Dinamika dan Hambatan Hambatan Turki dal

Dinamika dan Hambatan-Hambatan Turki
dalam Puluhan Tahun Proses Integrasi pada Uni Eropa
Probo Darono Yakti
Departemen Hubungan Internasional
Universitas Airlangga

ABSTRAK
Turki merupakan negara yang memiliki keunikan tersendiri dalam kancah perpolitikan dunia. Secara
geografis, Turki berada di dua benua: Asia dan Eropa, meski hanya Istanbul yang merupakan bagian dari
Eropa. Namun banyak hal yang membuat Turki lebih condong pada Eropa. Misalnya reformasi Turki oleh
Kemal Attaturk pada awal abad 20. Attaturk berhasil mewujudkan Turki sebagai negara pluralis, sekular,
dan demokratis. Stigma sebagai negara Islam yang berlandaskan pada latar belakang sejarah Turki
sebagai pewaris dari kekaisaran Ottoman yang sempat menjadi hegemon pada abad ke-17 dihapuskan.
Turki memulai sejarah baru dengan menjadi republik, dan pertimbangan geostrategis dan geoekonomi yang
membuatnya merapat pada kultur Eropa daripada Asia. Dengan integrasinya pada Uni Eropa Turki dapat
menjamin bahwa ekonomi negaranya akan stabil. Namun semakin dekat langkah Turki, semakin banyak
hambatan yang dihadapi. Salah satunya adalah karakter kepemimpinan yang dimiliki oleh Presidennya.
Maka merupakan suatu keharusan bagi Turki agar dapat membenahi negaranya agar dapat memenuhi
Kriteria Kopenhagen.
Kata-kata kunci: Republik Turki, Uni Eropa, integrasi, sekular, Kriteria Kopenhagen, Kekaisaran Ottoman
Turkey is a country that is unique in the world political constelation. Geographically, Turkey is located on

two continents: Asia and Europe, although only Istanbul is the part of Europe. But a lot of things that make
Turkey more inclined to Europe. For example Turkey’s Reformation by Kemal Ataturk in the early 20th
century. Ataturk succeeded in building Turkey as a pluralist, secular, and democratic country. Common
views that saw Turkey as an Islamic state based on its historical background as the heir of the Ottoman
Empire which had become hegemonic in the 17th century wiped out. Turkey started a new history to become
a republic, and geostrategic and geoeconomic considerations which makes it more compatible to European
rather than Asian culture. With its integration in the European Union Turkey can ensure that the country's
economy will be stable. But the closer the Turkey’s steps, a growing number of obstacles encountered. One
of them is the character of leadership that is owned by its President. Then it is a must for Turkey in order to
reorganize the country in order to meet the Copenhagen criteria.
Keywords: Republic of Turkey, European Union, integration, secular, Copenhagen criteria, Ottoman Empire

2

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
Berkembangnya Regionalisme Uni Eropa
Sebagai sebuah regionalisme, Uni Eropa telah mengalami perubahan yang luar biasa. Dapat dilihat ketika
baru-baru ini Yunani mengalami krisis ekonomi hebat yang mana mengharuskan negara yang berada paling
ujung tenggara dari benua Eropa tersebut pailit dan segera mencari dana bailout luar negeri yang dapat
menyelamatkan mereka sementara waktu. Adalah Jerman yang bersedia membantu memberikan pinjaman

dana segar agar negara tersebut bertahan dan membangun eksistensinya lagi dari awal di Uni Eropa.1 Selain
itu, menghadapi serangkaian masalah kemanusiaan seperti migrasi ratusan ribu hingga jutaan pengungsi
Suriah mengharuskan Uni Eropa membuka diri dan membuat kebijakan bersama yang mendukung para
‘pelarian’ yang menjadi korban tak bersalah perang yang melanda daerah di Timur Tengah tersebut untuk
beberapa saat menetap di negara-negara Eropa.

Terlepas dari itu, kesuksesan Uni Eropa dalam membangun sebuah kerangka ekonomi yang itegratif
membuat regional ini mampu secara bersamaan secara finansial menyaingi Amerika Serikat, yang tentu saja
dengan dolar merajai dunia sebagai sistem moneter dunia. Keberadaan Bank Sentral Eropa dan otoritas
kelembagaan ekonomi lainnya turut membangun Eropa dalam mewujudkan konsep welfare state2 yang
begitu termasyhur. Dibawa oleh negara-negara kawasan Skandinavia. Tolok ukur yang digunakan adalah
keberhasilan negara-negara anggota dan tentu saja dinilai dari kelembagaan regional yang sukses
mengantarkan wilayah itu sebagai suatu kawasan yang integratif. Belum lagi, mengenai keamanan di Uni
Eropa. Seluruhnya terjamin dengan hadirnya NATO dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan
sebagaimana yang telah tercantum pada European Security and Defence Policy (ESDP). Meski secara
langsung Uni Eropa tidak menawarkan keamanan sebagai salah satu keunggulan dari regionalismenya,
kehadiran NATO membuat mainset calon-calon anggota baru berpikir bahwa ketika terdaftar dalam
keanggotaan Uni Eropa, maka sebuah negara akan otomatis tergabumg dengan NATO pula sebagai
penjamin keamanan di kawasan tersebut.


