ProdukHukum BankIndonesia
(2)
Laporan
Sistem Pembayaran dan
Pengedaran Uang
2008
Bank Indonesia
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Direktorat Pengedaran Uang
(3)
TRANSFER ELEKTRONIK M ELALUI SISTEM BI- RTGS DAN SKNBI
... 7
CEK DAN BILYET GIRO
... 9
ALAT PEM BAYARAN DENGAN M ENGGUNAKAN KARTU (APM K)
... 10
KARTU KREDIT... 10
ACCOUNT BASED CARD (KARTU ATM DAN DEBET)... 11
UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC M ONEY)
... 14
PERKEM BANGAN DELIVERY CHANNEL
... 15
PENYELENGGARAAN SISTEM PEM BAYA RAN OLEH BANK INDONESIA
... 15
KINERJA SISTEM BI-RTGS... 16
M ANAJEM EN LIKUIDITAS SISTEM BI-RTGS... 16
KINERJA SISTEM KLIRING... 17
M ANAJEM EN LIKUIDITAS SISTEM KLIRING... 17
CEK/BILYET GIRO KOSONG... 18
PETA PENYELENGGARAAN SISTEM PEM BA YARAN DI INDONESIA... 19
KEBIJAKAN DALAM M END ORONG EFISIENSI INDU STRI SISTEM PEM BAYARAN
...24
M ENDORONG TERBENTUKNYA STANDAR BERSAM A KARTU ATM/DEBET
...24
M ENDORONG INTEROPERA BILITY
... 25
PEM BENTUKAN SELF REGULATORY ORGA NIZATION SISTEM PEM BAYARAN
... 26
M ITIGASI RISIKO KLIRING W ARKAT DEBET
... 26
EFISIENSI LIKUIDITAS UNTUK SETELM EN DALAM SISTEM BI-RTGS
... 27
M ITIGASI RISIKO SETELM EN TRANSAKSI PERDAGANGA N VALUTA ASING ANTARBANK DI INDONESIA
... 28
EFISIENSI M ANAJEM EN PENGELOLAAN REKENING PEM ERINTAH
... 31
PERUBAHAN BATAS TRANSFER ANTAR PENERBIT M ELALUI M ESIN ATM
... 32
KOM ITM EN DAN KERJASAM A ASEANPAY
... 32
KEGIATAN USAHA PENGIRIM AN UANG
... 33
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM TRANSAKSI SISTEM PEM BAYARAN
... 33
POLA PENGATURAN SISTEM BI-RTGS YANG M ENGACU PA DA CORE PRINCIPLES FOR SISTEM ICALLY PA YM ENT SISTEM S
... 34
KEBIJAKAN DAN ARAH SISTEM PEM BAYARAN TAHUN
2009...38
BABAK BA RU APM K DAN UANG ELEKTRONIK
... 38
EFISIENSI HIGH-VALUE PAYM ENT SISTEM M ELALUI PENGEM BANGAN SISTEM BI-RTGS GENERASI II
... 39
PEM BENTUKAN SELF REGULATORY ORGANIZATION
... 41
PERIZINAN KEGIATAN USAHA PENGIRIM AN UANG
... 42
EFISIENSI KEGIATAN USAHA PENGIRIM AN UANG (KUPU)
... 42
IM PLEM ENTASI STANDARISASI KARTU ATM/DEBET BERBASIS CHIP
... 43
INTEROPERABILITY SISTEM UANG ELEKTRONIK
... 44
INISIASI PENGEM BANGA N NATIONAL PAYM ENT GATEW AY (NPG)
... 44
OVERSIGHT SP
... 46
FOKUS DAN M ETODE OVERSIGHT SP
... 46
PEM ENUHAN CP-SIPS DALAM RANGKA ASSESM ENT DAN M ITIGASI RISIKO PENYELENGGARAAN BI-RTGS
... 46
ISSUES PENYELENGGARAAN SISTEM PEM BA YARAN DI LUAR BANK INDONESIA
... 49
NON PERFORM ING LOAN KARTU KREDIT... 49
(4)
PERKEM BANGAN INDIKATOR PENGEDARAN UANG DAN TEM UAN UANG PALSU
...58
PERKEM BANGAN UANG KA RTAL YANG DIEDARKAN (UYD)
... 58
PERKEM BANGAN ALIRAN KELUAR DAN M ASUK UANG KARTAL M ELALUI BI
... 60
POSISI KAS BANK INDONESIA
... 62
PEM USNAHAN UANG
... 63
PERKEM BANGAN TEM UAN UANG PALSU
... 64
KEBIJAKAN PENGEDARAN UANG
...68
KETERSEDIAAN UANG RUPIAH YANG BERKUALITAS
... 68
PERENCANAAN KEBUTUHAN DAN PENGADAAN UANG RUPIAH... 68
M ELAKUKAN SURVEI PREFERENSI M ASYARAKAT TERHADAP PECAHAN UANG RUPIAH... 70
PERSIAPAN PENCETA KAN UANG KERTAS PECAHAN RP2.000... 71
PENGEM BANGAN LABORATORIUM UANG DAN BAHAN UANG... 71
LAYANAN KAS PRIM A
... 71
M ENGOPTIM ALKAN LAYANAN KAS... 72
PENGEM BANGAN KERJASA M A LAYANAN KAS YANG BERBASIS TANPA FEE... 72
LAYANAN KAS BI DI LUAR KANTOR... 73
PENERAPAN KETENTUAN M ENGENAI SETORAN BA YARAN BANK... 73
IM PLEM ENTASI FUNGSI CASH CENTRE... 74
KAJIAN EFEKTIVITAS LAYANAN KAS LUAR KANTOR OLEH PIHA K KETIGA... 74
PENINGKATAN M UTU KETERAM PILAN DAN KEM AM PUAN KASIR... 75
PENGEDARAN UANG YANG AM AN, HANDAL, DAN EFISIEN
... 75
KEGIATAN DAN INFORM ASI PENDUKUNG DALAM TUGAS PENGEDARAN UANG
...80
KEGIATAN M USEUM ARTHA SUAKA
... 80
PEM BENTUKAN PERHIM PUNAN KASIR W ILAYAH JAKARTA
... 80
PENILAIAN KINERJA BI DALAM PELAKSANAAN TU GAS DI BIDANG PENGEDARAN UANG
...84
SURVEI KETERSEDIAAN UA NG RUPIAH
... 84
SURVEI KEPUASAN LAYANAN KAS
... 84
SURVEI TERHADAP KEM AM PUAN M ASYARAKAT DALAM M ENGENALI CIRI-CIRI KEASLIAN UANG RUPIAH
... 85
ARAH KEBIJAKAN DAN RENCANA PENGEM BANGAN BIDANG PENGEDARAN UANG
-
2009...88
RENCANA DAN STRATEGI PENGADAAN UANG
... 88
RENCANA KEBUTUHAN DAN STRATEGI DISTRIBUSI UANG
... 88
PENGEM BANGAN KEBIJA KAN SETORAN BA YARAN
... 89
PENGEM BANGAN LAYANAN KAS TANPA FEE
... 89
M ENGELUARKAN DAN M ENGEDARKAN UANG KERTAS PECAHAN RP2.000
... 89
PENANGGULANGAN PEREDARAN UANG PALSU M ELALUI PERLUASAN SOSIALISASI IKLAN LAYANAN M ASYARAKAT M ENGENAI CIRI-CIRI KEASLIAN UANG RUPIAH, SEM INAR PEM BERANTASAN UANG PALSU, SERTA PENINGKATAN KERJASAM A DENGAN PIHAK TERKAIT
... 89
PENGEM BANGAN LABORATORIUM UANG
... 90
M ELAKSANAKAN PENELITIAN DAN KAJIAN
... 90
KAJIAN PENGEM BANGAN LAYANAN KAS BANK INDONESIA GUNA M EM ENUHI KEBUTUHAN UANG KARTAL... 90
(5)
(6)
Halaman 2
Pendahuluan
Sistem pembayaran adalah sistem yang berkaitan dengan kegiatan pemindahan dana dari satu p ihak kepada pihak lain yang melibatkan berbagai komponen sistem pembayaran, antara lain alat pembayaran, kliring, dan setelmen. Dalam prakteknya, kegiatan sistem pembayaran melibatkan berbagai lembaga yang berperan sebagai penyelenggara jasa
sistem pembayaran maupun penyelenggara
pendukung jasa sistem pembayaran seperti bank, lembaga keuangan selain bank, dan bahkan perorangan.
Dalam perkembangannya, sistem pembayaran yang merupakan salah satu pilar penopang stabilitas sistem keuangan telah berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Di sisi lain, perkembangan teknologi juga telah mendorong berkembangnya alat pembayaran dari yang semula cash based menjadi non cash based. Selanjutnya, non cash based instrument ini telah menjadi sedemikian canggih sehingga tidak lagi berbasis kertas (paper based) melainkan telah berevolusi ke bentuk paperless. Sudah barang tentu alat pembayaran yang paperless membutuhkan infrastruktur teknologi tinggi dan juga suatu legal regime yang berbeda dari alat pembayaran yang berbasis kertas.
Evolusi alat pembayaran dalam bentuk paperless diadopsi oleh Bank Indonesia dengan penerapan Sistem Kliring Nasional (SKN) yang secara signifikan
telah mengubah penggunaan warkat transfer (nota kredit) menjadi alat pembayaran elektronik (paperless). Hal ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengembangan alat pembayaran elektronik yang telah lebih dahulu diterapkan oleh Bank Indonesia melalui sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sejak tahun 2000. Bahkan untuk kalangan perbankan, evolusi alat pembayaran dalam bentuk paperless ini telah mulai berkembang jauh sebelum tahun 2000.
Sejalan dengan berkembangnya alat pembayaran, volume dan nilai transaksi melalui alat pembayaran non tunai baik dalam bentuk paper-based, card-based maupun elektronik lainnya dari tahun ke tahun juga hampir selalu menunjukkan trend peningkatan. Tahun 2008 peningkatan yang cukup signifikan terlihat dari transaksi Alat Pembayaran Dengan M enggunakan Kartu (APM K), khususnya kartu ATM , kartu debet, dan kartu kredit. Di sisi alat pembayaran elektronik, peningkatan volume terlihat dalam pembayaran antar bank melalui sistem BI-RTGS. Sementara itu, penggunaan alat pembayaran berbasis w arkat (paper based) juga menunjukkan peningkatan meskipun dalam jumlah yang kecil.
Seluruh perkembangan sistem pembayaran baik perkembangan dari sisi alat pembayaran, transaksi, maupun penyelenggaraan sistem pembayaran itu sendiri memberikan konsekuensi terhadap tingkat risiko yang harus dikelola oleh para pelaku sistem pembayaran. Berdasarkan hal tersebut, seluruh bank sentral semakin concern dengan perkembangan sistem pembayaran, termasuk Bank Indonesia dengan pertimbangan, pertama, Bank Indonesia sangat berkepentingan atas terjaganya stabilitas
penyelenggaraan sistem pembayaran yang
dikategorikan Sistemically Important Payment Sistem (SIPS), yaitu sistem yang memproses transaksi-transaksi pembayaran yang bernilai besar. Concern Bank Indonesia berkaitan dengan potensi risiko sistemik dari sistem pembayaran tersebut. Masih dalam
(7)
Halaman 3
kerangka terjaganya stabilitas penyelenggaraan sistem pembayaran, Bank Indonesia juga berkepentingan atas terjaganya stabilitas penyelenggaraan sistem pembayaran yang dikategorikan Sistem Wide Important Payment Sistem (SW IPS), yaitu sistem yang secara luas digunakan oleh masyarakat umum. Kedua, Bank Indonesia sangat berkepentingan atas terciptanya efisiensi sistem pembayaran baik yang diselenggarakan Bank Indonesia maupun di luar Bank Indonesia. Untuk menunjang hal tersebut, sep anjang tahun 2008 kebijakan yang ditempuh lebih terfokus untuk mew ujudkan efisiensi dimaksud. Upaya ini ditempuh antara lain dengan memfasilitasi terw ujudnya interoperability atau interkoneksi sistem antar penerbit dalam industri kartu ATM /Debet. Selain itu, pembentukan Self Regulatory Organization (SRO) industri kartu kredit telah pula dilakukan antara lain untuk mempercepat terw ujudnya integrasi infrastruktur yang lebih efisien.
