Medan Prijaji dan Profil Kecendekiawana

"MEDAN PRIJAJI" DAN PROFIL
KECENDEKIAWANAN DI DUNIA PERS INDONESIA

Oleh Satrio Arismunandar
Ditulis untuk Simposium "Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana
Lintas Kultural," dalam rangka Pertemuan Nasional I Majelis Sinergi Kalam (Masika)
ICMI, 8-11 Oktober 1993, Bogor.

Pendahuluan
Tulisan ini merupakan pengantar singkat untuk melukiskan profil, gambaran dan
permasalahan kecendekiawanan yang dihadapi insan pers "Indonesia" (baca: pribumi),
terutama pada periode 1900-an. Yang dimaksud dengan insan pers di sini adalah mereka yang
paling terlibat dalam kegiatan intelektual: para jurnalis atau wartawan. Pers sebenarnya identik
dengan media massa, yang punya arti lebih luas. Seperti: mencakup radio, terlevisi, bahkan
kaset video, selebaran dan pamflet. Namun pers biasanya lebih diasosiasikan dengan media
cetak.
Mengapa bidang pers yang dipilih, ada beberapa alasan. Pertama, secara historis, pers
mempunyai peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan sayangnya peran ini
sangat jarang dibahas. Apalagi untuk pers periode tahun 1900-an. Hasrat rakyat bagi
kemerdekaan dan perjuangan yang sadar dari kepemimpinan revolusioner memerlukan
koordinasi, jika tujuan bersama untuk kemerdekaan hendak dicapai. Pers berperan dalam

memberikan koordinasi ini (Kratz: 1986).
Tokoh-tokoh pejuang seperti Haji Agus Salim, Sam Ratulangi, Danudirdja Setyabuddhi
(Douwes Dekker), Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo, adalah tokoh-tokoh garis
depan dalam pengembangan pers nasional, yakni pers yang akan berperan penting dalam
perjuangan fisik di tahun 1940-an. Bahkan Bung Karno pernah memimpin Fikiran Rakjat di
Bandung, Bung Hatta bersama Sutan Sjahrir memimpin Daulat Rakjat, Haji Oemar Said
Tjokroaminoto memimpin Oetoesan Hindia , dan Dokter Soetomo mengusahakan Soeara
Oemoem, yang dipimpin Tjindarbumi dibantu Sudarjo Tjokrosisworo.
Kedua, para tokoh pers pada waktu itu mungkin bisa mewakili pengertian kita tentang
"cendekiawan Dunia Ketiga" yang diproyeksikan dari model cendekiawan bebas (Mannheim).
Mereka adalah kelompok terpelajar, sering berpendidikan tinggi, mengemban tanggung jawab
kemasyarakatan, serta bisa bersikap radikal dan bebas dalam memandang kondisi masyarakat
dan negara tempat mereka hidup, yang terlihat jelas dalam perjuangan mereka menentang
penguasa kolonial.
Jadi mereka memenuhi kriteria inteligensia (yang secara sederhana diterjemahkan
sebagai golongan terpelajar), sekaligus intelektual (karena keterlibatan dan keprihatinannya
dalam pemecahan masalah kemasyarakatan). Dalam kasus mereka, sebenarnya tidaklah
relevan lagi jika kita membuat jarak antara kaum inteligensia dan intelektual.

Ketiga, pers -- dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun sulitnya -- tetap hadir, dan

tampaknya akan terus hadir serta berperanan (meski mungkin dalam bentuk-bentuk peran yang
berbeda) dalam periode sejarah Indonesia mendatang. Meski dengan proses jatuh bangun,
terbukti pers ini terus hidup melalui zaman Hindia Belanda, pendudukan Jepang, era Orde
Lama dan Orde Baru. Pertumbuhan pers Indonesia saat ini -- baik dari segi penyebaran
sirkulasi, jumlah suratkabar/majalah, serta kualitas isinya -- sejalan dengan pertumbuhan
penduduk dan ekonomi negeri ini, menggarisbawahi perlunya pembahasan profil dan masalah
kecendekiawanan para insan pers Indonesia.

