Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah
BAB II
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR
WEWENANG KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN
TERHADAP PERKARA TIPIKOR DI PENGADILAN TIPIKOR
A. Evolusi Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Dalam Sejarah
Kata kejaksaan terbentuk dari kata dasar yaitu “jaksa”. Jaksa disebut juga
sebagai penuntut umum. Kata penuntut umum menunjukkan arti tersendiri kepada
jaksa sebagai pejabat umum atau pejabat negara. Penuntut umum kebalikan dari
penuntut swasta. Munculnya kata “umum” dalam kalimat “penuntut umum” berlatar
belakang pada sejarah di mana konteks kata umum atau publik (public) sebagai
public prosecutor sebagai perimbangan dari pada masa dulu karena masih dikenal
adanya penuntut yang bersifat perorangan atau pribadi (private). 70
Istilah untuk menyebut orang atau pejabat negara yang tugasnya melakukan
penuntutan adalah jaksa, tetapi banyak istilah lain di beberapa negara yang
menggunakan istilah yang berbeda antara lain: di Amerika Serikat jaksa disebut
dengan district procecutor, district attorney, prosecuting attorney, dan commonwealt
attorney. Istilah di Belanda, jaksa disebut perwira kehakiman (officier van justitie).
Perancis menyebutnya dengan istilah pengacara republik (procureur de la
republique). Belgia dengan istilah pengacara raja (procureur du roi). Italia
70
RM. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 1. Namun, penuntut swasta saat ini di Indonesia
tidak dikenal lagi, walaupun masih ada negara hingga saat ini masih mengenal penuntut swasta yaitu
negara Thailand (Muangthai), Filipina, Perancis, Belgia, Inggris, dan Skotlandia. Peranan penuntut
swasta di negara-negara tersebut lama kelamaan, kapasitasnya semakin kecil di bidang penuntutan.
Penuntut swasta ini biasanya tetap didampingi oleh jaksa (penuntut umum) juga.
36
37
menyebutnya procuratore. Spanyol menyebutnya procurador, dan di negara-negara
Eropa Timur umumnya disebut procurator bukan prosecutor, 71 serta di Indonesia
disebut dengan istilah jaksa atau penuntut umum. 72
Sebagaimana pengertian jaksa di dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP
menentukan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian jaksa di dalam Pasal 1 angka 1
UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, jaksa adalah pejabat fungsional yang
diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Istilah jaksa di Indonesia sudah sejak lama dikenal, berasal dari bahasa
Sangskerta yaitu dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Sebutan-sebutan ini
ditujukan kepada Mahapati Gajah Mada. Dhyaksa adalah pejabat negara di jaman
Kerajaan Majapahit di saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa. Tugas dhyaksa adalah
menangani masalah-masalah peradilan. Kalau dhyaksa adalah hakim pengadilan
sedangkan adhyaksa adalah hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi
dhyaksa-dhyaksa. Sedangkan dharmadhyaksa adalah hanya sebagai pengemban tugas
urusan agama Syiwa dan Buddha. 73
71
Ibid., hal. 2.
UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
73
Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif
Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 56-57.
72
38
Sebutan adhyaksa dipakai untuk gelar pendeta paling tinggi pada masa dulu di
Kerajaan Hindu di Pulau Jawa, terutama dipakai untuk gelar hakim kerajaan yang
tertinggi. 74 Dari berbagai istilah tersebut sebenarnya istilah jaksa lebih relevan ditarik
dari istilah adhyaksa. 75 Hingga sampai saat ini istilah jaksa tetap digunakan di
Indonesia. Jika pada masa dulu disebut adhyaksa tidak sama tugasnya dengan tugas
jaksa atau penuntut umum yang digunakan saat ini, karena tugas jaksa atau penuntut
umum bukan bertugas sebagai hakim. 76
Jaksa dan penuntut umum sering dipersamakan dalam penggunaan istilah
yang sama, padahal kedua istilah ini berbeda. Jaksa adalah pejabat fungsional
sedangkan penuntut umum adalah jaksa, 77 penuntut umum adalah jaksa78.
Perbedaannya terdapat ketika melaksanakan tugas, aparatur kejaksaan secara umum
disebut jaksa, sedangkan jaksa yang menuntut suatu perkara disebut penuntut umum
atau Jaksa Penuntut Umum (JPU). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim. 79 Sedangkan kejaksaan adalah lembaga atau institusi di mana
tempat bernaungnya para jaksa.
74
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,
(Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 1985), hal. 8-12.
75
Yesmil Anwar dan Adang, Sistim Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hal.
197.
76
Ibid., hal. 200.
77
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
78
Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP.
79
Pasal 1 angka 2 UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
39
Melalui pendekatan sejarah, kejaksaan dikelompokkan dalam dua periodisasi
yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode setelah kemerdekaan.
3. Kejaksaan Sebelum Periode Kemerdekaan
Pada masa kerajaan Hindu di Jawa berkuasa belum ditemui lembaga
penuntutan dalam urusan penegakan hukum adat untuk bertindak sebagai jaksa.
Sejarah kerajaan yang paling berpengaruh pada masa itu adalah Kerajaan Majapahit
yang dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk dengan seorang patih yang disbut
Mahapatih Gajah Mada hanya menunjukkan beberapa jabatan yang dinakaman
dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. 80 Tetapi sebutan ini bukan bertugas untuk
melakukan penuntutan melainkan tugasnya adalah untuk hakim pengadilan. 81
Pada masa awal penjajahan tahun 1602 dengan masuknya VOC 82 ke
Indonesia, Belanda membentuk beberapa peraturan hukum, mengangkat para pejabat
yang akan menjaga kepentingan-kepentingannya dengan membentuk badan-badan
peradilan sendiri (schepenenbank) yang bertugas sebagai penuntut umum disebut
dengan officier van justitie sebagai perwira kehakiman. 83 Tugas officier van justitie di
masa ini bertindak sebagai penuntut keadilan dan Gubernur Belanda sebagai ketuanya
dan Bupati terkemuka sebagai anggotanya, sedangkan dalam perkara kecil, jaksa
yang mengadili bertindak sebagai hakim atas nama Bupati setempat. 84
80
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 1 Oktober 2014.
Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.
81
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 55-58.
82
VOC singkatan dari Verenigde Oost Indische Compagnie.
83
RM. Surachman dan Andi Hamzah, Op. cit., hal. 2.
84
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 59-60.
40
Pada abad XVII Kerajaan Mataram yang berada di bawah perintah
Amangkurat I dan kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak lagi menggunakan kata
Jawa Kuno (kawi) atau Sangskerta dhyaksa tetapi telah digunakan dengan Bahasa
Jawa yaitu “Jeksa”. Para jeksa di masa itu mempunyai tugas dan wewenang sebagai
hakim, juga melaksanakan pekerjaan kepaniteraan dan penuntutan, bahkan
adakalanya jeksa pada masa itu dapat bertindak sebagai pembela. 85
Pada tahun 1808 s/d 1811 di masa Pemerintahan Daendels mempersempit
kekuasaan pengadilan Schepenen yang dibentuk oleh Kompeni. Kekuasaan
schepenenbank (Pengadilan schepenen) semula memiliki yurisdiksi Jakarta dan
Daerah Jawa Barat serta melakukan peradilan menerapkan hukum Belanda, kemudian
diperkecil yurisdiksinya hanya meliputi Kota Jakarta dan sekitarnya. Sehingga
penuntut yang disbut fiscaal dilakukan oleh seorang Jaksa Besar (Groot-Djaksa).
Seorang bawahan Landdrost yang diberi gelas Schouten dibebani tugas melakukan
penyidikan sedangkan Landgericht memeriksa dan memutus perkara-perkara perdata
dan pidana yang tidak termasuk ke dalam kekuasaan Landraad. 86
Setelah kekuasaan Daendels berakhir, kemudian berkuasa Pemerintahan
Raffles (1811-1816) dengan mengubah badan-badan peradilan di Indonesia pada
masa itu. Raffles mengeluarkan instruksi dengan membentuk badan pengadilan untuk
golongan penduduk Bumi Putera di bagi dalam dua badan peradilan yaitu peradilan
untuk kota sekitarnya (untuk Bangsa Eropa) dan peradilan untuk daerah-daerah
85
Ibid., hal. 60-61.
R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, (Jakarta: W. Versluys N.V.
Amsterdam, 1957), hal. 25.
86
41
pedesaan. Pengdilan untuk Bangsa Eropa berada di Batavia, Semarang, dan Surabaya
serta daerah-daerah setiktarnya diberi juga wewenang untuk mengadili penduduk
Bumi Putera yang berdomisili di sekitar itu.87
Untuk kota (Batavia, Semarang, dan Surabaya) masing-masing ditempatkan
satu Court of Justice untuk perkara-perkara perdata dan pidana bagi golongan
penduduk Bumi Putera. Sedangkan Court of Justice yang berada di Batavia berfungsi
sebagai Pengadilan Banding. Selain itu, di Batavia didirikan Supreme Court sebagai
badan peradilan yang memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama dan
terakhir. Susunan Court of Justice terdiri dari seorang hakim ketua, dan dua orang
hakim anggota serta satu orang penuntut umum yang disebut dengan fiscal,
sedangkan Supreme Court terdiri dari seorang hakim ketua, dan tiga orang hakim
anggota, serta seorang advocate fiscal. 88
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, jaksa kemudian
disebut dengan istilah Openbaar Ministerie 89 yang memiliki tugas pokok antara lain:
mempertahankan segala peraturan negara, melakukan penuntutan terhadap semua
tindak pidana, dan melaksanakan putusan pengadilan. Lembaga Openbaar Ministerie
ini menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van
Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen
(Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) di bawah perintah
87
Ibid.
Ibid., hal. 30.
89
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan
antara lain adalah Openbaar Ministerie.
88
42
langsung dari Residen atau Asisten Residen. 90 Pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda ini, kejaksaan lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah
di masa itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai
artikelen 91 yang terdapat di dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). 92
Pada masa Pemerintahan Jepang di Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942
sampai dengan tanggal 16 Agustus 1945 ditetapkan 6 (enam) jenis badan peradilan
umum di Jawa dan Madura dan setiap badan peradilan tersebut ditempatkan kantor
Kejaksaan (Kensatsu Kyoku). Kensatsu Kyoku diberi tugas: mencari (menyidik)
kejahatan dan pelanggran, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan dalam
perkara kriminal, dan mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilaksanakan menurut
hukum. 93
Penyidikan menjadi salah satu tugas umum Kejaksaan sejak dari Kejaksaan
Pengadilan Negeri (Tihoo Kensatsu Kyoku) hingga Kejaksaan Pengadilan Tinggi
90
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 30 September 2014.
Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.