Perkembangan sistem pembayaran juga tidak dapat dilepaskan dari peran regulator dalam hal ini Bank Indonesia dalam memberikan kesetaraan akses (equitable access) ke dalam sistem pembayaran. Bank Indonesia memberikan kesempatan yang sama kepada bank maupun lembaga non bank untuk berperan dalam sistem pembayaran guna mendukung terw ujudnya iklim usaha yang kondusif yang senantiasa memperhatikan aspek keamanan dan perlindungan konsumen.
Di sisi lain, disadari sepenuhnya bahw a transaksi pembayaran ritel di masyarakat masih banyak yang dilakukan secara tunai dengan menggunakan uang kartal. Pembayaran dengan uang kertas atau logam memang sangat sederhana karena tidak melibatkan mekanisme kliring maupun setelmen. Pada kondisi tertentu, pembayaran tunai memang sangat convenient karena mudah dan cepat. Namun demikian, penggunaan uang kartal sebagai alat pembayaran mulai menimbulkan masalah terutama terkait dengan mahalnya biaya cash handling, besarnya risiko pencurian dan perampokan, serta
risiko uang palsu. Selain itu, bagi pelaku pembayaran, pembayaran menggunakan uang kartal juga mengakibatkan turunnya efisiensi misalnya sebagai akibat dari panjangnya antrian di sentra-sentra
pembayaran dan pemborosan lainnya yang
diakibatkan oleh w aktu tunggu untuk melakukan pembayaran. Namun terlepas dari berbagai kendala alat pembayaran tunai, penggunaan uang kartal di kalangan masyarakat Indonesia masih cukup tinggi.
Perkembangan uang kartal dalam kegiatan transaksi masyarakat sepanjang tahun 2008 cukup signifikan yang dipengaruhi antara lain oleh tekanan inflasi yang terjadi sejak triw ulan 2 dan krisis keuangan global pada aw al triw ulan 4. Secara tahunan, rata-rata pertumbuhan uang kartal yang diedarkan (UYD) tercatat mencapai pertumbuhan tertinggi selama 10 tahun terakhir. Laju pertumbuhan UYD rata-rata pada tiga triw ulan pertama menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Namun, pada triw ulan 4 terjadi
perlambatan pertumbuhan. Perlambatan
pertumbuhan di triw ulan 4 tersebut terutama dipengaruhi oleh faktor musiman serta indikasi dampak krisis keuangan global terhadap perilaku penggunaan uang kartal.
Sejalan dengan kenaikan permintaan uang kartal, kegiatan pengedaran uang di tahun 2008 berupa aliran uang kartal keluar (outflow ) dan aliran uang kartal masuk (inflow ) serta pemusnahan uang kartal juga meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Di tengah periode krisis keuangan global dan menjelang berlangsungnya Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, jumlah temuan uang palsu juga menunjukkan kenaikan sebesar 16,6% dibandingkan tahun sebelumnya. M enghadapi berbagai dinamika perkembangan ekonomi yang masih dipengaruhi oleh dampak krisis global, Bank Indonesia merespon dengan menetapkan kebijakan di bidang pengedaran uang yang terfokus pada upaya efisiensi dan optimalisasi baik di bidang layanan, operasional kas,
serta mendorong peningkatan manajemen
(8)
Halaman 4
memperhatikan misi Bank Indonesia di bidang pengedaran uang, yaitu pemenuhan kebutuhan uang kartal dalam jumlah yang cukup, nominal yang sesuai, layak edar, dan tepat w aktu.
Kebijakan yang terfokus pada upaya efisiensi dan optimalisasi di bidang pengedaran uang tersebut secara eksternal berpengaruh terhadap optimalisasi manajemen likuiditas perbankan dan secara internal berdampak terhadap efisiensi biaya dan optimalisasi sumber daya. Kondisi ini pada gilirannya dapat berperan serta dalam menjaga stabilitas perekonomian dalam menghadapi dampak gejolak krisis keuangan global. Selanjutnya, untuk mengantisipasi peningkatan temuan uang palsu, upaya penanggulangan beredarnya uang palsu masih menjadi fokus kebijakan yang harus dilakukan secara berkesinambungan.
Penjabaran kebijakan pengedaran uang di tahun 2008 dalam mendukung upaya optimalisasi dan efisiensi pengedaran uang mengacu pada tiga pilar pengedaran uang, yaitu 1) ketersediaan uang Rupiah yang berkualitas, 2) layanan kas prima, dan 3) pengedaran uang yang aman, handal, dan efisien. Kebijakan dalam rangka mengupayakan ketersediaan uang Rupiah yang berkualitas dilakukan antara lain dengan merencanakan kebutuhan uang Rupiah secara komprehensif yang didukung dengan realisasi pengadaan uang baru yang berkualitas dan tepat
w aktu, mencabut dan menarik uang kertas Rupiah yang sudah tidak layak edar, serta meningkatkan penanggulangan pengedaran uang palsu. Upaya yang dilakukan dalam mendukung layanan kas prima sepanjang tahun 2008 meliputi optimalisasi layanan kas oleh satuan kerja kas baik di dalam maupun di luar kantor, pengembangan kerjasama layanan kas tanpa fee, penerapan ketentuan mengenai setoran bayaran bank, implementasi fungsi cash centre serta peningkatan kemampuan kasir. Sedangkan terkait dengan strategi yang ditempuh dalam mengupayakan pengedaran uang yang aman, handal, dan efisien meliputi realisasi dan pelaksanaan distribusi uang secara aman, lancar, efisien, dan tepat w aktu. Selain itu dilakukan optimalisasi kinerja sarana pengolahan uang dan pengembangan informasi yang mendukung kelancaran pelaksanaan tugas. Dalam rangka menjaga konsistensi kebijakan dan acuan pokok dalam pelaksanaan kegiatan pengedaran uang dalam jangka menengah panjang, di tahun 2008 disusun draft aw al penyempurnaan blue print M anajemen Pengedaran Uang (M PU) yang meliputi grand design uang, grand design perencanaan kebutuhan uang, grand design pengadaan uang dan pemenuhan bahan uang, grand design penanggulangan uang palsu dan kejahatan mata uang, grand design distribusi uang, grand design pengolahan uang, dan grand design manajemen layanan kas.
(9)
Halaman 5
Perkembangan Sistem Pembayaran
di Indonesia
(10)
Halaman 6
Perkembangan
Sistem Pembayaran
di Indonesia
Pemantauan terhadap perkembangan aktivitas sistem pembayaran merupakan salah satu komponen yang digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai kegiatan perekonomian. Hal ini dikarenakan aktivitas sistem pembayaran pada setiap harinya secara langsung merefleksikan berbagai kondisi yang terjadi secara makro pada sistem keuangan maupun aktivitas mikro perekonomian masyarakat. Refleksi yang sangat jelas terlihat adalah ketika terjadi shock dalam perekonomian, seperti dalam kasus krisis ekonomi pada periode laporan ini dimana kondisi perekonomian yang melambat berkorelasi dengan turunnya perputaran transaksi dari pelaku ekonomi. Kasus segmentasi likuiditas perbankan dampak dari kekhaw atiran bank terhadap risiko gagal bayar apabila mereka meminjamkan kelebihan likuiditasnya kepada bank lain juga tercermin di aktivitas transaksi Pasar Uang Antara Bank (PUAB) yang cenderung menurun.
Di sisi lain, manajemen makro ekonomi baik fiskal maupun moneter juga tergambar jelas dari aktivitas sistem pembayaran. Naik turunnya pembelanjaan negara maupun pembayaran pajak masyarakat juga dilakukan di sistem pembayaran. Demikian pula kegiatan operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas di masyarakat juga ditransmisikan langsung melalui sistem pembayaran. Sistem pembayaran dan segala aspeknya turut pula mempengaruhi penggunaan uang oleh para pelaku ekonomi baik skala makro maupun mikro. Transaksi pembayaran
modern yang didominasi oleh penggunaan dana pada rekening bank dapat secara cepat menam bah ataupun mengurangi masing-masing rekening pelaku ekonomi di sistem perbankan. Keseluruhan ilustrasi tersebut menjelaskan bagaimana eratnya hubungan aktivitas ekonomi dengan uang. Korelasi lainnya dapat kita lihat dari pengaruh efisiensi sistem pembayaran terhadap pola penggunaan uang. Dahulu pada saat proses setelmen transaksi belum sedemikian cepat, adanya leg w aktu mengakibatkan nilai uang tidak serta merta menambah rekening pelaku ekonomi di sistem perbankan karena adanya float (dana yang belum dibukukan di rekening pelaku ekonomi). Konsekuensinya, terdapat aktivitas produksi yang ditunda karena kemampuan pelaku untuk melakukan transaksi lainnya menjadi terbatas. Saat ini dengan disain sistem pembayaran modern, float tersebut dapat dihilangkan sehingga begitu instruksi transfer dilakukan maka pada hari yang sama langsung mempengaruhi saldo rekening pengirim dan penerima.
M odernisasi pembayaran erat kaitannya dengan elektronisasi mekanisme maupun instrumen pembayaran. M ekanisme dan instrumen pembayaran konvensional secara bertahap mulai beralih ke instrumen yang bersifat elektronik. Perbankan selaku pionir dalam penggunaan instrumen elektronik telah menerapkan segala bentuk transfer dana secara elektronik. Bank Indonesia sendiri telah melakukan
elektronisasi sistem pembayaran sejak
diimplementasikannya sistem setelmen antarbank melalui sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) pada tahun 2000. Sejak itu, penggunaan instrumen elektronik antarbank pun semakin beragam. Desain sistem BI-RTGS ditujukan untuk memproses transaksi large value interbank fund transfer. Karena sifatnya yang real time, otomasi pada large value ini selain memudahkan perbankan dalam mengelola likuiditasnya juga telah meningkatkan kemampuan likuiditas bagi bank -bank tersebut. Selain itu, aktivitas PUAB menjadi semakin fleksibel dan lebih
(11)
Halaman 7
likuid sehingga dapat mengurangi ketergantungan bank terhadap bank sentral.
Dalam perjalanannya, karena tuntutan dalam kecepatan bertransaksi, sistem BI-RTGS ini tidak selalu didominasi oleh transaksi large value. Masyarakat selaku nasabah bank juga telah memanfaatkan fasilitas sistem BI-RTGS untuk transaksi nilai kecil. Kemudahan dan kecepatan transaksi menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk menggunakan sistem BI-RTGS dalam melakukan transfer dana meskipun dengan konsekuensi biaya lebih tinggi dibandingkan transfer melalui sistem kliring. Tidak hanya untuk transaksi large value, elektronisasi sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia juga dilakukan pada retail payment, dalam hal ini sistem kliring Bank Indonesia. Sejak pertengahan 2005, transfer kredit melalui kliring sudah dimungkinkan dilakukan secara elektronik melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang layanannya telah terintegrasi secara nasional khususnya untuk transaksi kliring kredit. SKNBI diharapkan dapat mendukung aktivitas pelaku ekonomi khususnya untuk retail payment.
