Dongeng Anak anak Power Rangers dan Tuha
Dongeng Anak-anak,
“Power Rangers”, dan Tuhan
Aprinus Salam
MEMAHAMI dunia pikirian dan batin anak-anak, tidak hanya
penting, tapi hampir merupakan semacam keniscayaan. Bagaimana
pun juga, merekalah pelanjut penyangga kehidupan pada masa-masa
mendatang. Olehnya karenanya, cobalah kita perhatikan bagaimana
mereka bermain.
Suatu ketika terjadilah perang tanding di antara beberapa
orang anak. Seseorang berkata, “Aku Power Rangers”, maka dengan
gerakan tertentu ia mulai mendemonstrasikan dan melakukan
gerakan serangan khas Power Rangers.
Yang lain tidak mau kalah, “Aku Staria Baja Hitam”. Kemudian
anak itu melakukan reaksi balasan. Berkelahilah antara Power Raners
dan Satria Baja Hitam. Tidak begitu jelas siapa kalah, siapa menang.
Seperti tak disengaja, tampaknya itu pertarungan yang seimbang.
Minimal sebuah pertarungan di antara sesama hero yang selalu
menang.
Seorang anak lain tak mau kalah. Dengan sedikit kejutan, ia
mengatakan, “Aku Laut”. Anak-anak yang terlibat dalam perang
tanding terperangah. Kemudian dengan agak ragu mereka diam-diam
mengakui keunggulan laut. Barangkali dalam benak mereka laut itu
adalah sesuatu yang teramat sangat besar, bisa menenggelamkan
siapa saja. Terbukti Power Rangers dan Satria Baja Hitam lari
menyingkir.
Tak lama kemudian, datang seorang anak lain. Dekil, kepala
gundul,
dan
kurus.
Dengan
ngawur
ia
pun
berteriak,
“Aku
Tuhaaan....”.entah mengapa, anak yang mengaku laut pun merasa
kalah. Sekali lagi, tampaknya, walau ia tak pernah tahu Tuhan itu
seperti apa dan siapa, secara langsung atau tidak Tuhan adalah
1
sesuatu
yang
amat
misterius,
menakutkan,
dan
mampu
mengalahkan siapa saja.
***
DULU, minimal ketika saya masih anak-anak, tokoh idola
(pahlawan) saya adalah semacam Godam, Gundala, Halilintar, atau
Maza. Tentu saja pengetahuan saya tentang tokoh-tokoh tersebut
tidak dari televisi, seperti dialami anak-anak sekarang, melainkan
dari komik-komik yang harus dibaca satu persatu.
Sekarang, -- tentu dengan pahlawan-pahlawan yang baru pula
--, cergam-cergam memang masih diproduksi dan dibaca anak-anak.
Namun, bisa dipastikan jika tokoh hero mereka didominasi oleh
tokoh-tokoh dari media televisi.
Dari situ terlihat bahwa
memproses
anak-anak
ada
sekarang
pergeseran wacana yang
dibanding
dengan
generasi
terdahulu. Yakni dari diskursus visual ke diskursus audiovisual.
Pergeseran ini secara berarti juga menentukan perbedaan cara
bermain anak-anak sekarang dibanding dengan kakaknya terdahulu.
Sebagaimana diketahui, perbedaan elemen visual yang paling
mendasar dari wacana visual (cetak) dan audio visual justru pada
detail-detail visualitsasinya. Pada audio visual sangat memungkinkan
memvisualkan “para tokoh” seolah-olah hidup di antara pemirsanya.
Dengan demikian, sosok tokoh-tokoh idola menghujam sedemikian
rupa dalam kesadaran pemirsanya. Anak-anak memiliki gambaran
yang lebih detail terhadap segala tingkah laku dan gerakan-gerakan
para hero jika sedang berkelahi mengatasi kejahatan.
Tidak demikian halnya dengan generasi Godam dan Gundala.
