Sastera Lintas Budaya dan Pendidikan sua

Sastera Lintas Budaya dan Pendidikan: suatu pembahasan karya sastera Brunei
dalam arus global

Naskah ini masih bersifat sementara.
Mohon tidak dikutip sebagai rujukan untuk publikasi resmi.

Dr Mikihiro MORIYAMA
Professor of Indonesian Studies
Nanzan University, Nagoya, Japan
moriyama@nanzan-u.ac.jp
Makalah disampaikan pada Seminar Antarabangsa Kesusasteraan Asia Tenggara (SAKAT)
2011 bertema Sastera Menganyam Fahaman Lintas Budaya
Dewan Bahasa dan Pustaka, Berakas, Brunei Darussalam,
19-20 Syawal 1432/ 17-18 September 2011

1

pengantar
Dalam dekade terakhir ini terasa pengaruh besar arus globalisasi di dunia1. Tidak terkecuali
arus itu masuk ke masyarakat Asia Tenggara lewat inovasi teknologi atau penyebaran
komputer, telepon genggam dan internet di seluruh lapisan masyarakat. Arus informasi yang

dahsyat melalui teknologi baru ini belum pernah dialami masyarakat setempat sebelumnya.
Pengaruh informasi dari luar tak terhindarkan sehingga gaya hidup atau lifestyle pun sangat
berubah, khususnya di kota-kota besar.
Arus global tersebut didefinisikan oleh Appadurai dengan membagi 5 scapes: yaitu
ethnoscapes, mediascapes, technoscapes, financescapes dan ideoscapes (Appadurai 1996: 3337). Antara 5 unsur tersebut media, tehnologi dan ide yang cukup besar dampaknya dari segi
lintas budaya. Arus informasi lewat media yang tak dikenal sebelumnya membanjir dahsyat
sampai merasuki benak orang dan menciptakan rangsangan di segala lapisan masyarakat di
seluruh dunia. Terutama, di negara-negara berkembang luar biasa dampaknya karena
informasi dari luar negeri tidak mudah diperoleh sebelumnya akibat keterbatasan sarana dan
juga biaya. Bertambahnya pengawasan atau sensor oleh pihak pemerintah tidak
memungkinkan akses informasi seperti keadaan sekarang ini. Dengan kata lain pengawasan
tak punya arti lagi dan pengontrolan menjadi semakin sulit karena jaringan Internet yang
meluas tanpa kenal batas. Pada masa kini orang mudah mendapat informasi tentang gaya
hidup atau pemikiran orang di luar negeri asal mereka bisa menguasai bahasa asing yang
menjadi bahasa pengantarnya. Tapi, meski orang tidak menguasai bahasa asing pun, ada juga
sarana terjemahan cuma-cuma yang tersedia di Internet dan semakin banyak informsi yang
dialihkan ke dalam bahasa Inggris. Di depan komputer orang seolah-olah berada di negara
lain dan juga dapat bercakap-cakap lewat Skype dengan orang yang belum pernah
dijumpainya atau berkomunikasi secara intens lewat Face Book.
Namun tidak kalah besar dampaknya arus orang yang melintas batas-batas negara.

Khususnya, arus orang dari negara berkembang yang meningkat dibantu oleh arus informasi
yang dibahas di atas dan perkembangan ekonomi di negara berkembang. Dengan kata lain,
orang tidak mudah pergi ke luar negeri tanpa adanya informasi yang cukup dan merangsang
bersama kemampuan ekonomi. Kaum menengah di masyarakat negara berkembang
meningkat jumlahnya sehingga orang mampu merealisasikan keinginannya pergi ke luar
1

Saya ucapkan banyak terima kasih atas masukan dari Bapak Henri Daros, rekan saya pada Jurusan Studi Asia,
Program Kajian Indonesia, Universitas Nanzan.

