Analisis wacana kritis perkembangan wacana CSR di Indonesia pada harian Kompas tahun 2007 2016

(1)

ANALISIS WACANA KRITIS: PERKEMBANGAN

WACANA CSR DI INDONESIA PADA HARIAN

KOMPAS TAHUN 2007-2016

TESIS

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

Diajukan oleh:

Tappin Pandapotan Saragih 152222107

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

2017


(2)

ANALISIS WACANA KRITIS: PERKEMBANGAN

WACANA CSR DI INDONESIA PADA HARIAN

KOMPAS TAHUN 2007-2016

TESIS

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN

MENCAPAI DERAJAT SARJANA S-2

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

Diajukan oleh:

Tappin Pandapotan Saragih 152222107

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

2017


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur bagi Tuhan atas segala rahmat dan kesempatan yang diberikan sehingga penulisan tesis ini dapat selesai dengan baik. Tesis ini adalah buah dari proses pembelajaran dengan berbagai pengalaman suka-duka yang menyertainya.

Secara pribadi saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Drs. T. Handono Eko Prabowo, MBA, Ph.D selaku ketua program studi Magister Manajemen Universitas Sanata Dharma, Dr. Titus Odong Kusumajati, MA dan YB. Cahya Widiyanto, M.Si., Ph.D sebagai pembimbing saya dan Dr. Fransisca Ninik Yudianti, M.Acc., QIA dan Dr. Lukas Purwoto, M. Si selaku penguji tesis saya.

Terima kasih juga bapak A. Triwanggono yang tidak pernah lelah mengajak saya dan teman-teman untuk selalu berpikir kritis dan gemar membaca supaya

‘kepala’ dan ‘ekor’ selalu sama, dan begitu juga para dosen yang lain. Saya juga tidak lupa pada Bang Simon Saragih yang selalu memberi dukungan moral dan nasihat-nasihat yang menguatkan iman.

Secara khusus, saya mengucapkan pada Kompas, Mas Subur, Pak Moh. Nasir beserta jajaran pimpinan yang sudah mengijinkan saya melakukan penelitian dan juga wawacara untuk kebutuhan tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Untuk kedua orang tua dan juga adik-adik saya, terima kasih yang setulus-tulusnya karena kalian selalu mencintai dan menerima segala kekuranganku.

Akhirnya, saya juga dengan sangat bangga memiliki teman-teman MM USD khususnya angkatan IV dengan berbagai latarbelakang, keunikan dan kegilaan yang dimiliki, saya belajar banyak hal selama dalam proses pembelajaran bersama kalian. Semoga teman-teman semakin menemukan arti hidup sejati. Carpe Diem!

Tuhan selalu menyertai dan memberkati kita semua.

Yogyakarta, 27 Juli 2017


(8)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan ... iii

Lembar Persetujuan Pembimbing ... iv

Pernyataan ... v

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar... xii

Daftar Lampiran ... xiii

Abstrak ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Pertanyaan Penelitian ... 7

1.3.TujuanPenelitian ... 7

1.4.Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 7

1.4.2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pengantar ... 9

2.2.Wacana... 10

2.2.1. Pengertian ... 10

2.2.2. Jenis-Jenis Wacana ... 11

2.2.3. Analisis Wacana sebagai Disiplin Ilmu ... 11

2.2.4. Pendekatan dalam Analisis Wacana ... 13

2.2.5. Metode-Metode Analisis Wacana ... 13

2.2.6. Analisis Wacana CSR ... 15

2.3.CSR ... 16

2.3.1. Sejarah ... 16


(9)

2.3.3. Ruang Lingkup CSR ... 22

2.3.4. Contoh Bentuk-Bentuk Wacana CSR ... 24

2.3.5. Pro dan Kontra ... 26

2.3.6. Aktor Penyebaran CSR ... 27

2.4.Media ... 28

2.4.1. Isi, Nilai dan Bentuk Berita ... 29

2.4.2. Fungsi Media dan Elemen Jurnalistik ... 30

2.4.3. Proses dan Faktor yang Mempengaruhi dalam Menghimpun Berita ... 30

2.4.4. Strategi Media dalam Mengkonstruksi Realitas (Berita) ... 31

2.4.5. Kerangka Teori ... 34

BAB III METODOLOGI 3.1.Pengantar ... 35

3.2.Paradigma, Strategi dan Fokus Penelitian ... 35

3.3.Metode Penelitian ... 36

3.3.1. Kerangka Analisis ... 38

3.3.2. Prosedur Penelitian ... 41

3.4.Kualitas dan Keterbatasan Penelitian ... 44

3.5.Kerangka Metode Penelitian ... 47

BAB IV GAMBARAN HARIAN KOMPAS 4.1. Sejarah Singkat ... 48

4.2. Visi-Misi dan Nilai Keutamaan Harian Kompas ... 51

4.3. Kebijakan Redaksional Kompas ... 52

4.4. Struktur Organisasi dan Redaksi Harian Kompas ... 53

4.5. Rubrik Harian Kompas ... 54

4.6. Keunggulan Harian Kompas ... 55

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengantar ... 57

5.2. Deskripsi ... 62

5.3. Interpretasi ... 71

5.3.1.Faktor-Faktor Internal ... 78


(10)

5.4. Eksplanasi ... 85

5.5. Ketidakberesan Sosial ... 92

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 95

6.2. Saran ... 97

6.2.1. Bagi Kompas ... 97

6.2.2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 99 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Contoh Bentuk-Bentuk Wacana CSR ... 24

Tabel 3.1 Level Analisis dan Metode Penelitian ... 39

Tabel 3.2 Instrumen Analisis Eklektif ... 40

Tabel 4.1 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kompas ... 49

Tabel 4.2 Unit Bisnis Kompas Gramedia ... 50

Tabel 5.1 Hasil Pencarian VS Cetak ... 58

Tabel 5.2 Jumlah Data Kategori Berita (Penulis menggunakan Nama Inisial) ... 62

Tabel 5.3 Contoh Penggunaan Analisis secara Intuitif ... 64

Tabel 5.4 Bentuk-Bentuk Wacana CSR secara Umum dari Tahun 2007-2016 ... 64

Tabel 5.5 Bentuk-Bentuk Wacana CSR dari Data Terpilih Tahun 2007-2016 ... 66


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Penampang Lingkaran ... 23

Gambar 2.2 Model Lingkaran yang Memusat ... 23

Gambar 2.3 Model Piramida ... 23

Gambar 2.4 Hubungan antara Makna dan Realitas... 33

Gambar 2.5 Kerangka Teori... 34

Gambar 3.1 Dimensi Wacana Fairclough ... 38

Gambar 3.2 Kerangka Analisis Wacana Fairclough ... 39

Gambar 3.3 Form Pencarian Data ... 42

Gambar 3.4 Hasil Pencarian Data ... 42

Gambar 3.5 Prosedur Penelitian ... 44

Gambar 3.6 Kerangka Metode Penelitian ... 47

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Harian Kompas ... 53

Gambar 4.2 Struktur Redaksi Harian Kompas ... 54

Gambar 5.1 Hasil Pencarian Klipping Tahun 2007 ... 57

Gambar 5.2 Perbandingan Jumlah Data Masing-Masing Kategori ... 59

Gambar 5.3 Advertisement VS NV ... 60

Gambar 5.4 Jumlah Data NV ... 61


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 (Pengelompokan Data) ... 108

Lampiran 2 (Analisis Perspektif pada Rangkuman 1121 Data) ... 110

Lampiran 3 (Wacana-Wacana Muncul Dalam X Kali) ... 151

Lampiran 4 (Analisis Perspektif pada 83 Data Terpilih) ... 153

Lampiran 5 (Analisis dengan Teks Eklektif pada 30 Data Terpilih) ... 168

Lampiran 6 (Data Muncul Sebanyak X Kali) ... 204

Lampiran 7 (Transkrip Wawacara dengan Moh. Nasir) ... 207

Lampiran 8 (Peristiwa-Peristiwa Penting 10 Tahun Terakhir (2007-2016)) 222 Lampiran 9 (Foto) ... 223


(14)

ABSTRACT

Media is one among actors that have important role in constructing and spreading the discourse of CSR. This research aims to seek what were the forms of CSR discourse and how the CSR discourses were constructed by Kompas during 2007-2016 in Indonesia. This research applied the critical paradigm and the research strategy was critical discourse analysis with socio-cultural change approach. The critical discourse analysis framework (CDA) of Faiclough consisting of three dimensions of text, discursive practice and social praxis was used to answer the research questions. The findings of this research are first, in general the forms of CSR discourse appeared annually and dominant in the last ten years were environment, economy, business, banking, education, corporation, commitment, development, community, vulnerable group, partnership and health. In the perspective of triple bottom lines, the developing discourse was more inclined to the economic dimension. Second, in constructing CSR Kompas tend to emphasize economic meaning and use positive tone. Kompas seemed to protect the business sustainability of the company itself and the reader (advertisers). The writer suggests further researches on similar issues with more specific topics by comparing several media.


(15)

ABSTRAK

Media adalah salah satu aktor yang memiliki peranan penting dalam mengkonstruksi dan menyebarkan wacana CSR. Penelitian ini ingin mengetahui apa saja bentuk-bentuk wacana CSR dan bagaimana wacana CSR tersebut dikonstruksi oleh Harian Kompas pada tahun 2007-2016 di Indonesia. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dan strategi penelitian yang dipilih adalah analisis wacana kritis dengan pendekatan perubahan sosial budaya. Kerangka analisis wacana kritis (CDA) dari Faiclough yang terdiri dari tiga dimensi yaitu teks, praktik diskursif dan praksis sosial digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Temuan penelitian ini adalah pertama, secara umum bentuk-bentuk wacana CSR yang muncul setiap tahun dan dominan dalam sepuluh tahun terakhir adalah lingkungan, ekonomi, bisnis, perbankan, pendidikan, korporasi, komitmen, pembangunan, komunitas, kelompok rentan, kemitraan dan kesehatan. Dalam perspektif triple bottom lines, wacana yang berkembang lebih condong ke dimensi ekonomi. Kedua, Kompas mengkonstruksi wacana CSR cenderung lebih bermakna ekonomis dan bernada positif. Kompas tampaknya lebih memperjuangkan kelangsungan hidup perusahaan dan pembaca (pemasang iklan). Penelitian berikutnya dapat dilakukan dengan topik yang lebih spesifik dengan membandingkan beberapa media sekaligus.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dewasa ini, masyarakat luas dan para investor menilai sebuah perusahaan bukan lagi hanya sebatas performa keuangan perusahaan tetapi juga apa yang dilakukan oleh perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya menyangkut masalah sosial dan lingkungan. Baik atau buruk sebuah perusahaan ditentukan oleh apa yang dipikirkan dan diharapkan oleh masyarakat atas perusahaan tersebut. Untuk mendapatkan kepercayaan (pengakuan) dari masyarakat, perusahaan membangun sebuah wajah dengan melibatkan dirinya dalam berbagai masalah sosial dan lingkungan. Keterlibatan perusahaan ini kemudian dilihat masyarakat sebagai tanggungjawab perusahaan (Sunyoto dan Putri, 2016; Tang, 2012; Plantos, 2001; Carroll, 1999; Carroll, 1991; Carroll, 1979).

