Teori dan Praktik Peksos dengan keluarga

5

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Semua orang mengharapkan agar memiliki keluarga lahir dengan sehat dan
normal, namun pada realitanya tidak semua dapat lahir secara normal. Bahkan bukan
tidak mungkin keluarga menolak terhadap kehadiran bahkan menyembunyikan
kedisabilitasannya. Berbagai rentetan persoalan, diawali dengan keharusan untuk bisa
menerima dan menyesuaikan diri terhadap kedisabilitasan, kemudian harus
berhadapan dengan reaksi dari lingkungan sekitar yang tidak berpihak. Orientasi
keluarga lebih prioritas pada upaya untuk memenuhi kelangsungan hidup keluarga,
dan mengabaikan keperluan penyandang disabilitas karena sumber dana yang
terbatas. Tingkat pendidikan orangtua yang rendah, mengakibatkan ketidaktahuan
tentang bagaimana mengasuh atau memberi stimulus yang tepat bagi perkembangan
penyandang disabilitas. Kasus yang muncul terkadang

penyandang disabilitas

dinomorduakan, mereka dianggap tidak memberikan keuntungan, atau tidak dapat
dikembangkan sehingga keluarga lebih mengutamakan memenuhi keperluan anggota

keluarganya yang tidak disabilitas. Kondisi lain ada orang tua secara sosial dan
psikologis belum siap menerima anak dengan disabilitas, bahkan ada orang tua
menolak kehadiran anaknya yang disabilitas. Anak diisolasi dan didiskriminasi dalam
pengasuhan dan tidak tersentuh oleh pelayanan sosial dasar, antara lain pelayanan
kesehatan, pendidikan, pemukiman yang layak serta tidak memiliki alat bantu
kecacatan. Penyandang disabilitas seharusnya sama dengan orang lain, memiliki hak
azasi manusia dan kebebasan dasar yang sama. Perwujudan hak-hak disabilitas
menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. Sebagian
besar orangtua dan keluarga yang memiliki penyandang disabilitas masih banyak
bergantung kepada lembaga pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun swasta, sedangkan sarana dan prasarana yang disediakan masih sangat
terbatas. Penyandang disabilitas memerlukan tenaga pendamping yang memberikan
pelayanan dan rehabilitasi sosial secara terus menerus agar dapat mengembangkan
potensi yang dimiliki secara optimal. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kepada penyandang disabilitas, sudah seharusnya sebagai pendamping
mengambil peranan penting dalam memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial
mereka dengan tepat, penuh tanggung jawab, dan kasih sayang.

6


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran dan fungsi keluarga terhadap anak penyandang disabilitas ?
2. Apa saja permasalahan penyandang disabilitas dalam keluarga ?
3. Bagaimana hubungan pekerjaan sosial dengan keluarga disabilitas ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana peran dan fungsi keluarga terhadap anak
penyandang disabilitas.
2. Untuk mengetahui apa saja permasalahan penyandang disabilitas dalam keluarga.
3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan pekerjaan sosial dengan keluarga
disabilitas.

BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Tentang Disabilitas
1. Pengertian
Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan
aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi
tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi
oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan


7

partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam
situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang
mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat
tempat dia tinggal
Michael Oliver (1996) membagi konsep Disabilitas ke dalam tiga level yaitu:
a. Level Ontology dengan lebih menekankan pengertian secara Grand Theory
dengan memandang Disabilitas sebagai sesuatu hal yang alami. Dalam konteks
level ini memandang Disabilitas sebagai suatu tragedi terhadap seseorang
(personal tragedy) dan memandang seseorang penyandang Disabilitas merupakan
suatu musibah terhadap dirinya seperti kecelakaan, takdir, ketidak beruntungan
yang

menyebabkan

seseorang

mengalami


Disabilitas.

Hal

ini

lebih

menggambarkan suatu Disabilitas sebagai suatu faktor nasib dan takdir yang
diberikan Tuhan kepada seorang penyandang Disabilitas.
b. Epistemology dengan menjelaskan Disabilitas dengan agak spesifik yang lebih
mengungkap pengertian secara Middle Range Theory yang telah dapat
menggambarkan tentang bagaimana suatu Disabilitas dapat terjadi dengan
penekanan pada faktor penyebab.
c. Eksperience dengan memandang Disabilitas lebih mendalam kepada bagaimana
apabila menjadi seseorang penyandang Disabilitas. Dalam konteks ini diperlukan
pemahaman tentang suatu Methodologi yang tepat. Pada level ini lebih
menekankan pada pengembangan dan metodologi yang tepat untuk dapat
memahami experience dari Disabilitas dari perspektif dari penyandang Disabilitas.
(Campling 1981, Oliver et al 1988, Morris 1989).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat, pasal 1 ayat 1, mendefinisikan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak.
Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poewadarminta (1976)
menyatakan bahwa kelainan atau Disabilitas yang dialami oleh seseorang
menunjukkan sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna, baik
mengenai badan maupun batin atau akhlak.

8

Pengertian yang diberikan kamus bahasa indonesia tersebut, kata Disabilitas selalu
diasosiakan dengan atribut-atribut yang negatif oleh karenanya istilah penyandang
Disabilitas cenderung membentuk opini publik bahwa orang-orang dengan Disabilitas
ini malang, patut dikasihani, tidak terhormat, tidak bermatabat. Istilah ini sangat
bertentangan dengan penghormatan atas martabat “penyandang Disabilitas” dan
melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai manusia.
Menurut Terjemahan Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas
(Convention on the Rights of Persons with Disabilities) yang telah disahkan dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, penyandang disabilitas termasuk mereka

yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka
waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat
menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan
kesetaraan dengan yang lainnya (Pasal 1 Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas).
1. Penyebab dishabilitas
Juliet C. Rothman (2003) mengelompokan Disabilitas berdasarkan kondisi
penyebabnya sebagai berikut :
a. Impairment
Impairment yang terdiri dari ketidak seimbangan orthopedic, ketidakmampuan
belajar dan reterdasi mental, ketidakmampuan penglihatan, ketidakmampuan
pendengaran, kelumpuhan, Disabilitas fisik kehilangan bagian tubuh,
ketidakseimbangan berbicara, dan yang lainnya.
b. Penyakit dan Gangguan (Penyebab)
Penyakit sistem otot (musculoskletel), penyakit sistem sirkulasi, penyakit
sistem

pernapasan, penyakit sistem syaraf dan alat perasa, endocrine,

nutrisional, dan penyakit metabolisme serta gangguan kekebalan, kondisi dari

masa dan gejala

perinatal, tanda-tanda dan gambaran kondisi penyakit,

gangguan mental, tidak termasuk retardasi mental, penyakit sistem digestive
atau pencernaan, neoplasma, cedera dan keracunan, tidak melibatkan
impairment, penyakit infeksi dan jamur,

penyakit kulit dan jaringan

subcutaneous, abnormal sejak lahir, penyakit darah dan organ pembentuk
darah.