Kasus "Medan Prijaji"
Pers Indonesia saat ini merupakan salah satu domain kehidupan masyarakat yang
terlingkup dalam pertautan antara sisi modernitas, tradisi (keindonesiaan) dan agama. Untuk
praktisnya dan agar kita tidak berpanjang-panjang bicara soal definisi, penulis menggunakan
definisi yang digunakan panitia simposium. Yakni, yang dimaksud dengan tradisi di sini adalah
segala macam praktek, pemikiran dan kelembagaan yang dipahami secara kolektif dan
diwariskan dari masa lalu, serta dianggap minimal sudah menjadi bagian penting dari sejarah
dan kebudayaan Indonesia atau bersifat indigenous.
Agama dirumuskan sebagai nilai-nilai universal yang bersifat trans-rasial, trans-strata,
dan trans-historis; berorientasi perenial; serta mengilhami setiap gagasan dan pemikiran etis
dan ideologis. Sedangkan modernitas mencakup nilai-nilai budaya modern dengan kerangka
epistemologis kebudayaan "Barat."

Pers yang pertama kali diterbitkan oleh seorang pribumi di era Hindia Belanda adalah
Medan Prijaji, yang sebelum menjadi harian telah terbit sebagai mingguan selama tiga tahun,
sejak 1907. Penerbitnya adalah Raden Mas Tirtohadisoerjo, bekas murid Stovia yang bisa
disebut sebagai "pelopor wartawan Indonesia." Sebelum menerbitkan Medan Prijaji, ia telah
berpengalaman sebagai wartawan suratkabar harian Bintang Betawi, yang dipimpin J. Kieffer
dari Firma Van Dorp & Co. Tirtohadisoerjo adalah seorang priyayi dan saudara Bupati
Purwodadi, sedangkan orangtuanya sendiri adalah seorang kolektur (juru pengumpul uang
pada zaman Belanda atau Manteri Pajak) di Ponorogo. Ayah Tirtohadisoerjo bernama Raden
Mas Tumenggung Tirtonoto.
Walau suratkabar yang diasuh Tirtohadisoerjo itu bernama Medan Prijaji, suratkabar
yang terbit di Bandung itu tidak dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Moto majalah ini
semula berbunyi: Swara bagi sekalijan Radja2, Bangsawan Asali dan fikiran saudagarsaudagar Anaknegeri, lid-lid Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa yang
terprentah lainnya . Sesudah makin maju, majalah ini menjadi harian, dan motonya semakin
tegas dan jelas, yakni: Orgaan boeat bangsa jang terprentah di H.O. Tempat akan memboeka
swaranja Anak-Hindia. (H.O. adalah singkatan dari Hindia Olanda).
Pada saat itu, moto ini sudah dianggap sangat radikal. Bandingkanlah dengan moto
Sinar Soematra di Padang, yang berbunyi: Kekallah kerajaan Wolanda, sampai mati setia
kepada kerajaan Wollanda (!). Kalimat semacam ini juga bisa dilihat pada Warta Hindia di
Padang, yang baru dihapuskan setelah pergerakan rakyat sejak tahun 1921 di Padang.
Yang juga menarik adalah, menurut buku Sejarah Pers Sebangsa , disebut nama-nama

