Modifikasi Resipren dan Bitumen Dalam Peningkatan Kekuatan Aspal

20

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspal
Aspal adalah bahan visko elastik yang sifatnya berubah akibat perubahan
temperatur. Pada temperatur rendah berbentuk semi padat sedangkan pada
temperatur tinggi berbentuk cair. Hal ini disebabkan perubahan jarak partikel
aspal. Pada temperatur tinggi, jarak antar partikel menjadi renggang sehingga
aspal berubah menjadi cair, pada temperatur rendah, jarak antar partikel menjadi
dekat, sehingga aspal menjadi padat (Suroso, 2007).
Aspal adalah material yang pada temperatur ruang berbentuk padat sampai
agak padat, dan bersifat termoplastis. Jadi, aspal akan mencair jika dipanaskan
sampai temperatur tertentu, dan kembali membeku jika temperatur turun
(Sukirman, 2003). Aspal dibuat dari minyak mentah (crude oil) dan secara umum
berasal dari sisa organisme laut dan sisa tumbuhan laut dari masa lampau yang
tertimbun oleh pecahan batu batuan. Setelah berjuta juta tahun material organisme
dan lumpur terakumulasi dalam lapisan-lapisan ratusan meter, beban dari beban
teratas menekan lapisan yang terbawah menjadi batuan sedimen. Sedimen tersebut
yang lama - kelamaan menjadi atau terproses menjadi minyak mentah yang
menjadi senyawa dasar hydrocarbon. Aspal biasanya berasal dari destilasi dari

minyak mentah, namun aspal ditemukan juga sebagai bahan alam (misal :
asbuton), dimana sering juga disebut mineral (Shell Bitumen, 1990).
Aspal terdiri dari fraksi heterogen yang terdiri dari cincin aromatic
polikondensen yang lebar dan siklik neptana, kebanyakan berisi heteroatom
(S,N,dan O) dan logam bitumen. Hampir semua heteroatom dan logam diaspal
terdapat 5 atau 6 struktur cincin, dan sebuah lapisan balok yang berhimpit satu
sama lain. Ketika berat molekul aspal bertambah, maka struktur alam non
aromatiknya juga bertambah (Banerjee, 2012).

Universitas Sumatera Utara

21

2.1.1

Jenis Aspal

Berdasarkan tempat diperolehnya, aspal dibedakan atas aspal alam dan aspal
minyak yaitu:



Aspal Alam

: yaitu aspal yang didapat disuatu tempat dialam, dan dapat

digunakan sebagaimana diperolehnya atau dengan sedikit pengolahan.
Aspal alam ada yang diperoleh di gunung-gunung seperti aspal di Pulau
Buton, dan ada pula yang diperoleh didanau seperti di Trinidad.


Aspal minyak : adalah aspal yang merupakan residu pengilangan minyak
bumi (Sukirman, 2003).

2.1.2 Sifat Kimiawi Aspal
Aspal terdiri dari senyawa hidrokarbon, nitrogen, dan logam lain, sesuai jenis
minyak bumi dan proses pengolahannya. Mutu kimiawi aspal ditentukan dari
komponen pembentuk aspal. Saat ini telah banyak metode yang digunakan untuk
meneliti

komponen-komponen


pembentuk

aspal.

Komponen

fraksional

pembentuk aspal dikelompokkan berdasarkan karakteristik reaksi yang sama.
Metode Rostler menentukan komponen fraksional aspal melalui daya larut
aspal di dalam asam belerang (sulfuric acid). Terdapat 5 komponen fraksional
aspal berdasarkan daya reaksi kimiawinya di dalam asam sulfuric acid, yaitu:
1. Asphaltenes (A)
2. Nitrogen bases (N)
3. Acidaffin I (A1)
4. Acidaffin II (A2)
5. Paraffins (P)
(Sukirman, 2003)
2.1.3 Aspal dan Perannya pada Bitumen

Aspal adalah komponen yang paling sulit untuk dijelaskan pada bitumen tetapi
memainkan peran penting pada pengkarakterisikan dan proses. Sesuai definisi,
aspal adalah pecahan bitumen yang tidak larut pada larutan paraffin dan larut

Universitas Sumatera Utara

22

dalam benzene atau toluene. Mereka biasanya dinamakan dengan pelarut yang
digunakan pada endapannya, karena setiap aspal berbeda kualitas dan
kuantitasnya berdasarkan pelarut yang digunakan. Sebagai contoh, n-C5-aspal atau
n-C6-aspal yang berarti bahwa aspal diendapkan menggunakan pentane normal
atau heksana normal, berturut-turut sebagai pelarut. Pada proses komersial,
hidrokarbon yang lebih rendah – seperti propane, butane, atau campuran keduanya
digunakan sebagai pelarut. Hasil aspal tergantung pada pelarut atau campuran
pelarut yang digunakan, daya larut pelarut, dan rasio pelarut bitumen. Hubungan
aspal tidak termasuk struktur molekul khusus atau berat molekul. Meskipun, aspal
adalah kelompok jenis molekul, yang mana berat molekul persisnya masih belum
diketahui dan berbagai macam dari 500 sampai 15.000 tergantung pada teknik
analitik yang digunakan (Banerjee, 2012).