9

Buku Pedoman Pelayan dan Rehabilitasi Anak Disabilitas Dirjen Yanrehsos
Departemen Sosial RI (2007:11) menyebutkan penyebab Disabilitas yaitu :
a. Disabilitas bawaan
Disabilitas ini biasanya terjadi ketika anak masih dalam kandungan yang
disebabkan ibu mengalami gangguan penyakit atau metabolisme, kelainan

kromosomal, gangguan genetic, kekurangan gizi atau sebab lain yang tidak
diketahui yang mempengaruhi tumbuh kembang janin.
b. Disabilitas setelah lahir
Disabilitas ini biasanya terjadi pada saat proses kelahiran bayi yang
disebabkan oleh kesalahan penanganan pada waktu persalinan. Selain itu anak
bisa terinfeksi suatu penyakit, bakteri, virus, kekurangan gizi atau mengalami
kecelakaan yang menyebabkan Disabilitas.
Michael Oliver (1996), menyatakan bahwa penyandang Disabilitas akan terus
mengalami perkembangan dari masa ke masa. Kemajuan teknologi dan
perkembangan zaman termasuk memberikan kontribusi terhadap meningkatnya
jumlah penyandang Disabilitas. Perkembangannya akan berjalan seiring dengan
perkembangan kemajuan teknologi seperti penciptaan beragam kendaraan dan
bermacam-macam perubahan pola makan seperti fast food dan bentuk lain.
Industrialisasi telah ikut memiliki andil terhadap semakin tumbuhnya orang-orang
dengan disabilitas.

2. Kategori Disabilitas
Menurut Rollands dalam Juliet C. Rothman (2003) terdapat 3 (tiga) katagori
penyandang Disabilitas yang menunjukkan identitas penyandang Disabilitas:
a. Progresif Disabilities (penyandang Disabilitas kondisi Disabilitasnya terus

berkembang). Kelompok yang termasuk kedalam katagori ini adalah para
penderita penyakit seperti penderita Alzheimer dan diabetes. Orang-orang
yang termasuk kedalam katagori ini pada suatu waktu akan mengalami kondisi
Disabilitas karena akan terus mengalami penurunan fungsi organ tubuh
meskipun secara bertahap.
b. Constan Disabilitas (Disabilitas Permanen). Kondisi Disabilitas yang dialami
seseorang baik semnjak ia lahir ataupun diperoleh semasa hidupnya seperti
gangguan syaraf tulang belakang atau orang memiliki kekurangan anggota
tubuh seperti kaki dan tangan. Bagi orang yang mendapatkan Disabilitas pada

10

saat hidupnya akan mengakibatkan trauma dan memerlukan pendampingan
untuk membantu penyandang Disabilitas tersebut dalam menghadapi
perubahan hidupnya.
c. Relaping or Episodic Disabilitas. Katagori ini merupakan Disabilitas yang
timbul secara tiba-tiba sdan sulit diprediksi. Disabilitas ini sekilas tidak terlihat
terhadap penyandangnya , namun bisa muncul secara tiba-tiba seperti
penderita epilepsi, dan penyakit lupus.
Kategori tentang Disabilitas ini dapat membantu pekerja sosial dalam memahami

masalah dari klien, dan masalah yang berhubungan dengan kondisi penyandang
Disabilitas. Hal ini juga diperlukan untuk diketahui dari penyandang Disabilitas
adalah mengenai ras, etnik, gender, dan orientasi seksual yang dapat dijadikan
sebagai pedoman kerangka kerja untuk menyediakan pelayanan. Pengelompokkan
katagori tersebut dapat digunakan oleh pekerja soaial untuk memudahkan dalam
menyusun kerangka kerja dalam memberikam pelayanan maupun untuk
memudahkan menjangkau sistem pelayanan yang sesuai bagi

penyandang

Disabilitas
International clasification of fuctioning disbility and health (world health
organizatio 2001:19, international of functioning disability and haelth ICF),
Menjelaskan adanya hubungana antara gangguan fungtioning dengan disability.
Keterbatasan yang dimiliki seseorang dapat dapat dikurangi dengan melakukan
pendekatan kesehatan bagi diri penyandang Disabilitas. Kemampuan seorang
individu dalam arti keberfungsian fisik seseorang memiliki hunbungan antara
kondisi kesehatan dengan lingkungan dan faktor individu itu sendiri. Berikut ini
kategori Disabilitas terlihat dalam uraian sebagai berikut :
a. Individu yang mengalami infairment tanpa memiliki keterbatasa kemampuan.

Contohnya seseorang penderita kusta yang masih mampu beaktivitas.
b. Individu yang mengalami masalah penampilan dan memiliki kemampuan yang
terbatas tanpa mengalami suatu inpairment. Contohnya seperti orang yang
mengalami kondisi sakit, kondisi penampilannya tidak terlihat mengalami
suatu inpairment.
c. Individu yang mengalami masalah penampilan tanpa menunjukan masalah
inpairment pada dirinya atau keterbatasan kemampuan. Hal ini dapat
dicontohkan dengan seorang penderita HIV/AIDS yang terlihat seperti biasa,

11

dapat beraktifitas normal dan tidak mengalami keterbatasan meskipun
sebenarnya ada penyakit di dalam tubuhnya.
d. Seseorang yang memiliki keterbatasan kemampuan tetapi tidak bermasalah
untuk tampildalam lingkungan karena dukungan teknologi sebagai upaya
mengatasi keterbatasan yang dimilikinya.
e. Individu dengan pengalaman yang tidak baik yang mempengaruhi penerimaan
terhadap dirinya sendiri seperti seseorang dengan Disabilitas fisik akan
dianggap sebagai seseorang yang tidak memiliki keterampilan secara sosial.
3. Jenis Disabilitas
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat, maka jenis-jenis atau macam-macam kecacatan atau difabel dapat
dikategorikan antara lain :
a. Cacat fisik
Yaitu kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain
gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara. Yang
termasuk dalam criteria ini adalah: cacat kaki, cacat punggung, cacat tangan,
cacat jari, cacat leher, cacat netra, cacat rungu, cacat wicara, cacat raba (rasa),
cacat pembawaan. Cacat tubuh memiliki banyak istilah, salah satunya adalah
tuna daksa. Istilah ini berasal dari kata tuna yang berarati rugi atau kurang,
sedangkan daksa berarti tubuh. Jadi tuna daksa ditujukan bagi mereka yang
memiliki anggota tubuh tidak sempurna. Cacat tubuh dapat digolongkan
sebagai berikut:
- Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir, disebabkan oleh penyakit,
-

