IAIN Metro - Lampung

Proceding
Islam dan Hukum
Metro International Conference on Islamic
Studies (MICIS)

Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo
Metro Lampung

Proceding
Islam dan Hukum
Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)

Penanggungjawab
Dr. Ida Umami, M.Pd.Kons

Editor
Dharma Setyawan, MA

ISBN :

Diterbitkan oleh:

Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung
Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Kampus Kota Metro Lampung
Telp. 0725-41507, fax 0725-47296
Email : stainjusi@stainmetro.ac.id
Website : http://www.stainmetro.ac.id

Islam dan Hukum
Pandangan tentang pentingnya legislasi hukum dalam suatu negara pada
dasarnya berangkat dari aliran positivisme hukum. Menurut aliran ini hukum
yang utama adalah hukum yang berasal atau diciptakan oleh manusia, yakni
hukum positif. Setelah manusia membentuk organisasi negara, hukum positif
adalah hukum yang dibuat oleh badan-badan negara dan pemerintah.Hukum
diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau
badan-badan negara dan pemerintah yang pemberlakuannya dipaksakan.
Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang memaksa, eksklusif, hirarkis,
sistematis dan dapat berlaku seragam, yang dapat dianggap sebagai hukum
adalah produk legislasi (peraturan perundang-undangan). Aturan-aturan di luar
legislasi hanya merupakan norma moral. Legislasi dianggap sebagai satusatunya hukum karena merupakan pengungkapan atau pembadanan hukum
yang dianggap positif atau dapat ditangkap dengan panca indera.Selain itu,
legislasi dibuat oleh negara dan pemerintah yang telah dianggap sebagai

organisasi yang mengatasnamakan kehendak umum
Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum; yaitu enam
pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1) pilihan antara wahyu dan
akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan
keragamaan (al-ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas
keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan antara kebenaran
ideal dengan kebenaran nyata (idealism and realism); 5) pilihan antara hukum dan
moralitas (law and morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan
(stability and change).
Sedangkan Muhammad „Imarah menjelaskan empat pilihan dalam tathbiqh
hukum Islam: 1) pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl
al-dîn wa tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-ijtihâd); 3)
pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn wa al-dawlah); dan 4)
pilihan antara musyawarah dan syari„ah (al-syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî„ah alilâhiyyah).
Sebegitu pentingnya Islam memandang Hukum, maka beberapa tulisan
dalam Proceeding ini mengulas mengenai Islam dan Hukum lewat sudut
pandang dari berbagai penulis. Semoga bermanfaat, selamat membaca.[N]

Metro, Desember 2016


Redaksi

Daftar isi

ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM
Jaih Mubarok

1-16

POSITIVISASI HUKUM EKONOMI ISLAM
Isa Ansori

17-28

PEMBERIAN ASI; UPAYA PEMENUHAN HAK ANAK ANTARA
REGULASI DAN IMPLEMENTASI
29-43
Enizar
KONTROVERSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM: MELACAK
RESPON MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA TERHADAP

COUNTER LEGAL DRAFT (CLD) ATAS KHI
Tobibatussaadah
44-63
MEMAHAMI IJTIHÂD
KHATTÂB
Solihin Panji

HUKUM

ISLAM ‘UMAR

BIN

AL64-85

BAHASA ARAB DALAM KONSTRUKSI HUKUM ISLAM (TELAAH
ATAS FUNGSI DAN PENGARUH HURUF MA’ANI TERHADAP
KHILAFIAH DALAM ISTINBATH HUKUM)
86-97
Husnul Fatarib

PERLINDUNGAN
HAK
ASASI
MANUSIA
DAN
KETERKAITANNYA DENGAN PERMASALAHAN GENDER
DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
98-107
Ida Umami

ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM
Jaih Mubarok
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung
Abstrak
Asas secara umum bersifat penyimpul (mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum
yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang
belum atau tidak diatur dalam hukum yang bersangkutan. Asas hukum yang menjadi
landasan perbuatan hukum itu sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas
suatu hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada level peraturan
perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„jama„i yang sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam

dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara. Asas Tandhidh, asas Tertib
Administratif, dan asas fungsi, merupakan tawaran yang diharapkan dapat memperkaya
wacana yang bila dipandang layak oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan”
sebagai asas dalam pembagian harta warisan.
Kata Kunci: Asas, Kewarisan
A. Pengantar
Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya
mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik menjalankan/
mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara umum bersifat penyimpul
(mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum yang ada, dan adakalanya
berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak
diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dalam kerangka
menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang telah dijelaskan oleh pakarnya,
serta tawaran yang mudah-mudahan layak untuk dipertimbangkan oleh para
penyusun naskah akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam.
B. Teori-Teori Pilihan Hukum
Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum; yaitu enam
pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1) pilihan antara wahyu dan
akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan
keragamaan (al-ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas

keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan antara kebenaran
ideal dengan kebenaran nyata (idealism and realism); 5) pilihan antara hukum dan
moralitas (law and morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan
(stability and change).
Sedangkan Muhammad „Imarah menjelaskan empat pilihan dalam tathbiqh
hukum Islam: 1) pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl
al-dîn wa tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-ijtihâd); 3)
pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn wa al-dawlah); dan 4)

