Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik di Poso dalam Menciptakan Perdamaian T2 752012005 BAB V

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan gabungan antara teori, hasil penelitian (data empiris), serta analisa
maka bisa disimpulkan bahwa penyebab konflik Poso adalah berasal dari dalam sendiri
(internal) masyarakat Poso dan bukanlah pihak luar. Konflik Poso disebabkan oleh
banyak faktor, bukan hanya berkaitan dengan faktor agama tetapi juga tumpang tindih
dari berbagai faktor, seperti kesenjangan ekonomi, krisis kelembagaan politik, krisis
keamanan dan disorintasi nilai sosial budaya. pada konflik langsung, akar konflik dan
akibat konflik saling memperkuat satu sama lain sehingga meningkatkan eskalasi konflik.
Meskipun konflik Poso adalah konflik agama, namun esensi konflik di Poso adalah
konflik kepentingan. Konflik agama hanya sebagai pemicu untuk mengawali konflik yang
telah diskenariokan. Jadi, dalam konteks ini konflik diciptakan untuk memperoleh tujuantujuan tertentu. Ketika konflik menyentuh tataran agama yang sebagai dasar keyakinan,
maka konflik tidak dapat dikendalikan lagi. Karena hal semacam itu, sangat mudah
memicu konflik yang berkepanjangan. Sehingga, konflik yang terjadi di Poso tampak
seperti konflik antaragama yang menimbulkan dendam antarumat beragama.
Setelah melihat konflik Poso dengan modelnya, serta bawaannya dalam kedua
komunitas yaitu komunitas Kristen dan Islam, maka yang dibutuhkan adalah transformasi
konflik. Dimana konflik ini dimaknai kembali sebagai bagian penting dalam perubahan
sosial. Oleh karena itu, konflik dalam hal ini menurut Coser adalah yang membantu
kohesi dan solidaritas, bukan hanya masing-masing komunitas. Kohesi dan solidaritas

akan membangun kembali satu kesatuan masyarakat utuh yang dahulunya memiliki

98

hubungan yang longgar sehingga ancaman dari luar yang akan kembali merusak
solidaritas bersama sebagai kesatuan tidak akan berhasil.
Masyarakat Poso menghadapi berbagai masalah pasca konflik Poso yaitu akar
konflik masa lalu yang belum terselesaikan dengan baik, pendorong konflik, dan dampak
konflik pada masyarakat. akar konflik merupakan sebab-sebab struktural dan tindakan
individual atas terjadinya konflik. Sebab-sebab itu sudah ada sejak sebelum konflik
terjadi dan muncul menjadi konflik terbuka dalam berbagai bentuk ketika konflik
berlangsung. Bentuknya bisa kesenjangan sosial-ekonomi, kemiskinan, penganguran,
represi politik, polarisasi sosia, dan sebagainya. Pendorong konflik adalah faktor-faktor
yang membuat akar konflik mencuat ke permukaan menjadi konflik terbuka. Bentuknya
bisa perubahan tidak disengaja seperti kebijakan atau perubahan tidak disengaja di
masyarakat. dampak konflik adalah akibat-akibat yang ditimbulkan konflik pada
kehidupan sosial seperti kekerasan, kerusakan, kesenjangan berlanjut, segregasi sosial,
kemiskinan dan penganguran baru, dan sebagainya.
Konflik dan pasca konflik membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat di
kabupaten Poso. Akan tetapi jika dilihat konflik dan pasca konflik sebagai sumber

perubahan, maka untuk mencapai perdamaian tidak dapat dimodelkan sebagai hasil yang
statis. Perdamaian sejati adalah ketika upaya melakukan pengabungan konsep perdamaian
positif dan negatif berjalan dengan baik. Pengabungan perdamaian ini merupakan narasi
besar dalam menciptakan transformasi konflik sebagai model dalam pembangunan
perdamaian dalam konteks masyarakat pasca konflik. Untuk menciptakan perdamaian
yang menyeluruh agar berjalan terus maka yang diperlukan adalah perhatian dari elit
lokal dan masyarakat Poso secara umum dengan memupuk dan merevitalisasi kembali
kearifan lokal yaitu sintuwu maroso. Sintuwu maroso dapat dikategorikan sebagai katup

99

penyelamat (savety valve). Berdasarkan kenyataan dilapangan, masyarakat Poso
sebenarnya telah lelah dengan berkonflik dan mendambakan sebuah perdamaian sejati
oleh karena itu pemerintah dan aktivis-aktivis perdamaian harus bisa melihat ini sebagai
peluang untuk menciptakan kabupaten Poso yang benar-benar damai.
Pendekatan sintuwu maroso sebagai perdamaian setidaknya didasarkan pada
empat asumsi dasar yaitu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak asasi
untuk membebaskan dari berbagai bentuk kekerasan, sintuwu maroso dijalankan oleh
struktur, kelembagaan ekonomi dan politik yang tidak menekan, sebaliknya
membebaskan dan meningkatkan kapasitas masyarakat memenuhi kebutuhan dasar untuk

terwujudnya perdamaian, dengan menerapkan

sintuwu

maroso

maka strategi,

perencanaan dan kebijakan pemerintah akan peka konflik dan mampu mendorong
perdamaian dan sintuwu maroso akan kembali menguatkan solidaritas masyarakat yang
dahulu terkotak-kotak. Nilai-nilai yang terkandung dalam sintuwu maroso adalah nilai
kerja sama, menghormati, kebersamaan, musyawarah, empati, peduli dan persatuan.
Nilai-nilai yang terkandung tersebut merupakan bukti bahwa kearifan lokal sintuwu
maroso mampu menciptakan perdamaian yang sejati.

B. Saran
Melalui penelitian ini penulis menyarankan :


Bahwa perlu adanya komitmen Politik dari pemerintah dan elit lokal di Poso,

bahwa untuk menjaga perdamaian, perlu memperhatikan keberadaan dua
komunitas yang telah berkonflik dalam silkulasi kekuasaan agar statmen berbau
SARA di masyarakat dapat dicegah.

100



Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah peka konflik dan
menetapkan elemen-elemen apa saja yang mau dikaji, diadopsi dan bagaimana
menerapkan kearifan lokal sintuwu maroso dalam setiap program kerja.
Pemerintah harus melihat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu jembatan
yang cukup efektif untuk merekat dan menjaga perdamaian.



Pemerintah haruslah mengembangkan kembali potensi dan nilai-nilai kearifan
lokal sintuwu maroso kedalam peraturan daerah. Sehingga menjadi sebuah
ketetapan bersama yang mengingat semua etnis di Poso.




Pemerintah dan Aparat Keamanan harus benar-benar serius dalam menyelesaikan
masalah terror di Poso agar tidak lagi terkesan setengah hati dalam menyelesaikan
masalah teror-teror sehingga dapat mengembalikan kembali kepercayaan
masyarakat kepada Pemerintah dan Aparat Keamanan.



Perlu penguatan kembali kepada lembaga adat dan membangun kembali
bangunan-bangunan yang merupakan simbol-simbol kearifan lokal.



Masyarakat Poso harus dapat membenamkan ego etnis, ego agama, ego ras, dan
ego kelompok, dengan menyatukan mindset-nya menjadi “kita”, dan bukan “saya”
atau “mereka”, sehingga perdamaian yang sejati bisa tercapai.

101