Krisis Identitas dan Hipokrisi Anak Ban

“Krisis Identitas dan Hipokrisi Anak Bangsa”
Oleh: Choirul Anwar

“Berikan aku sepuluh Pemuda, Maka akan aku guncang Dunia”
demikianlah sang Proklamator bangsa bertutur, ditengah-tengah
pidatonya pada hari Pahlawan tanggal 10 November 1961. Sebuah
kalimat yang terasa bagai mantra, yang mungkin menghentak setiap
telinga-telinga para pemuda kala itu. Menggugah jiwa Nasionalisme
serta rasa bangga atas ke-Indonesiaannya. Hal yang mungkin sangat
sulit untuk bisa kita dapatkan hari ini.
Separuh abad lebih sudah berlalu, gaung dari mantra yang
dirafalkan sang pendiri bangsa sayup tersisa menyapa telinga. Sebuah
kalimat yang lima puluh empat tahun silam menjadi ajian setiap
pemuda untuk angkat senjata, kini tinggal cerita, sebatas seremonial
sumpah pemuda yang mewarnai lini masa sosial media.
Nampaknya semangat Nasionalisme hari ini tak lebih menjadi
mitos orang tua, cerita kepahlawanan dianggap sebagai legenda usang
pengantar lelap si buyung yang hanya menceritakan heroisme pangeran
tampan berkuda putih datang mengecup Putri Aurora, seperti yang
diceritakan Charles Perralut dalam karyanya “La Belle Au Bois
Dormant” (The Beauty in The Sleeping Wood) tahun 1600an.

Esai singkat ini akan sedikit mengupas hal tersebut, hal yang
menjadi keresahan yang memuakkan bagi penulis sendiri, meminjam
istilah Abdu Rizal S Syam dalam esainya tentang “Topeng
Nasionalisme”, hal yang dikatakan “Pseudo Nationalis” Nasionalisme
Semu, Nasionalisme yang hanya menjadi “Fake Identitiy” Identitas
Palsu, Nasionalisme yang tergugah hanya pada hajatan-hajatan tertentu.

Kambing Hitam Globalisasi.
Dalam bukunya “The Consequences of Modernity” Anthony
Giddens mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubungan
sosial dunia yang menghubungkan tempat-tempat jauh sehingga
peristiwa di suatu tempat dapat dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi
di tempat lain sekian kilometer jauhnya dan begitu juga sebaliknya.
Begitu derasnya arus informasi yang bisa diterima dari belahan dunia
manapun dan oleh siapapun tanpa adanya filter, membuat setiap
individu kini mampu menggenggam jagad raya melalui sebuah peranti
ringkih bernama “Smartphone”. Kemudahan proses komunikasi yang
kini telah mampu memangkas jarak berapapun jauhnya membuat
mayapada makin sempit terasa, meminjam istilah McLuhan dalam
bukunya “Understanding Media: Extension of a Man” sebagai Global

Village.
Lebatnya budaya-budaya barat yang turun dari langit
westernisasi benar-benar menenggelamkan habis nilai, norma serta
budaya bumi nusantara dalam air bah yang kemudian menghanyutkan
semangat nasionalisme anak bangsa dalam derasnya arus globalisasi.
Globalisasi adalah sebuah keniscayaan, pun begitu pula dengan
westernisasi. Pasca khatamnya perang dingin antara blok barat yang diimam-i oleh Amerika Serikat dengan blok timur yang di-imam-i oleh
Uni Soviet terjadilah yang Fukuyama katakan sebagai “The End of
Ideology” berakhirnya sebuah ideologi dunia, dan kapitalisme liberal
yang menjadi pemenang atas atas ideologi-ideologi dunia yang lain
(Fukuyama: 1992).
Bagi penulis sendiri, tidak bisa terus menerus kita
mengkambing hitamkan Globalisasi perihal terkikisnya identitas
nasionalisme anak bangsa. Ini tidak melulu soal globalisasi, ada peran
pemerintah dalam upayanya melestarikan nilai, norma serta budaya
Indonesia yang telah disemai dan ditanam para pendahulu kita, sialnya
itu semua tidak dipupuk serta dirawat dengan baik, yang akhirnya nilai,

norma serta budaya tersebut tidak pernah tumbuh dan hanya terkubur
ditengah ladang globalisasi.