para pengelola Medan Prijaji. Sebagai pemimpin redaksi (hoofdredacteur ) adalah

Tirtohadisoerjo sendiri, dengan redaktur A.W. Madhie, Raden Tjokromidjojo, Raden Soebroto
(ketiganya dari Bandung), R.M. Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena di Bogor, dan P.t
(Paduka tuan) J.J. Meyer, pensiunan Asisten Residen di 's Gravenhage, sebagai redaktur di
Nederland. Juga disebut adanya beberapa jurnalis bangsa Tiong Hoa dan Anak negerie jang
pandai2 jang sudah kita pilih mentjoekoepi pada kewadjibannja, a.m (antara ma na)
Begelener, Hadji Moekti dan lain-lain.
Di sini terlihat, Tirtohadisoerjo melibatkan dalam susunan redaksinya berbagai unsur
masyarakat yang ada waktu itu: Belanda, Cina dan pribumi. Ini suatu langkah yang luar biasa
pada saat itu, jika mengingat Medan Prijaji di bawah Tirtohadisoerjo sering bersikap kritis
terhadap praktek dagang pengusaha Belanda dan Cina yang merugikan atau mendesak posisi
pedagang pribumi. Dalam satu segi, ini juga indikasi dari benih-benih nasionalisme Indonesia.
Jelaslah bahwa Medan Prijaji bukan saja merupakan suratkabar nasional yang dipimpin
oleh tenaga-tenaga nasional sendiri, tetapi juga sekaligus dimodali oleh modal nasional.
Meskipun di antara para redaktur dan pembantunya juga dicantumkan nama J.J. Meyer.
Tokoh Tirtohadisoerjo ternyata mendapat tempat yang banyak pula dalam laporanlaporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena
kemudian Tirtohadisoerjo memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam
di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang
kemudian berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama

mendapat persetujuan Tirtohadisoerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai
redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.

Tidak dipertentangkan
Pergerakan politik anak negeri jajahan biasanya disebut gerakan nasional. Dalam
hubungan itu, maka baik lahirnya Medan Prijaji maupun suratkabar-suratkabar nasional
lainnya, pada kenyataannya tidak jauh berbeda dengan gerakan kebangsaan Indonesia. Pers
nasional dan gerakan kebangsaan Indonesia merupakan dwitunggal dalam arti yang luas.
Antara gerakan kebangsaan dan persnya terjalin hubungan kerjasama yang erat. Pers nasional
adalah cermin nyata kehidupan gerakan kebangsaan, dan sekaligus juga menjadi wahana
penyebar gagasan-gagasan nasionalisme.
Kalau nilai tradisi (keindonesiaan) dalam arti yang lebih utuh kita anggap ada sejak
tercetusnya "Sumpah Pemuda" dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, benih-benihnya
secara parsial sebenarnya sudah tertanam lama sebelumnya. Jelas sekali bahwa Tirtohadisoerjo
telah menunjukkan warna tradisi itu. Namun "tradisi" yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu
yang dipertentangkan dengan modernitas.
Namun dalam perlawanannya dan kecamannya yang tajam terhadap praktek-praktek
kolonial Hindia Belanda, "tradisi" Tirtohadisoerjo ini sebenarnya juga adalah salah satu wujud
modernitas, yakni keyakinan bangsa (perubahan) nasib itu ditentukan oleh diri sendiri, bukan
oleh pihak luar. Dengan demikian, penerbitan pers menjadi perwujudan kehendak suatu

individu/bangsa yang sadar untuk menentukan nasibnya sendiri dan berpendapat bahwa
suaranya berharga untuk didengar.

Medan Prijaji lahir pada periode ketiga, menurut pendekatan bibliografi yang
dilakukan Hoogerwerf (1990). Periode pertama (1800-1856) didahului oleh masa keterbatasan
di masa VOC (Kompeni Perdagangan Hindia Timur). Pers di Hindia Belanda menjadi
percaturan dan perdebatan politik di DPR Belanda, antarwakil berbagai golongan politik.
Periode kedua (1856-1900), diwarnai latar belakang kehidupan politik Belanda dan munculnya
pers Hindia Belanda yang didominasi kaum liberal, yang berhasil menghapus sistem Tanam
Paksa dan UU Agraria 1870. Muncul pemikiran Politik Etika yang bertujuan memperbaiki
martabat dan derajat penduduk bumiputra.
Medan Prijaji lahir pada periode ketiga (1900-1942), ketika pengaruh Politik Etika
menumbuhkan pandangan-pandangan baru dan pemikiran baru mengenai perimbanganperimbangan kolonial. Muncul kesadaran politik baru bahwa hubungan terjajah dan penjajah
tidaklah abadi, dan pada suatu ketika masyarakat Indonesia akan sanggup berdiri sendiri. Elite
Indonesia yang baru tumpuh pun memperhatikan pandangan baru itu.