1 Reuters. “Greek parliament approves bailout measures as Syriza fragments”. 2015, diakses pada 3 Januari 2016.
http://www.reuters.com/article/us-eurozone-greece-idUSKBN0P40EO20150716
2 Yang dimaksud dengan welfare state adalah sebuah sistem di mana pemerintah berusaha untuk melindungi kesehatan
dan kesejahteraan warganya, terutama mereka yang membutuhkan keuangan atau sosial, dengan cara hibah, pensiun, dan manfaat
lainnya.

3

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
Alih-alih menjelaskan Uni Eropa secara intrinsik dan ekstrinsik mengenai Uni Eropa dan perluasannya,
penulis lebih memilih untuk berangkat pada pertanyaan-pertanyaan khusus seperti: (1) Bagaimana langkah
Turki dalam menyatakan diri dalam bergabung dengan Uni Eropa? (2) Bagaimana Uni Eropa merespons
permintaan Turki itu dan kriteria apa yang dibebankan pada setiap calon anggota? Dan (3) apakah kendala
Turki dalam aksesinya terhadap keanggotaan penuh Uni Eropa?

Penulis mengamati geliat yang terjadi dalam konstelasi kawasan Eropa, regionalisme yang dimulai ketika
pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC) yakni komunitas negara-negara yang
memproduksi dan mengekspor batubara dan baja. Terjadi begitu banyak negara yang masuk dari kurun
waktu puluhan tahun, yakni dari dekade 50-an hingga awal abad-21 ini. Turki, sebagai negara yang secara
geografis dominan berada di Asia namun mengklaim bahwa dirinya memiliki kultur Eropa. Inilah kenyataan

yang terjadi: negara-negara yang secara tradisi mengidentifikasikan diri sebagai masyarakat Eropa akan
tertarik untuk membahas regionalisme tertua di dunia ini. Lebih lanjut, akan dibahas pada jurnal yang secara
singkat dan terpadu menjelaskan mengenai konstelasi baru di Uni Eropa. Dari situs Debating Europe,
penulis mendapatkan ada beberapa faktor yang menyebabkan Turki terus mendesak untuk bergabung pada
regionalisme raksasa tersebut yang saat ini telah dihuni 29 negara dari kawasan Eropa dan sekitar Eropa. 3
Yang pertama adalah letak geografis. Meski sebelumnya telah dijelaskan bahwa Turki merupakan bagian
dari Asia secara kontinental, kehadiran Istanbul yang menjadi pusat perdagangan Turki berada di wilayah
Eropa. Berbatasan langsung dengan Yunani, di mana artinya semua barang dan budaya Eropa dapat masuk.
Selain itu, negara demokrasi seperti Turki memiliki kapabilitas yang sama seperti Uni Eropa untuk
mempertahankan budaya politik yang telah dikembangkan sejak zaman yunani Kuno tersebut. Ini tidak bisa
dilepaskan pula dengan kapabilitas lain yang menunjukkan bahwa sejarah Turki dan budayanya mendekati
pada ciri khas Eropa.4

3 Debating Europe. Arguments for and against Turkey’s EU membership. T.t, diakses pada 3 Januari 2016.
http://www.debatingeurope.eu/focus/infobox-arguments-for-and-against-turkeys-eu-membership/#.VmhgUvmLQdU.
4 Ibid.

4

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016

Turki, Negara Islam ‘Sekular’ dan Alasannya Bergabung Uni Eropa
Sejarah tidak bisa menyangkal bahwa lahirnya Turki sebagai republik di bawah pemerintahan Mustafa
Kemal Attaturk membawa reformasi besar terhadap kehidupan perpolitikan dan ekonomi di Turki.
Ungkapan bahwa Turki merupakan negara Muslim dicabut pada 1928 oleh Parlemen Turki sendiri.5 Ini
menandakan bahwa Turki di bawah Kemal Pasha, menghendaki republik Islam yang sekuler. Tak ayal
sejarah Turki sebagai negara Islam yang dikenal sebagai Ottoman dibawah dinasti Ustmani begitu
pentingnya dalam membentuk negra Republik Turki yang berdiri hingga saat ini. Kemudian banyak pula
aturan-aturan yang berbau Islami atau syariah dihapuskan menyusul ditariknya pernyataan ‘Turki sebagai
negara Islam’ tadi, seperti aturan poligami, dll. 6 Jauh sebelum itu kekuasaan Ottoman yang melindungi pusat
Islam di dunia, Mekkah, Arab Saudi bergeser menuju Istanbul. Pusaran arus antara Eropa dan Asia bertemu
di sini. Bekas Kekaisaran Ottoman ini pun pada masa-masa selanjutnya seperti yang ditunjukkan pada
Perang Dingin pun senderung lebih dekat dengan dunia Eropa daripada Islam sebagai karakter dan jatidiri
negara pada mulanya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Turki ini selangkah menuju negara-negara barat yang
berkarakteristik: demokrasi, tidak menggunakan aturan yang kolot, dan menganut prinsip kebebasan pasar.
Sejak itulah Turki menganut sekularisme, sehingga banyak kalangan termasuk analis-analis Hubungan
Internasional yang menyebut Turki sebagai Negara Islam Pluralis Sekular Demokratis. Hal ini didukung
oleh pernyataan Berbnard Lewis sebagaimana yang penulis kutip dari Jurnal Middle East Quarterly:


...a historical explanation--that Turkey, of all the Muslim countries, has had the longest and
closest contact with the West, dating back almost to the beginnings of the Ottoman state. Turkey,
for long the sword and buckler of Islam against the West, made a deliberate choice for
westernization, and for a Westward political orientation. Specifically, the Turkish experiment in
parliamentary democracy has been going on for a century and a quarter--much longer than in any
other country in the Islamic world--and its present progress therefore rests on a far stronger,

5 John Morris Roberts, History f Europe. Helicon Publising Ltd., Bath, 1996, hal. 478.
6 Ibid.

5

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
wider, and deeper base of experience. The vicissitudes of democracy under the late Ottomans,
under Mustafa Kemal Atatürk, and under his successors would seem to confirm the belief that
democracy is a strong medicine, which must be administered in small and only gradually
increased doses...
(Bernard Lewis, 1994).

