MENEMPUH JALAN SPIRITUAL HARUS TULUS

DR. Djalaluddin Rachmat, M.Sc: MENEMPUH
JALAN SPIRITUAL HARUS TULUS
Maraknya kegiatan pendalaman agama di Indonesia berupa pengajian, kajian intensif dan
sebagainya, nampaknya baru menyentuh pada proses pembentukan kesalehan individual,
belum sampai pada proses kesalehan sosial. Mengapa banyak orang mengalami
“kehausan spiritual”? Dan mengapa makin banyak kegiatan agama, korupsi, tindak
kejahatan jalan terus, apanya yang salah dan siapa yang salah? Bisakah Ramadhan dan
Idul Fitri dijadikan momentum bangkit dari kerapuhan spiritual? Bagaimana solusinya?
Berikut kita ikuti wawancara Ton Martono dari SM dengan DR. H. Djalalluddin
Rachmat, M.Sc. Staf Pengajar Universitas Padjadjaran Bandung, Kepala SMU Plus
Yayasan Mutahhari, Mantan Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat, Mantan
Ketua Majelis PPKW, Mantan Ketua Majelis Tarjih PWM Jabar, dan Staf Pengajar
Program Pasca Sarjana ITB Bandung.
Akhir-akhir ini, orang yang berminat untuk mengetahui dan mempelajari serta
mengamalkan hal-hal yang bersifat spiritual terus meningkat. Kira-kira apa latar
belakangnya? Benarkah hal ini terjadi karena manusia merasa telah kehilangan dirinya?
Dan mereka mencoba mencari dirinya kembali lewat jalan spiritual?
Sebenarnya minat orang untuk mempelajari hal-hal yang bersifat spiritual itu tidak
terbatas di Indonesia saja.. Di Amerika orang banyak yang mempelajari tentang abad baru
(new age), dan abad baru itu ditandai dengan spiritualitas. Ada juga orang yang
mengumpulkan bukti-bukti ilmiah tentang kecenderungan manusia sekarang dalam

berbagai bidang termasuk Fisika, Geologi, dan ilmu-ilmu eksakta lainnya. Mereka
menyebut dengan perubahan paradigma, yang mulai memasukkan ke dalam kajian ilmiah
hal –hal yang bersifat spiritual. Upaya bersama dari seluruh ilmuwan itu pernah disebut
oleh Ferguson sebagai Konspirasi Akuarius.
Saya dapat berikan contoh dalam psikologi misalnya, sekarang orang sudah mulai
meninggalkan psikologi yang bersifat individual menjadi yang bersifat transpersonal. Di
kedokteran orang juga mulai bicara tentang kedokteran alternatif, yang di dalamnya juga
dimasukkan peranan ruh untuk proses penyembuhan, ada juga yang menyembuhkan
dengan kekuatan iman. Dalam fisika dan mekanika orang juga sudah membuat hipotesis
yang berkaitan dengan ruh dan spiritual. Jadi gejala ini adalah merupakan gejala mutakhir
yang terjadi pada masyarakat modern, mungkin penyebab utamanya adalah kegersangan
rasionalitas dan kegagalan modernisme. Kegagalan modernitas untuk memberikan
kepuasan batiniah atau disebut juga sebagai kegagalan materialisme dalam memberikan
ketenteraman batin.
Kalau upaya untuk mencari jalan spiritual atau jalan ruhani ini, apakah bisa dilakukan
secara otodidak, atau harus bersama guru? Apakah upaya menempuh jalan ruhani ini
dapat dilakukan secara individual , atau harus dengan cara berkelompok, semacam
tarekat?

Pencarian manusia kepada hal-hal spiritual menempuh banyak jalan. Untuk dunia Barat,

