Iklan Politik dan Kebebasan Pers (1)

KAMIS, 9 FEBRUARI 2012

”Pers Jihad”, Konteks Tugas Zaman
”Pers jihad”; kami teguhkan ungkapan ini membarengi peringatan Hari
Pers Nasional 2012 untuk merefleksikan seperti apa seharusnya media
hidup dan menyisakan idealisme tugas
zamannya. Pertanyaan yang pasti
mengemuka, jihad seperti apa? Jika
pemaknaan suku kata itu diartikulasikan sebagai ”perangî, sepatutnyalah semua pelaku pekerjaan profetik kejurnalistikan memahami kebutuhan mendesak bangsa untuk menyelesaikan aneka persoalan dari starting point yang tak bisa ditawar.

Dengan positioning yang luar biasa
menentukan itu, maka iktikad untuk
membangun arah akan sangat menentukan: seperti apa ”keberpihakan”
media terhadap gerakan antikorupsi.
Secara teoretik dan yang berlangsung
sebagai praksis, media bukan ruang
hampa yang memantulkan realitas
publik seperti apa adanya. Realitas
media sudah terbentuk melalui prosesproses konstruksi, bagaimana bingkainya, bagaimana orientasinya, serta
bagaimana ”isian”etika untuk memberi
makna.


Titik mulai itu, apalagi kalau bukan
mobilisasi sikap antikorupsi? Kebutuhan bangsa bisa dimaknai dari
lingkup ini, ketika banyak bukti yang
menunjukkan kelumpuhan penegakan
hukum menghadapi sistem dan struktur yang terhegemoni oleh ekspresi
pertarungan politik. Kita tidak ragu
memosisikan kondisi-kondisi yang
sekarang kita hadapi itu sebagai tugas
zaman bagi pers, dalam aksentuasi
pada pilihan sikap berada di tengah
atau bahkan menjadi garda depan
pemberantasan korupsi.

Ruang ”jihad”, dalam konteks zaman serbakorup yang dihadapi oleh
bangsa ini, memanggil pers untuk
tersemangati berada di garda depan,
memerankan diri sebagai bagian dari
civil society yang ikut mengawal,
membangun konstruksi kehidupan

bernegara dan berpemerintahan
yang transparan dan akuntabel. Sangatlah besar tanggung jawab moral
itu: betapa determinasi kuat pemberitaan media akan menjaga agar penegakan hukum tidak mengalami kemelempeman.

Inilah kenyataan yang tak terelakkan: penegakan hukum lewat implementasi pemprosesan kasus-kasus korupsi dalam praktiknya tidak
akan gesit bergerak tanpa determinasi
pemberitaan media. Ketika media
tidak atau kurang memberi daya tekan
yang kuat, penanganan kasus juga
cenderung tidak akan mendapat
pengawalan kritis publik. Demikian
pula, aksi-aksi kontrol dari elemen-elemen masyarakat sipil bisa dipastikan
tidak akan kuat bergaung tanpa campur tangan ekspose media.

Perdebatan tentang pers yang
partisan, kontroversi mengenai pemilik modal yang terafiliasi ke kekuatan
politik tertentu, serta perang kepentingan lewat rivalitas industri media,
kita lihat sebagai bagian dari dinamika zaman. Di tengah kondisi demikian, pikiran-pikiran waras tentang
tugas suci media tetap perlu diketengahkan. Tetaplah sangat penting diteteskan oase tentang ”pers jihad”
sebagai bagian dari harapan bangsa

ini untuk bersama-sama memerangi
bahaya akut korupsi.

Problematika dan Romantika di Balik Adopsi
Si kembar asal Semarang yang terpisah selama hampir tiga dekade akhirnya
bertemu di Swedia, usai menjalin kontak
lewat situs jejaring sosial. Setelah dua
wanita yang diadopsi oleh dua keluarga
yang berbeda itu bertemu, muncul tekad
untuk mencari orang tua biologis mereka.
Secara biologi mereka adalah anak
pasangan Radjiman dan Maryati yang
sekarang tinggal di Desa Klampok, Kecamatan Godong, Grobogan. Kondisi
ekonomi memaksa si kembar diserahkan
ke panti asuhan.