Reformasi negara Muslim yang menganut demokrasi ini terus berlanjut. Dinamika terus dijalani sebagai

gejolak politik, dan rekonsiliasi yang berarti. Nilai-nilai politik Barat semakin diintegrasikan pada
pemerintahan yang lebih bercorak kepada model yang dikembangkan di Eropa. Untuk mengimbangi apa
yang disebut dengan pengaruh Uni Soviet dengan paham komunismenya, Turki memutuskan untuk
bergabung dengan NATO melalui Protokol Aksesi yang ditandatangani pada 22 Oktober 1951. Pada
akhirnya Turki resmi menjadi anggota NATO pada 18 Februari 1952. Mulai dari sinilah penulis dapat
melihat pendekatan Turki terhadap Eropa berawal dari pendekatan keamanan terlebih dahulu. Melihat hal
ini, penulis berhipotesis bahwa dengan menggunakan NATO sebagai pendekatan awal terhadap
bergabungnya Turki dengan Eropa dapat menjamin kestabilan domestik juga, karena ketika suatu saat di
dalam Turki terjadi pergolakan politik tentu saja NATO dapat hadir dengan cepat untuk mengintervensi
negaranya sehingga kehidupan masyarakat akan kembali pulih seperti semula.

Turki pun kemudian mengajukan diri untuk bergabung dengan komunitas ekonomi Eropa. Komunitas
ekonomi yang secara luas dibentuk untuk mengakomodir negara-negara yang mendaftar sebagai anggota
untuk mengintensifikasi peran masing-masing dalam sebuah kerangka kerja sama, dipandang Turki sebagai
sebuah peluang besar untuk memajukan perdagangan, investasi, dan secara lebih luas memperlancar
kepentingan ekonominya. Turki tepatnya telah menjadi anggota asosiasi dari Uni Eropa sejak
penandatanganan Perjanjian Ankara pada tahun 1963.7 Selain itu meletakkan kerangka program untuk
integrasi ekonomi masa depan antara para pihak, sebagai tujuan akhir, Perjanjian Ankara meramalkan
aksesi Turki ke EEC sebagai anggota penuh (yang berbeda dari 'anggota asosiasi'). 8 Di sini dapat dikatakan
7 Berdal Aral, “Making Sense of the Anomalies in Turkish-European Union Relations”, dalam Journal of Economic and

Social Research 7(1), Fatih University, Istanbul, 2005, hal. 99-100.
8 Ibid.

6

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
bahwa Turki menghendaki keanggotaaan penuh di Uni Eropa untuk kepentingan mengusung mitra kerja
strategis yang akan bergena di dalam masa mendatang. Turki ternyata telah berancang-ancang untuk
mengidentifikasikan diri sebagai Eropa sejak saat itu. Bahkan, dalam tataran yang tidak menjadi isu minor
sekalipun. Di bidang olahraga misalnya, federasi sepak bola Turki bergabung dengan UEFA pada tahun
yang sama pula.

Namun tentu saja jika dilihat dari level pimpinan negara, kebijakan luar negeri Turki tentu berbeda satu
sama lain terhadap Uni Eropa. Melihat intensitas hubungan dan kerja sama Turki dengan Uni Eropa di
berbagai bidang melalui karakter kepemimpinannya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, penulis melihat
sosok Recep Tayyip Erdogan sebagai orang yang dekat dengan perilaku otoritarianisme. Banyak sekali
kebijakan yang bertentangan dengan konsep demokrasi yang awalnya dicanangkan oleh Ataturk. Tentu saja
ini berimplikasi pada nasib penggabungan pada Uni Eropa yang ke depannya membutuhkan prasyarat yang
disebut Kriteria Kopenhagen yang akan dibahas lebih lanjut pada paragraf-paragraf setelah ini.


“Ada 5 juta orang Turki di Eropa dan 3 juta orang Turki di Jerman saja. Kami adalah anggota
alami dari Uni Eropa. Jerman mengundang pekerja Turki 50 tahun yang lalu, namun 50 tahun
telah berlalu dan kami telah menunggu di depan pintu Uni Eropa. Tidak ada negara lain telah
mengalami hal seperti itu. Kami akan bersabar sampai titik. Namun ketika kami melewati titik
itu, kami akan membawa cahaya untuk situasi dan memutuskan sesuai. "
(Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dalam Euractiv.com.tr, 2012).