Struktur molekul khas dari aspal dtitunjukkan pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Struktur Aspal

Universitas Sumatera Utara

23

2.2 Bitumen
Bitumen seperti yang dijelaskan dalam kamus inggris oxford sebagai ‘campuran
seperti tar hidrokarbon yang terdapat dari petroleum alamiah atau dari destilasi,
dan digunakan untuk permukaan jalan dan atap’. (Oxford university press, 1996).
Bitumen dihasilkan selama distilasi minyak mentah. Pada umumnya diakui bahwa
minyak mentah dari sisa makhluk hidup laut dan bahan sayuran yang terendap
dengan lumpur dan pecahan batuan dilautan ( Shell Bitumen, 1990). Bitumen
adalah zat perekat (cementitious) berwarna hitam atau gelap, yang dapat diperoleh
dialam ataupun sebagai hasil produksi. Bitumen terutama mengandung senyawa
hidrokarbon seperti aspal, tar, pitch (Sukirman, 2003).
Bitumen adalah produk olahan sebagian kecil distilasi minyak mentah,
tetapi juga ditemukan endapan alamiah. Itu memiliki kombinasi unik kedap air

yang sempurna dan sifat adesif yang telah digunakan dengan efektif selama lebih
dari 5000 tahun. Bitumen adalah material termoplastik murah yang secara luas
digunakan dalam pengatapan, jalan, dan aplikasi pavemen (Mc Nally, 2011).
Selama lebih dari 5000 tahun bitumen telah digunakan sebagai kedap air dan atau
agen pengikat (Abraham, 1945).
British standard 3690, bagian 1 : 1989 menjelaskan bitumen sebagai
sebuah cairan kental, atau padat, secara esensial terdiri dari hidrokarbon dan aspal
mulanya, yang mana larut dalam trikloroetilen dan secara substansial tidak mudah
menguap dan sedikit demi sedikit melemah (menjadi ringan) ketika dipanaskan.
Berwarna hitam atau coklat dan memiliki sifat kedap air dan adesif. Bitumen
dihasilkan oleh proses kilang minyak dari petroleum dan juga ditemukan sebagai
endapan alami atau sebagai sebuah komponen alam terjadinya aspal, yang mana
berhubungan dengan bahan mineral (Mc Nally, 2011).
Bitumen terjadi secara alamiah, dan juga merupakan sisa minyak mentah
yang telah diperbaharui. Sejak permulaan abad 20 permintaan bitumen telah
melebihi kemampuan dari yang dapat dihasilkan oleh alam. Biasanya bitumen
ditemukan disekitar endapan minyak tanah dibawah tanah. Dimana permukaan
rembesan bias terjadi pada kesalahan biologis. Jumlah dan sifat material yang

Universitas Sumatera Utara


24

terjadi secara alamiah ini tergantung pada jumlah proses alam yang mana
membatasi sifat dari material ini. Produk ini sering disertai dengan bahan mineral,
jumlah dan sifat yang bergantung pada keadaan sekitar yang menyebabkan
campuran terjadi (Whiteoak, 1990).
Bitumen sangat berat, tebal, dan kental yang sebenarnya tidak berubahubah pada kondisi normal. Pembentukan dimulai sebelum zaman dinosaurus, pada
periode Devonian. Salah satu hipotesis yang diterima luas adalah bitumen
terbentuk karena biodegradasi minyak konvensional yang bermigrasi (berpindah)
jarak, dibawa oleh air laut. Bantuan hipotesis ini bukti sains telah menunjukkan
bahwa tingkatan biodegradasi pada bitumen secara langsung berhubungan pada
jumlah sisa hidrokarbon pada jarak molekul kurang dari C20 n-alkana dan keadaan
hidrokarbon monoaromatic (Banerjee, 2012).
2.2.1 Bitumen Padat

BITUMEN

Padat


Cair

Batubara

Minyak bumi

Gambar 2.2 Bagan Pembagian Bitumen
Bitumen padat adalah batuan sedimen yang mengandung material organik, yang
akan menghasilkan minyak melalui proses penyulingan atau retort. Umumnya
batuan yang dikategorikan sebagai bitumen padat berupa serpih, namun batuan
lain pun dapat juga dikategorikan sebagai bitumen padat dengan syarat memiliki
material organik yang dapat menghasilkan minyak dengan retorting proses.
Bitumen padat didefinisikan sebagai endapan minyak/hidrokarbon atau
cairan seperti minyak berbentuk padat ataupun semipadat yang terbentuk secara
natural di dalam media rekahan batuan. Bitumen padat juga dapat ditemukan di

