Analisis Isi Media pembelajaran berbasis

ANALISIS ISI MEDIA
Analisis isi atau content analysis merupakan metode penelitian yang membahas secara
mendalam isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Analisis isi biasanya
digunakan pada penelitian kualitatif. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang
memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis,
kemudian diberi interpretasi.
Ada beberapa definisi mengenai analisis isi. Analisis isi secara umum diartikan sebagai
metode yang meliputi semua analisis mengenai isi teks, tetapi di sisi lain analisis isi juga
digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan analisis yang khusus. Menurut Holsti, metode
analisis isi adalah suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi berbagai
karakteristik khusus suatu pesan secara objektif, sistematis, dan generalis.
Objektif berarti menurut aturan atau prosedur yang apabila dilaksanakan oleh orang
(peneliti) lain dapat menghasilkan kesimpulan yang serupa. Sistematis artinya penetapan isi atau
kategori dilakukan menurut aturan yang diterapkan secara konsisten, meliputi penjaminan seleksi
dan pengkodingan data agar tidak bias. Generalis artinya penemuan harus memiliki referensi
teoritis. Informasi yang didapat dari analisis isi dapat dihubungkan dengan atribut lain dari
dokumen dan mempunyai relevansi teoritis yang tinggi.
Jadi analisis isi media adalah penelitian tentang suatu informasi atau segala bentuk
saluran yang di gunakan untuk menyampaikan informasi melalui alat atau sarana yang di olah
secara mendalam dan di gambarkan isi dari informasi tersebut secara obyektif,sistematis dan
generalisasi

Aliran Berita
Media massa adalah sesuatu yang dapat digunakan oleh segala bentuk komunikasi, baik
komunikasi personal maupun komunikasi kelompok dan komunikasi massa (Atang
Syamsuddin). Secara universal tujuannya adalah:

1. Informasi
2. Hiburan

3. Pendidikan
4. Propaganda/pengaruh
5. Pertanggngjawaban sosial.
Sesuai perkembangannya media massa berwujud dalam media cetak (Koran, majalah, bulletin)
dan media elektronik (TV, radio dan internet). Dari berbagai macam media massa tersebut
mempunyai ciri khas masing-masing baik dalam isi dan pengemasan beritanya, maupun dalam
tampilan serta tujuan dasarnya. Perbedaan ini di latarbelakangi oleh kepentingan yang berbeda
dari masing-masing media massa. Ada yang bermotif politik, ekonomi, agama dan sebagainya.
Seperti yang dikatakan oleh Bambang Harimukti bahwa media masa merupakan kumpulan
banyak organisasi dan manusia dengan segala kepentingannya yang beragam, bahkan termasuk
yang saling bertentangan.
Kepentingan yang beragam pada media massa adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Ada

media massa yang memiliki kepentingan politik, karena ia didanai oleh kekuatan politik tertentu,
dan media massa juga ada yang bermotifkan ekonomi, dimana keuntungan secara materil adalah
satu-satunya target dari media tersebut. Ada juga media yang bermotifkan pendidikan karena
ingin memberikan pengetahuan. Begitupun yang bermotifkan agama, dimana media massa
didirikan oleh kelompok agama tertentu untuk menyampaikan ajaran agamanya.
Kepentingan dari media massa tersebut dapat mempengaruhi berita yang disampaikan.
Dari sinilah muncul sebuah anggapan bahwa fakta yang disampaikan bukanlah fakta yang
objektif, melainkan fakta yang telah dikontruksi oleh media atau penulisnya/wartawan dengan
latar belakang kepentingan tertentu. Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita yang kita
baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik.
Semua proses kontruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai
penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir dihadapan khalayak (Eriyanto,
2002).
Kalau menengok sejarah media massa di nusantara ini tentu juga tidak bisa melepaskan
diri dari reformasi 98 yang selanjutnya menandai babak baru era reformasi sampai sekarang ini.
Termasuk reformasi media massa yang sebelumnya pemerintah mempunyai peran kontrol
dominan telah bergeser menjadi era keterbukaan yang sangat memberikan peluang kepada
masyarakat untuk menjadi pengontrolnya. Sejauh mana media memberikan pesan perlu

dianalisis lebih lanjut. Masyarakat sebagai sasaran pembaca, pendengar dan penonton media