Dalam visual (gambar cetak), kita tidak dicontohkan sedemikian rupa
untuk melakukan gerakan “baku” ketika akan mantak aji, seperti
halnya terjadi pada Power Rangers atau Satria Baja Hitam. Kita tidak
tahu pasti, sebetulnya jurus andalan Godam itu bagaimana. Atau
bagaimana pula dengan Gundala, jika tidak sedang mengandalkan
petirnya itu.
2
Kemungkinan lain bahwa penikmatan terhadap media tulis
gambar hanya bisa dilakukan oleh anak-anak yang sudah melek
huruf. Suatu hal yang berbeda dengan media audio visual. Oleh
karena itu, jelas bahwa permirsa media audio visual lebih tidak
terbatas dibanding media visual. Itu artinya, proses sosialisasi
“semiotik” terhadap kelompok bermain pada anak-anak generasi
audio visual lebih luas, baik dari segi batas usia maupun kelas sosial.
***
TERLEPAS dari uraian di atas, tentu ada sesuatu yang serius
dari perang-perangan itu. Bahwa ternyata dimensi batiniah/religius
seorang anak tanpa dinyana justru lebih kental dari yang bisa
dibayangkan oleh orang dewasa. Anak-anak sekarang, siapa di
antara mereka yang tidak kenal keampuhan Power Rangers atau
Satria Baja Hitam. Tapi hanya dengan sedikit gertakan dengan
mengatasnamakan Tuhan, mereka sudah tunggang langgang.
Persoalannya,
sejauh
mana
anak-anak
mengimajinasikan
konstelasi kekuasaan dan sosok Tuhan di tengah wacana “tuhantuhan” lainnya yang menyelubungi kesadaran keanakannya. Dalam
konteks ini, di tengah peradaban yang kata orang semakin sekuler,
apakah entitas Tuhan masih bersemayam secara signifikan dalam diri
anak-anak (kita).
Melihat proses perkembangan anak, adalah memahami dunia
seperti apa yang membesarkannya. Yakni, sistem pendidikan, sistem
agama, sosial, politik, mitos-mitos, dan budaya seperti apa yang
dialami oleh anak sehingga mengkonstruk kesadarannya sebagai
manusia dewasa kelak. Itu artinya, sekaligus sebagai refleksi dan
proyeksi tentang “dunia” kita sekaligus.
Para orang dewasa bahkan tidak jarang dibuat gagap jika
suatu ketika anak-anak bertanya, “Tuhan itu apa sih”. Kebudayaan
kita secara klasik memberi jawaban bahwa Tuhan itu adalah sesuatu
yang bersemayam di atas (untuk tidak mengatakan langit), yang
menguasai hidup manusia, yang memberi sorga atau “upah” pahala.
3
Dan sebagai konsekuensi balik adalah sesuatu yang bisa mengazab
manusia dengan nerakanya.
Mungkin ada jawaban yang lebih serius, seperti, “Dia (Tuhan)
hanya bisa dirasakan tapi tak terlihat, seperti angin misalnya. Atau
Dia itu ada tapi tiada, dalam arti bahwa manusia tidak akan pernah
paham sebetulnya Tuhan itu siapa (atau apa). Tapi Dialah yang
memiliki kehidupan, yang membuat hujan, menumbuhkan pohonpohon, dan seterusnya.
Jawaban-jawaban seperti itu selalu mengandung dua dimensi.
Pertama sesuatu yang abstrak, dan kedua sesuatu yang lebih
empirik. Dimensi abstrak seperti terdapat pada “di atas, menguasai
hidup manusia, keberadaan sorga atau neraka, memiliki kehidupan,
ada tapi tiada”, dan seterusnya. Terlepas dari kemungkinan bahwa
untuk menjelaskan esensi dan eksistensi Tuhan, dalam perspektif apa
pun, sangat sulit ke luar dari belenggu abstaksi. Karena, dengan cara
seperti itulah Tuhan mungkin justru bisa dijelaskan.