disebabkan kecelakaan, dan disebabkan oleh perang.
Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai dan lengan; cacat
tulang, sendi, dan otot pada tungkai dan lengan; cacat tulang punggung;
celebral palsy; cacat lain yang termasuk pada cacat tubuh orthopedi;

paraplegia.
b. Cacat mental
Yaitu kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat
dari penyakit, antara lain: retardasi mental, gangguan psikiatrik fungsional,
alkoholisme, gangguan mental organik dan epilepsi.
c. Cacat Ganda atau Cacat Fisik dan Mental
Yaitu keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.
Apabila yang cacat adalah keduanya maka akan sangat mengganggu
penyandang cacatnya.

12

Lembaga Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) melalui
“Buku Saku Kekerasan pada Perempuan dengan Disabilitas” memberikan penjelasan
mengenai jenis penyandang disabilitas dalam empat kelompok, sebagai berikut :
a. Disabilitas Rungu-Wicara
Disabilitas wicara atau gangguan bicara adalah suatu gangguan dimana seseorang
mengalami kesulitan bicara, bisa disebabkan adanya kelainan bentuk atau tidak
berfungsinya alat-alat bicara, kurang atau tidak berfungsinya indera pendengaran,
keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan pada sistem syaraf dan struktur
otot dan ketidakmampuan dalam mengontrol gerak. Secara umum orang dengan
gangguan pendengaran atau penyandang disabilitas rungu dan wicara sering
menggunakan isyarat dalam hambatan berkomunikasi, kurang tanggap bila diajak
bicara, kata-kata yang diucapkan tidak jelas. Sering juga mereka menutup diri dari
disabilitas yang lain atau non disabilitas karena mereka sering tidak bisa
memahami komunikasi dengan disabilitas rungu-wicara.
b. Disabilitas Netra
Gangguan penglihatan (disabilitas netra) adalah kondisi seseorang yang
mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya, dimana jenis
disabilitas netra antara lain:
a) Low Vision
Seseorang dikatakan low vision apabila memiliki kelainan fungsi penglihatan
dengan jarak pandang maksimal 6 meter dan luas pandangan 20 derajat.
Beberapa ciri yang tampak pada low vision, antara lain:
- Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat
- Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
- Mata tampak lain, terlihat putih di tengah mata atau kornea (bagian bening
-

di depan mata) terlihat berkabut.
Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang
dan saat mencoba melihat sesuatu. Lebih sulit melihat pada malam hari

-

daripada siang hari
Pernah mengalami operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat

tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.
b) Total blind
Total blind adalah keadaan dimana seseorang sama sekali tidak dapat melihat
atau mengalami kebutaan total.
c. Disabilitas Fisik (Daksa)

13

Disabilitas fisik dapat dilihat dalam beberapa jenis gangguan dan mobilitas yang
dialami, antara lain :
a) Gangguan pada anggota tubuh seperti kaki, tangan dll
Gangguan ini terjadi akibat terbatasnya kemampuan anggota tubuh untuk
melakukan gerak dan perpindahan sehingga memerlukan alat bantu untuk
melakukan aktivitas.
b) Gangguan fungsi tubuh akibat spinal bifida
Spinal bifida adalah suatu keadaan yang dialami oleh seorang yang berupa
kelainan tulang belakang, yaitu adanya celah pada tulang belakang yang
disebabkan oleh adanya ruas-ruas tulang belakang yang gagal menyatu dari
awal proses kehamilan. Gangguan ini mengakibatkan tungkai kaki pengkor,
kelumpuhan kaki, tidak dapat mengontrol buang air kecil dan besar, serta
gangguan tumbuh kembang lainya.
c) Gangguan fungsi tubuh akibat spinal cord injury (SCI)
SCI merupakan suatu kondisi yang dihasilkan dari adanya kerusakan atau
trauma pada jaringan tulang belakang. Ini bisa disebabkan oleh peristiwa
kecelakaan. Jenis SCI dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
 Gangguan fungsi tubuh akibat paraphlegia
Gangguan fungsi tubuh akibat paraphlegia ini adalah gangguan fungsi


tubuh akibat kelumpuhan pada tungkai kaki.
Gangguan fungsi tubuh akibat hemiplegia
Gangguan fungsi tubuh akibat hemiplegia ini adalah gangguan fungsi
tubuh yang diakibatkan oleh kelumpuhan pada bagian atas dan bawah



tubuh pada sisi yang sama
Gangguan fungsi tubuh akibat amputasi
Gangguan fungsi tubuh akibat amputasi adalah gangguan fungsi tubuh
yang kehilangan sebagian anggota gerak baik tangan ataupun kaki, baik



sebagian ataupun seluruhnya.
Gangguan fungsi tubuh akibat polio
Poliomielitis atau polio adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang
disebabkan oleh virus Poliobirus (PB) yang masuk ke tubuh melalui mulut
dan menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran dan
mengalir ke sistem syaraf pusat sehingga dapat menyebabkan melemahnya
otot bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan.

d. Disabilitas Grahita
Disabilitas grahita merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang
mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah lain untuk anak
disabilitas grahita dengan sebutan anak dengan hambatan perkembangan

14

intelektual. Diambil dari kata Children with developmental impairment, kata
impairment diartikan sebagai penurunan kemampuan atau berkurangnya
kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas. Faktor penyebab
grahita, antara lain :






Genetik atau keturunan
Sebab-sebab pada masa prenatal (masa kehamilan)
Sebab-sebab pada masa natal (proses melahirkan),
Sebab-sebab pada post natal (pasca melahirkan),
Faktor sosiokultural (lingkungan).

