Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UUPTPK), perlu
dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK) yang
independen dengan tugas dan wewenangnya melakukan pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat Tipikor). 1 Sehingga pada tanggal 27 Desember
2002, Pemerintah mengundangkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UUKPK).
Dasar pembentukan Pengadilan Tipikor ditentukan di dalam Pasal 53
UUKPK. 2 Ketentuan ini pernah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan
dengan UUD Tahun 1945 3, sehingga diatur kembali Pengadilan Tipikor tersebut

1

Konsideran huruf c UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (disingkat UUPTPK).
2
Konsideran huruf c UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(UU Pengadilan Tipikor).
3
Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, hlm. 289.
Lihat juga: http://acarapidana.bphn.go.id/wp-content/uploads/2011/12/Putusan-MK-No.-012-016-019PUU-IV-2006.pdf, diakses tanggal 1 Mei 2014, tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012016-019/PUU-IV/2006. Dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 ini, telah membatalkan
ketentuan Pasal 53 UUKPK yang mengatur keberadaan Pengadilan Tipikor. Putusan itu merupakan
putusan perkara pengujian undang-undang (constitutional review) yang diajukan oleh Mulyana W.

1

2

dengan undang-undang yang baru yaitu UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (disingkat UU Pengadilan Tipikor).
Salah satu amanat dari UU Pengadilan Tipikor adalah pembentukan
Pengadilan Tipikor yang berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. 4 Khusus
untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap

kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang
bersangkutan. 5
Konsekuensi dari dibentuknya Pengadilan Tikipor maka terhadap semua
perkara tipikor harus diadili di Pengadilan Tipikor. 6 Dibentuknya Pengadilan Tipikor
ini sehubungan dengan perkembangan tipikor telah menimbulkan kerusakan dalam
berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga upaya
pencegahan dan pemberantasan tipikor perlu dilakukan secara terus-menerus dan

Kusuma, dkk. MK dalam putusan tersebut menilai bahwa ketentuan Pasal 53 UUKPK bertentangan
dengan UUD 1945, karena telah terjadi dualisme penegakan hukum dalam sistem peradilan tipikor.
Dualisme yang telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak-hak konstitusional para
pemohon. Dalam putusan tersebut, MK juga meminta pembuat undang-undang harus sesegera
mungkin melakukan penyelarasan UUKPK dengan UUD 1945 dan membentuk UUKPK yang baru
sebagai satu-satunya sistem peradilan tipikor, sehingga dualisme sistem peradilan tipikor yang telah
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dapat dihilangkan. Untuk itu MK memberikan jangka
waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak putusan dibacakan. Apabila pada saat jatuh tempo 3 (tiga)
tahun Pengadilan Tipikor tidak dibentuk dengan undang-undang tersendiri, maka seluruh penanganan
perkara tipikor menjadi wewenang Pengadilan Negeri yang berada dalam lingkungan peradilan
umum.
4

Pasal 3 UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU
Pengadilan Tipikor).
5
Pasal 4 UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU
Pengadilan Tipikor).
6
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d47cfb9172b5/seluruh-perkara-korupsi-diadilidi-pengadilan-tipikor, diakses tanggal 1 Mei 2014. Artikel Lepas (tanpa penulis) yang dipublikasikan
pada tanggal 1 Februari 2011 di situs resmi hukumonline, berjudul, “Seluruh Perkara Korupsi Diadili
di Pengadilan Tipikor”.

3

berkesinambungan yang menuntut peningkatan kapasitas sumber daya, baik
kelembagaan,

sumber

daya

manusia,


maupun

sumber

daya

lain,

serta

mengembangkan kesadaran, sikap, dan perilaku masyarakat antikorupsi agar
terlembaga dalam sistem hukum nasional.
Beberapa literatur menyebutkan seputar perkembangan tipikor di Indonesia
menjadi sedemikian parah dan akut, bahkan sudah menjadi “penyakit sosial”. 7 Modus
operandi tipikor selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. 8 Tipikor
hampir dapat ditemui dimana-mana, mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi,
hingga penerima suap (gratifikasi). Masalah tipikor di Indonesia sudah merupakan
virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pejabat pemerintahan sehingga sejak tahun
1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai masa

kini. 9
Tipikor disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), tetapi juga kejahatan transnasional. 10 Tipikor sebagai kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime), berarti upaya pencegahan dan pemberantasannya perlu
dilakukan penanganan yang luar biasa pula yang didukung oleh berbagai sumber
daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan

7

Juniadi Soewartojo, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan
Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 4.
8
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No.
20 Tahun 2001), (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 6.
9
Romli Atmasasmita (I), Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,
(Bandung: Mandar Maju, 2004), hal. 1.
10
Marwan Effendy, ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi
Jurnalis, Surabaya, 2007, hal. 1.


