PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENINGKATAN KEGIGIHAN MENGAJAR PADA GURU SLB-E Pelatihan Efikasi Diri Untuk Meningkatkan Kegigihan Mengajar Pada Guru SLB-E.

(1)

PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENINGKATAN KEGIGIHAN MENGAJAR PADA GURU SLB-E

Naskah Publikasi

Diajukan Oleh:

Dyah Kurniasari, S.Psi.,Psi.

T 100 050 033

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2013


(2)

PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENINGKATAN KEGIGIHAN MENGAJAR PADA GURU SLB-E

Naskah Publikasi

Ditulis Sebagai Persyaratan untuk Mencapai Derajat Magister Profesi Psikologi

Bidang Psikologi Pendidikan

Diajukan Oleh:

Dyah Kurniasari, S.Psi.,Psi.

T 100 050 033

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2013


(3)

(4)

ABSTRAKSI

PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENINGKATAN KEGIGIHAN MENGAJAR PADA GURU SLB-E

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap kegigihan mengajar pada guru SLB-E. Hipotesis yang diajukan: pelatihan efikasi diri dapat meningkatkan kegigihan mengajar guru SLBE. Subjek penelitian yaitu staf pengajar atau guru SLB E BhinaPutera Surakarta, kelompok eksperimen 11 orang, dan kelompok kontrol juga 11 orang. Metode pengumpulan data menggunakan skala kegigihan mengajar, intervensi menggunakan pelatihan efikasi diri.Teknik analisis data menggunakan analisis uji-t dan wilcoxon rank

test. Hasil analisis saat pretest diperoleh nilai t = 2,040; sig 0,055 (p > 0,05)

menunjukkan tidak ada perbedaan kegigihan mengajar antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Saat posttest diperoleh nilai t = 2,286; sig 0,33 (p < 0,05). Menunjukkan ada perbedaan yang signifikan kegigihan mengajar antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada saat pretest. Pada saat follow up diperoleh nilai t = 2,106; sig 0,048 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan kegigihan mengajar antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada saat follow up. Kelompok eksperimen memiliki kegigihan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.


(5)

PENDAHULUAN

Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru yang merupakan salah satu unsur di bidang pendidikan harus berperan secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Dalam rangka ini guru tidak semata sebagai pengajar yang mengajarkan pengetahuan tetapi juga sebagai pendidik yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa belajar (Sardiman, 2001)

Banyak hal yang harus dipahami dan dipersiapkan oleh guru dalam melakukan proses pembelajaran yang dapat memenuhi kebutuhan belajar setiap siswa. Seperti langkah-langkah penting dalam membuat perencanaan pengajaran, kebutuhan belajar siswa, perbedaan kebutuhan belajar siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus, metode pembelajaran klasikal bagi siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus. Hal tersebut membuat proses pengajaran tidak mudah dilakukan terutama mengajar siswa SLB.

Sanaky (2005) menyatakan bahwa guru selalu diberikan beban dan tanggung jawab yang berat dalam usaha mendidik anak bangsa, tetapi ”perhatian” pada profesi guru, berupa peningkatan kualitas melalui pelatihan, inservice


(6)

pada mereka. Para pengamat dan penilai pendidikan dengan kapasitas ilmunya dengan mudah memberikan kritik terhadap “profesi guru” yang dianggap kurang bergengsi, kinerjanya yang dinilai belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat, tetapi solusi jalan keluar yang bersifat ”action” belum optimal

diberikan pada mereka berupa pelatihan pada bidang pengetahuan dan keterampilan baru secara periodik. Sebagai contoh dengan negara Singapura, para guru selalu mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baru yang diperlukan oleh guru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap tahun mereka mendapatkan hak untuk memperoleh in

service training selama 33 jam. Itulah sebabnya guru mereka selalu dapat

dipertahankan profesionalismenya dan mutu pendidikan mereka menduduki peringkat kedua setelah Korea Selatan di antara 12 negara di Asia.

Tomlinson (Somantri, 2006) mengatakan bahwa guru SLB memiliki keharusan menyampaikan materi satu untuk seluruh siswa dengan menyesuaikan cara kemampuan berpikir setiap siswa. Kebanyakan guru dinyatakan frustrasi saat mencoba menangani siswa yang beragam dengan menuntut siswa untuk dapat mengikuti proses pembelajaran yang dilakukan daripada menyesuaikan pengajaran dengan kebutuhan siswa yang beragam

Sanaky (2005) menambahkan banyaknya beban yang harus ditanggung akibat tuntutan profesinya untuk menciptakan lulusan pendidikan yang prima tanpa dibarengi perolehan finansial yang mencukupi ataupun perhatian dari pemerinta dapat mengakibatkan adanya guru "nyambi", dan konsentrasi guru yang demikian dalam mentransferkan ilmunya tidak terfokus dengan baik dan hatinya


(7)

tidak tenang. Terlebih bagi guru Sekolah Luar Biasa (SLB) selain menanggung beban administrasi sekolah, administrasi kelas, membuat jurnal pengajaran, rencana pembelajaran (RP), satuan pelajaran (SP), Silabis analisis materi, program caturwulan atau semesteran atau tahunan. Guru SLB harus menghadapi anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan perhatian ekstra dibandingkan siswa normal. Akibatnya muncul berbagai persoalan dialami oleh para guru.

Fenomena kegigihan mengajar pada guru SLB sebagai pertimbangan untuk melakukan penelitian (training need analysis atau TNA) dapat diketahui dari survey awal pada 12 Januari 2012 melalui penyebaran skala kegigihan mengajar menggunakan aspek commitment, control, challenge, dari 24 subjek diketahui terdapat 2 subjek (8,3%) yang memiliki kegigihan mengajar rendah, 7 subjek (29,2%) memiliki kegigihan mengajar tinggi dan 15 subjek (62,5%) memiliki kegigihan mengajar sedang.

Kegigihan mengajar guru diharapkan dapat meningkat dengan diber pelatihan efikasi diri. Meskipun secara empiris peneliti belum pernah menemukan hasil riset mengenai pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap kegigihan mengajar, namun dalam beberapa pelatihan dalam bidang pendidikan menunjukkan bahwa individu dengan efikasi diri tinggi memiliki prestasi yang lebih tinggi dan lebih mampu bertahan dibandingkan individu dengan efikasi diri rendah. Beberapa penelitian memaparkan pelatihan efikasi diri dapat membawa perubahan perilaku individu. Penelitian Bembenutty (2006) menyimpulkan bahwa efikasi diri dapat meningkatkan prestasi belajar dan pengaturan belajar. Pillai dkk (1999) pada penelitian yang dilakukan menunjukkan efikasi diri dapat meminimalisir stres


(8)

kerja dan meningkatkan performansi. Penelitian Neck (1999) menyimpulkan efikasi diri bermanfaat meningkatkan performansi kerja seseorang. Didukung oleh penelitian Cybulski dkk. (2005) yang menyimpulkan bahwa efikasi diri dapat meningkatkan motivasi berprestasi pada siswa.

Tingginya efikasi diri akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertindak lebih persisten dan terarah. Berbagai penelitian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bagaimana efikasi diri mempengaruhi performansi individu melalui pemilihan tindakan, pengerahan usaha dan ketahanan atau ketekunan ketika berhadapan dengan hambatan. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan lebih bersedia mencoba, lebih banyak berusaha, dan lebih lama bertahan dalam kesulitan dibandingkan dengan individu yang efikasi dirinya lebih rendah. Hal- hal tersebut yang pada akhirnya memunculkan performansi yang lebih baik pada individu dengan efikasi diri tinggi yang kemudian mempengaruhi kegigihan mengajar pada guru.

Kaitannya dengan tugas guru SLB-E, maka guru yang memiliki efikasi diri memiliki kepercayaan dan keyakinan yang kuat dan bertanggung jawab penuh terhadap tugasnya sebagai seorang guru. Oleh karena itu meskipun menghadapi siswa dengan kelainan perilaku dan emosi yang memberikan tekanan lebih berat, namun guru berusaha tetap bertahan dan memiliki kekuatan dan kegigihan yang besar agar proses belajar mengajar tetap belajar dengan lancar, dan tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan baik. Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Apakah pelatihan efikasi diri dapat meningkatan kegigihan mengajar pada guru SLB-E “


(9)

Kegigihan mengajar tidak dapat lepas dari berbagai faktor yang mendukung maupun menghambatnya. Berkaitan dengan kegigihan mengajar Syah (1995) mengemukakan beberapa faktot yang juga terkait dengan kegigihan mengajar, a) karakteristik individu. Sebelum proses mengajar terjadi adanya kebutuhan yang kemudian diarahkan pada tujuan, maka individu harus memiliki kapasitas dan keterampilan yang dibutuhkan. b) karakteristik dari job atau pekerjaan. Apa yang dilakukan oleh individu akan mempengaruhi motivasi. Beberapa pekerjaan yang tampaknya rutin akan menimbulkan kebosanan pada individu. c) karakteristik lingkungan. Lingkungan kerja akan mempengaruhi terhadap motivasi. Lingkungan kerja dapat dibagi menjadi dua yaitu: lingkungan kerja yang sesungguhnya yang terdiri dari teman kerja serta dan lingkungan fisik.

Berdasarkan pendapat Syah (1995) tersebut di atas, bahwa bagian dari karakteristik individu terdapat keyakinan akan kemampuan diri (efikasi diri). Dengan demikian efikasi diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kegigihan mengajar.

Faktor-faktor tersebut dapat mendukung kerja guru apabila guru memiliki kegigihan. Maddi (1999) menyatakan bahwa individu dengan kepribadian tangguh senang bekerja keras karena dapat rnenikmati pekerjaan yang dilakukan, senang membuat suatu keputusan dan melaksanakannya karena memandang hidup ini sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan dan diisi agar mempunyai makna, dan individu yang memiliki kegigihan sangat antusias menyongsong masa depan


(10)

karena perubahan-pembahan dalam kehidupan dianggap sebagi suatu tantangan dan sangat berguna untuk perkembangan.

Gibson (1989) mengemukakan tentang faktor yang mempengaruhi keberhasilan pekerjaan, dan relevan sebagai faktor yang mempengaruhi kegigihan mengajar, sebagai berikut:

a. Inteligensi. Individu dengan taraf kecerdasan yang tinggi akan semakin mudah mencapai kompetensi yang tinggi.

b.Pengalaman dam Keberhasilan yang pernah dicapai. Keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan memiliki arti bahwa individu mampu mengatasi kesulitan dan tantangan yang dihadapi.

c. Tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh pada kemampuan dalam penguasaan tugas atau pekerjaan yang perlu dilakukan Individu yang berpendidikan tinggi akan lebih banyak menuntut peranan bagi dirinya dibandingkan dengan individu yang berpendidikan rendah.

Berdasarkan pendapat Gibson (1989) tersebut di atas, bahwa pada bagian dari pengalaman dan keberhasilan merupakan tujuan yang didalamnya mengandung keyakinan akan keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian keyakinan diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kegigihannya.

Menurut pendapat (Azwar, 1996). Efikasi diri merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan performansi dan faktor yang ditentukan oleh pola keberhasilan atau kegagalan performansi yang pernah dialami (Azwar, 1996).


(11)

Jika dikaitkan dengan kegigihan mengajar maka guru yang memiliki efikasi diri tidak akan mudah putus asa atau terus gigih menghadapi berbagai permasalahan yang sering terjadi di kelas.

Efikasi diri memegang peranan penting menentukan reaksi individu untuk menghadapi permasalahan. Menurut Bandura (1997) salah satu hasil proses kognitif yang harus dikembangkan oleh seorang agar dapat tetap bertahan dalam kondisi sehat, seimbang dan tidak terganggu dengan ketidakpuasan kerja adalah efikasi diri, yang berupa keputusan, keyakinan atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan diri dalam melaksanakan tugas atau tindakan.

Efikasi diri mampu meningkatkan kemampuan coping individu dalam mengatasi besarnya stres dan depresi yang individu alami pada situasi yang sulit dan menekan, dan juga akan mempengaruhi tingkat motivasi individu tersebut (Bandura, 1997).

Berdasarkan pendapat Bandura (1997), bahwa salah satu factor yang mempengaruhi kegigihan mengajar adalah efikasi diri. Efikasi diri merupakan bagian dari proses kognitif dan kemampuan coping individu, hal ini dapat di artikan bahwa guru mampu bertahan dalam berbagai situasi dan kondisi, dan tetap memiliki keyakinan atau pengharapan yang teguh dan gigih dalam melaksanakan tugas mengajar.

Faktor-faktor tersebut dapat mendukung kerja guru apabila guru memiliki kegigihan. Maddi (1999) menyatakan bahwa individu dengan kepribadian tangguh


(12)

senang bekerja keras karena dapat rnenikmati pekerjaan yang dilakukan, senang membuat suatu keputusan dan melaksanakannya karena memandang hidup ini sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan dan diisi agar mempunyai makna, dan individu yang memiliki kegigihan sangat antusias menyongsong masa depan karena perubahan-pembahan dalam kehidupan dianggap sebagi suatu tantangan dan sangat berguna untuk perkembangan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kegigihan mengajar, diantaranya adalah efikasi diri.

Pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pelatihan efikasi diri. Tujuan pelatihan efikasi diri pada penelitian ini antara lain yaitu memberikan informasi dan pemahaman mengenai efikasi diri, sumber-sumber efikasi diri, memperikan keterampilan praktis agar peserta mampu memiliki dan menerapkan efikasi diri dalam proses pembelajaran. Modul pelatihan efikasi diri terdiri dari aspek magnitude, generality dan strength yang dijabarkan dalam materi manajement pengelolaan tugas, penguasaan bidang tugas, dan keyakinan diri. Pelatihan juga bertujuan meningkatkan kualitas fungsi kognitif, motivasi, afeksi, dan selektif pada peserta pelatihan. Berkaitan dengan tujuan pelatihan tersebut, Bandura (1997) menjabarkan fungsi-fungsi tersebut sebagai berikut:

a. Fungsi kognitif. Guru yang memiliki efikasi diri tinggi dapat mengoptimalkan fungsi kognitif dengan beberapa cara, misalnya menciptakan suasana pendidikan yang amat menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis. Guru juga harus memiliki kemampuan dalam merencanakan pengelolaan kelas;


(13)

penggunaan media dan sumber pengajaran serta kemampuan merencanakan penilaian prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran. Semakin kuat efikasi diri,

semakin tinggi tujuan yang ditetapkan oleh individu bagi dirinya sendiri dan yang memperkuat adalah komitmen individu terhadap tujuan tersebut.

b. Meningkatkan Fungsi motivasi. Efikasi diri memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi diri. Sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif. Individu memotivasi dirinya sendiri dan menuntun tindakan-tindakannya dengan menggunakan pemikiran-pemikiran tentang masa depan sehingga individu tersebut akan membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat dirinya lakukan. Guru dapat mengoptimalkan fungsi motivasi dengan beberapa cara misalnya: membantu memudahkan kegiatan belajar anak didik. Guru berinteraksi sedemikian rupa dengan anak didik supaya mereka belajar dengan penuh semangat dan dapat berprestasi.

c. Fungsi Afeksi. Efikasi diri meningkatkan kemampuan coping individu dalam mengatasi besarnya stres dan depresi yang individu alami pada situasi yang sulit dan menekan, dan juga akan mempengaruhi tingkat motivasi individu tersebut. Efikasi diri memegang peranan penting dalam kecemasan, yaitu untuk mengontrol stres yang terjadi. Dalam proses pembelajaran fungsi afeksi guru dioptimalkan dengan cara mengembangkan sikap positif pada diri siswa; bersikap terbuka dan luwes terhadap siswa atau orang lain; menampilkan kegairahan dan kesungguhan dalam kegiatan belajar mengajar dan pelajaran yang diajarkannya; kemampuan mangembangkan hubungan antar pribadi yang sehat dan serasi, mengajar dengan suasana hati yang gembira, memiliki banyak humor dan


(14)

simpatik akan memberikan pengaruh pendidikan yang menguntungkan, sebaliknya guru yang mudah marah, kasar, pesimis dan egois akan memberikan pengaruh yang buruk bagi perkembangan anak didik.

d. Meningkatkan Fungsi Selektif. Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang akan diambil oleh indvidu. Individu menghindari aktivitas dan situasi yang individu percayai telah melampaui batas kemampuan coping dalam dirinya, namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi. Oleh karena itu dalam setiap proses pembelajaran guru harus mampu merencanakan dan merumuskan materi yang akan diajarkan sebelum kegiatan belajar mengajar dilaksanakan. Misalnya dalam penerapan kurikulum ABK, guru harus mampu mengembangkan bentuk pembelajaran sesuai kurikulum dan dengan kondisi para siswa, guru perlu selektif dalam memilih media pembelajaran yang tepat bagi siswa. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ pelatihan efikasi diri dapat meningkatkan kegigihan mengajar guru SLBE

METODOLOGI

Variabel tergantung (dependent variable) pada penelitian ini yaitu: kegigihan mengajar, sedangkan variabel bebas (independent variable) yaitu. pelatihan efikasi diri.

Subjek penelitian yaitu staf pengajar atau guru SLB E Bhina Putera Surakarta. Karakteristik subjek penelitian yaitu : a) Pengajar tetap; b) masa kerja minimal 2 tahun; c) Pendidikan minimal S1. Jumlah subjek penelitian eksperimen sebanyak 11 orang, begitu pula dalam kelompok kontrol berjumlah 11 orang.


(15)

Jumlah keseluruhan sebanyak 22 orang. Penentuan subjek dalam kelompok dilakukan secara random assignment. Alat ukur yang digunakan yaitu skala kegigihan mengajar yang disusun peneliti berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Kobasa (Beasley dkk, 2004) yaitu commitment, control, dan challenge.

Selain itu menggunakan juga teknik wawancara dan observasi

Analisis data yang digunakan adalah metode statitistik non parametik yaitu metode statistik yang digunakan tanpa perlu memenuhi syarat-syarat uji asumsi tertentu. Berdasarkan rancangan eksperimen yang telah ditetapkan maka untuk menguji hipotesis yang diajukan menggunakan analisis uji t melalui teknik paired

dan independent sample t-test serta wilcoxon rank test. Analisis data

menggunakan bantuan program atau software SPSS for Windows versi 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis data

Perhitungan analisis data menggunakan teknik analisis independent

sample t test, paired sample dan Wilcoxon Signed Ranks Test. Analisis

independent sample t test bertujuan untuk mengetahui perbedaan kegigihan

mengajar antara kelompok kontrol dan eksperimen sebelum dan sesudah pelatihan. Analisis paired sample untuk mengetahui perbedaan kegigihan mengajar pretest-posttest-follow up pada kelompok secara parsial (terpisah) eksperimen dan kontrol dihitung sendiri-sendiri.


(16)

Hasil dari masing masing analisis data dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel1

Hasil Analisis Uji t (independent sample t test)

Kelompok Eksperimen-Kontrol

Treatment Mean Kelompok Nilai t Sig Kesimpulan Pretest Eksperimen 102.82

2.040 0.055 (p > 0,05)

Tidak Signifikan Kontrol 112.00

Posttest Eksperimen 114.45

2.286 0.033 (p < 0,05)

Signifikan Kontrol 108.00

Follow up Eksperimen 114.09

2.106 0.048 (p < 0,05)

Signifikan Kontrol 109.91

Tabel 2

Hasil Analisis Uji t (paired sampel / sampel berpasangan) Kelompok Eksperimen

Pasangan Mean Nilai t Sig Kesimpulan

Pair 1 Pretest 102.82 -2.909 0.016 (p < 0,05)

Signifikan Posttest 114.45

Pair 2 Pretest 102.82

-2.780. 0.018 (p < 0,05)

Signifikan

Follow up 114.09

Pair 3 Posttest 114.45

0.380 0.712 (p >0,05)

Tidak Signifikan

Follow up 114.09

Tabel 3

Hasil Analisis Uji t (paired sampel / sampel berpasangan) Kelompok Kontrol

Pasangan Mean Nilai t Sig Kesimpulan

Pair 1 Pretest 112.00 1.718 0.116 (p > 0,05)

Tidak Signifikan Posttest 108.00

Pair 2 Pretest 112.00

1.874 0.090 (p > 0,05)

Tidak Signifikan

Follow up 109.91

Pair 3 Posttest 108.00

-1.125 0.287 (p > 0,05)

Tidak Signifikan


(17)

Tabel 4

Hasil Analisis Wilcoxon Signed Ranks Test Kelompok Eksperimen

Mean Ranks Nilai Z Sig Kesimpulan

Pretest 0.00

-2.812a 0.005 (p < 0,05)

Signifikan Posttest 5.50

Pretest 0.00

-2.673a 0.008 (p < 0,05)

Signifikan

Follow up 5.00

Posttest 7.30

-0.313b 0.754 (p > 0,05)

Tidak Signifikan

Follow up 4.92

Tabel 5

Hasil Analisis Wilcoxon Signed Ranks Test Kelompok kontrol

Mean Ranks Nilai Z Sig Kesimpulan

Pretest 8.08

1.384a 0.166 (p > 0,05)

Tidak Signifikan Posttest 3.50

Pretest 6.36

-1.740a 0.082 (p > 0,05)

S Tidak Signifikan

Follow up 3.50

Posttest 4.20

-.665b 0.506 (p > 0,05)

Tidak Signifikan

Follow up 6.80

PEMBAHASAN

Hasil-hasil analisis menunjukkan bahwa efikasi diri dapat digunakan untuk memprediksikan kegigihan mengajar. Hal ini dijelaskan oleh Azwar (1996) yang menyatakan bahwa efikasi diri yang dimiliki oleh individu merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam performansi yang akan datang dan kemudian dapat pula menjadi faktor yang ditentukan oleh pola keberhasilan atau kegagalan performansi yang pernah dialami. Efikasi diri merupakan keyakinan yang dimiliki


(18)

memiliki efikasi diri maka diharapkan mempunyai keyakinan dan kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugas seorang guru.

Kaitannya dengan tugas guru SLB-E, maka guru yang memiliki efikasi diri memiliki kepercayaan dan keyakinan yang kuat dan bertanggung jawab penuh terhadap tugasnya sebagai seorang guru. Oleh karena itu meskipun menghadapi siswa dengan kelainan perilaku dan emosi yang memberikan tekanan lebih berat, namun guru berusaha tetap bertahan dan memiliki kekuatan dan kegigihan yang besar agar proses belajar mengajar tetap belajar dengan lancar, dan tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan baik. Kompetensi ini berhubungan dengan kompetensi ranah rasa lainnya yang disebut teaching efficacy atau contextual

efficacy yang berarti kemampuan guru dalam berurusan dengan keterbatasan

faktor di luar dirinya ketika ia mengajar. Artinya keyakinan guru terhadap kemampuannya sebagai pengajar professional bukan hanya dalam hal menyajikan materi pelajaran di kelas saja, melainkan juga dalam hal memanipulasi (mendayagunakan) keterbatasan ruang, waktu dan peralatan yang berhubungan dengan proses belajar mengajar.

Bandura (1997) menambahkan salah satu hasil proses kognitif yang harus dikembangkan oleh seorang (guru) agar dapat tetap bertahan dalam kondisi sehat, seimbang dan tidak terganggu dengan ketidakpuasan kerja adalah efikasi diri, yang berupa keputusan, keyakinan atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan diri dalam melaksanakan tugas atau tindakan. Hal ini menunjukkan bahwa efikasi diri memegang peranan dalam menentukan reaksi individu untuk menghadapi permasalahan dalam pekerjaannya.


(19)

Termasuk pula permasalahan-permasalahan yang dihadapi ketika mengajar. Oleh karena itu, efikasi diri yang tinggi akan mempertingkat keterlibatan aktif dan individu terbadap tingkah laku-tingkah laku yang dapat meningkatkan kemampuan. Sebaliknya, efikasi diri akan membawa individu pada kegiatan-kegiatan yang menghambat terjadinya perubahan-perubahan yang mengarah pada kondisi yang lebih baik. Dengan kata lain, individu yang mempunyai efikasi diri rendah akan merasa takut dan cenderung menghindari situasi yang menurut individu melebihi kemampuannya. Sebaliknya individu yang mempunyai efikasi diri tinggi cenderung tidak mengalami kecemasan dan tidak berperilaku menghindar.

Efikasi diri diperlukan dalam keberhasilan menyelesaikan tugas, mengingat keyakinan tentang efektivitas kemampuan seseorang akan menentukan usahanya dalam menghadapi situasi yang mengandung kekaburan, penuh tekanan dan tidak terduga. Individu berusaha untuk menyelesaikan tugas dan menghadapi hambatan-hambatan yang tidak diinginkan. efikasi diriyang dimiliki oleh individu sesuai dengan kemampuan dibedakan atas efikasi diri alam tingkat rendah dan efikasi diri dalam tingkat yang tinggi. efikasi diri dalam tingkat yang tinggi akan mempengaruhi kematangan pemilihan dalam bidang kerja. Menurut Locke, dkk. (Komandyahrini dan Freyani, 2008) efikasi diri merupakan salah faktor yang ikut mempengaruhi kinerja seseorang dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Semakin tinggi efikasi diri seseorang, maka semakin besar pula kepercayaan dari orang tersebut terhadap kesanggupannya untuk berhasil dalam mencapai tujuan. Efikasi diri yang tinggi itu juga akan membuat seseorang lebih gigih ketika menghadapi


(20)

tantangan serta lebih termotivasi ketika mendapatkan umpan balik (feedback) negatif. Efikasi diri terhadap kapabilitas dalam mengatasi permasalahan akan berpengaruh terhadap tingkat stress dan depresi yang akan dialami seseorang ketika menghadapi situasi-situasi yang sukar dan mengancam. Seseorang yang yakin dapat mengatasi ancaman-ancaman tidak akan mengalami gangguan pola berpikir dan berani menghadapi tekanan dan ancaman. Sebaliknya, mereka yang tidak yakin dapat mengatasi ancaman akan mengalami kecemasan yang tinggi.

Menurut Chow & Winzer, (Hull, 2005) penelitian selama beberapa dekade menyimpulkan bahwa tidak mungkin seorang guru dalam kelas khusus melakukan pengajaran yang efektif dalam memenuhi kebutuhan belajar siswa yang beragam ketika guru tersebut tidak memiliki keyakinan dan sikap yang positif terhadap adanya siswa berkebutuhan khusus di kelas mereka.

Hasil penelitian pada saat pretest dari 11 subjek terdapat 7 subjek memiliki kegigihan mengajar tinggi dan 4 subjek yang memiliki kegigihan mengajar sedang. Selanjutnya setelah mendapatkan pelatihan, pada saat posttest, terdapat 4 subjek yang memiliki kegigihan mengajar tinggi, dan 7 subjek memiliki kegigihan mengajar sedang, tidak ada satupun subjek yang memiliki kegigihan mengajar rendah. Adapun pengukuran saat follow up diketahui terdapat 4 subjek yang memiliki kegigihan mengajar tinggi, dan 7 subjek memiliki kegigihan mengajar sedang, tidak ada satupun subjek yang memiliki kegigihan mengajar rendah.

Adanya peningkatkan kegigihan mengajar pada guru merupakan salah satu hasil atau feedback dari perubahan perilaku positif. Salah satu sumber perubahan positif tersebut yaitu keberhasilan subjek mengikuti pelatihan efikasi diri dan


(21)

mengimplementasikan materi-materi yang diperoleh selama pelatihan. Menurut Tannembaum (dalam Salas dan Cannon-Bowers, 2001) ada beberapa kondisi yang mempengaruhi hasil pelatihan, yaitu:

a. Karakteristik individual, yang meliputi : 1). kemampuan kognitif; 2).

self efficacy 3).orientasi tujuan.

b. Motivasi dalam pelatihan. Motivasi dalam pelatihan dapat diartikan sebagai arah, tujuan, intensitas, keinginan untuk memperoleh keterampilan dan keahlian tertentu, usaha serta ketekunan selama mengikuti pelatihan yang dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh peserta sebelum, selama dan sesudah pelatihan. Motivasi dalam mengikuti pelatihan juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor individual, (misalnya : kemampuan kognitif, self efficacy, kecemasan, usia, kesadaran) dan faktor-faktor situasional (misalnya : cuaca, suhu udara, kelambaban).

c. Kondisi-kondisi sebelum pelatihan, , misalnya : pengalaman negatif yang diperoleh pada pelatihan sebelumnya akan mempengaruhi proses belajar.

Selama pelatihan berlangsung tim pelatih memberikan Pretest diawal pelatihan dan memberikan post test diakhir pelatihan, selain itu berusaha menampilkan modul pelatihan yang berisi materi manajemen pengelolaan tugas (aspek magnitude), materi penguasaan bidang tugas (aspek generality), dan materi kemampuan diri (aspek strenght), dengan didukung peralatan multimedia sehingga lebih baik menarik perhatian para subjek dan memulai pelatihan dengan beberapa pertanyaan yang memprovokasi atau fakta yang menarik, sehingga keingintahuan akan memotivasi subjek untuk belajar. Di awal setiap sessi tim


(22)

pelatihan memaparkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai sehingga hal tersebut menginisiasi proses internal expectancy dan membantu memotivasi subjek untuk mengikuti pelatihan dengan lebih semangat. Adapun selama subjek mempraktekkan behavior baru, tim memberikan feedback secara spesifik dan segera mengenai performa mereka. Tidak seperti pertanyaan dalam post-test, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tahap ini lebih digunakan untuk membantu subjek lebih memahami materi, bukan untuk penilaian formal.

Hasil observasi subjek RN menunjukkan kondisi buruk dalam penilaian aspek learning community, curriculum, formative assessment, instructional

arrangements dan respectful task. Hasil observasi subjek tampak otoriter

memaksakan aturan dan mengabaikan masukan siswa tentang aturan yang berlaku. Hal ini membuat siswa terlihat tidak puas dan suasana pembelajaran pun menjadi tegang. Selain itu tidak konsistennya aturan yang diberikan membuat siswa menjadi kurang terkendali. Di kelas dengan jumlah siswa secara penuh, upaya subjek untuk menyampaikan instruksi kepada siswa tidak berhasil membuat siswa menjadi fokus dalam proses belajar karena instruksi tidak disampaikan dengan sistematis. Selain itu aturan belajar yang kurang tersampaikan dengan jelas membuat aktivitas belajar menjadi kurang terstruktur. Pada prinsip

curriculum, subjek RN belum menetapkan tujuan belajar secara spesifik sehingga

pengajaran tidak fokus pada konsep penting yang harus dikuasai siswa. Subjek hanya menyampaikan materi sesuai dengan buku tanpa berupaya mengembangkan logika berpikir siswa terkait materi yang disampaikan. Pada aspek formative


(23)

jelasnya aktivitas untuk mencari tahu pemahaman siswa memungkinkan siswa tidak menunjukkan pemahaman yang sebenarnya dimiliki. Pada prinsip

instructional arrangements, DD menjelaskan materi dengan berdiri di depan kelas

dan hanya berinteraksi dengan siswa yang duduk di depan sehingga kelas menjadi tidak fokus dan siswa terlihat tidak menikmati proses pembelajaran. Lebih banyak siswa yang terlihat tidak paham dan diberikan penjelasan secara individual, sementara siswa lain pada akhirnya melakukan aktivitas masing-masing. Adapun pada aspek prinsip respectful task, pemberian tugas tidak jelas sehingga aturan tugas pun sangat fleksibel dan tidak terarah yang memungkinkan siswa tidak dapat mencapai apa yang seharusnya diketahui dari materi tersebut. Tidak terlihat upaya untuk membuat siswa paham apa yang sebenarnya diharapkan dari tugas yang diberikan dan hanya mengawasi dan memberikan bantuan bagi siswa yang duduk di depan, bukan memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan yang disampaikan siswa. Selain itu, tidak semua siswa terlihat tertarik dan tertantang, hanya siswa yang duduk di depan.

Adapun pada subjek lainnya proses dalam penyampaian aspek learning

community, curriculum, formative assessment, instructional arrangements dan

respectful task dapat berlangasung dengan lancar. Ciri-cirinya misalnya: tujuan

belajar sudah ditetapkan secara, metode penyampaian materi secara beragam memungkinkan siswa, mengawali pengajaran dengan menyampaikan aturan dan aktivitas belajar secara jelas sehingga siswa tahu apa yang harus dilakukan dapat memahami materi lebih dalam, adanya tugas yang memfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir siswa yang pandai, melakukan penyesuaian pengajaran


(24)

dengan kembali memberikan penjelasan tentang konsep dasar ketika ada siswa yang tidak berhasil menjawab persoalan yang diberikan.

Sebagai sebuah proses, pelatihan bukanlah suatu program yang telah lengkap dan dapat dibuat seketika. Pelatihan memerlukan waktu, serta meliputi intensitas, frekwensi, dan durasi waktu tertentu, serta bersifat continous dan melibatkan berbagai elemen yang harus dikelola secara benar. Pendekatan sistem menghendaki pengelolaan pelatihan secara sistematis dan berorientasi kepada hasil. Masing-masing komponen memiliki keterkaitan dengan komponen lain, sehingga semakin sempurna setiap proses yang dilakukan, maka akan semakin baik hasil yang didapatkan. Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pada penelitian ini, antara lain:

a. Efektifitas pelatihan keyakinan diri tidak seketika langsung dapat meningkatkan kegigihan mengajar tanpa ada pengaruh dari faktor lain, terutama yaitu keinginan yang kuat dalam diri subjek untuk merubah sikap maupun perilaku menjadi lebih baik, pengaruh dukungan sosial pimpinan, rekan kerja dan juga pemerintah.

b. Selama pelatihan berlangsung persoalan atau kondisi pribadi satu-dua peserta mungkin kurang mendapat perhatian dan tanggapan secara intensif satu persatu, karena perhatian lebih mengarah secara klasikal bukan terfokus pada persoalan peserta yang memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda-beda, oleh karena itu adanya perbedaan hasil pelatihan yang diterima antara satu peserta dengan peserta lainnya merupakan hal kewajaran namun perlu dipertimbangkan oleh peneliti selanjutnya.


(25)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa, Pelatihan efikasi diri efektif meningkatkan kegigihan mengajar hingga 39% pada guru SLBE Bhina Putera Surakarta. Dalam jangka waktu satu bulan setelah pelatihan efikasi diri, diuji kembali kegigihan mengajarnya dan hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan efikasi diri tetap efektif untuk mempertahankan kegigihan mengajar.

Saran

1. Bagi psikolog bidang pendidikan

Psikolog bidang pendidikan dapat lebih mempertimbangkan pelatihan efikasi diri untuk diuji coba kembali dan hasilnya bisa menjadi pertimbangan untuk meningkatkan kegigihan mengajar.

2. Bagi pendampingan anak SLB-E.

Kegigihan mengajar guru SLB-E akan memotivasi tumbuh kembang kreatifitas dan keterampilan siswa SLB-E. Sehingga peserta didik lebih mudah diarahkan sesuai dengan metode mengajar guru. 3. Bagi Guru SLB-E

Guru SLBE-E dapat mengaplikasikan atau mempraktekkan skill (keterampilan) keahlian guru SLB-E dalam mengelola efikasi diri mencakup, manajemen pengelolaan tugas, penguasaan bidang tugas, dan kemampuan dirinya untuk mengajar kepada peserta didik.


(26)

4. Bagi kepala sekolah

Kepala sekolah sebagai penentu kebijakan dapat membuat program-program yang memberi kesempatan guru SLB-E sehingga dapat menerapkan keterampilan mengelola efikasi dirinya.


(27)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (1996). Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy The Exercise of Control. New York : W.H. Freeman and Company.

Bandura, A. & Schunk, D.H. (1991). Cultivating Competence, Self-Efficacy an Intrinsic Interest Through Proximal Motivation. Journal of Educational Psychology, 41, 586-598.

Bembenutty, H. (2006). Teachers’ Self-efficacy Beliefs, Self-Regulation of Learning, and Academic Performance. A paper presented at the annual

meeting of the American Psychological Association. New Orleans, LA,

August 12. Queens College of the City University of New York.

Cybulski T.G., Wayne K. Hoy & Scott R. (2005). The roles of collective efficacy of teachers and fiscal efficiency in student achievement. Journal of

Educational. Administration Vol. 43 No. 5, (2005) pp. 439-461.

Hull, G. 2005. Literacy and Learning Out of School: A Review of Theory and Research”. Journal of Educational Psychology .Vol. 76, No. 1, 45-54 Jufri. (1999). Prediktor Prestasi Akademik. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Komandyahrini E., Hawadi & Freyani, L. (2008). Hubungan Self Efficacy dan Kematangan dalam Memilih Karir Siswa Program Percepatan Belajar (Penelitian Pada SMAN 81 dan SMAN Lab School Jakarta). Journal Keberbakatan & Kreativitas. Vol. 02. No. 01. 119-133.

Maddi, S R. (1999). The Personality Construct of Hardiness: Effects on experiencing, Coping, and Strain. Consulting Psychology Journal: Practice & Research, 51:83-94

Neck, C.P. Neck, HM. Charles C., & Jeffrey M.G. (1999). ``I think I can; I think I can'' A self-leadership perspective toward enhancing entrepreneur thought patterns, self-efficac, and performance. Journal of Managerial Psychology, Vol. 14 No. 6. pp. 477-501.


(28)

Pillai, R., Schriesheim, C.A. & Williams, E.S. (1999). Fairness perceptions and trust as mediators for transformational and transactional leadership : A two-sample study. Journal of Management, 25 (6), 897-933.

Sanaky H. (2005). Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam. Vol.12.182-199

Syah, M. (1995). Psikologi Pendidikan : dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosdakarya

Utami, B. (1999). Hubungan antara Efikasi Diri dan Kecemasan Berbicara di Muka Umum pada Mahasiswa. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Widyarto. (1997). Kemampuan Mengoperasikan Komputer Ditinjau dari

Perceived Self-Efficacy. Tesis (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Magister


(1)

jelasnya aktivitas untuk mencari tahu pemahaman siswa memungkinkan siswa tidak menunjukkan pemahaman yang sebenarnya dimiliki. Pada prinsip instructional arrangements, DD menjelaskan materi dengan berdiri di depan kelas dan hanya berinteraksi dengan siswa yang duduk di depan sehingga kelas menjadi tidak fokus dan siswa terlihat tidak menikmati proses pembelajaran. Lebih banyak siswa yang terlihat tidak paham dan diberikan penjelasan secara individual, sementara siswa lain pada akhirnya melakukan aktivitas masing-masing. Adapun pada aspek prinsip respectful task, pemberian tugas tidak jelas sehingga aturan tugas pun sangat fleksibel dan tidak terarah yang memungkinkan siswa tidak dapat mencapai apa yang seharusnya diketahui dari materi tersebut. Tidak terlihat upaya untuk membuat siswa paham apa yang sebenarnya diharapkan dari tugas yang diberikan dan hanya mengawasi dan memberikan bantuan bagi siswa yang duduk di depan, bukan memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan yang disampaikan siswa. Selain itu, tidak semua siswa terlihat tertarik dan tertantang, hanya siswa yang duduk di depan.

Adapun pada subjek lainnya proses dalam penyampaian aspek learning community, curriculum, formative assessment, instructional arrangements dan respectful task dapat berlangasung dengan lancar. Ciri-cirinya misalnya: tujuan belajar sudah ditetapkan secara, metode penyampaian materi secara beragam memungkinkan siswa, mengawali pengajaran dengan menyampaikan aturan dan aktivitas belajar secara jelas sehingga siswa tahu apa yang harus dilakukan dapat memahami materi lebih dalam, adanya tugas yang memfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir siswa yang pandai, melakukan penyesuaian pengajaran


(2)

dengan kembali memberikan penjelasan tentang konsep dasar ketika ada siswa yang tidak berhasil menjawab persoalan yang diberikan.

Sebagai sebuah proses, pelatihan bukanlah suatu program yang telah lengkap dan dapat dibuat seketika. Pelatihan memerlukan waktu, serta meliputi intensitas, frekwensi, dan durasi waktu tertentu, serta bersifat continous dan melibatkan berbagai elemen yang harus dikelola secara benar. Pendekatan sistem menghendaki pengelolaan pelatihan secara sistematis dan berorientasi kepada hasil. Masing-masing komponen memiliki keterkaitan dengan komponen lain, sehingga semakin sempurna setiap proses yang dilakukan, maka akan semakin baik hasil yang didapatkan. Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pada penelitian ini, antara lain:

a. Efektifitas pelatihan keyakinan diri tidak seketika langsung dapat meningkatkan kegigihan mengajar tanpa ada pengaruh dari faktor lain, terutama yaitu keinginan yang kuat dalam diri subjek untuk merubah sikap maupun perilaku menjadi lebih baik, pengaruh dukungan sosial pimpinan, rekan kerja dan juga pemerintah.

b. Selama pelatihan berlangsung persoalan atau kondisi pribadi satu-dua peserta mungkin kurang mendapat perhatian dan tanggapan secara intensif satu persatu, karena perhatian lebih mengarah secara klasikal bukan terfokus pada persoalan peserta yang memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda-beda, oleh karena itu adanya perbedaan hasil pelatihan yang diterima antara satu peserta dengan peserta lainnya merupakan hal kewajaran namun perlu dipertimbangkan oleh peneliti selanjutnya.


(3)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa, Pelatihan efikasi diri efektif meningkatkan kegigihan mengajar hingga 39% pada guru SLBE Bhina Putera Surakarta. Dalam jangka waktu satu bulan setelah pelatihan efikasi diri, diuji kembali kegigihan mengajarnya dan hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan efikasi diri tetap efektif untuk mempertahankan kegigihan mengajar.

Saran

1. Bagi psikolog bidang pendidikan

Psikolog bidang pendidikan dapat lebih mempertimbangkan pelatihan efikasi diri untuk diuji coba kembali dan hasilnya bisa menjadi pertimbangan untuk meningkatkan kegigihan mengajar.

2. Bagi pendampingan anak SLB-E.

Kegigihan mengajar guru SLB-E akan memotivasi tumbuh kembang kreatifitas dan keterampilan siswa SLB-E. Sehingga peserta didik lebih mudah diarahkan sesuai dengan metode mengajar guru. 3. Bagi Guru SLB-E

Guru SLBE-E dapat mengaplikasikan atau mempraktekkan skill (keterampilan) keahlian guru SLB-E dalam mengelola efikasi diri mencakup, manajemen pengelolaan tugas, penguasaan bidang tugas, dan kemampuan dirinya untuk mengajar kepada peserta didik.


(4)

4. Bagi kepala sekolah

Kepala sekolah sebagai penentu kebijakan dapat membuat program-program yang memberi kesempatan guru SLB-E sehingga dapat menerapkan keterampilan mengelola efikasi dirinya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (1996). Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy The Exercise of Control. New York : W.H. Freeman and Company.

Bandura, A. & Schunk, D.H. (1991). Cultivating Competence, Self-Efficacy an Intrinsic Interest Through Proximal Motivation. Journal of Educational Psychology, 41, 586-598.

Bembenutty, H. (2006). Teachers’ Self-efficacy Beliefs, Self-Regulation of Learning, and Academic Performance. A paper presented at the annual meeting of the American Psychological Association. New Orleans, LA, August 12. Queens College of the City University of New York.

Cybulski T.G., Wayne K. Hoy & Scott R. (2005). The roles of collective efficacy of teachers and fiscal efficiency in student achievement. Journal of Educational. Administration Vol. 43 No. 5, (2005) pp. 439-461.

Hull, G. 2005. Literacy and Learning Out of School: A Review of Theory and Research”. Journal of Educational Psychology .Vol. 76, No. 1, 45-54 Jufri. (1999). Prediktor Prestasi Akademik. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Komandyahrini E., Hawadi & Freyani, L. (2008). Hubungan Self Efficacy dan Kematangan dalam Memilih Karir Siswa Program Percepatan Belajar (Penelitian Pada SMAN 81 dan SMAN Lab School Jakarta). Journal Keberbakatan & Kreativitas. Vol. 02. No. 01. 119-133.

Maddi, S R. (1999). The Personality Construct of Hardiness: Effects on experiencing, Coping, and Strain. Consulting Psychology Journal: Practice & Research, 51:83-94

Neck, C.P. Neck, HM. Charles C., & Jeffrey M.G. (1999). ``I think I can; I think I can'' A self-leadership perspective toward enhancing entrepreneur thought patterns, self-efficac, and performance. Journal of Managerial Psychology, Vol. 14 No. 6. pp. 477-501.


(6)

Pillai, R., Schriesheim, C.A. & Williams, E.S. (1999). Fairness perceptions and trust as mediators for transformational and transactional leadership : A two-sample study. Journal of Management, 25 (6), 897-933.

Sanaky H. (2005). Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam. Vol.12.182-199

Syah, M. (1995). Psikologi Pendidikan : dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosdakarya

Utami, B. (1999). Hubungan antara Efikasi Diri dan Kecemasan Berbicara di Muka Umum pada Mahasiswa. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Widyarto. (1997). Kemampuan Mengoperasikan Komputer Ditinjau dari Perceived Self-Efficacy. Tesis (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Magister Psikologi UGM.