
Utara 40,80 persen. Akan
tetapi rasio keempat
kecamatan
di Kota Denpasar masih di
bawah standar yang
ditetapkan pemerintah, yaitu
80 Denpasar dari yang
terendah adalah Denpasar
Utara (26,079 persen),
Denpasar
Selatan (40,844 persen),
Denpasar Barat (42,160
persen), dan Denpasar Timur
(58,430 persen).

Dedi Kuswanto
(2014)

Akurasi Nilai Perolehan Objek
Pajak (NPOP)
Sebagai Dasar Pengenaan Pajak
Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan
(BPHTB) Terhadap Nilai Pasar
(Studi Di Kecamatan
Purwokerto Timur, Banyumas)
(Tesis)

Dependen:
Nilai pasar Properti
Independen:
- Rasio NPOP
BPHTB
- Variabilitas
NPOP
-estimasi Kehilangan
Pajak

Dependen:
Penerimaan PBB P2
Amril Hak
( 2012)

Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penerimaan PBB
Perdesaan dan Perkotaan

Independen:
- Wajib pajak
- PDRB Perkapita
- Inflasi
- Suku bunga
Investasi

Akurasi penetapan NPOP
sebagai dasar pengenaan
pajak BPHTB di wilayah
Kecamatan Purwokerto
Timur, Kabupaten
Banyumas masih relatif
rendah
dibandingkan nilai pasar
propertinya berdasarkan
hasil pengukuran tendensi
sentral yang menunjukkan
bahwa nilai mean sebesar
0,334, nilai median
sebesar 0,353, dan nilai
weighted mean sebesar 0,303
adalah berada di bawah
nilai standar IAAO sebesar
0,90. Hal ini
mengindikasikan bahwa
dalam
penetapan NPOP sebagai
dasar pengenaan pajak
BPHTB terjadi under
assessment terhadap nilai
pasar

Hasil pengujian
hipotesis menunjukkan
terdapat pengaruh positif
secara tidak signifikan
jumlah Wajib Pajak
terhadap penerimaan
PBB P2, terdapat
pengaruh positif secara
tidak signifikan inflasi
terhadap penerimaan
PBB P2, terdapat
pengaruh negatif secara
signifikan tingkat suku
bunga terhadap
penerimaan PBB P2 di
kota Medan. sedangkan
secara simultan terdapat
pengaruh signifikan
jumlah Wajib Pajak,
PDRB perkapita, Inflasi,
tingkat suku bunga, dan
investasi terhadap
penerimaan PBB P2 di
kota Medan.

Ari Budiharjo
(2003)

Pengaruh Jumlah Penduduk, Dependen:
PDRB, dan inflasi terhadap Penerimaan PBB
PBB
pada
penerimaan
Kabupaten dan Kota di Jawa Independen:
Tengah
- Jumlah Penduduk
- PDRB
Inflasi

1.Jumlah penduduk secara
signifikan berpengaruh
positif terhadap
penerimaan PBB baik di
kabupaten maupun kota
2. PDRB berpengaruh
positif terhadap
penerimaan PBB di kota
tetapi tidak signifikan
pengaruhnya di kabupaten
-inflasi tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap
penerimaan PBB baik di
kabupaten maupun di kota
3. dengan uji chow dapat
diindikasikan
adanya
perbedaan struktur dalam
penerimaan
PBB
di
kabupaten dan kota.

Dokumen yang terkait

Efektivitas Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah Dengan Jumlah Penduduk Sebagai Variabel Moderating di Kabupaten Aceh Barat Daya

12 189 142

Kajian Aspek Legal Pengenaan PPH Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dan BPHTB Terhadap Transaksi Leasing Tanah Dan Bangunan”

6 67 188

Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Studi Di Kota Pematangsiantar)

0 39 207

Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau

0 29 166

Pemeriksaan Sertipikat Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT Pada Kantor Pertahanan Kota Medan Berkaitan Dengan Pembuatan Akta (Studi Di Kota Medan)

0 27 140

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruh Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Pajak Daerah dengan PDRB sebagai Variabel Moderating Pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara

0 0 15

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruh Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Pajak Daerah dengan PDRB sebagai Variabel Moderating Pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara

0 0 2

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruh Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Pajak Daerah dengan PDRB sebagai Variabel Moderating Pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara

1 2 9

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruh Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Pajak Daerah dengan PDRB sebagai Variabel Moderating Pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara

0 0 2

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruh Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Pajak Daerah dengan PDRB sebagai Variabel Moderating Pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara

0 0 15