4. Dampak Disabilitas
Disabilitas tentunya menimbulkan dampak terhadap fisik, pendidikan, vokasional
maupun ekonomi. Selain itu dampak yang juga ditimbulkan akibat dari Disabilitas
adalah timbulnya masalah psikososial seperti seseorang penyandang Disabilitas
akan memiliki kecenderungan untuk menjadi rendah diri atau sebaliknya
menghargai diri terlalu berlebihan, mudah tersinggung, terkadang agresif, pesimis,
labil sulit mengambil keputusan, menarik diri dari lingkungan, kecemasan,
ketidakmampuan dalam berhubungan dengan orang lain dan ketidakmampuan
mengambil peranan sosial.
Disabilitas memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seseorang.
Menurut Kubler-Ross (1969) mengemukakan model griefing dengan lima tahapan
dalam griefing, reaksi ini mungkin terjadi secara berurutan dan suatu waktu dapat
timbul secara bersamaan. (Zastrow, 2004) sebagai berikut :
 Denial atau penyangkalan
 Anger atau marah
 Bergaining atau adanya pertimbangan dalam dirinya
 Mood depresi atau sedih
 Acceptance penerimaan dengan mengatasi masalah
Selain itu masih terdapat sikap dan tanggapan masyarakat yang kurang
menguntungkan secara luas yang tergambar seperti :


Masih adanya sikap ragu ragu terhadap kemampuan atau potensi penyandang



Disabilitas.
Masih adanya sikap masa bodoh sementara lapisan masyarakat terhadap



permasalahan penyandang Disabilitas.
Belum luasnya partisipasi masyarakat di dalam menangani permasalah
penyandang Disabilitas.

15



Masih lemahnya sementara organisasi sosial yang bergerak di bidang



Disabilitas di dalam melaksanakan operasinya atau kegiatan.
Belum atau masih terbatasnya fasilitas umum yang dapat dipergunakan oleh
penyandang Disabilitas.

Hambatan - hambatan yang dialami oleh penyandang Disabilitas dalam kehidupan
sehari-hari yaitu :


Hambatan dalam proses belajar seperti membaca, belajar menulis dan



berhitung.
Hambatan dalam penerapan pengetahuan seperti memfokuskan perhatian,



berpikir, membaca, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan.
Hambatan dalam melaksanakan kebutuhan dan tugas umum seperti melakukan
tugas tunggal dan tugas ganda, melakukan kegiatan harian, mengatasi stress



dan tuntutan psikologik lainnya.
Hambatan dalam komunikasi seperti komunikasi verbal dan non verbal,
menerima pesan tertulis, berbicara, menyampaikan pesan non verbal maupun



bahasa isyarat dan pesan tertulis.
Hambatan dalam mobilitas. Seperti pada saat Merubah dan mempertahankan
posisi tubuh, berpindah tempat, Mengangkat dan memindahkan barang,
Berjalan dan berpindah tempat, Bergerak dan menggunakan alat transportasi,



seperti transportasi umum dll, menyetir mobil.
Hambatan dalam perawatan diri seperti mandi perawatan tubuh, berpakaian,



buang air, makan, minum dan memelihara kesehatan diri.
Hambatan dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga, seperti menyiapkan



makanan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Hambatan dalam kehidupan komunitas atau kemasyarakatan, sosial dan
bernegara seperti kehidupan bermasyarakat, kebutuhan rekreasi dan istirahat,
kebutuhan beragama dan spiritual, hak asasi manusia, kehidupan politik dan
bewarganegara.

5. Hak penyandang Disabilitas
a. Kesetaraan dan Nondiskriminasi

16

Hak-hak terhadap perlindungan dan keuntungan yang sama dari hukum
harus diberikan kepada semua penyandang Disabilitas tanpa pengecualian apa
pun dan tanpa pembedaan atau diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal usul
nasional atau social, kekayaan, kelahiran atau situasi lain dari penyandang
Disabilitas itu sendiri atau pun keluarganya.
b. Anak-Anak Penyandang Disabilitas. Negara menjamin segala tindakan
berkaitan dengan anak-anak penyandang Disabilitas, kepentingan terbaik
harus menjadi bahan pertimbang utama.
c. Aksesibilitas. Dalam rangka memampukan

orang-orang

penyandang

Disabilitas untuk hidup secara mandiri dan berpartisipasi penuh dalam segala
aspek kehidupan, Negara harus melakukan langkah-langkah aksesibilitas
dalam berbagai aspek seperti informasi, fasilitas di dalam dan di luar
bangunan ddan menjamin pelayanan yang terbuka atau yang disediakan bagi
publik mempertimbangkan semua aspek dalam hal aksesibilitas yang dihadapi
penyandang Disabilitas.
d. Hidup mandiri dan keterlibatan di dalam masyarakat Penyandang Disabilitas
berhak atas tempat tinggal dan pilihan dengan siapa mereka tinggal.
Penyandang Disabilitas berhak atas jaminan ekonomi dan sosial atas tingkat
kehidupan yang layak. Mereka berhak, tergantung pada kemampuan mereka,
untuk mendapatkan dan memperoleh pekerjaan atau terlibat dalam pekerjaan
yang berguna, produktif, dan menghasilkan

penghasilan, serta untuk

bergabung dengan serikat pekerja.
e. Pendidikan. Negara menjamin suatu sistem pendidikan inklusi di semua
tingkatan dan pembelajaran jangka panjang untuk pengembangan personalitas
bakat dan kreatifitas serta kemampuan mental dan fisik orang penyandang
Disabilitas sejauh potensi mereka memungkinkan.
f. Kesehatan. Negara harus mengambil semua langkah yang layak untul
menjamin akses penyandang Disabilitas atas perlakuan medis, psikologis, dan
fungsional termasuk peralatan-peralatan prostetik dan ortetik, atas rehabilitasi
medis dan sosial, pendidikan, pelatihan dan rehabilitasi, bantuan, konseling,
jasa penempatan, dan jasa-jasa lainnya yang akan memungkinkan mereka
untuk membangun kemampuan dan keahlian mereka semaksimum mungkin
dan akan mempercepat proses integrasi atau reintegrasi sosial mereka.