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

pilihan antara musyawarah dan syari„ah (al-syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî„ah alilâhiyyah).1
Pertama, Coulson menjelaskan bahwa hukum Islam memiliki dua sisi. Di
satu sisi, ulama menjelaskan bahwa hukum Islam adalah divine law (hukum yang
diwahyukan Allah); sedangkan di sisi yang lain, ulama juga menjelaskan bahwa
hukum Islam adalah hasil pemikiran mujtahid (human reasoning of jurists).2 Dua
sisi ini saling tarik-menarik (dalam perspektif ketegangan) dan saling
melengkapi (dalam perspektif harmoni).

Kedua, pilihan antara Kesatuan dan Keragaman; terdapat terminology
dalam hokum Islam yang menjadi pasangan untuk melihat kesatuan dan
keragaman. Al-ittifâq digunakan untuk menggambarkan proses ijtihad yang
menghasilkan pendapat yang sama (seragam); terminology lain yang lebih
popular adalah ijmâ„; dan terminologi al-ikhtilâf digunakan untuk
memperlihatkan pendapat yang ragam.
Ketiga, pilihan antara Autoritarianisme dan Liberalisme; pembahasan
mengenai posisi ulama dalam hubungannya dengan Allah dan kitab suci layak
untuk diperhatikan. Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ahmad Ibn Idris al-Qurafi (w.
684 H.) dalam kitab Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl,
menjelaskan tiga istilah yang berkenaan dengan ijtihad, yaitu al-wadh„, al-isti„mâl,
dan al-haml. 3 Terminologi al-ijtihâd (Mujtahid), al-ittibâ„ (Muttabi„), dan al-taqlîd
(Muqallid) relevan dengan teori pilihan ini.
Keempat, pilihan antara Idealisme dan Realisme; kebenaran dalam ilmu
filsafat ada dua: 1) kebenaran ideal (gagasan), dan 2) kebenaran real (nyata, apa
adanya). Metode untuk mencapai kebenaran ideal adalah rasio (al-„aql) dan
metode untuk mencapai kebenaran real adalah empiris (positivistik). M. Atho
Mudzhar secara implisit menjelaskan bahwa pilihan terhadap fikih termasuk
domain pilihan idealisme; sedangkan pilihan terhadap fatwa, qanun, dan qadha
merupakan domain realisme.

Kelima, pilihan antara Hukum dan Moralitas; di antara filosof membagi
etika menjadi tiga: 1) etika deskriptif (descriptive ethic), yaitu penyeledikan
tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi-pribadi (personal morality),
kelompok (social morality), dan di dalamnya dikaji mengenai motif perbuatan
dan perbuatan yang terbuka; 2) etika normatif (normative ethic), penyelidikan
tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi (personal morality) dan
kelompok (social morality) yang penyelidikannya dilakukan atas dasar prinsipprinsip yang harus dipakai dalam kehidupan. Etika deskriptif adalah
penyelidikan yang dilakukan untuk menggambarkan tingkah laku manusia;
sedangkan etika normatif adalah penyelidikan yang sudah membandingkan
Muhammad „Imarah, Ma„alim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991).
J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago & London: The
University of Chicago Press. 1969), hlm. 3.
3Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ibn Idris al-Qurafi, Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr alMahshûl fî al-Ushûl (Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. 1973), hlm. 20.
1

2Noel

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro


2

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

antara nilai yang dianut dengan perilaku para penagnutnya; dan 3) etika kritis
(metaethics), yaitu penyelidikan yang diarahkan uktuk menganalisis istilah-istilah
yang digunakan dalam etika.4 Pilihan ini menggambarkan ketidaklinearan antara
hokum dan moralitas; kadang-kadang suatu perbuatan dinilai benar secara
hokum, tapi tidak/kurang relevan dengan moral yang dianut suatu masyarakat
yang bersangkutan.
Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan Modernisme; pilihan antara
tradisionalisme (stability) dan modernisme (change; modify) adalah pilihan yang
sejak abad IV H. hingga sekarang terus berlanjut. Istilah “Kaum Muda” dan
“Kaum Tua”5 di di Indonesia merupakan kenyataan sejarah dari pilihan antara
statis dan dinamis.6
Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan pemabaharuan (iktimâl
al-dîn wa tajdîduhu). Kesempurnaan agama Islam terletak pada nilai uiniversal
yang dikandungnya. Di samping itu, kesempurnaan agama juga terletak pada

