PETA PEMIKIRAN ISLAM by AHMAD SAHIDIN
Ahmad sahidin
PETA PEMIKIRAN ISLAM (by AHMAD SAHIDIN)
SUDAH lama sekali tidak menyentuh bacaan “berat” seperti filsafat, teologi
(kalam), dan mistis (irfan). Dalam ilmu-ilmu Islam (Dirasah Islamiyyah)
ketiganya sering disebut sebagai khazanah pemikiran Islam. Harus diakui
bahwa khazanah ilmu-ilmu Islam tidak sepenuhnya murni produk nalar Islam
(wahyu), tetapi ada sentuhan budaya lokal sehingga sangat beragam
coraknya. Entah itu berasal dari pengamatan langsung dari fakta, telaah teks,
atau yang hadir langsung saat melakukan riyadhah spiritual. Jika hal itu
dilakukan seorang Muslim maka hasilnya bisa disebut khazanah pemikiran
Islam. Dalam setiap zamannya produk tersebut senantiasa beda dan beragam.
Dalam sejarah Islam banyak bentuk pemikiran yang lahir, bahkan menjadi
institusi agama atau sekte tersendiri, seperti firqah teologi, tarekat sufi, dan
organisasi keagamaan.
Secara general bentuk pemikiran Islam bisa dibagi dalam tiga:
tradisional, modern, dan kontemporer. Pemikiran tradisional Islam yang lahir
dari rahim sejarah, yang pertama adalah corak nalar-dialektik (jadali) yang
diwakili teologi Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Mu`tazilah,
Asy`ariyah, Maturidiyah, dan lainnya. Kalangan ini mempersoalkan tentang
ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, makhluk
tidaknya Al-Quran, eksistensi Tuhan, dan perbuatan-perbuatan manusia.
Kedua adalah yang bercorak nalar-demonstratif (burhani) yang
diwakili para filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu
Rusyd, Al-Ghazali, dan lainnya. Tema yang dibahasnya adalah Tuhan, alam,
manusia, nubuwwah, peranan akal dan hati, politik, ekonomi, estetika, etika,
dan lainya.
Ketiga adalah yang bercorak nalar-intuitif (irfani) yang diwakili oleh
para sufi seperti Ibnu Arabi, Suhrawardi Al-Maqtul, Abdul Karim Al-Jilli,
Abu Yazid Al-Busthami, Abu Mansur Al-Hallaj, Siti Jenar, Hamzah Fansuri,
Syamsuddin As-Sumatrani, Yusuf Al-Maqasari, Hasan Mustapa, dan
lainnya. Tema yang dibahas tentang jalan atau cara menuju Tuhan, kesatuan
eksistensi antara manusia dan Tuhan, mengungkap kebenaran (mukasyafah),
tujuan hidup, sikap dan perilaku ibadah yang hakiki, masalah kebangkitan di
akhirat, dan lainnya.
Keempat adalah bentuk pemikiran teosofi (hikmah) yang
menggabungkan sumber dan metode (nalar intelektual) sebelumnya, yang
biasanya disebut hikmah muta`aliyah. Pemikiran ini dicetuskan oleh Mulla
Shadra dan dikembangkan oleh Mulla Muhsin Faidh Al-Kasyani, Syaikh
Abdurrazak Lahiji, Mulla Sabziwari, Allamah Muhammad Husein
Thabathabai`, Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini, Ayatullah Murtadha
Muthahhari, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, dan Mehdi Haeri Yazdi.
Selain mengkritik pemikiran-pemikiran Islam sebelumnya, mereka juga
Ahmad sahidin
membahas persoalan baru dari filsafat dan realitas sosial, seperti
eksistensialisme, integrasi (ilmu), ekologi, politik, wacana universalitas,
dialog antaragama, masa depan manusia, dan lainnya.
Untuk pemikiran Islam modern dapat dilacak dari awal abad modern
yang ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan Islam (tajdiyah).
Pemikiran Islam modern ini dibagi dalam dua model: ekstrem dan progres.
Untuk gerakan tajdiyah ekstrem dapat dilihat dari gerakan kaum revivalis
Islam pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh
gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika
Barat, dan lainnya. Melalui pemikiran-pemikirannya, mereka yang termasuk
kaum Muslim revivalis ini berupaya memurnikan ajaran Islam dari tradisitradisi dan ajaran yang bukan berasal dari Islam, khususnya tradisi
keagamaan masyarakat lokal dan praktik-praktik ibadah kaum sufi yang
dinilainya sebagai bid`ah dan menjerumuskan umat Islam dalam
kemusyrikan.