Universitas Sumatera Utara

25


dalam bebatuan sedimen berbutir halus yang mengandung material organik (oil
shale) dan bila diproses dengan cara pemanasan akan menghasilkan minyak.
Lapisan bitumen padat
(oil shale) umumnya berupa batu lempung lanauan menyerpih berselang – seling
dengan batu lanau gampingan yang padat dan keras. (Tobing, 2005)
Pada umumnya endapan bitumen padat muncul berasosiasi dengan
batubara. Hal ini erat kaitannya dengan proses pengendapan batuan tersebut. Perlu
diperhatikan bahwa bitumen padat tidak harus selalu berasosiasi dengan batubara,
walaupun pada umumnya keberadaan bitumen padat seringkali berada diantara
lapisan batubara (interburden).
Reservoir bitumen padat (probitumen, megrabitumen, tal, dll) adalah
material yang tidak dapat bergerak yang sangat lengket yang terjadi didalam
reservoir batu, karbonat dan silica. Pengertian berbeda mengenai bitumen dapat
ditemukan dalam literature umum. Biokimia organik menjelaskan bitumen
sebagai bagian dari jenis organik yang dapat larut dalam pelarut organik (Tissot,
1984). Petrologis organik menjelaskan bitumen sebagai jenis organik yang
mengisi kehampaan dan retakan pada batu dan dikelompokkan berdasarkan factor
refleksi, intensitas fluoresensi dan kemampuan daya larut mikro (Jacob, 1989).
Reservoir bitumen dibedakan dari sumber batu bitumen yang dalamnya terbentuk
dari petroleum didalam reservoir melalui proses perubahan buatan atau alami

seperti retakan suhu minyak (pirobitumen), gas pengaspalan minyak (resipitasi
aspal), dan biodegradasi. Bitumen padat terjadi pada reservoir silica listrik
petroleum dan karbonat dalam banyak tempat dialam (Horstad, 1997).
Bitumen padat dapat diperoleh dari salah satu prekusor berikut ini: minyak
mentah, asphaltens, bitumen berat atau tar (Stasiuk, 1997), dan terbuang dari
sumber bebatuan dalam bentuk aktif. Suatu mekanisme yang bertanggung jawab
untuk pembentukan bitumen padat adalah retakan suhu langsung dari hidrokarbon
petroleum yang biasanya terjadi pada kedalam dengan temperatur geologis
mencapai 170oC atau lebih tinggi (Huc, 2000). Karenanya, penafsiran batas waktu
juga penting untuk menjelaskan apakah bentuk dari bitumen padat dalam reservoir

Universitas Sumatera Utara

26

khatatba berhubungan dengan degradasi suhu dari hidrokarbon petroleum. Batas
waktu suhu dievaluasi berdasarkan factor refleksi (Ro) dan model sejarah
terbentuk (Shalaby, 2011). berdasarkan model sejarah terbentuk yang dipelajari
oleh shalaby, reservoir khataba memiliki temperatur antara 127-135 oC.
Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang sudah mati, dengan

komposisi utama terdiri dari sellulosa. Proses pembentukan batubara dikenal
sebagai proses pembatubaraan atau coalification. Faktor fisika dan kimia yang ada
dialam akan mengubah sellulosa menjadi lignit, subbitumen, bitumen, atau
antrasit. Komposisi kimia batubara hampir sama dengan komposisi jaringan
tumbuhan, keduanya mengandung unsur utama yang terdiri dari unsur C, H, O, N,
S, P, hal ini mudah dimengerti, karena batubara terbentuk dari jaringan tumbuhan
yang telah mengalami proses pembatubaraan (coalification).
Batubara diklasifikasikan menurut sifat pembakarannya, menjadi antrasit,
bitumen, subbitumen, dan lignit. Batubara bitumen terutama digunakan dalam
pembakaran yang menghasilakan energi atau karbonisasi untuk pembuatan kokas,
ter, bahan kimia batubara, dan gas pabrik kokas (Austin, 1996).
Tabel 2.1 Komposisi Elemen dari Berbafai Tipe Batubara
Komposisi Elemen dari Beberapa Tipe Batubara
Persentase Massa
Jenis Batubara
%C

%H

%O

%H2O

Lignit

60 – 70

5–6

20 - 30

50 - 70

45 – 55

Subbituminous

75 – 80

5–6

15 - 20

25 – 30

40 – 45

Bituminous

80 – 90

4–5

10 – 15

5 – 10

20 – 40

Antrasit

90 – 95

2–3

2–3

2–5

5–7

%Volatile Matter

Universitas Sumatera Utara

27



Sifat batubara jenis bitumen:
-

Warna hitam mengkilat, kurang kompak

-

Nilai kalor tinggi, kandungan karbon relatif tinggi

-

Kandungan air sedikit

-

Kandungan abu sedikit

-

Kandungan sulfur sedikit

Gambar 2.3 Bitumen Padat

Gambar 2.4

Hasil scan dari plug karbonat yang menunjukkan bitumen

padatan hitam – diuraikan dalam pori - pori. Pori lainnya disatukan oleh
garam. Panjang sisi ( vertikal ) pada gambar adalah 3cm

Universitas Sumatera Utara

28

Gambar 2.5

Hasil pantulan cahaya yang terlihat di mikrograf ( di bawah

minyak imersi ) yang menunjukkan besar rendahnya dan kekasaran
bitumen padat ( tanda panah merah ) yang mengisi rongga pori. Lebar
gambar adalah 1 mm.
( Schoenherr , 2007)
2.2.2 Bitumen cair
Bitumen Cair merupakan cairan yang mengalir bebas pada suhu yang normal
yang diperoleh dengan mencairkan bitumen dengan pelarut yang sesuai.
Viskositas dari bitumen akan berkurang dengan penambahan ketosen ataupun
pelarut lain (Shudakara, 2007).
Bitumen dibedakan dalam beberapa kelas sesuai dengan pelarut yag
berbeda dalam teknik ekstraksi. Dua klasifikasi paling umum yang dikenal dengan
singkatnya adalah :
-