Katedral Konsumsi.
Katedral Konsumsi, sebuah istilah yang digunakan Martin J.
Lee dalam bukunya “Kebudayaan Konsusmi & Komoditas” untuk
menyebut Shopping Mall, sebuah kawasan khusus dan pusat konsumsi
yang menjadi tempat ibadah baru bagi anak bangsa hari ini, tempat
dimana berhala-berhala seperti Louis Vuitton, Channel, Charles &
Keith dijajakan. Tidak semua dari mereka yang datang mengujungi
tempat tersebut untuk berbelanja, justru kebanyakan dari mereka hanya
datang sekadar melihat-lihat serta mungkin mengagumi barang-barang
dengan harga selangit tersebut dipamerkan, yang kemudian lahirlah
sebuah term “cuci mata” atau “Window Shopping” yang bagi mereka
budaya tersebut menjadi sebuah Self Pleasure atau kepuasan diri bagi
kehidupannya, namun bagi penulis sendiri, penulis lebih senang
menyebut habitus tersebut sebagai Ritus Pemujaan Komoditas Barat.
Banyaknya komoditas dagang barat dengan berbagai varian
produk dari berbagai brand ternama dunia yang menyesaki rimbunnya
komoditas dagang impor di dalam belantara katedral konsumsi semakin
menenggelamkan produk-produk dalam negri hingga ke dasar palung
bernama “Gengsi” , mengedepankan prestise sosial ketimbang

kebutuhan paling esensial, atau mungkin prestise sosial hari ini telah
menjadi kebutuhan paling esensial? Sebuah pertanyaan dialektis yang
harus kita kedepankan hari ini.
Pada era kekinian, dunia barat dengan segala nilai serta
budayanya memang menjadi seperti ka’bah baru bagi hamba-hamba
agama modernitas, menjadi kiblat paling mutakhir bagi individuindividu yang ingin dikatakan “Orang Modern”, hingga pada akhirnya
melahirkan dogma-dogma baru yang mengkonstruksikan stigma negatif
kepada konsumen komoditi dalam negri yang menyatakan bahwa

menggunakan produk dalam negri merupakan sesuatu yang sangat tidak
kekinian, tidak mencerminkan perilaku “Orang Modern” atau jika anak
muda pada umumnya akan mengatakan dengan istilah “Gag Keren
Banget”.
Slogan “Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia” A la Alim
Markus dalam iklan MASPION nampaknya hanya menjadi jampi
dagang bagi penulis, terlepas dari “mungkin” ada kesungguhan bagi
Alim Markus dalam upayanya mengajak khalayak untuk mencintai
produk lokal, tapi rasanya terlalu naif jika kita mengatakan tidak tahu
bahwa tujuan utamannya sudahlah pasti agar produk-produknya dibeli
dengan memanfaatkan embel-embel nasionalisme bukan agar tumbuh

kecintaan terhadap keindonesiaan.

Imaji Nasionalisme Semu dan Nasionalis Hipokrit.
Seorang pemuda yang penulis enggan sebutkan namanya datang
dan kemudian bertanya “Emang kenapa kalo gw beli barang-barang
impor, apa salahnya gw beli barang-barang barat,bagus, berkualitas,
modelnya up to date, worth it kok sama uang yang gw keluarin” hal ini
yang pada paragraph di atas penulis katakan sebagai ritus pemujaan
komoditas barat. Hal ini yang kemudian menjadi pemberhalaan
komoditas barat yang menciptakan reaksi apatis terhadap apapun yang
berbau Indonesia, sialnya hal ini seperti sudah mendarah daging bagi
para pemuda penerus bangsa. Dari soal makan yang “Table Manner”
sampai urusan pakaian dalam ber-stiker “Victoria Secret”.
Dalam esai ini penulis bukan tengah menjadi polisi moral, yang
bertingkah nasionalis maupun idealis, tapi melalui media tulisan ini
penulis hendak mengajak para pembaca untuk berfikir lebih objektif
dalam melihat suatu hal, jika memang parameter kita dalam memilih
suatu produk adalah kualitas, bukankah banyak juga produk dalam
negri yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Jika yang menjadi
parameter kita dalam menonton film ataupun mendengarkan musik


