J01085

(1)

1

PERMASALAHAN-PERMASALAHAN

TERKAIT DENGAN PROFESI GURU SD

Slameto

slameto_usw@yahoo.com

PGSD & PPS MP - FKIP - UKSW Salatiga

ABSTRAK

Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi, sertifikasi, dan tunjangan profesi. Ketiga faktor tersebut diprediksi mempengaruhi kualitas pendidikan. Mengingat hasil-hasil penelitian belum mendukung kerangka berpikir seperti itu, maka lahirlah 3 isu terkait dengan sertifikasi guru yaitu: peningkatan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru pasca sertifikasi, rendahnya kualitas proises pembelajaran yang diampu oleh guru pasca sertifikasi dan perilaku guru yang kurang profesional. Oleh karena itu perlu pembinaan guru pasca sertifikasi yang harus dilaksanakan secara berkelanjutan, dikarenakan prinsip mendasar bahwa guru harus merupakan manusia pembelajar (a learning person). Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan profesionalismenya sebagai guru. Pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru dapat dilakukan melalui upaya pembinaan dan pemberdayaan guru. Dengan demikian perlu upaya peninjauan lebih mendalam terhadap program sertifikasi guru dalam jabatan, khususnya tujuan dan makna sertifikasi, perlu ada upaya pembenahan mind set guru dan perlu ada program perawatan dan pengembangan profesionalisme bagi guru-guru yang telah lulus program sertifikasi, khususnya dalam upaya peningkatan mutu layanan pembelajaran. Pengembangan profesionalisme guru pasca sertifikasi perlu kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengembangan, dan pe-nelitian tindakan kelas.

Kata kunci: permasalahan kompetensi, sertifikasi, dan profesi guru

PENDAHULUAN

Sebagaimana dinyatakan dalam UU SPN Nomor 20/2003, UURI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, guru dinyatakan sebagai tenaga profe-sional. Dalam kerangka itulah program sertifikasi guru dilakukan supaya guru memiliki penguasaan kompetensi

seba-gaimana dipersyarat-kan UU Guru dan Dosen.

Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002, kompetensi diartikan sebagai seperang-kat tindakan cerdas dan penuh tang-gung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan


(2)

2 tertentu. Guru sebagai salah satu bagian dari pendidik profesional memiliki tugas utama mendidik, mengajar, mem-bimbing, mengarahkan, melatih, meni-lai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam melaksanakan tugasnya, guru menerap-kan keahlian, kemahiran yang meme-nuhi standar mutu atau norma tertentu yang diperolehnya melalui pendidikan profesi.

Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik dan diberi-kan kepada guru yang telah memenuhi syarat. Selanjutnya, bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik ber-hak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jamin-an kesejahterajamin-an sosial. Penghasiljamin-an di atas kebutuhan hidup minimum meli-puti gaji pokok, tunjangan yang mele-kat gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsio-nal, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Guru yang layak menerima tunjangan sebagai upaya perbaikan na-sibnya agar profesi yang dijalaninya selama ini “diakui” sebagai profesi dan “disamakan” dengan profesi-profesi lainnya yang dianggap layak sebagai profesi. Guru benar-benar sebagai so-sok yang siap untuk digugu dan ditiru,

siap memenuhi panggilan tugas dan kewajiban dengan segala tanggung ja-wabnya, kemudian siap menerima tun-jangan sebagai konsekuensi dari sebuah profesionalitas.

Guru memiliki peran strategis dalam bidang pendidikan; guru meru-pakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Sayangnya kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif ren-dah. Berdasarkan survey UNESCO, terhadap kualitas para guru, kulitas guru kita berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal. Data dari Balitbang Depdiknas pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.05 (69,45%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifi-kasi pendidikan minimal (Tim Serti-fikasi Guru, 2006).

Permasalahan yang muncul kemudian adalah tingkat profesionalis-me guru pasca sertifikasi. Setelah ada jaminan kesejahteraan yang lebih baik dari sebelumnya, apakah mereka yang telah disertifikasi itu lebih baik dari sebelumnya? Atau bagaimana perban-dingannya dengan guru yang belum disertifikasi? Pertanyaan ini untuk menggugah, terutama tanggungjawab moral dalam membina generasi ke de-pan.

Banyak kalangan masyarakat yang memandang pesimis dengan pe-laksanaan program sertifikasi guru.


(3)

3 Selain ketidakjelasan dalam proses pelaksanaannya, kompetensi guru pasca sertifikasi masih dianggap kurang menunjang kinerja guru dalam mengajar sehingga kualitas pendidikan Indonesia di dunia masih jauh terting-gal (Miftha Indasari, 2013). Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, mengatakan, tujuan sertifikasi untuk meningkatkan mutu guru tidak berjalan baik. Sebab, pemerintah tidak punya konsep yang jelas soal pembinaan guru. ”Setelah uang sertifikasi diberikan, pemerintah lepas tangan,” (kompas, 2012) .

PEMBAHASAN

Fasilitasi sesi ini berupaya mengidentifikasi Isyu-isyu strategis ter-kait dengan Permenagpan - RB no 16 tahun 2009; sedemikian hingga merupakan upaya sosialisasi dan pe-nyadaran bagi para guru SD pasca sertifikasi tentang pentingnya peraturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan pengembangan profesionali-tasnya. Selain itu, yang tidak kalah

pentingnya adalah sebagai upaya pencegahan agar para guru pasca sertifikasi dalam bekerja sebagi guru profesional menjadi produktif, tidak terjebak dalam ketidak-layakan mana kala dilakukan penilaian kinerja. Disamping memaparkan uraian tentang permasalahan seputar sertifikasi dan profesionalitas guru pasca sertifikasi berdasarkan hasil-hasil penelitian dan kaitannya dengan layanan pembelajar-an, fasilitator ini juga mengundang partisipasi peserta untuk memunculkan ide-ide cemerlang dalam mencari solusi untuk meningkatkan kualitas pendidik-an/ pembelajaran sebagai dampak sertifikasi guru.

Sajian Hasil Penelitian

Temuan D. Deni Koswara, Asep Suryana, dan Cepi Triatna dengan judul Studi Dampak Program Sertifi-kasi Guru Terhadap Peningkatan Profe-sionalisme dan Mutu Di Jawa Barat tahun 2009 diperoleh ringkasan hasil seperti berikut ini.

Temuan yang menggembirakan Temuan yang memprihatinkan Data umum mengenai profesionalisme guru

SMP pada sekolah-sekolah yang diteliti menunjukkan kategori baik dengan capaian skor instrumen penelitian sebesar 3,22. Hal ini berarti bahwa dilihat dari rasa pengabdian, pemahaman terhadap kewajiban sosial, kemandirian, dan keyakinan terhadap profesi guru-guru yang menjadi responden penelitian dikategorikan baik.

Sertifikasi pada guru SMP yang diteliti di Jawa Barat berkorelasi sangat rendah terhadap peningkatan profesionalisme dan mutu pembelajaran.

1. Sertifikasi guru tidak berkontribusi terhadap profesionalisme guru. 2. Sertifikasi guru tidak berkontribusi

terhadap mutu pembelajaran.


(4)

4 Guru adalah tenaga profesio-nal. Program sertifikasi guru dilakukan supaya guru memiliki penguasaan kompetensi sebagaimana dipersyarat-kan UU Guru dan Dosen. Salah satu tujuan sertifikasi guru adalah untuk meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan. Guru yang memperoleh tunjangan profesi dikategorikan sebagai guru profesional. Temuan D. Deni Koswara, dkk. tahun 2009 ternyata sertifikasi guru SMP di Jawa Barat berkorelasi sangat rendah terhadap peningkatan profesionalisme dan mutu pembelajaran; Sertifikasi guru tidak berkontribusi terhadap profesionalisme guru; tidak berkontri-busi terhadap mutu pembelajaran.

Selanjutnya hasil kajian Bank Dunia mengkonfirmasi kegagalan pro-gram sertifikasi guru di Indonesia. Tidak adanya hubungan yang jelas antara program sertifikasi dengan peningkatan mutu pembelajaran. Tak tanggung-tanggung Bank Dunia me-neliti pelaksanaan setifikasi guru untuk kurun waktu 2009, 2011, dan 2012. Sasaran penelitian adalah 240 Sekolah Dasar, 120 Sekolah Menengah

Per-tama, 3000 guru, dan 90.000 siswa. Temuan pertama, sertifikasi tidak me-ngubah praktik mengajar dan perilaku guru. Kedua, peningkatan pendapatan guru yang lolos sertifikasi ekuivalen dengan peningkatan mutu mengajar (Kompas, 2012). Temuan dari kajian itu dipaparkan oleh Head of Human Development Sector Indonesia Bank Dunia, Mae Chu Chang pada pertemu-an Orgpertemu-anisasi Guru ASEAN di Denpasar, Bali menyebutkan bahwa belum jelasnya manfaat sertifikasi. Bahkan sejumlah penelitian membukti-kan bahwa peningkatan profesionalis-me pendidik tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan mutu pendidikan, sehingga akan terlalu cepat untuk mengatakan bahwa relevansi kebijak-an sertifikasi pendidik dengkebijak-an pe-ningkatan kesejahteraan pendidikan dan mutu pendidikan.

Penelitian Badrun dengan judul “Kinerja Guru Profesional (Guru Pasca Sertifikasi)di Kabupaten Sleman” tahun 2011 diperoleh hasil dalam ringkasan seperti berikut ini.


(5)

5

Temuan yang menggembirakan Temuan yang memprihatinkan Kemampuan guru profesional (guru

pasca sertifikasi) dalam menyusun RPP dan melaksanakan pembelajaran sudah baik. Berdasarkan penilaian kepala sekolah, kompetensi kepribadian dan sosial para guru yang sudah lulus sertifikasi dan telah menerima tujangan profesi sangat baik.

Upaya sebagian besar guru dalam membimbing siswa mengikuti lomba atau olimpiade sudah baik.

Kinerja sebagian besar guru profesional (pasca sertifikasi) yang ada di

Kabupaten Sleman belum baik; dari 17 indikator yang diteliti, 7 indikator baik dan 10 indikator lainnya belum baik. Upaya atau aktivitas sebagian besar guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi masih belum menggembirakan, terutama yang terkait dengan:

(1) penulisan artikel; (2) penelitian;

(3) membuat karya seni/teknologi; (4) menulis soal UN;

(5) menelaah buku;

(6) mengikuti kursus Bahasa Inggris, (7) mengikuti diklat, dan

(8) mengikuti forum ilmiah Usaha sebagian besar guru yang telah

lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi dalam:

(1) membuat modul; dan

(2) membuat media pembelajaran baik.