Tetapi, dari kisah yang sejauh ini
muncul, tidak ada upaya dari pengadopsi
untuk menghilangkan jejak masa lalu Emilie
dan Lin. Mereka juga telah menceritakan

peristiwa-peristiwa penting seputar proses
pengadopsian, yang akhirnya mendorong
Emilie mencari kembarannya dengan
memanfaatkan jaringan yang mengetahui
keberadaan anak-anak Indonesia yang
diadopsi warga Swedia. Dari upaya itu dia
menemukan Lin, yang juga telah mendapat
cerita tentang jati dirinya saat belum
diadopsi.

Lewat panti asuhan, pengadopsian
dilakukan. Pengadopsian lintas negara
memang jamak terjadi. Bintang-bintang
Hollywood biasa melakukan hal tersebut.
Kisah tentang si kembar asal Semarang
juga memberi gambaran bahwa warga
Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari
lalu lintas global pengadopsian anak.
Sepanjang orang tua merelakan dan
memenuhi berbagai ketentuan yang ditetapkan pihak berwenang, adopsi merupakan tindakan legal.


Dari kisah dramatis mereka, nilai-nilai
kemanusiaan terasa sangat menonjol.
Tetapi, sebenarnya peristiwa itu mengingatkan kita akan perlunya merefleksi berbagai
hal di balik proses pengadopsian. Bidang
medis dan psikologi terus berkembang.
Perkembangan dalam dua disiplin ilmu itu
perlu ditelusuri, untuk mengkaji apakah aturan-aturan yang ada masih sejalan dengan
pengetahuan yang ada. Misalnya saja
menyangkut keterpisahan dua anak kembar akibat adopsi.

Namun, di balik upaya legal itu sebenarnya muncul persoalan-persoalan psikologis yang bisa berdampak sosial.
Misalnya saja adanya potensi pemutusan
hubungan antara pihak pengadopsi
dengan orang tua biologis. Dengan jarak
yang terpisah ribuan kilometer, secara
”alamiah” Nur Khasanah dan Nur Hidayah
yang kemudian berganti nama menjadi
Emilie Falk dan Lin Backlund sulit untuk
berhubungan dengan Radjiman dan

Maryati. Begitu pula sebaliknya.

Seorang dokter yang memisahkan bayi
kembar siam pernah menuturkan, bagian
paling mengharukan adalah ketika usai
operasi dua bayi itu dipertemukan lagi.
Mereka menunjukkan ekspresi kegembiraan. Dari penuturan itu, mungkin saja anak
kembar membutuhkan perlakuan-perlakuan
khusus. Apakah hal-hal ini sudah diperhatikan oleh otoritas hukum yang menangani
pengadopsian anak? Pengkajian aturan
legal adopsi agaknya diperlukan dengan tak
hanya melibatkan ahli hukum.

Jusuf Kalla rintis jalan jadi capres lagi.
Mottonya, lebih sering lebih baik...
* * *
BK temukan pembiaran oleh pimpinan Banggar DPR.
Kalau aman ya syukur, kalau ketahuan ikut menyalahkan...

(Biasa dibiarkan, tak biasa membiarkan)


Terbit sejak 11 Februari 1950

PT Suara Merdeka Press
Pendiri : H Hetami
Komisaris Utama : Ir Budi Santoso
Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono
Pemimpin Redaksi : Hendro Basuki
Direktur Bisnis : Poerwono
Direktur Pemberitaan : Sasongko Tedjo
Direktur SDM : Sara Ariana Fiestri

Pers, dari dan untuk Rakyat
TEMA peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini adalah ’’Kemerdekaan Pers, dari dan untuk Rakyat’’,
sepertinya ingin mengingatkan untuk kali
ke sekian tentang pentingnya kemerdekaan pers. Bahwa kemerdekaan pers itu
bukan semata-mata untuk pers melainkan
lebih luas dari itu, yakni bagi kepentingan
masyarakat, bangsa, negara, bahkan
kemanusiaan.