Pernyataan di atas mempertegas bahwa kesungguhan Turki untuk melibatkan diri dalam regionalisme Eropa
sangat tinggi. Melalui alasan yang bernilai sosio-ekonomi, Erdogan menegaskan bahwa keinginan Turki itu
berdasarkan fenomena yang terjadi pada masyarakatnya sendiri. Bahwa Turki menghendaki keterbukaan
pasar yang semakin integratif dengan negaranya mengingat pasar nantinya akan secara langsung
memberikan keuntungan bagi warga negara Turki yang sedang berada di Eropa maupun yang berada di
tataran domestik pemerintahan Republik Turki.

7

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
Saat Uni Eropa mulai ‘menerima’ keberadaan Turki itu dengan menimbang-nimbang atribut-atribut nasional
yang dimiliki Turki, terjadilah konflik antara Yunani dengan Turki di tahun 20 Juli 1974 seketika Turki
melancarkan invasi terhadap Pulau Siprus. Pulau Siprus menjadi pusat percampuran budaya dan demografi

penduduk antara orang-orang Yunani dengan Turki. Mengingat posisinya yang strategis di Laut Tengah,
terjadi sebuah pertempuran kecil antara Pasukan Yunani dan Yunani Sipriot dengan Militer Turki. Meskipun
konflik sebenarnya telah terjadi jauh sebelum itu, tepatnya sejak tahun 1960 Siprus merdeka dari Inggris.
Yunani dan Siprus Turki telah bertentangan dengan satu sama lain, yang berpuncak pada kedatangan
Pasukan Penjaga Perdamaian PBB pada tahun 1964. 9 Akhirnya satu hambatan bagi Turki ditanggapi oleh
Uni Eropa sebagai salah satu ketidak siapan Turki dalam menghadapi sengketa antar negara Uni Eropa.
Mengingat Yunani telah menjadi anggota lama Uni Eropa sebelum Turki menyatakan ketertarikannya untuk
bergabung dengan Uni Eropa.

Gambar 1: Negara-negara anggota Uni Eropa berdasarkan tahun bergabung

Sumber: www.reuters.com, 2015

9 Kaloudis, George Stergiou, “Cyprus: The Unresolved Conflict”, dalam CROSSINGS, Vol. 1, No. 1, May 1996. Hal. 2.

8

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
Dalam perkembangan yang positif, Turki mendaftarkan diri dalam keanggotaan penuh pada tahun 1987, atas
dasar artikel Traktat EEC 237 yang memberi negara-negara Eropa untuk melakukan pengajuan aksesinya. 10

Tentu saja pengajuan ini berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah berlaku dan dibuat sebelumnya seperti
Perjanjian Ankara, Perjanjian Roma, melalui prosedur normal. Dewan meneruskan aplikasi Turki ini kepada
Komisi untuk persiapan penjajakan pendapat anggota-anggota Uni Eropa. Pengajuan sebelumnya dijajaki
oleh Maroko yang mana berujung dengan kegagalan negara Afrika tersebut karena diklaim bukan
merupakan negara Eropa, sehingga ditolak oleh Komisi Eropa.

Turki kemudian memilih untuk menyelesaikan bergabungnya dengan Uni Eropa dalam taraf yang lebih
lanjut, yakni membangun custom union antara kedua belah pihak. Perundingan dimulai pada tahun 1994 dan
diselesaikan pada tanggal 6 Maret 1995 di Dewan Asosiasi Turki-Uni Eropa. 11 Singkatnya setelah itu tingkat
perdagangan yakni ekspor/impor Turki terhadap Uni Eropa meningkat signifikan. Angka 34,7% adalah
margin peningkatan yang menunjukkan perbedaan antara tahun 1995 dengan 1996. Meski penajajakan
secara perlahan-lahan berhasil, aksesi keanggotaan tetap yang diajukan ada tahun 1987 tidak kunjung
dijawab oleh Uni Eropa. Hingga saat mencapai abad ke-21 Turki masih disulitkan oleh berbagai macam
persyaratan detil yang diberikan oleh Uni Eropa.

Uni Eropa dan Kebijakan Perluasannya

Uni Eropa telah membuat kerangka kerja sama luar negeri yang terbilang cukup signifikan dalam
membangun kompatibilitas melalui program yang dinamakan European Neighbourhood Policy atau ENP.
Melalui regulasi-regulasi yang telah tersedia dalam ENP, Uni Eropa memiliki wewenang untuk mengatur
kerja sama strategis dengan negara-negara tetangga di bagian selatan dan timur untuk mencapai asosiasi
politik terdekat mungkin dan mungkin tingkat terbesar integrasi ekonomi. Menurut European Union
External Action (EEAS) hal ini berdasarkan pada kepentingan bersama dan nilai-nilai dalam berdemokrasi,
10 Ministry for EU Affairs Republic of Turkey, “History of Turkey-EU Relations”, dalam Brief History, Diperbarui 15
Desember 2015, diakses pada 3 Januari 2016. http://www.ab.gov.tr/?p=111&l=2
11 Ibid.