Tanggungjawab sosial perusahaan (sekarang lebih dikenal dengan istilah CSR (corporate social responsibility)) berkembang dan dikenal lebih luas sejak tahun 1990an. CSR awalnya lahir dari berbagai kritikan serta ajakan kepada para pebisnis untuk being or acting responsible dalam menjalankan perusahaannya. Dalam perjalanan waktu, ide responsible itu ternyata merupakan konsep yang membingungkan sehingga muncul berbagai perdebatan seperti apa tanggungjawab yang dimaksud, siapa saja yang harus bertanggungjawab, kepada siapa saja tanggungjawab tersebut ditujukan dan apa saja aspek yang menjadi bagian dari tanggungjawab tersebut (Dahlsrud, 2008; Hond, Bakker dan Neergaard, 2007;


(17)

Plantos, 2001; Carroll, 1999; Carroll, 1979; Friedman, 1970). Beberapa ahli sudah mencoba menjawab kebingungan tersebut misalnya Carroll (1979, 1999) mengembangkan konsep dan model tanggungtawab perusahaan yang meliputi empat kategori tanggungjawab yaitu ekonomi, hukum, etika dan filantropi.

Konsep CSR berkembang dan bertumbuh sama seperti konsep manajemen lainnya misalnya total quality management (TQM) dan new public management (NPM). Konsep-konsep manajemen tersebut selalu mengalami perubahan mengikuti tren yang sedang berkembang dengan berbagai alasan keunggulan misalnya terkait efektivitas dan efisiensi. Windell (2007) menjelaskan bahwa menerapkan konsep manajemen itu tidak serta merta membuat perusahaan menjadi sukses, tetapi konsep tersebut dilegitimasi akan meningkatkan kesuksesan perusahaan. Konsep CSR sebagai sebuah tren baru dalam dunia bisnis diterapkan oleh berbagai perusahaan sebagai bentuk legitimasi bahwa mereka adalah perusahaan yang bertanggungjawab. Konsep ini terus berkembang dan menyebar luas lewat berbagai aktor seperti pemerintah, perusahaan, konsumen, LSM, sekolah, peneliti, dan media (Tang, 2012; Hond, et al., 2007).

Dari semua aktor-aktor tersebut, media adalah satu aktor yang berperan besar dalam mengkonstruksi dan menyebarkan konsep CSR. Media memiliki peran sentral dalam menyampaikan apa yang sedang terjadi di dunia, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses, pengetahuan atau pengalaman terkait isu yang disampaikan (Happer dan Phillo, 2013). Media memiliki daya jangkauan yang luas, kemampuan melipat-gandakan pesan dan kemampuan membentuk rantai informasi (Hamad, 2004; Eriyanto, 2001). Media bahkan dikenal sebagai


(18)

only game in town (Carroll, 2011). Media sering digunakan perusahaan untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas. Melalui media, perusahaan lebih mudah membangun wajah perusahaan. Selain itu, media juga bisa berfungsi sebagai pengawas yang memonitor praktik-praktik yang dilakukan oleh berbagai perusahaan misalnya, Kompas memberitakan praktik buruk yang dilakukan oleh perusahaan tambang ANTAM di pulau Halmahera Timur, Maluku (Kompas via CSRindonesia.com, 2016).

Dalam pemberitaan sebuah peristiwa, media lebih sering berperan sebagai claim-maker. Media memotret peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat dan berfokus pada aspek-aspek tertentu yang mendukung pandangan mereka. Media memiliki peranan penting dalam memberikan gambaran sebuah peristiwa dan membentuk cultural awareness bagi masyarakat dengan berbagai informasi yang dihadirkan (Virkus, 2014; Van Dijk,1996). Kesadaran inilah yang kemudian bisa mendorong para pengambil keputusan membuat sebuah perubahan di dalam organisasi yang mereka pimpin.

Media khususnya surat kabar masih kurang mendapat perhatian dari para peneliti dalam membahas isu-isu CSR padahal surat kabar juga memiliki kontribusi besar dalam mengkonstruksi dan menyebarkan isu-isu CSR (Virkus, 2014; Gonzalez, 2013; Tang, 2012; Barros, Joao F. R. S., dan Alessandra M. da Costa, 2012; Igbal, 2011). Buhr dan Grafstrom (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa surat kabar Financial Times sangat berkontribusi dalam konstruksi makna dan penyebaran tren manajerial CSR di eropa. Di Cina, Tang (2012) menemukan surat kabar nasional didominasi oleh perusahaan dan


(19)

pemerintah dalam mengkonstruksi makna CSR. CSR dimaknai hanya sebagai tanggungjawab perusahaan kepada komunitas, pekerja dan pelanggan. Mereka kurang bersikap kritis dan lebih sering bernada positif dalam penyampaian isu-isu CSR. Barros et al. (2014) menemukan isu CSR dan sustainability pada Exame masih didominasi paradigma ekonomis. Publikasi masih berkonsentrasi pada dasar keuntungan (profit) semata dan mengejar peluang-peluang bisnis. Sustainability tidak dipandang sebagai perlindungan alam dan sosial tapi sebagai sebuah keputusan bisnis semata.

Dalam konteks Asia seperti Indonesia, penelitian seputar isu-isu CSR masih relevan dilakukan baik itu di tataran praktik maupun teoritis karena berbagai alasan misalnya kurangnya literatur dan penelitian CSR khususnya pada media seperti surat kabar (Idowu dan Celine L., 2011; Garriga dan Mele, 2004; Tang, 2012; Carroll, 2011; Plantos, 2001; Dahlsrud, 2008; Hond, et al., 2007). Peranan surat kabar Indonesia dalam mengkonstruksi dan menyebarkan konsep CSR menjadi menarik untuk diteliti dengan beberapa alasan. Pertama, jumlah perusahaan pers (termasuk surat kabar) cukup banyak di Indonesia (http://dewanpers.or.id/perusahaan, 31 oktober 2016). Kedua, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur serta mewajibkan para pengusaha melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan (Sunyoto dan Putri, 2016; http://www.hukumonline.com, diakses 25 Juli 2016); Untung, 2014; Solihin, 2008). Ketiga, sebelum UU tersebut ditetapkan oleh pemerintah hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 2004-2005 dan 2006-2007


(20)

Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa tidak ada satu perusahaan pun yang berperingkat emas dari 400an perusahaan yang dipantau (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/ diakses 25 Juli 2016, PROPER, 2015).

Dari sekian banyak surat kabar yang ada di Indonesia, salah satu surat kabar besar, mapan dan memiliki pasar yang luas adalah Harian Kompas (selanjutnya disebut Kompas saja). Kompas berdiri sejak 28 Juni 1965. Kompas merupakan salah satu surat kabar tertua Indonesia yang masih eksis hingga saat ini dengan pencapaian oplah sebesar 530.000 eksemplar setiap hari di seluruh provinsi Indonesia. Berdasarkan 4 International Media & Newspaper, Kompas menduduki peringkat 43 dalam Top 200 Newspapers In The World (2016) dan Kompas menjadi satu-satunya surat kabar dari Indonesia yang masuk dalam daftar tersebut. Untuk Top 100 Newspapers In Asia (2016), Kompas menduduki peringkat 13 (http://www.4imn.com/top200/). Berdasarkan Indonesia Best Brand Award (2014), Kompas merupakan salah satu brand terbaik pada kategori Media & telecommunication (http://www.marsindonesia.com/awards/ibba/winners/ 2014). Ada banyak penghargaan yang sudah diraih oleh Kompas, dua diantaranya misalnya pengakuan internasional dari World WAN/IFRA dan Asia Pasific WAN/IFRA sebagai ‘Community Services for Youth’, penghargaan khusus IMA (Indonesia MDG (millennium development goals) awards) 2012 (Sularto (ed.), 2013).

Kompas sering digunakan sebagai acuan atau referensi misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baku. Kompas adalah ‘pabrik gagasan’ yang ingin menjadi penunjuk arah seperti namanya sendiri bagi masyarakat luas


(21)

(Hamad, 2004). Hal itu sangat wajar karena media memang masih jauh lebih dipercaya oleh publik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar (Tang, 2012; Carroll, 2011). Oleh karena itu, Van Dijk (1988) mengatakan bahwa berita pertama-tama harus dikaji sebagai wacana publik. Apa yang dikonstruksi dan disebarkan oleh media akan membangun sebuah cara berpikir atau cara berbicara masyarakat mengenai sebuah fenomena dan kemudian itu akan mendorong terjadinya sebuah realitas sosial yang baru (perubahan) dalam masyarakat.

Penelitian ini akan mencoba melihat bagaimana wacana CSR dikonstruksi dan apa saja bentuk-bentuk wacana CSR yang disebarkan oleh Kompas. Hal ini penting diketahui karena ini bisa membangun pemahaman atau cara berpikir masyarakat mengenai CSR. Ketika masyarakat sudah memahami dan sekaligus menyadari apa yang menjadi haknya sebagai penerima dampak keberadaan perusahaan, masyarakat bisa menyuarakan hak mereka dengan tepat atau memberikan masukan serta kritik kepada perusahaan yang bersangkutan. Selain itu, wacana CSR yang dikonstruksi dan disebarkan oleh Kompas akan memberikan sebagian gambaran mengenai wacana CSR yang berkembang saat ini di Indonesia, paling tidak dari perspektif Kompas. Rentang waktu yang dipilih dalam penelitian ini adalah tahun 2007-2016. Waktu ini dipilih karena mempertimbangkan undang-undang CSR yang baru ditetapkan oleh pemerintah tahun 2007, yaitu undang-undang pasal 74 No. 40 Tahun 2007 yang mewajibkan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial lingkungan. Penelitian kualitatif dengan analisis wacana kritis akan dilakukan untuk menjawab


(22)

permasalahan penelitian. Data utama penelitian adalah data sekunder yaitu teks yang berkaitan dengan isu-isu CSR yang pernah dimuat pada rentang waktu yang dipilih pada Kompas versi cetak . Data akan diambil dari data base, Pusat Informasi Kompas (PIK).

Pada penelitian berikutnya, peneliti lain bisa mengkaji lebih dalam wacana CSR ini dengan membandingkan beberapa surat kabar (lokal atau nasional) atau penelitian lewat media selain surat kabar untuk melihat perkembangan wacana CSR yang lebih menyeluruh dari perspektif media karena sekali lagi, media memang memiliki daya jangkauan yang luas, kemampuan melipat-gandakan pesan dan kemampuan membentuk rantai informasi yang bisa membangun kesadaran masyarakat dan mendorong perusahaan-perusahaan menjalankan perusahaannya secara bertanggungjawab.

1.2Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Apa saja bentuk-bentuk wacana CSR yang dikonstruksi dan disebarkan oleh Kompas pada tahun 2007-2016?

1.2.2 Bagaimana wacana CSR dikonstruksi pada Kompas pada tahun 2007-2016?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui bentuk-bentuk wacana CSR yang dikonstruksi dan disebarkan oleh Kompas pada tahun 2007-2016.


(23)

1.3.2 Untuk mengetahui realitas (konstruksi makna yang dibangun, citra yang diberikan, pemihakan yang dilakukan serta kepentingan yang diperjuangkan) dibalik teks CSR yang dimuat oleh kompas pada tahun 2007-2016.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.1.1Penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi pada pengembangan pengetahuan dan memperkaya kajian Manajemen Tanggungjawab Sosial khususnya mengenai wacana CSR pada surat kabar.

1.4.1.2Mengembangkan konsep penelitian kualitatif dalam Manajemen Tanggungjawab Sosial dengan pendekatan analisis wacana kritis.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1Memberikan rekomendasi konstruksi wacana CSR yang seharusnya pada media yang bersangkutan untuk mendorong perubahan (emansipasi) atau penyadaran (advokasi) masyarakat dan pelaku bisnis.

1.4.2.2 Penelitian ini diharapkan bisa menjadi trigger bagi peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut mengenai wacana CSR.


(24)

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Pengantar

Dengan adanya perubahan iklim dan juga kondisi lingkungan yang semakin rusak, perlindungan lingkungan hidup menjadi perhatian serius bagi banyak kalangan terutama para pelaku bisnis. Selain itu, permasalahan kemanusiaan seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan HAM juga menjadi perhatian serius dunia. Pemerintah bersama-sama dengan pihak swasta termasuk perusahaan bisnis bekerja sama untuk menangani berbagai persoalan tersebut. Berbagai aturan dan kebijakan pun hadir untuk mengatur perilaku perusahaan dengan harapan kehidupan manusia dan lingkungan menjadi lebih baik. Peraturan legal seperti European Union (EU), Bruntland Commission dan UNCTAD (1972) yang meminta perusahaan-perusahan agar memperhatikan keberlanjutan

(sustainability) ekosistem secara umum tentu ikut mempengaruhi gaya atau

model manajemen sebuah perusahaan (Idowu dan Celine L., 2011). Konsep manajemen tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) merupakan sebuah fenomena nyata yang lahir akibat dari berbagai permasalahan dan peraturan tersebut. Wacana CSR ini terus berkembang dan tersebar ke berbagai belahan dunia dan diterapkan oleh berbagai perusahaan bisnis. Bahkan saat ini, konsep tanggungjawab tersebut tidak lagi hanya ditujukan pada perusahaan bisnis tetapi tetapi juga pada berbagai perusahaan nonprofit atau lembaga sosial dan pemerintahan. Seperti yang sudah disebutkan pada bab pertama, aktor seperti


(25)

media berperan penting dalam mengkonstruksi dan menyebarkan wacana CSR di dalam sejarah perkembangannya.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengkaji wacana CSR pada teks-teks CSR yang dimuat oleh Kompas. Oleh karena itu, pemahaman seputar wacana, CSR dan media akan dibahas lebih mendalam pada bab ini sebagai landasan teori penelitian.

2.2 Wacana 2.2.1 Pengertian

Kata wacana sering dipakai oleh banyak bidang mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra, dan sebagainya (Eriyanto, 2011). Setiap bidang ilmu tersebut menggunakan defenisi dan batasan yang berbeda-beda atas wacana. Sara Milis (1997) dalam Eriyanto (2011) menyebutkan beberapa pengertian mengenai wacana. Tiga diantaranya adalah sebagai berikut.

Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman (Roger Fowler, 1977).

Wacana: 1. Komunikasi verbal, ucapan, percakapan; 2. Sebuah perlakuan formal dari subyek dalam ucapan atau tulisan; 3. Sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat (Collins Concise English Dictionary, 1988). Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal dimana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya (Hawthorn, 1992). .


(26)

2.2.2 Jenis-Jenis Wacana

Wacana memiliki jenis yang beragam dengan ciri khas yang berbeda-beda. Berikut ini peneliti merangkum jenis-jenis wacana yang dipaparkan oleh Arifin (2012) dalam tulisannya.

Pertama, wacana berdasarkan acuannya dibagi menjadi dua yaitu wacana nonfiksi dan fiksi. Kedua adalah wacana berdasarkan bentuk penyajian, yaitu wacana deskriptif (gambaran secara rinci), wacana naratif (rangkaian sebuah peristiwa), wacana eksplikatif (berisi penjelasan), wacana instruktif (petunjuk atau pedoman), wacana argumentatif (pendapat yang bertujuan mempengaruhi atau mengubah) dan wacana informatif. Ketiga, wacana berdasarkan saluran komunikasi dibagi dua menjadi lisan dan tulisan.

Keempat, wacana berdasarkan fungsi bahasa yaitu fungsi referensial (karya ilmiah), fungsi ekspresif (surat cinta), fungsi konotatif (kampanye politik), fungsi fatik (curriculum vitae), fungsi puitik (lagu), dan fungsi metalinguistik (berpusat pada kode-kode). Kelima, wacana berdasarkan peserta komunikasi dibagi menjadi dua yaitu monolog dan dialog. Keenam yaitu wacana berdasarkan eksistensinya yang dibagi menjadi dua yaitu verbal dan nonverbal. Terakhir adalah wacana berdasarkan bahasa yang digunakan yaitu bahasa daerah, bahasa nasional dan bahasa internasional.

2.2.3 Analisis Wacana sebagai Disiplin Ilmu

Analisis wacana sudah ada sejak lama namun baru berkembang belakangan ini. Analisis wacana digunakan untuk memecahkan masalah-masalah


(27)

humaniora dan sosial (Arifin, 2012). Pada awalnya, analisis wacana hanya berfokus pada kajian kebahasaan struktural dan deskriptif dengan batas-batas lingustik dan antropologi dan analisisnya lebih ke arah kajian wacana popular seperti dongeng, cerita rakyat dan ritual-ritual (Arifin, 2012; Karlberg, 2005). Sejak tahun 1960an, analisis wacana semakin berkembang baik dari segi teoritis maupun metodologis.

Saat ini, analisis wacana dapat dibedakan berdasarkan metode, bentuk analisis, dan level analisis. Berdasarkan metode, analisis dibagi menjadi dua yaitu 1) analisis wacana sintagmatis yang menganalisis wacana menggunakan metode kebahasaan yaitu mengeksplorasi kalimat demi kalimat untuk menarik kesimpulan dan 2) analisis wacana paradigmatis yang menganalisis wacana dengan memperhatikan tanda-tanda tertentu untuk menemukan makna keseluruhan. Berdasarkan bentuk analisis, analisis wacana terbagi menjadi dua yaitu analisis wacana linguistik yang memakai salah satu metode analisis untuk membaca suatu teks dan analisis wacana sosial yang mengunakan satu atau lebih metode analisis serta menggunakan perspektif teori dan paradigma tertentu dalam membaca suatu teks. Berikutnya, berdasarkan level analisis, analisis wacana dibagi menjadi dua yaitu analisis pada level naskah (teks, bunyi, atau artefak) baik secara sintagmatis maupun paradigmatis, dan analisis multilevel (konteks dan historis suatu wacana) yang dikenal juga dengan analisis wacana kritis (Arifin, 2012).


(28)

2.2.4 Pendekatan dalam Analisis Wacana

Ada tiga pendekatan dalam analis wacana. Pertama, pendekatan formal. Ibrahim (1999) dalam Arifin (2012) menyebutkan pendekatan ini memandang bahasa sebagai sistem tanda yang terpisah dari faktor-faktor eksternal bahasa. Oleh karena itu, bahasa harus memiliki unsur-unsur bahasa (fonologi, morfologi dan sitaksis) dan kaidah-kaidah atau struktur bahasa. Pendekatan kedua adalah pendekatan fungsional. Pendekatan ini memandang bahasa sebagai sistem terbuka yang tidak terlepas dari faktor-faktor eksternalnya (konteks) seperti ciri sosial, ciri biologis dan demografi. Pendekatan terakhir adalah pendekatan kritis (dialektika) yaitu pendekatan yang memandang perlunya membahas teks dan konteks sekaligus untuk memahami sebuah fenomena.

2.2.5 Metode-Metode Analisis Wacana

Pada prinsipnya, wacana merupakan perpaduan dari empat jenis struktur, yaitu struktur gagasan, proses pikiran pembicara, pilihan bahasa pembicara dan situasi. Analisis wacana hadir untuk menggali aspek-aspek dan struktur suatu wacana. Ada 12 metode analisis wacana yang sudah dikembangkan dan diterapkan oleh para ahli wacana hingga saat ini (Titcher, et al. dalam Arifin, 2012).

Metode Analisis Isi. Metode ini menguraikan dan menyimpulkan isi proses komunikasi dengan cara mengidentifikasi karakteristik tertentu pada teks secara objektif, sistematis, dan kuantitatif. Grounded Theory. Metode ini berfokus


(29)

pada tindakan dan situasi yang problematis dan mencoba mengkonseptualisasikan data dengan fokus kajian pada eksplorasi dan penciptaan hipotesis. Metode Etnografi. Metode ini memberi penjelasan secara lengkap dan menginterpretasikan teks berdasarkan latar belakang struktur budaya yang mengkonstruksi budaya masyarakat. Metode MCD (Membership Categorization Device) Etnometodologis. Menurut Silverman (1993) dalam Arifin (2012) metode ini bertujuan untuk memahami kapan dan bagaimana anggota masyarakat membuat sebuah deskripsi agar bisa menggambarkan mekanisme yang digunakan untuk menghasilkan uraian yang tepat dan cocok. Metode Analisis Percakapan Etnometodologis. Metode ini berusaha menemukan prosedur dan prinsip generatif yang digunakan oleh partisipan untuk menghasilkan struktur karakteristik dan tatanan dari sebuah situasi komunikatif. Metode Semiotik Naratif. Metode ini mencoba mengidentifikasi struktur naratif sebuah teks yang menjembatani struktur batin (deep structure) yang memiliki makna mendasar (underlying meaning) dengan struktur lahir (surface structure) pada tataran kata dan sintaksis.

Metode SYMLOG (System for the Multiple Level Observation of Group). Metode ini mengkaji kelompok sosial dan bagaimana hubungan mereka dalam kelompok tersebut dengan mempertimbangkan dinamika kelompok dan kepribadian individu. Metode CDA (critical discourse analysis). Metode ini melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam CDA dipandang menyebabkan hubungan dialektis antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial. Metode Pragmatik Fungsional. Metode berpandangan bahwa bahasa merupakan objek penggunaan,


(30)

dengan bahasa kita bisa melakukan sesuatu. Metode pragmatik fungsional memandang dirinya sebagai sebuah reaksi terhadap proses tambahan yang termanifestasi dalam penciptaan istilah-istilah seperti pragmalinguistik, atau psikolinguistik, sosiolinguistik. Metode Teori Pembedaan. Dengan metode ini, komunikasi dipandang sebagai proses penyeleksian komponen informasi, ujaran, dan pemahaman. Unit analisis teori pembedaan adalah satuan gramatikal. Metode Hermeneutik Objektif. Hardiman (2002) dalam arifin (2012) menyebutkan hermeneutik adalah metode analisis untuk mengungkapkan atau menafsirkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata yang tertuang dalam teks yang telah disusunnya. Metode Framing. Analisis Framing adalah bagian dari analisis isi yang melakukan penilaian tentang wacana persaingan antarkelompok yang muncul atau tampak di media.

2.2.6 Analisis Wacana CSR

Dalam penelitian CSR, ada beberapa peneliti yang sudah menerapkan metode analisis wacana dalam analisisnya, misalnya sebagai berikut. Buhr dan Grafström dalam Hond, et al., (2007) menggunakan metode analisis isi dan software Nvivo 2.0 untuk mencari makna dan bentuk wacana CSR yang dikembangkan oleh Financial Times dari tahun 1984-2002. Dari penelitian itu, mereka menemukan wacana seperti corporate kemasyarakatan dan coporate ethic yang lebih sering digunakan pada tahun 1988-1998. Pada tahun1999-2002, wacana CSR lebih sering digunakan dengan beberapa bentuk yang lebih spesifik


(31)

misalnya sosial dan lingkungan, moral dan etika, dan stakeholder dengan perusahaan serta pemerintah.