Aktivitas di organisasi pendidikan dan sosial belum baik,

(1) ada sebagian (47,5%) guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi menjadi pengurus organisasi sosial;

(2) 30% guru menjadi pengurus organisasi pendidikan Penelitian Badrun di Kabupaten

Sle-man tahun 2011 menyatakan kinerja sebagian besar guru profesional (pasca sertifikasi) belum baik, upaya sebagian besar guru yang telah lulus sertifikasi masih belum menggembirakan. Itu semua merupakan persoalan serius yang memerlukan solusi cerdas.

Asumsi bahwa sertifikasi akan meningkatkan profesionalisme guru

dan mutu pendidikan, ternyata kondisi dilapangan berbeda; apa yang dialami guru dalam sertifikasi belum memberi-kan dampak secara signifimemberi-kan pada kemampuan professional guru terma-suk terhadap peningkatan mutu pembe-lajaran. Bahkan muncul beberapa kasus yang tidak diharapkan, dimana ada guru yang menjadi lebih tidak disiplin pasca sertifikasi, ada pula yang


(6)

meng-6 asumsikan bahwa sertifikasi adalah suatu kondisi final dari profesi keguruan. Apabila diperbandingkan dengan sebelum sertifikasi, banyak guru yang sering mengikuti pengem-bangan kemampuan melalui berbagai pelatihan, workshop dan seminar, namun setelah sertifikasi dan dinyata-kan lulus mereka cenderung tidak mengikuti lagi kegiatankegiatan terse-but. Lebih jauh, alokasi dana tunjangan profesi yang diterima guru-guru sedikit sekali proporsinya yang digunakan untuk pengembangan profesi, bahkan kecenderungannya tidak digunakan un-tuk pengembangan profesi guru lebih lanjut. Para guru lebih banyak menga-lokasikan dana tunjangan profesinya untuk pemenuhan sandang, pangan dan papan, seperti pembelian tanah, rehab rumah, pembelian kendaraan bermotor, ditabung di bank, dan sebagainya. Isyu-isyu strategis terkait Implementasi Permenagpan-RB nomor 16 tahun 2009

Mengimplementasikan berarti melengkapi atau menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang mencakup 4 komponen: a). Mencipta-kan dan menyusun staf sebuah agen baru untuk melaksana-kan sebuah kebijakan baru, b). Menterjemahkan tujuan legislatif dan serius memasuk-kannya ke dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi para pelaksana kebijakan, c). Melakukan koordinasi

terhadap sumberdaya agen dan pembiayaan bagi kelompok sasaran, mengembangkan pembagian tanggung-jawab para agen dan antar para agen serta hubungan antar agen, dan d). Mengalokasikan sumberdaya untuk memperoleh dampak kebijakan. (Arif Rohman, 2009).

Seperti dipaparkan di atas, bahwa sertifikasi guru yang semesti-nya meningkatkan kesejahteraan dan kualitas guru agar terjadi peningkatan kualitas pendidikan di kelas dan sekolah ternyata tak berjalan seperti yang diharapkan. Prestasi siswa tak meningkat signifikan, sertifikasi tak mengubah praktik mengajar dan tingkah laku guru. Perubahan yang dilakukan pemerintah untuk memba-yar lebih guru tak diterjemahkan oleh guru dalam hasil belajar yang bagus. Dengan demikian terdapat beberapa isyu strategis didalam implementasi kebijakan sertifikasi ini. Pertama terkait dengan peningkatan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru pasca sertifikasi. Kedua terkait dengan rendahnya kualitas proises pembelajaran yang diampu oleh guru pasca sertifikasi. Ketiga terkait dengan perilaku guru yang kurang profesional.

Peningkatan hasil belajar siswa (yang diajar oleh guru pasca sertifikasi) memang secara empiris dipengaruhi oleh banyak faktor, namun pengaruh faktor (kompetensi) guru bisa mencapai sebesar 25,5% (Jayengsari, R. 2013). Bahkan hasil penelitian Wuri Sylvia


(7)

7 Sarce (2010) untuk mata pelajaran IPS Terpadu SMP, menemukan bahwa besarnya sumbangan kompetensi peda-gogik guru terhadap hasil belajar siswa sebesar 94,50%.

Terkait dengan isyu rendahnya kualitas proses pembelajaran yang diampu oleh guru pasca sertifikasi dapatlah dijelaskan seperti temuan Bank Dunia yang menyatakan bahwa sertifikasi tidak mengubah praktik mengajar dan perilaku guru; pening-katan pendapatan guru yang lolos sertifikasi tidak ekuivalen dengan peningkatan mutu mengajar (Kompas, 2012). Selanjutnya hasil kajian Bank Dunia mengkonfirmasi tidak adanya hubungan yang jelas antara program sertifikasi dengan peningkatan mutu pembelajaran; Sertifikasi guru tidak berkontribusi terhadap profesionalisme guru; tidak berkontribusi terhadap mutu pembe-lajaran. Mengapa demikian? Salah satu dugaan kuatnya karena terkait dengan isyu yang ketiga yaitu peri-laku guru yang kurang profesional. Terkait dengan isyu yang ketiga yaitu perilaku guru yang kurang profesional seperti dipaparkan oleh Badrun (2011) guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tun-jangan sertifikasi justru lebih tidak disiplin, banyak guru yang tidak mau mengikuti pengembangan kemam-puan melalui berbagai pelatihan, workshop dan seminar; alokasi dana tunjangan profesi yang diterima guru-guru sedikit sekali proporsinya yang digunakan

untuk pengembangan profesi, bahkan kecenderungannya tidak digunakan un-tuk pengembangan profesi guru lebih lanjut. Terkait dengan kegiatan pro-fesional, jarang sekali guru pasca sertifikasi yang melakukan kegiatan: penulisan artikel, Penelitian, membuat karya seni/teknologi, menulis soal UN, menelaah buku, mengikuti kursus Bahasa Inggris, mengikuti diklat, dan mengikuti forum ilmiah.

Ketiga isyu tersebut dipenga-ruhi oleh faktor 1) standar dan tujuan kebijakan; 2) sumberdaya; 3) komuni-kasi; 4) interorganisasi dan aktivitas pengukuhan; 5) karakteristik agen pelaksana; 6) kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta karakter pelaksana. Agar isyu-isyu tersebut segera teratasi, para pelaku kebijakan harus memiliki kemempuan manaje-rial, dan politis serta komitmen terhadap tujuan yang akan dicapai. Para pemimpin dapat mengambil langkah bukan hanya pada ranah merencanakan sebuah peraturan namun dalam pengangkatan personil baru non layanan masyarakat, guna meningkatkan isi dan keterdukungan pemimpin terhadap pancapaian tujuan sertifikasi.

Upaya Profesional Guru pasca Sertifikasi

Asumsi bahwa sertifikasi akan meningkatkan profesionalisme guru dan mutu pendidikan, ternyata kondisi dilapangan berbeda; apa yang dialami guru dalam sertifikasi belum memberi-kan dampak secara signifimemberi-kan pada


(8)

8 kemampuan professional guru terma-suk terhadap peningkatan mutu pembe-lajaran. Bahkan muncul beberapa kasus yang tidak diharapkan. Untuk menja-min konsistensi profesionalisme guru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, diperlukan upaya-upaya peningkatan profesionalisme secara berkesinam-bungan. Secara preskriptif dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengembang-an, dan penelitian tindakan kelas merupakan dimensi-dimensi alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru.

Dukungan kampetensi mana-jemen diperankan oleh dinas pendidi-kan dan kepala sekolah; Kompetensi manajemen yang dibutuhkan unruk peningkatan profesionaiisme guru dibedakan atas tiga aras, yaitu (1) manajemen aras kebijakan di tingkat birokrasi dinas pendidikan, (2) manajemen aras sekolah di tingkat kepala sekolah, dan (3) manajemen aras operasional di tingkat guru (Surya Dharma, 2003). Pada aras kebijakan di tingkat dinas pendidikan, menurut Santyarsa (2008) dibutuhkan kompe-tensi tentang (1) pemikiran strategik (strategic thinking), (2) kepemimpinan yang berubah (change leadership), dan (3) manajemen hubungan (relationship management). Pada aras sekolah oleh kepala sekolah, dibutuhkan kompe-tensi-kompetensi; (1) fleksibilitas, (2) terapan perubahan, (3) pemahaman

interpersonal, (4) pemberdayaan, (5) fasilitasi tim, dan (6) portabilitas (Santyarsa, 2008). Pada aras opera-sional di tingkat personal guru, dibutuhkan kompetensi; (1) fleksibili-tas, (2) mencari dan menggunakan informasi, motivasi, dan kemampuan untuk belajar, (3) motivasi berprestasi, (4) motivasi kerja di bawah tekanan waktu, (5) kolaboratif, dan (6) orientasi pelayanan kepada siswa (Santyarsa, 2008).

Pembinaan serta pemberdayaan kompetensi guru pasca sertifikasi akan ikut pula menentukan peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya KKG dan MGMP maka guru yang sudah dibekali dengan pendidikan kompetensi akan bisa saling berbagi pendapat dan meningkatkan kinerjanya sebagai guru yang professional. KKG dan MGMP merupakan wadah bagi guru untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi tugas keprofesionalannya. Selain itu, guru juga perlu diberdayakan kemampuannya dalam mengimple-mentasikan kompetensi yang telah mereka miliki serta harus terus diberi-kan motivasi oleh pihak manajemen sekolah. Dengan demikian, meningkat-anya penguasaan kompetensi guru maka akan meningkatkan kinerja guru yang akan berdampak pula pada meningkatnya kualitas pendidikan. Maka, perlu adanya peran utama dari pemerintah dalam memberdayakan kembali kemampuan guru-guru pasca sertifikasi. Dalam dunia pendidikan,


(9)

9 pemberdayaan merupakan cara yang sangat praktis dan produktif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari kepala sekolah, para guru, dan para pegawai. Dalam standar kompetensi dan sertifikasi guru, pemberdayaan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja sekolah, melalui kinerja guru agar dapat mencapai tujuan secara optimal, efektif, dan efisien. Pember-dayaan guru melalui standar kompe-tensi dan sertifikasi guru terjadi melalui beberapa tahapan (Hanafiah, 2010: 161). Pertama, guru-guru mengem-bangkan sebuah kesadaran awal bahwa mereka bisa melakukan tindakan untuk meningkatkan kehidupannya dan mem-peroleh seperangkat keterampilan agar mampu bekerja dengan baik. Tahap kedua, mengurangi rasa ketidakmam-puannya dan mengalami peningkatan kepercayaan diri. Tahap ketiga, seiring dengan tumbuhnya keterampilan dan kepercayaan diri, para guru bekerja sama untuk berlatih lebih banyak mengambil keputusan dan memilih sumber-sumber daya yang akan berdampak pada kesejahteraan.

Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan merupakan peran sentral kepala sekolah; Strategi pemberdayaan adalah salah satu cara pengembangan guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman (2003), dapat dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk meberikan wewenang dan tanggung

jawab yang proporasional, menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Cara ini di satu sisi dapat merupakan proses kaderisasi, dan di sisi lain sekaligus sebagai proses peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan.

Pendekatan supervisi pengem-bangan (developmental supervision) bertolak dari kenyataan, bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah proses belajar. Dalam proses supervisi, hubungan antara kepala sekolah analog dengan hubungan antara guru dengan siswa. Guru dalam melayani siswa memiliki kewajiban untuk memahami semua karakteristik siswa. Demikian pula, kepala sekolah dalam melakukan supervisi kepada guru, seyogyanya guru diperhatikan sebagai individu, karena ada perbedaan-perbedaan indi-vidual dalam perkembangan manusia-winya. Perlakuan ini sangat diperlukan, terlebih jika guru dituntut untuk terlibat secara langsung dalam peningkatan kualitas pendidikan. Pendekatan super-visi perlu didasarkan atas perkem-bangan, kebutuhan, dan karakteristik guru. Pendekatan ini erat kaitannya dengan dua unsur penting keefektifan


(10)

10 guru dalam menjalankan tugas kepro-fesionalan, yaitu komitmen dan kemampuan berpikir abstraks. Komit-men guru merupakan banyaknya waktu dan tenaga yang mampu dicurahkan oleh guru tersebut bagi siswa dan mengembangkan profesinya. Komit-men diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi atas tiga kategori, yaitu kepedulian terhadap diri sendiri, terhadap siswa, dan terhadap profesionalisme. Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan kognitif berbasis pengalaman konkrit, mampu mengidentifikasi tindakan kekinian untuk membantu siswa belajar secara efektif, dan mampu mengidentifikasi tindakan yang akan datang yang lebih memberikan kesuksesan pelayanan bagi siswa.

Guru profesional secara teore-tis akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, memberikan layanan pembelajaran kepada siswa untuk belajar secara interaktif, inspira-tif, memotivasi, menantang, dan me-nyenangkan. Pembelajaran seperti itu akan dapat diwujudkan oleh guru, apabila guru secara kontiniu melakukan penelitian tindakan kelas atau PTK. PTK adalah suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif mandiri, yang dapat digunakan dalam proses pengem-bangan kurikulum sekolah, perbaikan sekolah, dan perbaikan kualitas pembe-lajaran di kelas. PTK sangat berman-faat dalam membangun hubungan interpersonal, tipe pembelajaran yang

bervariasi, pengukuran bentuk-bentuk wacana kelas, penyelidikan terhadap manusia dengan melakukan komunika-si interpersonal selektif dan langsung. Kesahihan PTK bersifat personal, dan tidak semata-mata menekankan kesa-hihan metodologis. Para guru dise-yogyakan untuk melakukan PTK seeara berkesinambungan. Praktik pembe-lajaran yang dikritisi dengan kemudian ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan melalui PTK, secara bertahap akan meningkatkan profesionalisme guru. PENUTUP

Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, guru merupakan salah satu faktor yang amat penting; oleh karena itu guru dinyatakan sebagai tenaga professional. Dalam kerangka itulah program sertifikasi guru dilaku-kan supaya guru memiliki penguasaan kompetensi sebagaimana dipersya-ratkan UU Guru dan Dosen. Profe-sionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi, sertifikasi, dan tun-jangan profesi. Ketiga faktor tersebut diprediksi mempengaruhi kualitas pendidikan. Mengingat hasil-hasil pe-nelitian belum mendukung kerangka berpikir seperti itu, maka lahirlah 3 isu terkait dengan sertifikasi guru yaitu: peningkatan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru pasca sertifikasi, rendahnya kualitas proises pembela-jaran yang diampu oleh guru pasca sertifikasi dan perilaku guru yang


(11)

11 kurang profesional. Oleh karena itu perlu pembinaan guru pasca sertifikasi yang harus dilaksanakan secara berke-lanjutan, dikarenakan prinsip mendasar bahwa guru harus merupakan manusia pembelajar (a learning person).

Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mem-pertahankan profesionalismenya seba-gai guru.

Pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru dapat dilakukan melalui upaya pembinaan dan pember-dayaan guru.

Dengan demikian perlu upaya peninjauan lebih mendalam terhadap program sertifikasi guru dalam jabatan, khususnya tujuan dan makna sertifi-kasi, perlu ada upaya pembenahan mind set guru dan perlu ada program perawatan dan pengem-bangan pro-fesionalisme bagi guru-guru yang telah lulus program sertifikasi, khususnya dalam upaya-upaya peningkatan mutu layanan pembelajaran. Pengembangan profesionalisme guru pasca sertifikasi perlu kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengem-bangan, penelitian tindakan kelas.

Badrun Kartowagiran. 2011. Kinerja Guru Profesional (Guru yang Sudah Lulus Sertifikasi Guru dan Sudah Mendapat Tunjangan Profesi) di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Pusat Kajian Pengembangan Sistem Pengujian dan Pusat Kajian Pendidikan Dasar dan Menengah, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta

Deni Koswara, Asep Suryana, Cepi Triatna, 2009. Studi Dampak Program Sertifikasi Guru Terhadap Peningkatan Rofesionalisme dan Mutu di Jawa Barat. file.upi.edu/Direktori/ FIP/JUR._ ADMINISTRASI_PENDIDIK-AN/...

Haryono, 2010. Manajemen Peningkatan Profesionalisme Guru Pasca Sertifikasi, Makalah Disajikan dalam Program Teaching Clinic Pascasertifikasi Guru yang Diselenggrakan oleh Bidang PPTK Dinas Pendidikan Propvinsi Jawa Tengah Tahun 2010, dapat diakses pada http://budisusetyo.typepad.com


(12)

12

Jayengsari, Reksa. 2013. Pengaruh Kompetensi Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Akuntansi Di SMK Se-Kota Bandung. S1 Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia.

Kompas, 2012. Sertifikasi Guru Disorot.

http://tekno.kompas.com/read/2012/08/06/ 11001445/Sertifikasi.Guru.Disorot

Ratna Ayu, 2010. Membangun Kompetensi dan Profesionalisme Guru: Suatu Refleksi Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan. http://ratna-ayu.blogspot.com/ 2010/01/ membangun-kompetensi-dan.html

Republik Indonesia. 2005. Undang- UndangRepublik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta.

Santyarsa, I Wayan. 2008. “Dimensi-Dimensi Teoretis Peningkatan Profesional-isme Guru”. http://www. koranpendidikan.com/artikel-8095.pdf

Siswanta, Jaka. 2009. Meningkatkan Profesionalitas Pendidik Melalui Program Sertifikasi Pendidikan. Jurnal Mudarrisa, 1 (2).

Slameto, 2008. Peran Kepala Sekolah dalam Optimalisasi Kompetensi Pedagogik Guru. Bintek Teaching Clinik Pasca Sertifikasi Bagi Kepala Sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah.

Tim. 2006. Naskah akademik. Jakarta: Ditjen Dikti.

Wuri Sylvia Sarce 2010. Pengaruh Kompetensi Pedagogik Guru Terhadap Prestasi Siswa dalam Mata Pelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 01 Suboh-Situbondo. UIN Malang.


(13)

13

PENINGKATAN KETERAMPILAN PROSES PEMECAHAN MASALAH

DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MENGGUNAKAN MODEL PBL

TERINTEGRASI PENILAIAN AUTENTIK PADA SISWA KELAS VI SDN 2 BENGLE, WONOSEGORO

Sri Giarti sgiarty@gmail.com

SD Negeri Bengle 2, Wonosegoro, Boyolali ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan proses pemecahan masalah, hasil belajar Matematika siswa kelas VI SD Negeri 2 Bengle menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terintegrasi penilaian autentik. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, yang terdiri dari dua siklus. Masing-masing siklus terdiri atas tahapan perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Instrumen pengumpulan data menggunakan rubrik penilaian keterampilan proses pemecahan masalah, dan soal tes Matematika materi Debit air. Analisis data dilaku -kan dengan mengguna-kan analisis deskriptif komparatif yaitu membanding-kan kondisi awal sebelum dilakukan tindakan, hasil siklus 1, dan siklus 2. Hasil penelitian menunjukkan temuan bahwa model PBL terintegrasi penilaian autentik dapat: a) meningkakan keterampilan proses pemecahan masalah matematika siswa kelas VI SD Negeri 2 Bengle, Wonosegoro - Boyolali. Persentase kenaikan kete -rampilan pemecahan masalah matematika sebesar 28,54% untuk siklus 1 dan 35,46 % untuk siklus 2. b) Meningkatkan persentase jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar minimal (KKM) berikut: pada kondisi awal, persentase pencapaian KKM sebesar 30,77% (4 siswa), pada siklus 1 persentase meningkat menjadi 53,84% (7 siswa), dan pada siklus 2 persentase jumlah siswa yang mencapai KKM meningkat menjadi 84,61% (11 siswa).

Kata kunci: keterampilan proses pemecahan masalah, hasil belajar, model pembelajaran PBL, penilaian autentik

PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu matapelajaran bidang ke-SD-an yang menjadi muatan utama dalam ku -rikulum SD/MI Tahun 2006. Namun, pandangan siswa terhadap pelajaran matematika secara umum kurang terta

-rik. Matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit sehingga kurang diminati. Lampiran Permendiknas no -mor 22 tahun 2006 tentang standar isi mata pelajaran matematika SD/MI menjelaskan bahwa pembelajaran Ma -tematika diberikan untuk membekali peserta didik untuk berpikir logis, ana


(14)

-14 litis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan kerja sama dikutip dari (Depdiknas, 2006). Sehingga peserta didik mampu memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kom -petitif. Dari penjelasan tersebut jelas -lah bahwa karakteristik matematika yang memiliki objek kajian abstrak, berkaitan dengan karakteristik siswa SD yaitu senang merasakan atau mela -kukan/memperagakan sesuatu secara langsung.