Elektronisasi sistem pembayaran juga ditandai dengan berkembangnya inovasi fitur dalam alat pembayaran retail. Perkembangan APM K misalnya, apabila dibandingkan dengan 2 tahun lalu jumlah transaksinya meningkat dengan pesat, bahkan pada periode tahun 2008 nilai transaksi APM K sudah melebihi nilai transaksi kliring antar bank yang diselenggarakan Bank Indonesia. Demikian halnya dengan instrumen uang elektronik yang baru muncul sejak April 2007 lalu, dari sisi transaksi juga telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi belakangan ini.
Transf er Elekt ronik m elalui sist em BI- RTGS dan SKNBI
Penggunaan transfer elektronik sebagai instrumen pembayaran telah meluas di masyarakat. Beragam fasilitas pembayaran yang ditaw arkan perbankan saat ini sebagian besar menggunakan transfer elektronik.
Terkadang sulit bagi masyarakat untuk
menggambarkan instrumen transfer elektronik, karena berbeda dengan instrumen pembayaran lainnya, fisik transfer elektronik tidak dapat dipegang atau disentuh secara langsung seperti kertas atau kartu, namun menggunakan media pengantar atau pengirim seperti komputer, handphone atau perangkat lainnya. Transfer elektonik biasanya berbentuk pesan yang isinya merupakan informasi mengenai jumlah dana yang dikirim, identitas pengirim, identitas penerima atau informasi lain terkait pengiriman dana. M eskipun
bentuk pesannya sama, namun media dan
pemrosesannya dapat berbeda-beda tergantung dari sistem masing-masing penyelenggara.
Dilihat dari jumlah dan nilai transaksinya, Bank Indonesia merupakan penyelenggara transfer elektronik terbesar di Indonesia. Selain Bank Indonesia, bank umum juga menjadi penyelenggara t ransfer elektronik dengan menyediakan fasilitas phone banking atau mobile banking sebagai delivery channel-nya. Tidak hanya bank umum, perusahaan telekomunikasi, badan usaha lainnya, dan perorangan pun kini telah menaw arkan jasa transfer tersebut. Dari sisi Bank Indonesia, saat ini menyelenggarakan dua sistem pemrosesan transfer elektronik yaitu SKNBI dan Sistem BI-RTGS. SKNBI disediakan khusus untuk transfer elektronik yang nilainya kurang dari Rp100 juta, sementara sistem BI-RTGS meskipun nilainya tidak dibatasi, namun sistem transfer ini ditujukan untuk memproses transfer dengan nilai besar. Pemrosesan transfer elektronik melalui sistem BI-RTGS lebih cepat dibandingkan dengan SKNBI. M engapa demikian, karena proses pengiriman dana melalui sistem BI-RTGS bersifat real time1 sementara pada
SKNBI yang merupakan sistem kliring, penyelesaian akhir dilakukan secara netting2 pada akhir hari.
1 Real Time Settlement adalah pro ses penyelesaian akhir t ransaksi -transaksi pembayaran yang dilakukan pada saat itu juga. Sehingga transfer dana antar peserta penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual.
2
Netting set tlement adalah proses penyelesaian akhir t ransaksi -transaksi pembayaran yang dilakukan pada akhir suatu periode (end of day), dengan melakukan offsett ing antara kew ajiban-kew ajiban
(12)
Halaman 8
Selama tahun 2008, aktivitas transfer elektronik yang diproses oleh Bank Indonesia mencapai nilai Rp44,8 ribu triliun dengan volume sebesar 53,3 juta transaksi atau rata-rata harian nilai dan volumenya mencapai Rp188,3 triliun dan 223,9 ribu transaksi. Dibandingkan dengan aktivitas pada tahun 2007, nilai dan volume penggunaan transfer elektronik meningkat sebesar 15,6% dan 5,0% .
Sejak 5 tahun terakhir, aktivitas transaksi transfer elektronik melalui sistem BI-RTGS terus meningkat, pertumbuhannya mencapai 20% pertahun untuk volume dan 19% untuk nilai. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini tidak lepas dari meningkatnya aktivitas ekonomi dan kebutuhan pelaku ekonomi akan sarana pembayaran yang cepat dan efisien. Nilai perputaran transaksi elektronik yang diproses melalui sist em BI-RTGS mencapai rata-rata perhari sebesar Rp184,2 triliun di tahun 2008. Dengan nilai yang tinggi ini, sistem BI-RTGS dikategorikan sebagai SIPS atau sistem
pembayaran dengan hak -hak penerimaan, sehingga pada akhirnya hanya akan ada 1 net hak atau kew ajiban yang akan di-settle untuk masing-masing rekening peserta.
yang memproses transaksi bernilai besar dengan potensi risiko sistemik.
Volume
Volume 2007 2008 Naik/Turun(%)
PUAB 146.417 111.388 -24%
Nasabah 6.776.777 8.506.043 +26%
Transaksi Valas 174.474 153.527 -12%
Setelmen Pasar Modal 63.980 50.715 -21%
Pemerintah 243.900 343.804 +41%
Pengelolaan Moneter 46.497 69.764 +50%
Setelmen Kliring 365.033 433.700 +19%
Lainnya 666.938 676.790 +1%
Total 8.484.016 10.345.731 +22%
Sumber :EDW BI - SP
Nilai (dalam Triliun)
Jenis Transaksi 2007 2008 Naik/Turun(%)
PUAB 5.813 4.183 -28%
Nasabah 7.401 8.481 +15%
Transaksi Valas 3.825 3.798 -1%
Setelmen Pasar Modal 2.530 1.955 -23%
Pemerintah 1.178 1.520 +29%
Pengelolaan Moneter 15.620 17.350 +11%
Setelmen Kliring 4.793 5.326 +11%
Lainnya 1.226 1.586 +29%
Total 42.386 44.199 +4%
Sumber :EDW BI - SP
Volume dan Nilai per jenis transaksi
Transaksi transfer elektronik yang diproses melalui sistem BI-RTGS sangat beragam mulai dari transaksi transfer antar nasabah, PUAB, valas, pasar modal, pengelolaan moneter sampai transaksi yang dilakukan untuk kepentingan pemerint ah. Berdasarkan volumenya, selama tahun 2008 jenis transaksi transfer antar nasabah bank merupakan transaksi terbesar sebesar 8,5 juta atau proporsinya mencapai 82,22% . Sementara dari sisi nilai, transaksi transfer untuk pengelolaan moneter menempati posisi tertinggi sebesar Rp17,35 ribu triliun atau proporsinya mencapai 39,25% .
Transfer antar nasabah bank sangat banyak dilakukan melalui sistem BI-RTGS karena bagi masyarakat pengguna jasa perbankan, sistem BI-RTGS dinilai cukup kompetitif dalam memproses t ransfer dana secara cepat. Tingginya transfer dana dalam rangka pengelolaan moneter tidak lain karena aktivitas Bank Indonesia untuk kepentingan pengelolaan moneter relatif tinggi dimana nilai pertransaksinya rata-rata mencapai Rp248,7 milyar selama tahun 2008. Nilai ini 0 10 20 30 40 50 60
2005 2006 2007 2008
Juta Transaksi
SKNBI RTGS
Perkembangan Transaksi Elektronik transfer (Volume)
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
2005 2006 2007 2008
Rp Ribu Triliun
SKNBI RTGS
(13)
Halaman 9
w ajar mengingat kebutuhan likuiditas harian untuk penjagaan stabilitas sistem moneter dan sistem keuangan juga tinggi. Proporsi volume dan nilai transfer elektronik berdasarkan jenis transaksi tergambar dalam grafik dibaw ah ini.
Komposisi Per jenis Transaksi (Volume)
Komposisi Per jenis Transaksi (Nilai)
Sejalan dengan besarnya volume transaksi transfer untuk nasabah, pengguna transfer elektronik terbesar adalah nasabah bank 82,22% , pemerintah 3,32% , Valas 1,48% , perbankan 1,08% dan Bank Indonesia 0,67% . Transfer perbankan biasanya dilakukan untuk aktivitas PUAB, perdagangan valas, dan pasar modal. Sementara transfer pemerintah pada umumnya untuk pendistribusian anggaran, pembiayaan proyek, pajak, pembayaran subsidi dan kegiatan rutin pemerintah lainnya.
Transfer elektronik melalui sistem kliring sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1998 dengan sistem kliring elektronik yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia. Namun demikian, pada aw al
pengembangannya cakupan w ilayah kliring masih terbatas yaitu hanya di Jakarta dan sekitarnya. Sejak diimplementasikannya SKNBI pada tahun 2005, cakupan layanan SKNBI telah menjangkau seluruh
w ilayah di Indonesia. M eskipun transaksi transfer elektronik melalui SKNBI nilainya di baw ah Rp 100 juta, namun volume perputarannya cukup tinggi, selama tahun 2008 mencapai 49,5 juta dengan nilai sebesar Rp 514,5 triliun atau rata-rata hariannya sebanyak 202 ribu dengan nilai mencapai Rp2,1 triliun. Dilihat dari sisi pelaku transaksi, SKNBI sepenuhnya memproses aktivitas transfer elektronik antar nasabah bank.
Cek dan Bilyet Giro
Instrumen pembayaran non tunai dalam bentuk cek dan bilyet giro merupakan instrumen pembayaran yang sudah lama digunakan oleh masyarakat untuk bertransaksi. W alaupun dalam kurun w aktu 4 tahun ini telah muncul ragam instrumen pembayaran baru yang lebih praktis dan efisien, terlihat masih terdapat segmen tertentu dalam masyarakat yang masih memilih untuk menggunakan cek dan bilyet giro. Hal ini terlihat dari peningkatan penggunaan cek dan bilyet giro sebesar 6,1% yaitu dari 39 juta transaksi pada tahun 2007 menjadi 42 juta transaksi di tahun 2008. Sementara itu di sisi nilai meningkat 23,9% dari Rp0,9 ribu triliun (2007) menjadi 1,2 ribu triliun ( 2008).
Dari jumlah tersebut, porsi cek sebesar 12,4% dan sisanya adalah bilyet giro. Apabila dilihat dari pertumbuhannya, dibanding tahun sebelumnya pertumbuhan cek lebih tinggi dibanding bilyet giro. Volume cek yang dikliringkan mencapai 3,6 juta transaksi dengan nilai Rp153,7 triliun, atau m eningkat 8,8% (volume) dan 25,1% (nilai). Sementara itu di sisi bilyet giro, volume yang dikliringkan mencapai 38,2 juta transaksi dengan nilai sebesar Rp1.077,9 triliun, atau mengalami peningkatan 5,9% di sisi volume dan 23,9% di sisi nilai.
(14)
Halaman 10
0.000.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008
Juta Transaksi Cek BG
Perkembangan penyerahan Cek/BG berdasarkan volume
-20 40 60 80 100 120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008
Rp Triliun
Cek
BG
Perkembangan penyerahan Cek/BG berdasarkan nilai
Alat Pembayaran Dengan M enggunakan Kart u (APM K)
Kartu Kredit
Kartu kredit mulai berkembang di Indonesia sekitar tahun 90-an dan hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja. Dalam perkembangannya, institusi keuangan khususnya perbankan mulai banyak menggarap bisnis ini. Selain menaw arkan keuntungan yang tinggi, pada saat itu segmen penggunanya merupakan kalangan atas dimana eksposur risiko gagal bayar dianggap relatif kecil. Hal ini semakin menarik minat banyak bank untuk masuk dalam industri kartu kredit tersebut.