2

negeri baik ke negara maju maupun negara berkembang lainnya. Patut diperhatikan
peningkatan arus orang di wilayah Asia Tenggara dalam dekade terakhir. Pertemuan Mastera
ini pun bisa disebut suatu contoh di antaranya.
Akhibatnya, muncul perasaan dekat antara bangsa-bangsa. Selama ini orang asing
hidup di suatu tempat tanpa bergaul dengan masyarakat di mana mereka tinggal. Tetapi,
sekarang orang asing cukup sering bergaul dengan orang setempat. Misalnya saja, orang
Indonesia menyekolahkan anaknya di Jepun dan bergaul dengan masyarakat Jepun. Bahkan,
mereka bergaul cukup akrab di negara asing. Misalnya, orang Indonesia bergaul dengan orang

Jepun di Kanada sama-sama dengan status orang asing. Mereka memakai bahasa Inggris
untuk berkomunikasi. Hal ini merupakan salah satu gejala dari ethnoscape dalam definisi
Appadurai tersebut.
Kedua unsur globalisasi ini rupanya merangsang pengarang-pengarang di Asia
Tenggara dalam hal berkarya. Mungkin saja mereka sendiri melintas batas-batas negara alias
pergi ke luar negeri sehingga mendapat ide dan ilham untuk mengarang novel atau cerita
pendeknya. Tetapi, ada kemungkinan mereka dapat menghadirkan tokoh orang asing dalam
ceritanya dengan informasi yang diperoleh dari Internet atau sarana lainnya. Pengarang
Brunei Darussalam Muslim Burmat, misalnya, menghadirkan seorang perempuan Jepun,
Yoko, dalam novelnya Permainan Laut. Di Indonesia juga ada novel semacam itu. Misalnya,
novel berjudul Kidung Cinga Pohon Kurma yang dikarang oleh Syaiful Alim2. Novel ini
berlokasi di Sudan di Afrika dan berprotagonis orang Indonesia bernama Syahrul Ahimsa
bersama tokoh perempuan Jepun Sakura. Karya-karya sastera semacam ini dapat disebut hasil
dari globalisasi yang telah dibahas di atas. Sangat sulit diandaikan karya-karya sastera
dihasilkan sebelum arus informasi marak dan orang melintas batas-batas negara secara global.
Kertas kerja ini akan membahas ciri-ciri lintas budaya dalam sebuah novel sastera
Brunei, Permainan Laut, sebagai contoh dengan pengetahuan budaya Jepun yang saya miliki
dan kemampuan berbahasa Melayu-Indonesia yang terbatas. Pembahasan dalam kertas kerja
ini akan mencakup bagaimana karya-karya sastera yang melintas batas-batas budaya tersebut
akan meningkatkan fahaman lintas budaya.


2

Pengarang ini menulis novel tersebut berdasarkan pengalaman belajar sebagai mahasiswa asing di Fakultas
Syariah, International University of Africa , Khartoum, Sudan.

3

Permainan Laut: Novel Brunei yang melintas batas negara dan budaya
Novel karya Muslim Burmat yang ke-13 ini menceritakan kehidupan sebuah Kampung Kuala
Duka yang terletak di Teluk Brunei. Kampung itu kebanyakan penduduknya nelayan. Dapat
dikatakan sebuah kampung nelayan biasa saja. Di kampung itu ada satu keluarga nelayan
sejati. Tahir adalah salah satu tokoh utama yang berkenalan dengan seorang gadis dari Jepun
bernama Hirai Yoko. Yoko datang ke Kampung Kuala Duka sebagai penerjemah untuk
rombongan bekas tentara Jepun. Yoko adalah gadis yang cantik dan sudah pandai berbahasa
Melayu karena sudah tamat universitas yang mengajar bahasa Melayu di Jepun. Kisah cinta
antara orang Brunei dan orang Jepun digambarkan dalam novel ini.
Tahir beradik Husin adalah nelayan setempat. Ayahnya bernama Taha, sudah tidak
pergi ke laut lagi sebagai nelayan karena sudah berusia lanjut. Tahir bekerja sebagai nelayan
di kampung aslinya setelah 18 tahun bekerja di kapal besar sebagai kelasi.