massa hendaknya mempunyai pisau analisa agar media menjadi jalan pencerdasan bukan
sebaliknya yaitu jalan pembodohan dan penelikungan.
Mengapa perlu dianalisis???
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa berita adalah realitas hasil konstruksi yang pada
akhirnya realitas yang ada di dunia ini tidaklah bersifat objektif. Semuanya memiliki
subjektifitas dari yang membuat maupun yang menerima realitas itu, perspektif atau cara
pandang dalam realitas juga mempengaruhi terhadap penilaian sesuatu realitas.
Berikut alasan mengapa berita perlu dianalisis, sebagaimana dipaparkan Eriyanto yang diambil
dari pendekatan konstruksionis, yakni :
1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat
subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Disini
tidak ada realitas yang objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan
pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi
ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda.
2. Media adalah agen konstruksi. Kaum konstruksionis memandang media bukanlah saluran
yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan,
bias, dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang
mendefiniskan realitas.
3. Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanya konstruksi dari realitas. Bagi Kaum
konstruksionis berita itu ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan

realitas, tetapi merupakan potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berita
dengan peristiwa.
4. Berita bersifat subjektif/Konstruksi atas realitas. Kaum konstruksionis memandang
bahwa berita mempunyai sifat subjektif, hal ini dikarenakan berita adalah hasil konstruksi
realitas yang dilakukan oleh wartawan dengan menggunakan subjektivitasnya.
5. Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Kaum konstruksionis menilai
wartawan sebagai aktor/agen konstruksi, dimana pekerjaannya bukan sebatas melaporkan
sebuah fakta, tapi juga turut mengkonstruksi fakta yang didapatkannya untuk kemudian
dijadikan berita.

6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam
produksi berita. Kaum konstruksionis menilai bahwa aspek etika, moral, dan nilai-nilai
tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Sisi subjektifitas dan
penilaian atas fakta membuat wartawan memiliki posisi untuk terlibat dalam penuangan
unsur moral, etika juga keberpihakan ketika ia mengkonstruksi realitas.
7. Nilai, Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral
dalam penelitian. Kaum konstruksionis memandang bahwa peneliti bukanlah subjek yang
bebas nilai, karena itulah etika dan moral serta keberpihakan peneliti menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari proses penelitian.
8. Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Kaum konstruksionis memandang

bahwa khalayak bukanlah subjek yang pasif, melainkan subjek yang aktif dalam
menafsirkan apa yang dibaca, ditonton ataupun didengar.
Isi Media dan Realitas Sosial
Realitas sosial lebih konkrit dalam hidup bermasyarakat, maka manusia senantiasa
dibumbui dengan berbagai benturan kepentingan yang berbeda sebagai cermin manusia sebagai
makhluk individu, manusia memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan
manusia yang lain, yakni cenderung ingin menang sendiri dan mementingkan kepentingan
pribadi walaupun di satu sisi tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Di sini jelas hakikatnya bahwa manusia bersifat monodualis, artinya manusia selain
sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Dan apabila kita hubungkan antara
konsep Masyarakat Patembayan (Gesselschaft) yang dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies
dengan konsep manusia sebagai makhluk individu, maka akan tampak keterkaitan satu sama lain
apalagi kalau kita melihat fenomena yang terjadi pada saat ini.
Dewasa ini Masyarakat Paguyuban (Gemeinschaft) yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kekerabatan walaupun masih ada tetapi bisa dikatakan sudah mulai luntur terkikis perubahan
zaman. Sekarang ini sifat-sifat individual manusia lebih menonjol dan kecenderungan untuk
tidak mau peduli dengan orang lain sudah mulai menjadi benih-benih yang mengkhawatirkan.
Segala sesuatu diperhatikan atas untung dan rugi serta penyakit malas tidak mempunyai motivasi
jika yang dikerjakan tidak memberikan kontribusi sebanding dengan apa yang dikerjakan.