Hond, et al. (2007) meneliti laporan tahunan dari perusahaan-perusahan yang berada di tiga negara yaitu Belanda, Kanada dan Swedia. Mereka menggunakan metode analisis isi dengan pendekatan lexicological study. Mereka menemukan bentuk-bentuk wacana CSR yang berkembang seperti nilai moral, nilai etika, lingkungan, dan keberlanjutan. Igbal (2011) dalam penelitiannya menggunakan CDA model Fairclough dan menemukan ada sekitar 18 bentuk wacana CSR dari dua perusahaan yang berbeda. Beberapa diantaranya misalnya Animal and plants discourse, Business discourse, Commitment discourse, Communication discourse, dan Educational discourse.

2.3 CSR 2.3.1 Sejarah

Berikut ini peneliti akan merangkum sejarah penting CSR dari beberapa penulis seperti Carrol (1979, 1999), Solihin (2008), Hond, et all (2007), Buhr dan Grafstrom (2007), Untung (2014), Mardikanto (2014) dan Sunyoto dan Putri (2016).

1950an-1960an. Konsep awal tanggungjawab sosial perusahaan secara eksplisit dikemukakan oleh Howard R. Bowen melalui karyanya “Social Responsibilities of The Businessmen”. Dua hal penting yang perlu diperhatikan dari periode ini adalah 1) buku tersebut ditulis pada saat dunia bisnis belum mengenal bentuk perusahaan korporasi dan 2) judul buku tersebut masih bias


(32)

jender karena di Amerika saat itu pelaku bisnis masih didominasi kaum pria. Kemudian tahun 1960, Keith Davis menambahkan dimensi lain tanggungjawab sosial perusahaan sebagai “businessmen’s decisions and actions taken for reason

at least partially beyond the firm’s direct economic or technical interest” dan

menegaskan adanya “iron law of responsibility”. Inilah yang menjadi cikal bakal bagi identifikasi kewajiban perusahaan yang mendorong munculnya konsep CSR di era 1970an. Pada saat itu mereka menjalankan perusahaan dengan mengadopsi prinsip derma, prinsip perwalian, dan konsep pemangku kepentingan yang diperkenalkan oleh Stanford Research Institute (SRI) pada tahun 1963.

1970an-1980an. Periode ini merupakan babak penting dalam perkembangan CSR ketika para pemimpin perusahaan terkemuka di Amerika serta para peneliti membentuk Committee for Economic Development (CED) pada tahun 1971. CSR dibagi ke dalam tiga lingkaran yaitu 1) inner circle yang mencakup fungsi ekonomi, 2) intermediate circle yang mencakup kesadaran akan perubahan nilai-nilai dan prioritas sosial, dan 3) outer circle yang mencakup kualitas lingkungan. Kemudian pada 1978, Frederick dan Sethi (1979) menawarkan konsep corporate social responsiveness yang maksudnya adalah kapasitas perusahaan dalam menanggapi tekanan sosial. Pada 1979, Carrol mengkategorikan CSR kepada empat kategori yaitu 1) ekonomi, 2) legal/hukum, 3) etika dan 4) filantropi. Pada masa-masa ini juga, varians CSR dengan konsep corporate citizenship mulai berkembang dan juga pemahaman yang lebih luas mengenai stakeholders oleh Freeman (1984).


(33)

1990an-2000an. Pada perkembangan berikutnya, Wood (1991) mengembangkan konsep Carrol (1979), Watrick dan Cochran (1985) menjadi corporate social performance (CSP), di dalamnya mengandung tiga dimensi yaitu 1) dimensi tanggungjawab sosial (ekonomi, etika, hukum, dan filantropi), 2) dimensi kemampuan memberikan respons (reaktif, defensif, akomodatif, proaktif) dan 3) dimensi isu sosial tempat perusahaan terlibat (lingkungan, diskriminasi pekerja, keamanan produk, serta keselamatan pekerja dan pemegang saham). Pada tahun 1987, The Commission on Environment and Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Commission mengeluarkan laporan yang dipublikasikan dengan judul “Our Common Future”. Salah satu poin penting dari laporan tersebut adalah konsep pembangunan berkelanjutan dengan tiga pilar utama yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial yang dipertegas kembali dalam The United Nations 2005 World Summit Outcome Document. Konsep ini sering disebut Triple Bottom Line yang menurut John Elkington (1997) merupakan perluasan dari konsep akuntansi tradisional. Global Reporting Intiative (GRI) didirikan oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) yang harus menjelaskan dampak perusahan terhadap ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam empat aspek berbeda yaitu praktik kerja dan lingkungan yang nyaman, HAM, masyarakat, dan tanggungjawab produk. Pada November 2009, ISO 26000 Standard Social Responsibility dipublikasikan yang mencakup tujuh bidang yaitu pengembangan masyarakat, konsumen, praktik kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, HAM, dan tata kelola organisasi.


(34)

Perkembangan CSR di masa depan ditanggapi secara optimis misalnya Wood (2010) dalam bukunya “Corporate and The Public Interests: Guiding The

Invisible Hand” yang percaya bahwa peranan stakeholder dan pelaku bisnis bisa

mendorong perkembangan CSR menjadi lebih baik untuk jangka panjang. Sebaliknya, ada juga yang kurang optimis seperti David Vogel dalam bukunya “The Market Virtue: The Potential and Limits of Corporate Social Responsibility” yang mengkritik keberhasilan CSR dan motif atau kepentingan dalam pelaksanaannya.

Di Indonesia praktik CSR sebenarnya sudah dimulai sejak 1990an melalui program PUKK (Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi) dan semakin banyak dibicarakan sehingga diterbitkan UU No. 40 tahun 2007 tentang CSR (perseroan terbatas). CSR terus berkembang dengan meratifikasi ISO 26000 tentang panduan CSR pada 1 Nopember 2010. Kementerian Sosial juga memprakarsai terbentuknya Forum CSR Kesejahteraan Sosial pada tahun 2012 (Mardikanto, 2014). Beberapa instrumen hukum lain di Indonesia yang mewajibkan perseroan terbatas untuk melakukan tanggung jawab sosial yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Mineba), Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.


(35)

Kemudian disambung oleh Pasal 16 huruf d menyatakan bahwa setiap modal bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pasal 16 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa setiap penanam modal bertanggungjawab untuk mencipatakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja (httprepository.usu.ac.idbitstreamhandle12345678940709Chapter%20II.pdfseque nce=3&isAllowed=y, diakses Rabu, 26 Juli 2017).

2.3.2 Pengertian

Makna dan konsep CSR hingga saat ini belum memiliki satu defenisi yang stabil sehingga masing-masing ahli atau organisasi seringkali mendefenisikannya sesuai dengan konteks mereka masing-masing. Dahlsrud (2008) pada penelitiannya menemukan ada sebanyak 37 defenisi CSR. Beberapa defenisi yang dia sebutkan misalnya:

Corporate social responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as the local community and society at large-World Business Council for Sustainable Development (2000).

Corporate social responsibility is essentially a concept whereby companies decide voluntarily to contribute to a better society and a cleaner environment-Comission of The European communities (2001).

CSR is concerned with treating the stakeholders of the firm

ethically or in a responsible manner. ‘Ethically or responsible’

means treating stakeholders in a manner deemed acceptable in civilized societies. Social includes economic responsibility. Stakeholders exist both within a firm and outside. The wider aim of


(36)

social responsibility is to create higher and higher standards of living, while preserving the profitability of the corporation, for peoples both within and outside the corporation- Hopkins (2003).

Ahli lain, Coombs dan Holladay (2012) dalam Igbal (2011) menyatakan CSR adalah “the voluntary actions that a corporation implements as it pursues its mission and fulfills its percieved obligation to stakeholders, including employees, communities, the environment, and society as a whole”. Oliver Laas dalam Mardikanto (2014) yang menempatkan CSR sebagai strategi bisnis mengartikan CSR sebagai strategi bersaing (Porter dan Kramaer), strategi pengelolaan sumberdaya alam (Wenerfelt dan Banney), strategi memuaskan stakeholders (Freeman), strategi mengatasi isu dan krisis (Ansoff) dan sebagai implementasi strategi filantropi, manajemen lingkungan, dan penilaian dampak.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa CSR adalah konsep manajemen yang memiliki makna yang samar dan dinamis, sehingga maknanya sering menyesuaikan situasi, konteks dan siapa pelakunya. Walau demikian, komisi Brundtland dalam Mardikanto (2014) telah menetapkan prinsip-prinsip CSR yang bisa menjadi acuan meliputi prinsip akuntabilitas, prinsip perilaku etis, prinsip menghormati kepentingan stakeholders, prinsip penghormatan pada supremasi hukum, prinsip menghormati norma-norma perilaku internasional dan prinsip menghormati hak asasi manusia.


(37)

2.3.3 Ruang Lingkup CSR

Pada awal abad 21, PBB mempunyai sebuah agenda besar pembangunan di seluruh dunia yang dikenal dengan Millennium Development Goals (MDG’s) 1990-2015 yang terdiri dari 8 butir (Mardikanto, 2014) yaitu 1) pemberantasan kemiskinan dan kelaparan ekstrim, 2) tercapainya pendidikan dasar secara universal, 3) dikedepankannya kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, 4) pengurangan kematian anak balita, 5) perbaikan kesehatan ibu, 6) peperangan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, 7) kepastian keberlanjutan lingkungan dan 8) pengembangan kemitraan global untuk pembangunan.

Dari situ kemudian, para ahli dan pelaku bisnis mengembangkan model CSR yang sesuai untuk merespon agenda pembangunan tersebut. Geva (2008) mengemukakan paling tidak ada tiga model CSR berkembang saat ini. Model piramida (mengikuti model Carrol (1979)). Asumsi yang mendasari pusat piramida adalah prioritas/hierarki tanggungjawab dimana tanggung prioritas adalah ekonomi, sehingga CSR dalam perumusan piramida dasarnya akomodatif. Model penampang lingkaran. Asumsinya adalah mengakui kemungkinan keterkaitan antara domain CSR dan menolak urutan hierarkis tanggungjawab. Model lingkaran yang memusat. Model ini berasumsi bahwa adanya saling ketergantungan diantara domain CSR sehingga sangat berbeda dengan model 1 dan 2 yang berfokus pada ketegangan bisnis dan masyarakat. Model ini mendefenisikan bahwa peran semua domain sama yakni meningkatkan kebaikan masyarakat.


(38)

Gambar 2. 1 Model Penampang Lingkaran

Gambar 2. 2 Model Lingkaran yang Memusat

Gambar 2. 3 Model Piramida

Elkington (1998) berpendapat bahwa kesuksesan perusahaan dalam menjalankan tanggungjawab sosialnya harus diukur dari tiga perspektif utama atau yang dikenal sebagai triple bottom line yaitu ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan. Untuk pembangunan berkelanjutan, tanggungjawab perusahaan harus mencakup dimensi ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan. Tanggungjawab tersebut bukan semata-mata untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, atau sebatas memenuhi kewajiban yang tertera dalam regulasi atau undang-undang. Tanggungjawab tersebut juga merupakan tanggungjawab moral dan tindakan etis


(39)

dalam praktik perusahaan (Dixon, 2014; Igbal, 2011; Idowu dan Celine, 2011). Waldman (2009) dalam Sunyoto dan Putri (2016) menjelaskan bahwa CSR dilakukan sebagai upaya menjalin hubungan baik dengan anggota masyarakat sehingga dapat mengurangi efek negatif yang ditimbulkan oleh keberadaan perusahaan. Tujuan utama program CSR adalah untuk keberlanjutan jangka panjang perusahaan. Jadi wacana CSR paling tidak harus dilihat dari perspektif triple bottom line yang mencakup dimensi ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.

2.3.4 Contoh Bentuk-Bentuk Wacana CSR

Berikut ini beberapa contoh bentuk-bentuk wacana CSR dan ragam kata yang khas yang digunakan untuk menggambarkan wacana yang bersangkutan (Igbal, 2011; Hond, et al., 2007; Morris, 2016).

Tabel 2. 1 Contoh Bentuk-Bentuk Wacana CSR (Tanggungjawab Sosial Perusahaan)

No. Discourse Typical words

1 Environmental discourse

Environmental sustainability, energy efficiency, waste recovery, nature, greenhouse, factories, biofuels, ecosystem, life cycle approach, , emissions, CO2, eco- design recycle, methane, renewable, F-gasses, chemicals, industrial, air acidification, Ozone depleting, solar energy, polyester, degradation, salinity, hydrocarbon, reduce the effect, climate change, biodiversity, energy, global warming, protected ranch,

2 Water discourse Water challenge, freshwater, water saving and cleaning, water challenges, water recycled, water discharged, water bodies, bottled water, withdrawals, water management, hydration, water


(40)

scarcity, water

3 Food discourse food, milk, coffee, cocoa, water, freshwater, taste and nutrition, sugar, soya, vanilla, breakfast, cereal 4 Disaster discourse Natural disaster, relief, contributed, emergency,

initiative, donations 5 Animal and plants

discourse

Livestock, animal welfare, animal husbandry, raised, species, breed, dairy farms, meat and fish, slaughter, cocoa, vegetation, conservation, regeneration, trees planted, palm, plantations, planting, seedlings, grow, irrigation,

6 Health/Disease Infected, HIV, malaria, serious diseases, Chronic, diabetes, diarrheal , cancer, treatment, deaths, cardiovascular, osteoporosis , health, wellness, Gastrointestinal, hyperphosphataemia, ageing, Alzheimer’s, healthy kids, maternal health, reduce child mortality, sick, healthy, healthcare, hygiene 7 Human Rights

discourse

Basic Principles of Human Resources Management, discrimination, forced or child labour, freedom of association, non discrimination, conditions of work, complaints and grievance practice, Universal Declaration of Human Rights, UNGC, Human Rights Risk Management System, FTSE4Good 8 Labour discourse Labour practices, child labour, labour rights, labour

unions, forced labour, exploitation, Fair Labour Association, Child Labour Action Group, high risk, regulation, labour conditions, labour law, ILO, Work together, collective bargaining, workforces 9 Stakeholder

discourse

Customers, employees, our people, shareholders, business partners, NGOs, farmers, traders, key processors, civil society, public policy , public sector, multi-stakeholder initiatives, engagement, suppliers, dealers, expectations, relation with stakeholders, relationship, open and fair communication, dialogue, long term relationship, customer satisfaction, mutual support, co-existing , supply chain

10 Educational discourse

Healthy kids education, innovation, counseling, learning, making informed, Nestlé Nutrition Institute, schools, teachers, curriculum, text books,


(41)

Programs, educational systems, training, technical skills, scholarships, literacy, human resource development

2.3.5 Pro dan Kontra

Tanggungjawab utama pimpinan perusahaan adalah meningkatkan profit bagi para pemilik perusahaan atau investor. Artinya perusahaan harus untung. Walau demikian, mereka juga harus berkontribusi pada berbagai permasalahan lingkungan dan sosial yang bisa mengurangi pendapatan perusahaan. Hal ini kemudian menimbulkan persoalan yang tidak mudah karena adanya kepentingan yang tarik menarik, antara shareholders (orang yang berkepentingan) dan stakeholders (yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung).

Menurut Freeman (1984) dalam Plantos (2001) ada empat level stakeholders. Pertama, level sistemik yang termasuk sistem bisnis, sistem sosial, atau sosial dalam arti lebih luas seperti hukum, politik, media, budaya dan alam. Kedua, level operasi yang meliputi supplier, distributor, kompetitor, konsumen, kreditor dan komunitas lokal. Level ketiga berada di antara perusahaan, seperti para atasan dan bawahan, para pekerja dan serikat buruh. Level keempat adalah orang-orang penting yang dekat dengan para pemangku kepentingan seperti keluarga, teman dan lain sebagainya.

Tanggungjawab perusahaan memang perlu dipertegas karena pada kenyataannya banyak CSR hadir hanya sebatas formalitas. Selain itu, banyak juga CSR hadir hanya sebagai kaki tangan perusahaan untuk meraup keuntungan lebih banyak. Friedman (1970) dan Carr (1996) misalnya dalam Plantos (2001)


(42)

perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan, sekaligus sebagai brand image atau alat legitimasi perusahaan yang ramah lingkungan dan bertanggungjawab. Selain itu, beberapa di luar perusahaan misalnya konsultan bisnis, media atau yang lain mengambil kesempatan ini sebagai cara untuk mencetak pekerjaan dan pendapatan (Hond, et al., 2007). Perdebatan terkait wacana CSR banyak muncul karena berbagai permasalahan sosial dan lingkungan yang terjadi, kegagalan perusahaan dalam menjalankan tanggungjawabnya dan perkembangan pemikiran kritis yang berorientasi kepada kepentingan orang banyak.

2.3.6 Aktor Penyebaran CSR

Konsep CSR sama seperti konsep manajemen lainnya seperti total quality management (TQM) dan new public management (NPM). Konsep CSR mengalami perubahan seiring perjalanan waktu dan dilegitimasi oleh berbagai aktor bahwa menerapkan CSR mampu meningkatkan kesuksesan perusahaan. Konsep CSR yang mengalami konstruksi-rekonstruksi yang berkesinambungan disebarkan oleh berbagai aktor seperti pemerintah, perusahaan, konsumen, LSM, sekolah, peneliti, dan media (Hond, et al., 2007; Tang, 2012). Iqbal (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa perusahaan memiliki pengaruh yang besar dalam mengkonstruksi wacana CSR. Tang (2012) menemukan bahwa pemerintah lewat kebijakan dan peraturan yang dibuat memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat dalam pemahaman CSR. Windell (2007) menemukan bahwa konsultan bisnis juga memiliki peranan yang besar dalam menjual serta mengkomersialkan CSR sebagai sebuah bentuk manajemen baru dalam


(43)

juga demikian lewat seminar-seminar, buku-buku atau jurnal ilmiah dan pengajaran yang dilakukan di dalam kelas. Nielsen dan Thomsen (2013) dalam Nielsen, et al. (2013) mengatakan bahwa selain laporan tahunan, relasi perusahaan dengan lingkungannya, dan dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya juga sangat berpengaruh dalam membangun wacana CSR.

2.4 Media

Saat ini, media bisa dipahami sebagai pusat realitas masyarakat. Media merupakan tempat mekanisme representasi dan sekaligus menjadi sumber atau referensi untuk memahami realitas yang direpresentasikan (Couldry, 2003). Media dapat kita pahami sebagai pembawa pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan. Ketika media tersebut membawa pesan kepada banyak orang maka kita menyebutnya sebagai media massa. Media massa yang kita gunakan secara umum adalah radio, televisi, surat kabar (surat kabar), film, majalah dan buku (Happer dan Phillo, 2013; Baran, 2011; Hjavard, 2008; Laughey, 2007).

Selanjutnya akan dibicarakan lebih khusus mengenai surat kabar. Surat kabar adalah satu bentuk media yang memiliki pengaruh dan jangkauan yang luas karena sifatnya yang massive (Laughey, 2007). Sebelum kehadiran televisi dan radio, surat kabar adalah salah satunya sumber utama informasi masyarakat. Surat kabar pertama sekali lahir sekitar tahun 1400an di Jerman dalam bentuk pamflet berita dan sekarang, kita sudah bisa menemukan beragam surat kabar dengan berbagai bahasa dan bahkan, hampir semua surat kabar sudah memiliki versi digital (online). Tidak bisa dipungkiri, surat kabar memiliki peranan yang besar


(44)

orang (http://www.historicpages.com/nprhist.htm, 2016). Bell (1991) menjelaskan bahwa surat kabar tentu memiliki gaya yang berbeda dengan media yang lain dan bahkan sesama surat kabar pun pasti akan memiliki perbedaan walaupun konten (isi) yang hendak disampaikan adalah sama.

2.4.1 Isi, Nilai dan Bentuk Berita

Isi surat kabar terdiri dari tiga bagian (kategori) utama yaitu news (berita), views (ulasan, pandangan, komentar), dan advertisement (iklan, lowongan pekerjaan). Secara khusus bagian berita, nilai yang dimiliki suatu berita adalah sangat penting karena itu akan menentukan bagian berita yang mana akan dihadirkan. Ada tiga nilai dalam suatu berita yaitu 1) nilai dalam aktor berita dan peristiwa yang meliputi kebaharuan, kedekatan, negativity, kecocokan, unambiquity, unexpectedness, hubungan, superlativeness, personalisasi, eliteness, attribution, dan facticity; 2) nilai dalam proses berita yang meliputi kontinuitas, kompetisi, Co-option, komposisi, predictability, dan prefabrication; dan 3) nilai dalam teks berita yang meliputi kejelasan, brevity, dan warna. Bentuk berita pada umumnya terdiri dari tiga bagian yaitu judul berita (headline), teras berita (lead) dan tubuh/kelengkapan berita (body). Berita ini biasanya ditulis dengan prinsip primida terbalik, artinya hal terpenting dikemukakan terlebih dahulu baru informasi tambahan (kurang penting) lainnya (Sedia Willing Barus, 2010; Abdul chaer, 2005; Prunama Kusumanigrat dan Hikmat Kusumanigrat, 2005; Kustadi Suhandang, 2004; Bell, 1991).


(45)

Media pada umumnya memiliki fungsi seperti fungsi informatif, fungsi kontrol, fungsi interpretatif dan direktif, fungsi menghibur, fungsi regeneratif, fungsi pengawalan hak-hak warga negara, fungsi ekonomi, dan fungsi swadaya. Wartawan yang bekerja pada media bersangkutan memiliki tugas utama untuk mengumpulkan dan menulis berita (jurnalisme). Ada sembilan elemen penting dalam dunia jurnalisme yaitu 1) loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga; 2) tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri; 3) kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; 4) intisari jurnalisme adalah sebuah disiplin verifikasi (prinsip intelektual dari laporan ilmiah); 5) wartawan harus tetap independen dari pihak yang mereka liput; 6) wartawan harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan (menyambung lidah yang tertindas); 7) jurnalisme harus menghadirkan sebuah forum untuk kritik dan komentar publik; 8) wartawan harus membuat hal yang penting menjadi menarik dan relevan; dan 9) wartawan harus menjaga berita dalam proporsi dan menjadikannya komprehensif (Sularto, (ed.), 2013; Barus, 2010; Andreas Harsono, 2010; Tim Buku Kompas, 2008; Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2006; Purnama dan Hikmat, 2005; Iswara, 2005).