91
http://id.shvoong.com/law-and-politics/contract-law/2077195-hatzaai-artikelen-menghantardemokrasi-jadi/, diakses tanggal 1 Oktober 2014. Ditulis oleh: Ali Imran, dengan judul, “Hatzai
Artikelen, Menghantar Demokrasi Menjadi Impoten”. Hatzaai artikelen, merupakan pasal-pasal yang
mengatur berkenaan dengan penyebaran rasa kebencian terhadap warga sipil dan pemasungan para
aktivis. Dahulu pada masa Kolonial Belanda, pasal ini dijadikan alat politik, untuk mengamankan
kekuasaannya di Indonesia, dan pada masa Orde Baru, pasal tersebut tetap dipertahankan demi
kepentingan kekuasaannya. Sesudah menginjak usia tua Negara Indonesia terbebas dari kaum
penjajah, usia 60 tahun merupakan satu generasi, yang dalam hal ini tentu seharusnya sudah ada
kedewasaan demokrasi yang tertanam dalam ruh masyarakat Bangsa Indonesia. Pada abad XVI dalam
era penjajahan imperialisme dan kolonialisme di Inggris lahir sebuah produk hukum yang otoriter,
yakni undang-undang pidana sebagai konsumsi publik itu menyebar kebelahan bumi melalui penjajah,
dan hal ini dipakai oleh kolonial untuk mematahkan perlawanan pergerakan kebangsaan dikalangan
pemimpin pribumi. Istilah ini di Negara Amerika Serikat yang dijajah oleh Inggris dikenal dengan
sebutan The Law Of Sedition, sedangkan di Indonesia yang dijajah Belanda dikenal dengan sebutan
Hatzaai Artikelen.
92
R. Tresna, Op. cit., hal. 35.
93
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 65.
43
(Kootoo Kensatsu) dan Kejaksaan Pengadilan Agung (Saiko Kensatsu Kyoku). Jepang
pun mengubah bidang penuntutan dengan menghilangkan Magistraat dan Officier
van Justitie. Tugas dan wewenangnya kemudian dibebankan kepada Penuntut Umum
Bumi Putera (Jaksa) di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan
yakni seorang Jaksa Jepang. Dengan bertolak pada masa pendudukan Jepang ini,
Jaksa menjadi satu-satunya penuntut umum. 94
Sejak itu, jaksa benar-benar menjadi Pegawai Penuntut Umum (Tjo Kensatsu
Kyokuco) dan berada di bawah pengawasan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kootoo
Kensatsu Kyokuco). 95 Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut
secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang Pemerintah di zaman
pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942 yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei
Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944. 96
4. Kejaksaan Setelah Periode Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, jaksa menjadi satu-satunya lembaga penuntut
umum tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan
dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum
Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan
94
Ibid., hal. 66. Lihat juga: R. Tresna,…Op. cit., hal. 42.
Rusli Muhammad, Op. cit, hal. 94.
96
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 1 Oktober 2014. Artikel
berjudul, “Sejarah Kejaksaan”, dipublikasikan di website Kejaksaan Republik Indonesia.
95
44
yang ada masih berlaku. Ketentuan ini sama dengan ketentuan yang digariskan dalam
Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944 tetap
mempertahankan lembaga Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan di
Negara Republik Indonesia.
Namun pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS Tahun 1950) dalam
bentuk federal yang terdiri dari pusat (federal) dan daerah-daerah, maka susunan
Kejaksaan pada masa itu masih terdiri dari Kejaksaan Tingkat Pusat dan Kejaksaan
Tingkat Daerah-Daerah Bagian. Kejaksaan pada masa RIS berada di bawah
Departemen Kehakiman. Pada tingkat pusat (federal) hanya ada satu instansi
kejaksaan yaitu Kejaksaan Agung RIS sebagai Kejaksaan tingkat tertinggi di masa
RIS. Masa RIS hanya 7 (tujuh) bulan 20 (dua puluh) hari, RIS belum sempat
mengangkat Jaksa Agung Muda dan tidak terdapat keterangan mengenai hubungan
fungsional antara Jaksa Agung RIS dan para Jaksa Agung Muda. 97
Pada masa demokrasi parlementer (Tahun 1950-1959), Kejaksaan tetap
berada di bawah Departemen Kehakiman. 98 Seharusnya setelah berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada masa parlementer ini, Kejaksaan Agung dari
bekas negara bagian dibubarkan tetapi kenyataannya tidak demikian. Keberadaan
Jaksa Agung dari bekas negara bagian tersebut tetap dipertahankan dan diadakan
untuk menangani kasus-kasus lama yang belum terselesaikan dan tidak diberikan
tugas untuk menangani kasus-kasus baru.
97
98
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 67-68.
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, Op. Cit.
45
Pada masa demokrasi terpimpin (Tahun 1959-1965) sehubungan dengan
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 s/d 11 Maret 1966 terjadi perubahan dalam status
Kejaksaan dari lembaga Non Departemen (di bawah Departemen Kehakiman)
menjadi lembaga yang berdiri sendiri, bernama Departemen Kejaksaan Republik
Indonesia. Dasar hukum perubahan ini adalah Putusan Kabinet Kerja I tanggal 22 Juli
1960 yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1960
tanggal 15 Agustus 1960 yang asasnya berlaku surut mulai tanggal 22 Juli 1960.
Selanjutnya
Pemerintah
mensyahkan
usulan
dari
DPR-GR
dengan
mengeluarkan UU Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia. 99 Pada masa berlakunya UU Nomor 15 Tahun 1961
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia ini, Kejaksaan
adalah alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum100,
penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan oleh Menteri/Jaksa Agung
sedangkan susunan organisasi Departemen Kejaksaan Kejaksaan diatur dengan
Keputusan Presiden. 101
99
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Surat
Nomor 5263/DPR-GR/1961 tanggal 30 Juni 1961 dan Surat Nomor 5261/DPR-GR/1961 tanggal 30
Juni 1961 perihal Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia, yang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan. Akhirnya
Pemerintah mensyahkan usulan tersebut dengan mengeluarkan UU Nomor 15 Tahun 1961 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.
100
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia.
101
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia.
46
Kejaksaaan pada masa orde baru (Tahun 1966-1998) mengalami beberapa kali
perubahan dalam kekuasaannya baik pergantian pimipinan 102, organisasi, dan tata
kerjanya. Organisasi kejaksaan pada masa ini berada di bawah koordinasi Wakil
Perdana Menteri Pertahanan dan Keamanan. Berdasarkan Surat Keputusan Wakil
Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan Nomor Kep/A/16/1966 tanggal
20 mei 1966 dilakukan perubahan dan pembaharuan mengenai pokok-pokok
organisasi Kementerian Kejaksaan, perubahan penting pada masa itu adalah: 103
a. Menteri/Jaksa Agung memimpin langsung Kementerian Kejaksaan dengan
dibantu oleh tiga orang Deputi Menteri/Jaksa Agung, masing-masing dalam
bidang intelijen/operasi, khusus dan pembinaan, dan seorang pengawas umum
(Inspektur Jenderal).
b. Ketiga deputi dan pengawas umum dalam melaksanakan tugasnya dipimpin
dan dikoordinasikan oleh Menteri/Jaksa Agung.
c. Di bawah para deputi terdapat direktorat-direktorat, bagian, biro, dan seksi,
sedangkan di bawah pengawasan umum hanya ada inspektorat-inspektorat.
Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perubahan,
perkembangan dan dinamika secara terus-menerus sesuai dengan kurun waktu dan
perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan
Republik Indonesia telah mengalami 22 (dua puluh dua) periode kepemimpinan Jaksa
102
Perubahan pimpinan pertama kali terjadi pada tanggal 27 Maret 1966 dengan digantinya
Menteri/Jaksa Agung sehari sebelum dibubarkannya Kabindet Dwikora yang disempurnakan dan
diganti dengan Kabinet Dwikora Disempurnakan. Ketika itu organisasi kejaksaan di bawah koordinasi
Wakil Perdana Menteri Pertahanan dan Keamanan yang merangkap Menteri Angkatan Darat, Letjen
Soeharto.
103
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 70.
47
Agung. 104 Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan
pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga
mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Pada masa orde baru ada perkembangan baru menyangkut perubahan dari UU
Nomor 15 Tahun 1961 menjadi UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Perkembangan itu mencakup perubahan mendasar pada susunan
organisasi serta tata cara institusi kejaksaan yang didasarkan pada Keputusan
Presiden Nomor 55 tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia tanggal 20 November 1991.
Susunan organisasi Kejaksaan Republik Indonesia setelah berlakunya
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia tanggal 20 November 1991, adalah: 105
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Jaksa Agung;
Wakil Jaksa Agung;
Jaksa Agung Muda Pembinaan;
Jaksa Agung Muda Intelijen;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara;
Jaksa Agung Muda Pengawasan;
Pusat;
Kejaksaan di Daerah:
1) Kejaksaan Tinggi;
2) Kejaksaan Negeri.
104
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 30 September 2014.
Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.
105
Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
48
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia setelah
berlakunya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 hingga sampai saat ini (masa
orde reformasi tahun 1998-sekarang) masih tetap berlaku. Akan tetapi mengenai
tugas-tugas Kejaksaan terus mengalami perubahan. Selain penuntutan, tugas dan
fungsi yang berkaitan dengan wewenang Jaksa Agung pada masa orde reformasi
diberi lagi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 1999 tentang Peradilan Hak
Asasi Manusia. Undang-undang ini memperluas kewenangan Kejaksaan untuk
melakukan penyidikan, termasuk UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomo 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberikan kewenangan
kepada Kejaksaan melakukan penyidikan.
Kejaksaan juga mengalami pengurangan kewenangan di sisi lain dengan
dibentuknya KPK. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Keppres Nomor 266/M/2003, KPK menyerap
sebahagian kewenangan penyidikan yang selama ini diperankan oleh Kejaksaan
untuk perkara-perkara besar, tanpa mengurangi kewenangan penyidik Kepolisian
Republik Indonesia berdasarkan KUHAP dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian.
Munculnya KPK sebagai penyidik dalam perkara tindak pidana koruspi
menunjukkan bahwa kondisi di mana sulitnya untuk “menyeret” (memproses hukum)
para koruptor yang berlindung di balik kekuatan kroni-korninya. Pengalaman kinerja
Kejaksaan Agung tidak efektif dan mengalami banyak hambatan dalam melakukan
49
penyidikan terhadap perkara Mantan Presiden Soeharta menjadi starting point
pembentukan KPK di samping banyak faktor lain yang menjadi penghalang. 106 Selain
itu, khusus untuk perkara-perkara tipikor, lembaga kejaksaan bukan lagi satu-satunya
lembaga penuntutan perkara tipikor, tetapi UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga
diberi tugas melakukan penuntutan terhadap perkara tipikor. 107
Berbagai dinamika situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Kejaksaan di masa
orde reformasi tidak jauh beda dengan yang dihadapi di masa orde baru. Namun hal
yang menarik adalah digantinya UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia 108 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Susunan organisasi kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan dipersingkat dengan sunanan Kejaksaan yang hanya terdiri dari Kejaksaan
Negeri, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Agung. 109
Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan semakin
mempertegas tugas dan wewenang Kejaksaan, antara lain: tetap melakukan
penyidikan dalam perkara tertentu, penuntutan, eksekutor putusan pengadilan, dapat
bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN), melakukan pengawasan dalam
bidang ketertiban dan ketenteraman umum.