Industri kartu kredit berkembang pesat seiring dengan banyaknya bank yang menjadi penerbit kartu kredit. Bank-bank yang semula tidak terjun ke kredit konsumsi retail mulai ikut merambah ke bisnis kartu kredit. Iming-iming potensi keuntungan yang besar w alaupun sebenarnya hal tersebut untuk meng -cover risiko yang sangat tinggi, tidak menyurutkan minat
bank untuk menjadi penerbit kartu kredit. Bahkan beberapa bank yang fokus bisnisnya sebagai corporate banking atau UM KM mulai mencari celah di pangsa kredit retail khususnya kredit konsumsi ini. Dorongan bank untuk memasuki industri kartu kredit juga disebabkan oleh pangsa pasar di Indonesia yang masih terbuka untuk pengembangan kartu kredit. Salah satu faktor untuk melihat potensi pasar tersebut adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah pemegang kartu kredit. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahw a dari kurang lebih 230 juta penduduk Indonesia saat ini terdapat 127 juta penduduk yang tergolong dalam usia produktif (usia 20 – 50 tahun). Sementara itu, jumlah kartu kredit per Desember 2008 mencapai 11,5 juta kartu. Asumsi, 1 orang memiliki 2 kartu kredit, maka saat ini jumlah pemegang kartu kredit di Indonesia dibandingkan dengan potensi pasar yang ada (jumlah penduduk usia produktif) baru mencapai 4,5% . Berdasarkan kondisi tersebut, pasar di Indonesia tentunya masih menarik untuk bisnis kartu kredit.
Potensi pengembangan bisnis kartu kredit juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti gaya hidup dan tuntutan kemudahan serta kenyamanan dalam bertransaksi. Image memiliki status yang tinggi bagi pemegang kartu kredit turut mendorong masyarakat untuk memiliki uang plastik ini. Fenomena gaya hidup uang plastik ini dengan cepat menjadi trigger bagi berbagai lapisan masyarakat untuk memiliki kartu kredit. Selain itu, upaya marketing yang gencar dan iming-iming hadiah atau promosi apabila seseorang memiliki kartu kredit baru juga sangat berperan dalam mendorong diterimanya kartu kredit sebagai alternatif instrumen pembayaran oleh masyarakat.
Pesatnya pertumbuhan kartu kredit tercermin pada trend peningkatan jumlah kartu beredar tiap tahunnya. Pada tahun 2003 jumlah kartu baru sekitar 4,5 juta kartu, saat ini telah mencapai 11,5 juta kartu, atau rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 20,8% . Naiknya trend jumlah kartu tersebut selama kurun w aktu 5 tahun tersebut turut pula mendorong
(15)
Halaman 11
peningkatan penggunaannya. Di sisi volume pertumbuhan per tahun mencapai 20,7% , sementara itu di sisi nilai mencapai 30,5% .
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Volume (juta) Nilai (triliun)
Perkembangan Volume dan Nilai Transaksi Kartu Kredit
4.52 5.50 6.80 8.28 9.15 11.55 -2 4 6 8 10 12 14
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Perkembangan Jumlah Kartu Kredit (juta kartu)
Khusus pada tahun laporan, aktivitas transaksi kartu kredit mengalami pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Volume transaksi mencapai 166,7 juta dengan nilai transaksi
sebesar Rp107,2 triliun. Apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya, volume tersebut meningkat 29,0% dan nilai meningkat 47,5% . Peningkatan tertinggi terjadi pada bulan-bulan yang terdapat hari
libur keagamaan dan akhir tahun. Hal ini sebagaimana lazimnya, kebutuhan konsumsi masyarakat pada bulan-bulan tersebut sedang tinggi.
Account Based Card (Kartu ATM dan Debet) Account based card adalah alat pembayaran menggunakan kartu yang dananya berasal dari rekening (account) nasabah. Jenis kartu yang masuk dalam kategori ini adalah Kartu ATM , Kartu Debet dan
perpaduan ATM dan Debet. Pada aw al
perkembangan account based card, yaitu sekitar tahun 95-an, jenis yang banyak dipakai adalah murni kartu ATM saja. Ini karena tujuan aw al teknologi ATM hanya sebagai pengganti fungsi teller untuk meningkatkan efisiensi overhead cost, seperti penyediaan kantor cabang baru dan penambahan penggunaan sumber daya manusia. Fitur yang ada pada w aktu itu pun baru sekedar untuk tarik tunai, cek saldo, dan transfer antar rekening pada bank yang sama.
Dalam perkembangannya, infrastruktur jaringan ATM ini mulai diperluas penggunaannya. Bank yang memiliki basis teknologi relatif maju mulai menjajagi
pengembangan kartu debet dan membangun
infrastruktur sw itching transfer dana antarbank. M ulailah muncul bank yang menaw arkan metode pembayaran di merchant dengan menggunakan kartu ATM yang notabene telah ditambahkan fungsi sebagai kartu debet.
Pada aw alnya perkembangan kartu debet tidak sepesat kartu ATM , karena w aktu itu merchant yang bisa menerima pembayaran dengan kartu debet masih terbatas. Selain itu, penggunaan kartu debet memerlukan investasi tambahan berupa penyediaan mesin pembaca atau Electronic Data Capture (EDC) di setiap merchant, yang pada saat itu nilainya cukup mahal. Aw areness masyarakat akan kemudahan yang ditaw arkan dan kepercayaan masyarakat terhadap uang plastik inipun masih kurang sehingga pada w aktu itu masyarakat masih lebih memilih menggunakan uang tunai sebagai alat bayar.
-5 10 15 20 25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008
Volume Nilai (Rp Triliun)
Perkembangan Volume dan Nilai Transaksi Kartu Kredit Per Bulan
(16)
Halaman 12
Kartu debet mulai massif digunakan semenjak munculnya beberapa perusahaan penyedia jasa sw itching. Bank yang hanya memiliki sedikit mesin ATM dapat bersinergi untuk sharing penggunaan infrastrukturnya bersama-sama dan diintegrasikan ke jaringan antarbank yang disediakan oleh perusahaan sw itching tadi. Keuntungan dari sinergi tersebut adalah efisiensi biaya investasi dan peningkatan image bagi bank yang bisa menyediakan kartu debet dan fitur tambahan di ATM khususnya untuk transfer dana dan fasilitas pembayaran di berbagai merchant. Perkembangan penggunaan kartu account based semakin meningkat lagi ketika jumlah bank yang menjadi acquiring semakin banyak menyediakan infrastruktur EDC di merchant. Perkembangan tersebut tak pelak mendorong account based card memiliki pertumbuhan paling tinggi diantara jenis instrumen pembayaran lainnya. Dalam kurun w aktu 5 tahun, rata-rata pertumbuhan jumlah kartu per tahun mencapai 16,1% , sedangkan di sisi nilai tumbuh lebih tinggi lagi yaitu 60,3% dan di sisi volume mencapai 22,9% . Jumlah tersebut masih dimungkinkan untuk tumbuh lebih pesat lagi mengingat prosentase kartu per penduduk produktif3 masih 31,5% .
-500 1,000 1,500 2,000 2,500
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Volume (Juta)
Nilai (Rp Triliun)
Perkembangan Volume dan Nilai Account Based Card
3
Data Badan Pusat Statist ik (BPS) menunjukkan dari ± 230 juta penduduk Indonesia saat ini yang termasuk dalam u sia produkt if (u sia 20 50 tahun) berjumlah 127 ju ta orang.
19.37
25.06 26.17 29.66
35.20 42.79
-5 10 15 20 25 30 35 40 45
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Perkembangan Jumlah Account Based Card (juta kartu)
Ada tiga faktor yang menyebabkan pertumbuhan account based card ini lebih tinggi dari instrumen pembayaran lain. Pertama, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah penabung yang signifikan. Kondisi ini selain didukung oleh upaya perbankan dalam memasarkan produknya juga ditunjang oleh aw areness masyarakat yang semakin baik sebagai hasil dari edukasi pihak terkait seperti kerjasama Bank Indonesia dengan perbankan dalam program “Ayo ke Bank”. Kedua, semakin beragamnya fitur atau manfaat yang ditaw arkan kepada pemegang kartu. M esin ATM yang dulu hanya sebagai pengganti teller, saat ini telah menaw arkan kemudahan transfer dana antar rekening bahkan antar rekening pada bank yang berbeda, pembayaran berbagai kebutuhan rutin seperti telepon, listrik, air, kartu kredit dan lain sebagainya. M asyarakat tidak perlu lagi mengantri ke bank atau tempat-tempat pembayaran yang tersebar di lokasi berbeda, mereka cukup datang ke satu ATM dan melakukan kebutuhan pembayaran rutinnya melalui mesin ATM . Selain itu, penyebaran infrastruktur seperti penempatan mesin ATM juga sudah semakin merata di seluruh w ilayah Indonesia. Ketiga, fungsi kartu account based untuk pembayaran di merchant semakin meningkat. Selain karena jumlah EDC dan merchant semakin bertambah banyak, dari survey yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 20054 menunjukkan bahw a baik
masyarakat maupun merchant lebih memiliki preferensi untuk menggunakan kartu ini dibanding
4 Survey Persepsi, Preferen si dan Perilaku M asyarakat dan Lembaga Penyedia Jasa Terhadap Pembayaran Non Tunai, Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Tahun 2005.
(17)
Halaman 13
jenis instrumen lain untuk melakukan pembayaran. M asyarakat menilai instrumen ini lebih aman dan nyaman karena tidak perlu membaw a uang secara tunai. Selain itu, dari sisi biaya, penggunaan instrumen ini dipandang lebih murah karena pemegang tidak dikenakan biaya pada saat bertransaksi di merchant dan biaya lainnya seperti annual fee pada kartu kredit. Sementara di sisi merchant pun lebih menyukai menerima pembayaran dengan account based card karena selain aman, dana dapat efektif pada hari yang sama.
Selama tahun 2008, total account based card yang beredar mencapai 42,8 juta kartu. Jumlah tersebut apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya meningkat 21,6% (dari 35,2 juta kartu). Dari jumlah tersebut 94,2% merupakan kartu ATM yang sekaligus dapat digunakan sebagai kartu debet (kartu ATM /debet), yang diterbitkan oleh 42 bank. Sisanya 5,8% , berupa kartu ATM murni atau hanya dapat digunakan untuk tarik tunai, yang diterbitkan oleh 47 bank dan 3 Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Peningkatan jumlah kartu tersebut turut pula mendorong peningkatan aktivitas transaksi. Pada tahun laporan, nilai yang ditransaksikan mencapai Rp2.056 triliun, meningkat 22,4% dibanding tahun 2007 (Rp1.679 triliun). Sementara itu, di sisi volume mencapai 1.353 ribu transaksi atau meningkat 22,7% dibanding tahun sebelumnya (1.103 ribu transaksi). Apabila dilihat secara bulanan, pola peningkatan transaksi selama tahun laporan terjadi pada aw al tahun sampai dengan akhir triw ulan ketiga. Pada triw ulan keempat terdapat kecenderungan penurunan aktivitas transaksi dibanding triw ulan yang sama tahun sebelumnya. Hal ini antara lain dikarenakan dampak dari perlambatan aktivitas perekonomian nasional khususnya perlambatan konsumsi pada triw ulan keempat akibat dampak krisis finansial5.
5
Data PDB menurut penggunaan atas dasar harga konstan 2000 yand dipublikasikan pada w ebsite Bank Indonesia tercatat bahw a pengeluaran konsumsi masyarakat pada triw ulan IV menunjukkan nilai terendah dibanding triw ulan sebelumnya selama tahun 2008. Secara historis set iap t riw ulan IV seyog yanya nilai PDB untuk sektor pada konsumsi selalu lebih tinggi dari triw ulan lainnya karena terkait dengan libur hari raya keagamaan dan menjelang tahun baru.
-50 100 150 200 250
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008
Volume (juta) Nominal ( Rp Triliun )
Perkembangan Volume dan Nilai Transaksi Account Based Card Per Bulan
Pola penggunaan account based card juga dapat menunjukkan perkembangan tingkat aw areness masyarakat akan instrumen pembayaran non tunai, atau dengan kata lain dapat menunjukkan perkembangan less cash di masyarakat. Hal ini dilihat dari porsi penggunaan kartu sebagai alat bayar dan transfer sebagai indikator less cash dibandingkan dengan porsi penarikan tunai melalui ATM .
Di sisi volume, porsi penarikan tunai masih jauh lebih besar, yakni selama kurun w aktu 5 tahun terakhir selalu diatas 70% . Namun demikian apabila dilihat perkembangannya, porsi tersebut semakin menurun dari tahun ke tahun. Apabila tahun 2004 porsi penarikan tunai masih sebesar 78,9% , pada tahu n 2008 porsi tersebut menurun menjadi sebesar 74,8% . Kondisi yang sama terlihat pula pada sisi nilai dimana pada tahun 2004 porsi penarikan tunai mencapai 52,7% dan porsi tersebut selalu menurun hingga mencapai 33,9% pada tahun 2008. Penurunan transaksi penarikan tunai mengindikasikan bahw a tingkat kenyamanan dan kepercayaan masyarakat terhadap alat pembayaran non tunai semakin meningkat, artinya upaya Bank Indonesia dalam mendorong less cash society mulai menunjukkan hasilnya.
(18)
Halaman 14
78.9% 78.3% 77.9% 76.4% 74.8% 4.8% 4.6% 5.0% 5.5% 5.9% 16.3% 17.1% 17.1% 18.1% 19.3% 2004 2005 2006 2007 2008Tunai Belanja Transfer
Komposisi Jenis Transaksi A ccount Based Card (Volume)
52.7% 44.9% 39.0% 33.3% 33.9% 2.6% 2.1% 1.9% 1.7% 2.1% 44.7% 52.9% 59.1% 65.0% 64.0% 2004 2005 2006 2007 2008
Tunai Belanja Transfer
Komposisi Jenis Transaksi A ccount Based Card (Nilai)
Volume (Juta)
Tahun
Tunai
Belanja
Total
2004
4.37
77.79
82.15
2005
5.26
93.02
98.29
2006
5.69
108.58
114.27
2007
4.80
124.49
129.29
2008
5.39
161.35
166.74
Sumber :EDW BI - LKPBU
Nilai (Rp Triliun)
Tahun
Tunai
Belanja
Total
2004
2.02
35.10
37.12
2005
2.75
43.65
46.40
2006
3.51
54.85
58.36
2007
3.30
69.30
72.60
2008
3.80
103.47
107.27
Sumber :EDW BI - LKPBU
Penggunaan Kartu Per Jenis Transaksi
Uang Elektronik (Electronic M oney)
M eskipun kehadiran alat pembayaran ini masih relatif baru namun uang elektronik cukup mendapat tempat di masyarakat. Selama kurang lebih satu setengah tahun sejak pertama terbit pada April 2007, jumlah
uang elektronik telah mencapai 430 ribu. Berbeda pada aw al penerbitannya, uang elektronik saat ini tidak hanya diterbitkan dalam bentuk chip yang tertanam pada kartu atau media lainnya (chip based), namun juga telah diterbitkan dalam media lain yaitu suatu media yang saat digunakan untuk bertransaksi akan terkoneksi terlebih dulu dengan server penerbit (server based). Begitu pula dari sisi penggunaannya, hampir dari seluruh uang elektronik yang diterbitkan tidak lagi bersifat single purpose namun sudah multi purpose sehingga dapat diterima di banyak merchant yang berbeda.
Aktivitas penggunaan uang elektronik pada tahun 2008 mencapai 2,5 juta transaksi atau meningkat 77,1% dari tahun sebelumnya dengan nilai transaksi sebesar Rp76,7 miliar atau meningkat 93,1% dari tahun sebelumnya. Bertambahnya penerbit uang elektronik telah mendorong pesatnya perkembangan transaksi instrumen pembayaran ini. Sampai dengan akhir tahun 2008, terdapat 9 penerbit uang elektronik yang telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia. Berharap trend ini terus berlanjut, sehingga pertumbuhan uang elektronik yang semakin luas akan
mengurangi penggunaan uang tunai untuk
bertransaksi. Dalam skala yang lebih besar, diyakini penggunaan uang elektronik secara luas di masyarakat akan meningkatkan efisiensi biaya transaksi ritel, terutama dalam mengurangi biaya cash handling.
-50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ribu Kartu
(19)
Halaman 15
Sebagai alat pembayaran, perolehan dan penggunaan uang elektronik pun cukup mudah. Calon pemegang hanya perlu menyetorkan sejumlah uang kepada penerbit atau melalui agen-agen penerbit dan nilai uang tersebut secara digital disimpan dalam medi a uang elektronik. Untuk chip based, pemegang dapat bertransaksi secara off-line melalui uang elektronik (dalam bentuk kartu atau bentuk lainnya). Sedangkan pada server based, pemegang akan diberi sarana untuk mengakses “virtual account” melalui handphone (sms), kartu akses, atau sarana lainnya, sehingga transaksi diproses secara on-line. Transaksi melalui uang elektronik khususnya transaksi yang diproses secara off-line sangat cepat hanya memerlukan w aktu kurang lebih 2-4 detik. Saat ini nilai uang yang dapat disimpan dalam uang elektronik dibatasi tidak lebih dari Rp1 juta, karena fungsinya memang ditujukan sebagai alat pembayaran untuk transaksi yang bernilai kecil. Namun batasan tersebut nantinya dapat saja disesuaikan dengan melihat perkembangan dan kebutuhan industri. Dalam mekanisme uang elektronik, apabila pemegang tidak lagi berminat menggunakan uang elektronik atau ingin mengakhiri penggunaan uang elektronik, nilai uang yang ada pada uang elektronik dapat di-redeem6 sesuai tata
cara yang diatur oleh masing-masing penerbit.
6 Reedem adalah penarikan seluruh sisa nilai uang pada uang elektronik pada saat pemegang mengakhiri peng gunaan uang elektronik tersebut.
Perkembangan Delivery Channel
Kemajuan teknologi informasi semakin mendorong kemudahan pelaksanaan transfer dana. Teknologi seperti internet, mobile phone maupun telepon dapat dimanfaatkan menjadi saluran pembayaran yang menghubungkan jalur sistem pembayaran yang ada. M isalnya kita akan melakukan transfer dana, media konvensional adalah melalui perantara teller di bank, atau lebih modern lagi dengan menggunakan mesin ATM . Sekarang dengan kemajuan teknologi, kita tidak perlu datang antri ke bank ataupun gerai ATM untuk melakukan instruksi transfer, cek saldo, atau melakukan pembayaran karena saat ini semua transaksi tersebut dapat dilakukan melalui internet, mobile phone atau telepon tanpa harus pergi ke suatu tempat tertentu.
Di sisi perbankan, penggunaan teknologi ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu penggalian sumber dana murah terutama untuk keperluan intermediasi. Apabila masyarakat merasakan manfaat yang besar dari kemudahan transaksi, maka mereka akan terdorong untuk berhubungan atau selalu berhubungan dengan perbankan. Hal ini tentunya akan meningkatkan penghimpunan dana masyarakat pada perbankan yang notabene merupakan dana murah bagi perbankan. Selanjutnya bank juga memperoleh fee based income yang akhir-akhir ini menjadi andalan perbankan untuk memperoleh laba. M emang pada aw alnya upaya ini memerlukan investasi yang lumayan besar, tapi apabila perputaran transaksinya tinggi, bukan tidak mungkin biaya investasi tersebut akan tertutup oleh fee based income yang diperoleh. Keuntungan lain adalah berkurangnya biaya overhead yang harus ditanggung.
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran oleh Bank Indonesia
D alam k ed u d u k a n n ya seb a g ai p en ye len g g a ra sistem BI-RTGS dan SKNBI, Bank Indonesia telah berupaya m enjamin kelancaran operasional sistem -2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 -50 100 150 200 250 300 350 400 450
4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008
Rp Milyar Ribu Transaksi
Volume Nilai
(20)
Halaman 16
seca r a k eselu r u h an . U p a ya t e r seb u t d ilak u k a n m el al u i e n h an cem e n t sist em m a u p u n p e n ye m p u r n aa n b e r b ag ai f i t u r u n t u k m e n i n g k a t k an k inerja sistem. Selain it u un t uk menjam in kehandalan sistem back up , selama tahu n lapo ran telah d ilakukan uji co ba en vironmen t sistem seban yak 3 kali g una menjamin kesiapan atas segala aspek baik sistem , p rosedu r, dan sum ber d aya apabila sistem u tama tidak berjalan dengan lancar.
Hal diatas men jadi co n cern Bank Ind onesia mengingat kedua sistem tersebut merupakan infrastruktur keuangan yang kritikal, sehingga gangguan pada kedua sistem tersebut dikhaw atirkan akan mengganggu stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Sistem BI-RTGS tergolong dalam SIPS dan m e r u p a k a n m u a r a p e n ye l e sa i a n d a r i h a m p i r selu ru h t ransaksi t ransf er dana. Besarn ya coverage d ana yang di -set tle melalui sistem ini terlih at dari rat a-rat a h arian n ilai t ran sak si p ad a t ah u n 2 0 0 8 yang mencapai Rp184,2 triliun atau sekitar 94% dari seluruh total t ransaksi pembayaran secara nasional. Sementara itu SKNBI tergolong sebagai SW IPS yang digunakan secara luas dan cakupan volume transaksi yang cukup besar, dimana selama tahun laporan mencapai 346 ribu transaksi perhari.
Kinerja Sistem BI-RTGS
Kinerja sistem BI-RTGS dapat dilihat dari prosentase p en yelesaian t ransak si secara semp urna (set tled ) m en cap ai leb ih dari 9 9 % . Hal in i men u n juk k an b ah w a lik u idit as d alam sist em BI-RTGS t erjag a dengan baik dan secara tidak langsung merupakan cerminan dari tingginya availability sistem BI-RTGS. U n t u k m e m o n i t o r k i n e r j a si st e m se ca r a keseluru han, Bank Indo nesia men ggu nakan ukuran ketersediaan (availability) sistem dan disiplin terhadap jadw al atau w indow time sistem BI-RTGS. Uku ran availability tersebut menunjukkan ketersediaan sistem dalam mendukung operasional sistem BI-RTGS di seluruh In d o n esia.
Pad a t ah u n 2 0 0 8 t in g kat availab ilit y m en cap ai 9 9 ,9 7 % , d en g an kat a lain p ro sen t ase terjad in ya sistem d o w n atau sist em tidak bekerja sama sek ali h an ya sebesar 0,03 % . A rtin ya selama kurun w aktu satu tahun, dengan 247 hari kerja dan w aktu operasional rata-rata sepanjang 12 ,5 jam/hari, sistem BI-RTGS men galami d o w n sek i t a r t o t al 4 7 ,3 5 m en i t . Pad a u m u m n ya t e rja d i n ya sist e m d o w n p ad a t a h u n lap o ra n d isebabkan adanya gang guan aplikasi.
Dari sisi disiplin terh adap jad w al operasio nal (w in -d o w t i m e ) , t e r ca t a t d a l a m sa t u t a h u n t e r j a d i perpanjangan waktu operasional sebesar 47,35 menit. Perpanjangan w aktu operasional tersebut pada u m u m n ya d i g u n a k a n u n t u k m en g a k o m o d asi permintaan anggota sistem BI-RTGS yang karena berbagai macam hal membutuhkan w aktu lebih unt uk menyelesaikan operasional transaksinya. M anajemen Likuiditas Sistem BI-RTGS
Kegiatan mo nito ring lik uiditas sistem BI-RTGS yan g d ilakukan o leh Bank In do nesia sebagai p en yelen ggara salah sat un ya adalah dengan memperhatikan distribu si pen yelesaian transak si sepanjang jam o perasional. Dist rib usi t ransaksi yan g merata sepanjang jam o perasional menu njukkan kadar likuiditas yang cu kup un t uk men duk un g kelancaran sistem BI-RTGS. Salah satu upaya adalah melalui penetapan biaya t ran saksi yang leb ih mu rah d i pagi hari sampai dengan pu kul 14 .00 W IB. Tujuann ya adalah un t uk mend o ro ng peserta agar segera menyelesaikan transak si di aw al hari un t uk meng hin dari perilaku bank salin g men un gg u t ran saksi di ak hir hari, sehing ga berp o ten si menim bulkan g ridlo ck.
Selain itu di sisi p eserta ju ga telah ada kesepakatan d alam men gatu r penyelesaian t ransaksi (th roug hp u t g uid elines) yang tertuang dalam b ye law s, yak ni agar bank menyelesaikan 3 0% dari to tal t ransak si h ariann ya sebelum p uku l 1 0.3 0 W IB, dan 30 % b eriku tn ya an tara puk ul 1 0.30 – 14 .3 0 W IB,
(21)
Halaman 17
selanju t nya 40 % sisan ya sam pai dengan t u tu p sistem.
Selama tahu n lapo ran, menu njukk an bah w a d ist rib usi lik uiditas sistem tersebar dengan baik , d imana perban din gan dist ribu si sesuai t h roug hp u t g uid elines terseb u t terpen uh i bahkan terlampaui karen a t ran saksi yan g diselesaikan d i pen ggalan w ak tu t erakhir han ya tingg al 3 1,6% . Ko ndisi t ersebu t meng gam barkan lik uiditas sistem berjalan d engan baik. Selain itu , p ada tahu n lapo ran ju ga t idak pernah terjadi g ridlo ck atau kelancaran sistem p embayaran tergang gu karen a terjadi k ebu t uhan lik uiditas an tar peserta yan g saling tidak terpenu hi antar selu ruh peserta RTGS, d engan kata lain , pada t ah un lapo ran sistem tidak pernah terhen ti melakukan proses setelmen t ransak si.
42.8% 42.8%
25.6% 24.9%
31.6% 32.0%
0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%
2008 2007
awal s.d 10:30 10:30 - 14:30 14:30 s.d akhir
Troug hpu t Sistem BI-RTGS
Ko ndisi k risis keuan gan global yang berim bas p ula ke In do nesia tern yata tidak berdam pak signifikan p ada likuiditas sistem BI-RTGS. Krisis yan g terjadi p ada triw ulan ak hir terseb ut meman g men yebabkan b eberapa ban k mem iliki ekspo su r tin ggi terhadap kebu tu han likuiditasnya, tap i mereka masih mamp u men cuku pi keb u tu han terseb u t karena memiliki aset liku id beru pa su rat berharga seperti SBI, SW BI maup un SUN yan g memadai. M em ang ada b eberapa bank kecil yan g mengalami kesulitan lik uiditas, terleb ih p ada saat terjadi se gmen tasi lik uiditas, atau PUAB t idak berjalan den gan baik . W alaup un kon disi demikian , lik uiditas sistem BI-RTGS tetap terjaga, hal ini terlihat pula dari hasil
p enelitian Bank Ind onesia dengan men gg unakan salah sat u aplikasi yaitu aplikasi Bank o f Finlan d (Bo F)7 (lihat lam piran ).
Kinerja Sistem Kliring
Sepanjang tah un 2 00 8 pen yeleng garaan SKNBI di selu ru h In donesia secara um um terlaksana dengan b aik. Ak tivitas t ransak si kliring baik debet mau pu n k red it mencapai rata-rata Rp6 ,7 t riliun per hari t erseleng gara melalui jaringan sistem SKNBI. Sepanjang perio de lapo ran, permasalahan o perasional yan g terjadi lebih diseb abkan karena k urang meratanya in f rast ruk tu r jaringan k om unikasi d i berbagai w ilayah In do nesia. Namu n hal terseb u t secara keselu ruhan tidak menyebab k an operasio nal kliring tergangg u dan tidak berdampak pada stabilitas sistem pemb ayaran.
Dari sisi disiplin terh adap jad w al operasio nal (w in -d o w t i m e ) , t e r ca t a t d a l a m sa t u t a h u n t e r j a d i perpanjangan waktu operasional sebesar 45,13 menit. Perpanjangan w aktu operasional tersebut pada u m u m n ya d i g u n a k a n u n t u k m en g a k o m o d asi
permintaan peserta yang karena sesuatu
memerlukan w aktu lebih untuk menyelesaikan operasional transaksinya.
M anajemen Likuiditas Sistem Kliring
Keb u tu han lik uiditas peserta pada sistem klirin g relatif jauh lebih kecil diband in gkan k ebu t uhan lik uiditas pada sistem BI-RTGS. Disamping karena t ran saksin ya bersifat retail dibaw ah Rp1 00 ju ta (khu susn ya u n tuk t ransfer k redit ), ju ga karena sifat p en yelesaian akh irn ya yang men gg unakan mek anisme nett ing sehin gga kebu t uhan lik uid itas h an ya terjadi pad a akhir siklu s kliring. Kebu t uhan lik uiditas kliring lainn ya terkait dengan pemen uhan p ref un d sebagai dana aw al d alam kegiatan kliring . Un tuk klirin g k redit rata-rata likuiditas yang haru s
7 Aplikasi BoF merupakan aplikasi yang berfungsi sebagai tools untuk melihat tingkat likuiditas pada sistem in terbank payment and sett lement system seperti sistem BI-RTGS. Aplikasi ini dikembangkan oleh BoF dan dipakai sebagai simulator untuk mensimulasikan data-data yang dihasilkan oleh sistem interbank payment and settlement system dengan indikator-indikator yang disediakan simulator.
(22)
Halaman 18
d iseto r di pagi hari sebesar 0 ,3 4 kali setelmen nya, sedan gkan u n tuk kliring debet rata -rata seb esar 3 ,0 2 kali dana yang di -set tle.
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Prefund Debet Prefund Kredit Settlement
Perbandingan Prefund dan Setelmen
Penyediaan p refu nd sebag ai syarat men gik uti klirin g sepanjang t ah un 20 08 tersebu t t erpen uhi dengan b aik oleh selu ru h peserta klirin g. Namun demikian p ada t riw ulan akh ir, terdapat satu bank peserta yan g tidak m eng iku ti kegiatan kliring . Hal ini terjadi karen a bank yang bersan gku tan terkena imbas dari k risis fin ansial global. M eskip un dam pak yan g d it imb ulkan t erhadap set elmen klirin g tidak signifikan, namu n Bank Ind onesia meman dan g p erlu melaku kan peru bahan terh adap mekanisme p en yelen ggaraan kliring debet dan setelmen nya. Resp on kebijakan yang ditem puh adalah menetapkan p rinsip no m oney n o game un t uk p en yelesaian t ransaksi kliring debet .
Cek/Bilyet Giro Kosong
Im bas k risis finan sial jug a men yebabkan p enu runan p ada ak tivitas kliring debet pada t riw ulan terakhir. M en u ru nn ya ak tivitas in i di sisi lain d iiku ti dengan menin gkatn ya jumlah t olakan cek dan bilyet giro karen a alasan sald o tidak cuk up dan rekenin g d it u tu p, atau diseb u t ju ga den gan istilah cek atau b ilyet giro k oson g. Selama tahun 2008, penerbitan cek dan bilyet giro kosong mencapai 456 ribu di sisi volume dan Rp12,5 triliun di sisi nilai transaksi. Bila dibandingkan dengan tahun 2007, penerbitan cek dan bilyet giro kosong ini naik sebesar 18,2% di sisi volume dan 49,7% di sisi nilai. Dibandingkan dengan
total penyerahan cek dan bilyet giro, penerbitan cek dan bilyet giro kosong pada tahun 2008 adalah sebesar 1,1% di sisi volume dan 1,0% di sisi nilai transaksi. 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 Ja n -0 7 F e b -0 7 M a r-0 7 A p r-0 7 M a y -0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A u g -0 7 S e p -0 7 O c t-0 7 N o v -0 7 D e c -0 7 Ja n -0 8 F e b -0 8 M a r-0 8 A p r-0 8 M a y -0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A u g -0 8 S e p -0 8 O c t-0 8 N o v -0 8 D e c -0 8 Cek BG
Perkembangan Penarikan Cek/BG Kosong berdasarkan Volume Transaksi -200 400 600 800 1,000 1,200 Ja n -0 7 F e b -0 7 M a r-0 7 A p r-0 7 M a y -0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A u g -0 7 S e p -0 7 O c t-0 7 N o v -0 7 D e c -0 7 Ja n -0 8 F e b -0 8 M a r-0 8 A p r-0 8 M a y -0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A u g -0 8 S e p -0 8 O c t-0 8 N o v -0 8 D e c -0 8 R p M il ia r Cek BG
Perkembangan Penarikan Cek/BG Kosong berdasarkan Nilai Transaksi
Untuk menekan terjadinya penerbitan cek dan bilyet giro kosong, Bank Indonesia memberikan sanksi tegas kepada penarik cek dan bilyet giro kosong dengan mencantumkan identitas penarik cek dan bilyet giro kosong dalam Daftar Hitam Nasional (DHN). DHN merupakan daftar yang berisi identitas penarik cek dan/atau bilyet giro kosong dimana databasenya telah terintegrasi secara nasional sejak tahun 2006. Penarik cek dan/atau bilyet giro kosong dikelola oleh masing -masing bank serta dilaporkan secara online dan periodik kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, Bank Indonesia mengkompilasi data penarik cek dan/atau bilyet giro kosong yang dilaporkan oleh bank, dan kemudian mempublikasikan DHN secara online ke
(23)
Halaman 19
seluruh bank peserta kliring. Perkembangan DHN dapat dilihat pada grafik di baw ah ini :
Perkem bangan DHN berdasarkan kepemilikan rekening
Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran di Indonesia
Tabel Penyelenggaraan Sistem Pembayaran di Indonesia menunjukkan jenis sistem pembayaran yang beroperasi di Indonesia serta penjelasan mengenai mekanisme, penyelenggara dan peserta sistem pembayaran tersebut.
(24)
Halaman 20
Tabel Penyelenggaraan Sistem Pem bayaran di Indonesia
Sistem Tipe Transaksi Penyelenggara Peserta
Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement System (BI-RTGS)
• Transfer Kredit • Bank Indonesia • Seluruh bank termasuk unit usaha
syariah (152 peserta) • Transaksi menggunakan central bank money • 1 Perusahaan ATM Switching
Company
• Lebih diutamakan untuk transaksi nilai besar dan bersifat penting seperti transaksi pengelolaan moneter, transaksi Pemerintah, transaksi Pasar Uang Antar Bank, transaksi setelmen hasil kliring antar bank dan kliring pasar modal
• Kantor Pos Indonesia
• Setelmen untuk transaksi surat berharga (SBI dan SUN) yang setelmennya dilakukan pada sistem Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS)
• PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia
(KSEI)
• Mekanisme gross settlement dan bersifat no money no game
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
• Transfer Kredit untuk transaksi retail dengan nilai di bawah Rp 100 juta
• Bank Indonesia • Seluruh bank termasuk unit usaha syariah 152 peserta)
• Kliring warkat debet (cek, bilyet giro, nota debet lainnya)
• Mekanisme net settlement
Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS)
• Berfungsi sebagai sarana setelmen dan pencatatan kepemilikan surat berharga secara elektronis
• Bank Indonesia • 140 Bank umum termasuk unit usaha syariah
• Setelmen surta berharga yang dilakukan melalui BI-SSSS dilakukan secara DVP
• Sub registry yang terdiri atas 16 bank
yang serupa dengan lembaga kustodian
• Broker yang terdiri atas 13 badan
usaha non bank dan 1 lembaga penjamin simpanan
Central Depository and Book Entry Settlement System (C-Best)
• Setelmen dana untuk penyelesaian sisi dana dari transaksi sekuritas yang diperdagangkan di pasar modal
• PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI)
• Seluruh anggota Bursa Efek Indonesia
• Setelmen dana dilakukan melalui 4 bank setelmen yang menjadi tempat rekening anggota bursa
Shared ATM Network (Nasional)
• Transfer dana elektronik menggunakan kartu ATM
• PT. Artajasa Pembayaran Elektronis (ATM Bersama)
• 67 Bank umum dan 2 BPR
• PT. Rintis Sejahtera (PRIMA)
• 33 Bank umum • PT. Daya Network
Lestari (ALTO)
• 14 Bank umum dan 1 BPR
(25)
Halaman 21
Shared ATMNetwork (Internasional)
• Transfer dana elektronik menggunakan kartu ATM
• Mastercard International (Cirrus)
• 13 Bank umum dan PT. Artajasa
• Visa International (Plus)
• 26 Bank umum Jaringan Kartu
Debet (Nasional)
• Transfer dana secara elektronik melalui point of sales (jaringan yang terpasang pada
merchant)
Debit BCA • 23 Bank umum
Debit Link • 3 Bank milik negara Jaringan Kartu
Debet (Internasional)
• Mastercard
International (Maestro)
• 13 Bank umum dan PT. Artajasa
• Visa International (Elektron)
• 26 Bank umum Jaringan Kartu
Kredit
• Pembayaran secara elektronik menggunakan kartu kredit
• Visa International • 19 Bank • Mastercard
International
• 19 Bank umum dan 5 lembaga selain bank
• JCB • 2 Bank umum
• BCA • 1 Bank umum
Uang Elektronik • Pembayaran secara elektronik dimana nilai uang tersimpan pada instrumen/device yang digunakan
• Bank dan lembaga non bank
• 5 Bank umum
• 3 Perusahaan telekomunikasi
• 1 Perusahaan umum
Kegiatan Usaha Pengiriman Uang Non bank
• Pengiriman uang ke luar wilayah RI, ke dalam wilayah RI, dan dalam wilayah RI
• Perusahaan Telekomunikasi
n.a
• Kantor Pos n.a
• Pegadaian n.a
• Perusahaan Jasa
Titipan yang menyelenggarakan jasa pengiriman uang
n.a
• Badan Usaha
(26)
Halaman 22
(27)
Halaman 23
Kebijakan dalam M endorong
(28)
Halaman 24
KEBIJAKAN DALAM
M ENDORONG
EFISIENSI INDUSTRI
SISTEM
PEM BAYARAN
Salah satu prioritas dari Strategy M ap dalam pengembangan sistem pembayaran tahun 2008 yang telah ditetapkan pada tahun 2007 adalah “M eningkatkan Efisiensi Sistem Pembayaran”. Kebijakan peningkatan efisiensi sistem pembayaran ini dilakukan baik terhadap sistem pembayaran yang dilakukan oleh Bank Indonesia seperti sistem BI-RTGS dan SKNBI, maupun sistem pembayaran yang dilakukan di luar Bank Indonesia seperti APM K dan uang elektronik. Sebagai upaya peningkatan efisiensi terhadap sistem pembayaran yang dilakukan di luar Bank Indonesia, peranan Bank Indonesia sebagai fasilitator dan katalisator dalam hal ini lebih difokuskan pada upaya mendorong dan memfasilitasi penyusunan standar bersama untuk kartu ATM /debet, terw ujudnya interoperability antar penerbit uang elektronik, pembentukan asosiasi penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) dan pembentukan Self Regulating Organization (SRO) di bidang sistem pembayaran.
M endorong Terbent uknya Standar Bersama Kart u ATM / Debet
Saat ini penggunaan magnetic stripe pada APM K dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keamanan dari sisi penggunakan
teknologi pada alat pembayaran. Berdasarkan data fraud pada APM K, penggunaan magnetic stripe pada alat pembayaran seperti kartu ATM , kartu debet, dan kartu kredit telah memberikan peluang terhadap berbagai tindak kejahatan. Berangkat dari kondisi tersebut, pada tahun 2005 Bank Indonesia telah
menerbitkan paket ketentuan mengenai
penyelenggaraan kegiatan APM K. M elalui ketentuan ini seluruh penerbit APM K w ajib melakukan migrasi dari teknologi magnetic stripe ke teknologi chip baik terhadap APM K yang diterbitkan maupun seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi APM K tersebut.
Pada saat itu disadari bahw a upaya peningkatan keamanan melalui teknologi chip khususnya untuk kartu ATM /Debet perlu didukung oleh suatu standar bersama yang dapat digunakan oleh industri, sehingga dapat lebih memudahkan dalam mew ujudkan interoperability di masa yang akan datang. Atas dasar inilah Bank Indonesia memfasilitasi industri untuk menyusun dan menetapkan standar nasional untuk kartu ATM /Debet berbasis chip di Indonesia. Berbeda halnya dengan kartu kredit dimana standar tersebut telah berjalan, yang umumnya mengikuti standar Europay M astercard Visa (EM V) dan aplikasi prinsipal Visa/M aster yang berlaku internasional, standar untuk kartu ATM /Debet perlu disepakati untuk diterapkan secara nasional oleh industri.
Terkait dengan penyusunan standar nasional kartu ATM /Debet tersebut, disadari bahw a keberadaan operator penyedia jaringan shared-ATM (sw itching operator) merupakan suatu hal yang positif dalam mendorong perbankan untuk segera menyepakati standar nasional dimaksud sehingga layanan jasa perbankan kepada masyarakat dapat lebih efisien. Kondisi saat ini, hampir seluruh bank penerbit kartu ATM /Debet telah bergabung dengan salah satu atau lebih operator sw itching. Hal ini berarti jutaan nasabah dari bank-bank tersebut saat ini telah menikmati jaringan layanan ATM /Debet yang sangat luas yang diselenggarakan oleh operator sw itching tersebut. Dengan penggunaan standar yang sama, migrasi ke
(29)
Halaman 25
teknologi chip pada kartu ATM /Debet diharapkan tidak mengurangi atau menghilangkan fasilitas yang selama ini telah dinikmati oleh jutaan nasabah tersebut.
Sebagaimana dalam penyusunan standar bersama lainnya, dalam penyusunan standar nasional kartu ATM /Debet inipun telah disepakati acuan atau key requirements yang menjadi rambu-rambu atau pedoman dalam menyusun standar antara lain kesepakatan untuk mengacu kepada standar sistem pembayaran internasional yang telah teruji keamanan dan kehandalannya seperti ISO 7816 dan EM V, menggunakan open platform sehingga tidak terikat kepada pemasok tertentu/monopoli, sepakat bahw a Intellectual Property Rights (IPR) dimiliki oleh pihak Indonesia, dan mengupayakan agar dampak implementasi yang relatif minimal terhadap infrastruktur industri perbankan saat ini.
Selama tahun 2008, tahapan yang telah dilakukan dalam penyusunan standar nasional kartu ATM /Debet untuk mendukung terw ujudnya efisiensi nasional meliputi:
Pembentukan Forum Komunikasi Sistem
Pembayaran Nasional (FKSPN) melalui Komite Standar dan Produk/Sub Komite APM K yang beranggotakan 15 bank perw akilan dari 5 asosiasi perbankan.
Penandatanganan Nota Kesepahaman (M oU) oleh 3 perusahaan sw itching untuk penyusunan standar nasional kartu ATM /Debet.
Penandatanganan kesepakatan bersama (M oU) oleh 19 Direktur bank yang tergabung dalam FKSPN (Sub Komite APM K) dan W orking Group Penyusunan Standar Nasional Kartu ATM /Debet untuk menyepakati standar teknis kartu ATM /Debet yang akan digunakan oleh industri. Uji coba aw al atau proof-of-concept (PoC). Standar yang telah ditetapkan bersama tersebut diharapkan dapat segera diterapkan pada tahun 2009, sehingga hal ini tidak saja dapat meningkatkan layanan fasilitas kepada seluruh masyarakat, namun di
sisi lain harapan industri untuk mew ujudkan efisiensi dalam penyelenggaraan kartu ATM /Debet dapat segera terpenuhi.
M endorong Interoperability
Sejak diterbitkannya ketentuan mengenai kartu prabayar atau uang elektronik yang merupakan paket ketentuan dari penyelenggaran kegiatan APM K pada tahun 2005, sampai dengan Desember 2008 telah tercatat 9 (sembilan) penerbit uang elektronik di Indonesia. Tidak terdapatnya larangan bagi institusi non bank untuk menerbitkan uang elektronik telah mendorong 3 (tiga) perusahaan telekomunikasi dan 1 (satu) badan usaha non bank menjalankan kegiatan uang elektronik tersebut. Diberikannya akses bagi perusahaan non bank untuk menjalankan kegiatan uang elektronik didasarkan pada kebijakan Bank Indonesia dalam mendorong terw ujudnya less cash society dengan menyediakan instrumen pembayaran yang dapat menjangkau unbanked people.
Sebagaimana pengembangan uang elektronik di beberapa negara, di Indonesia uang elektronik juga dikembangkan dengan beberapa media penyimpan data yaitu chip based dan server based. Pada tahun 2008 ini, chip based pada umumnya dikembangkan oleh perbankan dalam bentuk kartu, sedangkan server based lebih diminati oleh penerbit non bank yang merupakan perusahaan telekomunikasi. M engingat kedua bentuk uang elektronik tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, upaya Bank Indonesia untuk mendorong terw ujudnya interoperability dalam kegiatan uang elektronik sudah barang tentu juga menghadapi tantangan yang cukup besar. Sebagai langkah aw al untuk mew ujudkan interoperability antar penerbit uang elektronik tersebut, Bank Indonesia telah menfasilitasi forum bersama baik antar penerbit bank maupun penerbit non bank untuk membahas mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mew ujudkan interoperability sistem uang elektronik di Indonesia. M eskipun industri uang elektronik merupakan industri yang relatif masih baru
(1)
Halaman 98
ARTIKEL 3
Kajian Penggunaan
Likuiditas pada
Sistem BI-RTGS
(Suatu Pendekatan Simulasi
M enggunakan Bank of Findland
Payment Sistem Simulator)
Kondisi ketatnya likuiditas keuangan pada periode krisis dikhaw atirkan akan berdampak pula pada kondisi likuiditas sistem BI-RTGS. Dampak dari ketatnya likuiditas akan mengganggu kelancaran transaksi pembayaran. Transaksi yang seharusnya dapat ter-settle secara cepat bisa jadi tertunda apabila likuiditas di saldo giro bank tidak mencukupi untuk membayarkan kew ajibannya. Lebih berisiko lagi apabila sampai akhir hari tidak dapat m emenuhi kew ajiban sehingga berdampak pula pada likuiditas peserta lain.
Rasio Turn Over
Keketatan likuiditas pada peserta salah satunya dapat dilihat dari rasio turn over26 yang cenderung meningkat dari pola perilaku rata-ratanya. Rasio turn over tinggi dapat diartikan bahw a bank lebih banyak membayar kew ajibannya dengan menunggu incoming transfer dari bank lain daripada menggunakan
26 perbandingan antara outgoing payment dengan saldo aw alnya mengalami peningkatan
modalnya sendiri, sehingga perilaku transaksi yang tercermin pada rasio turn over semakin tinggi.
Pada masa imbas krisis global tahun 2008 terutama di triw ulan IV 2008, rasio turn over seluruh kelompok bank kecuali kelompok bank syariah menunjukkan peningkatan. Hal ini menggambarkan perubahan perilaku penggunaan likuiditas perbankan pada triw ulan IV dibandingkan triw ulan-triw ulan sebelumnya. Dari seluruh kelompok bank tersebut terlihat trend peningkatan tertinggi khususnya pada bulan-bulan terakhir ini adalah kelompok Bank Pemerintah, BPD, dan Bank Sw asta Nasional. Hal ini menunjukkan peruahan pencadangan likuiditas untuk membiayai kew ajiban pembayaran sepanjang hari yang tadinya lebih menggunakan saldo sendiri, pada triw ulan IV mulai memperhitungkan incoming payment dari peserta lainnya.
Rata-Rata Turn Over Rasio Per Kelom pok Bank
Kondisi likuiditas yang ketat ini apabila terus terjadi dapat meningkatkan trend rasio turn over seluruh kelompok bank. Hal ini dikhaw atirkan dapat mengganggu kelancaran transaksi pembayaran di sistem BI-RTGS, apabila seluruh kelompok bank memiliki rasio turn over yang tinggi dan relatif sama besar. Kondisi tersebut mengindikasikan saling ketergantungan terhadap outgoing payment antar kelompok bank yang tinggi. Oleh karena itu potensi terjadinya queue payment atau lebih jauh lagi menjadi gridlock semakin besar.
(2)
Halaman 99
Perilaku Turn Over Per Kelompok Bank
Perilaku masing-masing kelompok bank yang terlihat dari turn over dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah tipe bank yang membiayai outgoing payment-nya dari saldo yang dimilikipayment-nya. Tipe bank ini biasapayment-nya yang memiliki likuiditas cukup berlebih seperti kelompok Bank Pemerintah dan beberapa Bank Sw asta Nasional besar atau bank kecil yang produk keuangan atau eksposure pembayarannya belum terlalu luas seperti kelompok Bank Sw asta Nasional yang kecil dan Bank Pembangunan Daerah.
Sementara itu tipe kedua adalah kelompok bank yang membiayai outgoing payment-nya lebih mengandalkan dari incoming payment bank lain seperti kelompok Bank Asing dan Campuran. Kelompok bank tersebut biasanya dapat melakukan pengelolaan likuiditasnya secara efisien, sehingga eksposure pembiayaan sepanjang hari dapat dikelola sedemikian rupa sehingga w alaupun turn over tinggi tidak terjadi mismatch.
Dari grafik di atas terlihat bahw a pemberi likuiditas antarbank di sistem BI-RTGS selama ini adalah kelompok Bank Pemerintah dan Bank Sw asta Nasional. Grafik turn over harian posisi kelompok Bank Pemerintah, Bank Sw asta Nasional selalu dibaw ah rata-rata industri perbankan secara keseluruhan sedangkan kelompok Bank Asing dan Bank Campuran selalu di atas rata-rata industri perbankan. Adapun untuk kelompok BPD dan Syariah tidak terlalu signifikan di sistem karena nilai likuiditas yang disumbangkan oleh kedua kelompok bank ini nilainya kecil.
Kebutuhan likuiditas perbankan yang semakin ketat pada triw ulan IV dapat saja memicu berlanjutnya trend peningkatan rasio turn over di seluruh kelompok bank. Dari grafik di atas sudah terlihat trend peningkatan rasio turn over kelompok Bank Pemerintah, Bank Sw asta Nasional dan BPD. Apabila trend peningkatan tersebut berlanjut dikhaw atirkan akan meningkatkan transaksi yang pending settlement atau dari perspektif
sistem RTGS dikenal dengan queue transaction (transaksi dalam antrian). Hal ini tidak terlalu menjadi masalah ketika queue tersebut pada akhir hari ter-settle semua. Jika beberapa queue tidak ter-ter-settle atau di keluarkan (reject) oleh sistem karena dana tidak cukup maka mulai nampak adanya kesulitan likuiditas bagi bank yang mengalami hal tersebut.
Kondisi yang paling dikhaw atirkan dari jumlah queue maupun transaksi yang gagal settle adalah dampaknya bagi likuiditas sistem secara keseluruhan. Jika pada suatu titik tertentu sistem tidak dapat berjalan karena proses settlement terhenti (gridlock), dimana masing-masing peserta kondisi likuiditasnya sudah minim dan seluruh fasilitas likuiditas intrahari sudah terpakai sehingga hanya mengandalkan incoming payment otomatis sistem tidak berjalan.
Pendekatan M enggunakan Simulator Bank of Findland
Penghitungan likuiditas di sistem BI-RTGS dapat dilakukan pula menggunakan pendekatan simulasi. Tool simulasi yang digunakan adalah simulator Bank of Findland. Tool tersebut dapat digunakan untuk melihat tingkat likuiditas yang dipakai pada sistem interbank payment and settlement seperti sistem RTGS. Adapun beberapa indikator yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :
a. Liquidity usage indicator (LS), yaitu indikator yang menunjukkan tingkat keketatan penggunaan likuiditas baik level sistem maupun peserta. Indikator tersebut memiliki range nilai dari 0 s.d. 1 dimana semakin mendekati 1 berarti likuiditas peserta atau sistem semakin ketat. Rumus yang digunakan adalah saldo aw al dikurangi saldo minimum sepanjang hari dibagi dengan outgoing payment dijumlahkan dari seluruh peserta. b. Settlement delay indicator (SD), yaitu indikator
yang menunjukkan tingkat lamanya w aktu settlement pada level peserta atau sistem. Indikator tersebut memiliki range nilai dari 0 s.d 1, dimana semakin mendekati satu berarti kecepatan settlement semakin lambat. Adappun
(3)
Halaman 100
perhitungannya adalah nilai transaksi dikali lamanya w aktu queue kemudian dibagi nilai transaksi yang dikalikan jumlah w aktu sistem dikurangi w aktu input transaksi.
c. Low er bound (LB), yaitu level liquiditas terendah yang dibutuhkan peserta untuk menyelesaikan semua transaksi outgoing-nya pada akhir hari atau likuiditas yang dibutuhkan unt uk menyelesaikan transaksi secara offsetting.
Sampel hari yang digunakan pada simulasi ini terdiri dari 43 hari dari tanggal 6 Oktober s.d. 3 Desember 2008. Alasan pemilihan sampel ini untuk melihat dampak kondisi krisis finansial yang mulai menunjukkan keketatatan likuiditas di perbankan terutama mulai di akhir bulan Oktober.
Kesimpulan Hasil Simulasi
Hasil simulasi menunjukkan bahw a secara keseluruhan likuiditas di sistem BI RTGS masih cukup memadai. Hal ini terlihat dari ketiga indikator yang dihasilkan oleh simulator sebagaimana grafik dibaw ah. LSI sistem menunjukan rata-rata sebesar 0,36, artinya secara sistem penggunaan likuiditas di BI-RTGS tidak terlalu ketat. Hal ini salah satunya disebabkan BI selalu berada di Pasar untuk melikuidkan sistem baik melalui operasi pasar terbuka, fine tune ekspansi melalui pemberian
fasilitas repo surat berharga, dan pembayaran bunga maupun pelunasan surat berharga. Selain itu su play likuiditas juga berasal dari bank besar terutama kelompok Bank Pemerintah dan Bank Sw asta Nasional sebagaimana ditunjukkan oleh grafik diatas.
Sementara itu indikator lainnya (SD) juga tidak menunjukkan angka yang tinggi yaitu hanya 0,02. Artinya hanya sedikit transaksi yang masuk antrian (queue) sehingga settlementnya tertunda. Ini juga menunjukkan bahw a secara sistem, likuiditas BI-RTGS masih memadai. Selanjutnya dilihat dari nilai LB-nya rata-rata hanya Rp 14,9 triliun. Nilai tersebut jika dibandingkan dengan rata-rata perputaran transaksi hanya sekitar 6,8% (rata-rata transaksi sehari Rp 218 triliun). Artinya kalaupun sistem sampai akhir hari mengalami dow n sehingga harus di-offset seluruh peserta hanya menanggung 6,8% dari kebutuhan likuiditas untuk transaksi hariannya.
Dari grafik di baw ah ini, terlihat jelas bahw a pergerakan ketiga indikator tersebut relatif konstan. Hanya saja sempat terjadi shock pada tanggal 24 Oktober ketika BI mengumumkan untuk menurunkan giro w ajib minimum dari level 9,08% menjadi 7,5% . Namun terjadi anomali disini, dimana seharusnya suplai likuiditas di sistem semakin berlebih sehingga seharusnya indikator LU dan SD menurun tetapi justru
(4)
Halaman 101
meningkat. M ungkin disini pasar baru menyesuaikan kebijakan baru tersebut dengan pola transaksi hariannya sehingga pada hari-hari berikut pergerakannya relatif normal. Sedamgkan indikator SD menunjukkan peningkatan pada tanggal 17 s.d. 21 November dimana tanggal tersebut memang terjadi banyak isu negative terhadap kondisi perbankan. Bank-bank yang memiliki likuiditas berlebih tidak ada yang mau meminjamkan dananya melalui Pasar Uang
Antar Bank, sehingga hal ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan likuiditas terutama bagi bank-bank kecil yang memiliki keterbatasan likuiditas. Belum lagi isu negative yang berhembus di masyarakat mengakibatkan banyak nasabah bank kecil yang menarik dananya dan memindahkan ke bank -bank besar, tentunya hal ini menambah keketatan di level bank-bank kecil. Sehingga w alaupun pada tanggal-tanggal tersebut SD-nya meningkat namun secara sistem likuiditasnya masih relatif baik.
(5)
Halaman 102
ARTIKEL 4
PENCABUTAN DAN
PENARIKAN UANG
PECAHAN
Rp100.000 TE 1999,
Rp50.000 TE 1999,
Rp20.000 TE 1998,
dan Rp10.000 TE
1998
Pada tanggal 31 Desember 2008 dilakukan pencabutan dan penarikan beberapa pecahan uang Rupiah, yaitu Rp100.000 Tahun Emisis (TE) 1999; Rp50.000 TE 1999; Rp20.000 TE 1998; dan Rp10.000 TE 1998 dan dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan dan penarikan uang pecahan tersebut didasarkan pada ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/33/PBI/2008 tanggal 25 November 2008 perihal Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Kertas pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 20.000 (Dua Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 50.000 (Lima
Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999, dan 100.000 (Seratus Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999.
Pertimbangan pencabutan dan penarikan uang pecahan tersebut antara lain masa edar uang; tingkat pemalsuan uang; ketersediaan uang emisi baru serta kebutuhan terhadap pecahan tertentu. M eskipun uang kertas pecahan tersebut telah dicabut dan ditarik dari peredaran, namun masih dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum, dengan jangka w aktu yang ditetapkan sebagai berikut:
1. Terhitung sejak tanggal 31 Desember 2008 sampai dengan tanggal 30 Desember 2013 penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum
2. Terhitung sejak tanggal 31 Desember 2013 sampai dengan tanggal 30 Desember 2018 penukaran dilakukan hanya di Bank Indonesia.
Dengan ketentuan tersebut, maka hak untuk menuntuk penukara uang Rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran uang pecahan tersebut tidak berlaku lahi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 31 Desember 2018.
Pecahan Uang Yang Dicabut Dan Ditarik Dari Peredaran Tanggal 31 Desember 2008
1. Pecahan Rp.10.000 Tahun Emisi 1998
(6)
Halaman 103
Belakang
2. Pecahan Rp.20.000 Tahun Emisi
Depan
Belakang
3. Pecahan Rp50.000 Tahun Emisi 1999
Depan
Belakang
4. Pecahan Rp100.000 Tahun Emisi 1999
Depan