Dengan semangat tauhid, mereka berupaya mengembalikan
pemahman Islam kepada sumbernya: Al-Quran dan Sunnah. Dalam
gerakannya mereka sampai melakukan tindakan yang keras, radikal, dengan
menghancurkan pusara dan makam para wali, bahkan menganggap sesat
pada yang berbeda pemahaman agama. Sehingga kehadirannya mendapat
perlawanan dari umat Islam sendiri, bahkan tak jarang terjadi konflik fisik.
Dengan slogan kembali ke Al-Quran dan Sunnah, mereka menginginkan
Islam kembali ke zaman Nabi Muhammad saw yang dinilainya lebih otentik.
Untuk memuluskan gerakannya, Muhammad bin Abdul Wahab
beserta pengikutnya bergabung dengan Abdul Azis bin Sa’ud mendirikan
Kerajaan Arab Saudi pada 1924, sehingga Wahabiyah menjadi mazhab resmi
Arab Saudi hingga sekarang. Gerakan tajdiyah ekstrem ini berpengaruh ke
Indonesia dalam melahirkan organisasi keagamaan Muhammadiyah dan
Persatuan Islam. Sedangkan pemikiran tajdiyah progres dapat dilihat dari
muncul kaum modernis Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid
Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Ali Syari`ati, Imam
Khomeini, Muhammad Natsir, dan lainnya. Kaum modernis ini masih juga
berada dalam semangat pembaruan, tapi lebih mengutamakan pada
rasionalisasi agama, mengembangkan pendidikan modern, merealisasikan
nilai-nilai Islam yang humanis, dan berorientasi ke masa depan.
Sementara pemikiran Islam kontemporer, setidaknya diwakili para
cendekiawan Muslim yang melakukan sintesis progresif dari pemikiran
rasional-modern dengan tradisi khazanah pemikiran Islam tradisional.
Contohnya adalah Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Nasr Hamid Abu
Zayd, Hasan Hanafi, Farid Essack, Jalaluddin Rakhmat, dan Abdul Karim
Souroush. Corak pemikiran Islam kontemporer ini lebih berupaya melakukan
rekonstruksi wacana keislaman, mendamaikan konflik antar mazhab seperti
Ahmad sahidin
Sunni dan Syiah dengan melakukan dialog antarmazhab, menafsirkan nashnash Islam sesuai dengan konteks zaman dalam berbagai isu yang lebih
relevan dengan persoalan umat Islam kontemporer, terutama kerukunan antar
umat beragama dan wacana pluralisme.
Konteks Indonesia
Pemikiran Islam Indonesia kontemporer setidaknya terbagi dalam tiga
model: Islam Fundamental, Islam Liberal, dan Islam Non-Sekterian. Model
pertama diidentikan dengan kelompok Muslim yang berorientasi ke masa
lalu. Isu-isu yang dihembuskan adalah penerapan syariat Islam dan
menjadikan negara Islam atau pembebasan umat Islam dari tahayul, khurafat,
dan bid`ah. Gerakannya pun biasanya meresahkan masyarakat, bahkan tidak
jarang dianggap terlibat dalam jaringan teroris dunia. Biasanya mereka ini
dikenal saleh, rajin menjalankan ibadah mahdhah, dan ketat dalam aturanaturan hidup serta senantiasa merujuk pada sumber Islam (Al-Quran dan
hadits). Model kedua (Islam Liberal) dicirikan dengan cendekiawan Muslim
yang berorientasi ke masa depan dan berani melakukan penafsiran secara
kontekstual dengan tetap mengacu pada sumber-sumber Islam. Kelompok
Muslim ini sudah tidak segan lagi mengutip pendapat-pendapat dari para
pemikir dan ilmuwan Barat dalam melakukan penafsirannya. Mereka lebih
banyak menggunakan daya nalar (rasional) dalam berwacana, tidak
menampakkan dalam ibadah, lebih dekat dan bahkan bekerjasama dengan
non-Islam ketimbang dengan umat Islam. Wacana dan pemikiran yang
diusungnya pun tidak jauh dari masalah perbedaan agama, hubungan lintas
agama dan budaya, dan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Quran yang
berbeda dan kontroversial.