17

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hak – hak

penyandang

Disabilitas, meliputi persamaan harkat dan martabat atas dasar kemanusiaan,
kesamaan dalam hak sipil dan politik, hak atas kemandirian (independent living),
memperoleh pelayanan (pendidikan, kesehatan, social, rehabilitasi dan lain-lain),
jaminan ekonomi dan sosial, Hak memperoleh kebutuhan khusus, partisipasi
perlindungan sosial, bantuan hokum, organisasi dan informasi yang berkenaan
dengan isu-isu hak penyandang Disabilitas.
6. Pelayanan sosial terhadap penyandang Disabilitas
Terdapat 3 konsep dasar upaya pelayanan terhadap penyandang Disabilitas:
a. Pencegahan adalah suatu tindakan yang ditunjukan untuk mencegah terjadinya
Disabilitas (impairment) fisik, intelektual, psikiatrik atau indera (pencegahan
primer) atau mencegah agar Disabilitas tersebut tiding mengakibatkan
keterbatasan kemampuan yang permanen atau disability (pencegahan
sekunder). Pencegahan dapat meliputi berbagai macam tindakan, seperti
perawatan kesehatan primer, perawatan anak pada masa prenatal dan postnatal,
pendidikan gizi, kampanye imunisasi terhadap penyakit-penyakit menular,
berbagai penanggulangan untuk penyakit-penyakit endemik, peraturan
keselamatan. Program pencegahan kecelakaan dalam berbagai macam
lingkungan yang mencakup penyesuaian tempat kerja untuk mencegah
terjadinya keterbatasan kemampuan kerja serta penyakit dan pencegahan
Disabilitas akibat polusi lingkungan atau perang
b. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan proses yang ditunjukan untuk memungkinkan para
penyandang Disabilitas mencapai dan mempertahankan tingkat kemampuan
fisik, penginderaan, intelektual, psikiatrik dan atau kemampuan sosial secara
optimal sehingga mereka memiliki cara untuk mengubah kehidupannya ke
tingkat kemandirian yang lebih tinggi. Rehabilitasi dapat mencakup upayaupaya untuk menanamkan dan atau memulihkan kemampuan-kemampuan,
atau memberikan kemampuan lain untuk menggantikan kemampuan yang
hilang atau tidak memiliki atau kemampuan terbatas. Proses rehabilitasi tidak
mencakup perawatan medis awal. Proses ini mencakup upaya-upaya dan
kegiatan-kegiatan dalan cangkupan yang luas, mulai dari rehabilitasi dasar dan

18

umum hingga kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu, seperti
rehabilitasi kekaryaan.
c. Persamaan Kesempatan
Persamaan kesempatan adalah proses yang menyebabkan berbagai system
yang terdapat di masyarakat dan lingkungan, seperti system pelayanan,
kegiatan social, informasi dan dokumentasi, dapat dinikmati oleh semua
orang, khususnya para penyandang Disabilitas. Prinsip persamaan hak
mengandung arti bahwa kebutuhan-kebutuhan setiap individu itu sama
pentingnya, bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dijadikan sebagai
dasar perencanaan masyarakat dan bahwa semua sumber harus dimanfaatkan
sedemikian rupa sehingga menjamin agar setiap individu memperoleh
kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.
Para penyandang Disabilitas adalah anggota masyarakat dan mempunyai hak
untuk berada di dalam lingkungan masyarakatnya. Mereka seyogyanya mendapat
dukungan yang mereka butuhkan melalui system pendidikan, kesehatan,
penyediaan lapangan kerja dan pelayanan sosial yang berlaku umum. Karena
penyandang Disabilitas memiliki hak-hak yang sama, mereka pun harus
mempunyai kewajiban yang sama pula. Agar hak-hak tersebut dapat diperoleh,
masyarakat harus meningkatkan harapannya tentang hal-hal yang dapat dicapai
oleh para penyandang Disabilitas. Sebagai bagian dari proses persamaan
kesempatan, sarana dan prasarana seyogyanya disediakan untuk membantu para
penyandang Disabilitas agar mereka dapat mengemban tanggung jawabnya secara
penuh sebagai anggota masyarakat. Mencermati permasalahan yang muncul
terhadap penyandang Disabilitas yang kuantitas terus meningkat diperlukan
penanganan atas permasalahan yang timbul sebagai akibat dari Disabilitas yang
dialami sehingga penyandang Disabilitas dapat menjalankan peran dan fungsi
sosialnya sesuai dengan derajat dan jenis Disabilitas yang dialaminya untuk dapat
hidup lebih baik.
Permasalahan penyandang Disabilitas merupakan ketidak mampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari, timbul bukan saja oleh karena adanya
impairment yang dialaminya, tetapi disebabkan pula oleh faktor-faktor
lingkungan di luar kemampuan individu yang bersangkutan.

19

Pelaksanaan model individual dan model sosial yang dipakai dalam menangani
permasalahan penyandang Disabilitas memelukan kondisi tertentu. Model sosial
dan model individual, dalam implementasi kebijakan tidak dapat berdiri sendirisendiri sehingga permasalahan penyadang Disabilitas haruslah dilihat sebagai
sesuatu yang universal dan menyeluruh. Universal dan menyeluruh dalam
pengartian bahwa Disabilitas merupakan kondisi yang wajar dalam setiap
masyarakat, yang seharusnya juga memandang bahwa kebutuhan penyandang
Disabilitas adalah sama seperti warga Negara lainnya dengan mengintegrasikan
penyandang Disabilitas dalam semua kebijakan yang menyangkut segala aspek
hidup dan penghidupan. Dua model pelayanan bagi penyandang Disabilitas :
a) Model individual
Model yang dipergunakan dalam kebijakan masalah penyandang
Disabilitas sangat ditentukan oleh bagaimana permasalahan tersebut
dikonseptualisasikan.Terdapat dua hal yang harus dipahami dalam konteks
model individual yaitu keadaan Disabilitas seseorang sebagai individu dan
bagaimana masalah akan timbul akibat dari keterbatasan yang dimiliki
seseorang penyandang Disabilitas tersebut sebagai individu. Disabilitas
dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas
yang dianggap normal/ layak akibat impairment yang dialaminya. Model
individual tersebut memandang suatu Disabilitas sebagai personal tragedy
atau ketidak beruntungan seseorang. (Michael Oliver 1996).
b) Model sosial
Model individu model medis adalah model kebijakan penanganan
masalah penyandang Disabilitas yang dapat digunakan dalam memberikan
pelayanan terhadap penyandang Disabilitas. Namun juga terdapat faktorfaktor di luar individu, seperti lingkungan fisik dan non fisik juga turut
menyebabkan seseorang menjadi penyandang Disabilitas. Kondisi inilah yang
mendasari timbulnya model sosial. sosial model tidak memandang seseorang
berdasarkan

kondisi

Disabilitasnya

melainkan

lebih

kepada

upaya

menghadapi tekanan sosial yang diberikan masyarakat kepada penyandang
Disabilitas termasuk

pelayanan yang diberikan kepada penyandang

Disabilitas.
A. Peran dan fungsi keluarga terhadap Anak penyandang Disabilitas

20

Keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang terdiri dari Ayah, Ibu dan keluarga
yang merupakan tempat yang penting, dimana anak memperoleh dasar dalam
membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang berhasil di masyarakat.
Keluarga sebagai landasan Utama dan pertama bagi anak yang memberikan berbagai
macam bentuk dasar sebagai berikut :
a. Di dalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera seorang anak termasuk
anak

