Selametan Fungsi Ritual dan Sosial (1)

Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Antropologi Agama
Fungsi Sosial dan Ritual dari Upacara Selametan dalam
Masyarakat Jawa

Nino Citra Anugrahanto
11/318531/SA/16060
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

2013

Fungsi Sosial dan Ritual dari Upacara Selametan dalam Masyarakat Jawa
Agama merupakan salah satu unsur dalam tujuh unsur kebudayaan karena agama juga
merupakan seperangkat sistem gagasan yang diperoleh manusia dengan sistem belajar. Dari
waktu ke waktu agama ini terus berkembang dari yang tradisional ke modern. Didalam agama
tradisional ada kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang bertujuan menciptakan harmoni
dengan lingkungan, maka ritual-ritual yang dilakukan pun bertujuan agar manusia dapat hidup
dengan harmonis baik dengan lingkungan sosial maupun alamnya.
Jawa sebagai sukubangsa yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia memiliki ritual
yang dinamakan dengan selametan. Sama halnya dengan ritual yang lain, slametan lebih bersifat

relijius dan bertujuan untuk mohon berkah. Meskipun fungsi ritual untuk mendudukkan
seseorang dalam posisi yang tidak ambigu, dalam prakteknya ritual ini juga memiliki fungsi
sosial seperti yang diungkapkan Durkheim (1979) bahwa ritual memiliki peran yang penting
dalam kehidupan sosial. Ritual merupakan bagian dari agama atau suatu kepercayaan. Jawa
sebagai sebuah peradaban pun memiliki kepercayaan yang dinamakan dengan kejawen, dan
selametan ini merupakan salah satu ritualnya. Selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas
mengenai bagaimana selametan ini dianggap sebagai sebuah ritual dan apa saja fungsi dari ritual
tersebut.
Slametan Sebagai Sebuah Ritual
Secara etimologis kata Selametan berasal dari bahasa Jawa yaitu selamet yang dalam
bahasa Indonesia diartikan dengan selamat. Sesuai dengan hal itu, upacara ini dilaksanakan
dengan tujuan untuk mencari keselamatan dalam hidup, karena sifatnya berupa ritual keagamaan,
maka keselamatan yang hendak didapatkan adalah keselamatan baik secara lahir maupun batin
dari masing-masing manusia. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkat dari generasi
sekarang kepada para pendahulunya dengan cara membuat sesajen yang isinya seperti bunga
tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya, tergantung dari apa yang hendak
diharapkan dari ritual ini. Andrew Beatty (1999) menjelaskan bahwa selametan merupakan
sebuah kegiatan makan seremonial yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis
(sesajen), ceramah dan doa. Jadi makanan-makanan yang terdapat dalam upacara selametan itu


membawa simbol tentang hidup atau mati, dan harapan-harapan apa saja yang diinginkan
melalui upacara selametan tersebut. Disini dapat dikatakan bahwa kegiatan makan dalam
selametan ini bersifat simbolis, dan melalui konsensus dari masyarakat serangkaian simbol yang
telah disepakati tersebut ini dianggap sebagai sebuah ritual.
Upacara selametan sebagai sebuah ritual. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya,
merupakan kegiatan makan seremonial yang dipersembahkan kepada leluhur agar memperoleh
berkah. Makanan-makanan yang terdapat dalam upacara ini memiliki simbol-simbol khusus
sesuai dengan tujuan dari upacara tersebut memohon berkat untuk apa, apabila upacara
merayakan kelahiran, maka sesajen atau makanan yang disajikan adalah yang makanan atau
benda-benda yang membawa simbol tentang hidup. Sebaliknya upacara kematian pun bendabendanya membawa simbol-simbol tentang kematian juga harapan-harapan bagi yang meninggal
dan yang hidup. Upacara ini isinya juga tidak hanya kegiatan makan saja, karena disertai dengan
ceramah dan doa bersama. Ceramah merupakan pidato yang menyampaikan harapan-harapan
yang diinginkan keluarga melewati acara selametan ini. Hampir sama dengan ceramah,
perbedaan antara doa bersama dengan ceramah terdapat pada sifat sakral yang dimiliki upacara
selametan, karena kegiatan doa merupakan bentuk sarana komunikasi antara manusia dengan
Tuhan atau Leluhur dan sifat komunikasi ini ambigu—sebab, secara nyata hubungan yang
terjalin adalah simbolis. Keambiguan inilah yang mengharuskan manusia untuk meletakkan
perantara antara hal-hal yang ‘ada’ dan ‘tidak ada’. Posisi antara ‘ada’ dan ‘tidak ada’ itu disebut
dengan ‘posisi ambang’, dan disinilah letak ritual sebagai suatu hal menjembatani manusia
terhadap hal yang ‘ada’ dan ‘tidak ada’. Selametan dianggap sebagai ritual, karena menjadi

jembatan antara yang keduanya beserta dengan unsur persembahannya yang dimiliki ritual ini
yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan yang ‘tidak ada’ untuk mengisi kehadiran
daripada yang ‘tidak ada’ itu sendiri. Disinilah ritual itu bekerja dimana ritual membentuk batas
yang sebenarnya adalah buatan manusia sendiri untuk menjembatani antara yang ‘ada’ dengan
yang ‘tidak ada’, seperti antara yang hidup dengan yang mati agar tidak berada pada kondisi
yang ambigu.
Dengan kondisi ambigu yang dialami oleh seseorang dalam ritual, disini saya akan coba
memahami selametan sebagai sebuah ritual yang transisional karena menunjukkan perpindahan
ruang atau waktu yang dialami oleh manusia. Bila dilihat dari kasus selametan, yang terjadi

adalah ritual berupa proses transisi seseorang dalam kehidupan. Seperti dalam kejadian lahirnya
manusia yang menunjukkan masuknya manusia ke dunia dan kejadian matinya seorang manusia
yang melalui diadakannya selametan ditujukan untuk menghantarkan manusia ke alam yang lain
diluar dunianya. Hal ini dijelaskan oleh Edmund Leach (1976) bahwa simbol-simbol yang
dikomunikasikan oleh masyarakat itu membentuk batas-batas baik ruang maupun waktu dalam
kehidupan manusia, seperti antara hidup dan mati. Selametan seperti yang kita ketahui
merupakan bentuk persembahan untuk para leluhur yang dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh berkah. Berkah ini sifatnya simbolis karena tidak dapat dilihat dengan mata
telanjang dan tidak diketahui dengan jelas keberadaannya. Meskipun keberadaannya tidak jelas,
berkah ini dipercayai ada karena menurut masyarakat diberikan oleh leluhur. Hal ini

menyebabkan selametan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, karena selametan ini berada
diantara yang ‘ada’ dan ‘tidak ada’, dan tujuannya untuk menghantarkan seseorang dari yang
‘tidak ada’ ke ‘ada’ ataupun sebaliknya, agar seseorang tidak merasa ambigu lagi.
Selametan: Fungsi Sosial dan Ritual
Sebagai sebuah ritual, selametan seperti yang dijelaskan oleh Beatty (1999) memiliki
unsur-unsur tertentu, yaitu kegiatan makan seremonial, benda-benda simbolis, pidato, dan doa
bersama. Bila diuraikan secara lebih lanjut, unsur-unsur dalam upacara selametan dapat kita
pisahkan antara yang hidup dan mati. Dari hal-hal tersebut kemudian dapat dirumuskan fungsi
dari upacara ini, saya mencoba membagi fungsi dari upacara selametan ini menjadi dua, yaitu
fungsi sosial dan fungsi ritual.
Kegiatan makan seremonial ini merupakan kegiatan makan bersama yang dilakukan oleh
orang-orang yang datang ke selametan, biasanya dengan membuat nasi tumpeng yang nantinya
akan dibagi kepada orang-orang yang datang untuk dimakan bersama-sama, jadi kegiatan makan
bersama ini bisa kita katakan diperuntukkan bagi yang masih hidup yaitu masyarakat. Saya
melihat dengan diadakannya acara makan bersama, selametan fungsinya tidak hanya untuk
pemohonan berkat saja, namun menjadi sarana untuk menyatukan masyarakat. Melalui
selametan kepekaan individu dalam masyarakat dimunculkan dengan adanya rasa solider untuk
datang ke acara selametan tetangganya. Terlebih dalam masyarakat modern yang masing-masing
warganya sudah memiliki tingkat kesibukan yang tinggi. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
intensitas pertemuan antara warga satu dengan yang lain. Fungsi sosial disini akan sangat terasa,


karena di acara selametan mereka akan bertemu dan bercengkrama, imbasnya adalah rasa
solidaritas antara satu dengan yang lain terpupuk disini. Selain itu, dalam hal ini terbentuk pula
semacam aturan sosial, bahwa dengan diadakannya upacara tersebut muncul keharusan untuk
datang, sebab apabila tidak datang akan menjadi bahan perbincangan dalam masyarakat, dan
secara tidak langsung bisa mengeksklusikan orang yang tidak datang pada acara selametan itu
didalam masyarakat.
Pernyataan diatas sesuai dengan pendapat Emile Durkheim (1979) yang menyatakan
bahwa ritual memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan sosial, salah satunya sebagai bentuk
solidaritas masyarakat, dan pendapat Clifford Geertz (1973) dalam bukunya The Interpretation
of Culture yang menyatakan;
“agama sebagai sistem simbol yang bertindak sebagai penguatan gagasan dan kelakuan
dalam menghadapi kehidupan, yang dengan simbol-simbol itu konsep-konsep abstrak
diterjemahkan menjadi lebih konkrit, menjadi aura yang menyelimuti konsepsi-konsepsi
yang tidak nyata menjadi seolah-olah nyata hadir dalam kehidupan”.
Dari pernyataan tersebut yang bisa saya dapatkan adalah bahwa agama melalui simbolsimbol yang terdapat didalamnya menghasilkan social order yang menentukan bagaimana
seharusnya masyarakat itu berperilaku. Hal ini ditemukan dalam praktek ritual selametan
ditunjukkan bahwa dengan diadakannya upacara tersebut membentuk sebuah sistem sosial dalam
masyarakat. Dilihat dari adanya rasa solidaritas antar warga yang memiliki keharusan untuk
datang pada acara-acara selametan yang diadakan oleh masing-masing keluarga dalam

masyarakat, karena jika tidak datang ke acara tersebut, maka dirinya akan menjadi bahan
perbincangan dalam masyarakat. Bukannya perbincangan tentang hal yang baik tentang orang
tersebut, tapi dalam masyarakat Jawa ada kecenderungan untuk membicarakan mengenai
‘ketidakhadiran’ orang tersebut pada acara selametan yang diadakan. Hal ini disebabkan karena
nilai-nilai yang dimiliki masyarakat Jawa dalam hidup kolektif, karena masyarakat Jawa terkenal
dengan kehidupannya yang guyub rukun sebagai bentuk solidaritas antar warga. Terkait pula
dengan semangat hidup bersama yang dimiliki oleh sukubangsa Jawa ini, yang melihat segala
sesuatunya terkadang sebagai permasalahan kolektif dan urusannya dengan harmonisasi dalam
kehidupan agar semuanya dapat berjalan saling berdampingan.

Koentjaraningrat (1980) menjelaskan hal diatas melalui tiga gagasan penting dari
Robertson Smith tentang upacara bersaji yang menurut saya memiliki kesamaan bentuk dengan
upacara selametan ini sendiri. Tiga gagasan tersebut adalah:
-

Sistem upacara merupakan perwujudan religi atau agama.

-

Upacara religi atau agama yang dilakukan memiliki fungsi sosial yaitu untuk

mengintensifkan solidaritas masyarakat.

-

Upacara religi mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa.

Tiga gagasan tersebut menurut saya penting dalam pandangan bahwa agama memiliki
peran yang tinggi dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Seperti yang kita ketahui, adanya
selametan menjadi perwujudan atas kepercayaan terhadap kejawen. Lalu dalam prakteknya
upacara selametan memiliki bentuk yang hampir sama dengan upacara bersaji, karena kesamaan
tujuan antara keduanya yaitu mempersembahkan sesuatu bagi leluhur, namun dalam prakteknya
upacara ini justru menyatukan masyarakat dengan persembahan yang dimakan bersama-sama.
Para pemeluk agama memang ada yang melakukan upacara dengan motif memperoleh kepuasan
batin dalam beribadah, namun lebih dari itu, upacara yang dilakukan ini secara tidak langsung
juga menunjukkan kebutuhan manusia untuk melakukan upacara sebagai sebuah kewajiban
sosial yang berimbas pada meningkatnya rasa solidaritas dalam kelompok sosial tersebut.
Pandangan saya terhadap selametan pun juga begitu, karena selametan tidaklah semata-mata
menjadi kegiatan makan seremonial saja, tapi juga menyatukan rasa solidaritas warga melalui
prosesi yang dimilikinya dengan kegiatan makan dan doa bersama, sebab secara simbolis
kegiatan makan dan doa bersama ini mewujudkan solidaritas dari sebuah kelompok sosial.

Solidaritas juga terbentuk karena diberlakukannya sistem sumbangan bagi para yang
datang berupa sejumlah uang yang nominalnya tidak ditentukan. Sumbangan bagi masyarakat
Jawa sendiri menyimbolkan kepedulian dari orang yang datang kepada orang yang mengadakan
selametan. Namun, secara tidak langsung sumbangan ini juga menyimbolkan adanya hutang
yang dibangun oleh masyarakat, yang imbasnya justru mempererat hubungan antar warga.
Dengan mengadakan selametan seseorang akan mendapatkan sumbangan dari warga yang lain,
hutang terjadi karena merasa telah diberi sumbangan munculah rasa keharusan untuk
mengembalikan uang yang telah diberikan warga yang lain tadi, bentuknya dengan turut

memberikan sumbangan bila warga yang lain juga mengadakan sumbangan. Dengan
diberlakukannya sistem sumbangan sebenarnya hal ini mengikat rasa solidaritas warga, sehingga
sumbangan memiliki sifat sebagai dana sosial.
Sebelumnya disinggung bahwa upacara selametan ini memunculkan keterikatan antara
warga satu dengan yang lainnya melalui rasa keharusan untuk datang karena takut
diperbincangkan citranya yang buruk di mata masyarakat atas ke-tidakdatangan-nya dalam
upacara selametan. Seseorang diperlakukan seperti itu karena pandangan masyarakat Jawa
terhadap kehidupan sosial itu tinggi nilainya. Sehingga, seseorang akan dianggap sebagai orang
yang baik apabila seseorang itu dekat dan ramah dengan masyarakat, karena menurut mereka
lingkungan sosial lebih penting, mengingat lingkungan sosial ini adalah tempat mereka hidup,
dan dengan berlaku baik terhadap sesama di lingkungan sosialnya akan membantu seseorang

untuk tetap bisa bertahan hidup. Hal ini sering ditemui pada kejadian preman-preman yang
dianggap lebih baik oleh masyarakat Jawa daripada orang-orang yang rajin beribadah namun
tidak pernah bercengkrama dengan warga, karena para preman tersebut ramah dan memiliki
hubungan dekat dengan warga.
Fungsi selanjutnya dari upacara selametan ini adalah fungsi ritual. Ritual dijelaskan
sebelumnya sebagai sesuatu yang ditempatkan secara bersama oleh masyarakat di ‘posisi
ambang’ untuk menghilangkan ambiguitas yang dialami manusia pada upacara yang
berlangsung. Dilihat dari kegiatan untuk doa bersama dan menyajikan sesajen untuk leluhur
yang dilakukan oleh warga yang datang ke selametan tersebut. Doa dan sesajen merupakan suatu
hal yang sakral, karena tidak ditujukan bagi masyarakat, namun bagi para pendahulu yaitu
leluhurnya. Disini yang terjadi adalah perbedaan antara dua ruang yaitu antara yang mati dengan
yang hidup atau antara masyarakat dengan leluhur. Perbedaan ruang ini mendudukkan seseorang
dalam masyarakat ke kondisi yang ambigu. Lalu, upacara selametan dengan sifat sakral yang
dimilikinya berusaha menjadi perantara antara yang mati dengan yang hidup, karena secara
wujud yaitu dalam bentuk persembahan, barang-barangnya ada di dunia manusia, namun barangbarang tersebut ditujukan pada leluhur yang berbeda ruangnya. Maka, upacara slametan secara
ritualistik berfungsi untuk menghilangkan ambiguitas yang dialami oleh seseorang, karena
upacara ini seolah menjembatani antara dunia yang hidup dengan yang mati untuk saling
melakukan komunikasi.

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas kita bisa mendapatkan pengertian mengenai bagaimana
selametan dianggap sebagai sebuah ritual dan memiliki fungsi sosial yang cukup kuat.
Selametan menjadi sebuah ritual karena ada benda-benda yang disakralkan didalamnya. Bendabenda tersebut disakralkan karena tujuannya sebagai sarana komunikasi dengan yang ‘tidak ada’.
Disini terbentuklah batas antara yang ‘ada’ dan ‘tidak ada’, kemudian batas tersebut membuat
masyarakat merasa ambigu, untuk menghilangkan perasaan tersebut diadakanlah ritual yang
dalam kasus ini wujudnya berupa selametan, karena posisinya yang berada di ‘ambang’ atau
antara ‘ada’ dan ‘tidak ada’. Sehingga upacara ini menjembatani antara yang ‘ada’ dan ‘tidak
ada’ atau lebih jelasnya antara yang ‘hidup’ dan yang ‘mati’, karena upacara tersebut menjadi
media pertemuan antara keduanya dengan kepercayaan akan berkat yang datang dari leluhur.
Dalam masyarakat Jawa melalui upacara slametan ini dapat ditemukan bagaimana agama
menjadi berperan penting dalam kehidupan sosial dalam masyarakat, karena telah membentuk
social order dengan bukti adanya acuan untuk berperilaku didalam masyarakat itu sendiri.
Menurut saya disini agama fungsinya terbagi menjadi dua, yaitu fungsi sosial dan ritual. Secara
sosial agama berfungsi meningkatkan solidaritas dalam masyarakat yang dapat kita lihat melalui
kegiatan makan dan doa bersama. Kegiatan tersebut bukan hanya kegiatan makan atau doa
begitu saja, karena kegiatan makan tersebut dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan
seluruh masyarakat di suatu tempat tersebut.
Tidak berhenti disitu, pada kegiatan makan dan doa bersama tersebut, setelah kegiatan itu
selesai, warga tidak langsung pulang ke rumah masing-masing tapi duduk dan bercengkrama
dulu bersama-sama selama beberapa waktu. Hal ini secara ini secara tersirat meningkatkan

intensitas pertemuan antar warga dalam masyarakat, dengan begitu solidaritas sosial akan
terpupuk, karena dalam selametan yang dirayakan adalah kematian atau kelahiran seseorang.
Masyarakat yang datang pun juga memiliki keharusan untuk membawa sumbangan yang secara
tersirat menunjukkan berlakunya sistem hutang dan membentuk keterikatan sosial antara warga
satu dengan yang lain, karena timbul rasa keharusan untuk mengembalikan uang yang telah
diberikan oleh warga yang datang tadi, ketika warga yang lain mengadakan selametan pula.

Selanjutnya, disini saya melihat pentingnya dilestarikan ritual selametan bagi masyarakat
di jaman yang sudah modern. Pada masyarakat yang modern individualitas sifatnya sangat tinggi
sehingga harmoni untuk hidup secara kolektif tidak terbentuk, padahal saya rasa manusia sebagai
makhluk sosial itu tujuannya untuk dapat hidup bersama dengan masyarakatnya, contohnya
dengan rasa solidaritas dalam kolektif atau masyarakat. Yang ingin saya sampaikan adalah
dengan tingginya individualitas yang disebabkan oleh kesibukan masing-masing warga dalam
masyarakat, selametan dapat menjadi jalan untuk meningkatkan rasa solidaritas antar warganya
dengan kegiatan-kegiatan seperti makan atau doa yang bersama yang dilakukan secara simbolis.
Sebab, dengan kegiatan yang dilakukan secara simbolis tersebut, masyarakat yang tadinya
memiliki kesibukan masing-masing memiliki keharusan untuk datang dalam acara tersebut yang
akan mempertemukan dalam satu momen khusus yaitu upacara selametan ini sendiri.
Sedangkan secara ritual fungsi dari upacara ini adalah untuk mendudukkan individu pada
posisi yang tidak ambigu, karena upacara ini membentuk batasan-batasan seperti antara ‘ada’ dan
‘tidak ada’, lalu antara ‘hidup’ dan ‘mati’. Selametan tujuannya untuk memohon berkah dari para
leluhur, berarti yang terjadi disini adalah komunikasi antara masyarakat (hidup) dan leluhur
(mati), maka muncul kondisi ambigu karena komunikasi posisinya berada diantara masyarakat
dan leluhur. Agar komunikasi dapat terjalin, harus ada yang mengisi posisi ambang tersebut.
Disinilah fungsi ritual bekerja, seperti yang sudah diungkapkan diatas bahwa posisi ritual ini
adalah ambang atau diantara dua hal, dan selametan diadakan untuk mengisi posisi ambang
tersebut dengan menghadirkan sisi sakral dari benda-benda yang bisa didapat di dunia hidup.
Benda-benda yang disakralkan tersebut memiliki dua nilai, yaitu hidup dan mati, dalam ritual
fungsi benda ini adalah menghadirkan kekosongan dari leluhur yang tidak benar-benar hadir
(secara kasat mata), sehingga individu tidak lagi berada dalam keambiguan.

Daftar Pustaka
Durkheim, Emile. 1979. “The Elementary Forms of Religion dalam Lessa, A. William
dan Evon Z. Vogt (ed) Reader in Comparative Religion. New York: Harper and Row.
Beatty, Andrew. 1999. Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account. New
York: Cambridge University Press.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books, Inc.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI Press.
Leach, Edmund. 1976. Culture and Communication. New York: Cambridge University
Press.
Saiffudin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif: Antropologi SosialBudaya. Depok:
Institut Antropologi Indonesia.