Kemerdekaan pers dalam pengertian

dari kemerdekaan itu.
Pada era keterbukaan informasi dan
demokratisasi seperti sekarang ini,
kemerdekaan pers sangatlah penting.
Kemerdekaan pers bahkan menjadi salah
satu indikasi, apakah suatu negara menganut sistem demokrasi secara sehat atau
tidak. Suatu bangsa tidak layak menyebut
negaranya menganut sistem demokrasi
manakala tidak ada kemerdekaan/ kebebasan pers.
Kemerdekaan/ kebebasan pers
adalah kondisi yang mutlak diperlukan
agar pers dapat melaksanakan semua hak,

sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum, memang berasal dari rakyat.
Rumusan itu tertuang dalam ketentuan
Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang

Pers. Sebagaimana UU yang lain, UU
Pers itu yang membuat juga rakyat,
melalui wakil-wakil mereka di lembaga
legislatif. Jadi tepat sekali penegasan
kemerdekaan pers itu dari rakyat untuk
rakyat. Pers sekadar sarana dan pelaku

fungsi, dan peranannya. Dengan kata lain,
tanpa ada kemerdekaan/ kebebasan pers,
pelaksanaan hak, fungsi, dan peranan pers
tidak maksimal. Bahkan bisa terhambat.
Jika ini terjadi, yang rugi sesungguhnya
bukan hanya kalangan pers melainkan
juga kita semua, masyarakat luas.
Kemerdekaan pers atau kebebasan
pers? Dua istilah yang secara harfiah
berbeda tetapi substansinya sama. Mantan
Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara
mengibaratkan seperti selembar daun


Oleh Soetjipto

sirih, Dibolak-balik berbeda warna tetapi
kalau digigit sama rasanya.
Konstitusi nasional kita memang pernah menggunakan dua istilah itu.
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
menggunakan istilah kebebasan pers.
Adapun UU Nomor 40 Tahun 1999, dan
UUD 1945 menggunakan istilah
kemerdekaan pers.
Fungsi Pers
Esensi kemerdekaan/ kebebasan pers
dapat dilihat dari dua hal. Bebas dari apa
dan bebas untuk apa. Yang pertama, tentu
bebas dari ancaman dan paksaan. Bebas
dari sensor, beredel (breidel), dan larangan
penyiaran. Masa sebelum diundangkannya UU Nomor 40 Tahun 1999 dikenal
sebagai masa pers tiarap. Sensor, beredel,
larangan penyiaran dalam berbagai bentuknya sering dilakukan terhadap pers
nasional. Koran-koran seperti Sinar

Harapan, Prioritas, Tempo, atau Detak,
pada masa Orde Baru pernah diberedel.
Begitu juga beragam ancaman dan
tekanan sering dilakukan terhadap pers.
Baik itu oleh penguasa, aparat keamanan
ataupun masyarakat. Terutama dari mereka yang merasa kepentingannya terganggu oleh suatu pemberitaan pers.
Lantas, bebas untuk apa? Ya, bebas
untuk melaksanakan hak-haknya. Di
antara hak yang sangat penting dari pers
adalah hak untuk mencari, mengolah, dan
menyiarkan informasi dan gagasan.
Bebas untuk apa lagi? Untuk melaksanakan fungsi pers, terutama fungsi sebagai sarana informasi, edukasi dan kontrol
sosial. Apa lagi? Bebas untuk melaksanakan perannya. Terutama terkait
dengan peran memenuhi hak masyarakat
untuk mengetahui, mengawasi, mengkritik, mengoreksi, dan memberi saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum. Juga peran memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Fungsi dan peran pers itu nyata,
semua berkaitan dengan kepentingan
umum. Tetapi semua itu tidak akan dapat
dilaksanakan dengan baik manakala pers
tidak diberi kebebasan dalam mencari
informasi, mengolah informasi, dan
menyiarkan informasi. Inilah pentingnya
dukungan semua pihak terhadap prinsip
kemerdekaan/ kebebasan pers.
(Bersambung hlm 7 kol 2)