Sementara itu, dimensi empirik terdapat pada konsep azab
dan upah (bukan dosa atau pahala), atau hal-hal yang bisa dilihat
atau dirasakan. Padahal, sebagaimana kita ketahui, pemahaman
abstaksi anak-anak tentu saja tidak secanggih apa yang bisa
dipahami
oleh
orang
dewasa.
Tidak
mengherankan,
dengan
demikian, dimensi abstaksi anak-anak secara langsung atau tidak
membayangi secara terus-menerus kesadarannya.
Sebagai
akibatnya,
anak-anak
mengalami
ketakutan-
ketakutan yang tidak jelas terhadap abstraksi yang dimungkinkan
oleh bayangan tentang Tuhan. Tak berlebihan, dalam konteks inilah
mengapa
Power
Rangers
atau
bahkan
Laut
mengalami
ketakberdayaan berhadapan dengan sosok bayangan Tuhan. Hal ini
biasa
disebut
sebagai
kekuatan
belenggu
mitis.
mengalami ketakberdayaan berhadapan abstraksisme.
***
4
Empirisme
SEBETULNYALAH kebudayaan yang membesarkan anak-anak
kita (bahkan kita sendiri) memang budaya mitis. Mungkin ini yang
membedakan kita dan anak-anak kita dibandingkan mereka yang
dibesarkan dalam budaya fungsional atau ontologis, seperti terjadi
pada sebagian besar budaya barat dengan ciri-ciri obyektivitas,
rasionalitas, dan empiritas yang tinggi.
Problem ini menjadi serius dilihat dalam perspektif strategi
kebudayaan
secara
keseluruhan.
Karena,
dunia
pikiran
atau
kesadaran sangat penting serta ikut menentukan dunia seperti apa
yang direkayasa dan merekayasanya kelak. Hal itu, pada akhirnya
ikut menentukan sejauh/setinggi apa peradaban, terutama yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang akan dan
berhasil dikembangkan.***
5
“Power Rangers”, dan Tuhan
Aprinus Salam
MEMAHAMI dunia pikirian dan batin anak-anak, tidak hanya
penting, tapi hampir merupakan semacam keniscayaan. Bagaimana
pun juga, merekalah pelanjut penyangga kehidupan pada masa-masa
mendatang. Olehnya karenanya, cobalah kita perhatikan bagaimana
mereka bermain.
Suatu ketika terjadilah perang tanding di antara beberapa
orang anak. Seseorang berkata, “Aku Power Rangers”, maka dengan
gerakan tertentu ia mulai mendemonstrasikan dan melakukan
gerakan serangan khas Power Rangers.
Yang lain tidak mau kalah, “Aku Staria Baja Hitam”. Kemudian
anak itu melakukan reaksi balasan. Berkelahilah antara Power Raners
dan Satria Baja Hitam. Tidak begitu jelas siapa kalah, siapa menang.
Seperti tak disengaja, tampaknya itu pertarungan yang seimbang.
Minimal sebuah pertarungan di antara sesama hero yang selalu
menang.
Seorang anak lain tak mau kalah. Dengan sedikit kejutan, ia
mengatakan, “Aku Laut”. Anak-anak yang terlibat dalam perang
tanding terperangah. Kemudian dengan agak ragu mereka diam-diam
mengakui keunggulan laut. Barangkali dalam benak mereka laut itu
adalah sesuatu yang teramat sangat besar, bisa menenggelamkan
siapa saja. Terbukti Power Rangers dan Satria Baja Hitam lari
menyingkir.
Tak lama kemudian, datang seorang anak lain. Dekil, kepala
gundul,
dan
kurus.
Dengan
ngawur
ia
pun
berteriak,
“Aku
Tuhaaan....”.entah mengapa, anak yang mengaku laut pun merasa
kalah. Sekali lagi, tampaknya, walau ia tak pernah tahu Tuhan itu
seperti apa dan siapa, secara langsung atau tidak Tuhan adalah
1
sesuatu
yang
amat
misterius,
menakutkan,
dan
mampu
mengalahkan siapa saja.