9

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
aturan hukum, menghormati hak asasi manusia, dan kohesi sosial. 12 Setidaknya ada 12 negara yang berada
di sekitar regional Eropa yang tergabung sebagai partner penuh ENP dan telah menyetujui rencana aksi ENP,
antara lain: Armenia, Azerbaijan, Georgia, Israel, Libanon, Mesir, Moldova, Maroko, Palestina, Tunisia,
Ukraina, dan Yordania. Di samping itu, Aljazair masih dalam tahap negosiasi sebagai bagian rencana aksi
ENP, sedangkan Belarusia, Libya dan Suriah masih berada di luar struktur ENP.13

Menurut ENP and Enlargement Negotiations (ENPEN), terdapat beberapa syarat mendasar bagi sebuah
calon negara anggota Uni Eropa yang harus dipenuhi. Uni Eropa menjaring negara-negara yang nantinya
dapat mematuhi standar dan aturan yang berlaku dalam tubuh Uni Eropa, kemudian berkonsentrasi pada
pembangunan sesama negara Uni Eropa dan secara institusional terlibat aktif, dan yang terakhir: persetujuan
dari parlemen maupun secara referendum. Kriteria-kriteria itu disebutkan dalam laman web ENPEN:

The first step is for the country to meet the key criteria for accession. These were mainly defined
at the European Council in Copenhagen in 1993 and are hence referred to as 'Copenhagen
criteria'. Countries wishing to join need to have: (1) stable institutions guaranteeing democracy,
the rule of law, human rights and respect for and protection of minorities; (2) a functioning
market economy and the capacity to cope with competition and market forces in the EU; (3) the
ability to take on and implement effectively the obligations of membership, including adherence
to the aims of political, economic and monetary union.
(ENPEN, 2015)

Terlepas dari ENP, Turki justru telah menjadi mitra kerja sama strategis dengan Uni Eropa sjak 1963. Turki
yang menggunakan pendekatan ekonomi sebagai alasan utama bergabungnya dengan organisasi regional
yang berpusat di Brussel ini terus mendesak, bahkan pasca konflik Siprus surut setelah era 80-an desakan
itupun akhirnya berlanjut melalui pembicaraan aksesi terhadap Uni Eropa pada tanggal 3 Oktober 2005.
Turki menyatakan ‘sakit hati’ ketika Uni Eropa mengklaim Turki hanyalah menjadi salah satu kandidat
12 EEAS, “European Neighbourhood Policy (ENP)”, t.t, diakses pada 3 Januari 2016. http://eeas.europa.eu/enp/aboutus/index_en.htm
13 Ibid.

10

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
anggota, sedangkan aksesi tahun 1963 tidak jelas pengakuannya dari badan yang memperkenalkan satu mata
uang di bawah Euro ini. Uni Eropa melalui Presiden Komisi Eropa nya Jean-Claude Juncker menyatakan
bahwa tidak ada perluasan lebih lanjut akan berlangsung selama lima tahun ke depan. “Mengenai Turki,
negara ini jelas jauh dari keanggotaan Uni Eropa. Pemerintahan yang menghalangi Twitter tentu tidak siap
dengan aksesi,” begitu Juncker saat melontarkan press release pada situs resmi Presiden Komisi Eropa.14

Problematika Internal Turki sebagai Penghambat Bergabungnya dengan Uni Eropa

Sempat disinggung di atas mengenai hambatan-hambatan mendasar yang dihadapi Turki dalam masuknya
negara bekas kejayaan Islam tersebut ke dalam Uni Eropa. BBC News menyimpulkannya dalam dua
permasalahan utama yang menangguhkan status keanggotaan Turki hanya sampai tahap pembicaraan saja
meski telah berjalan sekian lama.15 Yang pertama adalah membahas kasus otoritas Siprus, yang mana masih
terdapat pengaruh besar Turki terhadap pemerintahan ‘boneka’ Siprus Utara. Faktor yang kedua menurut
BBC adalah Turki masih terhambat dalam kondisi stabilitas politik dalam negeri yang mana Uni Eropa
merasa bahwa masih banyak gaduh dan huru-hara di wilayah Turki sendiri.16

Dari paragraf yang telah disinggung penulis sebelumnya, Uni Eropa pun seakaan begitu ‘menjual mahal’ di
hadapan Turki saat Ankara membuat kebijakan kontroversial dengan memblokir situs Twitter. Juncker
menganggap Twitter sebagai sarana kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu poin penting dari
demokrasi yang mana nilai penting yang diajarkan barat pada Uni Eropa. Bahwa isu sekecil Twitter dan
pelarangannya oleh pemerintah pada dasarnya dapat menghambat permohonan aksesi Turki terhadap Uni
Eropa. Hal ini menurut hemat penulis merupakan ‘syarat yang alot’, karena sederhananya Kriteria
Kopenhagen yang sederhana ini ternyata dipahami oleh Juncker sebagai syarat yang berbelit. Uni Eropa
tidak memiliki alternatif solusi yang jelas, hal ini mendorong Turki untuk mendirikan Kementerian Urusan
14 Jean-Claude Juncker, Official website of EU President Juncker, 23 April 2014, diakses pada 3 Januari 2016.
http://juncker.epp.eu/sites/default/files/attachments/nodes/en_03_fp.pdf
15 BBC News, “EU enlargement: The next seven”, dalam Europe, 2 September 2014, diakses pada 3 Januari 2016.
http://www.bbc.com/news/world-europe-11283616
16 Ibid.

11

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
Uni Eropa. Saat ini posisi Menteri Urusan Uni Eropa serta Perwakilan Tetap Turki di Uni Eropa dijabat oleh
Volkan Bozkır.17 Diharapkan dengan kementerian yang dibentuk pada tahun 2011 di bawah Pemerintahan
Turki yang saat itu dipegang oleh Recep Erdogan dapat menuntaskan segala hambatan berkenaan dengan
bergabungnya Turki dengan Uni Eropa serta terus melakukan komunikasi yang intens dan terarah pada
terwujudnya Turki sebagai salah satu anggota dari Uni Eropa, bukan ‘mitra spesial’ seperti yang selama ini
telah berjalan lama.

Kini ketika Erdogan menjadi Presiden Republik Turki banyak sekali kebijakan yang bertentangan dengan
syarat penggabungan dengan Uni Eropa, meski telah disinggung pada pernyataannya sebelumnya yang
membahas peluang dan kemungkinannya lebih jauh, justru kondisi internal yang turut memberi signifikansi
yang penting terhadap aksesi Turki terhadap Uni Eropa. Berdasarkan apa yang telah dituliskan oleh Jung,
Turki dipandang mengalihkan kebijakannya akibat dari ideologi partai pengusung Erdogan yakni Justice and
Development Party (JDP). Partai ini mengubah paradigma pembangunan Turki yang mulanya bersifat
Erdogan sentris kemudian menciptakan sebuah tatanan kebijakan luar negeri yang seimbang antara Eropa,
dengan Asia yakni Timur Tengah atau Dunia Islam pada khususnya. 18 Kemudian sampailah pada kebijakan
luar negeri kontroversial yang dipandang oleh pengamat hubungan internasional yakni dari awal mendukung
Israel sebagai negara berdaulat. Tepatnya hal itu terjadi pada 1949. Meski Jung yang mengambil sumber dari
Graham Fuller menyatakan bahwa hubungan kedua negara berjalan dengan baik seperti pernyataan yang
dibuat belakangan ini, tanggal 2 Januari 201619, namun Jung mengambil contoh kesalahpahaman dengan
Israel pada tahun 2009 terkait dengan masalah Jalur Gaza.20

Dukungan dari negara-negara lain yang memiliki pengaruh terhadap bergabungnya Turki dengan Uni Eropa
juga begitu penting. Belakangan ini Kanselir Jerman mengapresiasi langkah dari Turki dalam membuka
‘pintu’ negaranya agar pengungsi Suriah mendapatkan akses untuk menyeberang ke daratan Eropa, namun
17Ministry for EU Affairs Republic of Turkey, Op. Cit. Minister for EU Affairs and Chief Negotiator Ambassador
Volkan Bozkır, diakses pada 3 Januari 2016, http://www.ab.gov.tr/index.php?p=42266&l=2
18 Dietrich Jung, Does Turkey Turn East? Center of Mellemost Studier, Odense, Desember 2009, hal. 2.
19 Erdogan menjelaskan, sejak bulan lalu mereka mengupayakan kemajuan atas pembicaraan rahasia untuk memulihkan
hubungan kedua negara. "Israel sangat membutuhkan sebuah negara seperti Turki di wilayah ini, dan kita juga harus menerima
bahwa kita perlu Israel. Ini adalah realitas," katanya pada Sabtu, 2 Januari 2016 sebagaimana dikutip dari AFP. Lebih lengkap
dapat dibaca di http://dunia.tempo.co/read/news/2016/01/03/117732548/presiden-erdogan-turki-butuh-israel
20 Dietrich Jung, Op. Cit.

12

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
tidak mengubah pandangannya terhadap keanggotaan Turki. Dalam hal ini Jerman tetap menolak
bergabungnya Turki pada Uni Eropa. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh analisis seorang Vladimir Odintsov
yang mengomentari terhadap Uni Eropa yang mana dirinya memandang dalam perspektif lain, bahwa
dengan menerima keanggotaan Turki itu sama artinya dengan menyetujui bergabungnya teroris dalam
konstelasi percaturan politik Eropa.21 Bahkan lebih lanjut dalam tulisannya, Odintsov menjelaskan bahwa:

...there’s absolutely no transparency in the affairs of the sitting Turkish authorities, the billions
allocated by European politicians might be as well spent on the support of Islamist militants in
Syria and Iraq. ... since Erdogan’s connections with radical Islam have been officially confirmed
by a prominent Iraqi politician Mowaffak Baqer al-Rubaie. According to al-Rubaie, Turkey is
selling stolen oil at the rate of 20 dollars per barrel, which provides it with the income of 10
million dollars a week. Thus, in just eight months Turkey received over 800 million dollars from
Iraqi stolen oil and gas.
(Vladimir Odintsov dalam NEO, 30 November 2015).

Selain problematika di atas, Turki juga mengalami hambatan-hambatan baru yang serius memperburuk
hubungan Turki dengan negara-negara besar seperti Rusia. Rusia dengan Turki saat ini menaikkan eskalasi
konflik yang berawal dari kesalahpahaman Turki. Pada 24 November 2015 armada Angkatan Udara Turki
yakni F-16 menjatuhkan jet tempur/pembom Rusia Sukhoi Su-24M. Alasan utama Turki adalah jet milik
Rusia itu tertangkap radar melampaui batas wilayah udara Turki. Dalih Turki, Sukhoi itu telah diberi
peringatan berkali-kali. Sedangkan Rusia yang bertendensi untuk segera menyingkirkan kelompok militan
ISIS dari Suriah dan Iraq menyatakan bahwa tidak ada peringatan apapun dari sinyal komunikasi yang
diterima dalam kawasan Turki yang diklaim mereka masuki tanpa izin. 1 korban pilot tewas tertembak oleh
militan ISIS, sedangkan sisa 1 pilot selamat dan dievakuasi oleh militer Rusia yang terdekat. 22 Tentu saja
yang akhir ini tidak ditanggapi oleh NATO sebagai otoritas pemegang keamanan di Eropa. Namun efeknya
21 NEO, “Has the Deal with Erdogan Made Europe a Supporter of Terrorism?” Vladimir Odintsov, 30 November 2015,
diakses pada 3 Januari 2016. http://journal-neo.org/2015/11/30/has-the-deal-with-erdogan-made-europe-a-supporter-of-terrorism/
22 The Aviationist, Updated: Turkey has just shot down a Russian Sukhoi Su-24 near the border with
Syria. David Cenciotti, November 24 2015, diakses pada 3 Januari 2016.
http://theaviationist.com/2015/11/24/ruaf-su-24-shot-down-by-turkey/

13

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
berdampak pada peningkatan konsentrasi ancaman baru, yang mana Turki telah bersepakat dengan NATO
untuk melawan ISIS. Rusia yang merupakan salah satu negara yang diidentifikasi sebagai salah satu
deterrence dalam Eropa pun penulis prediksi akan semakin mempersulit langkah Turki bergabung dengan
Uni Eropa. Mungkin membenarkan apa yang dikatakan oleh BBC dan Juncker sebelumnya, bahwa di tataran
internal Turki terus menghadapi permasalahan keamanan sedangkan Juncker pun meneruskan dengan
pernyataan yang telah penulis sertakan sebelumnya seakan Uni Eropa ini tidak menerima anggota yang
berpotensi menimbulkan konflik baru di Uni Eropa, karena konflik internal negara-negara anggota akan
diselesaikan secara konsensus. Tingkat beratnya permasalahan internal di Turki ini yang nanti nampaknya
tidak dapat diterima begitu saja efeknya dan dampak jangka panjangnya bagi integrasi regional yang telah
dibangun pasca Perang Dingin ini.

Kesimpulan dan Opini

Penulis dapat menyimpulkan melalui asumsi-asumsinya bahwa Uni Eropa pada dasarnya merupakan
regionalisme yang terbuka akan perluasan dan menerima anggota-anggota baru. Namun tidak serta merta
anggota baru itu diterima secara tangan terbuka. Ada sebuah persyaratan utama sebuah negara mencalonkan
diri sebagai anggota Uni Eropa, yang disebut sebagai Kriteria Kopenhagen. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, persyaratan itu terdiri dari: (1) telah mencapai stabilitas lembaga menjamin demokrasi,
supremasi hukum, hak asasi manusia, dan menghormati dan perlindungan kaum minoritas, (2) (memiliki)
ekonomi pasar yang berfungsi serta kapasitas untuk mengatasi tekanan kompetitif dan kekuatan pasar dalam
Uni, dan (3) (memiliki) kemampuan untuk mengambil kewajiban keanggotaan, termasuk kepatuhan
terhadap tujuan serikat politik, ekonomi dan moneter.23 Kriteria ini awalnya dibuktikan dengan
mendaftarnya Maroko sebagai kandidat anggota Uni Eropa. Secara kasar, Maroko pun berada di luar
kawasan Eropa. Secara khusus, Maroko sesungguhnya telah jauh memenuhi kriteria ini sehingga
pengajuannya ditolak oleh Komisi Eropa.

23 Aral, Berdal, “Making Sense of the Anomalies in Turkish-European Union Relations”, Journal of
Economic and Social Research 7(1), Fatih University, Istanbul, 2005, hal. 109.

14

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
Selanjutnya penulis melihat kerangka yang dikembangkan Uni Eropa. Dinamika yang terjadi dalam
kumpulan negara-negara demokrasi ini mengharuskan segala kebijakan internal yang dimiliki baik negara
anggota maupun negara calon anggota adalah demokrasi yang dibuka sebesar-besarnya untuk rakyat. Ketika
Juncker, Presiden Komisi Eropa menyindir Turki melalui pernyataan resminya bahwa kebijakan menutup
Twitter itu semakin menutup kesempatan Turki dalam bergabungnya negara yang didirikan Kemal Attaturk
itu dengan regionalisme Uni Eropa. Tentu saja bukan itu saja kendala utama yang akan dihadapi Turki.
Konstelasi yang terjadi baik dalam taraf regional maupun internasional membawa Turki dalam
permasalahan-permasalahan baru. Ambil contoh kasus aliran pengungsi Suriah yang menyeberang ke Eropa
melalui ‘pintu’ Turki yang terus saja dihalangi Turki membuat Uni Eropa berang. Selain itu memanasnya
hubungan Turki dengan Rusia belakangan ini berpotensi untuk menimbulkan gejolak konflik baru yang
berkepanjangan apabila Uni Eropa gegabah untuk segera memasukkan Turki menjadi salah satu anggotanya.