Iklan Politik dan Makna Kebebasan
DALAM dunia jurnalistik, menerima upah
atau imbalan dari narasumber, terlebih yang dapat
memengaruhi pemberitaan adalah hal yang pantang dilakukan para pewarta. Upah atau imbalan
tidak saja berisiko membuat wartawan kehilangan
objektivitasnya, namun juga menghalanginya dari
menyampaikan informasi krusial yang patut diketahui publik. Laporan yang dihasilkan oleh
pewarta semacam demikian pula tak akan dapat
memenuhi hak warga negara untuk tahu (right to
know).
Pada gilirannya media tempat wartawan
melakukan kerja profesionalnya akan kehilangan
kepercayaan publik sebagai ujung tombak untuk
melakukan kontrol terhadap kekuasaan.
Dalam ranah hukum, fungsi media sebagai
sarana kontrol sosial telah terpositifkan dalam
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers. Lebih lanjut Pasal 6 (a) UU Pers menegaskan
peran pers nasional untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu.
Ugeran perilaku para pewarta kita kenal sebagai kode etik jurnalistik, yang menurut penjelasan
Pasal 7 UU Pers adalah kode etik yang disepakati
organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan
Pers. Terkait dengan etika pewarta dalam relasinya
dengan narasumber, Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) misalnya
menyatakan; wartawan Indonesia tidak menerima
imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan
berita, tulisan, atau gambar, yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu
pihak.
Hal senada dijumpai pula dalam Kode Etik
Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada
butir ke-14. Pada butir ke-13 Kode Etik Jurnalistik
AJI bahkan menegaskan larangan bagi jurnalis
untuk memanfaatkan posisi dan informasi yang
dimiliki untuk mencari keuntungan pribadi. Jika
Lembaga Ekonomi
Pasal 3 Ayat (2) UU Pers memberi ruang bagi
media untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga ekonomi, antara lain dengan menawarkan
jasa iklan dalam berbagai formatnya. Fungsi seba-

Oleh Manunggal K Wardaya


Jika pada masa lalu kebebasan
pers dirampas dengan represi, kini
ketidakbebasan itu justru karena
keridaan penuh sukacita media itu



gai lembaga ekonomi inilah yang dalam konteks
berbagai kontestasi memperebutkan jabatan politik menjadi celah bagi calon elite untuk mengintroduksi diri pada konstituen, bahkan menjinakkan
media.
Elite politik berlomba-lomba ’’membeli’’
media dengan selubung legal; pemasangan iklan.
Potensi dana besar dari calon elite politik membu-

at media memandang momen perekrutan kepemimpinan politik lebih sebagai lahan subur
mendulang untung ketimbang panggilan tugas
mengawal demokrasi. Akibatnya, media mengikuti keinginan customer.
Jika pada masa lalu kebebasan pers dirampas
dengan represi, kini ketidakbebasan itu justru
karena keridaan penuh sukacita media itu. Sukar
untuk tidak mengatakan bahwa media yang menjalankan praktik semacam itu sebagai tidak sedang
mencari keuntungan dengan posisi yang dimilikinya. Media lebih berpihak pada calon elite politik
yang menawarkan keuntungan daripada kepada
kepentingan publik.
Media lupa bahwa di balik fungsinya sebagai
lembaga ekonomi, ia tidak boleh abai terhadap
fungsinya sebagai pengawas kekuasaan. Pada
akhirnya, publik jugalah yang dikorbankan karena
media kehilangan kemampuannya untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum.
Padahal informasi dari medialah sebenarnya
bekal utama publik dalam menjatuhkan pilihannya dalam pemilihan umum.
Dalam suasana peringatan Hari Pers Nasional
2012 ini, patut kiranya insan media memaknai
ulang terhadap kebebasan pers. Bahwa kebebasan
pers tidaklah cukup dimaknai sebagai bebas dari
segala intervensi yang represif dan koersif semata,
namun juga dari buaian kapital yang memiliki
kesamaan muara: pengangkangan hak publik
untuk tahu. (10)
— Manunggal K Wardaya, dosen Fakultas
Hukum Unsoed, PhD Researcher pada Radboud
Universiteit Nijmegen Belanda

