T2 752012005 BAB III

(1)

BAB III

KEADAAN MASYARAKAT PASCA KONFLIK POSO DAN NILAI-NILAI MENGENAI SINTUWU MAROSO

Kerusuhan dan konflik di Poso yang terjadi pada kurun waktu 1998-2005 telah menjadi sebuah tragedi yang mengakibatkan suasanan anomi.1 Masyarakat terpecah ke dalam kelompok-kelompok suku dan agama yang bertikai atas nama identitasnya masing-masing. Konflik yang terjadi membawa perubahan sosial dan kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari baik ketika konflik itu sedang terjadi maupun pasca konflik. Cara yang paling sederhana untuk mengerti perubahan sosial (masyarakat) dan kebudayaan itu adalah dengan membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Bahkan jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi mengenai perubahan mayarakat dan kebudayaan itu, maka suatu hal yang paling baik dilakukan adalah mencoba mengungkap semua kejadian yang pernah terjadi di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.

A. Gambaran Umum Kabupaten Poso dan Lokasi Penelitian

Kabupaten Poso adalah salah satu Kabupaten yang terletak di wilayah Sulawesi Tengah,2 yang membentang dari arah Tenggara ke Barat Daya dan melebar dari arah Barat ke Timur. Secara geografis, letak wilayah Kabupaten Poso persis di antara teluk tomini dan teluk Tolo. Wilayah itu memanjang dari barat ke timur pada titik koordinat 01° 06’ 44” - 2° 12’ 53” LS dan 120° 05’ 09” - 122° 52’ 04” BT. Pusat pemerintahan

1 Anomi adalah keadaan masyarakat yang di tandai oleh kekacauan norma-norma yang mengatur

interaksi sosial. Nicholas Abercrombie (rt.al), Kamus Sosiologi. Diterjemahkan oleh Dessy Noviyani dkk.( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 24-25. Lihat juga Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial Dan Rekontruksi identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat Elim Salon Kele’I di Poso. (Salatiga: Satya Wacana University PREES, 2014), 1.

2

Selain Kabupaten Poso, terdapat juga Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi mouton, Kabupaten sigi, Kabupaten Toli-toli, Kabupaten BUol, Kabupaten Luwuk, Kabupaten Banggai, Kabupaten Morowali, Kabupaten Touna, dan Kotamadya Palu


(2)

Kabupaten Poso terletak di kecamatan Poso kota. Kabupaten Poso terletak di provinsi Sulawesi Tengah dengan luas 8.712,25 km² atau 12,81 persen dari luas daratan Provinsi Sulawesi tengah. Secara administrative di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Parimo, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Luwuk Utara, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sigi, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Morowali. 3

Kabupaten Poso memiliki 17 wilayah kecamatan, dan salah satunya adalah wilayah Kecamatan Pamona Puselemba. Kecamatan Pamona Puselemba terdiri dari 3 Kelurahan, dan 7 desa yaitu: Kelurahan Tentena, Kelurahan Pamona, Kelurahan Sangele, Desa Tunusu, Desa Leboni, Desa Mayakeli, Desa Soe, Desa Buyumpondoli, Desa Peura,dan Desa Dulumai.

Kelurahan Pamona sebagai lokasi penelitian adalah salah satu wilayah pemerintahan yang terdapat di kecamatan Pamona Puselemba, dengan jumlah kepala keluarga 1229 KK, jumlah laki-laki 2.654 orang, dan jumlah perempuan 2.615 orang. Kelurahan Pamona memiliki luas 100 ha, dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Petirodongi. Sebelah Selatan berbatasan dengan danau Poso. Sebelah Timur berbatasan dengan sungai Poso. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Buyupondoli., jarak tempuh menuju ke ibu kota Kabupaten ± 56 Km.

Penelitian ini hanya dari perspektif kristen saja sehingga fokus pada lokasi penelitian terdapat di dua Jemaat di kelurahan Pamona yaitu Jemaat GKST Mizpa Kajuawu dan Jemaat GKST Kayamanya.

3 http:posokab.bps.go.id/index.php?hal=tabel&id=1; Internet; dikunjungi tanggal 15 Agustus


(3)

1. Latar belakang berdirinya Jemaat Mizpa Kajuawu

Jemaaat Mizpa Kajuawu merupakan salah satu jemaat yang terdaftar pada Gereja Kristen Sulawasi Tengah ( GKST). Jemaat Mizpa Kajuawu berada di daerah Palapa yang dapat di tempuh dari dua arah, yakni : dari sebelah timur kelurahan Pamona ± 1 Km, dan sebelah selatan kelurahan Pamona jalan Dian Wacana ± 1 Km.

Berdirinya jemaat Mizpa Kajuawu berawal dari peristiwa kerusuhan Poso kedua bulan Mei tahun 2000. Awalnya jemaat Mizpa Kajuawu adalah jemaat Mizpa Batigencu, Klasis lage, kecamatan Lage-Tojo, Kabupaten Poso. Pada Peristiwa kerusuhan Poso jilid II ini terjadi pengungsian dari seluruh warga jemaat Mizpa Batigencu menuju ke daerah Tentena dan bermukim di tempat tinggal sementara yaitu lokasi Festiwal Danau Poso (FDP) berserta jemaat pengungsi dari daerah lainnya. Jumlah kepala keluarga jemaat Mizpa Bategencu saat itu adalah 98 kepala keluarga dengan 411 jiwa.4

Pada tahun 2008 pemerintahan Poso dalam programnya pemberian bantuan perumahan yang disebut rumah tinggal sementara (RTS) agar masyarakat pengungsi kerusuhan Poso yang mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak dan memulai kehidupan yang baru. Jemaat Mizpa Batigencu mengambil lokasi baru untuk pembangunan tempat tinggal di daerah Palapa yang dikenal dengan Kajuawu kelurahan Pamona, sampai sekarang.

Kepindahan jemaat di Kajuawu ternyata tidak diikuti oleh seluruh jemaat Bategencu yang mengungsi di daerah FDP hal ini di sebabkan sebagaian besar kepala keluarga memilih kembali ke kampung Bategencu dengan alasan keadaan Poso sudah mulai kondusif dan masih adanya lahan pertanian, perkebunan, kelapa, dan lain-lain

4


(4)

walaupun harus membangun tempat kediaman dari awal lagi karena habis terbakar akibat konflik Poso. Sementara itu warga jemaat Mizpa Bategencu yang memilih untuk pindah dan menetap di Kajuawu masing-masing membeli sebidang tanah untuk lokasi pembangunan tempat tinggal. Jumlah kepala keluarga yang memilih menetap di Kajuawu sekitar 14 Kepala keluarga. Pada bulan November 2012 melalui Sidang Sinode jemaat Mizpa Bategencu berganti nama dan di sahkan menjadi Jemaat mizpa Kajuawu.

Anggota Jemaat mizpa Kajuawu yang memilih menetap di kajuawu dan tidak kembali lagi ke kampung halaman dikarenakan sebagaian besar masih adanya faktor ketakutan hal ini didasari karena masih adanya terdengar penembakan dan pembunuhan yang terjadi di Poso apalagi dilihat dari letak geografis dari Desa Bategencu di mana berada di antara Desa yang mayoritas Muslim.5 Faktor yang lain adalah di dasarkan karena sebagaian jemaat sudah mempunyai pekerjaan jika harus kembali maka akan membangun lagi dari awal dan sudah merasa nyamannya tinggal di Kajuawu. Walaupun sebenarnya di desa Batigencu mereka masih mempunyai lahan pertanian, akan tetapi di serahkan kepada saudara yang berada di Desa Bategencu untuk mengolahnya.6

2. Latar belakang berdirinya Jemaat GKST Kayamanya

Jemaat Imanuel Poso adalah salah satu dari 16 jemaat Gereja Kristen Sulawesi Tengah wilayah klasis Poso kota. Jemaat Imanuel Poso yang pada sampai pada tahun 1991 bernama jemaat Imanuel Kayamanya. Kelurahan Kayamanya adalah kelurahan terpadat di Kabupaten Poso dan penduduknya mayoritas non Kristen sedangkan warga kristiani hanya sekitar 15% yang terkonsentrasi di wilayah Kayamanya atas.

5 Wawancara Ibu A. Mosipatu, pada tanggal 9 Januari 2014. 6 Wawancara Bapak L. Poraju, pada tanggal 11 Januari 2014.


(5)

Jemaat imanuel kayamanya mengalami konflik Poso secara langsung. Pada peristiwa konflik jilid I sebagian warga mengungsi tapi setelah kondisi mulai aman, kembali ke rumah masing-masing. Pada peristiwa konflik jilid II warga jemat sebagian kembali mengungsi tapi sebagian jemaaat beranggapan bahwa kondisi akan kembali aman sehingga merasa tidak perlu mengungsi walaupun mendapat teror sana-sini. Pada peristiwa konflik jilid III yang terjadi secara mendadak, lebih berbahaya dan lebih mengancam nyawa sehingga terjadi pengungsian secara besar-besaran yang tersebar di beberapa wilayah di Kabupaten Poso dan warga jemaat yang masih ada menyelamatkan diri dengan cara melintasi hutan. Secara umum pengungsi dari desa kayamanya di evakuasi ke Tentena yang jaraknya 56 Km dari kota Poso. Dampak kongkrit dari peristiwa kerusuhan Poso antara lain :

1. Gereja Imanuel Poso dibakar termasuk peralatannya.

2. Seluruh warga jemaat kehilangan rumah/habis dibakar

3. Hampir semua warga jemaat kehilangan harta benda/dijarah

4. Seluruh jemaat kehilangan kesempatan untuk menikmati hasil kebun sendiri.

5. Sebagian warga jamaat kehilangan lapangan pekerjaan.

6. Beberapa warga jemaat kehilangan nyawa.7

Pada akhir bulan Mei tahun 2000 sebagian warga jemaat berdomisili di tempat pengungsian di festival danau Poso (FDP) Tentena. Setelah kurang lebih 7 bulan di FDP, majelis sinode GKST meminjamkan lahan milik gereja dalam jangka waktu 3 tahun yakni eks lapangan terbang Tentena (Later). Sejak bulan Januari 2001 warga jemaat yang


(6)

kurang lebih dari 140 kepala keluarga berangsur-angsur pindah ke lokasi tersebut sementara sebagian warga jemaat masih menumpang di rumah keluarga atau kenalan dekat sedangkan warga jemaat lain meminjam lahan penduduk setempat kemudian membangun di sekitar lokasi ataupun mencari rumah kontrakan yang relatif murah.

Pada tahun 2003, memasuki tahun ketiga bermukim di lahan pinjaman dan menjelang berakhirnya masa peminjaman pada tanggal 1 januari 2004, warga jemaat mengambil alternatif untuk mencari lokasi baru yang dapat menjadi hak milik masing-masing keluarga akan tetapi karena belum menemukan lokasi baru tersebut warga jemaat masih berdomisi di Later sampai tahun 2008 dan mempersiapkan lahan di Kajuawu. Di antara tahun 2008-2009 sebagaian warga jemaat pindah dan berdomisi di Kajuawu sementara sebagian warga jemaat sudah menetap dan berdomisi di Later sampai sekarang.8

Warga jemaat Kayamanya adalah salah satu jemaat yang keseluruhan anggotanya tidak lagi kembali ke kampung halaman di Kayamanya. Hal ini di sebabkan masih adanya ketakutan untuk kembali karena desa Kayamanya yang telah dihuni oleh mayoritas masyarakat Muslim sehingga hampil seluruh aset dari warga jemaat yang berada di kampung telah di jual.9

B. Penyebab Konflik

Salah satu dampak yang sangat krusial pasca terjadinya reformasi mei 1998 di Indonesia adalah bertiup kencangnya topan kebebasan. Kebebasan ini tidak sekedar merupakan tetesan dari rasa yang terpendam selama 32 tahun masa kekuasaan pemerintah Orde baru, tetapi juga merupakan akumulasi dari ketidakpuasan terhadap era sebelumnya.

8 Wawancara FGD pada tanggal 19 Januari 2014.


(7)

Yang lebih parah lagi adalah kran kebebasan cenderung kearah terjadinya diintegrasi bangsa yang sudah puluhan tahun dianyam dan direkatkan dalam bingkai Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).10

Cobaan terhadap keutuhan NKRI tersebut bagaikan bola salju pada sisi awalnya – enam bulan setelahnya – reformasi, tepatnya 24 Desember 1998, yakni dengan pecahnya konflik Poso yang kemudian disebut dengan tahapan jilid 1 yang kemudian disusul dengan konflik jilid II dan jilid III. Konflik Poso merupakan ‘musibah’ demokrasi berlatar belakang konflik struktural yang menyeret anak bangsa berbeda agama di eksploitasi untuk kepentingan kekuasaan. Konflik ini berawal dari pertarungan elit lokal yang menjual isu-isu demokrasi dan sentiment agama, sehingga masyarakat Poso yang dahulunya hidup rukun, dan berdampingan bahkan di antara mereka bertalian darah/bersaudara, terpaksa dipisahkan atas nama perebutan kekuasaan. Untuk kepentingan lain mereka terpaksa saling bunuh dan membantai satu sama lain. Hubungan-hubungan sosial antar masyarakat yang dahulunya ramah berubah menjadi beringas dan ganas. Nilai-nilai hidup komunal yang menekankan toleransi dan kerjasama tertelan oleh sentimen-sentimen primordialisme. Kecenderungan ini telah memberi andil dalam hancurnya struktur sosial masyarakat Poso. Masyarakat Poso yang dibesarkan dalam kultur persahabatan, perdamaian dan cinta kasih berubah seketika menjadi masyarakat yang sarat dengan benih kebencian, permusuhan, dan balas dendam. Modal sosial dan kearifan lokal yang disemboyangkan dengan ungkapan sintuwu maroso yang artinya hidup untuk saling menghidupkan dalam satu kebersamaan tercabik dan robek.11Sintuwu

10 Hasrullah, Dendam Konflik Poso: Konflik Poso dari Perspektif Komunikasi Politik (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2009).

11 Ade Alawi dkk, Kabar Dari Poso: Menggagas Jurnalisme Damai (Jakarta: LSPP, Kedubes


(8)

maroso yang mempersatukan masyarakat Poso yang memiliki keberagaman suku dan agama berubah menjadi fanatisme kelompok.12

Konflik Poso pada awalnya sangat berkaitan dengan kompetisi elite lokal. Saat konflik Poso meletus pada pertama kalinya akhir Desember 1998 bertepatan dengan situasi politik sudah mulai memanas terhadap permasalahan pemilihan bupati Poso dan pejabat-pejabat lain, dimana setelah reformasi dalam demokrasi terbuka menjadi “the winner takes all”. Sehingga para elite lokal bersaing untuk mendapat jabatan dalam pemerintahan yang dapat mewakili komunitasnya atau agama tertentu baik itu Kristen maupun Islam, pihak yang kalah tidak menerimanya, sehingga menimbulkan kekecewaan karena tidak mendapatkan ‘kue kekuasaan’. Lebih spesifik lagi, ada kelompok elit agama tertentu karena tidak puas terhadap power sharing dalam perebutan jabatan dan kekuasan di Poso lalu mengaitkan kekalahan tersebut dengan masalah agama. Dari keyataan ini jelas sekali bahwa yang berkonflik di Poso bukanlah rakyat biasa melainkan elit politik lokal atau struktural yang bermain dan memperebutkan kekuasaan. Jadi konflik Poso awalnya bukan konflik kriminal yaitu perkelahian antara dua pemuda yang berlainan agama di akhir Desember 1998, melainkan konflik elite. Konflik kriminal hanya sebagai pemicu untuk mengawali konflik politik yang telah diskenariokan.

Selain konflik politik, faktor ekonomi juga turut andil memperbesar konflik. Kemajuan pembangunan infrastruktur di Sulawesi tengah, disisi lain dapat meningkatkan sektor perekonomian, tetapi juga membuat kondisi perbandingan Kristen–Islam tambah bergeser. Hal ini disebabkan dengan masuknya transmigrasi dari berbagai wilayah Indonesia ke Sulawesi tengah. Sebagaimana misalnya para pribumi menjual tanahnya kepada pendatang. Setelah tanah itu dijual, tanah digarap menjadi perkebunan coklat dan hasilnya memberi manfaat besar kepada pendatang. Keberhasilan pendatang ini,


(9)

mengundang kecemburuan dan hal tersebut merupakan benih-benih konflik laten, sehingga pribumi menganggap dirinya tergusur dari negerinya sendiri. Sementara itu transmigrasi membawa keragaman budaya di Sulawesi tengah.

Streotipe pribumi dan pendatang memiliki nilai eksplisit di masyarakat. Jika dilihat dari faktor budaya di Poso antara Islam-Kristen tidak ada permasalahan tetapi perlu diperhatikan bagaimana Kristen pendatang dan Islam pendatang dapat menyesuaikan diri dengan dengan budaya yang telah ada sebelumnya. Dari hal ini dapat ditangkap bahwa Islam-Kristen yang asli atau sebagai pribumi, sebenarnya mereka hidup berdampingan dan saling menghargai. Lain halnya dengan pendatang, baik pihak Islam-Kristen mereka selalu mengusung budaya masing-masing saat berinteraksi dengan penduduk pribumi akibat lain dari dinamika migrasi yang di alami daerah Poso selain berpengaruh terhadap budaya juga terhadap agama dan etnik hal ini menunjuk bahwa ada pembagian tata ruang yang tidak terintegrasi dengan penduduk setempat, sehingga pendatang diaggap eklusif dan terkotak-kotak berdasarkan etnik dan agama. Misalnya ada daerah yang hanya mayoritasnya beragama Muslim dan hanya berasal dari satu etnik. Sebaliknya daerah lain adalah penduduk pribumi dan beragama Kristen terkotak-kotaknya wilayah berdasarkan suku dan agama menyebabkan potensi konflik muncul karena tidak terjadi akulturasi antara pribumi dengan pendatang.

Faktor lain yang membuat pecahnya konflik Poso adalah dipicu oleh pemberitaan media massa yang membesar-besarkan hal-hal sensitif, berupa pertentangan antar agama. Pemberitaan media media massa yang tidak sesuai fakta di lapangan menyebabkan kedua kelompok dominan di Poso tidak bisa mengelak dari konflik horizontal dan juga selama berlangsung konflik penyesatan dan desepsi informasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu baik dari Islam dan Kristen.


(10)

Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan konflik Poso bukan karena agama melainkan agama dijadikan kendaraan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Akan tetapi tidak dapat disangkali pula jika opini lain yang berkembang bahwa, konflik Poso adalah pada dasarnya konflik agama. Hal tersebut dapat dibenarkan karena simbol-simbol keagamaan menjadi “labeling” konflik. Seperti simbol kelompok putih, yang berarti kelompok Islam; kelompok merah adalah kelompok Kristen. Genderang perang makin nyata setelah bahasa sakral dikumandangkan dalam pertempuran. Salah satu bahasa yang sakral dalam penyerangan atau pun konflik adalah penyebutan nama Tuhan berupa: mengunakan simbol agama dalam konflik, yaitu: Haleluya dan Allahu Akbar yang sasarannya jelas yaitu membunuh dan rumah ibadah.

Berdasarkan realitas diatas jelaslah bahwa penyebab konflik Poso berangkat dari konflik struktural yaitu tidak lain mengenai perebutan kekuasaan yang dapat menghasilkan suatu bentuk power sharing di antara elit lokal dan berkembang menjadi konflik yang bernuansa kriminal, walaupun dianggap sebagai pemicu belaka dalam konflik-konflik berikutnya kemudian mampu membagun konflik baru yang bernuansa agama yaitu konflik antara Islam versus Kristen. Konflik inilah yang lebih menonjol ke permukaan. 13

C. Penyelesaian Konflik Poso14

a. Rujuk Sintuwu Maroso, 22 Agustus 2000

Berdasarkan catatan PRKP-Poso (2000), kegiatan ini diprakarsai oleh pemerintah Kabupaten Poso, dengan mengundang tokoh-tokoh adat 14 kecamatan yang mewakili

13 Hasrullah, Dendam Konflik Poso…, 78-176. 14

Penyelesaian konflik Poso yang dijabarkan disini hanyalah penanganan dari pemerintah Kabupaten Poso dan Pemerintah Pusat. Penyelesaian konflik Poso dari pihak-pihak lain diluar pemerintah tidak dijabarkan.


(11)

suku asli. Dalam kegiatan yang dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid itu, tokoh yang ikut membubuhkan tanda tangan kesepakatan yaitu, A. Tobondo (Majelis Adat Kabupaten Poso), Pdt. YH. Tancu (Kecamatan Pamona Utara), Y. Pandoli (Kecamatan Pamona Selatan), Usri Abd. Rauf (Kecamatan Ampana Kota), Djamun (Kecamatan Ampana Tete), T. Kareba (Kecamatan Lore Utara), T. Tolia (kecamatan Lore Selatan), B. Panate (kecamatan Poso Pesisir), Sugiono (Kecamatan Poso Kota), Sangkoli Timpu (Kecamatan Ulu Bongka), LL Latoale (Kecamatan Walea Kepulauan), Sofyan Abdullah (Kecamatan Unauna), dan DA Lempadeli Bsc (Kecamatan Lage). Turut hadir dalam perhelatan adat itu, adalah Widodo AS, Kapolri Rusdihardjo, Menteri Dalam Negeri Suryadi Sudirdja, dan Menteri Agama Tolchah Hasan.

Dihadapan Presiden Abdurrahman Wahid, tokoh adat A. Tobondo membacakan lima butir Rujuk Sintuwu Maroso. Pertama, mendukung Rujuk Sintuwu Maroso, yang dilaksanakan di Kabupaten Poso. Kedua, seluruh masyarakat Kabupaten Poso, ikut bertanggung jawab untuk menciptakan keadaan atas dasar perdamaian, kekeluargaan, demi kepentingan bangsa dan negara. Ketiga, tetap menjadikan sintuwu maroso sebagai ikatan moral, kesatuan dan persatuan serta kekeluargaan dari seluruh rakyat Poso dan bahwa kesepakatan ini adalah awal dari upaya menuju Rujuk Sintuwu Maroso yang dikaitkan dengan adat istiadat. Keempat, mendukung upaya penegakan supremasi hukum dalam menyelesaiakan kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso dan terhadap oknum-oknum yang terbukti melakukan tindak pidana tetap ditindak secara hukum demi tegaknya kebenaran, keadilan, dan ketertiban dalam masyarakat. Kelima, apabila kesepakatan tersebut telah ditandatangani terjadi keıusuhan oleh elompok manapun, maka kelompok tersebut akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.15


(12)

Dalam perspektif budaya Poso, perhelatan Rujukan Sintuwu Maroso sebenarnya telah menerapkan salah satu bentuk perdamaian secara simbolis, yang dikenal dengan istilah Motambu Tana.16 Kegiatan ini dilakukan dengan cara memotong seekor kerbau, setelah itu kepala kerbau ditanàm. Prosesi perdamaian secara adat ini dimaksudkan untuk mengubur masa lalu, dengan catatan setelah kepala kerbau ditanam di dalam tanah, semua pihak yang terlibat konflik sebelumnya tak bisa lagi diungkit-ungkit.17

b. Deklarasi Malino, 20 Desember 2001

Berbeda dengan upaya perdamaian yang dilakukan pemeıintah daerah, Deklarasi Malino mengunakan pendekatan agama. Upaya damai dalam Deklarasi Malino yang melíbatkan 48 orang itu diinisiasi oleh pemerintah pusat. Pada saat itu ada angapan bahwa perundingan harus dilakukan karena konflik Poso yang berawal pada tahun 1998 mengakibatkan semua pihak yang beragama Islam maupun yang beragama Kristen masing-masing merasa tertindas dan merasa kalah. Deklarasi Malino dihadiri 25 orang Islam dan 23 orang Kristen. Secara keseluruhan pertemuan berlangsung selama empat kali, yakni pertama, 5 Desember 2001 di Poso dan Tentena. Kedua, 14 Desember 2001 di Makasar. Ketiga, 19 Desember 2001 di Malino. Dan keempat, 20 Desember 2001 di Malino. Dalam Deklarasi Malino terdapat prestasi yang dapat dikatakan menjadi indikator rekonsiliasi yang baik, salah satunya adalah penyerahan senjata rakitan dari masyarakat secara sukarela. Inisiatif yang muncul dari masyarakat itu terjadi di beberapa desa antara lain, Lawanga dan Pandiri pada tanggal 1 Januari 2002.18

16 Istilah Motambu tana ini dilakukan ketika ada sebuah peristiwa yang memalukan atau

bencanayang melanda, sebuah Wilayah, maka digelarlah motambu tana. Jadi itu merupakan sumpah bagi masyarakat.

17 Ibid., 236-237. 18 Ibid., 239-242.


(13)

c. Aliansi Kemanusiaan, Maret 2005

Nama Aliansi Kemanusiaan mulai terdengar pada pertengahan tahun 2005. Saat itu, Badan Intelejen Nasional (BIN) menggagas pertemuan dua tokoh kharismatik yang ada di Poso, yakni, H. Adnan Arshal, dan Pdt. Rinaldy Damanik. Bagi masyarakat Kabupaten Poso, nama kedua tokoh ini tidak asing lagi. Dalam perkembangannya kemudian, berdasarkan catatan PRKP-Poso (2000), kedua tokoh ini memperlihatkan kemajuan yang cukup berarti. Ini bisa dilihat dan semakin intensnya pertemuan yang digelar dengan melibatkan konstituen masing-masing. Dalam sebuah pertemuan, baik Adnan Arshal maupun Pdt. Rinaldy Damanik mengakui, sering melakukan komunikasi dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mendorong proses perdamaian adalah dengan membentuk sebuah lembaga yang diberi nama dengan Aliansi Kemanusiaan. Para pengurusnya terdiri dari beberapa orang presidium, yang diambil dari kedua komunitas. Aliansi kemanusiaan memperjuangkan terbentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam sebuah pertemuan di kantor PRKP, pengurus secara tegas menyatakan pentingnya dibentuk TGPF untuk mengungkap kebenaran di Poso.19

D. Dampak Konflik Sampai Sekarang

Konflik Poso mulai mereda pada tahun 2003 menyusul dilakukannya perjanjian Malino untuk Poso pada tanggal 20 Desember 2001 di Malino Sulawesi Selatan yang merupakan wujud keinginan kelompok yang bertikai antara kelompok Islam dan Kristen untuk mengakhiri koflik. Dalam perjanjian Malino tersebut melahirkan “Deklarasi Malino untuk Poso” mengikat agar kelompok yang bertikai dapat mengakhiri segala konflik dan perselisihan. Semenjak kesepakatan perdamaian disepakati, realitas di lapangan masih tetap ada gejolak dalam masyarakat. Dari beberapa peristiwa mulai dari


(14)

penembakan mesterius, pengeboman, penculikan pasca Deklarasi Malino tetap berlangsung walaupun konflik horizontal terjadi dalam skala yang kecil. Hanya saja, realitas konflik yang muncul dipermukaan cenderung beraroma konflik Agama. Hal ini terlihat pada tempat dan korban dari pengeboman, penembakan, dan penculikan, korbannya adalah berasal dari kelompok agama tertentu. Kemudian dari segi konteks waktu peristiwa konflik itu terjadi biasanya mengambil momen waktu keagamaan. Misalnya, bulan suci Ramadan, hari Natal, dan Tahun Baru.

Konflik Poso telah menyajikan sebuah realitas kehidupan antar antar manusia yang diperhadapkan pada kerusakan fisik, mental dan sehingga pengaruh konflik sampai saat ini masih sangat terasa karena yang ada di sana masih ada sakit hati, benci, trauma dan sebagainya oleh para korban baik secara langsung maupun tidak langsung dari konflik sehingga keadaan ini berdampak pada hubungan interaksi sosial antar kedua belah pihak yang masih diliputi oleh sikap kewaspadaan, kecurigaan dan ketakutan. Bahkan Pdt. Damanik mengatakan sampai saat ini beliau masih menerima telepon dari masyarakat yang berada di Poso ketika terjadi penembakan atau pembunuhan di Poso yang menanyakan apakah mereka harus keluar dari Poso atau tetap tinggal dan juga terkadang ketika mendengar berita mengenai penangkapan teroris di tempat lain seperti Jawa tetapi disebut berhubungan dengan teroris Poso muncul pikiran negatif dan terkadang ada pengungsi yang sudah balik ke kampung halamannya balik ulang ke Tentena.20

Dampak lain dari pasca konflik Poso adalah semakin meningkatnya sekelompok masyarakat yang mengunakan atribut keagamaan yang berbeda sebelum konflik dan nampaknya kelompok ini kurang ramah dan kurang bersahabat dengan komunitas yang berbeda keyakinan bahkan ada kelompok-kelompok tertentu yang mengembangkan


(15)

prinsip keagamaan lebih fanatik atau menurut Pdt. Damanik di Poso seakan muncul “sekte baru” pasca konflik ini.21

Kenyataan lain yang menjadi masalah pasca konflik ini adalah makin teritegrasinya tata ruang daerah dimana semakin banyaknya daerah yang hanya didominasi oleh agama tertentu. terkotak-kotaknya daerah Muslim dan Kristen ini menghambat proses interaksi dalam membangun kembali kebersamaan dalam tanah Poso.

Konflik Poso secara terbuka dan horizontal telah berakhir dan jika di lihat secara umum keamanan dan perdamaian telah tercipta. Tetapi jika melihat kenyataan dilapangan keamanan dan perdamaian belum benar-benar tercipta. Hal itu dapat dilihat dari sebagian pengungsi konflik Poso yang sampai saat ini belum bisa kembali kedaerah asalnya juga dengan masih ada terjadi penembakan-penembakan walaupun pelakunya hanya sebagaian kelompok kecil saja.22 Pola konflik yang dulu bersifat terbuka dan horisontal berubah menjadi konflik tersebut tertutup keadaan ini juga yang mengikis kepercayaan masyarakat kepada peran pemerintah dan aparat keamanan dalam menjaga keamanan dan perdamaian di Poso.23

Berdasarkan kenyataan diatas sekarang ini konflik boleh dikatakan telah mereda, setidaknya dalam tingkat permukaan, dan kini memasuki masa pasca konflik. Walaupun konflik yang terjadi Poso sudah berlalu sekitar 14 tahun dan situasi menjadi relatif aman, masyarakat mengahadapi masalah-masalah baru dalam kehidupan pribadi dan sosial.

E. Pemahaman Mengenai Sintuwu Maroso

Semboyang sintuwu maroso sudah sangat akrab dalam masyarakat di Kabupaten Poso Makna sintuwu maroso tidak saja bagi masyarakat yang luas dan bagi penyelanggaraan pemerintahan dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan

21

Wawancara dengan Pdt.Damanik, pada tanggal 27 Januari 2014.

22 Wawancara dengan Pdt. Ompi, pada tanggal 24 Januari 2014. 23 Wawancara FGD, pada tanggal 19 Januari 2014.


(16)

kesejahteraan bersama tetapi juga bagi kehidupan setiap keluarga dalam masyarakat. Budaya Sintuwu maroso merupakan budaya lokal masyarakat Poso yang mengandung nilai-nilai yang sangat di yakini bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Sebagai suatu sistem nilai budaya, sintuwu maroso berfungsi sebagai pedoman atau pandangan hidup (falsafah hidup) baik dalam bentuk sikap mental maupun dalam cara berpikir dan bertingkah laku, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat juga termaksud bagi para pemimpin atau tokoh-tokoh dalam masyarakat.

Sintuwu maroso dikenal sebagai filosofi orang Poso. Cikal bakal sintuwu maroso berasal dari mesale yang dilakukan oleh Tau piamo (orang tua dulu/nenek monyang). Di sana merasa sebeban, sepenanggungan, seperasaan, sependeritaan. Mesale dilakukan di kebun, sawah, bangun rumah, membuat pagar kampung secara sama-sama berkerja, tidak menuntut balas dan itu rutin dilakukan. Kata mesale kemudian berkembang sehingga munculah sintuwu maroso.24

Sintuwu maroso berasal dari dua kata yaitu sintuwu, dan maroso. Dengan asal kata tuwu yang berarti hidup. Kata ini bisa dilihat sebagai sebuah kata sifat dan sekaligus juga intransitif. Dalam komposisi bahasa Pamona, Pemberian imbuhan sin terhadap sebuah kata kerja merupakan kasus khusus bagi beberapa kata kerja. Dengan mendapat imbuhan sin maka kata kerja itu menunjuk pada perilaku timbal balik dari dua subjek yang berhadap-hadapan. Sehingga kata sintuwu berarti saling menghidupkan.25 Dengan demikian sintuwu mengandung makna kesedian untuk berbagi kehidupan dengan orang lain dengan orang lain demi kehidupan itu sendiri. Hal ini didasarkan pada pola kehidupan kolektif yang menyebabkan semua orang harus berjalan bersama, menanggung beban bersama, menghadapi ancaman dan tantangan bersama, dan bahkan memiliki

24 Wawancara dengan Pdt. L. Meringgi, pada tanggal 22 Januari 2014. 25 Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial…, 221.


(17)

perasaan yang sama. Inilah dasar solidaritas sosial orang Poso dalam kehidupan mereka sebagai sebuah masyarakat dan yang sekaligus membentuk identitas kolektif mereka.26 Maroso yang berarti kuat. Jadi sintuwu maroso secara etimologis berarti hidup yang kuat atau dengan hidup secara bersama kita menjadi kuat. Dengan dua komponen besar dari kata sintuwu yaitu sintuwu mate dan sintuwu raya pande.27 Persatuan yang kuat disini bukan berarti membentuk satu kelompok-kelompok tertentu untuk memperkuat diri akan tetapi membaur bersama dalam masyarakat dalam berbagai perbedaan.28

Sintuwu maroso mempunyai nilai utama dan nilai pilihan. Nilai utama yaitu mengenai kesabaran, kejujuran, saling menghidupi dan membangun. Nilai pilihan seperti jangan membuat malu, kepatuhan, dan keteguhan hati. Jadi kedua nilai ini yang membentuk perangai kehidupan orang Poso.29 Sintuwu maroso mengandung unsur-unsur spontanitas, pamrih dan kewajiban sosial yang bertujuan untuk menciptakan suatu ketahanan sosial dalam masyarakat Poso. Budaya sintuwu maroso terkait erat dengan adat yang hidup dalam masyarakat Adat Pamona akan tetapi semboyang atau motto sintuwu maroso selama ini hanya sebatas semboyang belaka.

Dalam hasil diskusi/musyawarah adat Pamona Poso dan diskusi adat se-Kabupaten Poso pada tahun 2011, lembaga adat Pamona se-Kabupaten Poso merumuskan nilai-nilai budaya sintuwu maroso dan nilai-nilai operasional sintuwu maroso. Hal itu dilakukan karena didorong oleh kesadaran bahwa nilai-nilai dari sintuwu maroso sudah

26 Ibid., 222. 27

Wawancara dengan P.J Marola, pada tanggal 21 Januari 2014.

28 Wawancara dengan D.Tampudu, pada tanggal 18 Januari 2014. 29 Wawancara Pdt.L. Meringgi, pada tanggal 22 Januari 2014.


(18)

banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat dan tidak lagi dianggap sebagai suatu yang harus dipertahankan bahkan dilestarikan.30

F. Kedudukan Budaya Sintuwu Maroso

Budaya sintuwu maroso adalah budaya lokal atau kearifan lokal tanah Poso sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia tanah Poso. Sebagai kearifan lokal, sintuwu maroso memiliki nilai-nilai yang mengandung makna: Makna filosofis/Way of Life, Makna Moralitas (hubungan antara sesama/interaksi), dan Makna keberlangsungan hidup (terwujudnya kerharmonisan, persatuan, dan kesatuan dalam kehidupan masyarakat)

Sebagai pandangan hidup, sintuwu maroso syarat dengan nilai-nilai dasar yang berasal dari kandungan budaya pamona Poso yang selanjutnya dapat dijabarkan dalam berbagai aspek kehidupan kehidupan orang-orang Poso yang mendiami wilayah Kabupaten Poso sekarang ini. Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah sintuwu maroso ini sekaligus dapat dijadikan sebagai penuntut moral dan etika seluruh masyarakat Kabupaten Poso baik individu maupun kelompok masyarakat. Dengan sintuwu maroso masyarakat Poso memiliki cita kebersamaaan untuk keberlangsungan hidup yang harmonis, bersatu dan menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika menuju kehidupan sejahtera, adil, dan makmur.

Secara formal sintuwu maroso telah dijadikan Motto Kabupaten Poso yakni tercantum pada lambang daerah Kabupaten Poso, berdasarkan peraturan daerah tingkat II Poso Nomor 43 Tahun 1969. Atas dasar inilah sering Kabupaten Poso dijuluki pula sebagai Bumi Sintuwu Maroso, ada universitas Sintuwu Maroso, lapangan Sintuwu dan lapangan Maroso bahkan Battalion 714 Sintuwu Maroso. Begitu indahnya semboyang

30 Arsip, Rumusan hasil diskusi / musyawarah adat pamona Poso dan diskusi adat se-Kabupaten


(19)

sintuwu maroso namun dalam pelaksanaannya belum dapat diwujudkan secara nyata berhubung nilai-nilai yang terkandung di dalamnya belum dapat dirumuskan secara nyata.

G. Nilai-Nilai Dasar Sintuwu Maroso

Dari kandungan budaya Pamona Poso sebagai warisan dari para leluhur tanah Poso telah mengakar di tengah masyarakat Pamona Poso sejumlah nilai maupun sikap dasar sebagai penuntun moral dan pola etika masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut adalah :

a) Tuwu Metubunaka (hidup saling menghargai dan sopan santun).

Dalam masyarakat Adat Pamona menjunjung tinggi kehidupan untuk saling menghormati dan saling menghargai terutama dalam kehidupan antar individu, kehidupan kekerabatan, kehidupan antar masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintahan berdasarkan tatakrama dan adat istiadat setempat (cara menyapa, tutur kata maupun sikap dan tingkah laku).31

b) Tuwu Mombepatuwu (hidup saling menghidupi).

Dalam hidup baik individu maupun kelompok harus ada saling kepedulian terutama didalam menjalankan kesempatan untuk hidup baik dalam membuka lapangan kerja, membantu yang berkekurangan dan sebagainya. Tidak berlebihan nilai dasar yang satu ini mengandung makna kewajiban antar sesama untuk saling memberdayakan.32

c) Tuwu siwagi (hidup saling menopang).

31

Arsip, Rumusan hasil diskusi / musyawarah adat Pamona Poso dan diskusi adat se-Kabupaten Poso....


(20)

Suatu kehidupan yang dibangun berdasarkan prinsip satu kesatuan/persaudaraan antar sesama yang utuh dan kokoh. Nilai ini akan menjauhkan kita dari sikap iri, suka menjatuhkan, pendendam, dan mau menang sendiri.33

d) Tuwu Simpande Raya.(hidup sejiwa)

Masyarakat Adat Pamona memiliki dan menganut prinsip saling menerima dan saling mengakui perbedaan dalam keadekaragaman etnis, budaya dan keyakinan sebagai komunitas masyarakat Kabupaten Poso. Disini berlaku dimana bumi berpijak disitu langit dijunjung.34

e) Tuwu Sintuwu Raya. (hidup sehati)

Masyarakat adat pamona sangat menjunjung tinggi adanya persatuan dan kesatuan baik inter maupun antar komunitas yang ada, terlebih disaat munculnnya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mau memecah persatuan dan kesatuan, masyarakat Poso harus bangkit tampil dalam satu tekad dan satu semangat dalam menegakan persatuan dan kesatuan masyarakat Sintuwu Maroso pada khususnya dan pada bangsa umumnya.35

f) Tuwu Mombepomawo. (hidup saling mencintai)

Masyarakat Pamona sangat menjunjung tinggi hidup saling mombepomawo (saling mencintai) baik dalam lingkup kekerabatan (potina) maupun dalam lingkup kenalan, handai tolan (poja’i). rasa rindu bertemu satu sama lain selalu hidup dalam sanubari masing-masing.36

g) Tuwu Malinuwu (hidup subur kekal abadi).

33 Ibid. 34

Ibid.

35 Ibid. 36 Ibid.


(21)

Masyarakat adat Pamona tetap menumbuh kembangkan suasana kehidupan yang dibangun berdasarkan prinsip bersatu padu, saling menopang dan saling menghidupi satu dengan lainnya demi keberlangsungan hidup secara utuh.37

H. Nilai – Nilai Operasional Sintuwu Maroso dapat di jabarkan sebagai berikut:

a) Sintuwu ri poperenta ri Posongka (hidup bersatu dalam menjalankan roda pemerintahan)

- Pemerintah Kabupaten dan semua unsur pemerintah yang ada dan semua jajarannya sampai Kecamatan dan Desa/Kelurahan harus mengingat adanya koordinasi, sinkronisasi, keterbukaan dan akuntabilitas mulai dari perencanaan dan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pembinaan masyarakat.

- Adanya partisipasi aktif dan kreatif dari seluruh masyarakat dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan.

- Membudayakan adanya control dan kritis yang membangun dari masyarakat kepada pemerintahan melalui cara-cara yang etis dan beradab.38

b) Sintuwu ri potetala pai ri pojamaa (hidup bersatu dalam pekerjaan)

- Meningkatkan disiplin dan kinerja semua tingkatan aparatur Pemerintah Daerah sampai Desa/Kelurahan.

- Pelaksanaan proyek-proyek pembangunan harus dapat membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal.

37 Ibid. 38 Ibid.


(22)

- Menghidupkan kembali kerja gotong royong untuk kepentingan umum di masyarakat

- Menghidupkan kembali kerja “mesale” dalam mengerjakan kebut, sawah atau bangunan rumah.39

c) Sintuwu ri posusa (hidup bersatu dalam suka)

- Memupuk terus adanya kerelaan mosintuwu (menghadiri secara langsung dan member tenaga) maupun pemberian sukarela posintuwu (sumbangan secara material) pada setiap undangan pesta yang dilaksanakan oleh sesama warga masyarakat .

- Masyarakat berpatisipasi aktif pada pesta rakyat yang diadakan pemerintahan seperti festifal atau pesta rakyat yang di adakan pemerintah seperti festival atau pesta rakyat padungku dan sebagainya. 40

d) Sintuwu ri kasusa (hidup bersatu dalam duka)

- Memupuk terus adanya kerelaan mosintuwu (menghadiri secara langsung dan member tenaga) maupun pemberian sukarela posintuwu (sumbangan secara material) pada setiap peristiwa duka di lingkungan masing-masing.

- Menumbuhkan terus rasa simpati dan empati terutama dalam persekutuan penghiburan duka yang terjadi inter dan antar kelompok masyarakat.41

e) Sintuwu ri posikola (hidup bersatu dalam pendidikan)

- Pemerintah Daerah dan DPRD mau dan siap menyediakan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD sehingga menjadikan pendidikan sebagai human investment.

39

Ibid.

40 Ibid. 41 Ibid.


(23)

- Pemerintah sungguh –sunguh memfalitasi penyelenggaraan pendidikan daerah terutama penyiapan bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat ekonomi lemah

- Para orang tua sungguh – sungguh menyekolahkan anaknya dan siap menanggung beban persekolahan.

- Para pendidik sungguh-sungguh terpanggil dalam tugas pendididikan.

- Para peserta didik tertanam kesungguhan bersekolah.

- Menggalakan partisipasi masyarakat terhadap sekolah antara lain melalui peran komite sekolah, orang tua asuh, dan penyelenggaraan sekolah swasta.42

f) Sintuwu ri katuwu peaya ndaya (hidup bersatu dalam iman)

- Menciptakan sikap saling menghormati dan menghargai inter/antar sesama umat beragama.

- Menghargai dan menghormati keyakinan antar agama.

- Adanya keterpanggilan bersama membangun rumah-rumah ibadah dalam suasana kemajemukan.43

g) Sintuwu ri kadonde (hidup bersatu dalam suka cita)

- Mengadakan dana sehat masyarakat ataupun asuransi kesehatan masyarakat.

- Mengalakan pengumpulan dana dalam membantu warga masyarakat yang tidak mampu berobat.44

42

Ibid.

43 Ibid. 44 Ibid.


(24)

h) Sintuwu ri tila kasamba’a- mba’a (hidup bersatu dalam kerukunan)

- Membangun simbol-simbol kebersamaan masyarakat seperti: rumah adat, banua mpogombo, monument-monument khas daerah Poso.

- Membentuk serta penguatan dan pemberdayaan wadah-wadah kebersamaan di Kabupaten Poso seperti Lembaga Adat, Forum Kerja Sama, dan sebagainya.45

i) Sintuwu ri pogombo (hidup bersatu dalam musyawarah)

- Memanfaatkan forum rapat untuk tempat memusyawarakan segala yang berkaitan dengan kepentingan umum masyarakat sesuai tingkatannya (Kabupaten, Kecamatan, Desa/Kelurahan).

- Menaati dan ikut berpatisipasi dalam pelaksannan hasil rapat untuk kepentingan bersama.

- Membangun, memelihara dan memanfaatkan banua Mpogombo (Baruga) untuk tempat mogombo (bermusyawarah).46

j) Sintuwu ri kauono (hidup bersatu dalam keamanan)

- Terus menjaga dan memelihara situasi kehidupan masyarakat yang sudah aman dan kondusif di tanah Poso.

- Menciptakan ketertiban, kebersihan dan keamanan di lingkungan masing-masing.

- Mencegah dan memberantas pemakaian hal-hal yang terlarang seperti narkoba, minuman keras, alkohol kadar tinggi dan lain-lain.47

45 Ibid. 46 Ibid.


(25)

Keberadaann nilai–nilai sintuwu maroso yang terdapat dalam budaya Pamona sangat besar manfatnya bagi kehidupan masyarakat Pamona khususnya dan masyarakat Kabupaten Poso pada umunnya. Nilai–nilai tersebut merupakan pedoman dalam menuntun tingkah laku baik individu, kelompok maupun masyarakat luas. Disamping itu nilai-nilai sintuwu maroso tersebut dapat dimanfaatkan sebagai modal sosial (sosial capital) seperti gotong royong, solidaritas sosial, kebersamaan yang harmonis, etika, kepatuhan dan pola panutan dalam masyarakat Kabupaten Poso.

Pengalaman dan pelestarian nilai-nilai sintuwu maroso sangat tergantung dari komitmen dan kesungguhan masyarakat pemilik adat Pamona dan masyarakat Poso pada umumnya untuk memelihara, mengembangkan, dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

I. Revitalisasi Sintuwu Maroso Pasca Konflik

1. Nilai-nilai Sintuwu Maroso bersifat Universal dan Ideal

Dalam kehidupan sosial masyarakat di Poso, sintuwu maroso tidak hanya menjadi semboyang daerah. Akan tetapi budaya sintuwu maroso ini merupakan salah satu ciri masyarakat Poso secara umum terutama dalam hal pandangan individu-individu dalam kelompok terhadap orang lain dan interaksi sosial. Sudah sejak lama sintuwu maroso menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Poso yang sifatnya menyatukan baik itu menyatukan penduduk asli Poso maupun pendatang di Poso.

Lima puluh satu tahun sebelum awal terjadinya konflik antar warga Poso, Raja Talasa Tua yang merupakan sesepuh masyarakat di Poso menegaskan karakter masyarakat Poso yang senantiasa mendambakan kehidupan yang damai. Hal ini tercermin


(26)

dalam Pidato/maklumat tertulis yang disampaikan kepada para pendatang yang berkeinginanan membangun kehidupan di wilayah tanah Poso. Pidato/maklumat tersebut disampaikan pada 11 Mei 1947 di kantor Raja Poso :

Tasi Tomini Baree Kuwaya, ndi kamaimo, to Gorontalo, Manado, Bugis, To Siwa, dll. Paikanya ane Baree ntibunaka Ada mami nDipewalili riRanami, ane nDipapolepe daa ritanamami da kairi mPuasu komi. “ Laut Tomini saya tidak pagari, silahkan datang orang dari Gorontalo, Manado, Bugis, Cina,dll. Dengan ketentuan kalau kalian idak menghormati adat kami, silahkan pulang ke daerah asal masing-masing dan jikakalian menumpahkan darah di tanah kami, maka kami akan mengusir kalian dari tanah kami”.48

Salah satu bentuk penerimaan Raja Talasa terhadap para pendatang adalah pemberian tanah secara cuma-cuma kepada para pendatang. Itulah sebabnya, di Kota Poso dan sekitarnya dikenal dengan beberapa kampung yang kental dengan nuansa daerah, misalnya, kampung Arab, kampung Gorontalo, kampung Bugis, kampung Minahasa, dan kampung Cina.49

Dalam praktek sehari-hari tidak aneh jika terdengar orang tionghoa berbahasa Pamona ketika berinteraksi dengan orang Pamona demikian juga dengan orang Bugis, Jawa dan Bali. Dari situ dapat dilihat tidak ada masalah dalam pembauran antar etnis. Burhanuddin S. Adu, Ketua Muslim to Poso (sebuah perkumpulan masyarakat Muslim di Poso yang merasa bahwa mereka juga orang Poso karena lahir dan besar di Poso) berpendapat:

“siapa pun yang berdomisili di Poso, dan mau membangun Poso, maka mereka bisa disebut orang Poso. Jadi kita tidak mengenal istilah penduduk asli dan pendatang”50

Hal ini menunjukan bahwa masyarakat yang ada di daerah Poso memang mengutamakan sebuah kebersamaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan.

48 R. Damanik., Tragedi Kemanusiaan Poso: Menggapai Surya Pagi Melalui Kegelapan Malam

(Jakarta Palu: PBHI/LPSHAM Sulteng, 2003), 38-42.

49 Alpha Amirrachman, Revitalisasi Kearifan Lokal..., 248. 50 Ibid., 249.


(27)

Sintuwu maroso merupakan suatu bentuk kesadaran sosial kolektif yang melembaga dimana setiap orang terikat secara moral untuk terlibat di dalamnya. Sehingga fungsi budaya sintuwu maroso pada dasarnya adalah memelihara keseimbangan, kesamaan dan keutuhan kohesi sosial. Rasa tanggung jawab moral yang terkandung dalam sintuwu maroso sangatlah eklusif. Dimana kesedian individu untuk mosintuwu (sebagai suatu wujud nyata budaya sintuwu maroso) atau berbagi kehidupan dengan orang lain dalam kehidupan sosial tidak terbentur pada batasan-batasan tertentu (sasial, suku dan agama).

Pada umumnya masyarakat Poso baik penduduk asli maupun pendatang sudah mengetahui sintuwu maroso sebagai kearifan lokal masyarakat asli Poso. Pengetahuan masyarakat didukung juga dengan adanya pemberlakuan logo dan motto sintuwu maroso yang digunakan pemerintahan Poso sebagai lambang pemerintahan Kabupaten Poso. Penerimaan masyarakat pendatang terhadap kearifan lokal sintuwu maroso juga sangat baik. Misalnya: kesediaan masyarakat pendatang dalam mengikuti sebuah aktifitas atau tindakan yang disebut dengan kata mosintuwu. Istilah mosintuwu mengandung pengertian: ikut serta dalam suatu usaha atau turut serta dalam kesusahan orang lain dengan jalan memberi sesuatu, baik tenaga maupun materi, untuk kepentingan orang yang memerlukannya. Dasar mosintuwu adalah kebersaamaan. Mosintuwu yang dikenal ialah mosintuwu tuwu dan mosintuwu mate. Mosintuwu tuwu biasanya dilaksanakan pada waktu pesta kawin atau mengerjakan sawah-ladang dan lain-lain. Mosintuwu mate dilaksanakan pada waktu ada kedukaan.51 Pemberian atau sumbangan barang yang di berikan disebut dengan kata posintuwu. Posintuwu merupakan salah satu bangunan relasi sosial. Posintuwu adalah tindakan memberikan benda secara materiil, kunjungan secara aktif terhadap pihak yang sedang mengalami kedukaan maupun sukacita. Dukungan moril


(28)

dan materil ini tidak hanya diwujudkan dalam bentuk sumbangan tetapi pada keseluruhan penyelenggaraan acara mulai persiapan, penyediaan bahan hingga memasak bersama dan prosesi acara. Posintuwu ini sifatnya tidak bebas atau bersifat mengikat di mana penerima posintuwu membalas memberikan Posintuwu disaat pemberi posintuwu mengalami keadaan atau membutuhkan bantuan karena alasan tertentu. Apabila kewajiban membalas tidak dilaksanakan, maka tidak ada sangsi fisik maupun materi yang harus ditanggung akan tetapi yang ada hanyalah sangsi moral. kebiasaan – kebiasaan ini terus berlaku dalam kehidupan sehari-hari orang yang tinggal di daerah Poso baik itu masyarakat pendatang maupun masyarakat asli walaupun berbeda latar belakang sosial misalnya budaya dan agama.

Secara umum, budaya sintuwu maroso mengandung unsur-unsur yang bersifat sangat universal yaitu,

 Kebersamaan dan keseimbangan sosial, memandang bahwa dalam kehidupan haruslah ada suatu keseimbangan baik antar individu, individu dengan kelompok, dan antar kelompok (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) atau antar manusia dengan alam. Pandangan ini mencakup segala bidang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

 Solidaritas sosial, dalam artian bahwa memandang perlu adanya suatu bentuk kepeduliaan sosial terhadap orang lain dalam suatu ikatan tertentu dalam kehidupan bermasyarakat sebagai wujud nyata dan pendukung untuk terciptanya keseimbangan sosial.


(29)

 Ketergantungan sosial, sebagai individu memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kelompoknya. Oleh karena itu perlu adanya keharmonisan dalam kelompok.52

Melihat sintuwu maroso merupakan suatu falsafah yang universal maka masih sangat relevan dan ideal untuk digunakan sebagai simbol interaksi dalam masyarakat Poso pasca konflik untuk mencapai perdamaian.

Pasca konflik Poso, masyarakat Poso menghadapi masalah-masalah yang baru bukan hanya masih adanya ketegangan sosial akibat konflik di masa lalu, tetapi juga perdamaian yang masih rentan dimana masih adanya beberapa peristiwa penembakan dan pembunuhan yang di lakukan sekelompok orang yang masih mengatasnamakan agama. Ini terjadi karena kerena belum jelasnya visi, orientasi dan arah perdamaian ke depan. Mengikuti John Paul Lederach, membangun perdamaian di daerah yang dilanda konflik komunal dengan segregasi sosial yang tajam, membutuhkan perspektif transformasi konflik dan rekonsiliasi jangka panjang, bukan hanya melakukan respons sesaat atas konflik yang terjadi tetapi juga merumuskan dan membangun strategi perdamaian kedepan untuk mengatasi kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, dan rekonstruksi komunitas yang telah hancur akibat konflik menuju perdamaian berkelanjutan dan berkeadilan.53 Dalam masyarakat Poso menyimpan potensi Perdamaian yang harus dipertahankan dan dikembangkan yaitu akar perdamaian yang sudah tertanam dalam kearifan lokal yaitu sintuwu maroso.

2. Nilai-nilai Sintuwu Maroso perlu disosialisasikan dalam kehidupan

52 Lihat Tony Tampake, Bias Budaya Sintuwu Maroso,Makalah dalam perkuliahan Agama dan

Perubahan Sosial Program Studi Magister Sosiologi Agama UKSW, 2006.

53 Jhon Paul Lederach, Building Peace: sustainable Reconciliation in Divided societies


(30)

a. Berpolitik

Konflik pertikaian berlatar belakang SARA dan menjerumus kearah disintegrasi bangsa banyak sekali terjadi setelah pada tahun 1998 yaitu, ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan ditandai jatuhnya rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Jatuhnya pemerintahan Soeharto ini membuat rakyat Indonesia mengalami euforia kebebasan dalam berpolitik, pola pemerintahan yang lebih demokratis dan perubahan pola pemerintahan dan sentralisasi menjadi desentralisasi kekuasaan (otonom daerah).

Adanya efek euforia yang berlebihan akan kebebasan politik, demokrasi dan otonom daerah tersebut sebenarnya menimbulkan permasalahan baru karena jadi menimbulkan datangnya hasrat persaingan di tingkat elit politik lokal daerah, untuk saling bersaing dan berkonflik mendapatkan jabatan guna mencapai kepentingan politik daerahnya. Disini para elit politik dengan kepentingan politiknya tersebut melakukan dengan cara memobilisasi massa melaui isu sensitif yaitu isu etnis dan agama. Sehingga konflik komunal pun dapat dengan mudah terjadi melalui peran elit politik yang ikut membawa dan melibatkan perseteruan antara etnis dan agama. Hal ini berlaku juga di Kabupaten Poso. Dimana penyebab konflik tersebut mengenai perebutan kekuasaan oleh para elit politik yang ingin mewakili suatu kelompok tertentu dalam kekuasaan di pemerintahan.

Dalam prakteknya para elit politik itu harus memiliki keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM. Modal dasar bagi segenap elit adalah perlu adanya ketulusan untuk mengakui kelemahan, ikhlas membuang egoisme, keserakahan, bersedia menggali kekuatan nilai-nilai budaya yang ada pada kelompok masyarakat, dan bersedia berbagi dengan pihak lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan


(31)

harus mampu menjadi garda depan, bukan sekedar bisa berbicara dalam janji, tapi harus mampu memberikan bukti tindakan nyata dalam bentuk keberpihakan pada kepentingan masyarakat. Harapannya adalah untuk menyatukan gerak langkah antara satu sama lain, masyarakat bersama-sama menggali sumber kehidupan secara arif dan bijak, sehingga ada jalan menuju kehidupan yang lebih baik, damai, adil dan sejahtera.

Upaya yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi makna substantif nilai kearifan lokal sintuwu maroso sebuah nilai kebersamaan dalam membangun masyarakat tanpa melihat latar belakang. Melalui Sintuwu maroso keterbukaan dikembangkan menjadi kejujuran dalam setiap aktualisasi pergaulan, pekerjaan dan pembangunan, beserta nilai-nilai budaya lain yang menyertainya. Budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Ketulusan, memang perlu dijadikan modal dasar. Ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama, kemudian menjadikannya sebagai semangat nasionalisme yang kokoh. Sehingga tercipta sebuah masyarakat yang adil dan beradab.

b. Bermasyarakat

Sebagai mahluk sosial, setiap orang tidak akan pernah hidup dengan sendirinya, tanpa bergantung pada orang lain di sekitarnya. Seseorang akan selalu butuh dengan yang lain, tidak hanya untuk saling bantu dan tolong-menolong, tetapi juga untuk membangun komukasi sosial yang saling mendukung dan berkerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal. Suatu masyarakat akan berada dalam ketertiban, ketentraman, dan


(32)

keyamanan, bila berhasil membangun sebuah keharmonisan dalam kebersamaan sebagai masyarakat.

Suasana seperti diatas sudah sulit ditemukan dalam masyarakat Poso hal ini di sebabkan konflik yang pernah terjadi, dan pasca konflik dimana masih adanya sikap takut, benci dan curiga terhadap pihak yang pernah berkonflik.54 Sikap takut, benci dan curiga inilah yang membuat komunikasi sosial dalam masyarakat Poso masih belum terjadi secara menyeluruh. kerugian sosial saat konflik dan pasca konflik yang dialami sangat besar, karena kerugian ini tidak bisa ditakar dengan uang dan benda. Kerugian sosila ini adalah hancurnya pranata organisasi sosial yang berbasis sintuwu maroso yang dinarasikan oleh masyarakat Poso sebagai pengikat integrasi masyarakat sejak jaman dahulu. Nilai ini diyakini oleh penduduk lokal tidak hanya menjadi kekuatan integrative masyarakat setempat (penduduk lokal) sebagai satu satuan kekerabatan luas tetapi juga penghormatan terhadap orang lain yang tidak sekerabat (pendatang).

Merevitalisasi kembali sintuwu maroso dalam bermasyarakat di Poso merupakan suatu langkah untuk mencapai kembali keharmonisan bersama dalam masyarakat Poso. Sintuwu maroso adalah sebuah persatuan. Dalam hubungan kekerabatan bagi masyarakat Poso, sintuwu maroso hadir untuk mempererat hubungan tersebut yang juga sebagai tonggak moral yang memberikan keseimbangan, keselarasan dan solidaritas bersama. Sintuwu maroso adalah ikrar perdamaian di Poso yang digali dari khasanah kearifan lokal. Sintuwu maroso adalah sebuah pengikat bagi masyarakat Poso untuk dapat hidup dalam semangat persaudaraan dan kerja sama antar masyarakat yang majemuk dengan latar belakang yang berbeda-beda baik agama, maupun budaya.

c. Beragama


(33)

Agama tidak mengajarkan kekerasan kepada umatnya. Agama justru mengabarkan adanya perdamaian dan cinta kasih kepada sesama umat maupun umat lain yang mempunyai keyakinan berbeda. Adanya konflik berbau agama sendiri justru dipertayakan karena telah menjadi distorsi dalam ajaran agama tersebut. Agama hanya menjadi menjadi identitas artifisial dalam suatu konflik untuk memberikan legitimasi moral untuk berbuat kekerasan terhadap pihak lainnya. Selain halnya legitimasi moral dan identitas, menyulutnya kekerasan atas nama agama juga disebabkan oleh kesalahan dalam penafsiran ajaran agama sehingga menimbulkan pemahaman sempit dan sikap chauvinistik. Maka dalam konteks ini, konflik anarkisme agama sejatinya tidak ada. Yang ada justru adalah konflik berupa revalitas sumber ekonomi dan politik maupun persaingan memperebutkan jabatan publik dalam pemerintahan.55

Agama bukanlah faktor utama dalam konflik, namun hanya menjadi faktor konsideran maupun pendukung. Dalam berbagai kasus konflik mengatasnamakan agama seperti konflik Kristen-Islam di Poso, agama justru terpolitisasi menjadi identitas konflik yang sebenarnya hanya menjadi topeng atas rivalitas perebutan sumber ekonomi, politik maupun birokrasi antar masyarakat.

Pada kenyataannya dalam masyarakat Poso yang agamais-pluralistik pernah hidup berdampingan dengan damai dan rukun. Masyarakat Poso hidup secara bersama-sama sebagai komunitas sosial yang saling menerima, menghargai dan membaur satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. dahulu orang Poso hidup rukun, gotong royong, dan penuh toleransi antar pemeluk agama. Dulu saat Natal, orang-orang Islam berkunjung dan mengucapkan selamat Natal kepada saudara, tetangga, dan sahabatnya yang beragama Kristen. Sebaliknya ketika Lebaran, orang Kristen pun mendatangi rumah

55 S. Rizal Pangabean, Pola-pola Konflik Keagamaan Di Indonnesia (1990-2008) (Jakarta: Asia


(34)

orang Islam untuk mengucapkan selamat Idul Fitri.56 Bahkan dalam pembangunan rumah ibadah dilaksanakan secara bersama-sama tanpa melihat latar belakang agama. Juga dalam upacara-upacara adat seperti pesta kawinan dan upacara penguburan orang mati, tetap terjalin kepedulian dan persaudaraan, baik dalam suka dan duka.57 Namun kondisi itu berubah ketika terjadi konflik Poso yang mengatasnamakan agama terjadi. Sikap masyarakat Poso berubah menjadi parsial, sektarian, dan intoleran apabila berhadapan dengan masalah hubungan sosial antarwarga berbeda agama.

Dalam Masyarakat Poso pasca konflik menjadi “terbelah”. Masyarakat berbondong-bondong mencari wilayah yang aman dalam standar keagamaan mereka,terjadi segregasi penduduk hampir total. Orang Muslim mengungsi atau mengelompok di wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim. Sedangkan orang Kristen juga mengelompok di wilayah Kristen. Yang lebih parah, pasca konflik membakitkan fanatisme dalam beragama, memunculkan prasangka dan hilangnya kepercayaan dalam masyarakat antar kelompok, saling diwaspadai dan mewaspadai lalu muncul istilah “orang sablah”58

Dalam kondisi masyarakat Poso yang beragam atau heterogen, kerukunan harus dapat diwujudkan dengan baik agar cita-cita untuk hidup damai, harmonis, saling menerima dan saling menghargai perbedaan sebagai ide multikulturalisme bisa terealisasikan. Pedoman yang dapat diangkat dalam mewujudkan kerukunan tentu tidak bisa hanya berdasarkan ketentuan yang ada dalam satu agama untuk semua golongan agama. Oleh karena itu, untuk membina kerukunan dalam masyarakat yang heterogen, kearifan lokal sangat efektif untuk dijadikan landasan bersama dalam mewujudkan

56 Wawancara dengan Y. Labiro, pada tanggal 17 Januari 2014 57 Wawancara FGD pada tanggal 19 Januari 2014

58

Orang sablah adalah sebuah penyebutan bagi mereka yang beragama lain. Penyebutan di jumpai oleh penulis ketika melakukan penelitian dimana sebagian besar responden menyebut pihak yang beragama Muslim dengan sebutan Orang sablah.


(35)

kerukunan. Kearifan lokal merupakan sarana yang baik untuk membangun dialog dan meningkatkan hubungan antaragama. Untuk membangun kembali kerukunan dan kebersamaan dalam masyarakat Poso yang bersifat lintas agama dan etnis yaitu dengan menerapkan kembali kearifan lokal masyarakat Poso yakni budaya sintuwu maroso.

Penerapan sintuwu maroso dapat membangkitkan kembali semangat kerbersaman dalam masyarakat yang berdasar pada kekeluargaan guna menciptakan persatuan dan perdamaian walaupun dengan latar belakang agama yang berbeda. Sifat universal dari sintuwu maroso dapat meruntuhkan fanatisme keagamaan yang dapat membuat masyarakat terpecah belah. Sehingga masyarakat akan melihat dirinya bukan hanya dari satu golongan agama saja tetapi melihat sebagai suatu kesatuan yakni masyarakat Poso. Tidak ada keengganan untuk bergaul, bersahabat dan berkerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Setiap orang memegang teguh keyakinan agamanya masing-masing tanpa bisa di pengaruhi oleh orang lain yang berbeda keyakinan sehingga sikap toleransi yang tinggi antar umat beragama yaitu sikap untuk bersedia saling menerima satu sama lain dengan penuh kasih dan ketulusan, tanpa adanya rasa curiga atau prasangka buruk terhadap satu sama lain dapat terwujud.

d. Berekonomi

Masyarakat Poso adalah masyarakat majemuk. Kemajemukan itu merupakan fakta yang harus di tanggapi sebagai tantangan besar yang harus di tanggulangi pada masa kini dan masa depan. Dalam konteks sosial budaya, kemajemukan terwujud dalam konteks etnisitas, rasial dan golongan. Persoalan dan tantangan semakin serius tatkala kesenjangan ekonomi meningkat dalam masyarakat.

Persoalan kesenjangan ekonomi dalam masyarakat Poso adalah masalah yang tidak dapat di pungkiri dalam konflik Poso. Meskipun pada awalnya isyu kesenjangan


(36)

ekonomi tidak langsung berkaitan dengan konflik Poso, isyu ini telah berimplikasi negatif terhadap hubungan penduduk lokal dan pendatang pada masa konflik. Toko-toko di pasar Poso, mobil-mobil, rumah-rumah orang kaya, dan atribut lain yang menandai golongan yang memiliki modal, menjadi sasaran penyerangan dan pembakaran oleh massa. Hampir tidak dapat lagi dibedakan antara aspek agama, ekonomi dan politik dalam konflik Poso. Ketiga aspek ini melebur menjadi satu dalam kondisi konflik yang belangsung.

Kesenjangan ekonomi terkait dengan dengan kedatangan pendatang dari luar Poso. Kedatangan para pendatang menyebabkan peralihan lahan dari penduduk asli ke pendatang dan lambat laun mendominasi perekonomian lokal kemudian secara alamiah menggeser kedudukan penduduk asli ke perifer. Meskipun tidak ada kajian mendalam mengenai perbandingan tingkat kesejahteraan ini, fakta kasat mata menunjukan bahwa kepemilikan kaum pendatang lebih baik dari penduduk asli. Sebagaian besar kepemilikan toko-toko dipasar, pegawai tingkat menengah keatas di pemerintahan maupun swasta, pemilik perusahaan berbagai jenis, penguasaan sektor pertanian dan perkebunan, dan lain-lain berada di tangan kaum pendatang. Penduduk asli nampaknya sukar bersaing dengan kecepatan pendatang dalam mencapai hasil yang tinggi.

Dalam struktur sosial masyarakat Poso awalnya dikenal dengan istilah waangkabosenya yang terbagi dalam dua klas, kabosenya adalah klas masyarakat atas (borjuis atau pemilik modal) dan watua merepresentasikan klas bawah (proletariat buruh tani). Kabosenya meski sebagai klas borjuis, mereka juga memposisikan diri sebagai pelindung bagi watua yang berkerja pada kabosenya. Ekspansi yang di lakukan pendatang juga berdampak pada pola pergeseran tatanan nilai budaya waangkabosenya, bukan pada kelasnya tetapi eksistensi kelas tersebut. Penguasaan alat-alat produksi seperti tanah oleh pendatang menempatkan mereka sebagai klas kabosenya yang baru, sementara sebagaian


(37)

kabosenya yang lama, terutama generasi selanjutnya menjadi watua. Pergeseran terjadi di wilayah substansi klas tersebut, sebab yang berlangsung kemudian adalah klas kabosenya tidak lagi bertindak sebagai pelindung bagi klas watua. Salah satu inti masalahnya terletak dalam konteks ini. Kabosenya dan watua tidak lagi saling melindungi tetapi lebih pada watak ekonomi dan seringkali bersifat eksploitatif.

Bergesernya makna waangkabosenya ikut mempengaruhi budaya Sintuwu maroso yang selama ini dititik beratkan pada modal interaksi antar etnis dalam kontek sosial. Masyarakat terjebak dalam logika kapitalisme dimana prinsip saling membantu dan berkerja sama tidak lagi nampak. Kehidupan harmonis yang dilandasi sintuwu maroso, nampak hanya berada dalam logika sosial dan kekerabatan tanpa menyentuh aspek lain, seperti munculnya penciptaan sistem ekonomi yang mengedepankan prinsip saling membantu sebagaimana diamanatkan oleh simbol budaya tersebut. Tidak munculnya satu kerja sama ekonomi dengan memakai substansi budaya sintuwu maroso dan tidak berkembangnya pemaknaan terhadap sintuwu maroso, berdampak pada tidak kuatnya simbol budaya tersebut menahan beban cultural sebagai akibat kuatnya gesekan ekonomi dalam struktur kehidupan masyarakat. Seperti rasa cemburu akibat adanya ketimpangan penguasaan sumber daya, kecemasan akan kelamnya harapan penduduk asli jika pendatang yang dominan, dan status sosial sebagai watua bagi sebagian masyarakat lokal.

J. Sintuwu Masih Maroso

Sintuwu (masih) maroso. Penggalan kata masih dalam sintuwu dan maroso hendak menggambarkan pengalaman bahwa sintuwu maroso masih sangat relevan dalam kehidupan bermasyarakat dalam masyarakat Poso walaupun pernah sempat terpecah akibat konflik Poso. Namun, kata masih tersebut dapat juga mengindikasikan adanya tantangan yang dapat memecah sintuwu maroso. Merujuk makna sintuwu maroso bahwa


(38)

bersatu untuk kuat itu diwujudkan melalui sikap saling menghargai, menolong dan menghidupi, maka indikasi untuk memecah sintuwu maroso adalah sikap masyarakat yang tidak lagi saling menghargai, tidak saling menolong atau tidak saling menghidupi disebabkan masih adanya rasa sakit, Kekawatiran, dan sikap kehati-hatian dalam bergaul dikarenakan konflik Poso yang pernah terjadi. Sehingga tentu perlu keseriusan pemerintah dalam merencanakan pembangunan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat adalah pembangunan yang menempatkan makna menghidupi masyarakat berdasarkan hak-hak masyarakat sehingga harus memastikan hak masyarakat tersebut tidak dipenjara dan dikorupsi. Pembangunan yang meletakan semangat gotong royong sebagai dasar tumbuh dan berkembang bersama, bukan mementingkan kemajuan sendiri-sendiri. Sayang memang pasca konflik Poso justru tidak menunjukan pembangunan Kabupaten Poso yang memiliki konsep sintuwu maroso.59

Konflik Poso selain berdampak negatif, juga meyertakan peluang positif yang harus dimaknai oleh masyarakat Poso dengan revitalisasi tradisi yang secara nyata melembagakan dialog dan kebersamaan antar masyarakat. Hal demikian harus terepresentasiakan melalui partisipasi aktif semua elemen masyarakat dalam ruang-ruang publik. Kapasitas tersebut dimungkinkan oleh ketersediaan preseden positif interaksi lintas komunitas di masa lalu. Bahwa pada kenyataannya preseden itu sempat melemah di masa dimana sentimen agama menjadi sedemikian sensitif, hal inilah yang harus digali-bangkitkan oleh komunitas masyarakat Poso menjadi sebuah mekanisme yang kuat dalam pencapaian perdamaian.

Pada umumnya pasca konflik Poso, sintuwu maroso masih dilaksanakan dalam berbagai kegiatan sehari, contohnya: Semangat mosintuwu yang masih diimplementasikan ke dalam agenda sehari-hari masyarakat Poso seperti yang tercermin


(39)

pada acara-acara daur hidup semacam perayaan perkawinan, kematian, kelahiran dan sebagainya. Demikian pula dalam pemilihan Kepala Daerah di Poso, Pada periode PILKADA sebelumnya, isu agama menjadi catatan penting bagi masyarakat pemilih. Hal ini terlihat dari partai pendukung kandidat khususnya yang bersimbolkan agama tertentu dan dari besarnya suara pemilih diwilayah-wilayah tertentu yang agamanya mayoritas sesuai dengan kandidat. Pada masa sebelumnya juga, isu agama menjadi salah satu isu sensitif dalam kampanye. Dalam hal ini lingkaran identitas keagamaan masyarakat dijaga, dipertahankan, diangkat oleh masing-masing kandidat. Fenomena tersebut tidak lagi ditemukan dalam PILKADA pasca konflik. Isu agama masing-masing kandidat bukanlah hanya penting lagi, masyarakat pemilih telah belajar bahwa apun agama para kandidat tidak menjamin kehidupan menjadi lebih baik (baca:lebih aman). Perhatian ditujukan pada latarbelakang kehidupan, track record masing-masing kandidat dan visi misi yang disampaikan untuk membangun Poso lebih baik. Dan juga sudah ada pemerataan dalam menentukan bakal calon Kepala Daerah yakni jika calon Kepala Daerah beragama Kristen maka wakilnya haruslah beragama Islam demikian pula sebaliknya jika calon Kepala Daerah Islam maka wakilnya adalah dari kalangan Kristen. Contoh lain adalah dalam pengelolahan sawah atau kebun secara bersama yang di istilahkan dengan mesale dan mapalus. Kegiatan ini terus berlangsung baik sebelum konflik maupun pasca konflik. Kebersediaan dalam melaksanakan mesale dan mapalus membantu meringankan pekerjaan karena mesale dan mapalus adalah semangat gotong-royong dan sikap saling tolong-menolong. Kegiatan ini tidak bersifat memberi imbalan akan tetapi lebih bersifat membalas jasa. Dalam perayaan keagamaan yang berlangsung dalam kebupaten Poso tiap masyarakat sudah mulai menikmati dan sudah ikut merayakan walaupun berbeda agama. Hal ini dapat dilihat dalam pawai Natal atau pun malam takbiran dimana tiap masyarakat ikut turun kejalan untuk merayakan tanpa


(40)

melihat latar belakang agama lagi. Kedua belah pihak yang bertikai yaitu muslim dan Kristen sudah mulai saling mengunjungi walaupun dalam perjumpaan tersebut masih adanya sikap waspada, kekawatiran dan kehati-hatian.