Sehingga dapat dikatakan bahwa penulis pada akhirnya melihat bahwa dinamika yang terjadi dalam negara
pluralis, sekular, demokrasi Turki ini tidak mendukung Turki menjadi salah satu anggota dari Uni Eropa.
Kendati telah dibentuk Kementerian khusus yang bekerja di bidang integrasi Turki dengan Uni Eropa,
pekerjaannya otomatis tidak mudah. Melihat dari konflik domestik dan internasional yang dihadapi, Turki
menurut hemat penulis masih jauh dari kesiapannya menyambut integrasi dengan Uni Eropa. Maka penulis
lebih mengamini apa yang selama ini dilakukan Uni Eropa, yakni dengan menunda-nunda keanggotaan
Turki hingga pada saatnya Turki menyelesaikan segala konflik yang ada dan mengganti karakter
kepemimpinan dari yang saat ini dikuasai oleh partai Erdogan yakni JDP. Namun tidak menutup
kemungkinan, menyesuaikan dinamika yang ada Turki segera bergabung dengan Uni Eropa karena melihat
sejarah Turki yang sudah puluhant ahun menunggu menjadi anggota tetap Uni Eropa. Sehingga dalam
keanggotaannya Turki akan dapat terus meningkatkan produktivitas ekonomi dan intensitas perdagangan
dengan negara-negara penting di Eropa.

15

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
Daftar Pustaka

Buku, Esai, Jurnal Ilmiah, dan Laporan Tertulis
Aral, Berdal, 2005. “Making Sense of the Anomalies in Turkish-European Union Relations”, Journal of
Economic and Social Research 7(1). Istanbul: Fatih University. Hal. 99-120.
Roberts, John Morris, 1996. A History of Europe. Bath: Helicon Publising Ltd.
Jung, Dietrich, 2009. Does Turkey Turn East? December 2009. Odense: Center of Mellemost Studier.
Kaloudis, George Stergiou, 1996. “Cyprus: The Unresolved Conflict”, dalam CROSSINGS, Vol:1, No:1,
May 1996. Hal. 1-4.

Artikel Daring, Berita Daring, dan Laman Web Resmi
BBC News. 2014. “EU enlargement: The next seven”, dalam Europe. 2 September 2014. [Online]. Tersedia
dalam: http://www.bbc.com/news/world-europe-11283616 (Diakses pada 3 Januari 2016).
Euractiv.com.tr, 2012. “Erdoğan: 'AB konusunda bir yere kadar sabredeceğiz'”, dalam AB ve Türkiye.
10.09.2012. [Online]. Tersedia dalam: http://www.euractiv.com.tr/ab-ve-turkiye/article/erdogan-abkonusunda-bir-yere-kadar-sabredecegiz-026036 (Diakses pada 3 Januari 2016).
European Neighbourhood Policy and Enlargement Negotiations (ENPEN), 2015. “Conditions for
membership”,

dalam

Enlargement

Policy.

[Online].

http://ec.europa.eu/enlargement/policy/conditions-membership/index_en.htm

Tersedia
(Diakses

dalam:
pada

3

Januari 2016).
European Union External Action (EEAS). t.t. European Neighbourhood Policy (ENP). [Online]. Tersedia
dalam: http://eeas.europa.eu/enp/about-us/index_en.htm (Diakses pada 3 Januari 2016).
Debating Europe. Arguments for and against Turkey’s EU membership. [Online]. Tersedia dalam:
http://www.debatingeurope.eu/focus/infobox-arguments-for-and-against-turkeys-eumembership/#.VmhgUvmLQdU (Diakses pada 3 Januari 2016).

16

Probo Darono Yakti / UAS MBP Eropa / Perluasan Eropa / Januari 2016
Juncker, Jean-Claude, 2014. Official website of EU President Juncker. 23/04/2014. [PDF]. Tersedia dalam:
http://juncker.epp.eu/sites/default/files/attachments/nodes/en_03_fp.pdf (Diakses pada 3 Januari
2016).
Lewis, Bernard, 1994. “Why Turkey Is the only Muslim Democracy”, dalam Middle East Quarterly March
1994. Volume 1, Number 1. pp. 41-49. [Online]. Tersedia dalam: http://www.meforum.org/216/whyturkey-is-the-only-muslim-democracy (Diakses pada 3 Januari 2016).
Ministry for EU Affairs Republic of Turkey, 2015. “History of Turkey-EU Relations”, dalam Brief History
[Online]. Tersedia dalam http://www.ab.gov.tr/?p=111&l=2 (Diakses pada 3 Januari 2016).Reuters,
2015. Greek parliament approves bailout measures as Syriza fragments. [Online]. Tersedia dalam:
http://www.reuters.com/article/us-eurozone-greece-idUSKBN0P40EO20150716 (Diakses pada 3
Januari 2016).
New Eastern Outlook (NEO). 2015. “Has the Deal with Erdogan Made Europe a Supporter of Terrorism?”
Vladimir

Odintsov,

30

November

2015.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://journal-

neo.org/2015/11/30/has-the-deal-with-erdogan-made-europe-a-supporter-of-terrorism/http://journalneo.org/2015/11/30/has-the-deal-with-erdogan-made-europe-a-supporter-of-terrorism/ (Diakses pada
3 Januari 2016).
Tempo.co, 2016. “Presiden Erdogan: Turki Butuh Israel!” Dalam Dunia. Minggu, 3 Januari 2016, 01:49
WIB. [Online]. Tersedia dalam: http://dunia.tempo.co/read/news/2016/01/03/117732548/presidenerdogan-turki-butuh-israel (Diakses pada 3 Januari 2016).
The Aviationist, 2015. Updated: Turkey has just shot down a Russian Sukhoi Su-24 near the border with
Syria.

David

Cenciotti,

November

24

2015.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://theaviationist.com/2015/11/24/ruaf-su-24-shot-down-by-turkey/ (Diakses pada 3 Januari
2016).