2.4.3 Proses dan Faktor yang Mempengaruhi dalam Menghimpun Berita

Para redaktur dan pemimpin redaksi/pelaksana biasanya selalu mengadakan rapat untuk menentukan berita-berita apa saja yang mengisi


(46)

diliput, para redaktur kemudian berkoordinasi dengan wartawan atau koresponden mereka yang berada di luar kota. Jadi, ada sebuah checklist atau planningsheet yang harus dikerjakan atau dikumpulkan oleh para wartawan. Setelah semua materi dikumpulkan, wartawan akan membuat sebuah tulisan lalu diserahkan ke meja redaktur. Di meja redaktur akan dilakukan penulisan dan penyuntingan berita. Kemudian, para redaktur dan pimpinan redaksi akan mengadakan rapat kembali untuk menentukan berita-berita apa saja yang akan diterbitkan dan berita yang menjadi headline (berita utama). Dalam proses menghimpun atau produksi berita tentu ada banyak faktor yang bisa menjadi kendala dan mempengaruhi konten berita misalnya 1) pekerja individu lembaga (perilaku, sikap, keyakinan, latar belakang dan karakteristik pekerja); 2) struktur organisasi atau kepemilikian dan rutinitas yang ada di dalamnya; 3) ideologi (visi-misi) yang dihidupi sebuah lembaga dan 4) 3) faktor eksternal yang ada diluar lembaga seperti aturan pemerintah, pemasang iklan dan audiens, pasar dan teknologi (Purnama dan Hikmat, 2005; Shoemaker dan Reese, 1996).

2.4.4 Strategi Media dalam Mengkonstruksi Realitas (Berita)

Pekerjaan utama dari media adalah menceritakan (konseptualisasi) berbagai peristiwa, keadaan atau benda, sehingga tugas utama media adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang akan dipublikasikan. Media mengkonstruksi suatu realitas dari berbagai peristiwa menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Jadi, semua isi media adalah realitas yang sudah dikonstruksikan. Dalam kerangka pembentukan opini publik (konstruksi realitas), media umumnya


(47)

melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies), dan melakukan fungsi agenda media (agenda setting).

Pertama, semua isi media (khususnya surat kabar) adalah bahasa baik itu kata, angka, gambar ataupun grafis. Dalam proses konstruksi, bahasa menjadi instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa menjadi alat konseptualisasi dan alat narasi. Untuk media, bahasa bukan hanya sebatas alat untuk menceritakan sebuah realitas tetapi juga penentu makna (citra) mengenai suatu realitas yang akan muncul di benak pembaca. Pilihan kata yang berbeda akan menentukan makna yang berbeda pula. Giles dan Wiemann menjelaskan bahasa bisa menentukan konteks. Melalui bahasa (pilihan kata, gambar, dan cara penyajiannya), media dapat mempengaruhi orang lain atau memanipulasi konteks (Hamad, 2004). Pemilihan kata atau simbol (tanda), pertama-tama bertujuan untuk membangkitkan makna karena tanda selalu dapat dipersepsi oleh perasaan (sense) dan pikiran (reason) manusia. Dengan akal sehat, seseorang akan menghubungkan sebuah tanda pada rujukannya (reference) untuk menemukan makna tanda tersebut. Ada beberapa cara media dalam mempengaruhi makna yaitu mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya, memperluas makna lama dan istilah-istilah lama, mengganti makna lama dengan istilah makna baru dan memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa (Menant, 2014; Hamad, 2004).

Apapun simbol (kata, angka, gambar ataupun grafis) yang dipilih akan mempengaruhi makna yang muncul. Makna yang muncul akan memberikan dampak (impact) karena tanda tersebut memiliki kekuatan (power). Pemilihan


(48)

dikatakan bahwa makna yang dibangun dari penggunaan simbol-simbol (bahasa) mendorong lahirnya sebuah tindakan dan tindakan tersebut akan melahirkan sebuah realitas baru (Hamad, 2004; Couldry, 2003).

Gambar 2. 4 Hubungan antara Makna dan Realitas

Kedua, media melakukan strategi pengemasan/pembingkaian (framing) suatu peristiwa. Keterbatasan kolom dan halaman menyebabkan suatu peristiwa sulit ditampilkan secara utuh. Dengan kata lain, sebuah peristiwa yang panjang akan ‘disederhanakan’ dengan kaidah-kaidah jurnalistik melalui pembingkaian fakta-fakta sehingga layak terbit. Media hanya akan menyoroti dan menyajikan hal-hal penting (mempunyai nilai berita) saja. Pembuatan frame itu juga didasarkan oleh berbagai kepentingan internal maupun ekstenal media baik secara teknis, ekonomis, politis maupun ideologis. ‘Aturan dan norma’ yang terjadi dalam proses pengemasan ini menjadi hal yang sangat penting sehingga sebuah isu atau berita memiliki makna. Atas dasar frame tertentu, sejumlah fakta diberlakukan sedemikian rupa sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, dan bahkan dihilangkan sampai terbentuk suatu wacana yang bermakna. Ketiga, media melakukan fungsi agenda settingnya dengan menyediakan sebuah ruang dan waktu bagi sebuah peristiwa. Semakin besar


(49)

peristiwa tersebut. Dampak dari agenda setting adalah lahirnya sebuah realitas di benak masyarakat. Apa yang disajikan, itu pula yang akan diingat mereka (Hamad, 2004).

Dari ketiga tindakan tersebut, gambaran (citra) sebuah realitas tergantung pada bagaimana media massa menggunakan simbol-simbol bahasa (language), mengurut-urutkan fakta (framing setting) dan memberikan kesempatan (ruang dan waktu) untuk sebuah peristiwa yang dikomunikasikan kepada publik. Satu hal harus disadari bahwa media berfungsi sebagai pembentuk gambaran realitas yang sangat berpengaruh terhadap banyak orang. Interpretasi media atas suatu peristiwa dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu peristiwa (realitas) apalagi bila media tersebut temasuk media prestisius yang biasa dirujuk publik dalam berperilaku (Hamad, 2004).

2.4.5 Kerangka Teori


(50)

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pengantar

Media bukanlah sebatas sumber informasi, namun kerap juga menjadi pendorong (trigger) perubahan sosial di dalam masyarakat. Banyak aspek dari media massa yang membuat dirinya menjadi sangat penting dalam perubahan sosial seperti yang sudah disebutkan sebelumnya seperti jangkauannya yang sangat luas, kemampuannya dalam melipatgandakan pesan, kemampuannya dalam membentuk rantai informasi (Hamad, 2004; Eriyanto, 2001). Media memiliki peranan yang sangat penting dalam komunikasi dan pembuatan wacana publik. Bahasa yang digunakan oleh media bukanlah fenomena netral sehingga diperlukan analisis kritis terhadap penggunaan bahasa tersebut. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai pendekatan dan metode penelitian yang digunakan.

3.2 Paradigma, Strategi dan Fokus Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan paradigma kritis dimana paradigma ini melihat wacana sebagai bentuk praktik sosial (Arifin, 2012; Eriyanto, 2001). Secara ontologisme, paradigma ini menganggap bahwa realitas dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik dan lain sebagainya dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004).

Dalam pandangan kritis, ada beberapa hal penting yang menjadi pertimbangan dalam analisisnya. Pertama, wacana dipandang sebagai tindakan


(51)

sebagainya. Kedua, konteks (aspek historis) seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi juga memiliki peranan yang penting dalam membentuk makna/wacana. Ketiga, wacana bukanlah sesuatu yang netral tetapi sebuah pertarungan kekuasaan. Terakhir, ideologi suatu media bersifat sosial tidak personal dan biasa digunakan anggota kelompok tertentu sebagai sikap atau identitas yang membedakan dengan kelompok lain (Eriyanto, 2001)

Dengan paradigma kritis ini, strategi penelitian yang dipilih adalah analisis wacana kritis. Dalam analisis wacana kritis, ada lima pendekatan utama yaitu pendekatan analisis bahasa kritis (critical linguistics), pendekatan Prancis (French discourse analysis), pendekatan kognisi sosial (social cognitive approach), pendekatan perubahan sosial budaya (sociocultural change approach), dan pendekatan wacana sejarah (discourse historical approach). Pada penelitian ini akan dipilih pendekatan perubahan sosial budaya yang memandang wacana sebagai praktik sosial dimana dalam praktik tersebut ada hubungan dialektis antara praktik diskursif dengan identitas dan relasi sosial. Wacana juga melekat dalam institusi, kelas sosial dan situasi tertentu. Pendekatan ini dikembangkan oleh Fairclough (Eriyanto (2001). Dengan pertanyaan penelitian yang sudah disebutkan pada BAB I, maka fokus penelitian ini adalah bentuk wacana CSR dan realitas dibalik teks CSR pada Kompas tahun 2007-2016.

3.3 Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dan metode yang digunakan yaitu metode analisis wacana kritis dengan pendekatan perubahan sosial budaya


(52)

memahami teks dan konteks sekaligus untuk memahami sebuah fenomena, karena suatu wacana memiliku unsur yang saling mempengaruhi wacana dan sosial. Kerangka analisis wacana kritis (CDA) dari Faiclough akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi yaitu teks, praktik diskursif dan praksis sosial. Pertama, teks adalah semua yang mengacu ke wicara, tulisan, grafik, dan kombinasinya atau semua bentuk lingustik teks. Dimensi teks dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata (perbendaharaan kata), penggunaan istilah dan metafora yang mengacu ke makna atau tindakan tertentu.

Kedua, praktik diskursif adalah semua bentuk produksi dan konsumsi teks. Pada dimensi ini ada dua hal yang diperhatikan yaitu intertextuality yang diartikan sebagai hubungan antar teks yang satu dengan yang lain dan interdiscursivity masih bagian dari intertextuality yang merupakan hubungan antara genre, wacana dan style.

Berikutnya adalah dimensi praksis sosial-budaya yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks meliputi banyak hal seperti situasi, institusional dan sosial budaya. Teks dihasilkan dalam suatu kondisi yang khas sehingga ia berbeda dengan teks yang lain. Faktor-faktor institusi penting yang berhubungan dengan ekonomi media juga akan memberikan pengaruh dalam produksi berita misalnya pemasang iklan dan pembaca. Pemilik, media lain yang sejenis, dan institusi politik (pemerintah) juga memberikan pengaruh dalam produksi berita. Aspek sosial yang mencakup situasi ekonomi politik dan juga


(53)

wacana (Iqbal, 2011; Hamad, 2004; Eriyanto, 2001; Sheyholislami, 2001; Janks, 1997). Fairclough (2010) juga menyarankan supaya peneliti 1) berfokus pada “ketidakberesan sosial” dalam aspek semiotiknya, 2) mengidentifikasi hambatan -hambatan untuk menangani “ketidakberesan sosial” tersebut, 3) mempertimbangkan apakah “ketidakberesan sosial” tersebut dibutuhkan dan 4) mengidentensifikasi cara-cara yang mungkin untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut (Haryatmoko, 2016).

Gambar 3. 1 Dimensi Wacana Fairclough

3.3.1 Kerangka Analisis

Dengan model Fairclough ada tiga tahap analisis yang digunakan. Pertama, tahap deskripsi, yaitu tahap yang menguraikan isi (konten) dan analisis secara deskriptif atas teks. Kedua, tahap interpretasi, yaitu menafsirkan teks dihubungkan dengan praktik wacana yang dilakukan. Ketiga, tahap eksplanasi, yaitu penjelasan atas penafsiran pada tahap kedua dengan menghubungkan proses produksi teks dengan konteks dimana media itu berada. Tahap deskripsi masuk ke


(54)

dan tahap eksplanasi masuk ke dalam analisis makro. Berikut ini gambar dan tabel kerangka analisis wacana Fairclough (Hamad, 2004; Eriyanto, 2001; Haryatmoko, 2016).

Gambar 3. 2 Kerangka Analisis Wacana Fairclough

Tabel 3. 1 Level Analisis dan Metode Penelitian

No. Level Masalah Level analisis Metode penelitian 1 Praksis sosial budaya Makro Literatur atau wawancara 2 Praktik diskursif Meso Literatur atau wawancara

3 Teks Mikro Perseptif (naluriah) dan Teks

eklektif

Pada level mikro, teks yang relevan dengan isu-isu CSR akan menjadi pusat analisis. Di sini, pertama sekali teks dianalisis secara perseptif atau naluriah dengan cara membaca teks berkali-kali untuk identify the main parts of the world


(55)

yang disarankan Fairclough (2003). Kemudian, analisis teks eklektif akan dipakai karena sesuai keperluan penelitian dimana berita mencakup minimal tiga aspek yaitu perlakuan atas berita (agenda setting), strategi pengemasan (framing strategies) dan penggunaan simbol-simbol CSR (language of CSR). Pada level ini, teks diurai dan dianalisis secara deskriptif. Berikut tabel instrumen analisis teks eklektif yang dikutip dari Gamson dan Modigliani dalam Hamad (2004).

Tabel 3. 2 Instrumen Analisis teks Eklektif Unsur kerangka teori Unsur pembentuk teks Evidensi Alat pembuktian Bukti

dalam teks Makna Fungsi agenda setting Perlakuan atas peristiwa

Tema yang diangkat

Strategi framing

Sumber yang dikutip

Penempatan berita Nama atribut sosial dan sumber

Cara penyajian

Pilihan fakta yang dimuat

Struktur penyajian Fungsi bahasa Simbol yang

digunakan

Verbal: kata, istilah, frase

Nonverbal: foto, gambar

Jalan pikiran (kesimpulan) yang dibuat:

Pada level meso, akan dilakukan dengan studi pustaka atau wawancara dengan perusahaan (atau pihak pengelola media) yang menjadi objek penelitian. Penggalian data dipusatkan pada proses pembuatan teks (CSR) dan termasuk


(56)

pusat penggalian data dihubungkan dengan “text consumtion” yaitu bagaimana faktor pembaca menjadi pertimbangan dalam penyusunan teks. Pada level ini ada sebuah proses interpretasi atas teks dengan menafsirkannya dengan praktik wacana yang dilakukan.

Pada level makro, penjelasan atas penafsiran pada tahap kedua dengan menghubungkan proses produksi teks dengan konteks (sosial budaya, ekonomi dan politik) dimana media itu berada. Untuk memahami hal tersebut, penggalian data dengan studi pustaka atau wawacara akan dilakukan untuk memahami konteks lebih mendalam.

3.3.2 Prosedur Penelitian

Penelitian yang menggunakan analisis wacana, kesibukan utamanya adalah mencari makna dari tanda-tanda dari teks yang dikaji. Tahap penelitian diawali dengan pengumpulan data berupa teks-teks CSR pada Kompas dari tahun 2007-2016. Setelah masuk (log in) pada data base, akan ditemukan laman pencarian data seperti Gambar 3.3 di bawah ini.


(57)

Gambar 3. 3 Form Pencarian Data

Pada form pencarian data di atas, ‘Sumber’ dipilih ‘semua’ karena sumbernya bisa berupa kata-kata maupun gambar. ‘Media’ dipilih adalah ‘Seluruh Kompas’ supaya halaman tambahan seperti berita daerah juga masuk. ‘Tanpa Arsip iklan’ tidak dicentang sehingga iklan juga ikut masuk. Berikutnya, ‘Kata Kunci’ diketikkan ‘CSR’ dan pada ‘Waktu’ dipilih ‘Antara’ dengan tanggal, bulan dan tahun yang lengkap yaitu 2007-01-01 sampai dengan 2016-12-31. Selain itu, tidak ada yang berubah seperti tampilan di atas, lalu ‘cari’ dan akan muncul tampilan seperti Gambar 3.5 di bawah ini.


(58)

dipilah-pilah dan dikelompokkan berdasarkan tahun, bulan dan berdasarkan kategori (news, views, advertisement). Setelah pemilahan dan pengelompokan data dilakukan, maka analisis perseptif (naluriah) dengan cara yang disarankan Fairclough (2003) yaitu identify the main parts of the world (including areas of social life) which are represented – the main ‘themes dilakukan pada rangkuman saja (bukan teks penuh/full text) karena jumlah data yang banyak dan waktu yang terbatas tidak memungkinkan untuk menganalisis keseluruhan data dengan teks penuh. Cara ini juga tepat dilakukan karena pada prinsipnya penulisan news atau views dibuat dengan bentuk piramida terbalik sehingga bisa dikatakan bahwa rangkuman tersebut adalah bagian pokok (terpenting) dari keseluruhan teks. Selanjutnya, analisis secara perseptif (naluriah) dilakukan pada teks penuh dengan kategori news atau views pada bulan tertentu pada setiap tahunnya. Bulan yang dipilih adalah bulan yang memiliki jumlah data dengan kategori news atau views terbanyak. Setelah itu, satu data yang sangat relevan dari masing-masing bulan tersebut dipilih untuk dianalisis menggunakan teks eklektif. Data yang dipilih adalah kategori berita (news) dimana penulisnya menggunakan nama inisial (bukan nama lengkap/byline). Cara ini dipilih karena berita adalah produk asli yang merupakan hasil konstruksi media bersangkutan dan penggunaan inisial adalah salah satu cara suatu lembaga media menutupi kelemahan para wartawannya yang belum memiliki kemampuan menulis dengan baik sehingga peranan (kontribusi) editor atau redaktur sangat besar atas teks yang akan dipublikasikan. Dengan kata lain, dengan penggunaan inisial berarti berita yang dimuat merupakan suara lembaga/institusi itu sendiri bukan hanya perseorangan


(1)

A: Jadi untuk masalah background perusahaan, agak sulit untuk menolak ya Pak? Walaupun kita sudah tahu ada beberapa kasus pada perusahaan A tapi ingin memasang iklan, agak susah menolaknya. B: Ya susah, kita bisa digugat juga. Apa dasarnya anda menolak iklan saya? Saya punya uang, materi untuk memasang iklan, mengapa anda tolak? Apa alasannya? Saya apa, kamu kira apa?

A: Berarti masalah iklan, siapa saja boleh memasang iklan, yang penting memenuhi kriteria dan standar Kompas gitu ya Pak?

B: Ya boleh, yang penting materinya tidak berlawanan dengan hukum.

A: Untuk pembuatan iklan mereka langsung membuatnya atau Kompas juga ikut membuat?

B: Biasanya mereka ya, mungkin ada yang minta tolong juga kali ya, desainnya dibantu paling. Iklan itu sekarang juga kan banyak. Kalau dulu itu kan, di Kompas itu ngantri iklannya, sampai berhari-hari. Untuk memasang iklan, susah. Sekarang, ya kita harus aktif juga.

A: Kalau dengar-dengar Kompas memiliki pendapatan iklan yang lebih besar dari koran-koran lain, bagaimana pendapat Bapak?

B: Kita ga melihat perbandingannya ya, tapi secara pribadi kayaknya iya, tapi kalau melihat secara fakta, saya belum.

A: Karena pemasang iklan selalu memasang iklan di tempat yang terpercaya ya Pak?

B: Ya kita kan bisa melihat iklan Kompas kayak apa, gimana, bandingin dengan koran lain, harganya misalnya, jadi orang masang iklan di Kompas itu, premium, Kompas itu produk premium, diupayakan sebagai produk premium, produk unggulan. Jadi orang masang itu (iklan) masih merasa bangga.

Perusahaan kira-kira gini loh, perusahaan itu belum diakui, belum besar kalau belum memasang iklan di Kompas, perguruan tinggi kalau belum pasang iklan di Kompas, belum gede, belum terpercaya, itu kira-kira. Produk unggulan, makanya itu orang ya mati-matian walaupun harganya mahal, pasti pasang iklan di Kompas. Itu tetap kita jaga karena kepremiumannya itu. Kita tetap jaga supaya orang merasa bangga masang iklan di Kompas dan merasa ada manfaat lain, ada gengsinya gitu loh, aku pasang di sini, semua orang mengakui, itu hebatnya perusahaan, kira-kira begitu. Yang dijaga itu, jangan sampai orang pasang iklan terus tidak merasa bangga, dan tidak ada benefit apa-apa.

A: Jadi Kompas juga berusaha dengan kepremiumannya itu tidak akan membuat pemasang iklan menyesal kalau meletakkan iklan di sini (kompas)?

B: Ya, ya. Kepremiumannya tetap kita jaga, bisa kau bayangkan untuk yang tidak premium kayak apa. A: Apakah ada agenda prioritas dari Kompas mungkin karena para pendiri yang basicnya pendidikan? B: Ya kita meneruskan pesan-pesan beliau-beliau itu. Ya itu tadi pesan beliau, untuk membantu penyebaran informasi yang baik, untuk membela kemanusiaan, menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan, humanisme transendental

A: Tapi agenda spesifik seperti pendidikan, pembangunan tidak ada ya Pak?

B: Itu digarap secara simultan merata karena kita koran pendidikan bukan, koran pemerintahan bukan, jadi semua digarap karena ada segmen-segmennya itu masuk yang namanya umum. Itu orang umum bisa


(2)

219 membaca semuanya. Ibaratnya masuk mall, supermarket, kita mau beli apa saja ada. Jadi Kompas tidak semua (halaman) mau dibaca orang toh? Orang ekonom tidak membaca pendidikan, yang pendidikan tidak baca politik, tapi kayak masuk mall. Masak makanan di mall mau di makan semua? Ya sukanya apa gitu kan? Ini juga gitu, sama. Jadi kita tidak berharap semua pembaca nelan semua berita satu koran itu, ga. Karena ada ketertarikannya masing-masing. Siapapun bisa beli, cari sesuai bidangnya, semua ada. A: Karena topik saya adalah tanggung jawab sosial, apakah Kompas sendiri ada program tersendiri dengan CSR/tanggung jawab sosialnya kepada lingkungannya, yang tadi Yayasan Dana Kemanusiaan terpisah ya Pak, kalau dari Kompas sendiri bagaimana?

B: Ya itu (dana kemanusiaan) filantropi. Itu (CSR) ada ditangani oleh humas. Ya sebenarnya kalau tugas Kompas sendiri untuk CSR, perjuangan dalam pembelaan kebaikan, kemanusiaan, itu kan sudah bagian dari perjuangan tanggung jawab moralnya juga kan? Tapi kita juga ada kegiatan-kegiatan membantu, banyak bantuan yang diberikan Kompas. Di depan (kantor Kompas) ada juga Bentara Budaya,

memberikan panggung hiburan bagi seluruh Indonesia, yang mau tampil disitu, kita siapin segala macam. Terus yang Dana Kemanusiaan Kompas itu saya sebut bukan CSR, itu filantropi media karena bedanya filantropi dan CSR, kalau CSR itu uang yang disisihkan oleh perusahaan, kalau Dana Kemanusiaan Kompas itu filantropi, dananya dari masyarakat walaupun awalnya Kompas ikut memberikan modal. Itu yang kita gulirkan dari masyarakat.

A: Dari pengalaman saya di Jogja, ada banyak kegiatan, mereka sering memberikan proposal ke Kompas. Mereka sering mendapatkan bantuan, apakah itu bagian dari CSR juga ya?

B: Ya ada. Kompas ini kan ada filosofi, tangan kanan memberi tangan kiri tidak boleh tahu, banyak orang-orang yang dikasih beasiswa lembaga ini, tapi (kompas) tidak disebutkan.

A: Berarti Kompas sering memberikan bantuan tanpa nama begitu ya Pak?

B: Ya, kalau foundation apa gitu kan, ford foundation misalnya, itu kan disebutkan kan ya, Kompas jarang ada disebutkan, dapat beasiswa dari Kompas, enggak.

A: Kalau saya lihat di Jogja, banyak kegiatan mahasiswa selalu mendapat dukungan begitu Pak

B: Ya ada dukungan, berupa bantuan barang, ada bantuan untuk doorprise, kaos, apalah gitu, ada bantuan liputan

A: Liputan itu termasuk juga bagian dari bantuan ya Pak, itu bisa disebut bagian tanggung jawab? A: Ya, kita juga memberitakan kegiatan CSR perusahaan-perusahaan lain kok, karena itu perlu diberitakan.

A: Itu tidak dibayar? B: Ga dibayar, ga ada.

A: Berarti dalam konteks berita, walaupun kita menyebutkan perusahaan atau merek tertentu tidak dibayar ya Pak?

B: Ya tidak apa, tidak dibayar. Dana kemanusiaan Kompas juga kita beritakan, karena itu tanggung jawab kita untuk memberikan transparansi kepada penyumbang, itu danamu sudah tak kirim ke sini loh, itu wajib


(3)

A: Apakah ada buku atau referensi yang bisa saya gunakan untuk mengenal Kompas lebih jauh? B: Itu ada nanti ya.

A: Di Kompas ada pensiun ya Pak, umur berapa ya Pak? B: Umur 60

A: Sesudah pensiun masih bisa bekerja atau?

B: Ya sudah selesai. Kalau untuk sesekali nulis atau sebulan sekali (boleh), tapi jangan terlalu rajin, kasihan yang berkarya kan? Untuk berkarya itu, nampung saja halamannya tidak cukup, masak yang lebih rajin yang pensiun, lucu dong, ya gak?

A: Ya Pak, ya mungkin itu aja Pak. B: Ya mudah-mudahan cepat kelar .


(4)

221

Lampiran 8 (Peristiwa-Peristiwa Penting 10 Tahun Terakhir (2007-2016))

Tahun

Beberapa peristiwa penting

2007

Musibah Adam Air penerbangan 574, insiden rangkaian kereta api Begawan yang

terputus, Banjir ibu kota Jakarta, bencana angin lesus Yogyakarta, penetapan UU

Perseroan Terbatas (CSR), gempa bumi Sumbar, kecelakan pesawat Garuda Indonesia,

musibah kereta api Serayu, Indonesia gagal merebut emas pada Indonesia terbuka,

Insiden alastlogo (militer vs petani), kapal KM Sinar Madinah, KM Levina I, KM Asita

III dan KM Wahai Star tengelam, gempa bumi lepas pantai Bengkulu, masalah

pertumbuhan ekonomi yang lemah, persoalan lumpur lapindo

2008

Mantan presiden Soeharto Meninggal, pendirian dan peresmian TVone menggantikan

Lativi, gempa bumi Simeule Aceh, demonstrasi persoalan minyak, insiden monas

(protes terhadap kekerasan nasional), Pelanggaran HAM Indonesia terhadap Timor

Leste, PON, peluncuran TV Aora (TV berlangganan) dan bangkrut di tahun yang sama,

Indonesia ikut Olimpiade Beijing, tragedi pasuruan (pembagian zakat yang

menimbulkan korban jiwa), eksekusi tiga terpidana mati Bom Bali 2002, krisis

ekonomi global, musibah kapal TKI yang tenggelam

2009

Pemilu DPR, DPD, DPRD secara serentak, KPK menangkap Antasari Azhar,

Helikopter PUM milik TNI-AU jatuh, pemilu Presiden dan wakil presiden serentak

(SBY-Boediono sebagai pemenang), terorisme (Hotel JW Marriot dan Ritz Charlton),

gempa Sumbar, Yogyakarta dan Jawa Barat (Tasikmalaya), masalah Bank Century

2010

Kerusuhan di areal makam Mbah Priok (satpol PP dan warga), sensus penduduk

Indonesia, kecelakaan Kereta api Logawa, perampokan bank CIMB Niaga Sumut,

penusukan dan pemukulan dua anggota Majelis Gereja HKBP, Kereta Api Argo Bromo

Anggrek

menabrak Kereta api Senja Utama, gerbong kereta api terbakar di Stasiun

Rangkasbitung, Gempa dan Tsunami Mentawai Sumbar, Gunung Merapi DIY meletus,

Barrack Obama berkunjung ke Jakarta, kasus pertukaran napi di LP Bojonegoro,

Indonesia gagal di final AFF melawan Malaysia, masalah korupsi (gayus)/mafia pajak,

masalah sepok bola nasional (reformasi dan restrukturisasi karena tidak berkembang)

2011

KA Mutiara Selatan dengan KA Kutojaya Selatan tabrakan, KMP Teduh Laut II

terbakar, penyerangan warga terhadap jemaah Ahmadiyah, tiga gereja di temanggun

dibakar massa, seorang nasabah Citibank dibunuh, kasus Malinda Dee (Citibank),

Sebuah bom meledak di Masjid Mapolersta Cirebon, Sebuah bom di jalur pipa gas di

Christ Cathedral, Serpong digagalkan oleh polisi, seorang juru kamera Global TV

ditangkap polisi diduga meliput secara langsung aksi teroris, tiga polisi meninggal oleh

perampok di kantor BCA jalan Emis, masalah politik di mesir yang mengacam nasib

WNI, cuaca ekstrem bagi nelayan di Jakarta utara, kasus Bibit-Chandra

2012

Pengadilan Pepi Fernando (masalah paket bom), penjatuhan hukuman pada Umar Patek

(bom bali 2002), pemilu DKI (Jokowi-Ahok sebagai pemenang), banjir di serang,

korupsi Hambalang, korupsi APBD Mamasa, cuaca ekstrem di jawa barat

2013

Panasonic Gobel Awards, Ustadz Jefri Al Buchori meninggal dunia, Jakarta Interbank

Spot Dollar Rate (JISDOR) diluncurkan, Agus Martowardojo dilantik menjadi

Gubernur Bank Indonesia, kurikulum 2013 mulai diberlakukan, kecelakaan maut Abdul

Qodir Jaelani (AQJ) (menewaskan 7 orang dan menghancurkan 3 mobil), Miss World,

AFC U-19, Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC),

korupsi, KPK menangkap ketua MK


(5)

Tahun

Beberapa peristiwa penting

2014

Jokowi-Kalla menjadi presiden Indonesia, pelantikan Ahok jadi Gubernur DKI, harga

BBM naik, masalah mafia migas, pro dan kontra Susi Pudjiastuti, rupiah anjlok, pelmik

UU minerba, masalah investasi bodong, penjualan bank mutiara (Century), harga

minyak dunia anjlok, banjir bandang manado, gunung sinabung (Sumut), sangeang

(NTB)dan kelud (Jatim) meletus, longsor Cariu bogor, gua Boma Kalbar dan

karangkobar banjarnegara, darurat banjir aceh

2015

Pengungsi Rohingya-Myanmar terdampar di Aceh, pernikahan sesama jenis di Bali dan

boyolali, kisrih di Tolikara Papua, penggusan warga kampung pulo, relokasi warga

Waduk Jati Gede, tewasnya Salim Kancil (penolak tambang), warga

long march

untuk

menolak pembangunan pabrik semen milik PT Sahabat Mulia Sakti, surat edaran

hate

speech

keluarkan oleh Kepala Polisi RI Jenderal Badrodin Haiti, penangkapan beberapa

warga papua (masalah kebebasan berekspresi), Jokowi bertemu suku anak dalam Jambi

2016

Paku Alam X dilantik menjadi wakil Gubernur DIY, ledakan Bom oleh ISI di ibu kota

Jakarta, Film Dokumenter Senyap (the Look of Silince) karya Joshua Oppenheimer

meraih nominasi dalam ajang penghargaan film paling bergensi Oscar untuk

Nominasi

Best documentary Feature,

masalah LGBT di indonesia, sirkut Sentul Bogor

tidan memenuhi syarat penyelenggaran MotorGP, Pianis muda Indonesia Joey

Alexandar di ajang Grammy Awards 2016, awal dan akhir karir Rio Haryanto di

Formula 1, gerhana matahari total, Indonesia menang dalam All England, masalah

Hukum kebiri (pemerkosaan dan pembunuhan), Soeharto diajukan jadi pahlawan

nasional, pelarangan p penggunaan baju dengan Logo Turn Back Crime bagi awam,

game pokemen GO, emas di olimpiade Rio de Jenerio, sindikat haji bodong (Filippina),

Tax amnesty, kasus Jessica (kopi sianida), demo masalah penistaan agama (Ahok).

Sumber: dari berbagai sumber, termasuk Kompas


(6)

223

Lampiran 9 (Foto)


Dokumen yang terkait

Analisis Substitusi Dalam Wacana Narasi Pada Harian Kompas

25 145 106

A critical discourse analysis on The Jakarta Post text

0 25 132

ANALISIS KESINAMBUNGAN TOPIK WACANA BERITA RUBRIK MEGAPOLITAN DI HARIAN KOMPAS.COM SKRIPSI

7 68 152

STRATEGI RESISTENSI TERHADAP BUDAYA POPULER PADA KOLOM “PARODI” SAMUEL MULIA DI HARIAN KOMPAS (Sebuah Analisis Wacana Kritis)

2 37 238

PENGGUNAAN PRONOMINA PERSONA PADA WACANA EKONOMI DI HARIAN KOMPAS EDISI JANUARI 2016 SEBAGAI MATERI Penggunaan Pronomina Persona Pada Wacana Ekonomi Di Harian Kompas Edisi Januari 2016 Sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMK.

0 2 15

PENGGUNAAN PRONOMINA PERSONA PADA WACANA EKONOMI DI HARIAN KOMPAS EDISI JANUARI 2016 SEBAGAI MATERI Penggunaan Pronomina Persona Pada Wacana Ekonomi Di Harian Kompas Edisi Januari 2016 Sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMK.

0 2 12

ANALISIS REDUPLIKASI DALAM WACANA BERITA OLAHRAGA PADA HARIAN KOMPAS SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN BAHASA Analisis Reduplikasi Dalam Wacana Berita Olahraga Pada Harian Kompas Sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas XI SMK Muhammadiyah

0 2 13

ANALISIS REDUPLIKASI DALAM WACANA BERITA OLAHRAGA PADA HARIAN KOMPAS SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN BAHASA Analisis Reduplikasi Dalam Wacana Berita Olahraga Pada Harian Kompas Sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas XI SMK Muhammadiyah

0 5 12

ANALISIS WACANA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM HARIAN KOMPAS.

0 2 8

Representasi Sosok Tenaga Kerja Wanita (Tkw) Indonesia Dalam Wacana Berita Pada Harian Umum Utusan Malaysia Dan Harian Umum Kompas Indonesia (Kajian Analisis Wacana Kritis).

0 3 55