106
Kejaksaan Agung RI, Profil Jaksa Agung Republik Indonesia dari Masa ke Masa,
(Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2003), hal. 33-40. Lihat juga Marwan Effendy,
Kejaksaan,….Op. cit., hal. 73.
107
Pasal 6 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
108
Sebelumnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961.
109
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
50
B. Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Istilah korupsi berasal dari Bahasa Latin yaitu corruptie atau cooruptus. Kata
corruptie berasal dari Bahasa Latin yang paling tua yaitu corrumpore. 110 Kata-kata
tersebut kemudian diikuti di Eropa seperti Bahasa Inggris yaitu cooruption, corrupt,
Bahasa Perancis yaitu corruption, Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie).111
Ensiklopedia Indonesia mendefinisikan corruptio sebagai penyuapan, corrumpore
sebagai merusak dan secara luas diartikan sebagai gejala perilaku para pejabat badanbadan
negara
yang
menyalahgunakan
kewenangannya
sehingga
terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. 112
Pemikiran dari Prodjohamidjojo, memberikan makna yang hampir sama
tentang istilah korupsi. Menurutnya istilah corruptio atau corruptus menunjukkan
kekuasaan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi
mempergunakan sumber kamus yang berasal dari bahasa Yunani Latin corruptio
yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral,
menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materil, mental, dan
hukum. 113
Lilik Mulyadi memberikan pandangannya mengenai pengertian korupsi secara
lebih luas, korupsi merupakan kejahatan, kebusukan, menyangkut suap, perilaku
110
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 78.
111
Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecehannya, (Jakarta: Gramedia,
1984), hal. 9.
112
Ensiklopedia Indonesia, Jilid 4, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve dan elsevier Publishing
Project, 1983), hal. 1876.
113
Prodjohamidjojo, M., Penerapan Pembuktian Terbaik Dalam Delik Korupsi (UU No.31
Tahun 1999), (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 7.
51
tidak normal, perbuatan bejat, dan ketidakjujuran. Perbuatan ini menjadi tercela
karena mengambil yang bukan haknya, tetapi yang berhak untuk itu adalah seluruh
warga negara. Perbuatan korupsi kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat
buruk misalnya perbuatan yang jahat dan tercela atau kebejatan moral, penyuapan
dan bentuk ketidakjujuran. 114
Lembaga Transparancy International mengartikan korupsi sebagai suatu
perbuatan yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk
keuntungan pribadi. 115 Berdasarkan pengertian dari Transparancy International
tersebut, dapat dipahami bahwa ada tiga unsur penting dalam pengertian tersebut,
kepercayaan publik, dan keuntungan pribadi.
Menurut
IGM
Nurdjana,
unsur
menyalahgunakan
kekuasaan
yang
dipercayakan (menyangkut sektor publik dan sektor swasta) memiliki akses bisnis
dalam mencari keuntungan materi. Keuntungan materi tersebut berupa keuntungan
pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi tidak selalu hanya untuk pribadi orang yang
menyalahgunakan kekuasaan dan kawan-kawannya, tetapi juga untuk memenuhi
kepentingan anggota keluarganya. 116
Kemudian menurut Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., mengatakan korupsi
mengandung pengertian kecurangan, penyelewenangan atau penyalahgunaan jabatan
114
Lilik Mulyadi, Op. cit., hal. 78-79.
P. Pope, Strategi Pemberantasan Korupsi Elemen Sistem Integrias Nasional, (Jakarta:
Transparansi Internasional Indonesia, Yayasan Obor Pancasila, 2003), hal. 6.
116
IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi ”Perspektif Tegaknya
Keadilan Melawan Mafia Hukum”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 15.
115
52
untuk kepentingan diri sendiri, dan pemalsuan. 117 Pengertian ini terlalu sempit dalam
menerjemahkan arti korupsi, hanya untuk kepentingan diri sendiri, padahal pada
faktanya korupsi dilakukan secara berkelompok, bahkan hasil korupsi bisa dibagibagikan kepada orang lain atau kelompok-kelompok tertentu yang istilah populernya
disebut dengan “korupsi berjamaah”.
Pandangan dari A. Gardiner dan David J. Olson, memberikan beberapa
pengertian korupsi dalam berbagai sudut pandangnya yaitu: 118
1. Rumusan korupsi dari sisi pandang pasar, yaitu suatu tindakan seorang abdi
negara (pegawai negeri) yang berjiwa korupsi menganggap instansinya
sebagai perusahaan dagang sehingga dalam pekerjaannya diusahakan sedapat
mungkin pendapatannya bertambah.
2. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat perilaku pejabat Pemerintah
yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal dari suatu peran instansi
Pemerintah demi kepentingan pribadi, keluarga, golongan, kawan atau teman.
3. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat kepentingan umum, bahwa
hak-hak yang dikorupsi adalah hak-hak kepentingan umum.
4. Rumusan korupsi menekankan pada perbuatan suap, yaitu suatu perbuatan
yang memberikan berupa hadiah kepada seseorang yang menyangkut lingkup
jabatannya di bidang kepentingan umum (publik) seperti pejabat Pemerintah.
117
Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal.
118
A. Gardiner dan David J. Olson dalam IGM. Nurdjana, Op. cit., hal. 16-17.
375.
53
5. Rumusan korupsi menekankan dari sisi pandang sosiologi, yaitu korupsi
adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi seperti halnya
sebagai gejala sosial yang rumit.
Rumusan dari A. Gardiner dan David J. Olson tersebut di atas, pada satu sisi
semakin menunjukkan subjektifitas pelakunya yaitu tindakan dari para abdi negara
(pegawai negeri). Namun di sisi lain, bila diperhatikan dari rumusannya yang
mengatakan korupsi dipandang dari sudut gejala sosial yang rumit, maka subjektifitas
pelaku korupsi tidak saja tindakan dari para abdi negara.
Bila dipandang dari sisi gejala sosial yang rumit, maka masyarakat (selain
abdi negara) yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi juga
termasuk dalam rumusan A. Gardiner dan David J. Olson tersebut. Contohnya, orang
yang berjualan barang dagangannya di atas bahu jalan raya milik umum, juga
termasuk dalam rumusan ini sebagai perbuatan korupsi.
Kemudian pendapat Brooks tentang rumusan korupsi adalah “dengan sengaja
melakukan kesalahan atau kelalaian tugas yang diketahui sebagai kewajiban atau
tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
yang sedikit banyak bersifat pribadi”. Sayed Hussein Alatas tidak sependapat dengan
Brooks dan mengatakan definisi Brooks sangat luas sehingga perlu dimodifikasi agar
dapat juga mencakup nepotisme, sebab korupsi pada umumnya melibatkan orang-
54
orang terdekat, teman-teman dalam satu instansi bahkan antar instansi, dan
keluarga. 119
Pemikiran Sayed Hussein Alatas ini tampaknya mendasarkan pengertian pada
“korupsi berjamaah”, korupsi tidak saja dapat dilakukan oleh orang seorang secara
sendiri-sendiri, tetapi cenderung dilakukan secara bersama-sama, atau bahkan
melibatkan orang-orang terdekat, keluarga, dan teman sejawat. Bukan tidak mungkin
korupsi dilakukan secara sendiri, tetapi yang paling umum terjadi dalam praktik
adalah perbuatan itu dilakukan lebih dari satu orang atau melibatkan orang lain.
Korupsi erat kaitannya dengan Kolusi dan Nepotisme (KKN), masalah ketiga
unsur ini bukan saja sebagai masalah nasional suatu negara, tetapi sudah menjadi
masalah dunia internasional yang harus dicegah dan diberantas. Ketiga kata ini
memiliki batasan yang sangat tipis karena dalam praktik, sering kali menjalin
hubungan dalam satu kesatuan tindakan yang utuh dan merupakan unsur-unsur dari
perbuatan korupsi.
Ketercelaan terhadap korupsi karena perbuatan tersebut menyangkut
pengambilan dana-dana atau uang negara yang menjadi hak bagi semua orang atau
warga negara dalam satu negara tertentu. Pada faktanya perilaku korupsi dilakukan
secara sistemik, misalnya antara korupsi, kolusi, dan nepotisme selalu memiliki
korelasi kuat dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
119
Brooks dalam Sayed Hussein Alatas, Korupsi Sebab Sifat dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES,
1987), hal. 1, lihat juga Prodjohamidjojo, M., Op. cit., hal. 11.
55
Menimbang, mengingat, dan memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari
perbuatan korupsi, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, masalah
korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dicegah dan diberantas. Pembiaran dengan
segala persoalan menyangkut lemahnya penegakan hukum terhadap korupsi,
membuat sebuah negara menemukan kesulitan dalam membangun menuju negara
yang sejahtera, adil, dan makmur.
Sementara menurut Suyatno, mendefinisikan korupsi begantung pada disiplin
ilmu yang dipergunakan. Menurutnya, pengertian korupsi harus didefinisikan menjadi
4 (empat) jenis yaitu: 120
1. Discretionary corruption, yaitu korupsi yang dilakukan karena danya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat
sah, namun bukanlah merupakan praktik-praktik yang dapat diterima oleh
anggota organisasi;
2. Illegal corruption, yaitu suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, dan peraturan tertentu;
3. Marceney corruption, ialah suatu jenis tindakan untuk memperoleh
keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;
4. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi illegal maupun discretionay yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Pendapat Suyatno tersebut memandang korupsi pada suatu pengecualian,
bilamana dapat dilaksanakan dengan sutuasi dan kondisi tertentu dan wajib diambil
keputusan, jika tidak bisa mendatangkan malapetaka atau bahkan kerugian negara
yang lebih dahsyat. Prinsip dalam pengecualian ini menurutnya adalah diskresi.
Prinsip diskresi ada sehubungan dengan adanya kebebasan pejabat publik dalam
120
Suyatno, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 17.
56
mengambil kebijakan (beschiking) yang terkadang harus menimbulkan risiko,
tuduhan korupsi atau pujian.
Korupsi merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan
negara. Secara substantif perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang tercela,
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. Sehingga oleh pembuat undangundang dikriminalisasi menjadi tindak pidana korupsi dalam suatu undang-undang.
Sebagaimana menurut M. Lubis dan Scott J.C., korupsi adalah tingkah laku
yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh
para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah
laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi
adalah tercela apabila hukum dilanggar atau tidak berada dalam tindakan sesuai
dengan wewenang. 121 Pandangan ini sejalan dengan tujuan untuk mengkriminalisasi
korupsi menjadi sejenis tindak pidana di dalam suatu undang-undang.
Pandangan tentang korupsi akan ambivalen jika diukur dari perbuatan yang
tercela saja, namun untuk dapat dihukum atau tidak dapat dihukum sebagai perbuatan
tercela, maka harus terlebih dahulu dikriminalisasi menjadi sebuah tindak pidana
dalam suatu undang-undang. Hal ini sejalan dengan asas legalitas yang ditentukan di
dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang berarti menegaskan suatu prinsip kepastian
hukum di dalam negara hukum.
121
19.
M. Lubis dan Scott, J.C., Korupsi Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal.
57
Walaupun sebahagian kalangan memberikan pengertian korupsi juga
menyangkut makna yang lebih luas termasuk yang tidak diatur dalam undangundang, namun pengertian tersebut tidak bisa diakomodasi dalam penegakan hukum
korupsi, sebab Indonesia menganut sistim hukum eropa kontinental yang berprinsip
pada kepastian hukum yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga pengertianpengertian yang sangat sederhana dan terlalu luas itu tidak dapat dijadikan tolok ukur
atau standar untuk menghukum pelaku korupsi.
Pengertian korupsi yang menjadi tolok ukur untuk mengatakan suatu
perbuatan itu sebagai tindak pidana adalah perbuatan yang telah dilarang di dalam
UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Sehingga pemahaman
tentang korupsi hanya dibatasi pada pengertian yuridis saja di dalam UUPTPK
Pembatasan ini ditekankan agar makna korupsi tidak meluas dalam hubungannya
dengan kewenangan aparat penegak hukum menangani perkara-perkara pidana
khususnya perkara tipikor. Pengertian tipikor hanya difokuskan pada ruang lingkup
perbuatan yang dilarang dalam UUPTPK saja. Sehingga dengan dikriminalisasinya
korupsi ke dalam UUPTPK, maka kata korupsi menjadi sebuah tindak pidana yang
disebut dengan tipikor yang berarti dilarang oleh hukum di Indonesia atau perbuatan
korupsi terkategori sebagai perbuatan yang illegal.
58
C. Ketentuan Perundang-Undangan Yang Mengatur Wewenang Kejaksaan
Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tipikor di Pengadilan Tipikor
Keterkaitan hubungan koordinasi antar sesama aparat penegak hukum mulai
dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Advokat, hingga Lembaga Pemasyarakatan
berada dalam sebuah sistem penegakan hukum yang disebut dengan istilah sistem
peradilan pidana. Salah satu elemen dari sistem peradilan pidana adalah Kejaksaan.
Kejaksaan Republik Indonesia sesuai KUHAP, UU Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, memiliki tugas dan wewenang
untuk menuntut perkara-perkara tindak pidana khususnya tipikor di Pengadilan
Tipikor.
5. KUHAP
Sesuai Pasal 14 KUHAP, dalam pasal tersebut terdapat beberapa wewenang
penuntut umum. Pasal 14 KUHAP yang menentukan:
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk
dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan
oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
59
g.
h.
i.
j.
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
Melakukan penuntutan;
Menutup perkara demi kepentingan umum;
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
Melaksanakan penetapan hakim.
KUHAP tidak menggunakan istilah kejaksaan, melainkan hanya terdapat
istilah jaksa dan penuntut umum.122 Salah satu wewenang penuntut umum dalam
Pasal 14 huruf g KUHAP adalah melakukan penuntutan. Wewenang penuntutan
menurut KUHAP tidak diberikan kepada jaksa, melainkan hanya kepada penuntut
umum. Maksud dari ketentuan ini berarti jaksa dari lembaga kejaksaan mesti
berdasarkan surat perintah sebagai penuntut umum.
Jaksa yang tidak diberikan surat perintah atasannya untuk bertindak sebagai
penuntut umum, maka menurut KUHAP tidak dibenarkan melakukan penuntutan
perkara pidana. Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP tentang pengertian
penuntutan juga tidak memberi wewenang menuntut kepada jaksa melainkan kepada
penuntut umum.
Pasal 1 angka 7 KUHAP menentukan penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa
122
Pasal 1 angka 6 KUHAP.
60
dan diputus hakim di sidang pengadilan. Jelas berdasarkan ketentuan ini penuntut
umum lah yang berwenang melakukan penuntutan bukan jaksa. 123
Penuntut umum dengan mengacu KUHAP adalah jaksa yang diberi
wewenang untuk membuat surat dakwaan, menghadiri persidangan dan melakukan
penuntutan dalam perkara pidana. Selain melakukan penuntutan, penuntut umum
menurut KUHAP bisa melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan jaksa menurut
KUHAP bertugas untuk melakukan penyidikan dan sebagai pelaksana putusan hakim
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. 124
Secara lebih terperinci kewenangan penuntut umum dalam melakukan
penuntutan diatur dalam Bab XV KUHAP mulai dari Pasal 137 s/d Pasal 144
KUHAP. Ketentuan yang terkandung di dalam Pasal 137 KUHAP menegaskan
penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Berdasarkan Pasal 137 KUHAP tersebut dapat dipahami bahwa kewenangan
menuntut oleh penuntut umum tidak terkecuali kepada siapapun yang melakukan
tindak pidana. Apakah itu tindak pidana umum seperti pembunuhan, pencurian,
perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain dan termasuk tindak pidana khusus misalnya
tindak pidana teroris, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana illegal logging,
123
Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Aksara,
1987), hal. 194.
124
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19474/penuntut-umum-atau-jaksa-penuntutumum, diakses tanggal 2 Oktober 2014, artikel yang dipublikasikan di website hukumoniline.com,
pada tanggal 11 Juni 2008.
61
tindak pidana korupsi (tipikor), tindak pidana perpajakan, dan lain-lain, penuntut
umum berwenang menuntu untuk itu.
6. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Wewenang jaksa dan penuntut umum diatur di dalam UU Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan. Bila kemudian dicermati ketentuan pasal-pasal di dalam UU
Kejaksaan, wewenang jaksa dan penuntut umum adalah berbeda. Menurut Pasal 1
angka 1 jo angka 2 UU Kejaksaan, jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang. 125 Sedangkan penuntut umum adalah
jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim. 126
Jika mempedomani Pasal 137 s/d Pasal 144 KUHAP dan Pasal 1 angka 1 dan
angka 2 UU Kejaksaan, dapat dipahami bahwa penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh KUHAP dan UU Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa jabatan
fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi
kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas
kejaksaan terutama sebagai penuntut umum.
125
126
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
62
Penuntut umum berwenang menuntut seorang terdakwa di muka hakim
pidana dengan menyerahkan perkara pidana yang telah dibuat di dalam berkas
perkara kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian
memutuskan perkara pidana. 127 Berdasarkan UU Kejaksaan ini, memberikan batasan
yang luas mengenai siapa yang bisa melakukan penuntutan.
Secara umum tugas dan wewenang kejaksaan berdasarkan Pasal 30 UU
Kejaksaan adalah:
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; 128
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 129
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang; 130
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 131
127
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,
1967), hal. 34.
128
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b dijelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan
pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam
bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan
wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang
rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.
129
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf c dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya dibidang pemasyarakatan.
130
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d dijelaskan bahwa kewewenangan dalam
ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
131
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf e dijelaskan bahwa untuk melengkapi berkas
perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak dilakukan terhadap tersangka;
63
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut
meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Kewenangan menuntut bagi kejaksaan terdapat dalam ketentuan Pasal 30
ayat (1) huruf a UU Kejaksaan. Selain menuntut, kejaksaan juga diberi kewenangan
di bidang perdata dan tata usaha negara, di bidang ketertiban dan ketentraman
umum, dan kewenangan lain oleh undang-undang (vide: Pasal 30 ayat 2 dan ayat 3
junto Pasal 32 UU Kejaksaan), kewenangan lain itu misalnya dapat bertindak
sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) dan lain-lain. 132
Dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan ditentukan, wewenang
menuntut itu lebih ditekankan kepada lembaganya yaitu kejaksaannya daripada
jaksanya atau penuntut umum. Seperti redaksional yang menentukan “kejaksaan
memiliki tugas dan wewenang melakukan penuntutan”. 133 Redaksi ini berbeda
dengan KUHAP yang menekankankan kepada jaksanya dan penuntut umum saja,
b.
Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan
masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara;
c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan
Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana;
d. Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
132
Tambok Nainggolan, Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar,
(Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 28.
133
Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
64
sedangkan dalam UU Kejaksaan disebutkan secara umum wewenang penuntutan itu
diserahkan kejaksaannya. Oleh sebab itu pimpinan kejaksaan lah yang menentukan
siapa jaksa-jaksa yang diperintahkan untuk melakukan penuntutan. Jaksa yang
mendapat surat perintah melakukan penuntutan inilah yang disebut penuntut umum.
Ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan ini mengandung makna
bahwa wewenang penuntutan diberi hak secara general kepada institusinya yaitu
kejaksaan, bukan kepada jaksa atau penuntut umum. Itu berarti semua jaksa-jaksa
yang terhimpun di dalam institusi kejaksaan, berhak bertindak sebagai penuntut
umum jika didasarkan kepada surat perintah dari atasan atau pimpinannya. Jika
pimpinan tidak memberikan surat perintah kepada jaksa sebagai penuntut umum
dalam perkara tertentu, maka jaksa tersebut tidak berwenang melakukan penuntutan
perkara yang dimaksud.
Secara umum kewenangan diartikan sebagai kekuasaan yang menegaskan
suatu kemampuan dari orang atau golongan untuk menguasai orang lain atau
golongan lain berdasarkan kewibawaan, kewenangan, kharisma atau kekuatan
fisik. 134 Istilah kewenangan disebut juga authority (Inggris), theorie van het gezag
(Belanda), theorie der autoritat (Jerman). 135
H.D. Stoud, menerjemahkan kewenangan sebagai keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh
134
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), hal. 801.
135
Ridwan AR., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal.
110.
65
subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. 136 Dari pengertian ini,
kewenangan lebih identik dengan yang diatur dalam perundang-undangan. Walaupun
semua orang berwenang, namun wewenang dimaksud dalam pengertian ini adalah
wewenang yang ditentukan dalam perundang-undangan saja.
Berdasarkan pengertian tersebut kewenangan diharuskan ditentukan oleh
aturan-aturan hukum dan sifatnya berhubungan dengan hukum. Sebelum berbuat
sesuatu, maka seseorang dalam jabatannya harus ditentukan terlebih dulu di dalam
aturan-aturan hukum dan undang-undang, jika dalam undang-undang sudah ada
ditentukan kewenangan terhadap suatu institusi, maka aparatur dari institusi itu baru
bisa dikatakan berwenang untuk melakukan suatu tindakan hukum.
Sekalipun wewenang itu diberikan oleh undang-undang kepada institusi
kejaksaan untuk melakukan penuntutan, namun penting untuk diketahui bahwa jika
wewenang itu tidak didasarkan pada surat perintah pimpinan dari institusi atau yang
berhak untuk itu, maka wewenang untuk menuntut tidak sah secara hukum. Max
Weber mengatakan hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial dimaksud
untuk menetapkan kebijakan-kebijakan, menentukan keputusa
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR
WEWENANG KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN
TERHADAP PERKARA TIPIKOR DI PENGADILAN TIPIKOR
A. Evolusi Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Dalam Sejarah
Kata kejaksaan terbentuk dari kata dasar yaitu “jaksa”. Jaksa disebut juga
sebagai penuntut umum. Kata penuntut umum menunjukkan arti tersendiri kepada
jaksa sebagai pejabat umum atau pejabat negara. Penuntut umum kebalikan dari
penuntut swasta. Munculnya kata “umum” dalam kalimat “penuntut umum” berlatar
belakang pada sejarah di mana konteks kata umum atau publik (public) sebagai
public prosecutor sebagai perimbangan dari pada masa dulu karena masih dikenal
adanya penuntut yang bersifat perorangan atau pribadi (private). 70
Istilah untuk menyebut orang atau pejabat negara yang tugasnya melakukan
penuntutan adalah jaksa, tetapi banyak istilah lain di beberapa negara yang
menggunakan istilah yang berbeda antara lain: di Amerika Serikat jaksa disebut
dengan district procecutor, district attorney, prosecuting attorney, dan commonwealt
attorney. Istilah di Belanda, jaksa disebut perwira kehakiman (officier van justitie).
Perancis menyebutnya dengan istilah pengacara republik (procureur de la
republique). Belgia dengan istilah pengacara raja (procureur du roi). Italia
70
RM. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 1. Namun, penuntut swasta saat ini di Indonesia
tidak dikenal lagi, walaupun masih ada negara hingga saat ini masih mengenal penuntut swasta yaitu
negara Thailand (Muangthai), Filipina, Perancis, Belgia, Inggris, dan Skotlandia. Peranan penuntut
swasta di negara-negara tersebut lama kelamaan, kapasitasnya semakin kecil di bidang penuntutan.
Penuntut swasta ini biasanya tetap didampingi oleh jaksa (penuntut umum) juga.
36
37
menyebutnya procuratore. Spanyol menyebutnya procurador, dan di negara-negara
Eropa Timur umumnya disebut procurator bukan prosecutor, 71 serta di Indonesia
disebut dengan istilah jaksa atau penuntut umum. 72
Sebagaimana pengertian jaksa di dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP
menentukan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian jaksa di dalam Pasal 1 angka 1
UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, jaksa adalah pejabat fungsional yang
diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Istilah jaksa di Indonesia sudah sejak lama dikenal, berasal dari bahasa
Sangskerta yaitu dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Sebutan-sebutan ini
ditujukan kepada Mahapati Gajah Mada. Dhyaksa adalah pejabat negara di jaman
Kerajaan Majapahit di saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa. Tugas dhyaksa adalah
menangani masalah-masalah peradilan. Kalau dhyaksa adalah hakim pengadilan
sedangkan adhyaksa adalah hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi
dhyaksa-dhyaksa. Sedangkan dharmadhyaksa adalah hanya sebagai pengemban tugas
urusan agama Syiwa dan Buddha. 73
71
Ibid., hal. 2.
UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
73
Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif
Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 56-57.
72
38
Sebutan adhyaksa dipakai untuk gelar pendeta paling tinggi pada masa dulu di
Kerajaan Hindu di Pulau Jawa, terutama dipakai untuk gelar hakim kerajaan yang
tertinggi. 74 Dari berbagai istilah tersebut sebenarnya istilah jaksa lebih relevan ditarik
dari istilah adhyaksa. 75 Hingga sampai saat ini istilah jaksa tetap digunakan di
Indonesia. Jika pada masa dulu disebut adhyaksa tidak sama tugasnya dengan tugas
jaksa atau penuntut umum yang digunakan saat ini, karena tugas jaksa atau penuntut
umum bukan bertugas sebagai hakim. 76
Jaksa dan penuntut umum sering dipersamakan dalam penggunaan istilah
yang sama, padahal kedua istilah ini berbeda. Jaksa adalah pejabat fungsional
sedangkan penuntut umum adalah jaksa, 77 penuntut umum adalah jaksa78.
Perbedaannya terdapat ketika melaksanakan tugas, aparatur kejaksaan secara umum
disebut jaksa, sedangkan jaksa yang menuntut suatu perkara disebut penuntut umum
atau Jaksa Penuntut Umum (JPU). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim. 79 Sedangkan kejaksaan adalah lembaga atau institusi di mana
tempat bernaungnya para jaksa.
74
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,
(Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 1985), hal. 8-12.
75
Yesmil Anwar dan Adang, Sistim Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hal.
197.
76
Ibid., hal. 200.
77
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
78
Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP.
79
Pasal 1 angka 2 UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
39
Melalui pendekatan sejarah, kejaksaan dikelompokkan dalam dua periodisasi
yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode setelah kemerdekaan.
3. Kejaksaan Sebelum Periode Kemerdekaan
Pada masa kerajaan Hindu di Jawa berkuasa belum ditemui lembaga
penuntutan dalam urusan penegakan hukum adat untuk bertindak sebagai jaksa.
Sejarah kerajaan yang paling berpengaruh pada masa itu adalah Kerajaan Majapahit
yang dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk dengan seorang patih yang disbut
Mahapatih Gajah Mada hanya menunjukkan beberapa jabatan yang dinakaman
dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. 80 Tetapi sebutan ini bukan bertugas untuk
melakukan penuntutan melainkan tugasnya adalah untuk hakim pengadilan. 81
Pada masa awal penjajahan tahun 1602 dengan masuknya VOC 82 ke
Indonesia, Belanda membentuk beberapa peraturan hukum, mengangkat para pejabat
yang akan menjaga kepentingan-kepentingannya dengan membentuk badan-badan
peradilan sendiri (schepenenbank) yang bertugas sebagai penuntut umum disebut
dengan officier van justitie sebagai perwira kehakiman. 83 Tugas officier van justitie di
masa ini bertindak sebagai penuntut keadilan dan Gubernur Belanda sebagai ketuanya
dan Bupati terkemuka sebagai anggotanya, sedangkan dalam perkara kecil, jaksa
yang mengadili bertindak sebagai hakim atas nama Bupati setempat. 84
80
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 1 Oktober 2014.
Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.
81
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 55-58.
82
VOC singkatan dari Verenigde Oost Indische Compagnie.
83
RM. Surachman dan Andi Hamzah, Op. cit., hal. 2.
84
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 59-60.
40
Pada abad XVII Kerajaan Mataram yang berada di bawah perintah
Amangkurat I dan kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak lagi menggunakan kata
Jawa Kuno (kawi) atau Sangskerta dhyaksa tetapi telah digunakan dengan Bahasa
Jawa yaitu “Jeksa”. Para jeksa di masa itu mempunyai tugas dan wewenang sebagai
hakim, juga melaksanakan pekerjaan kepaniteraan dan penuntutan, bahkan
adakalanya jeksa pada masa itu dapat bertindak sebagai pembela. 85
Pada tahun 1808 s/d 1811 di masa Pemerintahan Daendels mempersempit
kekuasaan pengadilan Schepenen yang dibentuk oleh Kompeni. Kekuasaan
schepenenbank (Pengadilan schepenen) semula memiliki yurisdiksi Jakarta dan
Daerah Jawa Barat serta melakukan peradilan menerapkan hukum Belanda, kemudian
diperkecil yurisdiksinya hanya meliputi Kota Jakarta dan sekitarnya. Sehingga
penuntut yang disbut fiscaal dilakukan oleh seorang Jaksa Besar (Groot-Djaksa).
Seorang bawahan Landdrost yang diberi gelas Schouten dibebani tugas melakukan
penyidikan sedangkan Landgericht memeriksa dan memutus perkara-perkara perdata
dan pidana yang tidak termasuk ke dalam kekuasaan Landraad. 86
Setelah kekuasaan Daendels berakhir, kemudian berkuasa Pemerintahan
Raffles (1811-1816) dengan mengubah badan-badan peradilan di Indonesia pada
masa itu. Raffles mengeluarkan instruksi dengan membentuk badan pengadilan untuk
golongan penduduk Bumi Putera di bagi dalam dua badan peradilan yaitu peradilan
untuk kota sekitarnya (untuk Bangsa Eropa) dan peradilan untuk daerah-daerah
85
Ibid., hal. 60-61.
R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, (Jakarta: W. Versluys N.V.
Amsterdam, 1957), hal. 25.
86
41
pedesaan. Pengdilan untuk Bangsa Eropa berada di Batavia, Semarang, dan Surabaya
serta daerah-daerah setiktarnya diberi juga wewenang untuk mengadili penduduk
Bumi Putera yang berdomisili di sekitar itu.87
Untuk kota (Batavia, Semarang, dan Surabaya) masing-masing ditempatkan
satu Court of Justice untuk perkara-perkara perdata dan pidana bagi golongan
penduduk Bumi Putera. Sedangkan Court of Justice yang berada di Batavia berfungsi
sebagai Pengadilan Banding. Selain itu, di Batavia didirikan Supreme Court sebagai
badan peradilan yang memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama dan
terakhir. Susunan Court of Justice terdiri dari seorang hakim ketua, dan dua orang
hakim anggota serta satu orang penuntut umum yang disebut dengan fiscal,
sedangkan Supreme Court terdiri dari seorang hakim ketua, dan tiga orang hakim
anggota, serta seorang advocate fiscal. 88
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, jaksa kemudian
disebut dengan istilah Openbaar Ministerie 89 yang memiliki tugas pokok antara lain:
mempertahankan segala peraturan negara, melakukan penuntutan terhadap semua
tindak pidana, dan melaksanakan putusan pengadilan. Lembaga Openbaar Ministerie
ini menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van
Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen
(Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) di bawah perintah
87
Ibid.
Ibid., hal. 30.
89
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan
antara lain adalah Openbaar Ministerie.
88
42
langsung dari Residen atau Asisten Residen. 90 Pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda ini, kejaksaan lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah
di masa itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai
artikelen 91 yang terdapat di dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). 92
Pada masa Pemerintahan Jepang di Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942
sampai dengan tanggal 16 Agustus 1945 ditetapkan 6 (enam) jenis badan peradilan
umum di Jawa dan Madura dan setiap badan peradilan tersebut ditempatkan kantor
Kejaksaan (Kensatsu Kyoku). Kensatsu Kyoku diberi tugas: mencari (menyidik)
kejahatan dan pelanggran, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan dalam
perkara kriminal, dan mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilaksanakan menurut
hukum. 93
Penyidikan menjadi salah satu tugas umum Kejaksaan sejak dari Kejaksaan
Pengadilan Negeri (Tihoo Kensatsu Kyoku) hingga Kejaksaan Pengadilan Tinggi
90
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 30 September 2014.
Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.
91
http://id.shvoong.com/law-and-politics/contract-law/2077195-hatzaai-artikelen-menghantardemokrasi-jadi/, diakses tanggal 1 Oktober 2014. Ditulis oleh: Ali Imran, dengan judul, “Hatzai
Artikelen, Menghantar Demokrasi Menjadi Impoten”. Hatzaai artikelen, merupakan pasal-pasal yang
mengatur berkenaan dengan penyebaran rasa kebencian terhadap warga sipil dan pemasungan para
aktivis. Dahulu pada masa Kolonial Belanda, pasal ini dijadikan alat politik, untuk mengamankan
kekuasaannya di Indonesia, dan pada masa Orde Baru, pasal tersebut tetap dipertahankan demi
kepentingan kekuasaannya. Sesudah menginjak usia tua Negara Indonesia terbebas dari kaum
penjajah, usia 60 tahun merupakan satu generasi, yang dalam hal ini tentu seharusnya sudah ada
kedewasaan demokrasi yang tertanam dalam ruh masyarakat Bangsa Indonesia. Pada abad XVI dalam
era penjajahan imperialisme dan kolonialisme di Inggris lahir sebuah produk hukum yang otoriter,
yakni undang-undang pidana sebagai konsumsi publik itu menyebar kebelahan bumi melalui penjajah,
dan hal ini dipakai oleh kolonial untuk mematahkan perlawanan pergerakan kebangsaan dikalangan
pemimpin pribumi. Istilah ini di Negara Amerika Serikat yang dijajah oleh Inggris dikenal dengan
sebutan The Law Of Sedition, sedangkan di Indonesia yang dijajah Belanda dikenal dengan sebutan
Hatzaai Artikelen.
92
R. Tresna, Op. cit., hal. 35.
93
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 65.
43
(Kootoo Kensatsu) dan Kejaksaan Pengadilan Agung (Saiko Kensatsu Kyoku). Jepang
pun mengubah bidang penuntutan dengan menghilangkan Magistraat dan Officier
van Justitie. Tugas dan wewenangnya kemudian dibebankan kepada Penuntut Umum
Bumi Putera (Jaksa) di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan
yakni seorang Jaksa Jepang. Dengan bertolak pada masa pendudukan Jepang ini,
Jaksa menjadi satu-satunya penuntut umum. 94
Sejak itu, jaksa benar-benar menjadi Pegawai Penuntut Umum (Tjo Kensatsu
Kyokuco) dan berada di bawah pengawasan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kootoo
Kensatsu Kyokuco). 95 Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut
secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang Pemerintah di zaman
pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942 yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei
Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944. 96
4. Kejaksaan Setelah Periode Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, jaksa menjadi satu-satunya lembaga penuntut
umum tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan
dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum
Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan
94
Ibid., hal. 66. Lihat juga: R. Tresna,…Op. cit., hal. 42.
Rusli Muhammad, Op. cit, hal. 94.
96
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 1 Oktober 2014. Artikel
berjudul, “Sejarah Kejaksaan”, dipublikasikan di website Kejaksaan Republik Indonesia.
95
44
yang ada masih berlaku. Ketentuan ini sama dengan ketentuan yang digariskan dalam
Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944 tetap
mempertahankan lembaga Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan di
Negara Republik Indonesia.
Namun pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS Tahun 1950) dalam
bentuk federal yang terdiri dari pusat (federal) dan daerah-daerah, maka susunan
Kejaksaan pada masa itu masih terdiri dari Kejaksaan Tingkat Pusat dan Kejaksaan
Tingkat Daerah-Daerah Bagian. Kejaksaan pada masa RIS berada di bawah
Departemen Kehakiman. Pada tingkat pusat (federal) hanya ada satu instansi
kejaksaan yaitu Kejaksaan Agung RIS sebagai Kejaksaan tingkat tertinggi di masa
RIS. Masa RIS hanya 7 (tujuh) bulan 20 (dua puluh) hari, RIS belum sempat
mengangkat Jaksa Agung Muda dan tidak terdapat keterangan mengenai hubungan
fungsional antara Jaksa Agung RIS dan para Jaksa Agung Muda. 97
Pada masa demokrasi parlementer (Tahun 1950-1959), Kejaksaan tetap
berada di bawah Departemen Kehakiman. 98 Seharusnya setelah berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada masa parlementer ini, Kejaksaan Agung dari
bekas negara bagian dibubarkan tetapi kenyataannya tidak demikian. Keberadaan
Jaksa Agung dari bekas negara bagian tersebut tetap dipertahankan dan diadakan
untuk menangani kasus-kasus lama yang belum terselesaikan dan tidak diberikan
tugas untuk menangani kasus-kasus baru.
97
98
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 67-68.
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, Op. Cit.
45
Pada masa demokrasi terpimpin (Tahun 1959-1965) sehubungan dengan
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 s/d 11 Maret 1966 terjadi perubahan dalam status
Kejaksaan dari lembaga Non Departemen (di bawah Departemen Kehakiman)
menjadi lembaga yang berdiri sendiri, bernama Departemen Kejaksaan Republik
Indonesia. Dasar hukum perubahan ini adalah Putusan Kabinet Kerja I tanggal 22 Juli
1960 yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1960
tanggal 15 Agustus 1960 yang asasnya berlaku surut mulai tanggal 22 Juli 1960.
Selanjutnya
Pemerintah
mensyahkan
usulan
dari
DPR-GR
dengan
mengeluarkan UU Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia. 99 Pada masa berlakunya UU Nomor 15 Tahun 1961
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia ini, Kejaksaan
adalah alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum100,
penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan oleh Menteri/Jaksa Agung
sedangkan susunan organisasi Departemen Kejaksaan Kejaksaan diatur dengan
Keputusan Presiden. 101
99
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Surat
Nomor 5263/DPR-GR/1961 tanggal 30 Juni 1961 dan Surat Nomor 5261/DPR-GR/1961 tanggal 30
Juni 1961 perihal Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia, yang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan. Akhirnya
Pemerintah mensyahkan usulan tersebut dengan mengeluarkan UU Nomor 15 Tahun 1961 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.
100
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia.
101
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia.
46
Kejaksaaan pada masa orde baru (Tahun 1966-1998) mengalami beberapa kali
perubahan dalam kekuasaannya baik pergantian pimipinan 102, organisasi, dan tata
kerjanya. Organisasi kejaksaan pada masa ini berada di bawah koordinasi Wakil
Perdana Menteri Pertahanan dan Keamanan. Berdasarkan Surat Keputusan Wakil
Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan Nomor Kep/A/16/1966 tanggal
20 mei 1966 dilakukan perubahan dan pembaharuan mengenai pokok-pokok
organisasi Kementerian Kejaksaan, perubahan penting pada masa itu adalah: 103
a. Menteri/Jaksa Agung memimpin langsung Kementerian Kejaksaan dengan
dibantu oleh tiga orang Deputi Menteri/Jaksa Agung, masing-masing dalam
bidang intelijen/operasi, khusus dan pembinaan, dan seorang pengawas umum
(Inspektur Jenderal).
b. Ketiga deputi dan pengawas umum dalam melaksanakan tugasnya dipimpin
dan dikoordinasikan oleh Menteri/Jaksa Agung.
c. Di bawah para deputi terdapat direktorat-direktorat, bagian, biro, dan seksi,
sedangkan di bawah pengawasan umum hanya ada inspektorat-inspektorat.
Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perubahan,
perkembangan dan dinamika secara terus-menerus sesuai dengan kurun waktu dan
perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan
Republik Indonesia telah mengalami 22 (dua puluh dua) periode kepemimpinan Jaksa
102
Perubahan pimpinan pertama kali terjadi pada tanggal 27 Maret 1966 dengan digantinya
Menteri/Jaksa Agung sehari sebelum dibubarkannya Kabindet Dwikora yang disempurnakan dan
diganti dengan Kabinet Dwikora Disempurnakan. Ketika itu organisasi kejaksaan di bawah koordinasi
Wakil Perdana Menteri Pertahanan dan Keamanan yang merangkap Menteri Angkatan Darat, Letjen
Soeharto.
103
Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 70.
47
Agung. 104 Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan
pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga
mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Pada masa orde baru ada perkembangan baru menyangkut perubahan dari UU
Nomor 15 Tahun 1961 menjadi UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Perkembangan itu mencakup perubahan mendasar pada susunan
organisasi serta tata cara institusi kejaksaan yang didasarkan pada Keputusan
Presiden Nomor 55 tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia tanggal 20 November 1991.
Susunan organisasi Kejaksaan Republik Indonesia setelah berlakunya
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia tanggal 20 November 1991, adalah: 105
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Jaksa Agung;
Wakil Jaksa Agung;
Jaksa Agung Muda Pembinaan;
Jaksa Agung Muda Intelijen;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara;
Jaksa Agung Muda Pengawasan;
Pusat;
Kejaksaan di Daerah:
1) Kejaksaan Tinggi;
2) Kejaksaan Negeri.
104
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 30 September 2014.
Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.
105
Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
48
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia setelah
berlakunya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 hingga sampai saat ini (masa
orde reformasi tahun 1998-sekarang) masih tetap berlaku. Akan tetapi mengenai
tugas-tugas Kejaksaan terus mengalami perubahan. Selain penuntutan, tugas dan
fungsi yang berkaitan dengan wewenang Jaksa Agung pada masa orde reformasi
diberi lagi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 1999 tentang Peradilan Hak
Asasi Manusia. Undang-undang ini memperluas kewenangan Kejaksaan untuk
melakukan penyidikan, termasuk UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomo 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberikan kewenangan
kepada Kejaksaan melakukan penyidikan.
Kejaksaan juga mengalami pengurangan kewenangan di sisi lain dengan
dibentuknya KPK. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Keppres Nomor 266/M/2003, KPK menyerap
sebahagian kewenangan penyidikan yang selama ini diperankan oleh Kejaksaan
untuk perkara-perkara besar, tanpa mengurangi kewenangan penyidik Kepolisian
Republik Indonesia berdasarkan KUHAP dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian.
Munculnya KPK sebagai penyidik dalam perkara tindak pidana koruspi
menunjukkan bahwa kondisi di mana sulitnya untuk “menyeret” (memproses hukum)
para koruptor yang berlindung di balik kekuatan kroni-korninya. Pengalaman kinerja
Kejaksaan Agung tidak efektif dan mengalami banyak hambatan dalam melakukan
49
penyidikan terhadap perkara Mantan Presiden Soeharta menjadi starting point
pembentukan KPK di samping banyak faktor lain yang menjadi penghalang. 106 Selain
itu, khusus untuk perkara-perkara tipikor, lembaga kejaksaan bukan lagi satu-satunya
lembaga penuntutan perkara tipikor, tetapi UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga
diberi tugas melakukan penuntutan terhadap perkara tipikor. 107
Berbagai dinamika situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Kejaksaan di masa
orde reformasi tidak jauh beda dengan yang dihadapi di masa orde baru. Namun hal
yang menarik adalah digantinya UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia 108 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Susunan organisasi kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan dipersingkat dengan sunanan Kejaksaan yang hanya terdiri dari Kejaksaan
Negeri, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Agung. 109
Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan semakin
mempertegas tugas dan wewenang Kejaksaan, antara lain: tetap melakukan
penyidikan dalam perkara tertentu, penuntutan, eksekutor putusan pengadilan, dapat
bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN), melakukan pengawasan dalam
bidang ketertiban dan ketenteraman umum.
106
Kejaksaan Agung RI, Profil Jaksa Agung Republik Indonesia dari Masa ke Masa,
(Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2003), hal. 33-40. Lihat juga Marwan Effendy,
Kejaksaan,….Op. cit., hal. 73.
107
Pasal 6 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
108
Sebelumnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961.
109
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
50
B. Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Istilah korupsi berasal dari Bahasa Latin yaitu corruptie atau cooruptus. Kata
corruptie berasal dari Bahasa Latin yang paling tua yaitu corrumpore. 110 Kata-kata
tersebut kemudian diikuti di Eropa seperti Bahasa Inggris yaitu cooruption, corrupt,
Bahasa Perancis yaitu corruption, Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie).111
Ensiklopedia Indonesia mendefinisikan corruptio sebagai penyuapan, corrumpore
sebagai merusak dan secara luas diartikan sebagai gejala perilaku para pejabat badanbadan
negara
yang
menyalahgunakan
kewenangannya
sehingga
terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. 112
Pemikiran dari Prodjohamidjojo, memberikan makna yang hampir sama
tentang istilah korupsi. Menurutnya istilah corruptio atau corruptus menunjukkan
kekuasaan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi
mempergunakan sumber kamus yang berasal dari bahasa Yunani Latin corruptio
yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral,
menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materil, mental, dan
hukum. 113
Lilik Mulyadi memberikan pandangannya mengenai pengertian korupsi secara
lebih luas, korupsi merupakan kejahatan, kebusukan, menyangkut suap, perilaku
110
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 78.
111
Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecehannya, (Jakarta: Gramedia,
1984), hal. 9.
112
Ensiklopedia Indonesia, Jilid 4, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve dan elsevier Publishing
Project, 1983), hal. 1876.
113
Prodjohamidjojo, M., Penerapan Pembuktian Terbaik Dalam Delik Korupsi (UU No.31
Tahun 1999), (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 7.
51
tidak normal, perbuatan bejat, dan ketidakjujuran. Perbuatan ini menjadi tercela
karena mengambil yang bukan haknya, tetapi yang berhak untuk itu adalah seluruh
warga negara. Perbuatan korupsi kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat
buruk misalnya perbuatan yang jahat dan tercela atau kebejatan moral, penyuapan
dan bentuk ketidakjujuran. 114
Lembaga Transparancy International mengartikan korupsi sebagai suatu
perbuatan yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk
keuntungan pribadi. 115 Berdasarkan pengertian dari Transparancy International
tersebut, dapat dipahami bahwa ada tiga unsur penting dalam pengertian tersebut,
kepercayaan publik, dan keuntungan pribadi.
Menurut
IGM
Nurdjana,
unsur
menyalahgunakan
kekuasaan
yang
dipercayakan (menyangkut sektor publik dan sektor swasta) memiliki akses bisnis
dalam mencari keuntungan materi. Keuntungan materi tersebut berupa keuntungan
pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi tidak selalu hanya untuk pribadi orang yang
menyalahgunakan kekuasaan dan kawan-kawannya, tetapi juga untuk memenuhi
kepentingan anggota keluarganya. 116
Kemudian menurut Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., mengatakan korupsi
mengandung pengertian kecurangan, penyelewenangan atau penyalahgunaan jabatan
114
Lilik Mulyadi, Op. cit., hal. 78-79.
P. Pope, Strategi Pemberantasan Korupsi Elemen Sistem Integrias Nasional, (Jakarta:
Transparansi Internasional Indonesia, Yayasan Obor Pancasila, 2003), hal. 6.
116
IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi ”Perspektif Tegaknya
Keadilan Melawan Mafia Hukum”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 15.
115
52
untuk kepentingan diri sendiri, dan pemalsuan. 117 Pengertian ini terlalu sempit dalam
menerjemahkan arti korupsi, hanya untuk kepentingan diri sendiri, padahal pada
faktanya korupsi dilakukan secara berkelompok, bahkan hasil korupsi bisa dibagibagikan kepada orang lain atau kelompok-kelompok tertentu yang istilah populernya
disebut dengan “korupsi berjamaah”.
Pandangan dari A. Gardiner dan David J. Olson, memberikan beberapa
pengertian korupsi dalam berbagai sudut pandangnya yaitu: 118
1. Rumusan korupsi dari sisi pandang pasar, yaitu suatu tindakan seorang abdi
negara (pegawai negeri) yang berjiwa korupsi menganggap instansinya
sebagai perusahaan dagang sehingga dalam pekerjaannya diusahakan sedapat
mungkin pendapatannya bertambah.
2. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat perilaku pejabat Pemerintah
yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal dari suatu peran instansi
Pemerintah demi kepentingan pribadi, keluarga, golongan, kawan atau teman.
3. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat kepentingan umum, bahwa
hak-hak yang dikorupsi adalah hak-hak kepentingan umum.
4. Rumusan korupsi menekankan pada perbuatan suap, yaitu suatu perbuatan
yang memberikan berupa hadiah kepada seseorang yang menyangkut lingkup
jabatannya di bidang kepentingan umum (publik) seperti pejabat Pemerintah.
117
Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal.
118
A. Gardiner dan David J. Olson dalam IGM. Nurdjana, Op. cit., hal. 16-17.
375.
53
5. Rumusan korupsi menekankan dari sisi pandang sosiologi, yaitu korupsi
adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi seperti halnya
sebagai gejala sosial yang rumit.
Rumusan dari A. Gardiner dan David J. Olson tersebut di atas, pada satu sisi
semakin menunjukkan subjektifitas pelakunya yaitu tindakan dari para abdi negara
(pegawai negeri). Namun di sisi lain, bila diperhatikan dari rumusannya yang
mengatakan korupsi dipandang dari sudut gejala sosial yang rumit, maka subjektifitas
pelaku korupsi tidak saja tindakan dari para abdi negara.
Bila dipandang dari sisi gejala sosial yang rumit, maka masyarakat (selain
abdi negara) yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi juga
termasuk dalam rumusan A. Gardiner dan David J. Olson tersebut. Contohnya, orang
yang berjualan barang dagangannya di atas bahu jalan raya milik umum, juga
termasuk dalam rumusan ini sebagai perbuatan korupsi.
Kemudian pendapat Brooks tentang rumusan korupsi adalah “dengan sengaja
melakukan kesalahan atau kelalaian tugas yang diketahui sebagai kewajiban atau
tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
yang sedikit banyak bersifat pribadi”. Sayed Hussein Alatas tidak sependapat dengan
Brooks dan mengatakan definisi Brooks sangat luas sehingga perlu dimodifikasi agar
dapat juga mencakup nepotisme, sebab korupsi pada umumnya melibatkan orang-
54
orang terdekat, teman-teman dalam satu instansi bahkan antar instansi, dan
keluarga. 119
Pemikiran Sayed Hussein Alatas ini tampaknya mendasarkan pengertian pada
“korupsi berjamaah”, korupsi tidak saja dapat dilakukan oleh orang seorang secara
sendiri-sendiri, tetapi cenderung dilakukan secara bersama-sama, atau bahkan
melibatkan orang-orang terdekat, keluarga, dan teman sejawat. Bukan tidak mungkin
korupsi dilakukan secara sendiri, tetapi yang paling umum terjadi dalam praktik
adalah perbuatan itu dilakukan lebih dari satu orang atau melibatkan orang lain.
Korupsi erat kaitannya dengan Kolusi dan Nepotisme (KKN), masalah ketiga
unsur ini bukan saja sebagai masalah nasional suatu negara, tetapi sudah menjadi
masalah dunia internasional yang harus dicegah dan diberantas. Ketiga kata ini
memiliki batasan yang sangat tipis karena dalam praktik, sering kali menjalin
hubungan dalam satu kesatuan tindakan yang utuh dan merupakan unsur-unsur dari
perbuatan korupsi.
Ketercelaan terhadap korupsi karena perbuatan tersebut menyangkut
pengambilan dana-dana atau uang negara yang menjadi hak bagi semua orang atau
warga negara dalam satu negara tertentu. Pada faktanya perilaku korupsi dilakukan
secara sistemik, misalnya antara korupsi, kolusi, dan nepotisme selalu memiliki
korelasi kuat dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
119
Brooks dalam Sayed Hussein Alatas, Korupsi Sebab Sifat dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES,
1987), hal. 1, lihat juga Prodjohamidjojo, M., Op. cit., hal. 11.
55
Menimbang, mengingat, dan memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari
perbuatan korupsi, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, masalah
korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dicegah dan diberantas. Pembiaran dengan
segala persoalan menyangkut lemahnya penegakan hukum terhadap korupsi,
membuat sebuah negara menemukan kesulitan dalam membangun menuju negara
yang sejahtera, adil, dan makmur.
Sementara menurut Suyatno, mendefinisikan korupsi begantung pada disiplin
ilmu yang dipergunakan. Menurutnya, pengertian korupsi harus didefinisikan menjadi
4 (empat) jenis yaitu: 120
1. Discretionary corruption, yaitu korupsi yang dilakukan karena danya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat
sah, namun bukanlah merupakan praktik-praktik yang dapat diterima oleh
anggota organisasi;
2. Illegal corruption, yaitu suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, dan peraturan tertentu;
3. Marceney corruption, ialah suatu jenis tindakan untuk memperoleh
keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;
4. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi illegal maupun discretionay yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Pendapat Suyatno tersebut memandang korupsi pada suatu pengecualian,
bilamana dapat dilaksanakan dengan sutuasi dan kondisi tertentu dan wajib diambil
keputusan, jika tidak bisa mendatangkan malapetaka atau bahkan kerugian negara
yang lebih dahsyat. Prinsip dalam pengecualian ini menurutnya adalah diskresi.
Prinsip diskresi ada sehubungan dengan adanya kebebasan pejabat publik dalam
120
Suyatno, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 17.
56
mengambil kebijakan (beschiking) yang terkadang harus menimbulkan risiko,
tuduhan korupsi atau pujian.
Korupsi merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan
negara. Secara substantif perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang tercela,
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. Sehingga oleh pembuat undangundang dikriminalisasi menjadi tindak pidana korupsi dalam suatu undang-undang.
Sebagaimana menurut M. Lubis dan Scott J.C., korupsi adalah tingkah laku
yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh
para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah
laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi
adalah tercela apabila hukum dilanggar atau tidak berada dalam tindakan sesuai
dengan wewenang. 121 Pandangan ini sejalan dengan tujuan untuk mengkriminalisasi
korupsi menjadi sejenis tindak pidana di dalam suatu undang-undang.
Pandangan tentang korupsi akan ambivalen jika diukur dari perbuatan yang
tercela saja, namun untuk dapat dihukum atau tidak dapat dihukum sebagai perbuatan
tercela, maka harus terlebih dahulu dikriminalisasi menjadi sebuah tindak pidana
dalam suatu undang-undang. Hal ini sejalan dengan asas legalitas yang ditentukan di
dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang berarti menegaskan suatu prinsip kepastian
hukum di dalam negara hukum.
121
19.
M. Lubis dan Scott, J.C., Korupsi Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal.
57
Walaupun sebahagian kalangan memberikan pengertian korupsi juga
menyangkut makna yang lebih luas termasuk yang tidak diatur dalam undangundang, namun pengertian tersebut tidak bisa diakomodasi dalam penegakan hukum
korupsi, sebab Indonesia menganut sistim hukum eropa kontinental yang berprinsip
pada kepastian hukum yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga pengertianpengertian yang sangat sederhana dan terlalu luas itu tidak dapat dijadikan tolok ukur
atau standar untuk menghukum pelaku korupsi.
Pengertian korupsi yang menjadi tolok ukur untuk mengatakan suatu
perbuatan itu sebagai tindak pidana adalah perbuatan yang telah dilarang di dalam
UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Sehingga pemahaman
tentang korupsi hanya dibatasi pada pengertian yuridis saja di dalam UUPTPK
Pembatasan ini ditekankan agar makna korupsi tidak meluas dalam hubungannya
dengan kewenangan aparat penegak hukum menangani perkara-perkara pidana
khususnya perkara tipikor. Pengertian tipikor hanya difokuskan pada ruang lingkup
perbuatan yang dilarang dalam UUPTPK saja. Sehingga dengan dikriminalisasinya
korupsi ke dalam UUPTPK, maka kata korupsi menjadi sebuah tindak pidana yang
disebut dengan tipikor yang berarti dilarang oleh hukum di Indonesia atau perbuatan
korupsi terkategori sebagai perbuatan yang illegal.
58
C. Ketentuan Perundang-Undangan Yang Mengatur Wewenang Kejaksaan
Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tipikor di Pengadilan Tipikor
Keterkaitan hubungan koordinasi antar sesama aparat penegak hukum mulai
dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Advokat, hingga Lembaga Pemasyarakatan
berada dalam sebuah sistem penegakan hukum yang disebut dengan istilah sistem
peradilan pidana. Salah satu elemen dari sistem peradilan pidana adalah Kejaksaan.
Kejaksaan Republik Indonesia sesuai KUHAP, UU Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, memiliki tugas dan wewenang
untuk menuntut perkara-perkara tindak pidana khususnya tipikor di Pengadilan
Tipikor.
5. KUHAP
Sesuai Pasal 14 KUHAP, dalam pasal tersebut terdapat beberapa wewenang
penuntut umum. Pasal 14 KUHAP yang menentukan:
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk
dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan
oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
59
g.
h.
i.
j.
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
Melakukan penuntutan;
Menutup perkara demi kepentingan umum;
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
Melaksanakan penetapan hakim.
KUHAP tidak menggunakan istilah kejaksaan, melainkan hanya terdapat
istilah jaksa dan penuntut umum.122 Salah satu wewenang penuntut umum dalam
Pasal 14 huruf g KUHAP adalah melakukan penuntutan. Wewenang penuntutan
menurut KUHAP tidak diberikan kepada jaksa, melainkan hanya kepada penuntut
umum. Maksud dari ketentuan ini berarti jaksa dari lembaga kejaksaan mesti
berdasarkan surat perintah sebagai penuntut umum.
Jaksa yang tidak diberikan surat perintah atasannya untuk bertindak sebagai
penuntut umum, maka menurut KUHAP tidak dibenarkan melakukan penuntutan
perkara pidana. Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP tentang pengertian
penuntutan juga tidak memberi wewenang menuntut kepada jaksa melainkan kepada
penuntut umum.
Pasal 1 angka 7 KUHAP menentukan penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa
122
Pasal 1 angka 6 KUHAP.
60
dan diputus hakim di sidang pengadilan. Jelas berdasarkan ketentuan ini penuntut
umum lah yang berwenang melakukan penuntutan bukan jaksa. 123
Penuntut umum dengan mengacu KUHAP adalah jaksa yang diberi
wewenang untuk membuat surat dakwaan, menghadiri persidangan dan melakukan
penuntutan dalam perkara pidana. Selain melakukan penuntutan, penuntut umum
menurut KUHAP bisa melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan jaksa menurut
KUHAP bertugas untuk melakukan penyidikan dan sebagai pelaksana putusan hakim
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. 124
Secara lebih terperinci kewenangan penuntut umum dalam melakukan
penuntutan diatur dalam Bab XV KUHAP mulai dari Pasal 137 s/d Pasal 144
KUHAP. Ketentuan yang terkandung di dalam Pasal 137 KUHAP menegaskan
penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Berdasarkan Pasal 137 KUHAP tersebut dapat dipahami bahwa kewenangan
menuntut oleh penuntut umum tidak terkecuali kepada siapapun yang melakukan
tindak pidana. Apakah itu tindak pidana umum seperti pembunuhan, pencurian,
perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain dan termasuk tindak pidana khusus misalnya
tindak pidana teroris, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana illegal logging,
123
Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Aksara,
1987), hal. 194.
124
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19474/penuntut-umum-atau-jaksa-penuntutumum, diakses tanggal 2 Oktober 2014, artikel yang dipublikasikan di website hukumoniline.com,
pada tanggal 11 Juni 2008.
61
tindak pidana korupsi (tipikor), tindak pidana perpajakan, dan lain-lain, penuntut
umum berwenang menuntu untuk itu.
6. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Wewenang jaksa dan penuntut umum diatur di dalam UU Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan. Bila kemudian dicermati ketentuan pasal-pasal di dalam UU
Kejaksaan, wewenang jaksa dan penuntut umum adalah berbeda. Menurut Pasal 1
angka 1 jo angka 2 UU Kejaksaan, jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang. 125 Sedangkan penuntut umum adalah
jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim. 126
Jika mempedomani Pasal 137 s/d Pasal 144 KUHAP dan Pasal 1 angka 1 dan
angka 2 UU Kejaksaan, dapat dipahami bahwa penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh KUHAP dan UU Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa jabatan
fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi
kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas
kejaksaan terutama sebagai penuntut umum.
125
126
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
62
Penuntut umum berwenang menuntut seorang terdakwa di muka hakim
pidana dengan menyerahkan perkara pidana yang telah dibuat di dalam berkas
perkara kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian
memutuskan perkara pidana. 127 Berdasarkan UU Kejaksaan ini, memberikan batasan
yang luas mengenai siapa yang bisa melakukan penuntutan.
Secara umum tugas dan wewenang kejaksaan berdasarkan Pasal 30 UU
Kejaksaan adalah:
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; 128
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 129
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang; 130
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 131
127
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,
1967), hal. 34.
128
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b dijelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan
pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam
bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan
wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang
rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.
129
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf c dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya dibidang pemasyarakatan.
130
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d dijelaskan bahwa kewewenangan dalam
ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
131
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf e dijelaskan bahwa untuk melengkapi berkas
perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak dilakukan terhadap tersangka;
63
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut
meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Kewenangan menuntut bagi kejaksaan terdapat dalam ketentuan Pasal 30
ayat (1) huruf a UU Kejaksaan. Selain menuntut, kejaksaan juga diberi kewenangan
di bidang perdata dan tata usaha negara, di bidang ketertiban dan ketentraman
umum, dan kewenangan lain oleh undang-undang (vide: Pasal 30 ayat 2 dan ayat 3
junto Pasal 32 UU Kejaksaan), kewenangan lain itu misalnya dapat bertindak
sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) dan lain-lain. 132
Dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan ditentukan, wewenang
menuntut itu lebih ditekankan kepada lembaganya yaitu kejaksaannya daripada
jaksanya atau penuntut umum. Seperti redaksional yang menentukan “kejaksaan
memiliki tugas dan wewenang melakukan penuntutan”. 133 Redaksi ini berbeda
dengan KUHAP yang menekankankan kepada jaksanya dan penuntut umum saja,
b.
Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan
masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara;
c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan
Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana;
d. Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
132
Tambok Nainggolan, Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar,
(Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 28.
133
Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
64
sedangkan dalam UU Kejaksaan disebutkan secara umum wewenang penuntutan itu
diserahkan kejaksaannya. Oleh sebab itu pimpinan kejaksaan lah yang menentukan
siapa jaksa-jaksa yang diperintahkan untuk melakukan penuntutan. Jaksa yang
mendapat surat perintah melakukan penuntutan inilah yang disebut penuntut umum.
Ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan ini mengandung makna
bahwa wewenang penuntutan diberi hak secara general kepada institusinya yaitu
kejaksaan, bukan kepada jaksa atau penuntut umum. Itu berarti semua jaksa-jaksa
yang terhimpun di dalam institusi kejaksaan, berhak bertindak sebagai penuntut
umum jika didasarkan kepada surat perintah dari atasan atau pimpinannya. Jika
pimpinan tidak memberikan surat perintah kepada jaksa sebagai penuntut umum
dalam perkara tertentu, maka jaksa tersebut tidak berwenang melakukan penuntutan
perkara yang dimaksud.
Secara umum kewenangan diartikan sebagai kekuasaan yang menegaskan
suatu kemampuan dari orang atau golongan untuk menguasai orang lain atau
golongan lain berdasarkan kewibawaan, kewenangan, kharisma atau kekuatan
fisik. 134 Istilah kewenangan disebut juga authority (Inggris), theorie van het gezag
(Belanda), theorie der autoritat (Jerman). 135
H.D. Stoud, menerjemahkan kewenangan sebagai keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh
134
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), hal. 801.
135
Ridwan AR., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal.
110.
65
subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. 136 Dari pengertian ini,
kewenangan lebih identik dengan yang diatur dalam perundang-undangan. Walaupun
semua orang berwenang, namun wewenang dimaksud dalam pengertian ini adalah
wewenang yang ditentukan dalam perundang-undangan saja.
Berdasarkan pengertian tersebut kewenangan diharuskan ditentukan oleh
aturan-aturan hukum dan sifatnya berhubungan dengan hukum. Sebelum berbuat
sesuatu, maka seseorang dalam jabatannya harus ditentukan terlebih dulu di dalam
aturan-aturan hukum dan undang-undang, jika dalam undang-undang sudah ada
ditentukan kewenangan terhadap suatu institusi, maka aparatur dari institusi itu baru
bisa dikatakan berwenang untuk melakukan suatu tindakan hukum.
Sekalipun wewenang itu diberikan oleh undang-undang kepada institusi
kejaksaan untuk melakukan penuntutan, namun penting untuk diketahui bahwa jika
wewenang itu tidak didasarkan pada surat perintah pimpinan dari institusi atau yang
berhak untuk itu, maka wewenang untuk menuntut tidak sah secara hukum. Max
Weber mengatakan hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial dimaksud
untuk menetapkan kebijakan-kebijakan, menentukan keputusa