SARA ( Minyak Jenuh ( Saturates ) , Aromatis, Resin, dan Aspal )

-

PONA ( Parafin, Okfin, Naftan, dan Aromatis )

Universitas Sumatera Utara

29

2.2.2.1 Klasifikasi Bitumen kelas SARA
Bitumen biasanya dibagi berdasarkan empat fraksi yang ada pada umumnya, yaitu
Minyak Jenuh (Saturates), Aromatis, Resin, dan Aspal, secara bersamaan
keempatnya disebut dengan SARA. Semula klasifikasi ini dibuat dengan
kromatografi kolom dengan menggunakan perbedaan bahan penyerap dan pelarut.
Teknik yang digunakan dalam analisis SARA didasarkan pada penyerapan
bitumen atau fraksinya di dalam kolom dengan adsorben yang aktif dan kemudian
mengelusi partikel dari fraksi dengan pelarut yang selektif. Fraksi ini digunakan
selanjutnya untuk analisis kimia (Banerjee, 2012 ).
2.2.2.2 Klasifikasi Bitumen Kelas PONA
Analisis bitumen kelas PONA biasanya mendestilasi fraksi bitumen dengan
menggunakan

teknik

kromatografi

seperti

High

Performance

Liquid

Chromatography (HPLC). Dalam menganalisa bitumen jenis PONA tidaklah
harus didalam fraksi resid, karena akan memberikan hasil yang keliru. Analisis
PONA saat didestilasi (350 – 535⁰C) dan jenis konsentrasi PONA ditunjukkan
seperti :
-

Parafin + Oefin < 10%

-

Naftalen 20 -30%

-

Aromatik 60 – 70 %

Bagian aromatik pada bitumen lebih lanjut dipisahkan menjadi mono, di- , dan
fraksi poliaromatik dengan menggunakan teknik kromatografi. Konsentrasi dari
subfraksi dapat ditotalkan yang biasanya berurutan dari 20 – 25 % mono, 30 35 %, dan lebih dari 50 % poliaromatik. Dengan demikian, atas hasil yang telah
didapat, jarak antara titik didih dari fraksi akan meningkat, dan molekul akan
menjadi lebih berat, dan konsentrasi relatif dari aromatik akan meningkat dan
konsentrasi relatif dari hidrokarbon jenuh (nafta dan parafin) akan menurun.
( Banerjee, 2012 )

Universitas Sumatera Utara

30

2.2.3 Kimia Bitumen
Nikel dan vanadium adalah dua elemen utama pada bitumen. Biasanya
konsentrasi nikel (80 part/million [ppm]) lebih sedikit dari pada setengah
konsentrasi vanadium (220 ppm). Sebagai tambahan, viskositas adalah sifat paling
penting karena mewakili karakteristik fluida bitumen. Viskositas berubah dengan
jarak suhu yang tinggi. Karena bitumen adalah cairan yang kental, sangat susah
untuk mengukur viskositas pada suhu kamar.
Komposisi

Elemental.

Bitumen adalah

campuran kompleks

dari

hidrokarbon yang mengandung karbon, hydrogen, nitrogen, dan sulfur (CHNS).
Konsentrasi CHNS pada petroleum mewakili karakteristik asli dari material
mentah. Bitumen termasuk kategori hidrokarbon, karena komponen utamanya
adalah karbon dan hydrogen ; yang mengandung lebih dari 80 wt% karbon dan
sekitar 10 wt% hydrogen. Kandungan Logam. Bitumen mengandung kosentrasi
yang tinggi dari berbagai macam logam, diantaranya adalah nikel dan vanadium
yang memiliki konsentrasi yang tinggi. (Banerjee, 2012).
Bitumen yang berbeda disuling dari substansi bituminous yang berbeda
jenis terhadap sifat fisika dan kimiawi. Ini menunjukkan bahwa komposisi bahan
organik pada sumber batu bitumen yang berbeda adalah factor utama dalam
menjelaskan bentuk bitumen dan dapat digunakan untuk pengkarakterisikandan
identifikasi. (Chilingarian, 1978 ).