adalah kualitas, bukankah sangat banyak film-film maupun musikmusik dalam negri yang sangat berkualitas bahkan kerap kali mendapat
apresiasi tinggi justru dari luar negri ketimbang dalam negri.
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 2008 “Batik” yang
kini telah dikukuhkan sebagai warisan dunia asal Indonesia pernah
hampir diklaim negri jiran Malaysia seperti yang dilansir dari laman
merdeka.com Kamis 2 Oktober 2014. Semua orang panik seperti
kebakaran jenggot, semua orang teriak, mencaci maki Malaysia habishabisan tanpa henti, tapi ada satu pertanyaan kritis yang mengganjal
penulis “Seberapa sering kalian mengenakan Batik” seberapa
apresiatif kalian terhadap batik, bahkan ada kecenderungan anak muda
sekarang memberi stempel “Kuno” untuk para pengguna Batik. Batik
tak lebih sebagai pakaian seremonial yang hanya dipakai pada acara
pesta perkawinan, bahkan jika kita memakainya bukan saat acara-acara
serupa, akan selalu saja ada yang menyindir dengan ungkapan “Mao
kemana lu pake Batik, mao Kondangan?” sungguh sebuah ironi dari
bangsa yang “Batik”-nya selalu dipakai seorang Revolusioner AntiApartheid Afrika Selatan bernama Nelson Rolihlala Mandela.
Tidak sampai disitu, melansir dari laman nasional.tempo.co
pada tanggal 20 Juni 2012, setidaknya ada tujuh klaim budaya oleh
Malaysia sejak tahun 2007, beberapa diantaranya adalah, Reog
Ponorogo, Tari Pendet, Gordang Sembilan. Kembali pertanyaan yang

menggelitik penulis ketika melihat demonstrasi di depan kedutaan
Malaysia yang bahkan cenderung mengarah kepada vandalisme adalah,
“Kapan terakhir kali kalian menyaksikan pentas budaya-budaya diatas,
apa apresiasi kalian terhadap budaya-budaya diatas, kontribusi apa
yang sudah kalian berikan agar budaya-budaya di atas tetap lestari
keberadaannya?”
Pada tanggal 9 Mei 2015 lalu solois wanita asal Amerika
bernama Katheryn Elizabeth Hudson atau yang kerap kita kenal dengan
nama Katy Perry menggelar konser megahnya di Jakarta dengan
mengusung tema “The Prismatic World Tour”, range harga yang

ditawarkan mulai dari Rp. 900.000,- hingga Rp. 5.000.000,- namun,
meski harga yang dipatok cukup tinggi, nyatanya tak kurang dari
sepuluh ribuan penonton rela merogoh kocek dalam-dalam demi
menyaksikan sang solois melantunkan 17 lagu selama 1,5 jam lamanya
tersebut, namun relakah kita mengeluarkan uang untuk membeli tiket
acara-acara bertemakan apresaiasi budaya yang harga tiket termahalnya
hanya setengah dari harga tiket termurah Katy Perry, sebagai bentuk
apresiasi kita terhadap budaya Indonesia yang kian hari kian terkikis
habis oleh budaya-budaya impor, sebagai kontribusi kita dalam turut

serta berperan aktif menjaga dan melestarikan budaya-budaya nusantara
untuk tetap eksis dan tetap menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.

“Idealisme Adalah Kemewahan Terakhir Yang
Hanya dimiliki Oleh Pemuda”
-Tan Malaka-