Yusuf Makalah Ilmu Tafsir al Quran
ILMU TAFSIR AL-QUR’AN
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas ulangan tengah semester
Mata Kuliah: Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : H. Fakhrudin Aziz, Lc., M.Si.
Disusun Oleh :
M. Yusuf Al Faruq
103211025
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
ILMU TAFSIR AL-QUR’AN
M. Yusuf Al Faruq 103211025
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang
menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat
Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi
untuk
memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia,
baik secara pribadi maupun kelompok. 1 Ia juga menjadi tempat
pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Al-Qur’an
bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya
tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak
pernah habis, dapat dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan
memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia.
Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum
muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan
inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering
bagi yang mengimaninya. Di dalamnya terdapat dokumen historis
yang merekam kondisi sosio ekonomis, religious, ideologis, politis,
dan budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat
besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk
membuka gudang simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.2
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalm berbagai
aspek kehidupan manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang
terbuka (open ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan
dalam perspektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi
kehidupan manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji AlQur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu tafsir.
172.
1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h.
2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 83
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 1
Makalah ini akan membahas tentang ilmu tafsir meliputi sejarah dan
perkembangannya, serta corak dan metode dalam penafsiran.
B. Definisi Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara
etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi
kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan
menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir berarti
menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman
Allah Sûrah al-Furqân: 33
ت
جئ فَتناِ ت
وتتل َي تأ فَتتوُن ت ت
ًسيِررا
َن َت ت ف
ف س
َق َوتأ ف
ك َسباِل فَ ت
ح ت
ح ق
ل َإ سلل َ س
ك َب س ت
س ت
مث ت ل
“Tidaklah
orang-orang
kafir
itu
datang
kepadamu
(membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu
yang benar dan yang paling baik penjelasannya”3
Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan
pendapat para pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk
memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan
hikmah-hikmahnya.4
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân,
mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan
lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri maupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.5
3 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh:
Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
4 Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr
al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
5 Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang
ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang
tersusun”, meliputi ilmu Sharf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan
baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan
yang dimaksud “hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai
asbab nuzul, naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi
lingkup kajian ilmu al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî
Ulûm al-Qur’ân, h. 324.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 2
Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling
mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya
berkaitan
dengan
Kalamullah
yang
merupakan
sumber
segala
hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu
tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di
zaman
modern
sekarang
ini.
Kebutuhan
akan
tafsir
semakin
mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat diraih
apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at
bannyak
bergantung
pada
pengetahuan
terhadap
Al-Qur’an,
kitabullah.6
Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi
penting untuk diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan
tampak keragaman dan perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama
modern, tentu akan berbeda melihat “tafsir” dengan ulama terdahulu.
Dibawah ini akan penulis akan mepaparkan ulasan mengenai
perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.
C. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir
1. Tafsir pada Masa Klasik
Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan
tafsir pada masa klasik, penulis akan memetakan dalam tiga
pembahasan, yakni (1). Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat. (2).
Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi
(pembukuan).
a. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad
masih hidup. Nabi pun menjadi sosok sentral dalam penafsiran
al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui makna alQur’an
tidaklah
terlalu
sulit.
Karena
mereka
langsung
berhadapan dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau
kepada sahabat lain yang lebih mengerti. Jika terdapat makna
yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan pada
6 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah
Hijazy, tt.) Juz II, hlm. 172.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 3
Nabi.7 Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan
sahabat adalah periwayatan yang dinukil dari Nabi. Hal ini
mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44 bahwa Nabi
diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an.
وتأ تن فَتزل فَتناِ َإ سل تفَيِه ت
مهاِ َتنهقز ت
م
َم َوتل تعتل لتهه ف
َل َإ سل تيِ فَسهه ف
س َ ت
ك َاًلهذ قك فَتر َل ست تب تقيِه ت
ن َسلللنهاِ س
فك لترون
ي تت ت ت
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Sedikit sekali kalangan sahabat yang menggunakan
penafsiran bil ra’yî dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantara
sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan akal dalam
penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû
Bakar pernah berkata:
ت
أ تي َأ ت
ر
ب َاًللهس
ض َت ت س
ي َ ت
ماِلء َت تظ سل لسنيِ َإ ستذاً َقتل فَ ت
س ت
ت َسفيِ َك ستتاِ س
قل لسنيِ َتو َأ ل
َف
ل
ل
ماِ ت ت
م
ل َأع فَل ت ت
ت
“Bumi
manakah
manakah
yang
yang
menaungi
menampung
aku,
apabila
aku
aku
dan
langit
mengatakan
mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang
makna Abbân. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa
Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah
jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada pula beberapa
sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî
selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs.8
7 Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya
tentang salât wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud salât wusthâ
adalah salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa al-Maghdu dalam
surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-Dhalîn adalah kaum
Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), h. 43.
8 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 4
Secara garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal
dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri, Nabi
Muhammad sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali,
karena pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era
ini merupakan salah satu cabang dari hadits, kondisinya belum
tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan secara
acak untuk ayat-ayat yang berbeda.9
b. Tafsir pada masa tabi’in
Setelah
generasi
sahabat
berlalu,
muncul
mufassir
sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah
mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada
masa sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu
saja (Nabi dan sabahat sendiri), maka penafsiran yang
berkembang pada masa tabi’in mulai banyak bersandar pada
berita-berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain itu penafsiran
tabi’in
juga
terkontaminasi
unsur
sektarian
berdasarkan
kawasan ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang
dahulu belajar dari sahabat menyebar ke berbagai daerah.
Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran
Makkah, Sa’îd ibn Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M),
dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn
Abbâs. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. 735
M), Zaîd ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w.
708 M). Mereka berguru pada Ubay ibn Ka’âb. Ketiga, aliran
Irak, Alqamah ibn Qaîs (w. 720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723 M),
Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn Daimah al-Sadûsi
(w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.10
Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama
tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abbâs
9 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 337.
10 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS,
2011), h. 41.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 5
dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm
dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah
memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir yang besar.
Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya. 11
Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid.
Hal ini dikarenakan bahwa Mujâhid banyak bertanya pada ahli
kitab.12 Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab,
Mujahid juga dikenal sebagai mufassir yang memberi porsi
luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan al-Qur’an.13
Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang
berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan
sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan
apakah pendapat tabi’in tersebut dapat dipegangi atau tidak.
Mereka yang menolak penafsiran tabi’in berargumen bahwa
para tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat
ayat
al-Qur’an
mendukung
diturunkan.
penafsiran
tabi’in
Sedangkan
dapat
kalangan
dijadikan
yang
pegangan
menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan dari sahabat. 14
c. Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)
Pasca
(dibukuan).
generasi
Masa
tabi’in,
pembukuan
tafsir
tafsir
mulai
dimulai
dikodifikasi
pada
akhir
pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar
abad 2 H). Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai
penulisan tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir
yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka
menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis
yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in.
Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadis.
11 Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân alKarîm, 1971), h. 37
12 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
13 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr
al-Hadîtsah, 2005), juz 1, h. 97.
14 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 339.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 6
Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat
tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah
(196 H), Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam
(211 H).
Setelah ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai
dipisahkan dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi
ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan
tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn
Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî
Hatîm (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm
(w. 405 H) dan Abû Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).15
Sementara al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir
pada masa kodifikasi berdasarkan ciri dan karakteristik.
Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan hadis.
Pada
saat
hadis
dibukukan,
tafsir
menjadi
bagian
bab
tersendiri di dalamnya. Kedua, yakni penulisan tafsir yang
dipisah
dari
berdasarkan
kitab hadis.
periyawatkan
Namun
yang
penulisan tafsir
disandarkan
pada
tetap
Nabi,
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran bil
ma’tsur).
Ketiga,
tahap
ini
penulisan
tafsir
tetap
mencantumkan riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang
sangat signifikan, riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi
sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir adanya
pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya kisah-kisah
isrâiliyyât dalam tafsir. Keempat, sumber tafsir pada masa ini
tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga
berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.16
2. Tafsir pada Abad Pertengahan
Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad
ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu
15 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 340-341.
16 al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm.
Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. 7-8.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 7
pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age).17
Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian
sarat
dengan
disiplin-disiplin
ilmu
yang
mengetarinya
dan
kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an
pun
seringkali
dijadikan
untuk
melegitimasi
kepentingan-
kepentingan mazhab/aliran tertentu.
Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era
keemasan Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ al-Bayân an
Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); alKasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû al-Qasîm Mahmûd ibn
Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih al-Ghaib karya
Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya
Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505
M).
Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn
Arabi (638 H) yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini
disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung
pahamnya, wahdatul wujud.18 Kelahiran Imâduddîn Ismail ibn
Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan
bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm
yang terdiri sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitabkitab lainnya yang ia tulis.19 Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’
al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah al-Qurtubî (671 H). Banyak
kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama Maliki,
dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi
pada ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia
menafsirkan
al-Qur’an
secara
keseluruhan.
Ulasannya
biasa
17 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008), h. 25.
18 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 47.
19 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 105.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 8
diawali dengan menjelaskan asbâb nuzûl, macam qira’at, i’rab dan
menjelaskan lafaz yang gharib.20
Selain
nama
mufassir
di
atas,
muncul
pula
Alî
ibn
Muhammad al-Baghdadî (678-741 H) dengan karya tafsirnya
Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau yang sering disebut
dengan Tafsir al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran dalam tafsir
tersebut adalah bil ma’tsûr. Al-Khâzin menaruh perhatian cukup
besar banyak terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada
beberapa penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein
al-Dzahabî.21
Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû
Hayyân al-Andalusî. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan
jilid, ia banyak mencurahkan perhatiannya dalam masalah I’rab
dan Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar dalam masalah
Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok
disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat
Zamakhsyari
seringkali
dalam
tidak
hal
ilmu
sependapat
Nahwu.
dengan
Namun
Abû
Zamakhsyari,
Hayyan
terlebih
mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.22
Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab
tafsir yang muncul pada abad pertengahan ini. Masing-masing
memiliki karakter yang menjadi khas penulis tafsir tersebut.
Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad
pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam
ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan perbedaan
penafsiran yang didasari perbedaan mazhab dan tempat.
3. Tafsir pada era Modern
Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa
memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian
pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh
20 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 380.
21 al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 265-267.
22 Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 504.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 9
pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para
mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat
menjadi faktor utama penafsir dalam memberi respon. Ciri
berpikir rasional yang menjadi identitas era modern kemudian
menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini
bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an, karenanya
mereka gagal menangkap spirit rasional al-Qur’an.
Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan
dari pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan
penalaran rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an dengan alQur’an,
atau
kembali
pada
al-Qur’an.
Kemudian
mereka
menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.23
Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern
Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang
disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir
dalam menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan tuntunan
zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung dalam alQur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih
lanjut Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu
akibat persentuhan dengan peradaban asing kian lebih intensif.24
Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (18491905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis
tafsir al-Qur’an atas saran muridnya, Rasyid Ridha. 25 Meskipun
pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga.
Uraian Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah
seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan
Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh
23 Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
24 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 2.
25 Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abdul awalnya merupakan tema-tema
ceramah yang ia adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian diterbitkan dalam
bentuk jurnal setiap bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid Ridha. Maka
penyempurnaan tafsir tersebut dilakukan oleh Ridha.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 10
adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral
dari sebuah ayat.26
Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak
yang menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama
konservatifnya. Sampai kemudian muncul metode dan cara baru
dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah Thanthâwi Jauhari (w. 1940)
yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi ulasanulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu
Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga
kitab tafsirnya, Al-Jawâhir fi al-Tafsir digadang-gadang sebagai
tafsir bercorak ilmi (santifik).27
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în alMarâghi
juga
mencatatkan
namanya
sebagai
deretan
dari
mufassir modern dengan karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm
yang sering dikenal dengan sebutan Tafsîr al-Marâghi. Ia lahir
1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis tafsirnya selama sepuluh
tahun, sejak tahun 1940-1950.28 Dalam muqaddimah tafsirnya, ia
mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia merasa ikut
bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan
yang terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada alQur’an.29
Di samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan tafsirnya
Fi zhilali al-Qur’an dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan
Tafsir al-Bayani li al-Qur’ani al-Karim.
Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab
tafsirnya. Antara lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud
Yunus(1899)dan Kasim Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan
(w. 1887-1958), Tafsîr al-Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan
Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-Majîd karya Hasbi al-Siddiqi
26 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 8.
27 Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman
Modern, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 176.
28 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 151-153.
29 Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 11
(1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981)30, dan
Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah
bahwa
penafsiran
rasional,
sains
abad
(tafsir
ke-19
ilmi)
menonjolkan
dan
sastra.31
corak
reformis-
Perkembangan
selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik
dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era
mendatang akan ada lagi berbagai metode penafsiran untuk
mengungkap makna-makna al-Qur’an.
D. Corak dan Metode Penafsiran
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Cara penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan
generasi berikutnya itu dalam kerangka metodologis, disebut jenis
tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan ini oleh alZarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam AlQur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud
Allah SWT pada nash Al-Qur'an. 32 Metode bil ma'tsur, memiliki
keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah :
a. Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesanpesan,
c. Mengikat
mufassir
dalam
bingkai
teks
ayat-ayat,
sehingga
membatasinya terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan33,
d. Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan
yang bermanfaat bagi generasi berikutnya.
30 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237.
31 Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill:
Leiden, 2001), vol. 2, h. 126-132.
32 Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum AlQur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957), h. 3.
33 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), h.
157.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 12
Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir
yang
mengandalkan
metode
ini,
seperti
yang
dicatat
oleh
beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :
a. Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan
kesusasteraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok AlQur'an menjadi kabur di celah uraian itu,
b. Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau
sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari
uraian nasikh/mansukh) hampir dapat di katakan terabaikan
sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan
dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat
tanpa budaya.34
c. Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab,
politik dan usaha-usaha musuh Islam.
d. Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur
Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur'an,
Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup
dapat dipahami karena para mufassir mengandalkan penguasaan
bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara baik, juga mereka
ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya.
Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan
itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena kita telah
kehilangan kemampuan dan rasa bahasa Arab itu. Metode
periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan
mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa
bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta
obyektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampaisampai ada diantara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat
tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai
bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-
49.
34 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), hlm.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 13
riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya
tidak mempunyai dasar yang kokoh.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan
riwayat Al-Qur'an. Karena, ketika itu, masa antara generasi
mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup
dekat
dan
laju
perubahan
sosial
dan
perkembangan
ilmu
pengetahuan belum demikian pesat. Disamping itu, penghormatan
kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid
nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in
sebagai generasi peringkat kedua khairun qurun, masih sangat
terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan
keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih
cukup mantap.
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an
dimana seorang mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai
pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi diatas, Ash-Shabuni
menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang
dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas
dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran
pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut
Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir
dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai
sandaran dalam menjelaskan sesuatu.35 Sedangkan az-Zarqani
secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir
ijtihad
yang
disepakati
atau
memiliki
sanad
kepada
yang
semestinya dan jauh dari kesesatan dan kebodohan.
3. Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai
metode tajzi'iy adalah suatu metode yang berupaya menjelaskan
kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang
35 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 351-352.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 14
tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini
terdiri atas empat langkah, yaitu
a. Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah
tersusun dalam mushaf,
b. Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti
dengan penjelasan mengenai arti global ayat,
c. Mengemukakan
munasabah
(koralasi)
ayat-ayat
serta
menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama
lain,
d. Mufassir membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal
dari Rasul, sahabat dan tabi'in.36
Kelemahan metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para
penafsir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih
tepat dalil pembenaran terhadap pendapat-pendapatnya dengan
ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini
tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap
persoalan-persoalan
memberi
yang
pagar-pagar
dihadapi
metodologis
sekaligus
yang
tidak
dapat
banyak
mengurangi
subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain yang dirasakan dalam
tafsir-tafsir
dicarikan
yang
menggunakan
penyebabnya
adalah
metode
bahwa
tahliliy
yang
perlu
bahasan-bahasannya
dirasakan sebagai mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin
karena
sifat
mengacu
penafsirannya
pada
penafsiran
amat teoritis, tidak
persoalan-persoalan
sepenuhnya
khusus
yang
mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian
yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah
pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. 37 Contoh
dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti
tafsir "Jami' al Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir alThabari, tafsir Mafatih al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan
36 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Kairo: AlHadharah al-Arabiyah, 1977, hlm. 18.