Pada suatu hari sebuah bom tua Jepun yang tak meletup ditemukan di laut. Bom tua
itu dibawa ke dekat rumah Taha dan diletakkan sebagai barang mengenang zaman perang
dahulu. Rombongan mantan tentara Jepun yang diantar oleh Yoko datang untuk melihat bekas
bom tersebut. Di antara mantan tentara Jepun ada Leftenan Kozo Hakagawa yang sangat
terharu melihat bom tua itu mengenang masa lalu. Dia memimpin rombongan pesawat tempur
pada masa perang dan pernah mencoba menjatuhkan bom di Kampung Kuala Duka.
Kehadiran Yoko sebagai orang asing dalam novel ini memberi suasana yang tidak
biasa: kadang segar dan menarik tapi juga menimbulkan ketegangan. Ucapan dan tingkah
lakunya tentu agak berlainan dari yang orang tempatan. Tetapi, Yoko mengerti dan selalu
mencoba mengerti adat orang Melayu. Misalnya, waktu pertama kali datang ke rumah Taha
dan istrinya Minah, dia membuka kasut sebagaimana kebiasaan orang Melayu walau
kebiasaan orang Jepun di negerinya juga begitu. Wanita Jepun ini digambarkan sosok yang
simpatik.
Kedatangan Yoko ke Teluk Brunei itu ternyata ketiga kalinya. Dia sudah mempunyai
keinginan untuk tinggal di Kampung Kuala Duku. Alasannya dijelaskan Yoko waktu mantan
tentara Jepun, Leftenan Hakagawa, menanyakan kepadanya:

“Alamnya, suasananya, ” kata Yoko. “Saya sejak dulu inginkan sebuah
kampung nelayan yang aman dan damai. Orang-orangnya tidak begitu
terburu-buru ke sana ke mari seperti kehidupan dalam sebuah kota misalnya.

Mereka diserikan dan digembirakan dengan sepoi angin bersih, dengan

4

kipasan daun nyiur yang melambai. Aduh, bayangkan saya salah seorang
daripada penghuni suasana yang demikian”(Burmat 2008: 73).
Lefnenan Hakagawa mengkritik pikiran Yoko, “Kamu seorang gadis yang terlalu romantis”.
Yoko menjawab, “Saya bersedia segala-galanya. Kerana di situ bukan sebuah penjara. Di situ
terciptakan segala kegembiraan untukku.” Tekad Yoko tinggal di sebuah kampung nelayan
begitu kuat. Tetapi ternyata Yoko lama kelamaan merasakan juga duka di kampung yang
didiaminya. Perasaan itu tergambar dalam puisi Yoko. Memang dia punya kesenangan
membuat puisi dalam bahasa Jepun. Katanya, “Puisi dapat menitipkan perasaan duka
seseorang.” Tahir yang menanyakan isi hati Yoko sebagai berikut:.
“Mengapa duka saja, tak suka?”
“Saya selalu melihat hidup ini banyak yang duka.”
...
“Tak apalah, mana tau nasib saya begitu. Jadi, ini persediaan awal.”
“Janganlah berkata begitu. Saya tahu awak benar-benar gembira melihat
pantai di sini, bukan?” kata Tahir. “Bukankah kata awak begitu dahulu?”
“Pantai pun rasanya terlalu sepi sekarang” (Burmat 2008: 128).

Di sini terdapat nada duka yang mengalir sebagai leitmotif. Kehadiran Yoko di sebuah
kampung nelayan di Brunei memang membuat ketegangan antara budaya yang sangat
berbeda. Di situlah ada kekhasan novel ini. Yaitu, pembaca akan memikirkan perbedaan
budaya dan diharapkan mencoba memahami kepentingan lintas budaya. Di mana ada
perbedaan budaya dibutuhkan pemahaman budaya lain sambil merefleksikan budaya diri
sendiri dan menyadari identitas diri sendiri. Oleh karena itu pembacaan novel Permainan
Laut ini berarti demi peningkatan fahaman lintas budaya.
Terutama hal tersebut terlihat kalau ada kisah cinta antara bangsa yang berbeda. Yoko
dan Tahir lama kelamaan menaruh hati satu sama lain. Yoko sudah terbiasa tinggal di rumah
Taha membantu istrinya Minah dalam pekerjaan rumah tangga. Sebenarnya tidak banyak
terjadi peristiwa di kampung tersebut, Yoko selalu hidup tenang di tengah suatu keluarga
nelayan. Pada akhirnya, Yoko dan Tahir nikah dan kelihatannya hidup damai di kampung
nelayan tersebut. Namun suasana bahagia dan damai tidak berlanjut lama lagi.