***
DULU, minimal ketika saya masih anak-anak, tokoh idola
(pahlawan) saya adalah semacam Godam, Gundala, Halilintar, atau
Maza. Tentu saja pengetahuan saya tentang tokoh-tokoh tersebut
tidak dari televisi, seperti dialami anak-anak sekarang, melainkan
dari komik-komik yang harus dibaca satu persatu.
Sekarang, -- tentu dengan pahlawan-pahlawan yang baru pula
--, cergam-cergam memang masih diproduksi dan dibaca anak-anak.
Namun, bisa dipastikan jika tokoh hero mereka didominasi oleh
tokoh-tokoh dari media televisi.
Dari situ terlihat bahwa
memproses
anak-anak
ada
sekarang
pergeseran wacana yang
dibanding
dengan
generasi
terdahulu. Yakni dari diskursus visual ke diskursus audiovisual.
Pergeseran ini secara berarti juga menentukan perbedaan cara
bermain anak-anak sekarang dibanding dengan kakaknya terdahulu.
Sebagaimana diketahui, perbedaan elemen visual yang paling
mendasar dari wacana visual (cetak) dan audio visual justru pada
detail-detail visualitsasinya. Pada audio visual sangat memungkinkan
memvisualkan “para tokoh” seolah-olah hidup di antara pemirsanya.
Dengan demikian, sosok tokoh-tokoh idola menghujam sedemikian
rupa dalam kesadaran pemirsanya. Anak-anak memiliki gambaran
yang lebih detail terhadap segala tingkah laku dan gerakan-gerakan
para hero jika sedang berkelahi mengatasi kejahatan.
Tidak demikian halnya dengan generasi Godam dan Gundala.
Dalam visual (gambar cetak), kita tidak dicontohkan sedemikian rupa
untuk melakukan gerakan “baku” ketika akan mantak aji, seperti
halnya terjadi pada Power Rangers atau Satria Baja Hitam. Kita tidak
tahu pasti, sebetulnya jurus andalan Godam itu bagaimana. Atau
bagaimana pula dengan Gundala, jika tidak sedang mengandalkan
petirnya itu.
2
Kemungkinan lain bahwa penikmatan terhadap media tulis
gambar hanya bisa dilakukan oleh anak-anak yang sudah melek
huruf. Suatu hal yang berbeda dengan media audio visual. Oleh
karena itu, jelas bahwa permirsa media audio visual lebih tidak
terbatas dibanding media visual. Itu artinya, proses sosialisasi
“semiotik” terhadap kelompok bermain pada anak-anak generasi
audio visual lebih luas, baik dari segi batas usia maupun kelas sosial.
***
TERLEPAS dari uraian di atas, tentu ada sesuatu yang serius
dari perang-perangan itu. Bahwa ternyata dimensi batiniah/religius
seorang anak tanpa dinyana justru lebih kental dari yang bisa
dibayangkan oleh orang dewasa. Anak-anak sekarang, siapa di
antara mereka yang tidak kenal keampuhan Power Rangers atau
Satria Baja Hitam. Tapi hanya dengan sedikit gertakan dengan
mengatasnamakan Tuhan, mereka sudah tunggang langgang.
Persoalannya,
sejauh
mana
anak-anak
mengimajinasikan
konstelasi kekuasaan dan sosok Tuhan di tengah wacana “tuhantuhan” lainnya yang menyelubungi kesadaran keanakannya. Dalam
konteks ini, di tengah peradaban yang kata orang semakin sekuler,
apakah entitas Tuhan masih bersemayam secara signifikan dalam diri
anak-anak (kita).