Kenyataannya tujuan matematika agar siswa mampu berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan kerja sama masih jauh dari harapan. Hasil observasi pe -neliti dan teman sejawat pada pembe -lajaran di kelas 6 SD N 2 Bengle menemukan permasalahan bahwa pem -belajaran matematika masih berpusat pada guru. Guru masih menggunakan metode konvensional, dimana guru ha -nya memberikan ceramah, pemberian contoh, dan pemberian tugas. Sehingga siswa kurang terlibat dalam proses pembelajaran, cenderung pasif, hanya mendengarkan penjelasan guru dan mengerjakan soal-soal tanpa ada kegia -tan yang melibatkan siswa secara langsung.

Kondisi pembelajaran Matemati -ka yang pasif dan hanya mendengar-kan tersebut berdampak pada rendahnya keterampilan proses pemecahan masa -lah matematika dan hasil belajarnya.

Pada pembelajaran pokok bahasan me -nyelesaikan masalah penggunaan akar dan pangkat, hanya 4 siswa (30,77%) menunjukkan keterampilan proses pe -mecahan masalah matematika pada kategori tinggi, 65 siswa (38,46%) pa -da kategori se-dang, -dan 4 siswa (30,77%) pada kategori rendah.

Rendahnya keterampilan proses pemecahan masalah matematika ini berdampak pada hasil belajar siswa. Data awal tingkat kompetensi hasil belajar siswa dengan KKM 60 ternyata hanya ada 3 siswa (30,77%) yang telah mencapai KKM dan rerata skornya berada pada kategori tinggi. Sedangkan 9 siswa (69,23%) belum mencapai KKM, dengan rincian 5 siswa (38,46%) pada rerata skor kategori sedang dan 4 siswa (30,77%) pada rerata skor kate- gori rendah.

Dari hasil studi pendahuluan ten -tang keterampilan proses pemecahan masalah matematika dan hasil belajar siswa, dapat disimpulkan bahwa masih terjadi kesenjangan yang cukup tinggi dalam hal keterampilan pemecahan masalah matematika dan hasil belajar siswa. Besarnya kesenjangan penca -paian hasil belajar siswa yang telah mencapai KKM sebesar 69,23%. Meli -hat kondisi seperti ini, peneliti berupaya melakukan perbaikan pembe -lajaran dalam rangka meningkatkan keterampilan proses pemecahan masa -lah matematika dan hasil belajarnya. Kajian pustaka yang dilakukan peneliti menemukan informasi berbagai model


(15)

15 yang sangat potensial untuk mening -katkan keterampilan proses pemecahan masalah matematika dan hasil belajar siswa

Slameto (2011: 7) menyebutkan model pembelajaran inovatif dian -taranya; Cooperative Learning, Con -textual Teaching and Learning, Rea -listik Mathematics Education, Problem Based Learning, Problem Promting, Cycle Learning, Examples and Non -Examples. Dari berbagai model pem -belajaran yang ada, model PBL me -rupakan model pembelajaran yang sa -ngat potensial untuk meningkatkan hasil belajar dan meningkatkan kete -rampilan proses pemecahan masalah matematika. Potensi PBL tersebut oleh karena sintak pembelajarnnya relevan dengan keterampilan proses pemeca -han masalah matematika.

Berdasarkan latar belakang seper -ti tersebut di atas, permasalahan pene -litian yang akan dipecahkan dalam PTK ini adalah apakah model pembe -lajaran PBL terintegrasi penilaian autentik dapat meningkakan keteram -pilan proses pemecahan masalah Mate -matika dan seberapa tinggi peningka -tan keterampilan proses pemecahan masalah matematika dan hasil belajar siswa tersebut bisa tercapai.

KAJIAN PUSTAKA

Hakikat Matematika dan Pembela -jaran Matematika

Depdiknas (2006) menjelaskan bahwa hakikat matematika merupakan “bahan kajian yang memiliki konsep

abstrak dan dibangun melalui konsep penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sudah diterima sehingga keterkaitan antara konsep dalam matematika sangat luas dan jelas”.

Menurut Wahyudi (2012:10), “matematika berkenaan dengan ide (gagasan-gagasan), aturan-aturan, hu -bungan-hubungan, yang diatur secara logis sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Mate -matika merupakan pengetahuan yang disusun secara deduktif dan dapat digunakan untuk mendidik dan melatih untuk berpikir secara logik”. Sejalan dengan Wahyudi, Heruman (2007:27) mengemukakan “matematika merupa -kan ilmu pengetahuan yang mempe -lajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya”. Hal ini berarti belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan, penulis me -nyimpulkan bahwa matematika meru -pakan suatu pelajaran yang tersusun secara beraturan, logis, berjenjang dari yang paling mudah hingga ke paling rumit. Sedangkan pembelajaran mate -matika pada hakikatnya adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan memungkinkan seseorang (siswa) me -laksanakan kegiatan belajar matemati


(16)

-16 ka, dan proses tersebut berpusat pada guru mengajar matematika. Pembela -jaran matematika seharusnya mampu menanamkan konsep matematika seca -ra jelas, tepat dan aku-rat kepada siswa sesuai dengan jenjang kelasnya.

Tentang hakikat Matematika ini, lebih lanjut lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006, menjelaskan bah -wa Matematika merupakan ilmu uni -versal yang mendasari perkembangan tekno- logi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mema- jukan daya pikir manusia (Depdiknas, 2006). Perkembangan pesat teknologi informasi dan komu -nikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemam -puan memperoleh, mengelola, dan me -manfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggu -nakan matematika dalam pemecahan

masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.

Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masa -lah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkat -kan kemampuan memecah-kan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.

Pembelajaran matematika hen -daknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan menga -jukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelaja -ran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya.

Melihat hakikat dan karakterisik pembelajaran matematika seperti telah diuraikan diatas, maka para guru perlu mempertimbangkan rancangan tentang keterampilan proses pemecahan masa -lah matematika, memberikan pengala -man autentik pada siswa, menggu -nakan model yang dapat meningkatkan keterampilan proses misalnya PBL dan merancang penilaian yang dapat mengukur proses keterangan secara


(17)

17 autentik misalnya penilaian autentik. Uraian secara medalam atau mendetail tentang keterampilan proses pemeca -han masalah matematika, PBL dan pe -nilaian autentik pada bagian tersendiri. Keterampilan Proses Pemecahan Masalah Matematika

Menurut Wahyudi & Kriswan -dani (2010:53) Keterampilan proses merupakan kegiatan belajar mengajar yang berfokus pada penelitian siswa secara aktif dan kreatif dalam proses memperoleh hasil belajar. Hasil belajar yang diperoleh siswa tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan saja melainkan bagaimana proses mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat terpenuhi.

Nyimas Aisyah (2008:5) menye -butkan prinsip-prinsip keteram- pilan proses matematika meliputi: 1) menga -mati, yaitu kegiatan yang terarah untuk menangkap gejala atau fenomena sehingga mampu membedakan yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan pokok permasalahan menggunakan indera secara optimal dalam rangka memperoleh informasi yang lengkap atau memadai. 2) menghitung, merupa -kan keterampilan dasar yang diguna -kan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil dari perhitungan dapat disajikan dalam bentuk tabel, grafit dan atau histogram. 3) mengukur, merupakan keterampilan dimana seseorang dapat mengetahui sesuatu yang diamati dengan mengu -kur apa yang diamatinya. 4) mengkla -sifikasi, merupakan kemampuan me

-ngelompokkan atau menggolongkan sesuatuyang berupa benda, informasi, fakta dan gagasan. 5) memenukan hubungan, merupakan kemampu -anmenentukan hubungan antara sikap dan tindakan yang sesuai. 6) membuat prediksi, merupakan ke -mampuan menyusun hipotesis atau suatu perkiraan untuk menerangkan suatu kejadian atau pengamatan tertentu. 7) melaksanakan penelitian, merupakan kegiatan penyelidikan untuk menguji gagasan-gagasan melalui kegiatan eksperimen praktis. 8) mengumpulkan dan menganalisis data, merupakan kemampuan menge -nai bagaimana cara-cara mengumpul -kan data dalam penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif. 9) menginterprestasikan data, merupa -kankemampuan untuk menafsirkan data yang telah dikumpulkan dari berbagai kegiaan. 10) mengkomuni -kasikan hasil, merupakan kegiatan untuk mengkomunikasikan proses dari hasil perolehan kepada berbagai pihak yang berkepentingan, baik dalam bentuk kata-kata, grafik, bagan mau -pun tabel secara lisan mau-pun tertulis.

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa pada prinsipnya pendekatan keterampilan proses pemecahan masa -lah memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk menemukan dan mengkontruksi sendiri pemahaman ide dan konsep matematika melalui kegia -tan pemecahan masalah matematika. Tantangan bagi guru SD dalam


(18)

18 mengampu mata pelajaran Matematika adalah seberapa tinggi tingkat pema -haman terhadap hakikat dan karakteris -tik Matema-tika, dimensi-dimensi Ma -tematika dan konsisten dalam me -milih model pembelajaran yang tepat. Apabila tantangan ini dijawab dengan tepat, maka dimensi-dimensi Matema -tika, yaitu Keterampilan proses peme -cahan masalah matematika, dan hasil belajar siswa dapat ditingkatkan. Model Pembelajaran Problem Based

Learning (PBL)

MenurutSlameto(2011:7)Model PBL merupakan model pembelajaran model pembelajaran yang melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorien -tasi pada masalah autentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merang -sang kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Senada dengan Slameto, Hosnan (2014: 295) mengemukakan bahwa Model Problem PBL merupakan model pembelajaran dengan pendekatan pem -belajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun sendiri, menumbuhkan kembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiry, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri.

Simpulan ini senada dengan ketentuan dalam Kemendikbud (2014), yang menyatakan bahwa Model PBL merupakan sebuah pendekatan pembe -lajaran yang menyajikan masalah kon -tekstual sehingga merangsang peserta

didik untuk belajar. Model PBL dila -kukan dengan pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemu -dian dilakukan pemecahan masalah oleh peserta didik yang diharapkan dapat menambah keterampilan peserta didik dalam pencapaian materi pembe -lajaran. Lebih lanjut Permendikbud (2014), menjelaskan bahwa langkah -langkah atau sintak model PBL meli -puti orientasi permasalahan, pengor -ganisasian atau perancangan kegiatan penyelidikan, melakukan penyelidikan untuk memecahkan masalah, mempre -sentasikan hasil penyelidikan, dan mengevaluasi proses pemecahan masa -lah. Dalam model pembelajaran PBL, berawal dari guru mengajukan masalah autentik ataupun mengorientasikan sis -wa kepada masalah. Selanjutnya, akan memfasilitasi penyelidikan pada saat eksperimen/pengamatan,memfasilitasi dialog antara siswa, juga mendukung proses belajar siswa.

PBL merupakan pembelajaran, penyelidikan autentik, kerja sama dan menghasilkan karya serta peragaan sehingga pembelajaran tidak hanya pada perolehan yang menggunakan masalah autentik yang tidak terstruktur dan bersifat terbuka dalam mengem -bangkan keterampilan menyelesaikan masalah dan berpikir kritis dan membangun pengetahuan baru. Ber -kaitan dengan hakikat dan langkah -langkah PBL ini, Aisyah (2011:7) menyebutkan keunggulan model PBL berikut: 1) memungkinkan siswa


(19)

19 menjadi melek teknologi, melengkapi siswa dengan keterampilan dan rasa percaya diri untuk sukses dalam kompetisi global, dan juga mengajar -kan inti kurikulum dengan cara interdisiplin. 2) Meningkatkan kualitas pembelajaran, mengubah pola menga -jar dari memberitahu ke melakukan, menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan membuat keputusan sendiri, serta memberi kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi tentang bagaimana mereka akan menemukan jawaban pertanyaan atau memecahkan. 3) Menciptakan kondisi siswa menjadi aktif. 4) Menggali kreatifitas siswa dalam memecahkan masalah. Namun demi -kian, PBL juga memiliki kelemahan, terutama perlu waktu yang lama untuk menyelesaikan satu siklus pembela -jaran.

Berdasarkan hakikat Matematika, karakteristik pembelajaran Matematika seperti telah diuraikan di atas, maka model pembelajaran PBL dapat dijadikan salah satu alternatif model pembelajaran Matematika di SD. Implementasi model pembelajaran PBL, secara teoretik dapat meningka -tkan kompetensi keterampilan proses peme- cahan masalah matematika para siswa yang nantinya akan berdampak pada penguasaan konsep-konsep matematika. Berbagai penelitian tindakan mem- buktikan potensi PBL tersebut secara empirik. Siswantara, Manuaba & Meter (2013), meneliti

tentang penerapan model Problem Based Learning SD Negeri 8 Kesiman menemukan hasil bahwa model Problem Based Learning dapat me -ningkatkan aktivitas dan hasil belajar IPA. Wulandari, Budi & Suryandari (2013) melakukan PTK dan menemu -kan hasil bahwa penerapan Model PBL dapat meningkatkan proses dan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri Mudal Purworejo. Apriani, Riska (2013) melaporkan hasil penelitian berikut: a) penggunaan Model Problem Based Learning dapat meningkatkan performansi guru, b) aktivitas siswa kelas IV SD Negeri Randugunting 3 Kota Tegal. dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA. Lohman & Finkelstein (2002) melakukan peneli -tian dengan judul Designing Cased in Problem Learning to Foster Problem -Solving Skill melaporkan bahwa model Problem Based Learning dapat meningkatkan keterampilan pemeca -han masalah.

Uraian tentang hakikat PBL dan temuan berbagai penelitian tersebut di atas berimplikasi pada desain pembe -lajaran dan penilaian pembe-lajaran. Para guru perlu melakukan peran -cangan pembelajaran dan penilaian dengan baik. Penilaian tidak hanya cukup dengan tes melainkan melalui penilaian autentik yang mencangkup ranah sikap, keterampilan dan pengeta -huan. Uraian tentang Penilaian autentik dalam pembelajaran martematika akan dibahas pada bagian selanjutnya.


(20)

20 Tujuan dari Model Problem Based Learning (PBL) untuk membantu siswa memperoleh pengalaman dan mengubah pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau norma sebagai pengen -dali sikap dan prilaku siswa.

Mencermati uraian tentang kete -rampilan proses pemecahan masa- lah, sintak PBL dan potensi PBL seperti di atas, sebenarnya dapat disepadankan dengan keterampilan proses ilmiah dalam pendekatan saintifik. Langkah orientasi permasalahan dilakukan dengan cara mengamati permasalahan dalam pembelajaran matematika. Kegiatan menanya sejalan dengan aktivitas pengorganisasian atau peran -cangan kegiatan penyelidikan dengan merumuskan permasalahan penelitian. Kegiatan pembelajaran dengan mela -kukan penyelidikan untuk memecah -kan masalah dalam sintak PBL relevan dengan mengumpulkan informasi dan mengasosiasikan. Kegiatan mempre -sentasikan hasil penyelidikan dan me -ngevaluasi proses pemecahan masalah merupakan kegiatan yang relevan dengan kegiatan mengkomunikasikan dalam pendekatan saintifik.

Kesepadanan sintak PBL dengan keterampilan proses ilmiah dalam pendekatan saintifik nampaknya juga relevan dengan keterampilan proses pemecahan masalah dalam pembe -lajaran matematika. Kegiatan menga -mati dalam proses keterampilan peme -cahan masalah matematika sejalan de -ngan proses mengamati dalam pen

-dekatan saintifik dan kegiatan orientasi permasalahan dalam PBL. Kegiatan pengorganisasian atau perancangan ke -giatan penyelidikan dalam sintak PBL merupakan kegiatan yang relevan dengan kegiatan menghitung, mengu -kur, mengklasifikasi, menemukan hu -bungan, dan memprediksi. Kegiatan melakukan penyelidikan dalam lang -kah PBL berhubungan dengan kegiatan melaksanakan penelitian serta me -ngumpulkan, menganalisis dan meng -interpretasikan data dalam keteram -pilan proses pemecahan masalah matematika. Aktivitas mempresentasi -kan dan mengevaluasi hasil penye -lidikan sejalan dengan kegiatan meng -komunikasikan dalam keterampilan proses pemecahan masalah matema -tika.

Dalam penelitian PTK ini lima pembelajaran didesain berdasarkan sin -tak dari PBL dan komponen-komponen keterampilan proses pemecahan masa -lah matematika menjadi obyek amatan dalam proses pembelajaran.

Penilaian Autentik

Menurut Endang Poerwanti (2008:3) Penilaian autentik atau peni -laian alternatif merupakan upaya mem -perbaiki dan melengkapi tes, sehingga penilaian hasil belajar tidak hanya berhubungan dengan hasil akhir tetapi merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran.

Berbeda dengan definisi Endang Poerwanti, Hosnan (2014:387) mende -finisikan penilaian autentik sebagai


(21)

21 pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Dari definisi penilaian autentik yang dikemukakan oleh Endang Poerwanti (2008:3) dan Hosnan (2014: 387) tersebut di atas, ada benang merah tentang definisi penilaian autentik yaitu pengukuran hasil belajar siswa meng -gambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, men- coba, membangun jejaring, dan lain- lain.

Menurut Muslich (2009:47) menyebutkan bahwa penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berba -gai data yang bisa memberikan gamba -ran atau informasi tenang perkemba -ngan pengalaman belajar siswa. Gambaran pengalaman belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar siswa mengalami proses belajar yang benar.

Hosnan (2014:396) mengungkap -kan bahwa teknik penilaian autentik terdiri dari tiga aspek penilaian yaitu: 1) penilaian sikap, penilaian yang dilaku- kan menggunakan lembar observasi kinerja saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu, berdiskusi maupun saat presentasi menggunakan. 2) penilaian pengetahuan, penilaian yang dilakukan menggunakan instru -men tes tertulis, instru-men tes lisan dan instrumen penugasan. 3) penilaian proses atau keterampilan, yaitu penilaian yang dilakukan mengguna -kan penilaian kinerja melalui tes

praktik, projek, dan penilaian portofolio.

Simpulan ini senada dengan ke -tentuan dalam lampiran Permendiknas No 81a Tahun 2013, yang menyatakan bahwa penilaian autentik merupakan penilaian dan pembelajaran secara terpadu. Penilaian autentik harus men -cerminkan masalah dunia nyata, bukan dunia sekolah. Menggunakan berbagai cara dan kriteria holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan, kete -rampilan, dan sikap). Penilaian auten -tik tidak hanya mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih menekankan mengukur apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik (Permendiknas, 2013:56).

Berpijak pada permasalahan kesenjangan proses dan hasil pem -belajaran matematika dan potensi PBL serta keterampilan proses pemecahan masalah matematika seperti telah diuraikan di atas, maka kerangka pikir PTK ini dapat dirumuskan seperti da -lam uraian berikut. Temuan awal tentang kondisi pembelajaran Matema -tika kelas VI di SD N Bengle 2 Wonosegoro - Boyolali menunjukkan bahwa para siswa kurang memiliki keterampilan proses pemecahan masa -lah Matematika dan berdampak pada hasil belajar yang belum maksimal. Di sisi lain model pembelajaran yang digunakan guru belum menggunakan model pembelajaran yang sesuai de -ngan karakteristik Matematika. Oleh karena itu permasalahan ini akan


(22)

22 diatasi dengan menggunakan model Problem Based Learning dan penilaian autentik.

Langkah-langkah pembelajaran pada kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir pembelajaran dirancang sesuai dengan langkah-langkah model pembelajaran PBL. Pada kegiatan ini, para siswa diajak untuk melakukan kegiatan: 1) mengorientasi peserta didik terhadap masalah yaitu mem -prediksi dan mengajukan hipotesis berdasarkan perkiraan atas kecenderu -ngan atau pola hubu-ngan antar data atau informasi tentang Kompetensi Dasar menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan satuan debit. 2) Kemudian para siswa diajak mengor -ganisasikan masalah dengan mencari alternatif strategi untuk menyelesaikan masalah mengenaisatuan debit. 3) Selanjutnya siswa melakukan perco -baan secara kelompok untuk mengum -pulkan data atau informasi. Kegiatan berikutnya 4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, yaitu mengkomuni- kasikan secara tertulis laporan dari proses merumuskan hipotesis sampai dengan menyim -pulkan hasilnya. 5) Kemudian kegiatan terakhir, siswa diminta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yaitu guru dan siswa mengevaluasi dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yang dipresentasi -kan setiap kelompok.

Dengan langkah-langkah pembe -lajaran seperti diuraikan dalam kerang

-ka pikir di atas, tujuan dari model pembelajaran PBL akan tercapai. Tujuan tersebut adalah meningkatnya kompetensi keterampilan proses pemecahan masalah maematika dan peningkatan penguasaan konsep -konsep hasil belajar Matematika. METODE PENELITIAN

Penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilakukan di SD Negeri 2 Bengle, Kecamatan Wonosegoro - Boyolali pada mata pelajaran Matematika kelas VI Semester 1 Tahun Pelajaran 2014/ 2015. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini dilakukan melalui tahapan penyusunan proposal penelitian, penyu -sunan instrument, pelaksanaan tindakan dalam rangka pengumpulan data, anali -sis data dan pembahasan hasil pene -litian serta penyusunan laporan PTK. Waktu pelaksanaan setiap tahap PTK adalah sebagai berikut: 1) penyusunan proposal penelitian dilakukan pada Juni tahun 2014; 2) Penyusunan instrumen PTK dilakukan pada Agustus minggu ke -3 tahun 2014; 3) Pelaksanaan tinda -kan siklus 1 dilaku-kan pada Agustus minggu ke-4 tahun 2014. Siklus 2 dilakukan pada September minggu ke-1 tahun 2014. Penentuan tindakan ini karena pertimbangan urutan pokok bahasan pada kelas VI dan kalender pendidikan di SDN 2 Bengle.

Subyek yang dilibatkan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas VI yang berjumlah 13 yaitu 7 laki-laki dan 6 perempuan.


(23)

23 Sumber data primer berasal dari hasil pengukuran variabel penelitian tinda -kan kelas berikut: 1) skor hasil belajar siswa sebagai cerminan dari pengua -saan konsep matematika, 2) skor ting -kat keterampilan proses pemecahan masalah. Sumber data sekunder berasal dari hasil pengamatan teman sejawat terhadap aktivitas pembelajaran, yang terdiri dari: 1) tingkat aktivitas guru dan 2) tingkat aktivitas siswa dalam pembelajaran.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik tes dan non tes. Instrumen non tes berupa: 1) instrumen pengumpulan data hasil belajar Matematika meng- gunakan test hasil belajar, 2) instrumen pengumpu -lan data mengenai keterampi-lan proses pemecahan masalah menggunakan rubik keterampilan proses pemecahan masalah. Kisi-kisi instrumen pengu -kuran keterampilan proses pemecahan masalah mencakup mencakup 10 item dari 10 komponen, yaitu komponen keterampilan mengamati (item no. 5), mengihitung (item no. 3), mengukur (no. 7), mengklasifikasi (item no. 1), menemukan hubungan (no. 9), membuat prediksi (item no. 6), melaksanakan penelitian (item no 10.), mengumpulkan dan menganalisa data (item no. 4), menginterpretasikan data (item no. 2), mengkomunikasikan hasil (item no. 8). Kisi-kisi instrumen pengukuran hasil belajar Matematika mencakup 10 item soal, terdiri dari: menjelaskan penger -tian debit (item no. 1), melakukan

percobaan untuk menemukan rumus debit, volume dan waktu (item no. 3, 5, dan 8) menghitung besar debit (item no. 2, 4, 6,7, 9, dan 10).

Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif komparatif. Data kuantitatif yang diperoleh di deskripsikan dalam bentuk kata-kata atau penjelasan. Baik data yang diperoleh dari hasil tes siswa. Rubik keterampilan proses siswa. Selanjutkan dilakukan komparasi data setiap siklus untuk memastikan ada tidaknya peningkatan hasil belajar siswa, peningkatan keterampilan pro -ses pemecahan masalah matematika. Sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini ditetapkan indikator kinerja sebagi berikut: 1) Persentase jumlah siswa yang mencapai KKM sebesar 50% untuk siklus 1, dan siklus 2 sebesar 75%; 2) meningkatnya keterampilan proses sains minimal sebesar 20% untuk setiap siklus.

Prosedur PTK ini terdiri dari empat tahapan yang saling terkait dan berkesinambungan, yaitu perenca -naan (planning), tindakan (action), observasi (observe), serta refleksi (reflect). (Ditjen Dikti, 1999:25). HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Hasil Tiap Siklus dan Antar Siklus

Setelah melakukan analisa terha -dap data yang diperoleh dari dua siklus yang dilaksanakan, maka dapat disim


(24)

-24 pulkan bahwa penggunaan model PBL materi Debit air menunjukkan pening -katan Keterampilan proses pemecahan masalah dan ketuntasan hasil belajar siswa. Tabel 1 merangkum komparasi

tingkat Keterampilan Proses Pemeca -han Masalah dari kondisi awal, siklus 1 sampai siklus 2

Tabel 1 Komparasi Keterampilan proses pemecahan masalah Pembelajaran Tingkat Keterampilan Pemecahan Masalah

Matematila

Mean % Kenaikan

KondisiAwal 23,62 -

Siklus 1 28,54 20,83

Siklus 2 35,46 23,55

Dari data dalam Tabel 4.9 diatas, diperoleh temuan: a) pada kondisi awal, rata-rata tingkat keteram -pilan proses pemecahan masalah mate -matika siswa baru mencapai 23,62 (skor maksimal ideal 40); b) pada siklus 1, rata-rata tingkat keterampilan proses pemecahan masalah matematika siswa mencapai 28,54. Capaian ini menunjukkan peningkatan keterampi -lan sebesar 20,83%; c) pada siklus 2, rata-rata keterampilan proses pemeca -han masalah matematika mencapai 35,46. Data ini menunjukkan pening -katan keterampilan proses sains sebesar 23,55%.

Kenaikan mean hasil belajar dan persentase jumlah ketuntasan belajar siswa dirangkum dalam Gambar 1. Dari Gambar 1 diperoleh data berikut: a) pada kondisi awal, mean hasil belajar baru 40, sedangkan persentase jumlah siswa yang mencapai KKM hanya 23,07% (3 siswa); b) pada siklus 1, mean hasil belajar menjadi 62,31 dan persentase meningkat menjadi 53,84% (7 siswa); c) pada siklus 2, mean hasil belajar meningkat menjadi 75,38 dan persentase jumlah siswa yang mencapai KKM meningkat menjadi 84,61% (11 siswa)


(25)

25 Temuan Penelitian dan Pembahasan 1. Keberhasilan model PBL dalam

meningkatkan keterampilan proses pemecahan masalah matematika

Data pada tabel keterampilan proses pemecahan masalah mate -matika kondisi awal, siklus 1 dan siklus 2 menunjukkan temuan rerata keterampilan proses pemecahan masalah matematika pada kondisi awal 23,62 pada siklus 1 28,54 dan siklus 2 35.46. Temuan ini mengin -dikasikan adanya peningkatan ting -kat keterampilan proses pemecahan masalah matematika. Besaran peningkatan 20,83% pada siklus 1 dan 23,556% pada siklus 2. Jika dibandingkan dengan indikator kinerja 20% ternyata temuan siklus 1 dan 2 tersebut telah mencapai keberhasilan.

Keberhasilan penelitian ini bermakna bahwa siswa mampu mengamati, mengukur, mengklasi -fikasi, menemukan hubungan, mem -buat prediksi, melaksanakan peneli -tian, mengumpulkan dan mengana -lisis data, menginterprestasikan data, mengkomunikasikan hasil Temuan ini sejalan dengan penelitian Siswan -tara, Manuaba & Meter (2013), Wulandari, Budi & Suryandari (2013), Apriani, Riska (2013) dan Lohman & Finkelstein (2002). 2. Keberhasilan model PBL dalam

meningkatkan hasil belajar siswa

Data pada grafik 1 hasil belajar siswa kondisi awal, siklus 1 dan siklus 2 menunjukkan temuan kondisi awal, mean 40, pada siklus 1 mean 62,31, pada siklus 2 mean 75,38. Temuan ini mengindikasikan adanya peningkatan hasil belajar siswa. Besaran peningkatan 53,84% pada siklus 1 dan 84,61% pada siklus 2. Jika dibandingkan dengan indikator kinerja 50% untuk siklus 1, 75% untuk siklus 2 ternyata temu- an siklus 1 dan 2 tersebut telah mencapai keberhasilan.

Hasil Temuan ini sejalan de -ngan penelitian Siswantara, Manu -aba & Meter (2013), Budi & Sur -yandari (2013), Apriani, Riska (2013).

Keampuhan model PBL mampu meningkatkan keterampilan pemeca -han masalah matematika dan hasil belajar siswa. Keampuhan ini terbukti -nya dalam sintak/langkah pembela -jaran, 1) sintak satu memberikan orien -tasi permasalahan pada siswa terbukti siswa mampu mengamati. 2) sintak kedua Mengorganisir siswa untuk menelititerbukti siswa mampu menga -mati. 3) sintak ketiga melakukan penyelidikan terbukti siswa meng -hitung, mengukur, mengklasifikasi, menemukan hubungan, memprediksi, melaksanakan penelitian, mengumpul -kan dan menganalisis data, mengin -terpertasikan data. 4) sintak keempat mempresentasikan hasil pemecahan


(26)

26 terbukti siswa mampu mengkomunika -sikan hasil. 5) sintak kelima meng -evaluasi proses pemecahan masalah terbukti siswa mampu mengkomuni -kasikan hasil.

Temuan ini sejalan dengan penelitian Siswantara, Manuaba & Meter (2013), Wulandari, Budi & Suryandari (2013), Apriani, Riska (2013) dan Lohman & Finkelstein (2002).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Model Pembelajaran PBL dan penilai -an autentik dapat:

1. Meningkakan keterampilan proses pemecahan masalah Matematika siswa kelas VI SD Negeri 2 Bengle, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali sebesar 28,54% pada siklus 1 dan pada siklus 2 sebesar 35.46%.

2. Meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI SD Negeri 2 Bengle Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali 53,84% pada siklus 1 dan pada siklus 2 sebesar 84,61%.

Saran

Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah, para guru hendaknya: a) menggunakan model pembelajaran PBL dalam pembelajaran matematika, b) melatih siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran di kelas dan c) mengembangkan kete -rampilan proses pemecahan masalah matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, (2011). Perbedaan Problem Based Learning dan Problem Solving. http://susantojk.blogspot.com/2011/07/problem-based-learning-dan -problem.html. Diakses tanggal 11 Agustus 2014.

Apriani Riska (2013). Peningkatan Pembelajaran Perubahan Lingkungan Melaui Model Problem Based Learning pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Randugunting 3 Kota Tegal. Skripsi UNNES Semarang Tidak diterbitkan.

Depdiknas. (2006). Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Kurikulum SD/MI tahun 2006. Jakarta: Depdiknas.


(27)

27

Heruman. (2007). Model pembelajaran matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Hosnan. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.

Kemendikbud, (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Lohman & Finkelstein. (2002). Designing Cased in Problem Learning to Foster Problem-Solving Skill. Research in Dental Education Jurnal, 6 (1):121– 127.

Muslich, M. (2009). KTSP, Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Nyimas Aisyah. (2008). Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi..

Siswantara, Manuaba & Meter (2013). Penerapan Model Problem Based Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD Negeri 8 Kesiman. Jurnal Garuda Portal,(1):1-10.