Unsur lintas budaya dalam novel ini bisa dilihat dari segi bahasa juga. Kehadiran
bahasa Jepun memberi kesan eksotik sekaligus kesegaran. Sebagai contoh, di topi merah yang
dipakai Yoko ada tulisan: Toku tabishite miserarete (merantau jauh dan terikat) yang puitik.

5


Sedangkan contoh lain lebih serius. Yoko sadar dia mencintai Tahir tapi tidak mau mengaku.
Dia berkata dalam hatinya: Omaewa jibunwo azamuite itanda. Imakoso jibunwo semeruga yoi.
Jibunwo azamuku nowa kesshite yoi koto dewanai (Inilah saatnya kau mengutuk dirimu
sendiri kerana cuba berpura-pura! Kerana berpura-pura itu bukanlah sifat yang baik) (ibid.:
55). Bahasa Jepunnya agak kaku dan tidak terlalu cocok dalam alur ceritanya. Apalagi
sebagai perkataan perempuan tidak sesuai. Jelas sekali ada orang Jepun yang menolong
menerjemahkan bahasa Melayu ke dalam bahasa Jepun. Bagi pembaca Melayu bahasa Jepun
mempunyai efek tertentu. Terasa percampuran budaya.
Contoh lain lagi, Yoko berkata kepada teman orang Jepunnya mengenai kecantikan
ketika Yoko pulang sementara mengunjungi orang tuanya setelah beberapa lama tinggal di
Kampung Kuala Duka. Yoko berkata, “Utsukushii toiunowa shukantekina kotoyo” (Sebab
kecantikan itu suatu yang subjektif) (ibid.: 142). Uraian ini memberi kesan bahwa tokoh
Jepun di novel ini seorang wanita yang punya pendirian yang kuat. Kontras sikap Yoko juga
memberi pemahaman yang lebih dalam bagi pembaca karena sikap dan sifat seorang wanita
Jepun agak berbeda dibandingkan dengan wanita orang Melayu. Menyatakan pendapatnya
secara jelas itu sudah lazim di budaya Jepun. Tidak hanya merupakan sikap dan sifat wanita
Barat saja.
Ada pernyataan lain yang menarik yakni tentang pemahaman bahasa Melayu. Tahir
menyatakan kepada Yoko mengenai bahasa Melayu yang dituturkan Yoko yang sudah cukup
lancar, tidak canggung lagi. Katanya, “Apa canggungnya, kerana bahasa itu bukan milik satu

tempat. Penutur bahasa Melayu luas.” Di sini terlihat pandangan dari pengarang Muslim
Burmat. Yaitu dunia Melayu dan pemakaian bahasa Melayu sangat luas adanya.

Terdapat suatu pandangan dari generasi tua yang ikut berperang mengenai negara dan
bangsa Jepun yang terungkap melalui mulut mantan Leftenan tua Hakagawa. Misalnya, dia
berkata kepada seorang pemuda Jepun sebagai berikut:

“Hai, kamu ini dari anak siapa! Bukankah orang tua kamu yang merancang
dengan keberanian apa yang telah berlaku. Kamu sebenarnya sekarang tidak
berbuat apa-apa selain mengadakan demonstrasi yang tidak henti-henti dan
sia-sia. Apa yang dapat kamu buat dengan berdemonstrasi itu? Segala apa
yang dibuat oleh pemimpin kamu, kamu anggap salah. Tengok, pemimpin
negara yang memberi kehormatan kepada perwira-perwira terkorban pun
kamu sanggah! Bukankah para perwira itu terdiri daripada bangsa kamu
sendiri? Tidakkah kamu rasa malu mengkhianati bangsa kamu sendiri! Apa