Alamat Pengiriman Artikel
Kirimkan artikel dan foto terbaru Anda ke:
wacana_nasional@suaramerdeka. info.
Panjang maksimal 7.500 karakter dengan spasi

Wakil Pemimpin Redaksi : Gunawan Permadi. Redaktur Senior: Amir Machmud NS, Sri Mulyadi, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo. Redaktur Pelaksana : Ananto Pradono, Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo. Koordinator Liputan: Hartono, I Nengah
Segara Seni. Sekretaris Redaksi : Eko Hari MudjihartoStaf Redaksi :Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, Zaenal Abidin, Eko Riyono, Edy Muspriyanto, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, Muhammad Ali, Dwi Ani Retnowulan, Bambang Tri Subeno, Johanes Sarbini,
Hermanto, Simon Dodit, Edi Indarto, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso, Mohammad Saronji,Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Nugroho DwiAdiseno, Nasrudin, M.Asmu’i,AliArifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto,
Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch,Agus Fathudin Yusuf, Petrus Heru Subono, Tavif Rudiyanto, DwiAriadi, M Jokomono, SaroniAsikin, PurwokoAdi Seno, Karyadi, ArswindaAyu Rusmaladewi, Maratun Nashihah,Abduh Imanulhaq, Mundaru Karya, Sarby
SB Wietha, Mohamad Annas, Kunadi Ahmad, Ida Nursanti, Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, Moh. Anhar, M Norman Wijaya, Surya Yuli P, Rukardi, AAdib, Noviar Yudho P, Budi Cahyono,
Yunantyo Adi S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Dian Chandra TB. Litbang :Djurianto Prabowo ( Kepala ),Dadang Aribowo. Pusat Data & Analisa: Djito Patiatmodjo (Kepala). Personalia:Sri Mulyadi (Kepala), Priyonggo. RedakturArtistik: Putut Wahyu
Widodo (Koordinator), Toto Tri Nugroho, Joko Sunarto, Djoko Susilo Reporter Biro Semarang : Agus Toto Widyatmoko ( Kepala), Sutomo, Irawan Aryanto, Moh. Kundori, Roosalina, Adhitia Armitrianto, Rosyid Ridho, Dicky Eko Supriyanto, Yuniarto Hari Santosa,
Basuni Hariwoto, Maulana M Fahmi. Biro Jakarta : Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan Djazadi, Wagiman Sidharta, Budi Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, SaktiaAndri Susilo. Biro Surakarta : Budi Santoso
( Kepala ), Won Poerwono, Subakti ASidik, Joko Dwi Hastanto, Bambang Purnomo, Anindito, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Anie R Rosyida, Wisnu Kisawa, Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo, Yusuf Gunawan, Evi
Kusnindya, Widodo Prasetyo, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo. Biro Banyumas :Sigit Harsanto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Sigit Oediarto. Biro Pantura :Trias
Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, NuryantoAji,Arif Suryoto, Riyono Toepra, Muhammad Burhan, MAchid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan. Biro Muria :Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, Djamal
AG, Urip Daryanto, Sukardi, Abdul Muiz, Anton Wahyu Hartono, Mulyanto Ari Wibowo. Biro Kedu/DIY: Komper Wardopo (Kepala), Doddy Ardjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Sholahudin, Nur Kholiq, Juli Nugroho. Daerah Istimewa
Yogyakarta: Bambang Unjianto, Sugiarto, Asril Sutan Marajo, Agung Priyo Wicaksono, Juili Nugroho. Koresponden : Wiharjono (Malang), Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118. Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ),
6581925. Faks : (024) 6580605.Alamat Redaksi Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon : (024) 8412600. Manajer Iklan :Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: Romdhani, Manajer Riset dan Pengembangan :Agus Widyanto. Manajer TU
:AmirAR. Manajer Keuangan : Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer Logistik/Umum :Adi P. Manajer Produksi: Bambang Chadar. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha:Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon: (024) 8412600.
Faks : (024) 8411116, 8447858. ■HOT LINE 24 JAM024-8454333 ■REDAKSI:(024) 6580900 Faks (024) 6580605 e-mail: redaksi@suaramerdeka.info. Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan.