PROSPEK PENGEMBANGAN POTENSI BAHAN GALIAN TAMBANG TIMAH

PROSPEK PENGEMBANGAN POTENSI BAHAN GALIAN
PADA WILAYAH BEKAS TAMBANG TIMAH DAN EMAS ALUVIAL
Oleh
Sabtanto Joko Suprapto
Kelompok Program Penelitian konservasi
ABSTRAK
Kurun waktu panjang kegiatan pertambangan di banyak wilayah telah meninggalkan bekas
tambang yang pengakhirannya disebabkan oleh berbagai latar belakang. Pada kegiatan operasi produksi
tambang tidak selalu semua bahan galian dapat tertambang, terolah dan termanfaatkan. Selain itu
pengakhiran tambang tidak selalu diakibatkan oleh telah habisnya sumber daya atau cadangan bahan
galian. Beberapa wilayah bekas tambang yang masih potensial untuk dikembangkan kandungan bahan
galiannya dapat dijumpai di beberapa lokasi di Indonesia, bahkan sebagian telah dikembangkan kembali
untuk wilayah usaha pertambangan.
Peningkatan harga dan kebutuhan komoditas tertentu menyebabkan potensi pada wilayah bekas
tambang yang semula tidak dimanfaatkan menjadi bernilai ekonomi untuk diusahakan. Bahan galian
potensial pada wilayah bekas tambang dapat berupa tailing yang masih mengandung bahan berharga,
maupun cebakan dalam kondidi insitu.
PENDAHULUAN
Kegiatan pertambangan di Indonesia telah
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.
Pertambangan emas talah berlangsung sejak

jaman Hindu dan berlanjut pada masa penjajahan
Belanda. Emigran dari China juga telah
melakukan penambangan emas pada beberapa
ratus tahun yang lalu khusunya emas aluvial.
Indonesia sebagai produsen timah putih terbesar
dunia,
mengalami
pasang
surut
dalam
pengusahaan pertambangan timah putih. PT.
Timah yang merupakan produsen timah terbesar,
pada awal tahun 1990an melakukan restrukturisasi
dengan melakukan penciutan jumlah karyawan
serta melepas sebagian wilayah izin usaha
pertambangannya.
Akan
tetapi
dengan
meningkatnya harga timah di pasaran dunia pada

beberapa tahun terakhir, serta masih banyaknya
sumberdaya timah yang masih tersisa di alam,
maka bekas wilayah usaha pertambangan timah
yang telah ditutup sebagian kembali diusahakan
oleh pelaku usaha pertambangan timah maupun
masyarakat.
Pengusahaan timah telah berlangsung sekitar 200
tahun, yaitu sejak pendudukan oleh Belanda.
Setelah kemerdekaan, pengusahaan dilanjutkan
oleh PT. Timah dan PT. Koba Tin, yang
menjalankan operasinya terutama di Pulau

Karimun, Kundur, Singkep, Belitung,
dan
Bangka, penambangan dilakukan baik di darat
maupun lepas pantai.
Prospek pengusahaan timah masih cukup
menjanjikan, banyak perusahaan lokal yang mulai
melakukan usaha pertambangan timah putih.
Bahkan penambangan oleh masyarakat setempat

dengan peralatan sederhana marak dilakukan di
wilayah pulau-pulau penghasil timah tersebut di
atas.
Wilayah bekas tambang dapat berpotensi masih
mengandung bahan komoditas utama, mineral
ikutan, dan bahan galian lain. Beberapa wilayah
bekas tambang terutama bekas kegiatan
penambangan pada masa pendudukan Belanda
dan wilayah bekas tambang dari kegiatan
penambangan oleh masyarakat dan PETI dapat
diusahakan kembali oleh para pelaku usaha
pertambangan, baik untuk memanfaatkan sisa
bahan galian utama yang pernah diusahakan
sebelumnya, mineral ikutan, maupun bahan galian
lainnya.
Mineral mengandung unsur tanah jarang sebagai
mineral ikutan dari komoditas utama emas dan
timah aluvial, berpeluang besar untuk diusahakan
sebagai
produk

sampingan yang
dapat
memberikan nilai tambah signifikan dari seluruh
potensi bahan galian.