Slameto (2011). Sertifikasi Guru Bahan Ajar. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Wahyudi & Kriswandani. (2010). Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Salatiga: UKSW

Wahyudi. (2012). Matematika realistik dan implementasinya dalam proses pembelajaran matematika. Salatiga: UKSW.

Wulandari, Budi & Suryandari. (2013). Penerapan Model PBL (Problem Based Learning) Pada Pembelajaran IPA Siswa Kelas V SD. Jurnal Kalam Cendekiawan PGSD Kebumen,( 1):13-17.


(28)

28

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN

TWO STAY TWO

STRAY

BERBASIS

CTL

UNTUK MENINGKATKAN HASIL

BELAJAR SISWA KELAS IV SD NEGERI KARANGREJO 2

DEMPET, DEMAK.

Hartatik

SD N Karangrejo 2 Dempet-Demak

ABSTRAK

SD Negeri Karangrejo 2 terletak di Kecamatan Dempet Kabupaten Demak sangat jauh dari pusat Kecamatan. SD Negeri Karangrejo 2 termasuk SD dalam kategori ranking 10 besar di Kecamatan Dempet. Oleh karena itu potensi peserta didik SDN Karangrejo 2 termasuk cukup baik. Potensi tersebut perlu ditumbuhkembangkan. Berdasarkan data nilai guru, rata–rata nilai peserta didik kelas IV masih rendah, yaitu 6,5. Berdasarkan kondisi awal, peneliti menerapkan Model Pembelajaran Two Stay Two Stray pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam khususnya dalam materi pokok Rangka Manusia. Rumusan masalahnya, bagaimana meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas IV SDN Karangrejo 2 dalam materi pokok Rangka Manusia? Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik Kelas IV SDN Karangrejo 2 dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam khususnya pada materi pokok Rangka Manusia. (2) Untuk meningkatkan aktifitas belajar peserta didik kelas IV SDN Karangrejo 2 dalam mata pelajaran IPA khususnya pada materi pokok Rangka Manusia. Setelah PTK dilaksanakan, maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: (1) Rata– rata hasil belajar peserata didik kelas IV SDN Karangrejo 2 dalam mata pelajaran IPA khususnya pada meteri pokok Rangka Manusia dapat ditingkatkan, yaitu 7,2. (2) Aktifitas belajar peserata didik setelah diterapkan model pembelajaran Two Stay Two Stray dapat meningkat, solid, dan terkoordinasi. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka dapat disarankan sebagai berikut: (1) Perlu dilakukan PTK lanjutan untuk materi pokok yang lain pada pelajaran IPA. (2) Model pembelajaran Two Stay Two Stray dapat diterapkan untuk kelas–kelas yang lain di SDN Karangrejo 2 Kecamatan Dempet.

Kata kunci : Two Stay Two Stray, CTL, IPA.

PENDAHULUAN

Mata pelajaran Ilmu Pengeta-huan Alam SD merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat penting dalam hal pembekalan untuk melanjut-kan sekolah di tingkat yang lebih tinggi

dan untuk diterapkan pada kehidupan sehari-hari di masyarakat. IPA juga merupakan salah satu mata pelajaran UASBN sejak tahun pelajaran 2007-/2008.


(29)

29 SD Negeri Karangrejo 2 adalah sebuah SD yang terletak di desa yang masyarakatnya belum sepenuhnya menyadari akan pentingnya pendi-dikan. Mereka sekolah hanya apa adanya, sekedar mengikuti arus. Minat belajar peserta didik juga sangat rendah. Selama ini banyak siswa penulis yang menganggap mata pelajaran IPA sebagai momok, bahkan dianggap sebagai mata pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan menjemukan. Keadaan ini berdampak pada aktivitas siswa yang sangat memprihatinkan. Masalah nyata, jelas dan mendesak untuk diselesaikan adalah sebagai berikut.a). Ada 3 peserta didik kelas IV yang nilai Akhir Semester tidak tuntas. Kompetensi para peserta didik untuk mengerjakan soal akhir semester belum baik dan perlu ditingkatkan. b). Berdasarkan data nilai guru, rata-rata nilai peserta didik kelas IV untuk materi pokok Rangka Manusia masih rendah yaitu 6,5. Rata-rata ini masih bisa ditingkatkan agar menjadi lebih besar dari 6,5. c).Aktivitas belajar peserta didik kurang berkembang. Dalam belajar kelompok, masih ada beberapa kelompok yang pasif. Keberanian peserta didik untuk bertanya kepada guru dan yang berani maju ke depan kelas untuk mengerjakan tugas tak lebih dari 2 anak. Penyebab masalahnya sangat jelas, yaitu: a). tidak semua peserta didik yang masuk ke SD Negeri Karangrejo 2, memiliki minat di

bidang IPA; b). guru belum memperoleh cara mengajar yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dalam pelajaran IPA.

Dari uraian di atas dipandang perlu untuk mencari model pembela-jaran yang tepat dan menarik, agar proses pembelajaran semakin efektif dan kompetensi dasar peserta didik dapat secepatnya tercapai. Secara kolaburatif, penulis memilih model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis CTL ( Contextual Teaching and Learning) untuk meningkatkan prestasi peserta didik kelas IV SD Negeri Karangrejo 2 pada materi pokok Rangka Manusia. Diharapkan dengan diterapkanya model pembela-jaran Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu) berbasis CTL ini, maka hasil belajar peserta didik dapat meningkat. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas IV SD Negeri Karangrejo 2 dalam materi pokok Rangka Manusia?” Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah menigkatnya hasil dan aktifitas belajar peserta didik dalam mempelajari materi pokok rangka manusia dengan menggunakan model pembelajaran Two Stay Two Stray.

Penelitian tindakan kelas ini diharapkan memberikan manfaat bagi siswa, guru dan sekolah. Bagi siswa diharapkan hasil belajar dan aktifitas siswa dapat meningkat. Bagi guru


(30)

30 diharapkan adanya inovasi model pembelajaran yang merupakan sumbangan pemikiran dan pengabdian guru dalam turut serta mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Selain itu bermanfaat pula bagi SD Negeri Karangrejo 2 diantaranya diperoleh panduan inovasi model pembelajaran Two Stay Two Stray yang diharapkan dapat dipakai untuk kelas – kelas lainnya di SD Negeri Karangrejo 2, dapat mengurangi jumlah peserta didik yang nilainya tidak tuntas, dapat meningkatkan perolehan nilai pada Ujian Sekolah, dapat meningkatkan peringkat SD Negeri Karangrejo 2 ditingkat Kecamatan.

KAJIAN PUSTAKA

KTSP dan Pendekatan Kontekstual Saat ini sedang aktif dilaksakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum 2004 (KBK). KTSP ini juga berbasis pada kompetensi yang harus dicapai peserta didik. Puskur Balitbang Depdiknas (2002:1) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam berpikir dan bertindak. KTSP merupakan kurikulum yang dirancang dan dikembangkan berdasarkan sepe-rangkat kompetensi tertentu yang harus dipelajari dan ditampilkan peserta didik. Kompetensi dasar yang harus dicapai peserta didik melalui indikator hasil belajarnya telah disusun oleh

pemerintah pusat melalui Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

a. Menekankan pada keter-capaian kompetensi da-sar oleh peserta didik. b. Berorientasi pada hasil

belajar (learning out-comes) dan keberagam-an.

c. Mengaitkan materi pela-jaran dengan kehidupan nyata.

d. Sumber belajar tak hanya dari guru, tetapi tetap harus edukatif. e. Penilaian menekankan

pada proses dan hasil belajar dalam upaya mencapai kompetensi yang diharapkan. Agar kompetensi yang diharapkan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat dicapai dan ditingkatkan, peserta didik harus merasakan bahwa IPA berguna bagi kehidupannya. Di lain pihak, IPA amat terkait dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkungan sekitar peserta didik banyak dijumpai dari segala aspek kehidupan hampir semua berkaitan dengan IPA. Misal dalam perdagangan, pembang-unan rumah, bahkan dalam membuat kalender, inipun tidak terlepas dari Ilmu Pengetahuan Alam. Dirjen Dikdasmen (2002:1) menulis bahwa Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang mengaitkan bahan ajarnya dengan kehidupan sehari-hari peserta didik


(1)

Pengembangan Handout Pembelajaran Tematik untuk Siswa SD (Retno Ningtyas,dkk)

126 `

Gambar 1. Hubungan antara sains, teknologi, dan masyarakat Gambar 1 menunjukkan bahwa

sains, teknologi, dan masyarakat sangat erat hubungannya. Siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial (masyarakat), lingkungan alam, dan lingkungan buatan (teknologi). Teknologi ini diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Teknologi dan sains saling melengkapi sebab sains merupakan pengetahuan yang sistematis tentang alam sedangkan teknologi merupakan metode sistematis yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tsujuan pendekatan STM secara umum antara lain adalah: 1) Peserta didik mampu menghubungkan realitas sosial dengan topic pembelajaran di dalam kelas. 2) Peserta didik mampu menggunakan berbagai jalan/ perspektif untuk mensikapi berbagai isu/ situasi yang berkembang di masyarakat berdasarkan pandangan ilmiah. 3) Peserta didik mampu menjadikan dirinya sebagai warga masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial.

Tahapan-tahapan model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) menurut Asyari (2006) antara lain: 1) Tahap invitasi,

Pada tahap ini guru merangsang peserta didik mengingat atau menampilkan kejadian-kejadian yang ditemui di masyarakat baik melalui media cetak maupun media elektronik yang dapat merangsang siswa untuk bisa ikut mengatasinya. 2) Tahap eksplorasi. Pada tahap ini siswa melalui aksi dan reaksinya sendiri berusaha untuk mencari jawaban sementara yang telah dibuat dengan mencari data dari berbagai sumber informasi (buku, koran, majalah, lingkungan, nara sumber, instansi terkait, atau melakukan percobaan) hasil yang diperoleh peserta didik hendaknya berupa hasil analisis dari data yang diperoleh. 3) Tahap penjelasan dan solusi. Pada tahap ini peserta didik diajak untuk mengkomunikasikan gagasan yang diperoleh dari analisis informasi yang didapat, menyusun suatu konsep baru, meninjau dan mendiskusikan solusi yang diperoleh. Sehingga untuk memantapkan konsep yang diperoleh siswa tersebut guru

perlu memberikan umpan

balik/peneguhan. 4) Tahap penentuan tindakan. Pada tahap ini siswa diajak untuk membuat suatu keputusan

dengan mempertimbangkan

sains


(2)

penguasaan konsep sains dan keterampilan yang dimiliki untuk berbagai gagasan dengan lingkungan, atau dalam kedudukan peserta didik sebagai pribadi atau sebagai masyarakat. Pengambilan tindakan ini diantaranya dapat berupa kegiatan pengambilan keputusan, penerapan pengetahuan, membagi informasi, dan gagasan.