Kondisi yang lambat laun tidak menutup kemungkinan akan mengakar dalam kehidupan
masyarakat, jika nilai dan norma yang berlaku tidak menjadi pegangan atas landasan. Jadi sangat
beralasan jika kami mengutip salah satu iklan di televisi yaitu “susah lihat orang senang, senang
lihat orang susah”. Ungkapan yang bermakna sindiran namun begitu melekat dalam kondisi
masyarakat pada saat ini walaupun tidak seluruhnya. Betapa tidak, pada saat ini masyarakat
semakin acuh tak acuh dengan keadaan sekitarnya.
Dan lebih mirisnya lagi muncul berbagai asumsi-asumsi negatif dan tidak menyenangkan
yang dilontarkan jika melihat orang lain mencapai suatu kesuksesan. Aneh, namun realita sosial
ini terjadi dalam masyarakat. Lebih besar lagi masyarakat dan realita sosial yang
memprihatinkan kita jumpai dan saksikan dalam tayangan-tayangan di televisi. Lihatlah stasiun
televisi sekarang berlomba-lomba menyajikan program-program reality show yang menjanjikan
hadiah miliaran rupiah. Semakin tinggi hadiahnya semakin tinggi pula rating program televisi
tersebut. Ironisnya, pemegang hadiah tersebut notabenenya adalah orang-orang yang dari segi
pendapatan mempunyai penghasilan yang sudah layak sedangkan masyarakat dari golongan
bawah hanya bisa menjadi penonton setia sekaligus gigit jari menyaksikan tayangan tersebut dan
membayangkan dalam khayalan, jika hadiah itu menjadi milik mereka.
Namun sayang hanya sebatas khayalan yang jauh dari harapan. Jauh panggang dari api.
Ini berarti seharusnya angka kemiskinan di Indonesia tidak separah yang diberikan, buktinya di
tengah keprihatinan kita terhadap masyarakat miskin ternyata negeri ini memiliki orang-orang
kaya yang justru menghambur-hamburkan uang yang ternyata tidak tepat sasaran.

Tidak tepat sasaran menurut persepsi kami tetapi tidak menurut mereka yang memiliki
uang tersebut, toh itu semua adalah uang mereka dan terserah mereka pula bagaimana
memanfaatkannya. Namun tentunya kita sepakat menyetujui bahwa alangkah lebih bermanfaat
lagi jika hadiah milyaran rupiah tersebut digunakan untuk kepentingan saudara-saudara kita yang
kekurangan, membantu meringankan beban saudara-saudara kita yang ada di Sidoarjo, korban
lumpur Lapindo dan masih banyak lagi realita sosial yang menjadi problema yang seharusnya
menjadi prioritas utama untuk ditangani.
Kami menggemari bahkan kami yakin kita semua akan menggemari dan ingin
menyaksikan lagi program-program reality show seperti Uang Kaget dan Bedah Rumah di RCTI,

program Tolong di SCTV, program Pulang Kampung di Trans 7, program Jika Aku Menjadi di
Trans TV, dan beraneka macam lagi program sejenis yang lebih mendidik dan berguna karena
menyentuh masyarakat golongan bawah. Dengan adanya program tayangan seperti itu, kita dapat
belajar banyak tentang kejadian-kejadian yang terjadi sekitar kita yaitu betapa pentingnya kita
mensyukuri apa yang telah kita miliki dan mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Tuhan
kepada kita. Sangat tepat jika kita mengambil ungkapan orang bijak bahwa “Untuk Maju Lihat
ke Atas dan Untuk Bersyukur Lihat ke Bawah”.
Media Massa pun banyak membuat suatu realita sosial, yakni :
1. Realitas Sosial Kepolisian Republik Indonesia
Di dalam ranah panggung depan polisi seringkali di anggap oleh masyarakat

Indonesia sebagai sosok yang menakutkan, sebagai contoh ketika masyarakat kehilangan
seekor kambing masyarakat akan berimajinasi apabila melaporkan kehilangan tersebut ke
kepolisian, maka kekawatiran sapinya pun akan hilang.
Maksudnya, berbelit-belitnya birokrasi di kepolisian

mulai

dari

biaya

mendatangkan saksi di pengadilan, besarnya uang untuk membayar seorang pengacara
bila diperlukan hingga biaya pulang pergi ke kepolisian. Tetapi media massa mampu
menyiarkan sudut pandang yang berbeda dari kepolisian, kemunculan Briptu Nurman
Kamaru yang berawal dari lifsing lagu chaiya-chaiya yang di upload ke Youtube. Selama
dua pekan Briptu Norman Kamaru bersama lifsingnya di dipublikasikan berbagai media
massa di Indonesia. Hal ini berakibat naiknya kepercayaan masyarakat terhadap
kepolisian, Briptu Norman Kamaru pun memiliki Triple fungsi ditengah masyarakat
yakni, melindungi, mengayomi dan sekaligus menghibur.
2. Realitas Sosial Dewan Perwakilan Rakyat

Perspektif Dramaturgis Goffman menyatakan bahwa back stage harus merupakan
sesuatu yang berbeda dibandingkan front stage, dimana peristiwa sosial ditampilkan
secara formal dan sosok diri ditampilkan seideal mungkin di front stage dan perilaku
yang bukan umum karena kacaunya istilah panggung politik, maka penelitian ini telah
dapat dimodifikasi dan mengembangkan perspektif Goffman bagi tim atau politisi
lainnya sehingga kekerasan itu bisa terjadi baik dipanggung depan, terjadi dalam bentuk
kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis, penelitian juga berhasil menemukan
terminology kekerasan yang terkait dengan penyampaian pesan politik sebagai
“premanisme” politik (Lely Arrianie, 2010:V).

Hal ini dibuktikan dengan tingkah laku salah satu anggota DPR RI dari fraksi
partai PKS Arifinto yang kedapatan oleh wartawan Media Group sedang menonton video
porno ketika sedang berlansungnya sidang paripurna DPR. Jadi jelas terlihat apapun alibi
maupun alasan Arifinto sudah menampilkan sosok yang tidak seharusnya dia tampilkan
di front stage. Padahal itu merupakan back stage bagi dirinya sendiri.
3. Realitas Sosial Pelawak
Media massa membuat suatu program yang fungsinya untuk menghibur
khalayak . sebagai contoh program Opera Van Java di Stasiun TV Trans7 menampilkan
pola tingkah laku pelawak yang menghibur masyarakat dengan lelucon-lelucon yang
dibuat oleh pelawak tersebut. Bagaimana Parto memegang peranan sebagai dalang yang

mengkoordinir Sule, Azis, Nunung dan Andre dan lain-lain. Dengan begitu sebenarnya
Parto mengarahkan para pelawak Opera Van Java tersebut.
Akan tetapi, suatu ketika mau pulang dari syuting OVJ Parto diwawancarai oleh
para wartawan mengenai kenapa dia beristri lagi. Dengan emosinya Parto mengeluarkan
pistol dari balik bajunya , dan menembakan senjata api tersebut ke arah atap gedung. Hal
ini membuat wartawan menjerit ketakutan.
4. Realitas Sosial Presiden Republik Indonesia
Dalam pandangan Offe, pemerintahan merupakan hasil tindakan administratif
dalam berbagai bidang. Pemerintahan bukan merupakan hasil pelaksanaan tugas
pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sebelumnya,
tetapi lebih merupakan hasil kegiatan produksi bersama (corproduction) antara lembaga
pemerintahan dengan klien masing-masing.
Media massa pun berhasil menampilkan sebuah realita sosial seperti apa sosok
presiden Republik Indonesia yang pada setiap pidato seringkali menyebut demi
kepentingan dan kemakmuran Rakyat Indonesia, akan tetapi pada kesempatan lain pun
skenario yang dimainkan oleh presiden berubah demi mempertahankan koalisi partai
yang mengusungnya yang dikenal dengan istilah “Setgab” atau demi kepentingan
partainya sendiri.
Hal ini tampak mengejala ketika begitu banyaknya desakan dari partai oposisi
agar Presiden Republik Indonesia mundur dari jabatannya karena lebih mementingkan

partai pengusung dari pada kesejahteraan rakyat, akan tetapi dengan kekuatan lobi-lobi
politik ternyata tuntutan ini hanya ibarat “buah simalakama” mau dimakan meracuni

tidak dimakan malah membunuh. Partai oposisi berdebat bahkan terpecah akibat
keputusannya itu.
Memang presiden dan Media memiliki kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap
publik. Apa yang di anggap penting oleh media seringkali penting pula bagi khalayak.
Dengan demikian realita sosial “susah lihat orang senang, senang lihat orang
susah” seiring waktu berjalan berubah menjadi “susah lihat orang susah, senang lihat
orang senang”.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63