Potensi emas aluvial yang relatif melimpah yang
dapat dijumpai tersebar di sebagian pulau-pulau
besar di Indonesia, serta Jalur Timah Asia
Tenggara yang mengandung sebagian besar
sumber daya timah dunia melewati wilayah
Indonesia mulai dari Kepulauan Karimun Singkep
sampai Bangka Belitung merupakan potensi
strategis untuk dikembangkan.
KEPROSPEKAN WILAYAH BEKAS
TAMBANG TIMAH DAN EMAS ALUVIAL
Wilayah Bekas Tambang Timah
Timah putih (Sn) adalah logam berwarna putih
keperakan, dengan kekerasan yang rendah, berat
jenis 7,3, serta mempunyai sifat konduktivitas
panas dan listrik yang tinggi. Logam timah putih

bersifat mengkilap dan mudah dibentuk. Timah
diperoleh terutama dari mineral kasiterit yang
terbentuk sebagai oksida, tidak mudah teroksidasi,
sehingga tahan karat.
Pada tahun lima puluhan, timah putih pernah
menjadi komoditas hasil tambang kedua setelah
minyak, yang memberikan kontribusi kepada
pendapatan
negara.
Meskipun
sejarah
pertambangan timah telah berlangsung lebih dari
dua ratus tahun, potensi sumber daya timah masih
prospektif untuk diusahakan. Usaha pertambangan
timah mulai dari kegiatan eksplorasi sampai
pemasaran, masih berlangsung intensif, meskipun
kegiatan usaha tersebut telah berlangsung cukup
lama di Indonesia. Pertambangan timah masih
memerlukan kegiatan eksplorasi untuk penemuan
cadangan baru, khususnya endapan lepas pantai.

Sumber daya dan cadangan yang telah terungkap
belum mewakili keseluruhan endapan lepas pantai
terutama yang berada pada kedalaman > 50 meter,
serta potensi kadar rendah yang sehubungan
dengan kenaikan harga yang tinggi menjadi
berpotensi ekonomi.
Potensi timah putih di Indonesia tersebar
sepanjang kepulauan Riau termasuk Singkep
sampai Bangka Belitung, serta terdapat di daratan
Riau, yaitu di Kabupaten Kampar dan Rokan Ulu.
Sumber daya timah putih yang telah diusahakan
merupakan endapan sekunder, baik terdapat
sebagai tanah residu dari cebakan primer, aluvial
darat, maupun sebagai endapan lepas pantai.
Mineral yang terkandung di dalam bijih timah
berupa kasiterit sebagai mineral utama, dengan

mineral ikutan seperti pirit, kuarsa, zirkon,
ilmenit, senotim, dan monasit. Mineral-mineral
ikutan pada bijih timah akan terpisahkan pada

proses pengolahan, sehingga berpotensi menjadi
produk sampingan (Gambar 1).
Pengakhiran kegiatan pertambangan timah seperti
terjadi di beberapa lokasi pada masa lalu tidak
semuanya akibat habisnya sumber daya timah.
Bijih timah yang tersisa diperkirakan masih
potensial untuk kembali diusahakan, dan oleh
masyarakat serta pengusaha setempat beberapa
tahun terakhir kembali diusahakan (Gambar 6).
Penambangan timah putih lepas pantai pada masa
lalu menggunakan kapal keruk yang mempunyai
kapasitas dapat menjangkau kedalaman 15-50
meter. Sumber daya timah putih dengan sebaran
berada pada kedalaman dari permukaan air lebih
dari 50 meter atau kurang dari 15 meter tidak
tertambang dan masih tersisa (Gambar 5).
Kecenderungan harga yang terus meningkat
disertai konsumsi dunia yang meningkat juga,
mengakibatkan cut off grade (CoG) cenderung
menurun, oleh karena itu sumber daya timah

dengan kadar rendah yang pada masa lalu tidak
ekonomis diusahakan, dapat menjadi cadangan
yang mempunyai nilai ekonomi. Peningkatan
jumlah status sumber daya menjadi cadangan
tersebut
dapat
memberikan
peluang
pengembangan cebakan timah yang pada
beberapa wilayah telah dilakukan pengakhiran
tambang (Gambar 2 dan 4).
Penambangan dan pengolahan oleh masyarakat
yang cenderung hanya mengambil kasiterit, tidak
optimal, mengingat komoditas dari mineral ikutan
terbuang bersama tailing. Pengolahan dengan
proses pemisahan menggunakan peralatan yang
lengkap akan memberikan nilai tambah berupa
mineral ikutan yang terproses dan terpisahkan
menjadi komoditas produk sampingan.
Kebutuhan dunia akan timah putih yang terus