Berdasarkan hakikat IPA, karakteristik pembelajaran IPA seperti telah diuraikan di atas, maka model STM dapat dijadikan salah satu alternative model pembelajaran IPA di SD. Implementasi Model STM, secara teoretik dapat meningkatkan kompetensi keterampilan proses sains siswa yang nantinya akan berdampak pada penguasaan konsep-konsep sains. METODE PENELITIAN

Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan di SDN 1 Kalinanas, Kec. Wonosegoro, Kab. Boyolali pada mata pelajaran IPA kelas VI semester 1 tahun pelajaran 2014/2015. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini dilakukan melalui tahapan penyusunan proposal penelitian, penyusunan instrument, pelaksanaan tindakan dalam rangka pengumpulan data, analisi data, dan pembahasan hasil penelitian serta penyusunan laporan PTK. Waktu pelaksanaan setiap tahap-tahap PTK tersebut adalah : 1) penyusunan proposal penelitian dilakukan pada bulan Juli 2014, 2) penyusunan instrument dilakukan

minggu ke-3 bulan Agustus, 3) pelaksanaan pembelajaran siklus 1 dilakukan pada minggu ke-2 bulan September, 4) pembelajarn siklus 2 dilaksanakan minggu ke-3 bulan September tahun 2014. Penentuan jadwal ini disesuaikan dengan uturan kompetensi dasar pada silabus dan kalender pendidikan.

Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VI yang berjumlah 22 siswa yang terdiri dari 14 siswa laki-laki dan 8 siswa perempuan. Sumber data primer di dapat dari hasil pengukuran variable penelitian yaitu : 1) skor tingkat keterampilan proses sains siswa dan, 2) hasil belajar siswa. Sumber data sekunder didapat dari : 1) tingkat aktifitas siswa saat proses pembelajarann dan, 2) tingkat aktivitas guru saat menyampaikan materi pembelajaran.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik tes dan non tes. Instrument non tes berupa instrument pengumpulan data tentang keterampilan proses sains siswa dengan menggunakan rubrik keterampilan proses sains, dan instrument pengumpulan data hasil belajar IPA menggunakan tes tertulis. Kisi-kisi instrument keterampilan proses sains mencakup 7 item dari 7 komponen, yaitu komponen keterampilan mengamati (item no 1), mengklasifikasi (item no 2), menemukan hubungan (item no 4), memprediksi (item no 3), melakukan


(3)

Pengembangan Handout Pembelajaran Tematik untuk Siswa SD (Retno Ningtyas,dkk)

128 kegiatan penelitian (item no 6), mengumpulkan data (item no 5), dan mengkomunikasikan (item no 7). Kisi-kisi instrument penilaian hasil belajar IPA mencakup 20 item soal, terdiri dari : penggolongan perkembangbiakan vegetatif (item no 1,2,3), bahan-bahan yang digunakan untuk mencangkok (item no 4), langkah-langkah mencangkok (item no 5,6,7,8,9,10), tumbuhan yang dapat dicangkok (item no 11, 12), kelebihan mencangkok (item no 13), kekurangan mencangkok (item no 14), pengertian cangkok (item no 15).

Analisis data yang digunakan adlah teknik analisis deskriptif komparatif. Data kuantitatif yang diperoleh kemudian dideskripsikan dalam bentuk kalimat penjelasan, begitu juga dengan data hasil evaluasi siswa. Data-data yang diperoleh dari tiap-tiap siklus kemudian dikomparasikan untuk memastikan ada tidaknya peningkatan hasil belajar dan peningkatan keterampilan proses sains siswa. Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini ditetapkan lewat indikator kinerja sebagai berikut : 1) pada siklus 1

persentase jumlah siswa yang mencapai KKM sebesar 59,09%, sedangkan pada siklus 2 mencapai 90,9%, 2) meningkatnya keterampilan proses sains siswa rata-rata 33% pada tiap-tiap siklusnya.

Prosedur PTK ini terdiri dari empat tahapan yang saling terkait dan berkesinambungan, yaitu perencanaan (planning), tindakan (action), observasi (observe), refleksi (reflect) (Ditjen Dikti, 1999:25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi hasil Tiap Siklus dan Antar Siklus

Setelah melakukan analisa terhadap data yang diperoleh dari 2 siklus yang dilaksanakan, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Sains teknologi masyarakat materi perkembangbiakan tumbuhan dan hewan menunjukkan peningkatan keterampilan proses sains dan ketuntasan hasil belajar siswa. Tabel 1 merangkum komparasi tingkat keterampilan proses sains dari kondisi awal, pemebelajarn siklus 1, dan pemebelajaran siklus 2.

Tabel 1 Komparasi Keterampilan Proses Sains

pembelajaran

Tingkat Keterampilan Proses Sains Siswa

Mean % kenaikan

Kondisi Awal 12,50 -

Siklus 1 15,12 20,96


(4)

Dari tabel 1 di atas diperoleh temuan : a) pada kondisi awal rata-rata tingkat keterampilan proses sains siswa hanya mencapai 12,50 (skor maksimal 28), b) pada pemebelajaran siklus 1 rata-rata tingkat keterampilan proses mencapai 15,12. Capaian ini menunjukkan mulai adanya

peningkatan keterampilan sebesar 20,96%, c) pada pembelajaran siklus 2, rerata-rata keterampilan proses sains mencapai 21,83, data ini menunjukkan adanya peningkatan drastis keterampilan proses sains siswa sebesar 44,38%.

Grafik 1

Komparasi Mean dan Ketuntasan Hasil Belajar Siswa

Kenaikan mean hasil belajar siswa dan persentase jumlah ketuntasan belajar siswa dirangkum dalam grafik 1. Dari grafik 1 di atas diperoleh data yaitu : a) pada kondisi awal mean hasil belajar hanya mencapai 50,87 sedangkan persentase jumlah siswa yang mencapai KKM hanya 31,81% (7 siswa). b) pada pembelajaran siklus 1 mean hasil belajar siswa menjadi 66,08 dengan persentase jumlah siswa yang mencapai KKM sebesar 59,09% (13 siswa). c) pada pembelajaran siklus 2, mean hasil belajar siswa mengalami

peningkatan menjadi 80,65 dengan persentase jumlah siswa yang mencapai KKM sebesar 90,90% (20 siswa). Temuan Penelitian dan Pembahasan 1. Keberhasilan model saians

teknologi masyarakat (STM)

dalam meningkatkan

keterampilan proses sains siswa.

Data pada tabel

keterampilan proses sains siswa pada kondisi awal, pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 menunjukkan temuan rerata keterampilan proses sains pada kondisi awal 12,5, pada 50,87

66,08

80,65

31,81

59,09

90,9

0 20 40 60 80 100

kondisi awal siklus 1 siklus 2

Komparasi Mean dan Ketuntasan

Belajar Siswa

mean


(5)

Pengembangan Handout Pembelajaran Tematik untuk Siswa SD (Retno Ningtyas,dkk)

130 siklus 1 15,12, dan pada siklus 2 21,83. Temuan ini memperlihatkan adanya peningkatan tingkat keterampilan proses sains siswa. persentase peningkatan ini adalah 20,96% pada pembelajaran siklus 1, dan 44,37% pada pembelajaran siklus 2. Temuan pada siklus 1 dan siklus 2 ini telah mencapai keberhasilan. Keberhasilan dari penelitian ini bermakna bahwa siswa mampu mengamati, mengkalsifikasi, menemukan hubungan, memprediksi, melakukan penelitian, mengumpulkan data, dan mengkomunikasikan. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian Siswantara, manuaba & Meter (2013), Catur Putra Indra Septiawan (2010)

2. Keberhasilan model Sains Teknologi Masyarakat (STM) dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

Data pada grafik 1 hasil belajar siswa pada kondisi awal, pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 menunjukkan temuan pada kondisi awal mean hanya 50,87, pada pembelajaran siklus 1 mean meningkat menjadi 66,08, dan mean pada siklus 2 meningkat kembali menjadi 80,65. Temuan ini mengindikasikan adanya peningkatan hasil belajar IPA siswa. besaran peningkatan pada siklus 1 adalah 59,09% dan pada siklus 2

menjadi 90,9%, ternyata temuan ini telah mencapai keberhasilan.

Temuan ini sejalan dengan penelitian Siwantara, Manuaba & Meter (2013), Apriyana E (2002), Arifin M.H (2003).

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Model Pembelajaran sains Teknologi Masyarakat dapat : 1. Meningkatkan keterampilan

proses sains siswa kelas VI SDN 1 Kalinanas, Kec. Wonosegoro, Kab. Boyolali sebesar 20,96% pada pembelajaran siklus 1 dan 44,37% pada pembelajaran siklus 2.

2. Meningkatnya hasil belajar siswa kelas VI SDN 1 Kalinanas Kec. Wonosegoro, Kab. Boyolali sebesar 59,09% pada pembelajaran siklus 1 dan 90,9% pada pembelajaran siklus 2. B. Saran

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah : 1. Guru hendaknya menggunakan

modl pembelajaran sains teknologi masyarakat pada pembelajaran IPA.

2. Guru hendaknya membangun partisipasi aktif siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Apriyana, E. (2002) Penerapan Model Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat dengan Pendekatan Bermain Peran untuk meningkatkan Pemahaman Konsep, Sikap, dan Keterampilan Siswa SMU menerapkan Konsep Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Arifin, M.H. (2003) Pengaruh Penggunaan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat Terhadap Prestasi Belajar Fisika. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Bundu, Patta, (2006). Penilaian Keterampilan Proses dan SIkap Ilmiah Dalam Pembelajaran Sains. Jakarta: Depdiknas

Depdiknas, (2006). Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Kurikulum SD/MI tahun 2006. Jakarta: Depdiknas.

Kemendikbud, (2014). Materi Pelatihan Implemetsi Kurikulum 2013. Jakarta: badan Pengembangan Sumber daya Manusia Pendidikan dan kebudayaan dan Penjaminan Mutu pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Prayekti. (2002). Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team Achievement Division di Sekolah Dasar, Jurnal Pendidikan (4) 2

Samatowa, Usman, (2009). Pembelajaran Ipa di Sekolah Dasar. Jakarta. PT Indeks Jakarta barat

Siswantara, Manuaba & Meter (2013. Penerapan Model Problem Based Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Aktivitas dan hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD Negeri 8 Kesiman. Jurnal Garuda Portal, (1):1-10.

Trianto. 2010. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Jakarta : Prestasi Pustaka