Melihat proses perkembangan anak, adalah memahami dunia
seperti apa yang membesarkannya. Yakni, sistem pendidikan, sistem
agama, sosial, politik, mitos-mitos, dan budaya seperti apa yang
dialami oleh anak sehingga mengkonstruk kesadarannya sebagai
manusia dewasa kelak. Itu artinya, sekaligus sebagai refleksi dan
proyeksi tentang “dunia” kita sekaligus.
Para orang dewasa bahkan tidak jarang dibuat gagap jika
suatu ketika anak-anak bertanya, “Tuhan itu apa sih”. Kebudayaan
kita secara klasik memberi jawaban bahwa Tuhan itu adalah sesuatu
yang bersemayam di atas (untuk tidak mengatakan langit), yang
menguasai hidup manusia, yang memberi sorga atau “upah” pahala.
3
Dan sebagai konsekuensi balik adalah sesuatu yang bisa mengazab
manusia dengan nerakanya.
Mungkin ada jawaban yang lebih serius, seperti, “Dia (Tuhan)
hanya bisa dirasakan tapi tak terlihat, seperti angin misalnya. Atau
Dia itu ada tapi tiada, dalam arti bahwa manusia tidak akan pernah
paham sebetulnya Tuhan itu siapa (atau apa). Tapi Dialah yang
memiliki kehidupan, yang membuat hujan, menumbuhkan pohonpohon, dan seterusnya.
Jawaban-jawaban seperti itu selalu mengandung dua dimensi.
Pertama sesuatu yang abstrak, dan kedua sesuatu yang lebih
empirik. Dimensi abstrak seperti terdapat pada “di atas, menguasai
hidup manusia, keberadaan sorga atau neraka, memiliki kehidupan,
ada tapi tiada”, dan seterusnya. Terlepas dari kemungkinan bahwa
untuk menjelaskan esensi dan eksistensi Tuhan, dalam perspektif apa
pun, sangat sulit ke luar dari belenggu abstaksi. Karena, dengan cara
seperti itulah Tuhan mungkin justru bisa dijelaskan.
Sementara itu, dimensi empirik terdapat pada konsep azab
dan upah (bukan dosa atau pahala), atau hal-hal yang bisa dilihat
atau dirasakan. Padahal, sebagaimana kita ketahui, pemahaman
abstaksi anak-anak tentu saja tidak secanggih apa yang bisa
dipahami
oleh
orang
dewasa.
Tidak
mengherankan,
dengan
demikian, dimensi abstaksi anak-anak secara langsung atau tidak
membayangi secara terus-menerus kesadarannya.
Sebagai
akibatnya,
anak-anak
mengalami
ketakutan-
ketakutan yang tidak jelas terhadap abstraksi yang dimungkinkan
oleh bayangan tentang Tuhan. Tak berlebihan, dalam konteks inilah
mengapa
Power
Rangers
atau
bahkan
Laut
mengalami
ketakberdayaan berhadapan dengan sosok bayangan Tuhan. Hal ini
biasa
disebut
sebagai
kekuatan
belenggu
mitis.
mengalami ketakberdayaan berhadapan abstraksisme.
***
4
Empirisme
SEBETULNYALAH kebudayaan yang membesarkan anak-anak
kita (bahkan kita sendiri) memang budaya mitis. Mungkin ini yang
membedakan kita dan anak-anak kita dibandingkan mereka yang
dibesarkan dalam budaya fungsional atau ontologis, seperti terjadi
pada sebagian besar budaya barat dengan ciri-ciri obyektivitas,
rasionalitas, dan empiritas yang tinggi.
Problem ini menjadi serius dilihat dalam perspektif strategi
kebudayaan
secara
keseluruhan.
Karena,
dunia
pikiran
atau
kesadaran sangat penting serta ikut menentukan dunia seperti apa
yang direkayasa dan merekayasanya kelak. Hal itu, pada akhirnya
ikut menentukan sejauh/setinggi apa peradaban, terutama yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang akan dan
berhasil dikembangkan.***
5