4

kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkan
kesadaran dan sikap masyarakat yang anti korupsi.
Dampak dari tipikor bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara akan
melemahkan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan serta menghambat
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). 11 Oleh sebabnya, semua
elemen haru serius untuk memberantas korupsi dengan melibatkan secara optimal
para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). 12
Kebutuhan pentingnya Pengadilan Tipikor di Indonesia sudah tidak bisa
dibantahkan urgensinya demi terselenggaranya penegakan hukum dan menciptakan
keadilan, tanpa upaya pencegahan dan pemberantasannya, penegakan hukum tipikor
niscaya sulit untuk diwujudkan. Urgensi Pengadilan Tipikor tersebut ditindaklanjuti
oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mengeluarkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 191/KMA/SK/XII/2010
tanggal 1 Desember 2010 tentang Pembentukan Pengadilan Tipikor

pada


Pengadilan Negeri Bandung, Pengadilan Negeri Semarang dan Pengadilan Negeri
Surabaya. 13
Kemudian Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
022/KMA/SK/II/2011 tanggal 7 Februari 2011 tentang Pembentukan Pengadilan
11

Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti
Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1.
12
Romli Atmasasmita (II), Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung:
Mandar Maju, 1995), hal. 135. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu kesatuan
proses pengadilan pidana yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya dalam penegakan
hukum pidana.
13
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 191/KMA/SK/XII/2010
tanggal 1 Desember 2010.

5

Tipikor


pada

Pengadilan Negeri Medan, dibentuk Pengadilan Negeri Padang,

Pengadilan Negeri Pekanbaru, Pengadilan Negeri Palembang, Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, Pengadilan Negeri Serang, Pengadilan Negeri Yogyakarta,
Pengadilan Negeri Banjarmasin, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri
Samarinda, Pengadilan Negeri Makasar, Pengadilan Negeri Mataram, Pengadilan
Negeri Kupang dan Pengadilan Negeri Jayapura. 14
Terakhir

Keputusan

Mahkamah

Agung Nomor: 153/KMA/SK/X/2011

tanggal 11 Oktober 2011 tentang Pembentukan Pengadilan Tipikor, dibentuk
Pengadilan Negeri Palangkaraya, Pengadilan Banda Aceh, Pengadilan Tanjung

Pinang, Pengadilan Jambi, Pengadilan Pangkal Pinang, Pengadilan Bengkulu,
Pengadilan Mamuju, Pengadilan Palu, Pengadilan Kendari, Pengadilan

Manado,

Pengadilan Gorontalo, Pengadilan, Denpasar, Pengadilan Ambon, Pengadilan
Ternate, dan Pengadilan Manokwari. 15
Penanganan perkara tipikor dilakukan di wilayah hukum masing-masing
Pengadilan Tipikor yang sudah dibentuk tersebut menjadi berbeda dengan
sebelumnya. Seluruh perkara tipikor yang ditangani oleh seluruh Kejaksaan di
wilayah hukum masing-masing yang telah dibentuk Pengadilan Tipikor-nya akan
dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor tersebut. Dibentuknya Pengadilan Tipikor di

14

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 022/KMA/SK/II/2011
tanggal 7 Februari 2011.
15
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 153/KMA/SK/X/2011
tanggal 11 Oktober 2011.


6

daerah kabupaten/kota, tentu akan membawa banyak perubahan yang berarti dalam
penegakan hukum dan mencari keadilan.
Sehubungan dengan itu, bahwa Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan asas peradilan yang baik harus dilakukan
dengan sederhana mungkin, cepat, dan biaya yang ringan. Asas peradilan yang
sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara harus dilakukan dengan cara
efesien dan efektif. Sedangkan asas peradilan dengan biaya ringan adalah biaya
perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. 16
Namun demikian, asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam
pemeriksaan

dan

penyelesaian

perkara


di

pengadilan

tidak

mesti

harus

mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Penyelenggaraan peradilan tidak sekedar hakim memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara tetapi bagaimana sistem peradilan itu harus mampu pula memberikan
pelayanan yang baik, efektif, sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sebab sistem
peradilan pidana yang baik, efektif, sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat
memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan, dan lain-lain.
Soerjono Soekanto mengatakan, fasilitas atau sarana penunjang merupakan
faktor penting dapat mewujudkan tujuan. 17 Tentu di samping faktor ketentuan
perundang-undangan, faktor penegak hukum, dan faktor budaya, serta faktor-faktor
lain seperti faktor fasilitas dan sarana penunjang perlu pula menjadi hal yang urgen
16

Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta:
Rajawali, 1980), hal. 17.
17

7

ditempatkan dalam mencapai tujuan menciptakan keadilan bagi para pencari keadilan
di dalam sistem peradilan pidana.
Fasilitas yang dimaksud di sini adalah semua fasilitas dan atau sarana
prasarana yang dapat digunakan dalam sistem peradilan pidana semata-mata untuk
mencapai tujuan penegakan hukum dan keadilan. Fasilitas tersebut dapat berupa
gedung-gedung lembaga, komputer, alat-alat komunikasi, ruang sidang, kendaraan,
kertas, karbon, mesin tik, keuangan, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas tersebut
meskipun sebagai sarana penunjang, namun perannya sedemikian urgen sangat
diperlukan. 18
Bagaimana penegakan hukum dan keadilan akan mudah dilaksanakan dan
dicapai jika fasilitas atau sarana dan prasarana penunjang di dalam sistem peradilan
pidana tidak mendukung. Tentu menjadi masalah jika hal ini terjadi, dan bagaimana
pula bagi aparat penegak hukum dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara
efektif jika tidak diimbangi dengan fasilitas-fasilitas pendukung tersebut. Apalagi
dalam hal kebutuhan akan Lembaga Pengadilan Tipikor merupakan perintah oleh
UUPTPK, UUKPK, terutama di dalam UU Pengadilan Tipikor, tentu Pengadilan
Tipikor menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan urgen diperlukan saat ini
untuk memberantas tipikor yang penanganannya dikecualikan secara khusus
dibandingkan dengan penanganan perkara-perkara pidana umum dan perkara lainnya.

18

Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Dilengkapi Dengan 4 UndangUndang di Bidang Sistem Peradilan Pidana, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hal. 59.

8

Urgensi faktor fasilitas atau sarana dan prasarana penunjang di dalam
penyelenggaraan peradilan pidana menggambarkan suatu kondisi berikut: 19
1. Apa yang sudah ada, tentu harus dipelihara agar setiap saat dapat difungsikan;
2. Apa yang belum ada, maka perlu diadakan dengan memperhatikan kebutuhan
yang medesak;
3. Apa yang kurang, maka perlu dilengkapi;
4. Apa yang macet, maka harus dilancarkan; dan
5. Apa yang telah lama (kolot) dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman,
maka perlu ditinggalkan dan diperbaharui.
Chamliss dan Seidman mengatakan tentang faktor ini merupakan salah satu
faktor penting di dalam penyelenggaraan peradilan yaitu kendala keadaan yang selalu
menekan pada hakim (situation pressure on the judge). 20 Hal ini berarti kebutuhan
akan kemampuan hakim-hakim khusus untuk mengangani perkara-perkara korupsi
sangat perlu diadakan, sehingga urgensi keberadaan Pengadilan Tipikor mutlak
diperlukan. Masalahnya apakah yang terjadi jika Pengadilan Tipikor hanya ada satu
di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (selanjutnya disingkat NAD) yaitu Pengadilan
Tipikor yang berkedudukan di Banda Aceh.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 153/KMA/SK/X/2011,
Pengadilan Tipikor di Banda Aceh dibentuk pada tanggal 11 Oktober 2011. Hal ini
berarti di wilayah Propinsi NAD untuk seluruh Jumlah Kejaksaan Negeri yang ada

19

Ibid., hal. 16.
William J. Chamliss & Roberto Seidman, Law Order and Proper, (Massachusetts: Addison
Wesley Publishing Company, 1971), hal. 91-107. Dalam buku ini disebutkan bahwa faktor-faktor
tersebut adalah: bahan-bahan (the way in which the issues are presenterd), kebijakan yang dipilih
(policy), ciri sosial dan pribadi hakim (the personal attribute of the judge), kendala keadaan (situation
pressure on the judge), kendala organisasi (organization pressure in him), dan alternatif-alternatif
peraturan yang dapat digunakan (alternative permissiable rules of law).
20

9

hanya ada satu Pengadilan Tipikornya untuk melimpahkan berkas perkara tipikor
yakni Pengadilan Tipikor Banda Aceh yang berkedudukan di Propinsi NAD.
Amanat Pasal 3 UU Pengadilan Tipikor memerintahkan bahwa Pengadilan
Tipikor berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Berarti bukan hanya
berkedudukan di ibu kota propinsi yang dalam hal ini Pengadilan Tipikor Banda
Aceh berada di wilayah Propinsi NAD untuk keseluruhan, tetapi harus Pengadilan
Tipikor harus berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri.
Bila hanya ada satu-satunya Pengadilan Tipikor Banda Aceh berada di
wilayah Propinsi NAD untuk seluruh Kejaksaan Negeri di Propinsi NAD, akibatnya,
kendatipun pelaksanaan penegakan hukum tetap berjalan, namun dalam kondisi ini
terdapat beberapa hal yang menjadi kendala seperti jauhnya jarak antara Kejaksaan
Negeri Kuala Simpang dengan Pengadilan Tipikor Banda Aceh yaitu berjarak ± 473
kilometer. Kondisi ini juga berakibat pada sulitnya menghadirkan saksi-saksi
disebabkan jarak yang cukup jauh tersebut. Selain itu, tentu biaya operasional yang
diperlukan cukup besar untuk setiap kali mengikuti persidangan.
Untuk melakukan persidangan pada umumnya dilakukan satu kali dalam
seminggu di Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan
Negeri Kuala Simpang harus membawa saksi-saksi untuk dihadirkan di persidangan
tipikor yang sebahagian besar berasal dari Aceh Tamiang dan Kuala Simpang.

10

Dibandingkan dengan sebelum berdirinya Pengadilan Tipikor, Kejaksaan Negeri
Kuala Simpang hanya melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri setempat
(Pengadilan Negeri Kuala Simpang).
Kendala-kendala itu juga dapat dirasakan akibatnya bagi aparatur kejaksaan
terutama bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari kejaksaan negeri lainnya karena jarak
Kejaksaan Negeri dengan tempat Pengadilan Tipikor Banda Aceh cukup jauh. Bahwa
di Propinsi NAD terdapat satu kantor Kejaksaan Tinggi dan 22 (dua puluh dua)
kantor Kejaksaan Negeri yaitu: Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Kejaksaan Negeri
Sabang, Kejaksaan Negeri Sigli, Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, Kejaksaan Negeri
Langsa, Kejaksaan Negeri Takengon, Kejaksaan Negeri Meulaboh, Kejaksaan Negeri
Tapaktuan, Kejaksaan Negeri Kutacane, Kejaksaan Negeri Bireun, Kejaksaan Negeri
Lhoksukon, Kejaksaan Negeri Idi, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, Kejaksaan
Negeri Sinabang, Kejaksaan Negeri Calang, Kejaksaan Negeri Singkel, Kejaksaan
Negeri Blangkejeren, Kejaksaan Negeri Jantho, Kejaksaan Negeri Balngpidie,
Kejaksaan Negeri Suka Makmue, Kejaksaan Negeri Simpang Tiga Redelong, dan
Kejaksaan Negeri Meureudu.21
Jumlah kasus tipikor sebelum Pengadilan Tipikor Banda Aceh didirikan pada
tahun 2011, yakni antara tahun 2008 s/d tahun 2011, Kejaksaan Negeri Kuala
Simpang melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri Kuala Simpang sebanyak 11

21

Sumber diperoleh dari Panitera Kejaksaan Tinggi Aceh, lihat juga di: http://www.kejatiaceh.go.id/, diakses tanggal 2 Mei 2014 di wesite resmi Kejaksaan Tinggi Aceh.

11

(sebelas) perkara. 22 Jumlah kasus tipikor setelah tahun 2011 atau setelah berdirinya
Pengadilan Tipikor di Banda Aceh, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang memiliki
perkara tipikor yang dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Banda Aceh yaitu 18
(delapan belas) perkara yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tipikor Banda
Aceh. 23
Sebelum

disahkannya UU

Nomor

46 Tahun 2009 tentang Pengadilan

Tipikor (UU Pengadilan Tipikor), Kejaksaan Tinggi Aceh beserta 22 (dua puluh
dua) Kejaksaan Negeri tersebut melimpahkan perkara tipikor ke lingkungan
Pengadilan Negeri sesuai dengan masing-masing wilayah hukumnya. Namun sejak
disahkannya UU Pengadilan Tipikor dan dibentuknya Pengadilan Tipikor di Banda
Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh dan seluruh Kejaksaan Negeri yang berada di Propinsi
NAD harus melimpahkan perkara Tipikor ke Pengadilan Tipikor di Banda Aceh.
Pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah merupakan amanah dari UU
Pengadilan Tipikor yaitu pengadilan khusus yang diberi wewenang oleh undangundang untuk memeriksa dan memutus perkara korupsi. Seluruh perkara korupsi
hanya dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tipikor dan bagi penyidik
kepolisian, penyidik kejaksaan penyidik KPK harus melimpahkan seluruh perkara
tipikor ke Pengadilan Tipikor.
UU Pengadilan Tipikor mengamanahkan pembentukan Pengadilan Tipikor
pada setiap

22
23

kabupaten/kota di

seluruh

Kejaksaan Negeri Kuala Simpang.
Panitera Pengadilan Tipikor Banda Aceh.

Indonesia,

namun

untuk

sementara

12

berdasarkan surat keputusan MA tersebut di atas terlebih dahulu dibentuk Pengadilan
Tipikor di 33 (tiga puluh tiga) ibu kota propinsi di Indonesia. Untuk itulah di
Propinsi NAD dibentuk Pengadilan Tipikor di Banda Aceh tersebut untuk seluruh
Kejaksaan Negeri yang ada di seluruh wilayah Propinsi NAD.
Berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh membuat Kejaksaan Tinggi
Aceh dan 22 (dua puluh dua) Kejaksaan Negeri di Propinsi NAD melimpahkan
seluruh perkara korupsi ke Pengadilan Tipikor di Banda Aceh. Dibentuknya
Pengadilan Tipikor di Banda Aceh tersebut menimbulkan beberapa permasalahan
sehubungan dengan proses penanganan perkara bagi aparatur Kejaksaan Negeri
Kuala Simpang dan begitu pula bagi aparatur Kejaksaan Negeri lainnya di NAD.
Terutama beberapa kantor Kejaksaan Negeri di Propinsi NAD yang berjarak cukup
jauh dengan Pengadilan Tipikor Banda Aceh.
Walaupun demikian bukan berarti penegakan hukum terhadap pemberantasan
tipikor yang diemban oleh kejaksaan menjadi terhenti. Namun setidaknya dengan
kondisi ini tentu membawa akibat-akibat di dalam sistem penegakan hukum dan
keadilan yang kurang efektif berjalan. Oleh karena itu di dalam penelitian ini
berupaya untuk mencari dan mengetahui permasalahan yang muncul dan berupaya
memberikan solusi terhadap persoalan dimaksud sebagai salah satu strategi untuk
menciptakan keberhasilan dalam pemberantasan tipikor.

13

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan
tiga hal permalasahan yang diteliti di dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana ketentuan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan
wewenang kejaksaan dalam melakukan penuntutan terhadap perkara tipikor di
Pengadilan Tipikor?
2. Bagaimana pelaksanaan penanganan perkara tipikor di Kejaksaan Negeri
Kuala Simpang sebelum dan sesudah berdirinya Pengadilan Tipikor Banda
Aceh?
3. Apa upaya-upaya progresif yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri
Kuala Simpang sebagai langkah strategi pemberantasan korupsi setelah
berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh?

C. Tujuan Penelitian
Adapaun yang menjadi tujuan dari pelaksaksanaan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui perbedaan proses birokrasi penanganan perkara tipikor di
Kejaksaan Negeri Kuala Simpang sebelum dan sesudah berdirinya Pengadilan
Tipikor di Banda Aceh.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh aparatur Kejaksaan
Negeri Kuala Simpang dalam proses penanganan tipikor setelah berdirinya
Pengadilan Tipikor di Banda Aceh.

14

3. Untuk mengetahui upaya-upaya progresif yang dapat dilakukan oleh
Kejaksaan Negeri Kuala Simpang sebagai langkah strategi pemberantasan
korupsi setelah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat yang berguna baik secara teoritis
maupun praktis, antara lain:
1. Secara teoritis, bermanfaat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam
memahami dan menganalisis permasalahan hukum yang terdapat di dalam
penanganan perkara tipikor di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dan di
Pengadilan Tipikor Banda Aceh. Bermanfaat pula menjadi bahan referensi
bagi peneliti selanjutannya untuk menambah wawasan dan memberikan
kontribusi bagi ilmu pengetahuan hukum.
2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum
khususnya bagi Polri, Jaksa Penuntut Umum, advokat, dan para hakim yang
menangani perkara tipikor, bermanfaat pula bagi masyarakat betapa
pentingnya Pengadilan Tipikor dalam penyelenggaraan penegakan hukum di
Indonesia.

E. Keaslian Penelitian
Sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas
Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU dengan tujuan

15

untuk menghindari plagiat terhadap karya ilmiah milik orang lain. Hasil penelusuran
ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini:
1. Tesis atas nama Raja Oberlin, NIM: 067005038, judul tesis “Analisis
Komparatif Kewenangan Kejaksaan dan KPK Dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi (Analisis Kontradiktif dan/atau Koordinatif)”. Fokus kajian di
dalam penelitian ini difokuskan pada kewenangan kejaksaan dan KPK dalam
penanganan tindak pidana koripsi.
2. Tesis atas nama Susilawati, NIM: 982105028, judul tesis, “Peranan Hakim
Dalam Pengimplementasikan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dalam
Rangka Memberantas Korupsi (Studi Kasus Dalam Wilayah Hukum
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara)”. Fokus kajian di dalam penelitian ini
membahas masalah peranan hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi
di Sumatera Utara, walaupun tentang peranan hakim, tetapi bukan membahas
masalah Pengadilan Tipikornya.
Sedangkan judul pada penelitian ini adalah “Penanganan Perkara Tindak
Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah
Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah” dan permasalahan yang
akan dibahas adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan proses birokrasi penanganan perkara tipikor di
Kejaksaan Negeri Kuala Simpang sebelum dan sesudah berdirinya Pengadilan
Tipikor di Banda Aceh?

16

2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh aparatur Kejaksaan Negeri Kuala
Simpang dalam proses penanganan tipikor setelah berdirinya Pengadilan
Tipikor di Banda Aceh?
3. Apa upaya-upaya progresif yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri
Kuala Simpang sebagai langkah strategi pemberantasan korupsi setelah
berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh?
Dari perbandingan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya jelas
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penelitian ini berarti menunjukkan keaslian,
terhadap judul dan rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak memiliki kemiripan
sam sekali dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga
penelitian ini adalah asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Kerangka teori diperlukan untuk menganalisis permasalahan di dalam
penelitian ini, bahwa teori yang dipandang tepat untuk menganalisis ketiga rumusan
masalah tersebut adalah teori sistem hukum (legal system theory) namun teori ini
perlu pula didukung dengan teori-teori hukum progresif untuk mengarahkan teori
teori sistem hukum tersebut menjadi lebih progresif dilakukan, bukan saja bersifat
konvensional dan kaku sebagaimana yang telah ada selama ini di dalam praktik,
tetapi diperlukan cara-cara progresif untuk menciptakan peradilan yang sederhana
mungkin, cepat, dan biaya yang ringan.

17

a. Teori Sistim Hukum
Kata “sistem” berasal dari kata “systema” yang diadopsi dari basaha Yunani
yang diartikan “sebagai keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian”.24
Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta
dengan adanya sistem hukum. 25 Hal ini menggambarkan kondisi penegakan hukum
termasuk sistem peradilan pidana berada dalam sistim besar yaitu teori sistim hukum
(legal system theory).
JH. Merryman, mengatakan, “Legal system is an operating set of legal
institutions, procedures, and rules”. 26 Dalam teori JH. Merryman ini sistem hukum
merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan
aturan hukum. Menurut Lawrence Milton Friedman, bahwa dalam sistem hukum
harus meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum. 27
Jika membicarakan teori sistim hukum, maka di dalamnya senantiasa terdapat
tiga komponen yang dilibatkan, sebagaimana menurut Lawrence Milton Friedman,
masing-masing yaitu: 28
1) Struktur hukum. Mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik
lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak hukum seperti:
Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat.
24

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 4.
25
Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal.
71.
26
JH. Merryman dalam Ade Maman Suherman, Loc. cit.
27
Lawrence M. Friedman diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.
28
Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta:
Kencana, 2009), hal. 204.

18

2) Substansi hukum. Mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan
asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundangundangan.
3) Kultur hukum. Mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik atas
karena kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik
dari perilaku aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah
maupun dari perilaku warga masyarakat dalam menerjemahkan hukum
melalui perilakunya, dan lain-lain.
Bagian penting yang dibicarakan dalam sistem hukum adalah masalah
prosedur (dalam JH. Merryman) dan struktur hukum (dalam Lawrence Milton
Friedman). Alasan memfokuskan analisis ini pada prosedur dan struktur hukum
bahwa prosedur dan struktur hukum menyangkut masalah penegakan hukum (law
inforcement) tipikor di dalam Pengadilan Tipikor.
Dalam teori penegakan hukum menurut Joseph Goldstein membedakan
penegakan hukum pidana menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: total enforcement, full
enforcement, dan actual enforcement. Mengenai total enforcement, menyangkut
penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana
substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak
mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum
acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. 29

29

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP,
1995), hal. 40. Dalam tahapan-tahapan itu, hukum pidana substantif memberikan batasan-batasan.
Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht
delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.

19

Sedangkan full enforcement, menyangkut penegakan hukum pidana yang
bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement yang dalam penegakan
hukum ini para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal.
Kemudian dalam actual enforcement, menurut Joseph Goldstein actual enforcement
merupakan redusi (sisa) dari full enforcement. Di mana bahwa full enforcement
dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam
bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya
mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut
dengan actual enforcement. 30
Dalam konteks kajian di dalam penelitian ini, sehubungan dengan pendapat
Muladi, yang mengemukakan, “Penggunaan upaya hukum (termasuk hukum pidana)
dalam penegakan hukum merupakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum”. 31 Maka perlu
ditindaklanjuti upaya pelaksanaan penegakan hukum itu secara baik sesuai dengan
ketentuan yang telah ditentukan dalam perundang-undangan.
Dalam ranah penegakan hukum, Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan perlu
diperhatikan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum itu sendiri
yaitu: struktur, substansi dan kultur. 32 Di mana suatu kondisi penegakan hukum yang
tidak sesuai dengan tujuan-tujuan hukum itu sendiri untuk menciptakan ketertiban,
30

Ibid.
Ibid., hal. 35.
32
Harkristuti Harkrisnowo, “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai
Supremasi Hukum yang Berkeadilan”, Artikel pada Jurnal Keadilan Vol. 3, Nomor 6 Tahun
2003/2004.
31

20

kemanfaatan, dana kesejahteraan bagi masyarakat, maka perlu kiranya kinerja
komponen dalam sistim peradilan pidana dikoreksi guna efektifitas kinerja aparat
penegak hukum itu sendiri.
Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum menurut Soerjono
Soekanto, merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah
satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu
elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak
diinginkan atau terjadi kepincangan hukum. Ketiga elemen ini merupakan bagian dan
faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 33
Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara
peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku
sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi
yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil
tertentu dengan segala keterbatasannya. 34
Sistim peradilan pidana memiliki tujuan untuk mencegah masyarakat menjadi
korban kejahatan; menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas dengan keadilan yang telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

33

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta,
Rajawali, 1983), hal. 5.
34
Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita (III), Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta: Binacipta, 1996), hal. 14.

21

mengusahakan agar pelaku yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya. 35
Kepolisian berperan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
semua kasus-kasus tindak pidana. Kejaksaan berperan melakukan fungsinya di
bidang penuntutan terhadap perkara yang dilimpahkan penyidik kepadanya.
Sementara Pengadilan memainkan peranan penting dalam memeriksa, mengadili dan
menjatuhkan pidana kepada pelaku.
Akan tetapi sejatinya pengadilan itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat
untuk memeriksa dan mengadili, tetapi jauh lebih luas daripada itu. Lembaga tersebut
sudah merupakan suatu masyarakat tersendiri dan didalamnya berlangsung berbagai
proses interaksi di mana para aktor dalam litigasi berperan menegakkan hukum, serta
bertemunya kepentingan-kepentingan yang berbenturan. 36
Komponen sistim peradilan pidana harus selalu saling berhadapan dengan
lingkungannya. Komponen itu tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya
mengingat begitu besar pengaruh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang
kehidupan masyarakat terhadap keberhasilan pencapaian tujuan hukum, meliputi:
interaksi, interkoneksi dan interdependensi. 37

35

Mardjono Reksodiputro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat pada Kejahatan dan
Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi”, Makalah dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar
Tetap Universitas Indonesia, (Jakarta: FHUI, 1993), hal. 1.
36
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2006), hal. 212.
37
Rusli Muhammad, Op. Cit., hal. 1.

22

Teori sistim peradilan pidana juga dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu:
pendekatan normatif, administratif dan sosial. 38 Pendekatan normatif memandang
keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang
berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata. 39
Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum
sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik
hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan
struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut berada dalam satu sistem
yang terintegrasi. 40
Adapun pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga
masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam
melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial. 41
Sistim harus lebih luas dari hukum acara pidana karena cakupan hukum
acara pidana terbatas pada aspek substansinya saja. Sementara itu sistem meliputi
juga selain substansi dan struktur juga budaya hukum. Artinya hukum dilihat tidak
38

Romli Atmasasmita (IV), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2010), hal. 6.
39
Ibid.
40
Ibid, hal. 7
41
Ibid.

23

saja yang diatur secara eksplisit dalam buku (law in the books) tetapi juga
bagaimana konteks dan dalam prakteknya (law in actions). 42 Dalam bahasa Jimly
Ashshidiqy, proses peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, tetapi sebaliknya
tanpa hukum formal maka liar dan bertindak semaunya dan dapat mengarah apa
yang ditakutkan orang sebagai judicial tyrany. 43
Sistem terpadu diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional di
antara para penegak hukum yang sesuai dengan tahap proses kewenangan yang
diberikan undang-undang kepada masing-masing. Aktivitas pelaksanaan sistim
peradilan pidana merupakan fungsi gabungan dari legislator, polisi, jaksa,
pengadilan dan petugas penjara serta badan yang berkaitan dengan baik yang ada di
lingkungan pemerintahan atau diluarnya. Tujuan pokok gabungan fungsi dalam
kerangka sistim hukum adalah untuk menegakkan dan melaksanakan hukum. 44
b. Teori Hukum Progresif
Adanya konsep hukum progresif muncul saat ini sebagai bentuk keprihatinan
terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia yang menimbulkan skeptis negatif
terhadap keleluasan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Kelemahan aparat penegak hukum saat berhadapan dengan hukum cenderung
menimbulkan perlakuan yang tidak adil sehubungan dengan adanya anggapan yang
menganggap keunggulan dari institusi sebagai penegak hukum yang diberikan
42

Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Adhoc; Suatu Studi Teoritis Mengenai
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 46.
43
Ibid.
44
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan, cet. ke-9, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 90.