jalan yang mereka tempuh ialah mengambil warisan agama-agama Timur. Yang dimaksud
agama-agama Timur itu Budha, Hindu, Tao dari Cina, karena mereka memasukkan Islam
sebagai agama-agama Barat. Kemudian kalau kita batasi ke dalam Islam dan Islam pun
hanya kita batasi di Indonesia saja, kerinduan yang bersifat spiritual itu dilakukan melalui
dua kelompok jalan yakni yang pertama jalan yang tulus, bukan jalan yang lurus tetapi
yang tulus, kemudian yang satunya adalah jalan tipuan. Jadi kalau orang-orang Indonesia
ini ingin masuk ke dalam jalan spiritual, maka muncullah para penjaja spiritualitas yang
menawarkan kesejukan batin, dan tidak jarang para penjaja itu banyak penipunya.
Untung orang Indonesia sudah terkenal sebagai orang yang mudah ditipu.
Penipu pertama adalah klenikisme, mereka menawarkan kekuatan-kekuatan gaib, atau
membuka jendela untuk berhubungan dengan alam gaib. Jadi pada kelompok ini hampir
tidak bisa dibedakan antara arwah dengan makhluk-makhluk gaib, antara spirit dengan
makhluk gaib seperti jin. Jadi ada klenikisme itu yang menggunakan jin untuk
membimbing kita masuk ke alam spiritual, dimana kehidupan spiritualnya bukan
kehidupan ruhaniah yang lebih tentram, tetapi memasukkan kita ke alam gaib. Tidak
jarang mereka meminta nasehat kepada para arwah, ada yang berguru kepada Nyi Roro
Kidul dan sebagainya. Jadi buat saya itu merupakan spiritual yang tidak tulus.
Klenikisme juga ada yang tiruan, seperti munculnya guru-guru kebatinan yang
mengandalkan akting saja, dan seolah-olah dia sudah mendapatkan wangsit dan
mengumpulkan orang-orang di sekitarnya, mungkin juga sedikit ditambah ketrampilan

ilmu silat dia bisa meyakinkan jamaahnya. Jadi dari seratus orang dukun spiritual seperti
itu 99 persen pasti penipu. Dan cuma 1 persen yang benar-benar guru yang bisa
menghubungkan kita ke alam gaib. Jadi hal itu merupakan jalan spiritual yang keliru
kalau menggunakan ukuran-ukuran Islam.
Kemudian yang kedua adalah jalan spiritual yang kita sebut Tasawuf yang merupakan
warisan Islam, atau Irfan yang merupakan tradisi Islam sejak berabad-abad. Dalam tradisi
tasawuf itu juga saya kelompokkan tiga golongan yang menempuh jalan spiritual itu.
Yang pertama ada orang yang menempuh jalan spiritual itu sendirian, tanpa mengikuti
kelompok tarekat manapun. Di Mesir dulu ada seorang penulis tasawuf dan bahkan
mungkin seorang sufi yang sangat membenci tarekat. Namanya DR. Abdul Halim
Mahmud. Dia mengamalkan tasawuf tetapi tidak mengikuti tarikat manapun, bahkan dia
telah mengkritik aliran yang dianggapnya memuja guru mereka yang ini bertentangan
dengan ajaran Islam. Di Indonesia sekarang ada yang menempuh perjalanan tasawuf ini
tanpa mengikuti aliran tarekat. Saya juga tertarik mempelajari tasawuf dan mengajarkan
tasawuf kepada orang-orang tanpa mengajak orang harus mengikuti tarekat. Di dalam
sejarah tasawuf banyak sekali orang-orang yang menempuh jalan tasawuf tanpa ikut
tarekat manapun, karena tarekat itu baru muncul pada perkembangan terakhir dalam
sejarahnya. Tarekat Syeih Abdul Kadir Jaelani itu muncul juga pada zaman Abdul Kadir
Jaelani dan itu lebih satu abad setelah Al Ghazali dan Al-Ghazali tidak ikut tarekat
manapun, tetapi kita menyebutnya sebagai tokoh tasawuf. Tapi sekarang ini ada kaum

Muslimin yang mengikuti tarekat, yakni mereka mempelajari tasawuf melalui aliranaliran tarekat. Menurut saya itu boleh-boleh saja, seperti halnya orang mau ikut
Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama, boleh-boleh saja. Jadi tarekat itu seperti halnya
organisasi cuma tanpa ada izin dari Departemen Dalam Negeri.