kandungannya yang mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan
intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan agama tidak
dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya (termasuk aturan-aturan
teknis); akan tetapi, kesempurnaannya terletak pada nilai universal yang
dikandungnya dan peluang mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah
agama. Dengan kerangka yang demikian, wajarlah bila „Imarah menegaskan
bahwa salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara
kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya sepadan dengan
pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan antara musyawarah dan syari„ah.
Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum Negara; Salah satu
topik penting dalam hal terjadi ikhtuilaf antara gagasan fukaha dalam kitab fikih
dengan peraturan perundang-undangan di sebuah Negara, adalah pilihan
dalam taat hukum: apakah akan taat kepada hukum yang dibentuk oleh negara
ataukah akan taat kepada aturan-aturan (fikih) yang disusun oleh ulama yang
otoritatif. Dalam kajian perbandingan antara fikih dan peraturan perundangundangan, terdapat “kaidah” yang menyatakan bahwa suatu perbuatan hokum
dinilai sah secara agama (shahha dîn[an]) dan tidak sah dari segi hukum negara
(wa lâ yashihhu qadhâ‟[an]). Pernyataan ini menunjukan bahwa ketaatan
masyarakat dalam menjalanakan hukum masih ganda dan kaidah yang
menyatakan bahwa keputusan (hukum) yang dibuat oleh pemimpin dapat
menyelesaikan perbedaan pendapat (hukm al-hâkim yarfa„u al-khilâf) belum
sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat Muslim di berbagai negara.

4

Ibid., hlm. 141-142.
biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme disebut aliran
rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96.
6Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (Jogjakarta:
Gadjah Mada University Press. 1996), hlm. 60-61.
5Tradisionalisme

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

3

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

C. Teori-teori Persaingan Hukum Waris dan Hukum Adat
Diskursus mengenai persaingan hukum Islam dan “hukum Barat” guna
menjadi hukum nasional diperkaya dengan teori-teori aplikasi hukum yang
saling mendukung atau saling bertentangan. Di antara nya adalah: Pertama, teori
Autoritas Hukum; H.A.R. Gibb mengemukakan bahwa umat Islam yang telah
menerima Islam sebagai agamanya, telah menerima otoritas hukum Islam atas
dirinya;7 umat Islam yang telah menyatakan diri memeluk agama Islam berarti
telah siap menjalankan ajaran Islam, termasuk hukum-hukum yang
dikandungnya.
Kedua, teori Receptie in Complexu; teori yang dikemukakan oleh Gibb
mendapat dukungan dari Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927)
dengan teori receptie in complexu. Menurut teori ini, bagi orang Islam berlaku
penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. 8
Ketiga, teori Resepsi; teori ini merupakan penetangan terhadap teori
Autoritas Hukum dari Gibb dan teori Receptie in Complexu dari van den Berg.
Adalah Christian Snouck Hurgronye (1857-1936), C. van Vollenhoven, dan Ter
Haar. Menurut teori ini, bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat;
hukum Islam berlaku kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh
masyarakat sebagai hukum adat. 9
Keempat, teori Resepsi Exit dari Hazairin; menurut teori ini, teori resepsi
telah patah dan keluar dari Indonesia sejak diberlakukannya UUD 45;10 karena
UUD 45 dan Pancasila memberikan tempat yang luas bagi berlakunya hukum
agama (termasuk agama Islam). Oleh karena itu, Hazairin berpendapat bahwa
teori resepsi yang dikemukan oleh Christian Snouck Hurgronye dan didukung
oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar, adalah teori Iblis.
Kelima, teori Receptio a Contrario dari Sayuthi Thalib; dalam teori ini
ditegaskan bahwa bagi umat Islam, yang berlaku adalah hukum Islam; hukum
adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.11 teori resepsi
a contrario yang dikemukakan Sayuti Thalib yang menyatakan bahwa: a) bagi
orang Islam berlaku hukum Islam; b) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan
cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan c) hukum adat berlaku bagi
umat Islam apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam. 12
Keenam, teori Penegakan Hukum. Menurut teori ini, hukum dapat tegak di
masyarakat bergantung pada tiga hal: 1) materi hukum, 2) penegak hukum, dan
H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam Tjun
Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115.
8
Ibid., h. 120.
9
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.” 1959), hlm. 46.
10
Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128.
11
Ibid., h. 132.
12Ichtijanto SA, "Pengembangan Teori,” dalam Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 102114,117,122, dan 130-132.
7

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

4

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

3) kesadaran hukum masyarakat. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah
menegaskan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang
terdapat dalam diri setiap manusia yang memiliki dua kemungkinan: timbul dan
tenggelam.
Sejumlah pakar hukum menganggap bahwa kepatuhan hukum terutama
disebabkan: 1) rasa takut pada sanksi yang negatif, 2) pemeliharaan hubungan
baik dengan teman-teman dan pemimpin, 3) kepentingannya terlindungi,
dan/atau 4) cocok (sesuai) dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya.
Pakar sosiologi hukum menetapkan bahwa dalam kesadaran hukum terdapat
empat indikator: 1) pengetahuan hukum; 2) pemahaman hukum; 3) penilaian
dan sikap terhadap hukum; dan 4) ketaatan hukum. Soekanto menyebutkan
bahwa kesadaran hukum sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu
hukum diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga negara.
D. Survei Literatur
Sejumlah tulisan mengenai asas hukum waris dalam Islam telah
dipublikasikan, baik yang analisisnya cenderung bersifat normatif-rasional
maupun analisis yang cenderung bersifat sosiologis-aplikatif yang cenderung
berakar pada nilai budaya tertentu. Dalam website pribadi, Riana Kesuma Ayu
menjelaskan mengenai sistem hukum waris adat. Ayu menjelaskan bahwa di
antara asas hukum waris adat adalah: 1) asas ketuhanan dan pengendalian diri,
2) asas kesamaan dan kebersamaan hak, 3) asas kerukunan dan kekeluargaan, 4)
asas musyawarah dan mufakat, dan 5) asas keadilan.13
Dalam Tesis yang berjudul “Hukum Islam Dipandang dari Perspektif
Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan Mranggen Kabupaten Denak)”
yang ditulis oleh Mintarno dalam rangka menyelesaikan studinya di Program
Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan
bahwa di antara asas hokum waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas bilateral, 3)
asas individual, dan 4) asas keadilan.14
H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda, yang
mempublikasikan artikelnya yang berjudul “beberapa Asas Hukum kewarisan
Menurut KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat.”
H. Hatpiadi
menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan adalah: pertama, asas kematian.
Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 KUH Perdata, hukum adat, dan
hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar (hakim dan
ketua Pengadilan Agama Watampone yang menjelaskan bahwa asas kematian
merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta
seseorang sebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan.
13

Riana Kesuma Ayu, “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.com, diakses tahun

2011.

Mintarno, “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan Gender
(Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana,
Magister Kenotariatan (Semarang: Universitas Diponegoro. 2006).
14

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

5

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan. Asas ini terdapat
dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata. Asas hubungan darah
merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan,
karena faktor hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan
kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang berhak atau
tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.
Ketiga, asas perderajatan; dalam KUH Perdata asas ini didasarkan pada
prinsip de naaste in het bloed erf hetgoed, oleh karena itu, yang berhak menjadi ahli
waris
hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus
menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan
menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. KUH
Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan ahli waris sebagaimana yang
terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam dan hukum adat. Dalam Hukum
Kewarisan menurut Hukum Adat, anak, Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli
waris yang lebih dekat dari pewaris melebihi dari paman/bibi, kakek/nenek,
saudara-saudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam, bahwa penentuan
kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya “anak lebih utama dari cucu, ayah
lebih utama (lebih dekat) kepada anak dari pada saudara: ayah lebih utama
kepada anak dari pada kakek. Bahkan kelompok keutamaan dalam hukum
kewarisan Islam menentukan juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya
saudara kandung lebih utama dari pada saudara se ayah atau se ibu, sebab
saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (dari ayah dan dari ibu),
sedangkan saudara sebapak atau saudara seibu hanya dihubungkan oleh satu
garis penghubung yaitu dari ayah atau dari ibu”. Ketiga sistem Hukum
Kewarisan sama-sama menempatkan anak, suami/isteri, dan orang tua
(Bapak/ibu) sebagai ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu
anak sebagai ahli waris derajat keutamaan pertama dalam garis ke bawah,
sedang orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam derajat keutamaan
pertama dalam garis ke atas, melibih derajat ahli waris lainnya seperti nenek,
paman/bibi dan saudara. Di dalam Hukum Kewarisan Islam dan hukum
kewarisan adat tidak demikian halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi
waris dengan Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan
tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup (menghijab)
ahli waris tertentu.
Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Mengingat asas ini
merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak
menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris
meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi
ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga
yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi
solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan
secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

6

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada
pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang
tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia
lebih dahulu. Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum kewarisan Islam,
menurut sebagian pendapat, seperti pendapat Wirjono Prodjodikoro dan
pendapat dari pakar hukum Islam, antara lain menurut Mahmud Yunus
menyebutkan bahwa pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal. Berbeda
dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam
mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan mawaly. Menurut
Hazairin bahwa ahli waris pengganti (mawaly) didasarkan pada al-Qur'an pada
Surah an-Nisa‟ (IV) ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari
harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan
pewaris-pewarisnya”. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti oleh Sajuti
Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini menjadi salah satu asas
penting dalam Hukum Kewarisan menurut Kompolasi Hukum Islam
sebagaimana yang terdapat ketentuannya dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam. Pasal 185 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh
melebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Kelima, asas
individual; asas ini menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara
individu-individu (perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan
kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung pengertian bahwa
harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk
dimiliki secara perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan
dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar begiannya
tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya. Konsekwensi dari ketentuan ini
adalah, harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan kepada ahli
waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan
dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara
memperoleh hak milik adalah melalui pewaris. Asas individual sangat popular
pula dalam sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan adat.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, “Setiap ahli waris secara
individu berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahil waris
lainnya”. Akan tetapi dalam hukum kewarisan adat, selain dikenal sistem
pewaris individual, juga dikenal adanya sistem kolektif, dan mayorat namun
dari ketiga macam sistem pewaris tersebut, maka sistem individual yang lebih
umum berlaku dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat adat parental
yang tersebar hampir diseluruh daerah di Indonesia. Keenam, asas bilateral; yaitu
seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan tetapi juga mewaris
menurut garis ibu, demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara
perempuan. Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak lakiProceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

7

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas bilateral ini
menetapkan juga suami isteri untuk saling mewaris. Ketujuh, asas segala hak dan
kewajiban pewaris beralih kepada ahli waris; yaitu segala hak dan kewajiban
pewaris dalam asas ini adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan. Wirjono Prodjodikoro menje;askan bahwa BW mengenal tiga macam
sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat memilih salah satu dari
tiga sikap itu, yaitu : 1) menerima seluruhnya menurut hakikat yang tersebut
dalam BW (hak dan kewajiban); 2) menerima dengan syarat, yaitu hutanghutangnya; dan 3) menolak menerima harta warisan”. Menurut H. Muhammad
Daud Ali, “dalam diri seseorang harus senantiasa terdapat keseimbangan antara
hak dan kewajiban yang harus ditunaikan”.Berdasarkan dengan berbagai
penjelasan dan ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan
dan ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan asas segala
hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris, namun sifatnya terbatas,
artinya harta peninggalan pewaris yang bersifat aktiva secara otomatis
berpindah dari pewaris kepada ahli waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa
pasiva (utang-utang, kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hakhak yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang seimbang.
Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari barang aktiva dengan
kewajiban yang dipikulnya, berupa utang. Akan tetapi kalau ada ahli waris yang
bersedia membayarkan utang-utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris,
maka itu tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin dari
akhlak yang baik.15
H. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta, menulis “AzasAzas Hukum Waris dalam Islam,” yang substansinya menjelaskan bahwa asasasas hukum waris Islam adalah: pertama, asas Integrity/Ketulusan; yaitu
ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Dalam asas ini terkandung pengertian
bahwa pelaksanakan hukum kewarisan Islam diperlukan ketulusan hati untuk
mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya.
Kedua, asas ta' abbudi/penghambaan diri; yaitu pelaksanaan pembagian
waris secara Islam merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT; ketiga,
asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan; yaitu bahwa hanya hak dan kewajiban
terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak
dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan
kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam
suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris
terhadap Muwaris diatur dalam pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1)
mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, 2)
menyelesaikan hutang-hutang Muwaris, termasuk kewajiban menagih piutang,
H. Hatpiadi, “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/ diakses tanggal 13 Pebruari
2011.
15

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

8

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

3) menyelesaikan wasiat Muwaris, dan 4) membagi harta warisan di antara anti
ahli waris yang berhak.
Keempat, asas hukukun thabi‟iyah/hak-hak dasar; yaitu hak-hak dasar ahli
waris sebagai manusia; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang baru
lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih
hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum
bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk
mewarisi. Sebab-sebab mewaris adalah: 1) hubungan keluarga, 2) perkawinan, 3)
wala, dan 4) seagama. Hubungan keluarga adalah hubungan antar orang yang
mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke
bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping(saudara). Di samping
itu, dalam hukum Islam dikenal penghalang untuk menerima warisan, yaitu: 1)
murtad, 2) membunuh, dan 3) hamba sahaya. Dalam pasal 173 Kompilasi
Hukurn Islam dijelaskan juga penghalang-penghalang menerima warisan, yaitu:
1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada muwaris; 2) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Kelima, asas ijbari/keharusan/kewajiban; yaitu terjadinya peralihan harta
dari seseorang yang telah meninggal dunia (muwaris) kepada ahli warisnya
sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak
seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Asas ijbari juga berarti: 1) peralihan
harta yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, 2) jumlah harta
sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, 3) orang-orang yang akan
menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yakni mereka yang
mempunyai hubungan darah dan perkawinan.
Keenam, asas bilateral; yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan
dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat
keturunan perempuan; ketujuh, asas individual/perorangan; yaitu
harta
warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara
perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam
nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
Kedelapan, asas keadilan yang berimbang; yaitu harus ada keseimbangan
antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau
beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan
misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya
masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang lakilaki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi
keperluan hidup anak dan isterinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya.
Tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

9

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan
bantuan atau tidak.
Kesembilan, asas kematian; yaitu kewarisan baru muncul bila “Muwaris‟
meninggal dunia. Dengan demikian, kewarisan semata-mata sebagai akibat dari
kematian seseorang. Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut
kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia,
artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui
pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup,
dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada
orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah
kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum
Islam.
Kesepuluh, asas membagi habis harta warisan; yaitu semua harta
peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris
sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara: 1) menentukan siapa yang menjadi ahli
waris dengan bagiannya masing-masing, 2) membersihkan/ memurnikan harta
warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian
hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan Radd.16
A. Ananlisis dan Tawaran Alternatif
1. Asas Kewarisan Islam tentang Sebab-sebab Mewarisi dan Pengahalangnya
Muslimin Simar menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas
yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta mayit
sebagai harta warisan (mauruts), di samping itu, Haptiadi juga
memperkenalkan asas hubungan darah dan hubungan perkawinan, serta
asas penderajatan dan asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Pada
dasarnya, asas kematian, asas hubungan darah, dan asas hubungan
perkawinan menjelaskan mengenai sebab-sebab mewarisi; yaitu sebabsebab mewarsi adalah karena wafatnya muwarits, dan ahli waris yang
menerima tirkah karena hubungan darah atau karena hubungan
perkawinan (suami-isteri). Tiga asas ini--kematian, hubungan darah, dan
hubungan perkawinan--tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh ulama.
Akan tetapi, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling) yang merupakan
pengaruh dari hukum perdata Eropa yang telah diakomodir dalam
Kompilasi Hukum Islam, sering juga mendapat penolakan kyai-kyai di
pesantren, termasuk di antaranya dosen Perguruan Tinggi Islam.
Asas ijbari diperkenalkan oleh ulama guna menjelaskan proses
intiqal al-milkiyah dari milik fardiyah (Muwarits) menjadi milik ahli waris
(terjadi syirkah-amlak dalam hal ahli warisnya lebih dari dua orang).
Secara etimologis, ijbari berasal dari kata jabar yang di antara artinya
H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/ diakses
tanggal 13 Pebruari 2011.
16

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

10

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

adalah terpaksa/paksaan; sedangkan arti terminologinya adalah
perpindahan pemilikan harta dari Muwaris kepada ahli waris karena
ketentuan yang terdapat dalam Quran-sunah. Dengan demikian, dalam
proses perpindahan kepemilikan harta tersebut tidak terdapat unsure
paksaan terhadap Muwaris, bahkan tidak ada larangan secara eksplisit
dalam Quran-sunah bagi ahli waris untuk menolak menerima harta
warisan yang bernilai positif (bukan dalam bentuk hutang). Sedangkan
apabila ahli waris menerima warisan berupa utang, maka secara hukum
yang bersangkutan berkewajiban secara agama untuk membayarnya
sesuai dengan kemampuannya. Asas ijbari juga berarti peralihan harta
yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, jumlah harta
sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, orang-orang yang
akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yaitu
orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan. Dengan
demikian, asas ijbari juga dapat dimasukkan sebagai asas yang
menjelaskan sebab-sebab mewarisi. Arti etimologi ijbari dengan arti
terminologinya tidak terlalu relevan.
Asas huququn thabi‟iyah/hak-hak dasar menilai ahli waris dari segi
kemanusiaannya; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang
baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian tetapi
masih hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri
yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka
dipandang cakap untuk mewarisi.
Dalam fikih mawaris dikenal konsep hijab-mahjub sesame ahli
waris karena asas penderajatan (ketentuan hukum mengenai ahli waris
dekat dan ahli waris jauh) dan dikenal juga sebab-sebab yang dapat
membuat seseorang terhalang untuk menerima harta warisan (mawani„ alirtsi), di antaranya adalah murtad, membunuh, dan hamba sahaya.
Mengenai sebab-sebab mewarisi, isu yang relative krusial adalah isu
perbedaan agama antara Muwaris dengan ahli waris serta isu riddah.
Pada umumnya, para terpelajar yang terpengaruh dengan doktrin
Universal Declaration of Human Right (UDHR), terutama tentang ajaran
menganai kebebasan beragama, menganggap bahwa ridah dan perbedaan
agama sebagai penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan yang
dinilai diskriminatif.
2. Asas Kewarisan Islam tentang Obyek yang Bisa Diwariskan dan Bagi
Habis
Asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan merupakan penjelasan
mengenai batasan-batasan mengenai harta yang dapat diwariskan. Oleh
karena itu, hak-hak kebendaan menjelaskan mengenai obyek yang dapat
dan tidak dapat diwariskan; yaitu hak dan kewajiban dalam hukum
kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi tidak
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

11

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

dapat diwariskan. Di samping itu, asas ini secara implisit mengenai
proses-proses sebelum pembagian mauruts, antara lain melunasi hutanghutang muwaris kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan
kepada ahli waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada.
Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang mendasari
aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar
bagian masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara
menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masingmasing, membersihkan/memurnikan harta warisan seperti hutang dan
wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga
dikenalkan konsep Aul dan Radd.
3. Asas Ta„abudi Versus Asas Ta„aquli
Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara wahyu
dan akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason) dari Coluson, teori
pilihan antara kesempurnaan agama dan pemabaharuan (iktimâl al-dîn wa
tajdîduhu) dari Imarah, dan teori Autoritas Hukum dari Gibb yang
didukung oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927)
dengan teori receptie in complex, pada dasarnya berhubungan dengan asas
ketuhanan yang dikemukakan oleh Riana Kesuma Ayu dalam konteks
hukum Adat di Indonesia, dan juga relevan dengan asas
ta'abbudi/penghambaan diri, yaitu pelaksanaan pembagian waris secara
Islam diyakini sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Asas ketuhanan mengandung ajaran bahwa melaksanakan
pembagian waris merupakan bagian dari menjalankan (baca: taat pada)
ajaran agama Islam yang termasuk ibadah. Pada umumnya, asas ini
memberikan ruang yang sangat luas dalam menerima teks Quran, sunah,
dan pendapat ulama apa adanya; teks-teks suci yang terdapat dalam
Quran-sunnah dipahami, diterima, dan dijalankan apa adanya; penafsiran
terhadap Quran-sunah ditolelir dalam keadaan khusus atau tertentu.
Asas ilahiyah (ta„abudi) memberikan ruang yang terbatas pada
ijtihad karena para pembesar dan penganut madzhab/aliran berpikir ini
berpendapat bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang
lebih dekat dengan makna teks secara tekstual dianggap lebih shahih dan
selamat, dari pada memahami dan menjalankan ajaran agama
berdasarkan nalar (ta‟wil) yang jauh dari makna tekstualnya.
Asas ketuhanan/Ilahiyah dengan asas basyariyah/nalar harus
diadopsi dan dipadankan secara seimbang. Metode yang paling
sederhana, asas ketuhanan diterapkan terhadap obyek hukum yang sudah
ditetapkan ketentuannya dalam Quran-sunah; sedangkan asas
basyariyah/nalar diterapkan terhadap obyek/hal yang tidak ditentukan
oleh Allah dan Rasul dalam Quran-sunah. Akan tetapi, pandangan ini
biasanya dianggap pandangan sempit karena membatasi porsi ijtihad
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

12

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

yang tidak sesuai dengan semangat nalar Islami seperti ditawarkan oleh
al-Jabiri dalam kitab Bunyan al-„Aql al-„Arabi, termasuk para
pengarusutamaan jender yang menuntut pembagian sama antara laki-laki
dan perempuan karena ketentuan waris dalam Quran-sunah dianggap
bias jender, tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-mar‟ah.
H. Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan dan asas ta‟abudi
diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran, keutuhan dalam memahami
dan menjalankan ajaran Islam (baca: waris) selaras dengan asas
integrity/ketulusan.
4. Tawaran: Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas Fungsi
Pada kesempatan ini ddiajukan tiga asas yang berkaitan dengan
cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh, asas Tertib
Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah yang dirinci pada bagian
berikut.
Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun 2000an
dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam mu‟amalah, yaitu
tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab mudharabah (bagian dari
syirkah) dalam membagi keuntungan antara shahib al-mal/pemilik dana
dengan mudharib/pengelola. Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid
menjelaskan bahwa tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan
(tandhidh asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan
bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang menyatakan
bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan akad mudharabah
tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan tandhidh terhadap modal usaha
mudharabah; yaitu melakukan tahwil (penaksiran) terhadap barang
dengan harga/nilai tertentu (tahwiluhu min „urudh ila nuqud).17
Asas tandhidh kelihatannnya layak untuk dipertimbangkan dalam
pembagian harta warisan, terutama terhadap mauruts/tirkah yang ragam
dari segi bentuk dan nilai. Misalnya Tuan Ahmad meninggal dunia
dengan harta peninggalan berupa sebuah bangunan ruko di Mangga Dua
Jakarta, satu bangunan ruko di Jambu Dua Bogor, tanah sawah seluas 10
hektar di Jonggol, tiga buah mobil dengan merk Jaguar, Alpard, dan
Avanza, dan tanah seluas 1o hektar di Pamengpeuk Garut. Maka ahli
waris Tuan Ahmad atau juru taksir yang ditunjuk harus menaksir terlebih
dahulu seluruh harta warisan ke dalam bentuk rupiah (nuqud), pembagian
harta warisan dilakukan setelah dilakukan penaksiran sehingga sangat
mungkin luas tanah atau bangunan yang diterima oleh ahli waris berbedabeda tapi relatif sama dari segi nilai/harga setelah dilakukan perhitungan
17Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif
al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma„had al-„Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159. Penjelasan yang sama
juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausu„ah Fatawa al-Mu„amalat al-Maliyyah li
al-Masharif wa al-Mu‟assasat al-Maliyah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

13

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

porsi/kadar bagian masing-masing ahli waris sesuai dengan derajat yang
dimilikinya. Hal itu dilakukan karena harga ruko di Mangga Dua dan di
Jambu Dua berbeda, harga tanah di Jonggol berbeda dengan harga tanah
di pameungpeuk, dan harga mobil yang diwariskan juga berbeda-beda
karena perbedaan merk.
Asas tandhidh diduga kuat telah dipraktekkan di masyarakat
meskipun cara penaksirannya dilakukan bukan oleh ahlinya (missal pihak
aprassial); sehingga ada yang memperoleh harta warisan hanya 200 meter
persegi karena terletak di pinggir jalan utama, sementara saudaranya yang
lain menerima harta warisan berupa tanah yang luasnya mencapai 1000
meter persegi tapi tidak di pinggir jalan utama, karena perbedaan harga
tanah yang disebabkan oleh letak tanah tersebut.
Kedua, asas Tertib Administratif; yaitu pembagian harta warisan
merupakan perbuatan hokum Islam yang seharusnya memiliki akta
otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang agar keluarga yang
bersangkutan terhindar dari perselisihan yang terutama biasanya terjadi
di kemudian hari (sunda: ngagugat).
Apabila ahli waris berselisih dalam pembagian warisan, maka
mereka dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan (Pengadilan
Agama atau Pengadilan Negeri); terhadap pembagian warisan yang
diputus/ditetapkan dengan putusan pengadilan dengan sendirinya
memiliki alat bukti berupa putusan pengadilan. Sedangkan bagi ahli waris
yang membagi harta warisan secara baik-baik (tidak berselisih) kadangkadang tidak memiliki alat bukti otentik mengenai pembagian harta
warisan yang dilakukan. Oleh karena itu, layak kiranya dipikirkan untuk
membentuk institusi yang berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai pembagian harta warisan agar keluarga yang bersangkutan
terhindar dari perselisihan yang terjadi di kemudian hari.
Ketiga, asas fungsi; dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal 189 (1)
dijelaskan bahwa harta warisan yang berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari dua hektar, supaya dipertahankan keutuhannya
sebagaimana semula, dan dimanpaatkan untuk kepentingan bersama para
ahli waris yang bersangkutan. Ketentuan ini--dalam pandangan Oyo
Sunaryo Mukhlas--disebut sebagai asas pemeliharaan keutuhan dan
kesatuan lahan.18
Harta warisan yang pengelolaannya memerlukan kehalian khusus,
sebaiknya pembagiannya dilakukan secara musahamah; yaitu harta
peninggalan tersebut secara operasional tetap dipelihara dan dikelola
secara bisnis guna mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesama
ahli waris sesuai kesepakatan.
18Oyo

Sunaryo Mukhlas, “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam dalam Tata
Hukum Indonesia,” dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

14

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

Apabila di antara ahli waris memiliki keahlian yang kurang-lebih
sama, maka pemeliharaan dan pengelolaan harta peninggalan dapat
dilakukan secara bergiliran. Umpama: Tuan Tarfin meninggalkan harta
warisan bertipa rumah makan yang luasnya 10 meter persegi (4 m x 2.5 m)
di Cikapundung Elektronik Center Bandung. Ia meninggalkan 2 orang
anak laki-laki dan anak perempuan serta isterinya sebagai ahli waris,
maka dengan bimbingan ibunya, dua anak tersebut sebagai ahli waris
diberi hak untuk memelihara dan mengoperasikan rumah makan tersebut
pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Dengan cara demikian,
keuntungan yang diterima keluarga masih bias diperoleh dalam jangka
yang lebih lama bila dibandingkan dengan cara penjualan rumah makan
tersebut. Dengan demikian, asas fungsi pada prinsipnya merupakan
bagian dari asas mashlahah; yaitu harta muwarits yang dibagikan kepada
ahli waris tidak boleh hilang fungsi dan manfaatnya.
F. Penutup
Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu sendiri
termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatru hukum dapat ditelusuri
dan digali secara akademik yang pada level peraturan perundang-undangan,
penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„-jama„i yang
sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam
dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara.
Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas fungsi, merupakan
tawaran yang diharapkan dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak
oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan” sebagai asas dalam
pembagian harta warisan. Wa Allah A„lam bi al-shawwab.
Daftar Pustaka
Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausu„ah Fatawa al-Mu„amalat al-Maliyyah li alMasharif wa al-Mu‟assasat al-Maliyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam.
E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.”
H. Hatpiadi. 2011. “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam
www.badilag.net/.
H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,”
www.badilag.net/.
Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX.
Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.
Mintarno. 2006. “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum
Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),”
Tesis Magister, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Muhammad „Imarah. 1991. Ma„alim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar al-Syuruq.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

15

Asas-Asas Hukum…

Jaih Mubarok

Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham alMudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Ma„had al-„Alami li al-Fikrr
al-Islami.
Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago &
London: The University of Chicago Press.
Riana Kesuma Ayu. 2011. “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.
Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh Tanqîh al-Fushûl fî
Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl. Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah.
Tjun Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan
Pembentukan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

16

POSITIVISASI HUKUM EKONOMI ISLAM
Isa Ansori
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstract
The views on the important of legislation on economics come from legal positivism.
According to legal positivism, the main law is law made by state or legal institutions in a
state which is forced, exclusive, hirarkhis, systematic and uniform for all the people. The
positive economics law which is written on constitution or law is made to manage how
economic in a country is managed and aimed to make prosperity among the people. The
syariah economics law which its existence is received in Indonesia constitution also needs
to be made as positive law using methods that can easily received by all Indonesia people,
so that it would forced the people to implement it happily and could make prosperity for
all Indonesian people.
Key Word: Positivsm, Syariah Economics Law
A. Pandangan tentang Pentingnya Positivisasi Hukum Ekonomi
Pandangan tentang pentingnya legislasi hukum dalam suatu negara pada
dasarnya berangkat dari aliran positivisme hukum.Menurut aliran ini hukum
yang utama adalah hukum yang berasal atau diciptakan oleh manusia, yakni
hukum positif.Setelah manusia membentuk organisasi negara, hukum positif
adalah hukum yang dibuat oleh badan-badan negara dan pemerintah.Hukum
diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau
badan-badan
negara
dan
pemerintah
yang
pemberlakuannya
dipaksakan.Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang memaksa, ek