Universitas Sumatera Utara

31

2.2.3

Klasifikasi Bitumen
Pontonie et al, telah mengklasifikasikan bitumen batu bara berdasarkan

bitumenisasi kedalam 5 tingkatan :
1. Bagian induk – probitumen
2. Tingkat sapropelik paling baru dari bitumenisasi – dari probitumen
tidak tetap ke probitumen tetap.
3. Fase stabilisasi bitumenisasi – dari metabitumen ke kerobitumen dan
polimer bitumen.
4. Enbitumenisasi – probitumen dapat melewati tingkatan no 3 dan
berubah secara langsung menjadi n – bitumen; dan
5. Fase kualifikasi – n bitumen dapat berubah menjadi aspaltite dan
kerobitumen dapat berubah menjadi nigritite yang menjadi 3 bentuk :
exinonigritite, keronigritite, dan polynigritite. (Pontonie, 1949)
2.2.5 Struktur Bitumen
SARA (saturate – aromatik – resin – asphaltenes) kolom, terdiri dari 4 kumpulan
kebijaksanaan dengan urutan resin H+ pertukaran kation, resin OH- pertukaran
ion, asam besi klorida pada tanah liat, dan resin OH-

pertukaran ion, telah

digunakan untuk memisahkan bahan menjadi minyak, resin, dan residu n –
pentane tidak larut. Residu lebih lanjut dipisahkan menjadi aspal dan benzene
tidak larut oleh ekstraksi. Komponen dihasilkan dengan menggunakan metode
SARA dapat diatasi secara individual untuk analisa lebih lanjut (Chilingarian,
1978).
2.2.5.1 Parameter Struktural Bitumen
Berbagai macam metode untuk menguraikan struktur komponen molekuler berat
tinggi dapat ditetapkan pada masing-masing fraksi bitumen. Ini termasuk
pengujian mudah kadar titik logam (gravitasi spesifik, indeks membiaskan, berat
molecular dan lain-lain), analisis kimia (analisis elemen, angka oksidasi, dan lainlain), dan pengukuran alat spectral (difraksi sinar-x, resonansi magnetic, sinar
inframerah, resonansi berputar elektron, dan lain-lain).

Universitas Sumatera Utara

32

Berat molekuler. Berat molekuler bitumen telah menjadi subjek banyak
penelitian, yang mana menghasilkan hasil yang berbeda tergantung selama
metode dikerjakan. Semakin kompleks molekul aspal bitumen cenderung untuk
bergabung dengan kuat bahkan pada larutan yang dicairan, prosedur analitikal
biasa gagal untuk membedakan antara berat molekular yang sebenarnya dengan
berat partikel. Rata-rata nilai berat partikel diukur dari penguraian dari berbagai
jenis aspal dalam pemberian larutan. Sebagai contoh, pada aspal petroleum,
beberapa partikel menahan struktur unit selnya utuh secara esensial, sedangkan
yang lainnya terpisahkan menjadi unit yang lebih kecil dengan kehilangan satu
atau lebih lembar unit. Beberapa aspal petroleum bahkan mencapai ukuran lembar
unit sebagai penentu dari sinar-x atau analisis spektrometri massa (Chilingarian,
1978).
2.2.6 Kandungan Bitumen
Bitumen dianggap sebagai campuran kompleks dari berat molekul yang tinggi
hidrokarbon dan nonhidrokarbon yang mana dapat dipisahkan menjadi sifat yang
terdiri dari aspal, resin, aromatik dan paraffin. (Traxler, 1936).
Tiga jenis hidrokarbon saat ini dalam bitumen; paraffin, naftana dan
aromatik. Nonhidrokarbon dalam bitumen memiliki atom heterosiklik terdiri dari
sulfur, nitrogen, dan oksigen. Analisis dasar mengenai bitumen dihasilkan dari
berbagai macam minyak mentah menunjukkan bahwa kebanyakan bitumen
mengandung:
-

Karbon 82 – 85%

-

Hydrogen 8 – 11%

-

Sulfur 0 – 6%

-

Oksigen 0 – 1,5%

-

Nitrogen 0 – 1%

Sedikit banyaknya logam seperti nikel, besi, vanadium, kalsium,
magnesium, dan kromium juga ditemukan dalam bitumen (Atherton, 1987).
Secara kimiawi aspal adalah system multilayer yang berisi banyak jenis blok
pembangun. Pertama sekali Nellenstyn pada 1933 mengusulkan bahwa aspal

Universitas Sumatera Utara

33

berisi nucleus mikrokristalin tipe graptik (Nellenstyn, 1933). Tetapi pada 1940
pfeiffer dan sall mengusulkan aspal adalah berat molekuler tinggi hidrokarbon
dari karakter aromatik (Pfeiffer, 1940).
2.2.7 Modifikasi Polimer Bitumen
Konsep blending atau pencampuran 2 atau lebih bahan terbentuk produk tunggal
dengan sifat fisik yang berbeda kepada sifat unsur pokok bahan adalah tidak
baru.Mechanical, elektris, kimiawi, dan banyak sifat lainnya ditentukan oleh
keadaan fase yang dihasilkan. Sebagai contoh, tembaga dan seng dari fase tunggal
dinamakan kuningan yang mana secara mekanik lebih besar dari unsur pokok
lainnya sendiri. Poliblend adalah campuran fisik dari perbedaan homo atau
kopolimer yang berbeda secara structural. Bates (1991) telah meninjau keadaan
fase polimer-polimer dan kemampuan mencampur polimer-polimer, dengan
cukup baik. Homogenitas dalam campuran tergantung pada panas dan entropi
campuran.
Bitumen adalah termoplastik murah yang penting yang mana ditemukan
banyak pengaplikasiannya sebagai bangunan dan bahan untuk teknik mesin ;
bagaimanapun, bitumen memiliki sifat mekanik yang sedikit karena bitumen keras
dan rapuh pada lingkungan yang dingin atau lembab dan fluida pada lingkungan
panas (Whiteoak, 1990). Salah satu dari banyak cara mengeraskan bitumen adalah
dengan memblendingnya dengan polimer sintetik, yang mana bisa dengan polimer
murni atau limbah polimer. Angka polimer yang besar telah dipelajari untuk
modifikasi bitumen, termasuk polietilen (jew, 1986)
2.2.8 Kegunaan Bitumen
Secara luas umumnya bitumen digunakan oleh industri konstruksi, sebagai unsur
pokok produk dalam mengaspal dan pengatapan. Karakteristik tahan air yang
sempurna dan kebiasaan termoplastik membuatnya cocok untuk aplikasi secara
luas. Suhu yang ditinggikan (biasanya diantara 100-200oC) bereaksi seperti cairan
kental dan dapat dicampur dengan komponen lain dan dimanipulasi dan dibentuk
sesuai kebutuhan. Sewaktu didinginkan itu adalah padatan lembab yang dapat
bertahan lama dan hidropobik (tidak suka air). (Shell Bitumen, 1990)

Universitas Sumatera Utara

34

2.3 Karet
Karet alam adalah senyawa hidrokarbon yang dihasilkan melalui penggumpalan
getah dari hasil penyadapan tanaman tertentu. Getah tersebut kemudian dikenal
dengan sebutan lateks, yaitu suatu cairan putih yang keluar dari batang tananaman
yang disadap (Le Brass, 1968).
Karet remah merupakan salah satu jenis karet alam. Menurut Setyamidjaja
(1993), karet ini tidak digolongkan atas visualisasi semata, tetapi berdasarkan sifat
karet yang diuji dalam laboratorium. Karet ini di-bal dengan berat 3,3 Kg. karet
ini diproses dengan cara mencacah dan membersihkannya. Selanjutnya, karet
dikeringkan pada temperatur 100-110oC, sehingga pengeringan berlangsung lebih
cepat. Di Indonesia, penentuan kualitas ini berpedoman pada Standard Indonesia
Rubber (SIR).
Spesifikasi dari crumb rubber adalah dengan menggunakan standar yang
dikenal dengan nama SIR (standard Indonesia Rubber) yaitu produk karet alam
yang baik processing ataupun penentuan kualitasnya dilakukan secara spesifikasi
teknis. Menurut Solichin (1991), penetapan syarat mutu teknis karet adalah
sebagai berikut:
1. Plastisasi awal (Po), dimaksudkan untuk mengetahui panjang rantai
molekul karet dari pembentukan atau pemutusan ikatan silang dalam
rantai molekul karet.
2. Plasticity Retention Index (PRI), dimaksudkan untuk mengetahui daya
tahan karet terhadap degradasi oleh oksidasi yang terjadi selama proses
pengeringan pada suhu tinggi yang dipengaruhi oleh perimbangan
senyawa pro-oksidan dan anti-oksidan dalam karet.
3. Viskositas Mooney (VM), yaitu untuk mengetahui panjang rantai
molekul serta derajat pengikatan silang dalam rantai molekul karet,
yang dipengaruhi okleh waktu penyimpanan (storage hardening).
4. Kadar abu, dimaksudkan untuk menjamin agar karet mentah tidak
terlalu banyak mengandung bahan kimia seperti: natrium bisulfit,
natrium karbonat, tawas.

Universitas Sumatera Utara

35

5. Kadar zat menguap, yaitu untuk mengetahui bahwa karet mentah telah
mengalami proses pengeringan yang sempurna; dipengaruhi oleh suhu
pengeringan, bentuk dan ukuran bahan.
6. Kadar nitrogen, yaitu untuk mengetahui jumlah zat-zat yang
mengandung nitrogen dari senyawa protein dan turunannya dalam
karet mentah.
Di pasaran, sekitar 99% karet alam diperoleh dalam bentuk karet padat,
dan sisanya dalam bentuk lateks pekat. Berdasarkan bahan bakunya karet padat
dibedakkan menjadi dua yaitu karet padat yang dibuat dari lateks kebun dan karet
padat yang dibuat dari lum. Lum adalah lateks yang telah menggumpal pada saat
penyadapan. Contoh karet padat yang dibuat dari lateks kebun adalah Ribbed
Smoke Sheet (RSS), PALE CREPE, Standard Indonesian Rubber 3 Constant
Viscosity (SIR 3 CV); sedangkan contoh karet padat yang dibuat dari lum adalah
Brown crepe, SIR 10, dan SIR 20. (BPTK, 2005).
2.3.1 Resipren
Resipren 35 merupakan sebuah karet alam siklis yang larut dalam pelarut
yang tidak berbau, khususnya hidrokarbon alifatik dan campuran aromatik dan
alifatik, cocok untuk melindungi dan menjaga lapisan dan untuk cat kapal laut.
Resipren 35 berada pada posisi yang memiliki kualitas paling tinggi di produk
resin. Resipren

merupakan resin karet siklis dari karet alam yang memiliki

viskositas larutan yang tinggi, dibuat seperti padatan yang berbentuk butiran.
Resipren memiliki ketahanan terhadap proses penyabunan dan ketahanan kimia
bahan pengikat yang dapat digunakan dalam penggabungan dengan plasticizer
yang cocok untuk pelapis yang tahan, untuk aplikasi pada baja suatu beton, karena
kelarutannya dalam pelarut hidrokarbon alifatik dan kompatibilitasnya dengan
kebanyakan minyak rantai panjang. Resipren adalah bahan baku dari berbagai
jenis produk industri diantaranya : pernis, cat kapal, tinta cetak, pelapis cermin,
cat dekorasi, sebagai isolator listrik, cat dasar kendaraan (Bukit, 2011).

Universitas Sumatera Utara

36

Resipren adalah bahan baku dari berbagai jenis produk industri diantaranya:
a. Pernis
b. Cat Kapal
c. Tinta Cetak
d. Pelapis Cermin
e. Cat Dekorasi
f. Sebagai isolator listrik
g. Cat dasar kendaraan
(Bukit, 2011)
2.4 Agregat
Menurut Silvia Sukirman, (2003), agregat merupakan butir-butir batu pecah,
kerikil, pasir atau mineral lain, baik yang berasal dari alam maupun buatan yang
berbentuk mineral padat berupa ukuran besar maupun kecil atau fragmenfragmen. Agregat merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan,
yaitu 90-95% agregat berdasarkan persentase berat, atau 75-85% agregat
berdasarkan persentase volume.
Menurut Pedoman No. 023/T/BM/1999, SK No.76/KPTs/Db/1999.
Pedoman Teknik Perencanan Campuran beraspal Panas dengan Pendekatan
Kepadatan Mutlak Dep. Kimpraswil Pusat Penelitian danPengembangan
Teknologi Prasarana Jalan, agregat dibedakan dalam beberapakelompok yaitu :
1. Agregat kasar, yaitu batuan yang tertahan saringan No. 8 (2,36 mm)
terdiri atas batu pecah atau kerikil pecah. Agregat kasar dalam
campuran beraspal panas untuk mengembangkan volume mortar
dengan

demikian

membuat

campuran

lebih

ekonomis

dan

meningkatkan krtahanan terhadap kelelehan.
2. Agregat halus, yaitu batuan yang lolos saringan No. 8 (2,36 mm) dan
tertahan saringan No. 200 (0.075 mm) terdiri dari hasil pemecahan
batu atau pasir alam. Fungsi utama dari agregat halus adalah untuk
mendukung stabilitas dan mengurangi deformasi permanen dari
campuran melalui ikatan dan gesekan antar partikel, berkenaan dengan

Universitas Sumatera Utara

37

itu agregat halus harus memiliki kekerasan yang cukup dan
mempunyai sudut, mempunyai bidang pecah permukaan, bersih dan
bukan bahan organik.
3. Agregat pengisi (filler), terdiri atas bahan yang lolos saringan No. 200
(0.075 mm) tidak kurang dari 75% terhadap beratnya. (SK. SNI M-021994-03). Fungsi dari filler adalah untuk meningkatkan viskositas
aspal dan untuk mengurangi kepekaan terhadap temperature. Hasil
penelitian umumnya menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah bahan
pengisi

(filler)

cenderung

akan

meningkatkan

stabilitas

dan

mengurangi rongga dalam campuran (Rianung, 2007).
2.4.1 Sifat Agregat Sebagai Material Perkerasan Jalan
Sifat agregat merupakan salah satu faktor penentu kemampuan perkerasan jalan
memikul beban lalu lintas dan daya tahan terhadap cuaca. Oleh karena itu, perlu
pemeriksaan yang teliti sebelum diputuskan suatu agregat dapat dipergunakan
sebagai material perkerasan jalan. Sifat agregat yang menentukan kualitasnya
sebagai material perkerasan jalan adalah gradasi, kebersihan, kekerasan dan
ketahanan agregat, bentuk butir, tekstur permukaan, porositas, kemampuan untuk
menyerap air, berat jenis, dan daya pelekatan dengan aspal. Gradasi agregat
merupakan sifat yang sangat luas pengaruhnya terhadap kualitas perkerasan secara
keseluruhan.

Universitas Sumatera Utara

38

2.5

Karakterisasi Aspal Modifier

Karakteristik dari aspal modifier yang diukur meliputi Analisa Sifat Ketahanan
Terhadap Air dengan Uji Serapan Air (Water Absorption Test) mengacu pada
ASTM C-20-00-2005, Analisa Sifat Mekanik dengan Uji Kuat Tekan
(Compressive Strengh Test) mengacu pada ASTM C-670-91, Analisa Sifat
Morfologi dengan Uji Transmission Electron Microscopy (TEM).
2.5.1

Analisa Sifat Ketahanan Terhadap Air dengan Uji Serapan Air

(Water Absorption Test)
Untuk mengetahui besarnya penyerapan air oleh aspal modifier, dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :

WA 
(2.1)

(M j  M k )
Mk

x100%

Dengan :
WA

= Penyerapan air

Mk

= Massa sampel kering

Mj

= Massa jenuh air

(Newdesnetty, 2009)

Universitas Sumatera Utara

39

2.5.2

Analisa Sifat Mekanik dengan Uji Kuat Tekan (Compressive Strengh

Test)
Pemeriksaan uji kuat tekan dilakukan untuk mengetahui secara pasti akan
kekuatan tekan yang sebenarnya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau
tidak. Pada mesin uji kuat tekan benda diletakkan dan diberikan beban sampai
benda runtuh, yaitu pada saat beban maksimum bekerja seperti gambar dibawah

ini :

Gambar 2.4 Kuat Tekan
Pengukuran kuat tekan (compressive strength) aspal modifier dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

F
A

P 

`

(2.2)

Dengan :
P

= Kuat tekan, N/m2

F

= gaya maksimum dari mesin tekan, N

A

= Luas penampang yang diberi tekanan, m2

(Butarbutar, 2009).

Universitas Sumatera Utara

40

2.5.3 Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Transmission Electron Microscopy
(TEM)
TEM adalah teknik gambaran dimana sorotan electron difokuskan pada spesimen
menggunakan versi yang lebih besar untuk dimunculkan pada layar berpijar atau
lapisan film foto grapis (William, 2000).
Berdasarkan sejarah, TEM dikembangkan oleh karena resolusi gambar
yang terbatas pada mikroskop cahaya, yang dijatuhkan oleh lebar gelombang
cahaya yang terlihat.Setelah mikroskop elektron dikembangkan ada banyak
kesamaan lainnya yang menjadi alasan untuk menggunakan elektron, kebanyakan
dimanfaatkan untuk beberapa perluasan TEM modern (William, 2000).
Louise de Broglie (1952) pertama kali berteori bahwa elektron mempunyai
karakteristik seperti gelombang, dengan substansi lebar grlombang lebih kecil dari
cahaya yang dapat dilihat.Kemudian Pavisson dan Germer (1927) dan Thompson
neid (1927) mengemukakan eksperimen difraksi elektron klasik mereka yang
didemostrasikan gelombang elektron.Tidak perlu waktu lama untuk gagasan
mengenai mikroskop electron diajukan, laporan pertama kali digunakan laporan
Knol dan Ruska (1932), pada laporan ini mereka mengemukakan gagasan lensa
elektron kedalam praktek langsung dan mendemostrasikan gambar electron yang
diambil pada instrument.
TEM telah menjadi alat perdana untuk pengkarakterisikan mikrostruktural
bahan. Pada prakteknya perbedaan ukuran pola diukur oleh metode sinar-x lebih
kuantitatif dari pada pola difraksi elektron, tetapi elektron mempunyai keuntungan
penting lebih dari sinar-x ; elektron dapat difokuskan dengan mudah (Brenz,
2008). Dibawah ini adalah penjelasan laporan singkat untuk teknik TEM
(William, 2000), banyak teknik fisik dipercayakan dalam interaksi antara elektron
energi tinggi dan atom dalam benda padat. Ada banyak kemungkinan interaksi
dan beberapa yang lebih berguna (keadaan mereka memberikan kenaikan untuk
efek pengukuran). Dalam simulasi selanjutnya, elektron energi tinggi, biasanya 20
keV atau lebih tinggi diizinkan untuk berinteraksi satu per satu dengan atom
tunggal aluminium. Atom ini menerima untuk menjadi bagian dari specimen
logam padat dan berkontribusi 3 elektron untuk ikatan valensi atau ikatan
konduksi. Pada TEM sebuah specimen kecil diterangi dengan elektron, elektron

Universitas Sumatera Utara

41

primer. Bagian ini merincikan beberapa interaksi diantara elektron tersebut dan
specimen.
Terdapat persamaan yang penting yang harus kita ketahui.Yang pertama
didasarkan oleh gagasan Broglie mengenai panjang gelombang, kita dapat
menghubungkan antara momentum partikel p dengan panjang gelombang λ dan
konstanta Planck, seperti :
λ=

h



( 2. 3)
Pada TEM kita berikan momentum kepada elektron dengan mempercepat

penurunan potensial ,V mmberikan energi kinetic eV. Potensial energi ini harus
sebanding dengan energi kinetik, dimana :
eV =

m v

(2.4)

Sekarang kita jabarkan momentum p menjadi massa elektron m0 , waktu
dari kecepatan ,v , dan memasukkan v ke dalam persamaan 2.4
p = m0v = ( 2 m0eV)1/2

(2.5)

Ada tiga persamaan sederhana untuke menentukan hubungan antara
panjang gelombang elektron λ dan mempercepat voltase dari mikroskop elektron
,V.
λ=

h

m �� /

(2.6)

Perlakuan yang sederhana kita hanya mengabaikan efek relativitas dan
sayangnya untuk mikroskopi elektron, efek relativits tidak dapat diabaikan dengan
energi > ¬ 100 keV karena kecepatan dari elektron ( seperti partikel ) akan
menjadi lebih besar daripada setengah kecepatan cahaya.

Universitas Sumatera Utara

42

Jadi kita harus merubah persamaan 1.6 menjadi :

λ=

[

m ��

h

+

(Williams, 1996)

��
m c

]

/

(2.7)

Universitas Sumatera Utara