Perkembangan pers daerah dan bahasa Melayu terdapat dalam uraian awal tentang pers
di Indonesia pada tahun 1909, oleh E.F.E. Douwes Dekker (di kemudian hari lebih dikenal
sebagai Dr. Danudirdja Setyabuddhi), yang waktu itu menjadi redaktur pembantu suratkabar
Bataviaasch Niewsblad di Jakarta. Ia telah menilai kedudukan pers berbahasa Melayu lebih

penting daripada pers Belanda, karena pers berbahasa Melayu langsung dapat menarik
pembaca-pembaca bumiputra.
Saat itu juga ada suratkabar-suratkabar peranakan Tionghoa dalam bahasa Melayu
(kemudian, bahasa Indonesia), yang lahir dengan bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Hindia
Belanda. Pers peranakan itu memenuhi fungsi untuk berkomunikasi di antara kaum peranakan
Tionghoa khususnya dan masyarakat Indonesia yang berbahasa Indonesia umumnya.
Walaupun dalam tahap permulaan pers peranakan didominasi oleh aliran yang berorientasi ke
Tiongkok, tetapi lama-kelamaan orientasi ke Hindia Belanda dan orientasi ke Indonesia juga
mendapat angin.
Tetapi harus diakui, orientasi ke Indonesia sebelum Perang Dunia II masih lemah dan
kebanyakan suratkabar peranakan Tionghoa masih berorientasi ke Tiongkok atau Hindia
Belanda. Ini bisa dijelaskan karena saat itu Indonesia masih di bawah kekuasaan Belanda dan
suasana perkauman saat itu masih amat tebal.
Namun keadaan pers Indonesia bila dibandingkan dengan pers Belanda dan pers Cina
(Tionghoa-Melayu) kebanyakan jauh di bawah ukuran. Hal itu dapat dimengerti, karena
sebagian besar rakyat yang merasa memerlukan membaca koran (Indonesia), tidak begitu
banyak uangnya. Padahal harga langganannya sudah begitu rendah, sedangkan iklan-iklannya
pun hanya merupakan sumber penghasilan yang kecil, dan peralatannya sangatlah sederhana.
Hanya lima tahun Medan Prijaji dapat terbit dan dalam masa jayanya antara 1910-1912
dapat mencapai oplah hingga 2.000, suatu jumlah yang untuk suratkabar Belanda sendiri saat

itu sudah termasuk besar. Kecuali Medan Prijaji, ia juga menerbitkan Soeloeh Keadilan.
Karena karangan-karangannya yang tajam terhadap penguasa, Tirtohadisoerjo pernah dibuang
ke Lampung. Tetapi dari tempat pembuangan itu pun ia masih terus menulis karangankarangan yang bercorak membela rakyat kecil, serta melawan praktek yang buruk dari
pemerintah setempat.
Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara
mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi

Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan
tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama
Tirtohadisoerjo, bekas murid Stovia yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang
Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh
Keadilan. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik."
Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit
November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani. "Dialah
wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat
umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan
menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakantindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke
Pulau Bacan," tulis Tjokrosisworo.
Tirtohadisoerjo jelas mewujudkan dalam dirinya sisi intelektual. Karena menjadi
seorang wartawan, penerbit suratkabar, pada waktu itu otomatis menghadapkannya pada

