Era Demokrasi Transaksional.

Pikir-.n Rakyat
o Minggu
14

15

29
ONov

16

€>

31

ODes

~

Era Demokrasi
Transaksional---Oleh ADI SURYA


L

mERALlSASI politik dalam wajah
demokrasi Indonesia membawa konsekuensi politik berbiaya tinggi. lni terlihat
dari besarnya dana kampanye untuk menduduki
satu kursi di gedung dewan. Para calegjuga barns
merogoh kocek lebih dalam dengan masifnya
pragmatisme masyarakat dalam memilih calon.
Ungkapan "ada uang, ada barang" atau, "ambil
uangnya, jangan pilih orangnya" menunjukkan
pola politik transaksional menyusup dalam ruang
pesta demokrasi. Fenomena ini bukan kesalahan
rakyat semata. Justru, perilaku elite politik yang
membiasakan mereduksi person (pemilih) hanya
sebagai makhluk ekonomi yang yang mengonstruksi bangunan politik transaksional yang buruk
di tengah belum meleknya masyarakat terhadap
politik.
Demokrasi sejatinya tidak bisa dilepaskan
dari proses transaksi. Artinya, ada pertukaran

dari satu pihak kepada pihak lainnya. Namun
proses
transaksi
dalam
demokrasi
yang sehat
mengambil
wujud pertukaran visi,
misi, ideologi,
program
maupun platform kontestan politik
dengan
dukungan
pemilih. Proses transaksional yang
tidak sehat
sebenarnya se-

cara tidak
langsung
menelanjangi

fakta bahwa

masi, perwujudan demokrasi tidak dimaknai se- '
bagai penghormatan kepada kedaulatan rakyat,
melainkan menjadi ajang dan ruang segelintir
orang yang memiliki kuasa dan uang untuk
mereduksi demokrasi substansial meDjadi
sekadar demokrasi transaksional. Demokrasi
transaksional di sini menyiratkan model demoI krasi yang mengandung hubungan timbal balik
·

dengan menganggappemilih berada dalam

bingkai hubungan dagang atau ekonomi.
Dalam jangka panjang, gejala ini akan memunculkan siklus pemerasan di mana.rakyat
"memeras" caleg pada masa kampanye dan caleg "memeras" rakyat setelah terpilih, melalui
korupsi atau projek yang mengorbankan rakyat
demi mengembalikan modal. Fenomena ini sulit dihilangkan karena ada rasa simbiosis mutualisme yang sarna-sarna dinikmati yang sebenarnya semu. Memang tidak semua rakyat atau
caleg melakukan tukar-menukar antara uang
dengan suara. Fenomena ini kemudian menjadi

penting karena berhubungan langsung dengan
harapan kehidupan berdeniokrasi yang lebih
baik setelah zaman Orde Barn.
Ada beberapa faktor penyebab yang membuat nalar transaksional mengambil tempat dalam
demokrasi kita. Pertama, transisi sistem politik
di mana calon anggota legislatif dan eksekutif
dipilih langsung oleh,rakyat. Memang dalam
era demokratisasi sekarang ini pola hubungan
kontestan politik dengan pemilih bisa dikatakan
tidak stabil. Pada masa Orde Lama, faktor
seperti ideologi atau platform masih menjadi
ANDRIGURNITA/"PR"
rujukan penting untuk memilih partai. Hal ini
SIMPA'l'ISANpartai Barisan Nasional berkumpul di depan memang dapat dimaklumi karena pada saat itu
panggung untuk mendengarkan orasipolitik calegpada kampa- pemilih hanya memilih partai yang notabene
nye terbuka di Lapangan Saparua Bandung, Sabtu (28/3). Per- tidak berwajah. Dalam arti, entitas yang dipilih
tukaran visi dan misi merupakan proses transaksi demokrasi*
oleh publik tidak be~1?d_o~g
(figur) sehing-


Pl15ca-refor_ __ _

-

-

- --- K lip i n 9 Hum a sUn
----

pod

2 0 0 9-

ga landasan untuk memilih adalah infonnasi
seputar partai.
Masa Orde Barn, alasan memilih partai lebih
banyak dipengaruhi oleh negara yang mengerangkeng pemilih dalam satu gerbong politik
tertentu. Namun, hari ini publik memilih figur
yang notabene aktif memproduksi tindakan
politik dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, sehingga memuncuIkan peluang

transaksi politik. Di sini yang menjadi persoalan
bukan demokrasi langsungnya, melainkan perilaku kontestan politik yang turut menciptakan
konstruk ketergantungan masyarakat terhadap
nilai material dalam pemilu.
Kedua, kondisi masyarakat yang belum sejahtera dan masih terbenam dalam kesulitan
ekonomi. Kemiskinan dan pengangguran yang
membelit rakyat membuat kontestan secara
mudah mengiming-imingi dengan sesuatu yang
bersifat material.Rantai kemiskinan memblJat
pemilih berpikir pendek dan mengabaikan nilai
luhur demokrasi.
Ketiga,perilaku pemilih yang belum melek

-

- - - --

-

politik.

Bung

Hatta pernah
mengingatkan,
demokrasi
memerlukan
tingkat pendidikan rakyat,
agar mampu
memiliki kesetaraan untuk
memilih.
Masyarakat kita mayoritas
memiliki latar
belakang pendidikan yang
rendah dan ditambah dengan
masih minimnya perangkat
civil society
untuk
melakukan
pendidikan
politik

--~ pada -

masyarakat. Perangkat seperti media massa,
partai politik, LSM, onnas dan institusi pendidikan masih belum dirasakan perannya sebagai kelas menengah yang memberi masukan infonnasi sebagai rujukan dalam membuat keputusan politik. Bahkan lebih buruknya lagi,
perangkat civil society malah turut serta menjadi agen yang memutar roda bagi praktik politik
transaksional.
Untuk membendung atau meminimalkan interaksi politik transaksional memang dibutuhkan langkah yang tidak mudah. Yang paling
penting untuk diberi perhatian adalah pendidikan politik agar rakyat lebih kritis dan cerdas
dalam memilih. Hal ini bisa dilakukan oleh
perangkat civil society yang belum terkontaminasi oleh kepentingan salah satu kontestan
seperti media massa yang aktif turut serta
memberi infonnasi, LSM dan onnas yang giat
mengampanyekan dan mendidik masyarakat,
institusi pendidikan sebagai pusat kajian ilmu
pengetahuan sampai partai politik yangjeli dan
selektif dalam mendistribusikan kadernya yang
memiliki moral yang teruji. Sehingga, muara
yang dicapai adalah pemilih yang cerdas dalam
berdemokrasi.
Di samping itu, peningkatan kesejahteraan

masyarakat juga harus diperhatikan. Seymor
Martin Lipset yang pertama mengeIjakan studi
dengan memberi postulat, pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat terbukanya peluang
demokratisasi di masa datang (Collier, 1979:19).
Tanpa ada pertumbuhan ekonomi, soot diciptakannya pemerintahan dan masyarakat
demokratis. ***
Penulis, Ketua DPC GMNI Sumedang
Bidang Hukum dan HAM, mahasiswa KS

-FISIP
- Unpad.
---

--

_