Jadi kalau ditanyakan apakah mempelajari tasawuf itu harus ada seorang guru? Saya
jawab harus dengan seorang guru yang menjadi panutan, KHA. Dahlan menurut saya
seorang guru tasawuf. Kemanapun KHA. Dahlan pergi selalu membawa tasbih untuk
berdzikir. Saya tidak tahu sejak kapan Muhammadiyah melarang membawa tasbih untuk
berdzikir, padahal KHA. Dahlan membawa tasbih untuk berdzikir. Terus gerakan putih di
Minangkabau di bawah pimpinan Imam Bonjol, bisa memperbaharui agama, dan kita
sebut sebagai cikal bakal kaum modernis, dan Imam Bonjol juga seorang pengamal
tasawuf, dia juga membawa tasbih, memakai sorban dan selalu berdzikir. Jadi penting
sekali belajar tasawuf itu dengan seorang guru, untuk menghindarkan penipuan-penipuan.
Guru tasawuf harus yang memiliki ilmu pengetahuan yang dalam tentang syariat.
Dikalangan tasawuf itu ada keterangan bahwa tarekat tanpa syariat adalah zindiq, tarekat
tanpa syariat akan membawa kita kepada kekafiran, dan syariat tanpa tarekat akan
membawa kita kepada kemunafikan. Kemudian guru itu harus bisa mengamalkan tasawuf
itu dalam perilakunya sehari-hari, bukan ngomong saja, dan yang ketiga bahwa guru itu
harus memiliki tauladan yang bagus tentang akhlaknya, karena panutan itu harus
mencerminkan kemuliaan akhlaknya.

Bagaimana Nabi Muhammad dan para sahabatnya dalam menempuh jalan spiritual?
Dulu zaman Rasulullah dan juga para sahabatnya kehidupan tidak dipisahkan antara satu
dimensi dengan dimensi lainnya. Antara dimensi kehidupan yang satu dengan dimensidimensi agama lainya. Termasuk pemisahan bahwa ini fikih, itu tasawuf dan seterusnya.
Hal ini baru muncul 400 tahun sesudah Nabi Muhammad hijrah. Di zaman Rasulullah,
sahabat dan tabiin tidak memisahkan kehidupan spiritual dengan keberagamaan lainnya.
Jadi ketika Rasulullah mengajarkan fikih walaupun ketika itu tidak disebut fikih,
Rasulullah juga mengajarkan tasawuf. Bahkan Rasulullah juga tidak mengajarkan shalat
harus khusyuk.
Ketika ada seorang sahabat sedang shalat dan mengusap-usap janggutnya, Rasulullah
berkata sekiranya orang ini khusyuk hatinya, akan khusyuk pulalah seluruh anggota
badannya. Jadi ketika Nabi mengajarkan shalat khusyuk itu sesungguhnya Nabi sedang
mengajarkan spiritual. Rasulullah juga bersabda, “Kalau kamu mau shalat hadapkanlah
wajahmu ke kiblat, dan angkat tangan kamu seraya mengucapkan Allahu Akbar, lalu
bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an.” Tetapi dalam kesempatan lain Rasulullah
berkata, “Kalau kamu mau shalat, shalatlah seakan-akan kamu berpisah dengan isi
seluruh dunia ini, shalatlah dengan shalat perpisahan.” Beliau waktu itu sedang
mengajarkan tasawuf. Jadi kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya itu berjalin
berkelindan di dalam seluruh pengamalan agama. Jadi sejak awal dimensi tasawuf itu
sudah mereka pelajari.
Saya ingin tunjukkan bahwa bagaimana sebetulnya Rasulullah hidup yang sebenarnya

secara spiritual. Beliau bukan semata-mata seorang pemimpin agama yang memusatkan
perhatian kepada hal-hal yang bersifat lahiriah saja, tetapi yang pertama adalah
menyempurnakan akhlak, kemudian dalam perkembangannya ilmu akhlak itu dipisahkan
menjadi ilmu tasawuf. Dan banyak sekali pengalaman-pengalaman ruhani yang dijadikan
sumber oleh para sufi ketika mereka mempelajari sejarah hidup Rasulullah, terutama
pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Peristiwa itu dijadikan sumber inspirasi bagi para sufi.
Mereka juga tertarik dengan laporan Siti Aisyiah, bahwa Nabi pernah bangun tengah

malam dalam shalatnya beliau terisak-isak menangis sampai basah janggutnya kena
tetesan air mata, dan juga pernah Nabi ketika sedang beribadah beliau tampak seperti
mematung, lalu Siti Aisyiah bertanya, “Ya Rasulullah.” “Siapa kamu?” “Saya Aisyiah.”
“Aisyiah yang mana?” kata Nabi. “Aisyah Abu Bakar,” kata Aisyah. Dan nampaknya
Rasulullah terus mematung dan Rasulullah saat ini sedang tidak beserta kami. Jadi para
sufi itu mengambil dan mencontoh pada perilaku Rasulullah, bahkan ada satu aturan
utama bagi seorang tasawuf, bahwa kita tidak bisa sampai pada tingkat ruhaniah tanpa
mengambil Rasulullah sebagai guru agung kita. Dan semua silsilah guru tasawuf semua
harus bersambung yang akhirnya sampai ke Rasulullah. Bahkan dalam tarekat tidak
dibenarkan kalau silsilahnya tidak sampai kepada Rasulullah.
Di tengah bergairahnya orang-orang untuk mengetahui, mempelajari dan mengamalkan
ajaran spiritual, kenapa proses perusakan sosial terus terjadi? Mengapa kesalehan