24

kewenangan untuk melakukan diskresi. Wewenang diskresi dalam praktek cenderung
berpotensi tidak sesuai dengan penerapan penegakan hukum sehingga hak-hak
tersangka, saksi, maupun korban terkadang terabaikan.
Sehubungan dengan kondisi penegakan hukum tipikor dalam kaitannya
dengan teori hukum progresif, maka terdapat suatu hubungan yang saling
bertentangan di mana bahwa asumsi dasar teori hukum progresif mengatakan ”hukum
adalah untuk manusia bukan sebaliknya”. 45 Hukum progresif tidak menerima hukum
sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. 46
Dalam kondisi penanganan perkara tipikor setelah dibentuknya Pengadilan
Tipikor di Banda Aceh dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas-tugas Kejaksaan
Negeri Kuala Simpang, maka terdapat suatu kondisi yang saling dihadapkan pada dua
aspek penting, yaitu pertama pada satu sisi dihadapkan pada penegakan hukum yang
bersifat represif (memaksa) sedangkan di sisi lain hukum progresif memberi hak-hak
luas bagi para pencari keadilan.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, Satjipto Raharjo mengatakan, ”Para
profesional hukum, seperti hakim, jaksa, advokat dan para yuris yang bekerja di
pemerintahan, akan melihat dan mengartikan hukum sebagai suatu bangunan

45

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hal. 5.
46
Ibid, hal. 1.

25

perundang-undangan”. 47 Artinya hukum itu tampil dan ditemukan dalam wujud
perundang-undangan.
Gagasan hukum progresif berupaya untuk mengubah paradigma hukum dalam
konteks hukum adalah hukum. Hukum dalam gagasan progresif adalah untuk
manusia bukan sebaliknya. Hukum harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dan
lebih besar, maka setiap kali ada masalah dalam penegakan hukum, hukumlah yang
semestinya ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa untuk
dimasukkan dalam skema hukum. 48
Teori hukum progresif tidak lepas dari gagasan Satjipto Rahardjo yang galau
dengan cara penyelenggaraan hukum di Indonesia. Meski setiap kali persoalanpersoalan hukum muncul dalam nuansa transisi, namun penyelenggaraan hukum
terus saja dijalankan layaknya kondisi normal dan hampir tidak ada terobosan
yang cerdas menghadapi kemelut transisi pasca orde baru. 49
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi
dasarnya, yaitu “hukum untuk manusia”, dengan demikian manusia menjadi penentu
dan titik orientasi hukum. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya)
harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggara hukum. 50 Pegangan,
optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral

47

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007),

hal. 1.
48

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah…Op. cit., hal. 5.
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), ( Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hal. 212.
50
Ibid.
49

26

dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran
hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya, bukan manusia
untuk hukum. 51
Faktor penyebab munculnya pemikir-pemikir hukum progresif menurut
Philippe Nonet dan Philip Selznick disebabkan karena ketidakmampuan hukum
otonom mengakomodasi perubahan sosial yang terus bergerak secara dinamis.52
Satjipto Rahadjo dengan hukum progresifnya terus melakukan penolakan dan ingin
mematahkan status quo karena dinilainya hampir tidak ada usaha untuk melakukan
perbaikan, yang ada hanya menjalankan aturan hukum seperti apa adanya dan secara
biasa-biasa saja (business as usual). 53
Hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam
berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama, seperti pada waktu
orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolok ukur untuk semuanya, dan manusia
adalah untuk hukum. 54 Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat
pada peraturan tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam
ruang dan waktu yang tepat. Sehingga dengan cara ini para pelaku hukum progresif
dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap

51

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010),

hal. 61.
52

Philippe Nonet dan Philip Selznick diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Hukum
Responsif, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 59-61. Lihat juga: Satjipto Raharjo, Biarkan Hukum
Mengalir, Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2008), hal. 134.
53
Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007),
hal. 114.
54
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum…Op. cit., hal 62.

27

peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).
Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum
progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena
mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu
peraturan. 55
Menurut

Satjipto Rahardjo konsep hukum yang progresif hukum tidak

mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. 56
Sehingga harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam
hubungan-hubungan manusia. 57 Para penegak hukum dituntut melakukan langkahlangkah terobosan dalam menjalankan hukum, tidak sekedar menerapkan peraturan
secara hitam-putih. 58 Maka dengan demikian penegak hukum (polisi, jaksa dan
hakim) dituntut mencari dan menemukan keadilan-kebenaran dalam batas dan di
tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum yang ada. Inilah inti terobosan dalam
hukum progresif. 59
Hukum progresif menggamarkan hukum bukan merupakan suatu institusi
yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat
dan menggunakannya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi
yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk

55

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum…Op.cit.,

hal. 213.
56

Ibid., hal. 217.
Ibid., hal. 214.
58
Ibid., hal. 215.
59
Ibid., hal. 218.
57

28

mengabdi kepada manusia. Hukum progresif selalu berada dalam proses untuk terus
terjadi,

membangun

dan

mengubah

absolutivisme hukum

menuju

tingkat

kesempurnaan yang lebih baik.
Kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasikan ke dalam faktor-faktor
keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat hukum
yang selalu dalam proses terjadi (law is process, law in the making). Hukum tidak
untuk hukum itu sendiri tetapi untuk manusia.60 Sehingga upaya untuk menerapkan
asas peradilan yang baik harus dilakukan dengan sederhana mungkin, cepat, dan
biaya yang ringan, tanpa mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari
kebenaran dan keadilan, 61 merupakan suatu wujud dari pelaksanaan teori hukum
progresif, memberikan kemudahan bagi tersangka, saksi-saksi, maupun bagi aparatur
hukum dalam menjalani mekanisme proses hukum.
2. Landasan Konsepsional
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah yang
digunakan, maka di dalam penelitian ini digunakan landasan konsepsional yaitu:
a. Ketentuan Perundang-Undangan adalah ketentuan perundang-undangan yang
terdapat di dalam UUD 1945, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, UUPTPK, UUKPK, dan UU Pengadilan Tipikor, Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 191/KMA/SK/XII/2010
Tanggal 1 Desember 2010, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik

60
61

Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum....Op. cit., hal. 6.
Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

29

Indonesia Nomor: 022/KMA/SK/II/2011 Tanggal 7 Februari 2011, dan
Keputusan

Ketua

Mahkamah

Agung

Republik

Indonesia

Nomor:

153/KMA/SK/X/2011 Tanggal 11 Oktober 2011.
b. Wewenang Kejaksaan adalah wewenang Kejaksaan Negeri Kuala Simpang
dalam melakukan penuntutan terhadap perkara tipikor di Pengadilan Tipikor
Banda Aceh.
c. Penuntutan adalah serangkaian tindakan penuntut umum dari Kejaksaan
Negeri Kuala Simpang untuk melimpahkan perkara tipikor ke Pengadilan
Tipikor di Banda Aceh yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam KUHAP dan UUPTPK dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang Pengadilan Tipikor.
d. Pelaksanaan penanganan perkara adalah pelaksanaan penanganan perkara
tindak pidana korupsiyang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang
setelah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh.
e. Kejaksaan Negeri Kuala Simpang adalah salah satu kejaksaan negeri dari
sebanyak 22 (dua puluh dua) kantor Kejaksaan Negeri yang berada di
bawah satu kantor Kejaksaan Tinggi di Propinsi NAD.
f. Pengadilan Tipikor Banda Aceh adalah pengadilan tipikor yang dibentuk
berdasarkan

Surat

Keputusan

Mahkamah

Agung

Nomor:

153/KMA/SK/X/2011 Tanggal 11 Oktober 2011 yang hingga pada tahun

30

2015 saat ini masih sebagai satu-satunya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh
untuk seluruh wilayah NAD.
g. Upaya-Upaya Progresif adalah tindakan-tindakan yang dapat dilakukan
sebagai strategi pemberantasan korupsi setelah berdirinya Pengadilan Tipikor
di Banda Aceh dengan mengedepankan prinsip peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya yang ringan.
h. Strategi Pemberantasan Korupsi adalah suatu cara atau metode pemberantasan
korupsi dengan menggunakan upaya-upaya hukum progresif tanpa harus
menerapkan KUHAP secara kaku.
i. Hukum Progresif adalah gagasan hukum yang berupaya untuk mengubah
paradigma hukum dalam konteks hukum adalah hukum (law is law). Hukum
untuk manusia bukan sebaliknya. Proses perubahan tidak lagi berpusat pada
peraturan hukum formalistik semata tetapi pada kreativitas pelaku hukum
mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Hukum progresif
tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Para Polisi,
Jaksa, Hakim, dan Advokat harus berfikir dan berani bertindak secara bebas
dan tidak kaku dengan formalistik hukum dengan menggunakan wewenang
diskresi terutama bagi Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dalam menuntut
perkara tipikor di Pengadilan Tipikor Banda Aceh oleh karena situasi dan
kondisi jarak yang cukup jauh tidak lagi harus bergantung pada ketentuan
formalistik hukum acara yang kaku.

31

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang
mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan. 62 Penelitian hukum normatif menggunakan teori-teori yang berkaitan
dengan masalah yang sedang diteliti. 63 Juga meneliti terhadap kaedah-kaedah dan
asas-asas hukum. 64 Penelitian normatif selain mengacu pada teori-teori, juga
mengacu pada doktrin-doktrin, norma-norma, dan asas-asas serta kaidah-kaidah
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan
pengadilan. 65
Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan
dan menguraikan serta sekaligus menganalisis mengenai fakta-fakta melalui
pendekatan peraturan perundang-undangan. 66 Fakta-faka tersebut terkait dengan
proses penanganan perkara tipikor di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dan kondisi
penanganan tipikor di Pengadilan Tipikor Banda Aceh. Selain fakta-fakta ini
dideskripsikan, juga dianalisis berdasarkan teori teori sistem hukum dan teori hukum

62

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: IU Press, 1996), hal. 51.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-2,
(Bandung: Alumni, 1994), hal. 12.
64
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 13.
65
Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia,
2008), hal. 282.
66
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), hal. 96.
63

32

progresif, asas-asas dan prinsip-prinsip peradilan yang baik dalam menciptakan
keadilan serta menjunjung tinggi HAM.
2. Sumber Data
Sebagai data dalam penelitian ini yang digunakan adalah data sekunder,
meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu: UUD Tahun 1945, UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UUKPK), dan UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (UU Pengadilan Tipikor), Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor: 191/KMA/SK/XII/2010 Tanggal 1 Desember
2010, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
022/KMA/SK/II/2011 Tangga