6

lagi yang tidak akan kamu sanggah selepas ini? Nyatalah kamu mengikut
arahan telunjuk orang lain! Jikalau kamu lupa dengan bangsa kamu sendiri

dan terlalu fanatik dengan pemimpin lain yang kamu puja itu maka pergilah
ke tempat mereka. Ayuh, tinggalkan bumi Jepun ini, jika kamu berani!”
(Burmat 2008: 156).
Pandangan yang mengindahkan peranan perwira-perwira pada masa Perang Dunia Kedua
terdapat sepanjang novel ini. Pandangan ini boleh disebut suatu nasionalism yang
membenarkan tindakan negara Jepun dalam Perang Dunia Kedua. Sedangkan tidak terdapat
pandangan yang mengkritik tindakan negara Jepun pada masa itu. Dilihat dari segi ini, novel
ini ada kecenderungan atau tendensius memihak suatu pandangan nasionalism Jepun. Tetapi,
ini pun dapat diangkat sebagai suatu bahan untuk meningkatkan fahaman mengenai budaya
Jepun.
Peristiwa puncak adalah tindak bunuh diri Leftenan tua itu dengan cara hara kiri atau
menusuk perut dengan katana cara tradisional samurai dahulu. Hakagawa menulis naskah
buku kenang-kenangan perang berjudul Hitotsu No Kenkyuu To Jijitsu No Teisei (Sebuah
Penelitian dan Pembetulan Fakta) (ibid.: 262) yang membongkar rahasia waktu dia mencoba
menyerang sebuah kapal perang di dekat pantai Kampung Kuala Duka. Leftenan itu sebagai
kepala tim pesawat tempur memerintah tidak membom kapal perang karena takut
memusnahkan sebuah kampung bersama orang yang tidak berdosa. Dia ingin menyelamatkan
kampung dan penghuninya. Namun, tindakan itu suatu tindakan durhaka terhadap kaisar atau
maharaja yang disanjung. Oleh karenanya, Hakagawa merasa malu atas tindakan pada masa
perang itu sepanjang hidup walaupun sudah lama selesai perang. Kejadian tragis yaitu bunuh

diri sangat mempengaruhi pikiran Yoko dan perkataan Leftenan tua senantiasa bergema di
benak Yoko yang memilih hidup di kampung Melayu. Yoko dan Tahir berdebat mengenai
kematian Hakagawa dan juga tradisi bunuh diri sebagai berikut:

“Di Jepun ada selalu berlaku begitu,” kata Yoko. “Kadang-kadang orang
lebih rendah umurnya pun melakukannya. Mungkin itu suatu kepuasan. Saya
tidak tahu. Kira-kira ia adalah campuran separuh perasaan dan yang separuh
lagi tradisi yang melihat dengan rasa berani lalu memilihnya”
“Itu kufur,” kata Tahir.
“Apa kata abang?”
“Kufur.”
“Jangan, jangan melihat cara begitu, kepada bangsa lain itu mungkin suatu
yang terhormat.”
“Bagaimana caranya terhormat?”

7

“Apabila seseorang telah menyiapkan suatu tugas dan dia tidak akan
menambah lagi, ini suatu pilihan, atau merasa dirinya terhina kerana
menyalahi suatu etika yang telah dianutinya.”
“Siapa yang menghargai cara mati begitu?”
“Semua orang, kerana itu tanda yang terbaik menyembahkan rasa taat setia
yang tidak berbelah bahagi.”
“Taat setia yang tidak berbelah bahagi kepada siapa?”
“Kepada maharaja,” kata Yoko. “Kerana maharaja pun menyanjung
semangat kepahlawanan samurai. Bukankah orang-orang berbuat begitu
terbukti bukan untuk keuntungan dirinya sendiri tetapi dia memikul untuk
keuntungan bangsa” (Burmat 2008: 264-265).
Dialog ini mencerminkan perbedaan budaya antara bangsa secara nyata. Bagi Tahir sebagai
orang Melayu sulit memahami budaya Jepun yang menitikberatkan rasa malu. Perasaan malu
itu jelas ada pada orang Melayu. Tetapi, cara menanggung perasaan malu berbeda dari bangsa
Jepun. Tahir menyatakan hal itu kepada Yoko dengan kiasan seorang kapten kapal yang
gagal:

“Adalah lebih baik meninggalkan segala-galanya daripada menyimpan malu
yang terlalu lama,” kata Tahir menyambung terus cerita tentang seorang
kapten kapal yang meninggalkan kapalnya. Lalu dengan suara di dalam dia
menyambung, “Malu itu suatu yang melemahkan segala semangat.”
“Ah, seorang kapten yang baik saya kira tidak bertindak begitu.”
“Itulah tindakan yang baik!”
“Tetapi abang tidak akan bertindak begitu jikalau abang masih jadi kelasi.
Katakan sebagai Penolong Kapten.”
“Jikalau saya seorang kapten dan gagal mungkin saya akan berbuat perkara
yang sama.”
“Itu tidak bertanggungjawab namanya.”
“Jikalau hati sudah luruh, apa pun biarlah ...”
“Kapten yang marana itu lalu pergi ke mana?”
“Dia akan merayau-rayau dari pelabuhan ke pelabuhan, dari pantai ke pantai
melihat laut, atau ke mana-mana membawa hatinya” (Burmat 2008: 309-310).
Percakapan antara Yoko dan Tahir ini seolah-olah cerminan pandangan Tahir yang akan
menanggung perasaan malu. Mereka menyadari tidak dapat mempunyai anak antara mereka
karena Tahir ternyata impoten. Yoko selalu merenung dan kelihatan sedih dan berubah
sikapnya setelah menikah, sehingga kedua mertua pun ikut khawatir. Akhirnya setelah lebih
dari 1 tahun berlalu, Yoko menyampaikan hal itu kepada mereka dan Tahir meninggalkan
Yoko seperti kapten kapal yang gagal.
Perkawinan Tahir dan Yoko ternyata gagal. Yoko merasa sedih di Kapmung Kuala
Duka. Tidak diceritakan secara langsung apakah Yoko meninggalkan kampung nelayan

8

tercinta dan mertua yang tercinta Taha dan Minah setelah ditinggalkan Tahir yang menjadi
kelasi kapal lagi, tetapi dikias dengan pemberian fotonya dalam baju kimono kepada
sahabatnya Tikah pada suatu hari di pantai.
Novel ini penuh dengan perbedaan budaya antara bangsa Melayu dan bangsa Jepun.
Yoko berusaha keras mengerti dan menghargai budaya Melayu dan menyesuaikan diri di
lingkungan orang Melayu dengan catatan sekali saja dia melangar kebiasaan yaitu Yoko dan
Tikah mandi di laut dengan pakaian yang tidak sepatutnya di depan orang ramai. Secara garis
besar Yoko berhasil menyesuaikan diri dan diterima di kampung nelayan. Sedangkan, ahli
keluarga Taha dan Minah pun mencoba memahami tabiat Yoko dan kebiasaan orang asing
dengan sungguh-sungguh. Mereka menghormati satu sama lain. Novel ini menceritakan
banyak perbedaan budaya antara bangsa dan budaya, sekaligus mengajak pembaca untuk
melintas budaya dan menitikberatkan signifikansi untuk memahami lintas budaya.

Peranan Pendidikan Sastera dalam Peningkatan Fahaman Lintas Budaya
Pendidikan di sekolah-sekolah mempunyai peranan penting dalam hal mengajar pemahaman
lintas budaya karena masyarakat berada di tengah arus globalisasi yang memerlukan
pengetahuan mengenai budaya luar. Menyesal benar karena pengetahuan dan pengalaman
saya mengenai praktek pendidikan di Brunei sangat kurang. Oleh karenanya, pembahasan di
sini tidak konkrit dan tidak ada unsur perbandingan, sekedar pembahasan umum saja.
Yang dapat dikatakan di sini ialah bahwa pengajaran bahasa asing mengandung
berbagai unsur lintas budaya. Biasanya sebuah buku pelajaran bahasa asing memberi
informasi dasar mengenai keadaan negara pemilik bahasa asing tersebut, termasuk tata krama,
gaya hidup, pergaulan antara sesama dan cara pemikiran, selain tata bahasa. Siswa-siswa
ataupun mahasiswa tentunya akan mendapat informasi seperti itu sejalan dengan latihan dan
praktik meningkatkan kemampuan berbahasa asing sehingga pemahaman mereka terhadap
budaya asing pun bertambah. Misalnya saja, “kakak dan adik” dalam perkataan bahasa
Melayu mencerminkan pemikiran orang Melayu. Boleh dianggap orang Melayu
mementingkan tua dan muda dalam hubungan manusia dilihat dari sudut pandang ego.
Sedangkan orang berbahasa Inggris mementingkan jenis kelamin, brother dan sister, tetapi
tidak membedakan tua-muda. Rupanya budaya Jepun mementingkan tua-muda dan jenis
kelamin sekaligus, yaitu ada 4 sebutan; ani (kakak laki-laki) dan ane (kakak perempuan),

9

otouto (adik laki-laki) dan imouto (adik peempuan). Kita dapat melihat bagaimana bahasa
mencerminkan unsur budaya dalam contoh ini. Pendeknya, pengajaran bahasa asing akan
memperluas wawasan siswa dan cukup berarti dalam peningkatan fahaman lintas budaya.
Sangat mungkin pengajaran bahasa asing berperan relatif lebih besar dalam
pemahaman lintas budaya pada zaman sebelum Internet masuk ke kehidupan sehari-hari.
Tidak bisa disangkal pembelajaran tata bahasa bahasa asing pun memberi informasi budaya,
misalnya cara pikir. Misalnya, orang tidak akan mengetahui positif atau negatif suatu kalimat
atau uraian dalam bahasa Jepun. Namun demikian pembelajaran tata bahasa tidak begitu
banyak mengandung unsur lintas budaya yang nyata.
Sedangkan pembelajaran sastera yang ditulis dalam bahasa asing ataupun terjemahan
mengandung banyak informasi dari segi lintas budaya. Misalnya, cara bergaul antara pemuda,
hubungan dengan orang tua, adat-istiadat, cara pemikiran yang sudah kita lihat dalam novel
Permainan Laut di atas. Terutama, karya sastera adalah suatu media yang dapat
menyampaikan perasaan manusia: rasa sakit hati, kepedihan ketika patah hati, atau rasa
gembira dan bahagia, rasa terharu. Tidak hanya membawa fakta dalam wacana sastera. Novel
Permainan Laut ini suatu contoh yang baik karena karya sastera ini merupakan bahan
pelajaran budaya Brunei secara dalam bagi orang yang mau belajar budaya Brunei.
Sedangkan bagi orang Brunei sendiri pun karya sastera ini akan sangat berarti. Novel
ini akan meningkatkan pemahaman tentang budaya Jepun bersama pengetahuan sejarah dan
pemikiran orang Jepun. Boleh dikatakan karya ini suatu media atau sarana yang sangat efektif
untuk mengajarkan budaya Jepun sambil menikmati seni bercerita. Sebagaimana diuraikan di
atas, adalah kemungkinan bahwa karya sastera semacam itu akan lebih banyak lagi diciptakan
karena adanya sarana teknologi yang memberi lebih banyak informasi mengenai luar negeri
dan peningkatan arus lintas orang dan pergaulan antara bangsa. Oleh karena itu, kalau karyakarya sastera semacam ini dijadikan bahan pelajaran di sekolah-sekolah di Brunei khususnya
dan di Asia Tenggara pada umumnya, maka pemahaman lintas budaya dari para siswa dan
mahasiswa akan meningkat secara efektif.
Guru-guru dapat mengajak diskusi antara mereka mengenai cara pemikiran, adat
istiadat lain setelah mengapresiasi bersama karya-karya sastera yang memberi perbagai
informasi budaya. Walaupun kertas kerja ini tidak membahas secara rinci, novel Indonesia
Kidung Cinta Pohon Kurma yang bersetting di Sudan sangat baik demi pemahaman
pengetahuan negara lain lewat ceritanya. Pengarang Syaiful Alim menceriterakan bagaimana
keadaan Sudan sebagai suatu negara Afrika dengan berbagai datanya. Bertambah pula sejarah

10

Jepun lewat mulut tokoh perempuan Jepun bernama Sakura. Menarik juga tokoh utama
Syahrul menerangkan perbedaan syariat antara Arab Saudi, Afganistan, Iran dan Sudan.
Boleh dikatakan Kidung Cinta Pohon Kurma pun dapat dianggap salah satu karya sastera
yang sangat efektif dalam peningkatan fahaman lintas budaya. Oleh karenanya, patut
ditawarkan kepada masyarakat sebagai suatu bacaan yang baik.

Penutup
Akhirnya, sangat diharapkan agar karya-karya sastera yang mengandung unsur budaya asing
dan nilai lain dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman lintas budaya sebagaimana
dilihat dalam pembacaan Permainan Laut dalam kertas kerja ini. Sebaiknya lebih banyak lagi
karya sastera semacam itu dijadikan bahan pengajaran di berbagai sektor pendidikan. Sebagai
contoh ialah praktek saya memakai karya-karya sastera dari Indonesia sebagai bahan pokok
untuk memahami sejarah dan masyarakat Indonesia dalam kuliah budaya Indonesia di
Universitas Nanzan di Nagoya, Jepun. Setiap mahasiswa harus memilih satu novel Indonesia
dan membacanya secara intensif. Diharapkan untuk membaca buku aslinya, tetapi boleh juga
membaca terjemahannya kalau kemampuan mahasiswa belum sampai pada level membaca
aslinya. Mereka belajar perbedaan norma, nilai dan perasaan manusia dalam pembacaan novel
pilihannya dibandingkan dengan hal-hal yang ada di Jepun. Pengetahuan tentang sejarah dan
masyarakat Indonesia pun harus dipelajari oleh mahasiswa secara otomatis karena mereka
tidak dapat memahami novel yang dipilihnya tanpa konteks. Rupanya, metode ini disukai
mahasiswa dan diskusi antara mahasiswa di kelas pun cukup ramai dan menyenangkan.
Tetapi, kita harus mengakui kecenderungan yang agak kurang menggembirakan pada
zaman Internet ini. Semakin sedikit karya sastera dibaca di setiap kelompok masyarakat
secara global. Boleh jadi inilah arus balik atau efek samping dari inovasi teknologi. Anakanak lebih asyik pada mainan komputer atau mainan televisi dan juga pada gambar. Yang
visual lebih menarik perhatian anak-anak termasuk komik-komik atau manga dari Jepun. Jelas
tidak dapat disangkal media visual juga akan meningkatkan pemahaman lintas budaya, tetapi
hal itu tidak bisa menggantikan kegiatan membaca buku dalam segala seginya. Kita perlu
sadar akan hal ini dan berusaha untuk mempertahankan minat baca di antara para siswa dan
mahasiswa ataupun masyarakat pada umumnya. Untuk itu, kita perlu mendorong kreasi
karya-karya sastera yang memikat pembaca lebih banyak lagi di kalangan masyarakat di Asia
Tenggara.

11

References
Appadurai, Arjun, 1996. Modernity at large: cultural dimensions of globalization, Minneapolis:
University of Minnesota Press.
Alim, Syaiful, 2010. Kidung Cinta Pohon Kurma, Jakarta: Kata Kita.
Burmat, Muslim, 2008. Permainan Laut, Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka
Brunei.
Martin, Judith N and Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, 5th ed.,
New York: McGrow-Hill.

12