individual tidak serentak mengimbas pada kesalehan sosial dari para pelaku jalan
spiritual ini?
Pertama karena ada orang-orang yang mengambil jalan spiritualitas tidak dengan tulus.
Kita harus memahami jalan menuju spiritualitas sebagai upaya kita untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT itu tujuan utama dari jalan spiritual. Tetapi sekarang banyak orang
mengikuti jalan tasawuf bukan untuk itu, tetapi bagaimana mereka mengambil jalan
spiritual untuk bisa masuk ke alam gaib, sehingga jalan tasawuf itu menjadi tempat
pelarian.
Karena frustrasi dalam kehidupan, gagal dalam perdagangan, seorang isteri yang disakiti
suaminya, seorang pegawai yang di PHK, ketika dia stres lalu mencari perlindungan ke
dalam tasawuf. Kalau begitu tasawuf menjadi analgesic atau obat penenang tetapi tidak
bisa menghilangkan penyakitnya. Padahal inti sebenarnya adalah keimanan yang rapuh,
proses memahami agama yang keliru. Akibatnya pengalaman spiritual itu tidak
berdampak pada kehidupan sosialnya. Kalau orang itu menempuh perjalanan spiritual
yang tulus, maka dia akan mengembangkan kehidupan akhlak yang tinggi, karena akan
menghadirkan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau Allah itu hadir di kantor
kita, hadir di dalam pekerjaan kita dan hadir di tengah-tengah pergaulan kita tidak
mungkin terjadi perilaku sosial yang buruk itu.
Mengapa mereka yang menempuh jalan spiritual di zaman Nabi dan sahabatnya mampu
menyeimbangkan diri antara saleh individual dan saleh sosial? Dan mengapa sekarang

ini sulit dilakukan? Benarkan manusia zaman sekarang ini mengalami split personality
atau pembelahan pribadi?
Dalam kehidupan Nabi dan para sahabatnya, dan orang-orang soleh terdahulu ketika
menjalani ibadah-ibadah ritual seperti zikir dan do’a, pada saat yang sama mereka tidak
mengalihkan perhatian pada perjuangan sosialnya. Nabi menggambarkan bahwa seorang
mukmin itu adalah pendeta-pendeta di malam hari dan penunggang-penunggang kuda di
siang hari. Jadi di malam hari mereka ruku’ dan sujud di hadapan Allah SWT, dan pada
siang hari mereka adalah pejuang-pejuang yang tangguh. Dulu tasawuf yang asli itu tidak
memusatkan pada zikir dan ritus-ritus tertentu, tidak memusatkan pada do’a-do’a.

Nah pada kehidupan spiritual sekarang ini, pusat perhatian kita pada do’a, dulu perhatian
para sufi itu pada perkhidmatan terhadap sesama manusia, jadi jalan yang paling cepat
mendekati Tuhan adalah membahagiakan hati sesama manusia dan itu sangat sosial.
Tasawuf ini sangat sosial dibandingkan dengan tasawuf kita sekarang ini sangat jauh
perbedaannya. Sekarang orang yang korupsi menempuh jalan tasawuf, setelah sampai
puncaknya hingga menitikkan airmata, lalu kembali lagi melakukan korupsi itulah
malangnya yang terjadi di negeri kita sekarang ini.
Mungkinkan pembelahan pribadi (Split personality) ini bisa disembuhkan? Dan
bagaimana alternatif yang harus kita lakukan?
Sekarang ini ada orang pergi ke masjid dengan khusyuk, dan melakukan ibadah dengan

baik, tetapi kemudian di tempat lain dia melakukan tindak kejahatan, dan memakan hak
orang lain dengan sangat rakus. Untuk penyembuhannya harus ada proses penyadaran
dan sebelum pada tahap penyadaran kita harus membongkar guru-guru ruhaniah yang
palsu, yang mengajarkan bahwa kesalehan itu adalah mengamalkan jumlah zikir tertentu.
Padahal tingkat kesalehan itu tidak diukur oleh banyaknya ibadah, tidak diukur oleh halhal ajaib yang dilakukan. Kesalehan itu juga tidak diukur oleh keberhasilan ekonomi.
Pada bulan Ramadhan tahun lalu sebuah media ibu kota pernah mengulas pesantrenpesantren yang sukses, dan apa ukuran sukses pesantren itu ialah jumlah aset dan
fasilitas yang dia miliki. Jadi kalau asetnya banyak berarti pesantren itu diridhoi oleh
Allah SWT, tetapi kalau pesantren itu miskin, serba kekurangan berjuang dengan penuh
kesusahan, itu dianggapnya pesantren yang tidak mendapatkan ridlo dari Allah.
Seringkali kita mengukur tingkat kesalehan itu dari banyaknya ibadah ritual, kemudian
dari hal-hal yang gaib, dari keberhasilan secara ekonomis, itu keliru besar. Dalam AlQur’an kesalehan itu diukur dari akhlak yang baik, dari perkhidmatan anda kepada
sesama manusia.
Muhammadiyah tidak mengenal atau kurang mengakui adanya jalan sufi, jalan spiritual
lewat tarekat, tetapi hanya mengakui adanya akhlak kepada Allah, kepada sesama hidup
dan kepada alam semesta. Sesungguhnya, apa yang dikerjakan oleh KHA. Dahlan dan
para sahabatnya, sehingga mereka memiliki spirit agama, spirit perjuangan dan spirit
kemanusiaan yang tinggi? Bagaimana kita sekarang harus mentransformasikan spirit
KHA. Dahlan dalam kehidupan sehari-hari?
Tasawuf itu ada dua. Yang pertama tasawuf nadzari dan kedua tasawuf amali. Tasawuf
nadzari adalah perbincangan yang sangat sulit tentang alam semesta ini. Perbincangan

tentang ruh, tentang Allah SWT, tentang perjalanan kita mendekati Allah. Tasawuf
Nadzari misalnya diwakili oleh Ibnu ‘Arabi. Kemudian ada tasawuf amali. Itu tidak
memperbincangkan tentang pernik-pernik pandangan hidup seorang sufi, tetapi tasawuf
amali itu ditunjukkan dengan berusaha menjalankan akhlak yang mulia. Menurut saya
apa yang dijalankan oleh KHA. Dahlan adalah tasawuf amali, tasawuf yang berbentuk
amal, mungkin tanpa gembar-gembor ini menyebutnya tasawuf, tanpa teriak sana sini
bahwa ini adalah managemen kalbu. Tetapi yang diajarkan adalah amal, seperti yang saya
katakan tadi dalam tasawuf yang sejati, kesalehan itu ditunjukkan dalam upaya
membahagiakan sesama manusia itu yang kita sebut sebagai amal-amal sosial. Karena itu

ketika KHA. Dahlan menganjurkan para santrinya untuk mengumpulkan fakir miskin
melaksanakan perintah Allah dalam surat Al-Ma’un, dia sebenarnya sedang
mengamalkan tasawuf amali. Yaitu tasawuf yang diwujudkan dalam perkhidmatan kita
terhadap sesama manusia.
Jadi menurut saya orang yang paling sufi bukan orang yang paling panjang janggutnya,
paling bagus surbannya, lama shalatnya, paling hitam dahinya, tetapi orang yang paling
sufi adalah orang paling banyak melelahkan dirinya untuk membantu sesama hidupnya.
Dan itulah sufinya KHA. Dahlan yang kemudian melahirkan organisasi sosial terbesar di
negara ini. Tetapi yang sangat menyedihkan beberapa program di Muhammadiyah
khususnya untuk mensejahterakan umat agak terbengkelai, apalagi setelah para elit dan

anggota Muhammadiyah memasuki dunia politik, program-program tersebut mulai
terlantar. Perhatian Muhammadiyah kepada fakir dan miskin jadi kabur. Bahkan proyekproyek untuk menyantuni kaum dhuafa’ kebanyakan seret dan kalaupun ada yang berhasil
lebih banyak mensejahterakan para pengurusnya ketimbang yang diurusnya. Jadi
sekarang ini walaupun saya masih agak dimusuhi oleh Muhammadiyah, saya sedang
mengamalkan tasawuf seperti apa yang diajarkan oleh KHA. Dahlan, walaupun KHA.
Dahlan sendiri tidak menyebutnya sebagai tasawuf, karena yang penting adalah amalnya.
Ton.
Sumber: SM-06-2002