realitas kekuasaan kolonial, serta keterlibatan dalam masalah kemasyarakatan. Tirtohadisoerjo,
misalnya, harus berhadapan dengan produk hukum kolonial yang menekan pers. Pada tahun
Tirtohadisoerjo meninggal (17 Agustus 1918), diberlakukan ketentuan-ketentuan untuk
menindak wartawan, yakni bersamaan dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht van
Nederlands-Indie (kitab Hukum Pidana).
Ketentuan yang berlaku dalam pasal 154, 155, 156 dan 157 kitab itu dikenal dengan
sebutan Haatzai Artikelen (pasal-pasal tentang penyebaran kebencian). Pasal ini
mengancamkan hukuman pada siapapun yang dianggap menyebarkan perasaan permusuhan,
kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau pemerintah Hindia Belanda
(pasal 154 dan 155), dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia
Belanda (pasal 156 dan 157).
Di segi lain, tidak begitu jelas, bagaimana persisnya visi Tirtohadisoerjo tentang agama
(Islam). Namun penerbitan Medan Prijaji itu sendiri tak akan terjadi tanpa kerjasama dengan
Haji Samanhudi, saudagar batik asal Sala yang juga penganut Islam taat. Samanhudi semula
datang ke Bandung untuk menagih utang dan sementara waktu ia tinggal di sana. Di Bandung
itulah Samanhudi bertemu dengan Tirtohadisoerjo, yang menggerakkan hati Samanhudi untuk
berjuang dalam bidang penerbitan pers.
Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Sala pada 1911, yang menjadi awal
dari Sarekat Islam, yang kemudian menyebar luas di seluruh Hindia Belanda. Medan Prijaji,
dalam serangannya terhadap praktek-praktek dagang perusahaan Belanda dan Cina yang

dipandangnya tidak fair , secara tak langsung mendukung usaha pedagang pengusaha Islam
(baca pribumi).
Tentu saja kita bisa membahas lebih lanjut, apakah keterlibatan Samanhudi dalam
penerbitan Medan Prijaji itu memang dilandasi semangat keislaman. Medan Prijaji terbit
setelah orang Belanda dan Cina mulai bergerak dalam bidang penerbitan pers, yang kemudian
menggugah orang Indonesia (pribumi) untuk juga terjun ke bidang itu. Terutama setelah
berdirinya organisasi-organisasi yang berasaskan kebangsaan ataupun keagamaan. Namun dari
kasus ini terlihat bahwa -- setidak-tidaknya pada satu masa -- pernah terjadi kondisi di mana
pertautan antara kutub agama (Islam), tradisi dan modernitas, seolah-olah justru memberi
kondisi yang menguntungkan (atau sekurang-kurangnya tidak merugikan) bagi ketiga kutub itu
sendiri.

Demikianlah, karangan singkat tentang profil pers dan tokoh cendekiawan pers
Indonesia ini tidaklah berpretensi untuk memberi uraian yang sangat lengkap, karena
keterbatasan sumber acuan yang tersedia dan kurangnya waktu penulis untuk menelaah lebih
mendalam dan menggali sumber-sumber lain. Meski demikian, diharapkan karangan singkat
ini bisa bermanfaat atau memicu penelaahan lebih jauh oleh kalangan lain yang berminat. ***
Jakarta, Oktober 1993

BAHAN ACUAN:

Wild, Colin, dan Peter Carey, Gelora Api Revolusi, Sebuah Antologi Sejarah, Penerbit BBC
Seksi Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta, 1986.
Karangan-karangan P. Swantoro dan Abdurrachman Surjomihardjo, dalam buku terbitan
Humas Kompas, Percetakan PT Gramedia, 1992.
Soebagijo I.N., Sebelas Perintis Pers Indonesia , Penerbit Djambatan, Jakarta, 1976.
Soebagijo I.N., H., Sejarah Pers Indonesia , Dewan Pers, Jakarta, 1977.
Surjomihardjo, Abdurrachman, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia ,
Deppen RI - Leknas LIPI, Jakarta, 1980.

=======================
Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061