penyandang

disabilitas

akan

memperoleh

latihan-latihan

dalam

mengembangkan sikap social yang baik dan kebiasaan berprilaku misalnya ; anak
melakukan tugas-tugas tertentu dan mengikuti tatacara keluarganya, belajar
disiplin diri dan disiplin waktu agar kelak kebiasaan disiplin sudah terbentuk dan
memudahkan anak dalam pergaulan dan hubungannya dengan teman-teman, serta
mendukung kelancaran perkembangan daya pikir (kognitif) dan prestasi
disekolah.
b. Didalam keluarga dan hubungan-hubungan antar anggota keluarga membentuk
pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan social dan interaksi social yang
lebih luas. Anak akan belajar dari latihan-latihan dasar untuk mengembangkan
sikap social yang baik, kebiasaan-kebiasaan bertingkah laku yang memudahkan
terbentuknya perilaku positif. Dengan demikian melalui keluarga maka kebutuhan
fisik, intelektual, social, emosional dan kebutuhan moral anak termasuk anak
dengan kecacatan dapat terpenuhi dengan baik oleh keluarganya serta
lingkungannya.
1. Peran Keluarga terhadap Anak penyandang Disabilitas :
 Sebagai Pendidik, Keluarga adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya


termasuk anak penyandang Disabilitas.
Sebagai Pelindung, Keluarga melindungi anak dari perlakuan dan situasi



yang dapat mengancam keselamatan maupun menimbulkan penderitaannya.
Sebagai pemotivasi (motivator) Anak yang mempunyai masalah,
memerlukan dorongan dan dukungan dari keluarga. Oleh karenanya,
keluarga harus mampu memeberikan motivasi, agar anak memiliki



semangat yang baik untuk berkembang dan menjadi lebih sejahtera.
Sebagai Pelayan, Dengan kecacatan pada anak memiliki banyak
keterbatasan dan kelemahan, oleh karenanya keluarga harus memberikan
pelayanan yang baik kepada anak. Pelayanan tersebut berkaitan dengan
upaya memenuhi kebutuhan anak, baik yang bersifat fisik, psikis maupun
social.

21



Sebagai tempat Curah Hati, Keluarga diharapkan menjadi tempat yang
nyaman bagi anak termasuk anak dengan kecacatan dalam mencurahkan
perasaan hatinya atau mengatasi masalahnya tersebut.

2. Fungsi keluarga terhadap Anak penyandang Disabilitas
 Fungsi Afeksi, Meliputi kegiatan untuk menumbuh kembangkan hubungan
social dan kejiwaan kepada seluruh anggota keluarga termasuk anak dengan


disabilitas yang diwarnai kasih sayang, ketentraman dan kedekatan.
Fungsi Perlindungan, Menjaga dan menghindarkan anggota keluarga
termasuk anak dengan disabilitas dari situasi atau tindakan yang dapat
membahayakan atau menghambat kelangsungan hidup, pertumbuhan dan



perkembangan secara wajar.
Fungsi pendidikan, Untuk meningkatkan kemampuan maupun sikap dan
perilaku anggota keluarga termasuk anak dengan disabilitas guna
mendukung proses penciptaan kehidupan dan penghidupan keluarga yang



sejahtera.
Fungsi keagamaan, Kegiatan keluarga yang ditujukan untuk meningkatkan
hubungan anggota keluarga termasuk anak penyandang disabilitas dengan
Tuhan Yang maha Esa, sehingga keluarga dapat menjadi wahana
persemaian nilai-nilai keagamaan guna membangun jiwa anggota keluarga
yang beriman dan bertaqwa.

B. Permasalahan penyandang Disabilitas dalam keluarga
Ketika orang tua dan atau pihak keluarga menangkap adanya suatu gejala dan
kondisi anak dengan kecacatan yang dinilai tidak sesuai dengan harapan dan tuntunan
tugas perkembangan atau tidak sesuai dengan prilaku anak seusianya, maka sikap
awal yang biasanya berkembang pada orang tua dan keluarga adalah marah, bingung,
kecewa dan merasa bersalah sehingga sering muncul penolakan dan reaksi-reaksi lain
seperti berikut ini :
 Isolasi Keluarga. Keluarga cenderung menyembunyikan anaknya yang
mengalami kecacatan, dan menghindarkan anaknya tersebut dari
pergaulan.

Dengan

terkungkung,
lingkungannya.

tidak

demikian
bisa

anak

dengan

berkomunikasi

kecacatan

secara

baik

menjadi
dengan

22



Stigma Keluarga, keluarga sering mengalami kesulitan bicara dengan
orang lain tentang anaknya, karena kecacatan sering dikaitkan dengan
AIB keluarga. Kecacatan juga kerapkali dikaitkan dengan perasaan
berdosa, rasa tidak layak,kekecewaan dan kemarahan. Kurangnya
pengetahuan keluarga terhadap kecacatan juga menambah kebingungan



dan perasaan tidak berdaya.
Gangguan komunikasi dengan keluarga, Keberadaan anak penyandang
Disabilitas dapat menimbulkan beban mental bagi keluarga. Hal ini
dapat menimbulkan gangguan komunikasi dalam keluarga, seperti :
Cepat saling menyalahkan, Sulit mendengar, Penyimpangan makna,
irrasional dsb nya.

C. Pekerjaan sosial dengan keluarga Disabilitas
Profesi pekerjaan sosial sangat berhubungan erat dengan para penyandang
disabilitas, dimana penyandang disabilitas adalah individu yang memiliki
keterbatasan untuk menjalankan peran dan fungsi sosialnya secara normal dan wajar.
Untuk memperjelas hubungan antara pekerjaaan sosial dengan penyandang
disabilitas, maka di bawah ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai pengertian
pekerjaan sosial, masalah sosial, dan kesejahteraan sosial. Pekerjaan Sosial
didefinisikan sebagai metode yang bersifat sosial dan institusional untuk membantu
seseorang mencegah dan memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi,
untuk memulihkan dan meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi sosial mereka.
Kemudian, Masalah Sosial merupakan sebuah perbedaan terhadap harapan dan
kenyataan atau juga sebagai suatu kesenjangan diantara situasi yang ada dengan
situasi yang seharusnya. Adanya masalah sosial di pandang oleh sejumlah orang
dalam

masyarakat

merupakan

kondisi

yang

tidak

diharapkan.

Sedangkan

kesejahteraan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang betujuan untuk
membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya
dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat
(Suharto, 2005).
Setelah membaca beberapa definisi tentang pekerjaan sosial, masalah sosial,
dan kesejahteraan sosial di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga komponen tersebut
meruapakan hal yang berkaitan satu sama lainnya. Ketika para penyandang disabilitas
adalah seseorang yang menimbulkan permasalahan secara pribadi maupun sosial,
maka seorang pekerja sosial adalah profesi yang akan membantu meningkatkan

23

kesejahteraan sosial para penyandang disabilitas agar hidup dengan rasa nyaman,
aman, dan tentram serta memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dilihat dari pemahaman pekerjaan sosial, masalah sosial, dan kesejahteraan sosial di
atas, maka fungsi-fungsi utama pekerjaan sosial terhadap penyandang disabilitas
antara lain:
1. Membantu penyandang disabilitas untuk meningkatkan dan menggunakan
kemampuannya secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan
memecahkan masalah-masalah sosial penyandang disabilitas.
2. Mengkaitkan penyandang disabilitas dengan sistem-sistem sumber.
3. Memberikan fasilitas pada penyandang disabilitas untuk berinteraksi dengan
sistem-sistem sumber
4. Mempengaruhi kebijakan sosial penyandang disabilitas.
5. Memberikan pelayanan sebagai pelaksana kontrol sosial.
a. Tujuan pelayanan
Adapun tujuan praktik pekerjaan sosial pelayanan terhadap disabilitas yaitu ;
 Tujuan umum, yaitu terbina nya penyandang disabilitas sehingga mampu
melaksanakan fungsi sosialnya, memiliki kepercayaan diri, memiliki
keterampilan dan mampu hidup mandiri dalam tatanan kehidupan
lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan sosial


masyarakat.
Tujuan khusus, yaitu memulihkan kondisi fisik, psikis dan sosialnya agar
mampu melaksanakan fungsi sosialnya di lingkungan keluarga dan



masyarakat.
Mengembalikan



melaksanakan tugas-tugas kehidupanya.
Mengembangkan kapasitas dirinya guna mendukung pelaksanaan aktivitas



sehari-hari dilingkungan keluarga dan masyarakat
Mewujudkan situasi kehidupan dan lingkungan sosial yang mendukng



keberfungsian sosial bagi penyandang disabilitas.
Mencegah terjadinya diskriminasi dan perlakuan sterotipe bagi penyandang



disabilitas.
Menumbuhkan kesadaran keluarga agar mau menerima anggota keluarga

kemampuan

biopsikososialnya

untuk

mampu

nya yang mengalami kecacatan dan menjadikan nya prioritas dalam
memenuhi kebutuhanya.
b. Pendekatan pelayanan
 Pendekatan rehabilitasi

sosial

ini

untuk

menyembuhkan

dan

mengembalikan kepercayaan diri penyandang disabilitas melalui penjelasan

24

dan terpai psikososial untuk pembentukan dan penyembuhan kembali
kondisi fisik, mental, sosial dalam rangka mengembalikan keberfungsian


sosialnya.
Pendekatan

pemberdayaan

sosial,

untuk

meningkatkan

kapasitas

penyandang disabilitas dalam memenuhi dan menjalankan tugas kehidupan


sehingga mampu mempertahankan dan memenuhi kehidupanya.
Pendekatan kelompok sosial, untuk meningkatkan solidaritas antar
kelompok penyandang disabilitas guna menunjang keberhasilan rehabilitasi



yang di terimanya.
Pendekatan lingkungan sosial, penyandang disabilitas adalah kelompok
sosial yang sering mendapat diskriminasi dan handicap dai keluarga, dan
masyarakat sekitarnya sehingga pelayanan yang diberikan perlu melibatkan
keluarga dan masyarakat dari mana penyadang disabilitasi berasal.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disabilitas memang merupakan sebuah kecacatan yang di derita oleh seseorang baik
mental,fisik, maupun mental dan fisik(ganda), namun pada hakekatnya tak seorang pun
yang ingin menderita cacat pada dirinya. Berbeda orang normal pada umumnya mereka
penderita disabilitas memiliki permasalahan secara psikologis maupun fisik, Penyebab
terjadinya

disabilitas

berbeda,

ada

yang

merupakan

cacat

dari

lahir,cacat

kecelakaan,akibat penyakit kronis dan banyak lagi hal tersebut membuat mereka rendah
diri dan merasa tidak berguna di tengah kehidupan bermasyarakat,perasaan tersebut
timbul karena pada dasarnya selama ini kepedulian masyarakat terhadap kaum disabilitas
sangat kurang bahkan mereka di hina dan dikucilkan oleh orang lain.Hal tersebut tidak
mungkin terus menerus di biarkan,di perlukan sikap dan pendekatan yang baik kepada
penderita disabilitas agar merubah pola pikir mereka dan lebih memahami diri mereka
bahwa diri mereka dapat bermanfaat untuk orang lain dan dapat melakukan aktivitas
kehidupan layaknya manusia normal pada umumnya.
Pengasuhan yang baik harus diberikan kepada setiap anak tidak terkecuali anak
dengan disabilitas. Pengasuhan dari orangtua bertujuan agar anak dapat memenuhi
haknya. Setidaknya terdapat empat hak yang harus dimiliki oleh anak antara lain: Hak
mendapatkan penghidupan yang layak, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk

25

berpendapat, dan hak berpartisipasi. Akan tetapi masih banyak orangtua yang tidak
menerima anak dengan disabilitas, orangtua menganggap anak mereka tidak dapat
berbuat apa-apa, tidak sanggup, dan hanya bisa mengandalkan bantuan orang lain. Rasa
malu dan kecewa pun dirasakan orangtua, karena mereka malu mempunyai anak yang
tidak sempurnya. Dalam hal ini, perlu adanya informasi yang diberikan kepada orangtua,
motivasi atau support dari lingkungan sekitar, dan pemberian pengertian mengenai anak
dengan disabilitas. Dalam memberikan pengasuhan kepada anak dengan disabilitas,
keluarga khususnya orangtua dapat mengimplementasikan fungsi keluarga berupa fungsi
afeksi, keamanan dan penerimaan, identitas, kontrol, dan sosialisasi. Selain itu, parent
support group dapat dipraktikan misalnya di sekolah khusus anak dengan disabilitas
(SLB), perkumpulan penyandang disabilitas. Pekerja sosial dapat memfasilitasi konseling
kepada orangtua dan memberikan edukasi mengenai pengasuhan kepada anak dengan
disabilitas. Pekerja sosial juga memberikan pelayanan menggunakan pendekatan
rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, kelompok sosial dan lingkungan sosial guna
mengembaliakn fungsi sosial penyandang disabilitas agar dapat melaksanakan tugas
kehidupanya di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat karena Penyandang
disabilitas juga ingin mencapai taraf kesejahteraan social yang baik, dimana mereka
mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa mengharapkan belas kasihan orang
lain. Mereka menjadi tauladan bagi orang-orang yang normal dengan segala
kekurangannya tapi mereka mampu menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya
dan orang banyak. Meraka ingin menjadi motivator yang handal dimana mereka mampu
untuk memberi semangat kepada orang lain agar tidak mudah untuk berputus asa dalam
menjalani kehidupan yang pada dasarnya sangat sederhana ini.
B. Saran
 Perlunya mengembangkan program pendampingan psikososial bagi keluarga
dengan anak disabilitas. Keluarga yang memiliki anak disabilitas terkadang
mereka dihadapkan kepada persoalan sosial psikologis akibat kedisabilitasan
anaknya. Khususnya pada keluargakeluarga miskin ibu bapa tidak memiliki akses
terhadap pelayanan dan solusi masalah. Pekerja sosial ini bisa difungsikan untuk
melakukan pendampingan psikososial, dengan melakukan beberapa aktivitas
terhadap keluarga dan anak-anak disabilitas, yaitu :
a. Konseling keluarga maupun individual, untuk membantu anak dan keluarga
menyelesaikan permasalahan sosial dan psikologis.
b. Pendidikan pengasuhan anak dengan kedisabilitasan (parenting skill)

26

c. Peningkatan pengetahuan orang tua tentang masalah kedisabilitasan, hak dan
keperluan khusus anak disabilitas, serta pentingnya dukungan ibu bapa terhadap
perkembangan anak dengan kedisabilitasan
d. Membantu akses anak disabilitas kepada pendidikan, kesehatan mahupun bermain
dan rekreasi, karena pelayanan publik di Indonesia belum responsif terhadap
masyarakat dengan keperluan khusus, termasuk bagi anak dengan kedisabilitasan.
e. Mengidentifikasi potensi, bakat dan minat anak dengan kedisabilitasan dan
membantu akses untuk pengembangan potensi, bakat dan minat anak tersebut.
f. Membantu akses keluarga terhadap pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan baik
oleh keluarga maupun dibutuhkan anak,
g. Perlu melibatkan partisipasi aktif dari kelompok sasaran. Pekerja sosial perlu
mengajak kelompok sasaran untuk menemukan permasalahan dan yang mereka
hadapi. Rencana aktivitas dan pelaksanaan aktivitas juga perlu melibatkan
partisipasi aktif kelompok sasaran.
h. Asesmen juga perlu melibatkan anak. Berbagai program untuk anak biasanya
berdasarkan pandangan orang dewasa, suara anak sama sekali tidak mendapatkan
perhatian. Kondisi ini dapat menghasilkan program yang tidak menyentuh
keperluan anak yang sesungguhnya. Perlunya memperhatikan suara anak juga
selaras dengan konsep pelayanan sosial berbasi hak (right based services), bahwa
program bukan saja sekedar merespon masalah anak namun dilakukan untuk


memenuhi hak anak.
Perlunya mengimplementasikan produk hukum yang terkait dengan perlindungan
anak, yang juga menyentuh persoalan anak dengan disabilitas.
Undang-undang perlindungan anak no 23 tahun 2002 dan konvensi hak anak yang
diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres no 36 tahun 1990, serta UU no
19 tahun 2011 tentang pengesahan konvensi hak-hak penyandang disabilitas
sekarang ini menjadi dasar perlindungan dan pemenuhan hak anak dengan
disabilitas. Namun demikian perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan peraturan
yang memadai dan SOP yang jelas di daerah. Strategi yang bisa dilakukan adalah
menyusun sistem perlindungan anak dengan disabilitas yang harus jelas SOP nya
dipandu secara jelas, terpadu dan berkelanjutan. Strategi tersebut juga
menempatkan keluarga sebagai pusat pelayanan untuk memperkuat tanggung
jawab mereka dalam memberikan perawatan dan perlindungan bagi anak dengan
disabilitas, serta menempatkan pengembangan kelembagaan dan programprogram terkait kesejahteraan sosial dan sistem layanan yang profesional; sejalan
dengan gagasan perubahan paradigma.

27



Rekomendasi terhadap praktik pekerjaan sosial di masyarakat yang saat ini bisa
dilakukan oleh pekerja sosial kementrian sosial :
1) Lakukan proses asesmen secara partisipatif melibatkan kelompok sasaran,
terkait karakteristik kelompok sasaran, kebutuhan kelompok sasaran, sistem
sumber di masyarakat.
2) Lakukan penyusunan rencana tindakan yang disepakati dengan kelompok
sasaran
3) Gunakan kaedah case work, group work dan community organization untuk
menjangkau permasalahan lingkup individual, kelompok dan masyarakat.
4) Pekerja sosial juga dapat menjalankan peran dan aktivititas untuk memudahkan
dalam penerapan model, dengan cara-cara :
a) Membangkitkan semangat, motivasi, menstimulasi, memberikan energi dan
membangun komitmen kelompok sasaran.
b) Membangun kesadaran (consciousness raising) terhadap kondisi mereka dan
keyakinan terhadap perubahan ke arah lebih baik terkait perkembangan
anak-anak mereka yang menderita disabilitas fisik.
c) Mengorganisasikan kelompok sasaran dan sistem sumber yang dapat diajak
terlibat dalam aktivitas.
d) Menggunakan sumber-sumber yang berada dalam komunitas itu sendiri,
seperti misalnya tenaga pekerja sosial masyarakat, pekerja sosial pemerintah
dalam bidang kedisabilitasan, tokoh masyarakat serta non government
organization (NGO) apabila tersedia pada local komuniti.

28

DAFTAR PUSTAKA
http://fisip.unpad.ac.id/kuliah-umum-praktik-pekerjaan-sosial-dengan-populasi-disabilitas/
https://id.scribd.com/doc/255054468/Pekerja-Sosial-Dengan-Disabilitas
http://jurnal.stks.ac.id/index.php/peksos/article/view/39
http://www.balisruti.com/peran-dan-fungsi-keluarga-bagi-anak-dengan-kecacatan.html
http://www.smeru.or.id/cpsp/Paper_rini-paper.pdf
jurnal “PEMENUHAN AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG DISABILITAS” oleh M.
Syafi'ie1
jurnal “PENGKAJIAN KOMPETENSI TENAGA PENDAMPING

BAGI PENYANDANG

DISABILITAS” oleh KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA