Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Landasan kebijakan otonomi daerah yang berlaku di Indonesia diatur
dalam UU No. 22 tahun 1999, kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004.
Mengacu pada UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom, yaitu
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri. Adapun definisi desentralisasi menurut ketentuan dalam
UU No. 22 tahun 1999 bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sistem otonomi daerah berarti bahwa daerah memiliki kewenangan dan
kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan
aspirasi masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah berkepentingan untuk
pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menciptakan prakarsa dan kreativitas
secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah
dilakukan
karena
daerah
lebih
mengetahui
kebutuhan
masyarakatnya
dibandingkan pemerintah pusat yang memiliki keterbatasan dalam menangani
1
berbagai permasalahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat secara langsung. Maka
dari itu, penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk dapat memenuhi
kebutuhan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah secara lebih
efektif dan efisien.
Kualitas kinerja pemerintah daerah sangat bergantung pada pembiayaan
yang tersedia dalam upaya mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang
pemerintah daerah. Ketersediaan sumber daya keuangan yang cukup akan mampu
mendukung optimalisasi kinerja lembaga pemerintahan daerah dalam mengemban
tugasnya melayani masyarakat. Maka dari itu, kebijakan otonomi daerah yang
berupa pelimpahan kewenangan pemerintahan dari pusat kepada daerah harus
disertai
dengan
pelimpahan
kewenangan
pengelolaan
keuangan
kepada
pemerintah daerah. Undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan oleh
daerah dirumuskan dalam UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Berdasarkan undang-undang tersebut, daerah sepenuhnya
memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan keuangan daerah. Pusat tidak lagi turut serta sepenuhnya dalam mengelola
keuangan daerah. Kewenangan pemerintah pusat hanya mengelola kebijakan
fiskal yang bersifat makro (Chalid, 2005).
Kebijakan desentralisasi fiskal berimplikasi langsung terhadap keuangan
daerah, dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD
mencerminkan kemampuan keuangan daerah. Anggaran keuangan daerah disusun
dengan memperhatikan semua potensi yang dimiliki daerah sehingga formulasi
anggaran benar-benar mencerminkan kebutuhan obyektif daerah. Penyusunan
2
APBD harus dilakukan secara transparan, akuntabel, berbasis kinerja serta
partisipatif. Hal ini dimaksudkan agar penetapan anggaran daerah mampu
menghasilkan ouput dan outcome kepada masyarakat melalui peningkatan kualitas
pelayanan publik. Pada prinsipnya, desentralisasi keuangan dimaksudkan sebagai
cara pemerintah daerah agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan
meningkatkan pendapatan asli daerahnya (Chalid, 2005). Kebijakan ini
memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi
ekonomi yang dimilikinya secara optimal, sehingga diharapkan mampu
membiayai kegiatan daerah dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 10, yang menjadi sumbersumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment) berasal dari
PAD dan Dana Perimbangan yang diterima oleh daerah dari Pemerintah Pusat.
Dana Perimbangan tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Disamping itu, terdapat
sumber pendapatan lain yang berasal dari pembiayaan berupa pinjaman daerah.
Keterbatasan
sumber
daya
menjadi
akar
permasalahan
utama
dalam
pengalokasian anggaran belanja modal untuk membiayai sektor publik. Tuntutan
untuk mengubah sektor belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerahdaerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah (Halim, 2001). Rendahnya kapasitas
fiskal suatu daerah menunjukkan tingkat kemandirian daerah yang rendah.
Melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu
mengoptimalkan potensi pendapatannya. Pergeseran komposisi belanja dengan
3
memberikan porsi belanja daerah yang lebih besar untuk sector-sektor produktif
merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah
setempat untuk dapat meningkatkan investasi modal. Semakin tinggi tingkat
investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik yang
kemudian akan berdampak pada peningkatan partisipasi publik terhadap
pembangunan daerah yang tercermin pada peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002).
Kebijakan
desentralisasi
mendorong pemerintah
fiskal
di
Indonesia
dilaksanakan
untuk
daerah agar mampu membangun perekonomiannya
melalui peningkatan pelayanan di berbagai sektor, terutama sektor publik. Hal ini
didasarkan pada andil yang diberikan sektor publik terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah cukup besar. Melalui peningkatan pelayanan di sektor publik,
maka pemerintah daerah dapat menarik para investor untuk menanamkan
modalnya sehingga tingkat investasi di daerah tersebut akan meningkat. Dampak
positif akibat terjadinya peningkatan investasi adalah semakin tingginya tingkat
pertumbuhan ekonomi daerah yang juga menggambarkan tingkat keberhasilan
pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya. Oleh karena itu, untuk dapat
mewujudkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui peningkatan pelayanan di
sektor publik, maka pemerintah harus mengalokasikan anggaran belanja yang
lebih besar, terutama untuk anggaran belanja modal. Sehingga daerah dapat
leluasa membangun dan meningkatkan fasilitas pelayanan di sektor publik untuk
menarik para investor karena dana yang dianggarkan telah tersedia.
Kendati demikian, dalam laporan realisasi APBD terdapat indikasi bahwa
alokasi dana terhadap belanja modal masih terbatas. Pemerintah daerah cenderung
4
memperbesar anggaran belanja daerah untuk belanja rutin, yang sifatnya relatif
kurang produktif. Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemerintah daerah
masih kurang memperhatikan pelayanan sektor publik. Seharusnya belanja daerah
harus mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi daerah melalui pembangunan
dan peningkatan kualitas pelayanan publik, yang didasarkan pada pengeluaran
daerah dalam bentuk belanja modal.
Pada realisasinya, penggunaan anggaran daerah selama ini masih belum
efisien dan efektif. Anggaran daerah, khususnya pengeluaran daerah belum
mampu menunjukkan andil yang besar dalam mendorong laju pertumbuhan
ekonomi di daerah. Selain itu, terjadinya tingkat pertumbuhan ekonomi daerah
juga tidak selalu diikuti dengan peningkatan terhadap pengalokasian anggaran
belanja daerah. Pemerintah daerah masih kurang mampu mengalokasikan
anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas sehingga penggunaan
anggaran yang tersedia tidak efektif dan efisien karena kualitas anggaran yang
tersedia tidak didukung oleh pemerintahan yang berkompeten. Hal demikian juga
disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan dan
menggali
sumber-sumber
penerimaan
daerah
secara
optimal
dan
berkesinambungan (Munir et al, 2004).
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Anggiat
Situngkir (2009) dan Ardhian Nuarisa (2012). Dalam penelitiannya, Ardhian
Nuarisa (2012) menekankan bahwa sudah menjadi suatu keharusan bagi
pemerintah daerah untuk dapat mengalokasikan penerimaan daerah untuk belanja
daerah yang bersifat produktif. Karena pada kenyataannya penerimaan daerah
5
cenderung dialokasikan untuk membiayai belanja rutin daripada belanja modal.
Anggiat Situngkir (2009) juga menyatakan bahwa peningkatan terhadap
pengalokasian belanja modal sangat diharapkan untuk dapat menambah investasi
modal dalam bentuk asset tetap sehingga dapat menunjang peningkatan kualitas
layanan publik oleh pemerintah daerah.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan variabelvariabel yang ada pada penelitian yang dilakukan oleh Anggiat Situngkir (2009)
dan Ardhian Nuarisa (2012), yaitu variabel PAD, DAU dan DAK. Berdasarkan
hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti kembali variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal. Peneliti juga menambahkan
variabel independen lain dalam penelitian, yaitu pertumbuhan ekonomi. Hal ini
didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Fitria Megawati Sularno (2013)
dimana PDRB berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat judul
Pengaruh PAD, DAU, DAK dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2010-2013.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap alokasi
belanja modal di Kabupaten/kota Sumatera Utara ?
6
2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap
alokasi belanja modal di Kabupaten/kota Sumatera Utara?
3. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap
alokasi belanja modal di Kabupaten/kota Sumatera Utara ?
4. Apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap alokasi
belanja modal di Kabupaten/kota Sumatera Utara ?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini antara lain :
1. Untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap alokasi belanja modal di Kabupaten/kota
Sumatera Utara.
2. Untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Dana Alokasi
Umum (DAU) terhadap alokasi belanja modal di Kabupaten/kota
Sumatera Utara.
3. Untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Dana Alokasi
Khusus (DAK) terhadap alokasi belanja modal di Kabupaten/kota
Sumatera Utara.
4. Untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Dana
pertumbuhan
ekonomi
terhadap
alokasi
belanja
modal
di
Kabupaten/kota Sumatera Utara.
7
1.4
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak, antara lain :
1. Bagi pemerintah daerah
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada
pemerintah daerah mengenai peran peningkatan sumber-sumber
pendapatan daerah dalam pengalokasian belanja modal, terutama peran
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terkait kemandirian daerah.
2. Bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan dan menambah
wawasan mengenai pengalokasian belanja modal , yang berkaitan
dengan pengelolaan keuangan daerah dalam upaya pembangunan
daerah otonom sebagai tujuan utama konsep desentralisasi.
3. Bagi Peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh peneliti lainnya
sebagai informasi, bahan rujukan dan referensi bagi pengembangan
dan pengkajian konsep pada topik-topik penelitian yang berkaitan,
baik yang bersifat lanjutan, melengkapi, maupun menyempurnakan.
8
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Landasan kebijakan otonomi daerah yang berlaku di Indonesia diatur
dalam UU No. 22 tahun 1999, kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004.
Mengacu pada UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom, yaitu
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri. Adapun definisi desentralisasi menurut ketentuan dalam
UU No. 22 tahun 1999 bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sistem otonomi daerah berarti bahwa daerah memiliki kewenangan dan
kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan
aspirasi masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah berkepentingan untuk
pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menciptakan prakarsa dan kreativitas
secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah
dilakukan
karena
daerah
lebih
mengetahui
kebutuhan
masyarakatnya
dibandingkan pemerintah pusat yang memiliki keterbatasan dalam menangani
1
berbagai permasalahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat secara langsung. Maka
dari itu, penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk dapat memenuhi
kebutuhan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah secara lebih
efektif dan efisien.
Kualitas kinerja pemerintah daerah sangat bergantung pada pembiayaan
yang tersedia dalam upaya mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang
pemerintah daerah. Ketersediaan sumber daya keuangan yang cukup akan mampu
mendukung optimalisasi kinerja lembaga pemerintahan daerah dalam mengemban
tugasnya melayani masyarakat. Maka dari itu, kebijakan otonomi daerah yang
berupa pelimpahan kewenangan pemerintahan dari pusat kepada daerah harus
disertai
dengan
pelimpahan
kewenangan
pengelolaan
keuangan
kepada
pemerintah daerah. Undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan oleh
daerah dirumuskan dalam UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Berdasarkan undang-undang tersebut, daerah sepenuhnya
memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan keuangan daerah. Pusat tidak lagi turut serta sepenuhnya dalam mengelola
keuangan daerah. Kewenangan pemerintah pusat hanya mengelola kebijakan
fiskal yang bersifat makro (Chalid, 2005).
Kebijakan desentralisasi fiskal berimplikasi langsung terhadap keuangan
daerah, dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD
mencerminkan kemampuan keuangan daerah. Anggaran keuangan daerah disusun
dengan memperhatikan semua potensi yang dimiliki daerah sehingga formulasi
anggaran benar-benar mencerminkan kebutuhan obyektif daerah. Penyusunan
2
APBD harus dilakukan secara transparan, akuntabel, berbasis kinerja serta
partisipatif. Hal ini dimaksudkan agar penetapan anggaran daerah mampu
menghasilkan ouput dan outcome kepada masyarakat melalui peningkatan kualitas
pelayanan publik. Pada prinsipnya, desentralisasi keuangan dimaksudkan sebagai
cara pemerintah daerah agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan
meningkatkan pendapatan asli daerahnya (Chalid, 2005). Kebijakan ini
memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi
ekonomi yang dimilikinya secara optimal, sehingga diharapkan mampu
membiayai kegiatan daerah dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 10, yang menjadi sumbersumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment) berasal dari
PAD dan Dana Perimbangan yang diterima oleh daerah dari Pemerintah Pusat.
Dana Perimbangan tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Disamping itu, terdapat
sumber pendapatan lain yang berasal dari pembiayaan berupa pinjaman daerah.
Keterbatasan
sumber
daya
menjadi
akar
permasalahan
utama
dalam
pengalokasian anggaran belanja modal untuk membiayai sektor publik. Tuntutan
untuk mengubah sektor belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerahdaerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah (Halim, 2001). Rendahnya kapasitas
fiskal suatu daerah menunjukkan tingkat kemandirian daerah yang rendah.
Melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu
mengoptimalkan potensi pendapatannya. Pergeseran komposisi belanja dengan
3
memberikan porsi belanja daerah yang lebih besar untuk sector-sektor produktif
merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah
setempat untuk dapat meningkatkan investasi modal. Semakin tinggi tingkat
investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik yang
kemudian akan berdampak pada peningkatan partisipasi publik terhadap
pembangunan daerah yang tercermin pada peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002).
Kebijakan
desentralisasi
mendorong pemerintah
fiskal
di
Indonesia
dilaksanakan
untuk
daerah agar mampu membangun perekonomiannya
melalui peningkatan pelayanan di berbagai sektor, terutama sektor publik. Hal ini
didasarkan pada andil yang diberikan sektor publik terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah cukup besar. Melalui peningkatan pelayanan di sektor publik,
maka pemerintah daerah dapat menarik para investor untuk menanamkan
modalnya sehingga tingkat investasi di daerah tersebut akan meningkat. Dampak
positif akibat terjadinya peningkatan investasi adalah semakin tingginya tingkat
pertumbuhan ekonomi daerah yang juga menggambarkan tingkat keberhasilan
pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya. Oleh karena itu, untuk dapat
mewujudkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui peningkatan pelayanan di
sektor publik, maka pemerintah harus mengalokasikan anggaran belanja yang
lebih besar, terutama untuk anggaran belanja modal. Sehingga daerah dapat
leluasa membangun dan meningkatkan fasilitas pelayanan di sektor publik untuk
menarik para investor karena dana yang dianggarkan telah tersedia.
Kendati demikian, dalam laporan realisasi APBD terdapat indikasi bahwa
alokasi dana terhadap belanja modal masih terbatas. Pemerintah daerah cenderung
4
memperbesar anggaran belanja daerah untuk belanja rutin, yang sifatnya relatif
kurang produktif. Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemerintah daerah
masih kurang memperhatikan pelayanan sektor publik. Seharusnya belanja daerah
harus mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi daerah melalui pembangunan
dan peningkatan kualitas pelayanan publik, yang didasarkan pada pengeluaran
daerah dalam bentuk belanja modal.
Pada realisasinya, penggunaan anggaran daerah selama ini masih belum
efisien dan efektif. Anggaran daerah, khususnya pengeluaran daerah belum
mampu menunjukkan andil yang besar dalam mendorong laju pertumbuhan
ekonomi di daerah. Selain itu, terjadinya tingkat pertumbuhan ekonomi daerah
juga tidak selalu diikuti dengan peningkatan terhadap pengalokasian anggaran
belanja daerah. Pemerintah daerah masih kurang mampu mengalokasikan
anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas sehingga penggunaan
anggaran yang tersedia tidak efektif dan efisien karena kualitas anggaran yang
tersedia tidak didukung oleh pemerintahan yang berkompeten. Hal demikian juga
disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan dan
menggali
sumber-sumber
penerimaan
daerah
secara
optimal
dan
berkesinambungan (Munir et al, 2004).
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Anggiat
Situngkir (2009) dan Ardhian Nuarisa (2012). Dalam penelitiannya, Ardhian
Nuarisa (2012) menekankan bahwa sudah menjadi suatu keharusan bagi
pemerintah daerah untuk dapat mengalokasikan penerimaan daerah untuk belanja
daerah yang bersifat produktif. Karena pada kenyataannya penerimaan daerah
5
cenderung dialokasikan untuk membiayai belanja rutin daripada belanja modal.
Anggiat Situngkir (2009) juga menyatakan bahwa peningkatan terhadap
pengalokasian belanja modal sangat diharapkan untuk dapat menambah investasi
modal dalam bentuk asset tetap sehingga dapat menunjang peningkatan kualitas
layanan publik oleh pemerintah daerah.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan variabelvariabel yang ada pada penelitian yang dilakukan oleh Anggiat Situngkir (2009)
dan Ardhian Nuarisa (2012), yaitu variabel PAD, DAU dan DAK. Berdasarkan
hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti kembali variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal. Peneliti juga menambahkan
variabel independen lain dalam penelitian, yaitu pertumbuhan ekonomi. Hal ini
didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Fitria Megawati Sularno (2013)
dimana PDRB berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat judul
Pengaruh PAD, DAU, DAK dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2010-2013.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap alokasi
belanja modal di Kabupaten/kota Sumatera Utara ?
6
2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap
alokasi belanja modal di Kabupaten/kota Sumatera Utara?
3. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap
alokasi belanja modal di Kabupaten/kota Sumatera Utara ?
4. Apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap alokasi
belanja modal di Kabupaten/kota Sumatera Utara ?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini antara lain :
1. Untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap alokasi belanja modal di Kabupaten/kota
Sumatera Utara.
2. Untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Dana Alokasi
Umum (DAU) terhadap alokasi belanja modal di Kabupaten/kota
Sumatera Utara.
3. Untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Dana Alokasi
Khusus (DAK) terhadap alokasi belanja modal di Kabupaten/kota
Sumatera Utara.
4. Untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Dana
pertumbuhan
ekonomi
terhadap
alokasi
belanja
modal
di
Kabupaten/kota Sumatera Utara.
7
1.4
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak, antara lain :
1. Bagi pemerintah daerah
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada
pemerintah daerah mengenai peran peningkatan sumber-sumber
pendapatan daerah dalam pengalokasian belanja modal, terutama peran
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terkait kemandirian daerah.
2. Bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan dan menambah
wawasan mengenai pengalokasian belanja modal , yang berkaitan
dengan pengelolaan keuangan daerah dalam upaya pembangunan
daerah otonom sebagai tujuan utama konsep desentralisasi.
3. Bagi Peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh peneliti lainnya
sebagai informasi, bahan rujukan dan referensi bagi pengembangan
dan pengkajian konsep pada topik-topik penelitian yang berkaitan,
baik yang bersifat lanjutan, melengkapi, maupun menyempurnakan.
8