(1)

kerukunan. Kearifan lokal merupakan sarana yang baik untuk membangun dialog dan meningkatkan hubungan antaragama. Untuk membangun kembali kerukunan dan kebersamaan dalam masyarakat Poso yang bersifat lintas agama dan etnis yaitu dengan menerapkan kembali kearifan lokal masyarakat Poso yakni budaya sintuwu maroso.

Penerapan sintuwu maroso dapat membangkitkan kembali semangat kerbersaman dalam masyarakat yang berdasar pada kekeluargaan guna menciptakan persatuan dan perdamaian walaupun dengan latar belakang agama yang berbeda. Sifat universal dari

sintuwu maroso dapat meruntuhkan fanatisme keagamaan yang dapat membuat

masyarakat terpecah belah. Sehingga masyarakat akan melihat dirinya bukan hanya dari satu golongan agama saja tetapi melihat sebagai suatu kesatuan yakni masyarakat Poso. Tidak ada keengganan untuk bergaul, bersahabat dan berkerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Setiap orang memegang teguh keyakinan agamanya masing-masing tanpa bisa di pengaruhi oleh orang lain yang berbeda keyakinan sehingga sikap toleransi yang tinggi antar umat beragama yaitu sikap untuk bersedia saling menerima satu sama lain dengan penuh kasih dan ketulusan, tanpa adanya rasa curiga atau prasangka buruk terhadap satu sama lain dapat terwujud.

d. Berekonomi

Masyarakat Poso adalah masyarakat majemuk. Kemajemukan itu merupakan fakta yang harus di tanggapi sebagai tantangan besar yang harus di tanggulangi pada masa kini dan masa depan. Dalam konteks sosial budaya, kemajemukan terwujud dalam konteks etnisitas, rasial dan golongan. Persoalan dan tantangan semakin serius tatkala kesenjangan ekonomi meningkat dalam masyarakat.


(2)

ekonomi tidak langsung berkaitan dengan konflik Poso, isyu ini telah berimplikasi negatif terhadap hubungan penduduk lokal dan pendatang pada masa konflik. Toko-toko di pasar Poso, mobil-mobil, rumah-rumah orang kaya, dan atribut lain yang menandai golongan yang memiliki modal, menjadi sasaran penyerangan dan pembakaran oleh massa. Hampir tidak dapat lagi dibedakan antara aspek agama, ekonomi dan politik dalam konflik Poso. Ketiga aspek ini melebur menjadi satu dalam kondisi konflik yang belangsung.

Kesenjangan ekonomi terkait dengan dengan kedatangan pendatang dari luar Poso. Kedatangan para pendatang menyebabkan peralihan lahan dari penduduk asli ke pendatang dan lambat laun mendominasi perekonomian lokal kemudian secara alamiah menggeser kedudukan penduduk asli ke perifer. Meskipun tidak ada kajian mendalam mengenai perbandingan tingkat kesejahteraan ini, fakta kasat mata menunjukan bahwa kepemilikan kaum pendatang lebih baik dari penduduk asli. Sebagaian besar kepemilikan toko-toko dipasar, pegawai tingkat menengah keatas di pemerintahan maupun swasta, pemilik perusahaan berbagai jenis, penguasaan sektor pertanian dan perkebunan, dan lain-lain berada di tangan kaum pendatang. Penduduk asli nampaknya sukar bersaing dengan kecepatan pendatang dalam mencapai hasil yang tinggi.

Dalam struktur sosial masyarakat Poso awalnya dikenal dengan istilah

waangkabosenya yang terbagi dalam dua klas, kabosenya adalah klas masyarakat atas

(borjuis atau pemilik modal) dan watua merepresentasikan klas bawah (proletariat buruh tani). Kabosenya meski sebagai klas borjuis, mereka juga memposisikan diri sebagai pelindung bagi watua yang berkerja pada kabosenya. Ekspansi yang di lakukan pendatang juga berdampak pada pola pergeseran tatanan nilai budaya waangkabosenya, bukan pada kelasnya tetapi eksistensi kelas tersebut. Penguasaan alat-alat produksi seperti tanah oleh pendatang menempatkan mereka sebagai klas kabosenya yang baru, sementara sebagaian


(3)

kabosenya yang lama, terutama generasi selanjutnya menjadi watua. Pergeseran terjadi di wilayah substansi klas tersebut, sebab yang berlangsung kemudian adalah klas kabosenya tidak lagi bertindak sebagai pelindung bagi klas watua. Salah satu inti masalahnya terletak dalam konteks ini. Kabosenya dan watua tidak lagi saling melindungi tetapi lebih pada watak ekonomi dan seringkali bersifat eksploitatif.

Bergesernya makna waangkabosenya ikut mempengaruhi budaya Sintuwu maroso yang selama ini dititik beratkan pada modal interaksi antar etnis dalam kontek sosial. Masyarakat terjebak dalam logika kapitalisme dimana prinsip saling membantu dan berkerja sama tidak lagi nampak. Kehidupan harmonis yang dilandasi sintuwu maroso, nampak hanya berada dalam logika sosial dan kekerabatan tanpa menyentuh aspek lain, seperti munculnya penciptaan sistem ekonomi yang mengedepankan prinsip saling membantu sebagaimana diamanatkan oleh simbol budaya tersebut. Tidak munculnya satu kerja sama ekonomi dengan memakai substansi budaya sintuwu maroso dan tidak berkembangnya pemaknaan terhadap sintuwu maroso, berdampak pada tidak kuatnya simbol budaya tersebut menahan beban cultural sebagai akibat kuatnya gesekan ekonomi dalam struktur kehidupan masyarakat. Seperti rasa cemburu akibat adanya ketimpangan penguasaan sumber daya, kecemasan akan kelamnya harapan penduduk asli jika pendatang yang dominan, dan status sosial sebagai watua bagi sebagian masyarakat lokal.

J. Sintuwu Masih Maroso

Sintuwu (masih) maroso. Penggalan kata masih dalam sintuwu dan maroso

hendak menggambarkan pengalaman bahwa sintuwu maroso masih sangat relevan dalam kehidupan bermasyarakat dalam masyarakat Poso walaupun pernah sempat terpecah akibat konflik Poso. Namun, kata masih tersebut dapat juga mengindikasikan adanya tantangan yang dapat memecah sintuwu maroso. Merujuk makna sintuwu maroso bahwa


(4)

bersatu untuk kuat itu diwujudkan melalui sikap saling menghargai, menolong dan menghidupi, maka indikasi untuk memecah sintuwu maroso adalah sikap masyarakat yang tidak lagi saling menghargai, tidak saling menolong atau tidak saling menghidupi disebabkan masih adanya rasa sakit, Kekawatiran, dan sikap kehati-hatian dalam bergaul dikarenakan konflik Poso yang pernah terjadi. Sehingga tentu perlu keseriusan pemerintah dalam merencanakan pembangunan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat adalah pembangunan yang menempatkan makna menghidupi masyarakat berdasarkan hak-hak masyarakat sehingga harus memastikan hak masyarakat tersebut tidak dipenjara dan dikorupsi. Pembangunan yang meletakan semangat gotong royong sebagai dasar tumbuh dan berkembang bersama, bukan mementingkan kemajuan sendiri-sendiri. Sayang memang pasca konflik Poso justru tidak menunjukan pembangunan Kabupaten Poso yang memiliki konsep sintuwu maroso.59

Konflik Poso selain berdampak negatif, juga meyertakan peluang positif yang harus dimaknai oleh masyarakat Poso dengan revitalisasi tradisi yang secara nyata melembagakan dialog dan kebersamaan antar masyarakat. Hal demikian harus terepresentasiakan melalui partisipasi aktif semua elemen masyarakat dalam ruang-ruang publik. Kapasitas tersebut dimungkinkan oleh ketersediaan preseden positif interaksi lintas komunitas di masa lalu. Bahwa pada kenyataannya preseden itu sempat melemah di masa dimana sentimen agama menjadi sedemikian sensitif, hal inilah yang harus digali-bangkitkan oleh komunitas masyarakat Poso menjadi sebuah mekanisme yang kuat dalam pencapaian perdamaian.

Pada umumnya pasca konflik Poso, sintuwu maroso masih dilaksanakan dalam berbagai kegiatan sehari, contohnya: Semangat mosintuwu yang masih diimplementasikan ke dalam agenda sehari-hari masyarakat Poso seperti yang tercermin


(5)

pada acara-acara daur hidup semacam perayaan perkawinan, kematian, kelahiran dan sebagainya. Demikian pula dalam pemilihan Kepala Daerah di Poso, Pada periode PILKADA sebelumnya, isu agama menjadi catatan penting bagi masyarakat pemilih. Hal ini terlihat dari partai pendukung kandidat khususnya yang bersimbolkan agama tertentu dan dari besarnya suara pemilih diwilayah-wilayah tertentu yang agamanya mayoritas sesuai dengan kandidat. Pada masa sebelumnya juga, isu agama menjadi salah satu isu sensitif dalam kampanye. Dalam hal ini lingkaran identitas keagamaan masyarakat dijaga, dipertahankan, diangkat oleh masing-masing kandidat. Fenomena tersebut tidak lagi ditemukan dalam PILKADA pasca konflik. Isu agama masing-masing kandidat bukanlah hanya penting lagi, masyarakat pemilih telah belajar bahwa apun agama para kandidat tidak menjamin kehidupan menjadi lebih baik (baca:lebih aman). Perhatian ditujukan pada latarbelakang kehidupan, track record masing-masing kandidat dan visi misi yang disampaikan untuk membangun Poso lebih baik. Dan juga sudah ada pemerataan dalam menentukan bakal calon Kepala Daerah yakni jika calon Kepala Daerah beragama Kristen maka wakilnya haruslah beragama Islam demikian pula sebaliknya jika calon Kepala Daerah Islam maka wakilnya adalah dari kalangan Kristen. Contoh lain adalah dalam pengelolahan sawah atau kebun secara bersama yang di istilahkan dengan mesale dan mapalus. Kegiatan ini terus berlangsung baik sebelum konflik maupun pasca konflik. Kebersediaan dalam melaksanakan mesale dan mapalus membantu meringankan pekerjaan karena mesale dan mapalus adalah semangat gotong-royong dan sikap saling tolong-menolong. Kegiatan ini tidak bersifat memberi imbalan akan tetapi lebih bersifat membalas jasa. Dalam perayaan keagamaan yang berlangsung dalam kebupaten Poso tiap masyarakat sudah mulai menikmati dan sudah ikut merayakan walaupun berbeda agama. Hal ini dapat dilihat dalam pawai Natal atau pun malam takbiran dimana tiap masyarakat ikut turun kejalan untuk merayakan tanpa


(6)

melihat latar belakang agama lagi. Kedua belah pihak yang bertikai yaitu muslim dan Kristen sudah mulai saling mengunjungi walaupun dalam perjumpaan tersebut masih adanya sikap waspada, kekawatiran dan kehati-hatian.