37 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, hlm. 87.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 15
lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya termasuk tafsir bi
al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula
dengan tafsir al-Razi.
4. Tafsir Muqaran
Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan
Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqaran sebagai metode
penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang satu dengan
ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda
masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan haditshadits nabi Muhammad saw, yang tampaknya bertentangan
dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan pendapat ulama
tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama 38 Dari
beberapa pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam
metode tafsir muqaran :
a. Arah
kecenderungan
mufassir
dan
faktor
yang
melatar
belakanginya,
b. Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang
sama redaksinya namun berbeda masalahnya,
c. Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya
bertentangan,
d. Pendapat ulama tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya.
Karya-karya tulis yang termasuk dalam klasifikasi penafsiran
muqaran adalah karya tulis kontemporer, misalnya Al-Qur'an,
Bible dan Sains Modern karya Maurice Bucaile dan Muhammad fi
al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an, karya Ibrahim Khalili (Rumi,
1413:57).
5. Tafsir Ijmaly
Tafsir ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengemukakan
makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufassir membahas
38 Said Aqil al-Munawwar, I,jaz Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang
: Dina Utama, 1994), hlm. 36.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 16
ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf,
kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat
tersebut. Dengan demikian cara kerjan metode ini tidak jauh
berbeda dengan metode tahliliy, karena keduanya tetap terikat
dengan urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam
mushaf, dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat lain
dalam topik yang sama kecuali secara umum saja. 39 Contoh dari
tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain.
6. Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi
memberikan
batasan
pengertian
tafsir
tematik,
yaitu
:
Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan
dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin
ayat-ayat tersebut disusun menurut kronologi turunnya disertai
dengan
pemahaman
dikomentari,
dikaji
asbab
secara
al-Nuzulnya.
khusus
dalam
Lalu
oleh
mufassir
kerangka
tematik,
ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang
pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat
topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan
menguasainya
dengan
sempurna.40
Jadi
lewat
metode
ini,
penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu yang
hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian
dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan
topik ini, kemudian dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar
satu sama lain bersifat menjelaskan, baru akhirnya ditarik
kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat
yang saling terkait itu.
Jika pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat
menemukan ciri-ciri dari bentuk tafsir tematik, antara lain :
a. Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat
seperti tersusun dalam urutan mushaf Utsmani sebagaimana
39 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i,hlm. 67.
40 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 41-42.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 17
yang berlaku dalam tafsir tahlilliy, melainkan suatu tema
tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara
integral menurut pandangan Al-Qur'an,
b. Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat
yang dipandang saling berkait dan bersekutu dalam satu tema
tertentu,
c. Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek
kronologi turunnya ayat dan asbab al-Nuzulnya,
d. Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masingmasing ayat dan lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya
dipahami dan ditinjau dan berbagai aspeknya, seperti bahasa,
konteks kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya,
e. Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan
berbagai ilmu, baik yang tergolong dalam "ulum al tafsir"
maupun ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti sejarah, sosiologi,
antropologi dan sebagainya,
f.
Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada
satu topik yang ditetapkan,
g. Tujuan
utama
yang
ingin
dicapai
oleh
tafsir
tematik
sebagaimana dikemukakan oleh al-Farmawy dalam bukunya alBidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah memahami makna dan
hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz AlQur'an,
seperti
keindahan
bahasa
atau
ketinggian
nilai
sastranya atau kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.41
Salah satu pakar tafsir yang mempopulerkan metode ini di
Indonesia adalah M. Quraish Shihab dengan berbagai karyanya.
E. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. AlQur’an ibarat samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta
mutiara ilahi. Untuk meraihnya, semua orang harus berenang dan
menyelami
samudera
al-Qur’an.
Tidak
semua
penyelam
itu
41 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 51-55.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 18
memperolah
apa
yang
diinginkannya
karena
keterbatasan
kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa, bahkan
para pakar telah banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan
tuntutan zaman demi menegaskan eksistensi al-Qur’an salih li kulli
zaman wa makan.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam penafsiran di
antaranya metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.
DAFTAR PUSTAKA
al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman
Modern, Pent. Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dâr alKutub al-Hadîtsah, 2005, h. 43.
al-Marâghi, Ahmad Mustafa, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
al-Qaththan, Manna al-Khallil, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, Riyadh:
Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973.
al-Siddiqi , Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1900.
al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, Cairo: Mathba'ah
Hijazy, tt.
al-Zarqanî, Abdul Azhîm, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr
al-Maktabah al-Arabiyah, 1995.
Ghafur, Saiful Amin, Profil Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, Kuwait: Dâr al-Qur’ân alKarîm, 1971.
J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 19
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS,
2011.
Shihab , M. Quraish, Membumikan al-Qur’an Bandung: Mizan, 1995.
Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 20
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas ulangan tengah semester
Mata Kuliah: Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : H. Fakhrudin Aziz, Lc., M.Si.
Disusun Oleh :
M. Yusuf Al Faruq
103211025
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
ILMU TAFSIR AL-QUR’AN
M. Yusuf Al Faruq 103211025
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang
menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat
Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi
untuk
memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia,
baik secara pribadi maupun kelompok. 1 Ia juga menjadi tempat
pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Al-Qur’an
bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya
tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak
pernah habis, dapat dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan
memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia.
Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum
muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan
inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering
bagi yang mengimaninya. Di dalamnya terdapat dokumen historis
yang merekam kondisi sosio ekonomis, religious, ideologis, politis,
dan budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat
besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk
membuka gudang simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.2
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalm berbagai
aspek kehidupan manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang
terbuka (open ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan
dalam perspektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi
kehidupan manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji AlQur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu tafsir.
172.
1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h.
2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 83
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 1
Makalah ini akan membahas tentang ilmu tafsir meliputi sejarah dan
perkembangannya, serta corak dan metode dalam penafsiran.
B. Definisi Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara
etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi
kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan
menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir berarti
menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman
Allah Sûrah al-Furqân: 33
ت
جئ فَتناِ ت
وتتل َي تأ فَتتوُن ت ت
ًسيِررا
َن َت ت ف
ف س
َق َوتأ ف
ك َسباِل فَ ت
ح ت
ح ق
ل َإ سلل َ س
ك َب س ت
س ت
مث ت ل
“Tidaklah
orang-orang
kafir
itu
datang
kepadamu
(membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu
yang benar dan yang paling baik penjelasannya”3
Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan
pendapat para pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk
memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan
hikmah-hikmahnya.4
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân,
mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan
lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri maupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.5
3 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh:
Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
4 Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr
al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
5 Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang
ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang
tersusun”, meliputi ilmu Sharf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan
baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan
yang dimaksud “hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai
asbab nuzul, naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi
lingkup kajian ilmu al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî
Ulûm al-Qur’ân, h. 324.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 2
Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling
mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya
berkaitan
dengan
Kalamullah
yang
merupakan
sumber
segala
hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu
tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di
zaman
modern
sekarang
ini.
Kebutuhan
akan
tafsir
semakin
mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat diraih
apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at
bannyak
bergantung
pada
pengetahuan
terhadap
Al-Qur’an,
kitabullah.6
Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi
penting untuk diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan
tampak keragaman dan perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama
modern, tentu akan berbeda melihat “tafsir” dengan ulama terdahulu.
Dibawah ini akan penulis akan mepaparkan ulasan mengenai
perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.
C. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir
1. Tafsir pada Masa Klasik
Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan
tafsir pada masa klasik, penulis akan memetakan dalam tiga
pembahasan, yakni (1). Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat. (2).
Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi
(pembukuan).
a. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad
masih hidup. Nabi pun menjadi sosok sentral dalam penafsiran
al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui makna alQur’an
tidaklah
terlalu
sulit.
Karena
mereka
langsung
berhadapan dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau
kepada sahabat lain yang lebih mengerti. Jika terdapat makna
yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan pada
6 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah
Hijazy, tt.) Juz II, hlm. 172.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 3
Nabi.7 Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan
sahabat adalah periwayatan yang dinukil dari Nabi. Hal ini
mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44 bahwa Nabi
diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an.
وتأ تن فَتزل فَتناِ َإ سل تفَيِه ت
مهاِ َتنهقز ت
م
َم َوتل تعتل لتهه ف
َل َإ سل تيِ فَسهه ف
س َ ت
ك َاًلهذ قك فَتر َل ست تب تقيِه ت
ن َسلللنهاِ س
فك لترون
ي تت ت ت
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Sedikit sekali kalangan sahabat yang menggunakan
penafsiran bil ra’yî dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantara
sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan akal dalam
penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû
Bakar pernah berkata:
ت
أ تي َأ ت
ر
ب َاًللهس
ض َت ت س
ي َ ت
ماِلء َت تظ سل لسنيِ َإ ستذاً َقتل فَ ت
س ت
ت َسفيِ َك ستتاِ س
قل لسنيِ َتو َأ ل
َف
ل
ل
ماِ ت ت
م
ل َأع فَل ت ت
ت
“Bumi
manakah
manakah
yang
yang
menaungi
menampung
aku,
apabila
aku
aku
dan
langit
mengatakan
mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang
makna Abbân. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa
Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah
jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada pula beberapa
sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî
selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs.8
7 Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya
tentang salât wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud salât wusthâ
adalah salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa al-Maghdu dalam
surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-Dhalîn adalah kaum
Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), h. 43.
8 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 4
Secara garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal
dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri, Nabi
Muhammad sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali,
karena pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era
ini merupakan salah satu cabang dari hadits, kondisinya belum
tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan secara
acak untuk ayat-ayat yang berbeda.9
b. Tafsir pada masa tabi’in
Setelah
generasi
sahabat
berlalu,
muncul
mufassir
sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah
mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada
masa sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu
saja (Nabi dan sabahat sendiri), maka penafsiran yang
berkembang pada masa tabi’in mulai banyak bersandar pada
berita-berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain itu penafsiran
tabi’in
juga
terkontaminasi
unsur
sektarian
berdasarkan
kawasan ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang
dahulu belajar dari sahabat menyebar ke berbagai daerah.
Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran
Makkah, Sa’îd ibn Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M),
dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn
Abbâs. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. 735
M), Zaîd ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w.
708 M). Mereka berguru pada Ubay ibn Ka’âb. Ketiga, aliran
Irak, Alqamah ibn Qaîs (w. 720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723 M),
Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn Daimah al-Sadûsi
(w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.10
Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama
tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abbâs
9 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 337.
10 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS,
2011), h. 41.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 5
dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm
dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah
memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir yang besar.
Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya. 11
Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid.
Hal ini dikarenakan bahwa Mujâhid banyak bertanya pada ahli
kitab.12 Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab,
Mujahid juga dikenal sebagai mufassir yang memberi porsi
luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan al-Qur’an.13
Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang
berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan
sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan
apakah pendapat tabi’in tersebut dapat dipegangi atau tidak.
Mereka yang menolak penafsiran tabi’in berargumen bahwa
para tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat
ayat
al-Qur’an
mendukung
diturunkan.
penafsiran
tabi’in
Sedangkan
dapat
kalangan
dijadikan
yang
pegangan
menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan dari sahabat. 14
c. Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)
Pasca
(dibukuan).
generasi
Masa
tabi’in,
pembukuan
tafsir
tafsir
mulai
dimulai
dikodifikasi
pada
akhir
pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar
abad 2 H). Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai
penulisan tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir
yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka
menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis
yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in.
Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadis.
11 Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân alKarîm, 1971), h. 37
12 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
13 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr
al-Hadîtsah, 2005), juz 1, h. 97.
14 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 339.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 6
Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat
tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah
(196 H), Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam
(211 H).
Setelah ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai
dipisahkan dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi
ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan
tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn
Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî
Hatîm (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm
(w. 405 H) dan Abû Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).15
Sementara al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir
pada masa kodifikasi berdasarkan ciri dan karakteristik.
Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan hadis.
Pada
saat
hadis
dibukukan,
tafsir
menjadi
bagian
bab
tersendiri di dalamnya. Kedua, yakni penulisan tafsir yang
dipisah
dari
berdasarkan
kitab hadis.
periyawatkan
Namun
yang
penulisan tafsir
disandarkan
pada
tetap
Nabi,
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran bil
ma’tsur).
Ketiga,
tahap
ini
penulisan
tafsir
tetap
mencantumkan riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang
sangat signifikan, riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi
sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir adanya
pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya kisah-kisah
isrâiliyyât dalam tafsir. Keempat, sumber tafsir pada masa ini
tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga
berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.16
2. Tafsir pada Abad Pertengahan
Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad
ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu
15 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 340-341.
16 al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm.
Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. 7-8.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 7
pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age).17
Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian
sarat
dengan
disiplin-disiplin
ilmu
yang
mengetarinya
dan
kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an
pun
seringkali
dijadikan
untuk
melegitimasi
kepentingan-
kepentingan mazhab/aliran tertentu.
Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era
keemasan Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ al-Bayân an
Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); alKasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû al-Qasîm Mahmûd ibn
Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih al-Ghaib karya
Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya
Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505
M).
Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn
Arabi (638 H) yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini
disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung
pahamnya, wahdatul wujud.18 Kelahiran Imâduddîn Ismail ibn
Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan
bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm
yang terdiri sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitabkitab lainnya yang ia tulis.19 Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’
al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah al-Qurtubî (671 H). Banyak
kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama Maliki,
dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi
pada ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia
menafsirkan
al-Qur’an
secara
keseluruhan.
Ulasannya
biasa
17 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008), h. 25.
18 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 47.
19 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 105.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 8
diawali dengan menjelaskan asbâb nuzûl, macam qira’at, i’rab dan
menjelaskan lafaz yang gharib.20
Selain
nama
mufassir
di
atas,
muncul
pula
Alî
ibn
Muhammad al-Baghdadî (678-741 H) dengan karya tafsirnya
Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau yang sering disebut
dengan Tafsir al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran dalam tafsir
tersebut adalah bil ma’tsûr. Al-Khâzin menaruh perhatian cukup
besar banyak terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada
beberapa penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein
al-Dzahabî.21
Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû
Hayyân al-Andalusî. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan
jilid, ia banyak mencurahkan perhatiannya dalam masalah I’rab
dan Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar dalam masalah
Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok
disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat
Zamakhsyari
seringkali
dalam
tidak
hal
ilmu
sependapat
Nahwu.
dengan
Namun
Abû
Zamakhsyari,
Hayyan
terlebih
mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.22
Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab
tafsir yang muncul pada abad pertengahan ini. Masing-masing
memiliki karakter yang menjadi khas penulis tafsir tersebut.
Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad
pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam
ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan perbedaan
penafsiran yang didasari perbedaan mazhab dan tempat.
3. Tafsir pada era Modern
Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa
memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian
pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh
20 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 380.
21 al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 265-267.
22 Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 504.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 9
pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para
mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat
menjadi faktor utama penafsir dalam memberi respon. Ciri
berpikir rasional yang menjadi identitas era modern kemudian
menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini
bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an, karenanya
mereka gagal menangkap spirit rasional al-Qur’an.
Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan
dari pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan
penalaran rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an dengan alQur’an,
atau
kembali
pada
al-Qur’an.
Kemudian
mereka
menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.23
Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern
Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang
disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir
dalam menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan tuntunan
zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung dalam alQur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih
lanjut Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu
akibat persentuhan dengan peradaban asing kian lebih intensif.24
Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (18491905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis
tafsir al-Qur’an atas saran muridnya, Rasyid Ridha. 25 Meskipun
pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga.
Uraian Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah
seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan
Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh
23 Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
24 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 2.
25 Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abdul awalnya merupakan tema-tema
ceramah yang ia adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian diterbitkan dalam
bentuk jurnal setiap bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid Ridha. Maka
penyempurnaan tafsir tersebut dilakukan oleh Ridha.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 10
adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral
dari sebuah ayat.26
Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak
yang menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama
konservatifnya. Sampai kemudian muncul metode dan cara baru
dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah Thanthâwi Jauhari (w. 1940)
yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi ulasanulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu
Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga
kitab tafsirnya, Al-Jawâhir fi al-Tafsir digadang-gadang sebagai
tafsir bercorak ilmi (santifik).27
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în alMarâghi
juga
mencatatkan
namanya
sebagai
deretan
dari
mufassir modern dengan karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm
yang sering dikenal dengan sebutan Tafsîr al-Marâghi. Ia lahir
1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis tafsirnya selama sepuluh
tahun, sejak tahun 1940-1950.28 Dalam muqaddimah tafsirnya, ia
mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia merasa ikut
bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan
yang terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada alQur’an.29
Di samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan tafsirnya
Fi zhilali al-Qur’an dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan
Tafsir al-Bayani li al-Qur’ani al-Karim.
Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab
tafsirnya. Antara lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud
Yunus(1899)dan Kasim Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan
(w. 1887-1958), Tafsîr al-Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan
Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-Majîd karya Hasbi al-Siddiqi
26 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 8.
27 Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman
Modern, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 176.
28 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 151-153.
29 Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 11
(1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981)30, dan
Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah
bahwa
penafsiran
rasional,
sains
abad
(tafsir
ke-19
ilmi)
menonjolkan
dan
sastra.31
corak
reformis-
Perkembangan
selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik
dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era
mendatang akan ada lagi berbagai metode penafsiran untuk
mengungkap makna-makna al-Qur’an.
D. Corak dan Metode Penafsiran
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Cara penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan
generasi berikutnya itu dalam kerangka metodologis, disebut jenis
tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan ini oleh alZarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam AlQur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud
Allah SWT pada nash Al-Qur'an. 32 Metode bil ma'tsur, memiliki
keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah :
a. Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesanpesan,
c. Mengikat
mufassir
dalam
bingkai
teks
ayat-ayat,
sehingga
membatasinya terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan33,
d. Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan
yang bermanfaat bagi generasi berikutnya.
30 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237.
31 Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill:
Leiden, 2001), vol. 2, h. 126-132.
32 Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum AlQur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957), h. 3.
33 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), h.
157.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 12
Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir
yang
mengandalkan
metode
ini,
seperti
yang
dicatat
oleh
beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :
a. Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan
kesusasteraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok AlQur'an menjadi kabur di celah uraian itu,
b. Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau
sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari
uraian nasikh/mansukh) hampir dapat di katakan terabaikan
sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan
dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat
tanpa budaya.34
c. Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab,
politik dan usaha-usaha musuh Islam.
d. Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur
Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur'an,
Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup
dapat dipahami karena para mufassir mengandalkan penguasaan
bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara baik, juga mereka
ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya.
Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan
itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena kita telah
kehilangan kemampuan dan rasa bahasa Arab itu. Metode
periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan
mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa
bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta
obyektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampaisampai ada diantara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat
tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai
bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-
49.
34 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), hlm.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 13
riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya
tidak mempunyai dasar yang kokoh.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan
riwayat Al-Qur'an. Karena, ketika itu, masa antara generasi
mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup
dekat
dan
laju
perubahan
sosial
dan
perkembangan
ilmu
pengetahuan belum demikian pesat. Disamping itu, penghormatan
kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid
nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in
sebagai generasi peringkat kedua khairun qurun, masih sangat
terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan
keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih
cukup mantap.
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an
dimana seorang mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai
pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi diatas, Ash-Shabuni
menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang
dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas
dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran
pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut
Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir
dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai
sandaran dalam menjelaskan sesuatu.35 Sedangkan az-Zarqani
secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir
ijtihad
yang
disepakati
atau
memiliki
sanad
kepada
yang
semestinya dan jauh dari kesesatan dan kebodohan.
3. Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai
metode tajzi'iy adalah suatu metode yang berupaya menjelaskan
kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang
35 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 351-352.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 14
tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini
terdiri atas empat langkah, yaitu
a. Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah
tersusun dalam mushaf,
b. Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti
dengan penjelasan mengenai arti global ayat,
c. Mengemukakan
munasabah
(koralasi)
ayat-ayat
serta
menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama
lain,
d. Mufassir membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal
dari Rasul, sahabat dan tabi'in.36
Kelemahan metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para
penafsir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih
tepat dalil pembenaran terhadap pendapat-pendapatnya dengan
ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini
tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap
persoalan-persoalan
memberi
yang
pagar-pagar
dihadapi
metodologis
sekaligus
yang
tidak
dapat
banyak
mengurangi
subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain yang dirasakan dalam
tafsir-tafsir
dicarikan
yang
menggunakan
penyebabnya
adalah
metode
bahwa
tahliliy
yang
perlu
bahasan-bahasannya
dirasakan sebagai mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin
karena
sifat
mengacu
penafsirannya
pada
penafsiran
amat teoritis, tidak
persoalan-persoalan
sepenuhnya
khusus
yang
mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian
yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah
pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. 37 Contoh
dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti
tafsir "Jami' al Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir alThabari, tafsir Mafatih al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan
36 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Kairo: AlHadharah al-Arabiyah, 1977, hlm. 18.
37 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, hlm. 87.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 15
lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya termasuk tafsir bi
al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula
dengan tafsir al-Razi.
4. Tafsir Muqaran
Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan
Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqaran sebagai metode
penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang satu dengan
ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda
masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan haditshadits nabi Muhammad saw, yang tampaknya bertentangan
dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan pendapat ulama
tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama 38 Dari
beberapa pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam
metode tafsir muqaran :
a. Arah
kecenderungan
mufassir
dan
faktor
yang
melatar
belakanginya,
b. Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang
sama redaksinya namun berbeda masalahnya,
c. Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya
bertentangan,
d. Pendapat ulama tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya.
Karya-karya tulis yang termasuk dalam klasifikasi penafsiran
muqaran adalah karya tulis kontemporer, misalnya Al-Qur'an,
Bible dan Sains Modern karya Maurice Bucaile dan Muhammad fi
al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an, karya Ibrahim Khalili (Rumi,
1413:57).
5. Tafsir Ijmaly
Tafsir ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengemukakan
makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufassir membahas
38 Said Aqil al-Munawwar, I,jaz Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang
: Dina Utama, 1994), hlm. 36.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 16
ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf,
kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat
tersebut. Dengan demikian cara kerjan metode ini tidak jauh
berbeda dengan metode tahliliy, karena keduanya tetap terikat
dengan urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam
mushaf, dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat lain
dalam topik yang sama kecuali secara umum saja. 39 Contoh dari
tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain.
6. Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi
memberikan
batasan
pengertian
tafsir
tematik,
yaitu
:
Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan
dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin
ayat-ayat tersebut disusun menurut kronologi turunnya disertai
dengan
pemahaman
dikomentari,
dikaji
asbab
secara
al-Nuzulnya.
khusus
dalam
Lalu
oleh
mufassir
kerangka
tematik,
ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang
pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat
topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan
menguasainya
dengan
sempurna.40
Jadi
lewat
metode
ini,
penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu yang
hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian
dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan
topik ini, kemudian dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar
satu sama lain bersifat menjelaskan, baru akhirnya ditarik
kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat
yang saling terkait itu.
Jika pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat
menemukan ciri-ciri dari bentuk tafsir tematik, antara lain :
a. Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat
seperti tersusun dalam urutan mushaf Utsmani sebagaimana
39 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i,hlm. 67.
40 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 41-42.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 17
yang berlaku dalam tafsir tahlilliy, melainkan suatu tema
tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara
integral menurut pandangan Al-Qur'an,
b. Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat
yang dipandang saling berkait dan bersekutu dalam satu tema
tertentu,
c. Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek
kronologi turunnya ayat dan asbab al-Nuzulnya,
d. Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masingmasing ayat dan lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya
dipahami dan ditinjau dan berbagai aspeknya, seperti bahasa,
konteks kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya,
e. Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan
berbagai ilmu, baik yang tergolong dalam "ulum al tafsir"
maupun ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti sejarah, sosiologi,
antropologi dan sebagainya,
f.
Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada
satu topik yang ditetapkan,
g. Tujuan
utama
yang
ingin
dicapai
oleh
tafsir
tematik
sebagaimana dikemukakan oleh al-Farmawy dalam bukunya alBidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah memahami makna dan
hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz AlQur'an,
seperti
keindahan
bahasa
atau
ketinggian
nilai
sastranya atau kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.41
Salah satu pakar tafsir yang mempopulerkan metode ini di
Indonesia adalah M. Quraish Shihab dengan berbagai karyanya.
E. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. AlQur’an ibarat samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta
mutiara ilahi. Untuk meraihnya, semua orang harus berenang dan
menyelami
samudera
al-Qur’an.
Tidak
semua
penyelam
itu
41 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 51-55.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 18
memperolah
apa
yang
diinginkannya
karena
keterbatasan
kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa, bahkan
para pakar telah banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan
tuntutan zaman demi menegaskan eksistensi al-Qur’an salih li kulli
zaman wa makan.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam penafsiran di
antaranya metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.
DAFTAR PUSTAKA
al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman
Modern, Pent. Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dâr alKutub al-Hadîtsah, 2005, h. 43.
al-Marâghi, Ahmad Mustafa, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
al-Qaththan, Manna al-Khallil, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, Riyadh:
Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973.
al-Siddiqi , Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1900.
al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, Cairo: Mathba'ah
Hijazy, tt.
al-Zarqanî, Abdul Azhîm, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr
al-Maktabah al-Arabiyah, 1995.
Ghafur, Saiful Amin, Profil Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, Kuwait: Dâr al-Qur’ân alKarîm, 1971.
J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 19
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS,
2011.
Shihab , M. Quraish, Membumikan al-Qur’an Bandung: Mizan, 1995.
Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ilmu Tafsir al-Qur’an | 20