meningkat,
yang
dilatarbelakangi
oleh
pengurangan penggunaan timah hitam di negara
maju, dan peningkatan konsumsi untuk berbagai
kebutuhan telah memberikan dampak kenaikan
harga yang sigifikan dan cenderung masih terus
meningkat. Tailing yang semula dianggap sudah
tidak mempunyai kandungan mineral berharga
yang signifikan untuk diusahakan, sebagian

kembali digali dan diolah kandungan timahnya
(Gambar 3).
Produksi timah Indonesia yang tinggi, tidak
seluruhnya dalam bentuk logam timah. Belum
seluruh timah yang dihasilkan dilakukan
peleburan menggunakan smelter yang ada di
dalam negeri. Kapasitas peleburan yang belum
mampu menampung seluruh produksi pasir timah,

maka masih memerlukan lagi peningkatan
kapasitas smelter atau pembangunan smelter
timah yang baru.
Indonesia sebagai eksportir timah terbesar dunia
mempunyai peluang untuk menjaga atau
mengendalikan harga timah putih di pasar dunia.
Hal ini perlu dikelola secara optimal untuk
menjaga dan melindungi kegiatan usaha
pertambangan
agar
dapat
menghasilkan
konstribusi pada pembangunan yang lebih
optimal.

lempung dengan ketebalan sekitar dua meter, pada
lapisan kaya emas di bawahnya dijumpai keramik
Cina berupa cawan, sehingga ada kemungkinan
prospek tersebut pernah diusahakan. Demikian
juga cebakan emas di Daerah Meulaboh, NAD,

dan Logas, Riau, pernah ditambang pada masa
pendudukan Belanda dan Jepang (Van Leeuwen,
1994).
Cebakan emas aluvial dicirikan oleh kondisi
endapan sedimen bersifat lepas dengan kandungan
logam emas berupa butiran, dapat ditambang dan
diolah dengan cara pemisahan emas secara fisik,
menggunakan peralatan sederhana. Optimalisasi
pemanfaatan potensi emas aluvial dapat dilakukan
dengan menyesuaikan kelayakan sekala usaha
yang tepat sesuai dengan dimensi cebakan.
Cebakan dengan dimensi relatif kecil tidak bisa
menggunakan peralatan berat tetapi dapat
dikembangkan untuk pertambangan sekala kecil
atau pertambangan rakyat menggunakan peralatan
sederhana.

Wilayah Bekas Tambang Emas
Cebakan emas aluvial di Indonesia terdapat
terutama pada pulau-pulau besar seperti Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sebaran emas
aluvial berada pada permukaan atau dekat
permukaan, dengan spesifik emas berupa warna
dan kilap yang sangat menarik, sehingga
keberadaan emas aluvial mudah dikenali, dan
umumnya mudah ditemukan dan diusahakan oleh
masyarakat setempat.
Emas sebagai salah satu komoditas tambang
sudah dikenal dan diusahakan di Indonesia sejak
lebih dari seribu tahun yang lalu. Pendatang dari
Cina telah menambang cebakan emas aluvial di
Kalimantan pada abad keempat. Kegiatan
tambang dalam dan tambang aluvial marak
dilakukan oleh emigran Hindu dan masyarakat
setempat di Sumatera dan Sulawesi Utara.
Tercatat pada manuskrip Cina berumur lebih dari
1000 tahun, yang telah menggambarkan kekayaan
emas di Kepulauan Indonesia serta tentang adanya
beberapa tambang emas (Van Leeuwen, 1994).
Cebakan emas aluvial di Daerah Monterado,
Kalimantan Barat pernah diusahakan oleh
pendatang dari Cina pada awal abad 18 (Keyser &
Sinay, 1993). Prospek di daerah Sungai Gambir,
Bungotebo, Jambi, pada tahun 1992, setelah
dilakukan pengupasan lapisan penutup berupa

Cebakan emas letakan/ aluvial dapat dijumpai
berupa tanah lapukan dari cebakan bijih emas
primer (eluvial), endapan koluvial, endapan
fluviatil dan endapan pantai.
Cebakan emas koluvial mempunyai pemilahan
buruk, fragmen penyusun berukuran bervariasi
hingga dapat mencapai ukuran bongkah.
Penyebaran pada daerah sempit di sekitar tekuk
lereng perbukitan. Pada alur sungai stadia muda,
cebakan emas aluvial dapat dijumpai berupa
sebaran sempit pada sepanjang badan sungai,
dengan fragmen penyusun umumnya berukuran
kasar, sebagian besar mengandung bongkah.
Pada endapan fluviatil stadia dewasa sampai tua
dapat dijumpai cebakan emas dengan sebaran
luas. Ketebalan aluvial mengandung emas dapat
mencapai beberapa meter, lebar beberapa ratus
meter dan panjang beberapa kilometer.
Selain umumnya terdapat pada endapan berumur
Resen - Kuarter, cebakan emas letakan dapat
dijumpai juga pada batuan lebih tua berupa
konglomerat, seperti contoh konglomerat alas
mengandung emas yang dijumpai di daerah Topo,
Nabire, Papua.
Cebakan emas aluvial yang umum ditemukan di
Indonesia adalah dalam bentuk endapan kipas

aluvial, endapan gravel bars, endapan channel,
endapan dataran banjir, dan endapan pantai.
Bahan galian yang terkandung pada cebakan emas
aluvial, selain emas sebagai komoditas utama,
terdapat mineral/ bahan ikutan yang kemungkinan
berpotensi ekonomis. Mineral/ bahan ikutan
tersebut sebagai matriks maupun fragmen dari
endapan aluvial (Tabel 1).
Berdasarkan hasil eksplorasi pada beberapa
daerah prospek, sumber daya yang terbentuk pada
setiap daerah prospek menunjukkan kuantitas
kurang dari 10 ton emas (Suprapto, 2007).
Sumber daya emas aluvial pada beberapa daerah
prospek, umumnya telah dimanfaatkan, baik oleh
pelaku usaha pertambangan maupun masyarakat.
Kegiatan
penambangan
sebagian
masih
berlangsung sampai saat ini, sehingga sumber
daya emas aluvial tersisa dalam kondisi insitu
berjumlah relatif sedikit. Akan tetapi mengingat
perkembangan kebutuhan komoditas tertentu
seperti zirkon dan pasir besi yang terkandung juga
sebagai mineral/ bahan ikutan pada cebakan emas
aluvial, maka bahan galian pada beberapa wilayah
bekas tambang emas aluvial, khususnya yang
tersisa dalam bentuk tailing, dapat diolah kembali
untuk memperoleh mineral/bahan ikutannya yang
pada masa lalu belum mempunyai nilai ekonomis
(Gambar 9 dan 10).
Kegiatan penambangan dan pengolahan emas
aluvial oleh masyarakat, umumnya tanpa upaya
memanfaatkan mineral ikutan, sehingga terbuang
bersama tailing.
Wilayah bekas tambang Monterado di Kabupaten
Bengkayang, Kalbar, dengan luas wilayah bekas
tambang sekitar 3.084 Ha. Sumber daya emas
pada tailing sebesar 83.268.000 m3 @ 51 mg/m3,
atau 42,4 ton logam emas. Sumber daya emas
aluvial insitu di hulu Sungai Raya yang belum
ditambang sebesar 4.626.000 m3 @ 136 mg/m3
atau 0,629 ton logam emas (Gambar 8).
Daerah bekas tambang Sekonyer sebelumnya
merupakan wilayah pertambangan rakyat dan
PETI, yang melakukan kegiatan penambangan
dan pengolahan tanpa diikuti dengan upaya
reklamasi lahan, sehingga meninggalkan tailing
masih dalam keadaan terbuka yang tidak ditimbun
dengan tanah penutup. Pada tailing terdapat
mineral ikutan bernilai ekonomi, yaitu zirkon, dan

masih mengandung emas. Pengolahan tailing
untuk mendapatkan kandungan zirkon yang
dilakukan oleh masyarakat masih menghasilkan
juga emas sebagai hasil sampingan (Rohmana dan
Gunradi, 2006)
Kandungan mineral ikutan berupa zirkon pada
tailing tambang emas aluvial, di beberapa daerah
prospek di Kalimantan telah diusahakan, di
antaranya bekas tambang emas aluvial di S.
Sekonyer (Rohmana dan Gunradi, 2006) sebaran
tailing seluas 3.777 Ha, volume 94.425.000 m3 @
894 gr/m3 zirkon, dari pengolahan oleh tambang
rakyat telah dihasilkan ± 50.968 ton zirkon,
sumber daya zirkon yang masih tersisa ± 33.979
ton. Kandungan emas pada tailing @ 1,986
mg/m3, sumber daya emas pada tailing sebesar ±
187 kg berpotensi menjadi produk sampingan dari
pengolahan zirkon (Gambar 10).
Selain perolehan zirkon, tailing tambang emas
aluvial telah dimanfaatkan juga kandungan pasir
besinya, batu mulia berupa fragmen silika, untuk
batu cincin, serta pemanfaatan tailing sebagai
sirtu untuk bahan bangunan (Gambar 9).
Sumber daya emas aluvial pada beberapa daerah
prospek, umumnya telah dimanfaatkan, baik oleh
pelaku usaha pertambangan maupun masyarakat.
Kegiatan
penambangan
sebagian
masih
berlangsung sampai saat ini, sehingga sumber
daya emas aluvial tersisa dalam kondisi insitu
berjumlah relatif sedikit (Gambar 8). Akan tetapi
mengingat perkembangan kebutuhan komoditas
tertentu seperti zirkon dan pasir besi yang
terkandung juga sebagai mineral/ bahan ikutan
pada cebakan emas aluvial, maka bahan galian
pada beberapa wilayah bekas tambang emas
aluvial, khususnya yang tersisa dalam bentuk
tailing, dapat diolah kembali untuk memperoleh
mineral/bahan ikutannya yang pada masa lalu
belum mempunyai nilai ekonomis (Gambar 10).
KESIMPULAN
Pertambangan timah dan emas yang telah
berlangsung di Indonesia dalam kurun waktu
panjang, dengan pasang surut kegiatan usahanya
menyebabkan wilayah bekas tambang yang
banyak dijumpai di beberapa daerah masih
mengandung komoditas bahan galian yang
berpotensi diusahakan. Selain itu perkembangan
teknologi
penambangan
dan
pengolahan,
perubahan harga di pasaran, serta kebutuhan

komoditas tertentu yang sebelumnya sama sekali
tidak mempunyai nilai ekonomi, menyebabkan
bahan galian tertinggal pada wilayah bekas
tambang yang sebelumnya tidak ekonomis untuk
diusahakan menjadi berpotensi ekonomi untuk
diusahakan.
Sebaran kegiatan tambang rakyat dan PETI yang
dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah
Indonesia dengan kapasitas sarana penambangan
dan pengolahan yang sangat terbatas berpotensi
menyisakan bahan galian yang tidak terjangkau
proses penambangan/penggalian, serta perolehan
pengolahan yang rendah, tailing yang dihasilkan
cenderung masih mengandung bahan galian
berharga.
Bahan galian tersisa pada wilayah bekas tambang
dapat berupa komoditas yang sama dengan yang
diusahakan saat tambang masih aktif, atau berupa
mineral ikutan, dan bahan galian lain yang pada
saat tambang masih aktif belum diusahakan.
Tailing pada wilayah bekas tambang rakyat dan
PETI umumnya masih dibiarkan berada
dipermukaan tanpa upaya reklamasi menutup
dengan tanah dan tanaman, sehingga pengolahan
kembali tailing tersebut dapat dilakukan tanpa
proses pengupasan lapisan penutup.
Potensi unsur tanah jarang pada endapan timah
dan emas aluvial berupa pasir monasit, xenotim
dan
zirkon,
merupakan
modal
untuk
pengembangan
produk
teknologi
tinggi,
khususnya dalam jangka panjang, sehingga
meskipun belum mempunyai nilai ekonomi tinggi
dapat disimpan untuk pemanfaatan di masa yang
akan datang.
Pemberdayaan bahan galian tertinggal pada
wilayah bekas tambang, sejalan dengan kaidah
konservasi dalam upaya untuk mendapatkan
manfaat yang optimal dari potensi yang ada.
ACUAN
Arif, R, Sutrisno, Jaenudin, J., 2006. Inventarisasi
Bahan Galian Pada Bekas Tambang di Daerah
Pulau Madang dan Logas, Kabupaten Kuantan
Singingi, Provinsi, Riau, Pusat Sumber Daya
Geologi, Bandung.
Gunradi, R., dan Djunaedi, E.K., 2003. Evaluasi
Potensi Bahan Galian pada Bekas Tambang dan

Wilayah PETI di Daerah Monterado, Kabupaten
Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat,
Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral,
Bandung
Keyser, F & Sinay, J.N., 1993. History of
Geoscientific in West Kalimantan, Indonesia,
Journal of Australian Geology & Geophysics,
NSW.
Macdonald, E.H., 1983. Alluvial
Chapman and Hall, New York

Mining,

Rohmana dan Gunradi, R., 2006. Inventarisasi
Bahan Galian Pada Wilayah PETI, Daerah
Kotarawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Pusat
Sumber Daya Geologi, Bandung
Rohmana, dan Suprapto, S.J., 2008. Penyelidikan
Bahan Galian pada Wilayah Bekas Tambang,
Pulau Singkep, Kabupaten Lingga, Provinsi
Kepulauan Riau. Pusat Sumber Daya Geologi,
Bandung
Suprapto, S.J., 2007. Tinjauan Tentang Cebakan
Emas Aluvial di Indonesia. Buletin Sumber Daya
Geologi. Vol 2 Nomor 2-2007, Bandung
Van Leeuwen, T.M., 1994. 25 Years of Mineral
Exploration and Discovery in Indonesia, Elsevier,
Amsterdam
Widhiyatna, D., Pohan, M.P., Putra, C., 2006.
Inventarisasi Bahan Galian Pada Wilayah Bekas
Tambang, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung

Batuan Asal
Ultramafik dan
mafik
Granitoid,
pegmatit dan
greisen
Basaltis
Sienitik dan
pegmatit
Metamorfik
kontak-skarn
Kimberlit
Metamorfik
tingkat tinggi
Busur
serpentin

Mineral/ Bahan Ikutan
Kelompok
(PGM)

mineral

platina

Kasiterit, monasit, zirkon, rutil.
Magnetit, ilmenit
Zirkon, mineral tanah jarang
termasuk uranium dan mineral
mengandung thorium
Scheelite, rutil, korundum
Intan
Rutil, zirkon, gemstone
Platinum, kromit, magnetit

Karbonatit

Rutil, ilmenit, magentit, mineral
tanah jarang, uranium, niobium,
thorium, zirkon

Beberapa jenis
batuan

Aneka bahan

TABEL 1. Batuan asal endapan aluvial dan
mineral/ bahan ikutan (modifikasi dari Macdonald,
1983)

GAMBAR 2. Endapan timah aluvial insitu pada
wilayah bekas tambang di Singkep (Rohmana dkk,
2008)

GAMBAR 1. Persentase kandungan kasiterit dan
mineral ikutan pada konsentrat pasir timah (Data
dari beberapa sumber)

GAMBAR 3. Tailing tambang timah yang kembali
ditambang (Widhiyatna dkk, 2006)

GAMBAR 4. Penambangan di bekas pit timah

GAMBAR 5. Penambangan timah oleh masyarakat pada wilayah bekas KP PT.
Timah di lepas pantai timur Pulau Singkep

GAMBAR 6. Sumber daya timah lepas pantai tersisa di beberapa daerah prospek Wilayah Bekas
Tambang (Data dari beberapa sumber)

GAMBAR 7. Wilayah bekas tambang Monterado (Sumber data Gunradi dkk,
2003)

GAMBAR 8. Endapan aluvial mengandung emas di wilayah bekas
tambang Monterado (Gunradi dkk, 2006)

Gambar 9. Tambang sirtu dari tailing tambang emas, Kuantan Sengingi
(Arief dkk, 2006)

GAMBAR 10. Peta sebaran tailing tambang emas aluvial dan lokasi tambang zirkon (modifikasi
dari Rohmana dan Gunradi, 2006)