Islam Liberal dan Islam Fundamental seringkali terjadi konflik dalam
wacana politik-sosial dan pemikiran keagamaan hingga saling hujat dan
masing-masing mengaku yang paling benar. Meskipun secara umum Islam
terbentuk dalam dua model di atas, tapi bila kita jeli melihat perilaku
keagamaan yang ada di masyarakat Muslim Indonesia, terdapat gerakan
Islam yang bersifat tersendiri. Mereka tidak mempersoalkan tentang aliran
maupun harakah (gerakan) Islam yang ada. Mereka taat dalam ibadah
mahdhah dan berorientasi ke akhirat, senang melakukan ritual massal dan
doa bersama, serta gemar menghadiri majelis-majelis ilmu yang materinya
tidak jauh dari motivasi ibadah dan peningkatan kualitas hidup. Kalangan
Muslim seperti ini dapat disebut sebagai model Islam Non-Sekterian. Islam
apakah ini? Aliran barukah? Bukan! Mereka bukan aliran baru Islam. Itu
hanya istilah untuk kaum Muslim yang tidak memiliki kecenderungan dan
bukan termasuk fundamental atau liberal.
Mereka adalah kaum “Islam massa” yang tidak terorganisir dalam
wadah yang resmi dan memiliki orientasi tersendiri dalam menjalankan
Ahmad sahidin
keislamannya. Mana yang benar dari tiga model Islam kontemporer tersebut?
Jawabannya: wallahu a`lam bi ash-shawab. Saya yakin di antara ketiganya
terdapat kebenaran dan tidak menutup kemungkinan banyak salahnya.
Ketiganya tidak bisa menghindar dari perdebatan (ikhtilaf), baik pada level
intelektual maupun kaum awam yang kadang merasa lebih cerdas daripada
kaum intelektual Muslim.
Yang perlu disikapi terkait dengan ikhtilaf adalah gerakan dakwah
dari kaum Syiah terhadap kaum Sunni; dan kaum Sunni terhadap kaum
Syiah. Di antara keduanya terdapat kaum Wahabi yang memusuhi kedua
mazhab Islam tersebut. Tidak dipungkiri ada yang moderat dan yang
eskstrem. Ada yang hanya menjadikan mazhab sebagai urusan personal
sehingga tidak perlu dideklarasikan depan publik. Namun, ada pula yang
merasa penting untuk ditampilkan secara publik sehingga terjadi aksi hujat
dengan gelaran dan sebutan-sebutan negatif yang berpotensi merubuhkan
bangunan ukhuwah Islamiyah. Dalam setiap agama, kaum ekstrem
senantiasa ada. Dalam agama Islam pun ada, bahkan pada setiap mazhabmazhab Islam pun dipastikan ada yang esktrem. Ini yang perlu disikapi dan
dipahami kemudian dicari penangkalnya supaya tidak menjadi besar dan
menjadi virus di masyarakat.
Khulashah
Sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari adanya konflik antar (firqah)
Islam sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya
pemegang ‘otoritas agama’ yang sah dan diakui secara menyeluruh oleh
umat Islam. Juga tidak menyeluruhnya mereka dalam mengkaji dan
memahami sumber Islam, terutama pada aspek sejarah, konteks zaman,
faktor dan kondisi sosial yang dihadapi saat turunnya risalah Ilahi.
Fenomena ini bisa dikurangi dengan senantiasa menggali khazanah
Islam dan melakukan dialog antar firqah (mazhab). Tentu argumen yang
digunakannya adalah dalil-dalil yang benar dan dialognya pun harus ilmiah
serta berasal dari sumber asli dan tahan uji saat dikritik. Sehingga dari upaya
itu akan tampak kebenaran dan kebatilan, sehingga umat Islam mendapat
rujukan sementara, meskipun nantinya terus mengalami perubahan karena
berhadapan dengan konteks ruang dan waktu serta yang zaman berbeda.
Sudah saatnya kaum Muslim belajar untuk memahami berbagai
tradisi atau ajaran mazhab yang dianut Muslim lainya; dan begitu pun
sebaliknya. Hanya dengan kegiatan saling mempelajari dan memahami
perbedaan masing-masing, perpecahan (konflik) dalam Islam bisa reda dan
umat Islam akan lebih siap menghadapi tantangan dan tuntutan dunia global
yang lebih besar efeknya bagi kehidupan manusia. Umat Islam sebaiknya
tidak hanya fokus dalam urusan internal Islam, tapi juga harus mencoba
Ahmad sahidin
merajut ukhuwah insaniyah dengan masyarakat agama lainnya, salah satunya
dengan melakukan dialog antaragama.[]
PETA PEMIKIRAN ISLAM (by AHMAD SAHIDIN)
SUDAH lama sekali tidak menyentuh bacaan “berat” seperti filsafat, teologi
(kalam), dan mistis (irfan). Dalam ilmu-ilmu Islam (Dirasah Islamiyyah)
ketiganya sering disebut sebagai khazanah pemikiran Islam. Harus diakui
bahwa khazanah ilmu-ilmu Islam tidak sepenuhnya murni produk nalar Islam
(wahyu), tetapi ada sentuhan budaya lokal sehingga sangat beragam
coraknya. Entah itu berasal dari pengamatan langsung dari fakta, telaah teks,
atau yang hadir langsung saat melakukan riyadhah spiritual. Jika hal itu
dilakukan seorang Muslim maka hasilnya bisa disebut khazanah pemikiran
Islam. Dalam setiap zamannya produk tersebut senantiasa beda dan beragam.
Dalam sejarah Islam banyak bentuk pemikiran yang lahir, bahkan menjadi
institusi agama atau sekte tersendiri, seperti firqah teologi, tarekat sufi, dan
organisasi keagamaan.
Secara general bentuk pemikiran Islam bisa dibagi dalam tiga:
tradisional, modern, dan kontemporer. Pemikiran tradisional Islam yang lahir
dari rahim sejarah, yang pertama adalah corak nalar-dialektik (jadali) yang
diwakili teologi Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Mu`tazilah,
Asy`ariyah, Maturidiyah, dan lainnya. Kalangan ini mempersoalkan tentang
ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, makhluk
tidaknya Al-Quran, eksistensi Tuhan, dan perbuatan-perbuatan manusia.
Kedua adalah yang bercorak nalar-demonstratif (burhani) yang
diwakili para filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu
Rusyd, Al-Ghazali, dan lainnya. Tema yang dibahasnya adalah Tuhan, alam,
manusia, nubuwwah, peranan akal dan hati, politik, ekonomi, estetika, etika,
dan lainya.
Ketiga adalah yang bercorak nalar-intuitif (irfani) yang diwakili oleh
para sufi seperti Ibnu Arabi, Suhrawardi Al-Maqtul, Abdul Karim Al-Jilli,
Abu Yazid Al-Busthami, Abu Mansur Al-Hallaj, Siti Jenar, Hamzah Fansuri,
Syamsuddin As-Sumatrani, Yusuf Al-Maqasari, Hasan Mustapa, dan
lainnya. Tema yang dibahas tentang jalan atau cara menuju Tuhan, kesatuan
eksistensi antara manusia dan Tuhan, mengungkap kebenaran (mukasyafah),
tujuan hidup, sikap dan perilaku ibadah yang hakiki, masalah kebangkitan di
akhirat, dan lainnya.
Keempat adalah bentuk pemikiran teosofi (hikmah) yang
menggabungkan sumber dan metode (nalar intelektual) sebelumnya, yang
biasanya disebut hikmah muta`aliyah. Pemikiran ini dicetuskan oleh Mulla
Shadra dan dikembangkan oleh Mulla Muhsin Faidh Al-Kasyani, Syaikh
Abdurrazak Lahiji, Mulla Sabziwari, Allamah Muhammad Husein
Thabathabai`, Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini, Ayatullah Murtadha
Muthahhari, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, dan Mehdi Haeri Yazdi.
Selain mengkritik pemikiran-pemikiran Islam sebelumnya, mereka juga
Ahmad sahidin
membahas persoalan baru dari filsafat dan realitas sosial, seperti
eksistensialisme, integrasi (ilmu), ekologi, politik, wacana universalitas,
dialog antaragama, masa depan manusia, dan lainnya.
Untuk pemikiran Islam modern dapat dilacak dari awal abad modern
yang ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan Islam (tajdiyah).
Pemikiran Islam modern ini dibagi dalam dua model: ekstrem dan progres.
Untuk gerakan tajdiyah ekstrem dapat dilihat dari gerakan kaum revivalis
Islam pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh
gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika
Barat, dan lainnya. Melalui pemikiran-pemikirannya, mereka yang termasuk
kaum Muslim revivalis ini berupaya memurnikan ajaran Islam dari tradisitradisi dan ajaran yang bukan berasal dari Islam, khususnya tradisi
keagamaan masyarakat lokal dan praktik-praktik ibadah kaum sufi yang
dinilainya sebagai bid`ah dan menjerumuskan umat Islam dalam
kemusyrikan.
Dengan semangat tauhid, mereka berupaya mengembalikan
pemahman Islam kepada sumbernya: Al-Quran dan Sunnah. Dalam
gerakannya mereka sampai melakukan tindakan yang keras, radikal, dengan
menghancurkan pusara dan makam para wali, bahkan menganggap sesat
pada yang berbeda pemahaman agama. Sehingga kehadirannya mendapat
perlawanan dari umat Islam sendiri, bahkan tak jarang terjadi konflik fisik.
Dengan slogan kembali ke Al-Quran dan Sunnah, mereka menginginkan
Islam kembali ke zaman Nabi Muhammad saw yang dinilainya lebih otentik.
Untuk memuluskan gerakannya, Muhammad bin Abdul Wahab
beserta pengikutnya bergabung dengan Abdul Azis bin Sa’ud mendirikan
Kerajaan Arab Saudi pada 1924, sehingga Wahabiyah menjadi mazhab resmi
Arab Saudi hingga sekarang. Gerakan tajdiyah ekstrem ini berpengaruh ke
Indonesia dalam melahirkan organisasi keagamaan Muhammadiyah dan
Persatuan Islam. Sedangkan pemikiran tajdiyah progres dapat dilihat dari
muncul kaum modernis Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid
Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Ali Syari`ati, Imam
Khomeini, Muhammad Natsir, dan lainnya. Kaum modernis ini masih juga
berada dalam semangat pembaruan, tapi lebih mengutamakan pada
rasionalisasi agama, mengembangkan pendidikan modern, merealisasikan
nilai-nilai Islam yang humanis, dan berorientasi ke masa depan.
Sementara pemikiran Islam kontemporer, setidaknya diwakili para
cendekiawan Muslim yang melakukan sintesis progresif dari pemikiran
rasional-modern dengan tradisi khazanah pemikiran Islam tradisional.
Contohnya adalah Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Nasr Hamid Abu
Zayd, Hasan Hanafi, Farid Essack, Jalaluddin Rakhmat, dan Abdul Karim
Souroush. Corak pemikiran Islam kontemporer ini lebih berupaya melakukan
rekonstruksi wacana keislaman, mendamaikan konflik antar mazhab seperti
Ahmad sahidin
Sunni dan Syiah dengan melakukan dialog antarmazhab, menafsirkan nashnash Islam sesuai dengan konteks zaman dalam berbagai isu yang lebih
relevan dengan persoalan umat Islam kontemporer, terutama kerukunan antar
umat beragama dan wacana pluralisme.
Konteks Indonesia
Pemikiran Islam Indonesia kontemporer setidaknya terbagi dalam tiga
model: Islam Fundamental, Islam Liberal, dan Islam Non-Sekterian. Model
pertama diidentikan dengan kelompok Muslim yang berorientasi ke masa
lalu. Isu-isu yang dihembuskan adalah penerapan syariat Islam dan
menjadikan negara Islam atau pembebasan umat Islam dari tahayul, khurafat,
dan bid`ah. Gerakannya pun biasanya meresahkan masyarakat, bahkan tidak
jarang dianggap terlibat dalam jaringan teroris dunia. Biasanya mereka ini
dikenal saleh, rajin menjalankan ibadah mahdhah, dan ketat dalam aturanaturan hidup serta senantiasa merujuk pada sumber Islam (Al-Quran dan
hadits). Model kedua (Islam Liberal) dicirikan dengan cendekiawan Muslim
yang berorientasi ke masa depan dan berani melakukan penafsiran secara
kontekstual dengan tetap mengacu pada sumber-sumber Islam. Kelompok
Muslim ini sudah tidak segan lagi mengutip pendapat-pendapat dari para
pemikir dan ilmuwan Barat dalam melakukan penafsirannya. Mereka lebih
banyak menggunakan daya nalar (rasional) dalam berwacana, tidak
menampakkan dalam ibadah, lebih dekat dan bahkan bekerjasama dengan
non-Islam ketimbang dengan umat Islam. Wacana dan pemikiran yang
diusungnya pun tidak jauh dari masalah perbedaan agama, hubungan lintas
agama dan budaya, dan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Quran yang
berbeda dan kontroversial.
Islam Liberal dan Islam Fundamental seringkali terjadi konflik dalam
wacana politik-sosial dan pemikiran keagamaan hingga saling hujat dan
masing-masing mengaku yang paling benar. Meskipun secara umum Islam
terbentuk dalam dua model di atas, tapi bila kita jeli melihat perilaku
keagamaan yang ada di masyarakat Muslim Indonesia, terdapat gerakan
Islam yang bersifat tersendiri. Mereka tidak mempersoalkan tentang aliran
maupun harakah (gerakan) Islam yang ada. Mereka taat dalam ibadah
mahdhah dan berorientasi ke akhirat, senang melakukan ritual massal dan
doa bersama, serta gemar menghadiri majelis-majelis ilmu yang materinya
tidak jauh dari motivasi ibadah dan peningkatan kualitas hidup. Kalangan
Muslim seperti ini dapat disebut sebagai model Islam Non-Sekterian. Islam
apakah ini? Aliran barukah? Bukan! Mereka bukan aliran baru Islam. Itu
hanya istilah untuk kaum Muslim yang tidak memiliki kecenderungan dan
bukan termasuk fundamental atau liberal.
Mereka adalah kaum “Islam massa” yang tidak terorganisir dalam
wadah yang resmi dan memiliki orientasi tersendiri dalam menjalankan
Ahmad sahidin
keislamannya. Mana yang benar dari tiga model Islam kontemporer tersebut?
Jawabannya: wallahu a`lam bi ash-shawab. Saya yakin di antara ketiganya
terdapat kebenaran dan tidak menutup kemungkinan banyak salahnya.
Ketiganya tidak bisa menghindar dari perdebatan (ikhtilaf), baik pada level
intelektual maupun kaum awam yang kadang merasa lebih cerdas daripada
kaum intelektual Muslim.
Yang perlu disikapi terkait dengan ikhtilaf adalah gerakan dakwah
dari kaum Syiah terhadap kaum Sunni; dan kaum Sunni terhadap kaum
Syiah. Di antara keduanya terdapat kaum Wahabi yang memusuhi kedua
mazhab Islam tersebut. Tidak dipungkiri ada yang moderat dan yang
eskstrem. Ada yang hanya menjadikan mazhab sebagai urusan personal
sehingga tidak perlu dideklarasikan depan publik. Namun, ada pula yang
merasa penting untuk ditampilkan secara publik sehingga terjadi aksi hujat
dengan gelaran dan sebutan-sebutan negatif yang berpotensi merubuhkan
bangunan ukhuwah Islamiyah. Dalam setiap agama, kaum ekstrem
senantiasa ada. Dalam agama Islam pun ada, bahkan pada setiap mazhabmazhab Islam pun dipastikan ada yang esktrem. Ini yang perlu disikapi dan
dipahami kemudian dicari penangkalnya supaya tidak menjadi besar dan
menjadi virus di masyarakat.
Khulashah
Sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari adanya konflik antar (firqah)
Islam sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya
pemegang ‘otoritas agama’ yang sah dan diakui secara menyeluruh oleh
umat Islam. Juga tidak menyeluruhnya mereka dalam mengkaji dan
memahami sumber Islam, terutama pada aspek sejarah, konteks zaman,
faktor dan kondisi sosial yang dihadapi saat turunnya risalah Ilahi.
Fenomena ini bisa dikurangi dengan senantiasa menggali khazanah
Islam dan melakukan dialog antar firqah (mazhab). Tentu argumen yang
digunakannya adalah dalil-dalil yang benar dan dialognya pun harus ilmiah
serta berasal dari sumber asli dan tahan uji saat dikritik. Sehingga dari upaya
itu akan tampak kebenaran dan kebatilan, sehingga umat Islam mendapat
rujukan sementara, meskipun nantinya terus mengalami perubahan karena
berhadapan dengan konteks ruang dan waktu serta yang zaman berbeda.
Sudah saatnya kaum Muslim belajar untuk memahami berbagai
tradisi atau ajaran mazhab yang dianut Muslim lainya; dan begitu pun
sebaliknya. Hanya dengan kegiatan saling mempelajari dan memahami
perbedaan masing-masing, perpecahan (konflik) dalam Islam bisa reda dan
umat Islam akan lebih siap menghadapi tantangan dan tuntutan dunia global
yang lebih besar efeknya bagi kehidupan manusia. Umat Islam sebaiknya
tidak hanya fokus dalam urusan internal Islam, tapi juga harus mencoba
Ahmad sahidin
merajut ukhuwah insaniyah dengan masyarakat agama lainnya, salah satunya
dengan melakukan dialog antaragama.[]