Relasi Dependensi Rasio dan PEngalaman

Relasi Dependensi Rasio dan Pengalaman sebagai Kritik atas Devaluasi Rasio
atau pun Pengalaman.
 Tesis :
“Kebenaran adalah kesesuaian intelek dengan realitas, karena kebenaran adalah tujuan akhir
dari intelek dan realitas. Bahwa sesuatu benar jika sungguh-sungguh ada (dialami) dan adanya
sesuatu itu dapat dijelaskan. Dengan demikian, kebenaran bukan hanya soal pengakuan atas
adanya sesuatu tapi juga pemahaman atas adanya sesuatu, karena intelek dan realitas bukanlah
cara dalam menghasilkan kebenaran namun daya yang dari padanya manusia bisa beroleh
kebenaran.”
 Kerangka Pembahasan :
1. Devaluasi peran rasio dan pengalaman.
Tak bisa dipungkiri bahwa pada kenyataannya, dalam diri manusia terkandung hasrat untuk
menuju pada kebenaran. Hasrat tersebut memampukan manusia untuk bersikap dalam menilai
kebenaran dari pengetahuan yang ditemuinya dalam kehidupan setiap hari. Sikap yang
dimaksud, adalah menerima pengetahuan yang benar (sesuai dengan rasio dan berdasar pada
pengalaman) dan menjauhi pengetahuan yang salah. Dua hal yang muncul dalam pengetahuan
yang benar, adalah rasio dan pengalaman. Rasio merujuk pada daya nalar manusia yang mana
dari padanya manusia dimampukan untuk berpikir dan memilah-milah setiap hal yang ia jumpai
sebagai sarana untuk memahami dan menentukan sikap atas realitas. Untuk itu, tak dapat
disangkal bahwa ilmu pengetahuan adalah produk rasio. Sedangkan pengalaman merujuk pada
penghayatan manusia atas pengalaman, dimana dalamnya keseluruhan eksistensi manusia

berperan dalamnya. Keseluruhan eksistensi manusia yang dimaksudkan merujuk pada
kemampuan manusia dalam melihat pengalaman lewat daya nurani yang memiliki akal sendiri
dan akal tersebut tak diketahui oleh rasio. Contohnya : rasa terenyuh yang menimbulkan simpati
bahkan empati dalalm diri manusia saat berhadapan dengan realitas yang mengharukan
(misalnya : pengamen cilik berumur 7 tahun dengan pakaian kumal berusaha bernyanyi sebaik
mungkin demi sesuap nasi). Rasio tak pernah akan bisa mengerti mengapa rasa terenyuh itu
muncul begitu saja tanpa bisa dibendung, bahkan bila berkembang menjadi sebuah sikap simpati
bahkan empati atas realitas tersebut.
Semua itu menampilkan rasio dan penghayatan sebagai dua cara yang berbeda satu sama lain
dalam menghasilkan sebuah pengetahuan yang benar atas realitas. Hal inilah yang menjadi

kelemahan dari kaum rasionalis dan kaum empiris karena melihat rasio hanya sebatas cara
memperoleh pengetahuan. Mereka lupa bahwa pada hakikatnya rasio dan penghayatan adalah
daya yang hanya bisa bermanfaat dalam menghasilkan pengetahuan yang benar jika tidak
dipisahkan satu dari yang lain. Mengapa ?
Di atas telah dijelaskan perihal hakikat rasio yang adalah daya nalar manusia yang mana dari
padanya manusia dimampukan untuk berpikir dan memilah-milah setiap hal yang dijumpai
sebagai titik tolak dalam memahami realitas, sedangkan penghayatan adalah daya nurani
manusia yang mana dari padanya manusia dimampukan untuk menghayati keberadaan dirinya
sebagai bagian dari realitas. Tesis dasar relasi dependensi rasio dan penghayatan dalam konteks

ini, adalah bahwa rasio dan pengalaman adalah dwitunggal kekuatan manusia dalam
menghasilkan kebenaran. Lewat rasio pengalaman dipilah-pilah dan dinalar sebagai usaha dalam
memahami realitas. Kendati demikian, pemilahan dan penalaran atas pengalaman tersebut hanya
mungkin jika manusia sungguh menyadari keberadaannya dalam realitas; bahwa realitas sungguh
ada karena dalamnya manusia bereksistensi. Tak mungkin manusia memilah-milah dan menalar
sebuah pengalaman jika pengalaman tersebut tidak dikenali manusia sebagai sebuah realitas
dimana ia berada. Atau dengan kata lain, manusia tidak mungkin memahami sesuatu dalam
tataran rasio jika sesuatu itu tidak ada. Hal yang sama juga berlaku pada penghayatan. Tak
mungkin manusia mampu menghayati pengalaman sebagai bagian dari dirinya, bila manusia tak
mampu untuk mengenali pengalaman itu sendiri. Karena penghayatan tanpa pengenalan
menjadikan manusia sama seperti robot yang beraksi seturut input dari remote control tanpa tahu
alasan yang mendasari aksi tersebut.
Dengan demikian, devaluasi atas rasio oleh kaum empiris atau pun devaluasi atas fakta empiric
oleh kaum rasionalis dapat dikatakan sebagai pola pikir yang cenderung memandang rasio dan
fakta empiric sebagai cara dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Padahal keduanya
merupakan daya kodrati manusia, karena substansi manusia yang tersusun atas jiwa dan tubuh.
Rasio adalah daya jiwa (forma dari manusia) dan penghayatan adalah daya tubuh (materi dari
manusia), sehingga tak bisa dipungkiri bahwa dalam realitas yang dihadapi manusia rasio
terlepas dari penghayatan atau pun penghayatan terlepas dari rasio.1[1]
2. Pengalaman Sebagai Daya Kebenaran Ontologis.


1[1] Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hlm. 12

Di atas telah dijelaskan bahwa dalam pengalaman terkandung penghayatan sebagai daya yang
dari padanya manusia dimampukan untuk menyadari keberadaan dirinya dalam realitas. Atau
dengan kata lain, penghayatan merupakan kandungan pengalaman yang memampukan manusia
untuk melihat dengan hati karena melihat dengan hati membutuhkan kesadaran akan aspek
eksistensial dari pengalaman itu sendiri juga keseluruhan eksistensi manusia sebagai satu
kesatuan jiwa dan tubuh. Dengan demikian, lewat pengalaman manusia dimampukan untuk
sungguh menyadari bahwa realita yang dialami adalah sebuah realitas yang sungguh ada dan
bukan ilusi. Atau dengan kata lain, pengalaman adalah daya kebenaran ontologis. Kebenaran
yang pembenarannya didasarkan pada fakta ontologis, yaitu bahwa sesuatu dianggap benar
karena bereksistensi secara utuh dan eksistensi tersebut hanya bisa dibuktikan bila manusia hadir
dengan seluruh eksistensinya. Relasi itu kiranya dapat digambarkan lewat contoh berikut : ketika
melihat sebuah mangga yang sudah matang, kita akan merasa tergiur. Rasa tergiur itu bukan
disebabkan karena penampilan fisik dari mangga matang yang berwarna kuning, melainkan
karena aroma harum yang terpancar keluar dari padanya. Aroma harum tersebut ditangkap oleh
manusia lewat panca indra (dimensi tubuh manusia) dan dimaknai oleh manusia sebagai sesuatu
yang menggiurkan. Pemaknaan tersebut merupakan kesan yang tersimpan dalam budi manusia
lewat pengalaman yang sama di waktu sebelumnya, karena pengetahuan dalam penghayatan tak

pernah lepas dari dinamika sejarah kehidupan manusia. Tak mungkin seseorang akan tergiur
melihat sebuah mangga masak bila mangga tersebut tidak bereksistensi dan manusia tidak
mampu bereksistensi secara utuh dalam pengalaman melihat mangga masak tersebut. Itulah
sebabnya mengapa disebut bahwa hanya apa yang bereksistensi yang dapat dipahami. 2[2]
Dengan demikian orang hanya akan merasa tergiur pada mangga masak karena ia tahu bahwa
mangga masak itu enak rasanya. Pengetahuan tentang rasa enak dari mangga itu datang dari
pengalaman adanya manusia berhadapan dengan adanya mangga tersebut. Dimana dalam
pengalaman tersebut manusia mengalami mangga tersebut sebagai sebuah realitas yang sejati
karena hadir dengan seluruh eksistensinya dan pengalaman tersebut bisa diketahui karena
manusia hadir pula dengan keseluruhan eksistensinya; dimana manusia bukan hanya mengalami
lewat mata (melihat), atau mengalami lewat aroma (mencium) tapi juga mengalami lewat budi
dimana kesan atas enaknya mangga yang pernah ia alami tersimpan dalamnya.
Inspirasi : Sesuatu dianggap benar, jika sungguh ada.
2[2] Ohoitimur, Yong. 2014. Metafisika Aquinas : Sifat-sifat Transendental Pengada. Hlm. 13

3. Rasio Sebagai Daya Kebenaran Epistemologis.
Kebenaran epistemologis disebut juga kebenaran pengetahuan (the truth of knowledge).3[3]
Dalam kebenaran epistemologis, kebenaran dihubungkan dengan intelek yang memiliki
kemampuan untuk mengetahuinya. Maksudnya adalah bahwa sesuatu hanya dapat dikatakan
sebagai sebuah kebenaran jika sungguh dapat dipahami oleh daya intelek manusia (rasio). Cara

agar manusia sampai pada pemahaman ini, adalah mempelajari secara kritis apa yang disebut
sebagai sebuah pengetahuan ilmiah lewat sebuah penalaran rasional. Dengan begitu, kebenaran
epistemologis merupakan kebenaran sebagai hasil dari kajian kritis atas pengandaian dan syarat
logis yang dari padanya pengetahuan berasal.4[4]
Pengertian ini menjelaskan peran kebenaran epistemologis sebagai bentuk pertanggungjawaban
rasional terhadap objektivitas dari pengetahuan. Bahwa sesuatu dapat diterima sebagai sebuah
kebenaran jika sesuatu itu sungguh dapat dijelaskan. Dalam kebenaran ini rasio berperan sebagai
daya utama dan dasariah, karena melaluinya dan dalamnya penalaran atas sebuah kebenaran
dilakukan oleh manusia dengan merujuk pada asal-usul kebenaran itu sendiri. Sehingga dalam
penalaran ini sebuah kebenaran dituntut untuk dipahami sebagaimana adanya, sesuai dengan jati
diri kebenaran itu sendiri.5[5] Mengenai hal ini Heidegger bahkan berpendapat bahwa
pengetahuan adalah pernyataan diri ada dari kebenaran.6[6] Maka dari itu, untuk memahami
sebuah pengetahuan sebagai kebenaran, diperlukan sebuah pemahaman yang benar atas
pengetahuan itu sendiri dan juga kebenaran yang dimaksudkan dalamnya. Konsekuensinya
adalah jika kebenaran tidak dipahami sebagaimana adanya, hasil penalaran bisa saja salah dan
lantas mengakibatkan apa yang memang sungguh benar berubah menjadi sebuah keyakinan
belaka, dan inilah yang akan amat disesalkan terlepas dari kenyataan bahwa ada juga kebenaran
yang tidak sungguh benar.
Dari semua pengertian tersebut, dapatlah dilihat bahwa daya utama dalam memahami sesuatu
sebagai sebuah kebenaran epistemology adalah rasio. Karena rasio pertama-tama memampukan

manusia melihat sebuah kebenaran sebagai sesuatu yang adanya dapat dijelaskan; mengingat
pemahaman epistemology mengandaikan sebuah pemahaman atas kebenaran sebagaimana
3[3] Ibid,. Hlm. 12
4[4] Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Epistemologi. Hlm. 2
5[5] Sonny Keraf & Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit
Kanisius. Hlm. 30-31
6[6] Martin Heidegger. Being and Time, diterjemahkan oleh John Macqarrie and Edward Robinson (New
York : Harper). Hlm. 256

adanya, serentak juga karena hanya dalam dan melalui rasiolah manusia dimampukan untuk
melakukan aktivitas bernalar secara logis. Kendati demikian, hal yang perlu diperhatikan disini
adalah bahwa rasio hanya dapat berdaya maksimal bilamana manusia senantiasa mengusahakan
input yang memperkaya rasio itu sendiri. Input yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang dari
padanya manusia dibantu untuk melihat sebuah kebenaran secara logis. Misalnya : kemampuan
berhitung untuk menjelaskan masalah matematis, kemampuan membaca untuk memahami
maksud sebuah tulisan, dan lain sebagainya. Tak mungkin orang bisa bernalar secara baik, bila
daya rasionya kurang. Singkat kata, bernalar merupakan daya rasio yang dari padanya kebenaran
dalam konteks pengetahuan dapat dipahami. Kendati demikian, rasio membutuhkan
kemampuan-kemampuan rasional yang bisa menjadikannya berdaya guna, ibarat tubuh yang
dapat beraktivitas dengan baik bila diberi makan. Tidak mungkin manusia bisa menjelaskan

sesuatu tanpa pemahaman yang baik atas apa yang dijelaskan.
4. Relasi Dependensi Rasio Dan Pengalaman
Titik kelemahan dari para kaum rasionalis maupun kaum empiris, adalah cara pandang atas rasio
juga pengalaman sebagai cara yang dari padanya manusia dimampukan dalam memperoleh
kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah pengetahuan secara pasti tentang sesuatu.
Kepastian tersebut merujuk pada pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan dan diterima oleh
rasio setelah melalui refleksi ilmiah. Kaum rasionalis bersikeras bahwa hanya dengan
menggunakan prosedur tertentu dari akal saja, manusia dapat sampai pada pengetahuan yang
sebenarnya. Untuk itu yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, adalah rasio. Sedangkan
kaum empiris bersikeras bahwa hanya pengalamanlah sumber satu-satunya pengetahuan manusia
karena pengalaman dan pengamata panca indra memberikan data dan fakta sebagai titik tolak
lahirnya suatu pengetahuan baru. Mengapa ? Karena pada dasarnya mengetahui sesuatu berarti
mengalami adanya sesuatu tersebut lewat pengalaman indrawi.7[7] Konsekuensinya adalah
devaluasi atas rasio oleh kaum empiris juga devaluasi atas pengalaman oleh kaum rasionalis.
Lantas, bagaimana mengusahakan sebuah jalan tengah agar tembok devaluasi tersebut runtuh
dan digantikan dengan sebuah kerja sama antara rasio dan pengalaman sebagai daya menuju
kebenaran sejati ? Dalam menjawab persoalan ini, hal pertama yang harus diperhatikan adalah
relasi dependensi antara rasio dan pengalaman dalam menghasilkan sebuah pengetahuan yang
mengandung kebenaran sejati.
7[7] Bdk. Sonny Keraf & Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit

Kanisius. Hlm. 43-49

Jika sejarah pemikiran ditelusuri, umumnya pengetahuan dibagi dalam dua bagian yaitu
pengetahuan apriori dan pengetahuan aposteriori. Pembagian ini dibuat oleh Aristoteles. Olehnya
pengetahuan apriori merujuk pada pengetahuan yang lebih dulu atau sebelum, sedangkan
pengetahuan aposteriori merujuk pada pengetahuan dari apa yang sesudahnya. Karena
menurutnya A lebih dulu dari B jika dan hanya jika B bisa ada tanpa A. Pendapat ini lantas dalam
perjalaan waktu dikembangkan oleh Leibniz dan Kant. Leibniz lebih spesifik merumuskan
definisi pengetahuan aposteriorisebagai pengetahuan yang diperoleh lewat hasil tangkapan panca
indra, sedangkan pengetahuan apriori merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat pemahaman
atas sebab terjadinya pengalaman yang ditangkap oleh panca indra. Argument ini lantas
dikembangkan oleh Kant dengan membedakan kedua hal tersebut dengan berdasar pada
kemungkinan kedua dari argument pariori dan aposteriori. Apakah sesuatu pengetahuan bisa
dibuktikan kebenarannya jika tidak berasal dari pengalaman atau jika tidak diberikan alasan atau
sebab dari sebuah pengetahuan, apakah pengetahuan tersebut bisa disebut sebagai sebuah
kebenaran ? Pembedaan ini lantas semakin menciptakan ruang pemisah antara pengetahuan
empiris dan pengetahuan bukan empiris (pengetahuan rasional).8[8]
Untuk itu dalam mengusahakan sebuah jalan tengah atas dua pertentangan tersebut, langkah
yang bisa diambil adalah mengelompokkan pengetahuan empiris dan pengetahuan rasional
dalam dua cara berpikir. Pengetahuan empiris ditempatkan dalam kerangka berpikir : “berpikirmenghayati”9[9] (ervaringsdenken) dan pengetahuan rasional ditempatkan dalam kerangka

berpikir : “berpikir-merenung”. Penempatan ini dimaksudkan agar rasio dan pengalaman dapat
dipandang sebagai daya manusia dalam memperoleh pengetahuan. Dalam “berpikir –
menghayati” merujuk pada respon manusia atas pengalaman yang dialami. Dimana dalam
berhadapan dengan pengalaman, manusia terdorong untuk mengarahkan dirinya pada pemaknaan
atas pegalaman. Sedangkan dalam “berpikir – merenung”, merujuk pada dorongan manusia
untuk memahami apa yang dialami. Dengan kata lain, “berpikir-merenung” adalah kelanjutan
dari “berpikir – memahami”. Kedua pengertian atas pola pikir ini mengandung sebuah kenyataan
bahwa bagi manusia kebenaran pengetahuan bukan hanya sampai pada taraf penghayatan atas
pengalaman empirik semata tapi juga berlanjut pada taraf refleksi atas penghayatan itu sendiri.
8[8] Ibid,. Hal. 56-64
9[9] Ini adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh Walgrave dalam bukunya : Kultuurleven. Istilah ini
dikutip dari buku : Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Hlm. 113

Konsekuensinya adalah tak cukup penghayatan diutamakan sebagai sumber pengetahuan karena
hanya akan menempatkan manusia dalam posisi yang sama dengan hidupnya sendiri. Sehingga
perlu juga refleksi ilmiah kritis atas pengalaman dengan melihat kembali penghayatan, karena
lewat refleksi ilmiah manusia mengambil jarak dari penghayatan dan melihatnya dengan secara
sistematis, metodis, analitis, kritis dan rasional.10[10] Dengan demikian, kerja sama antara rasio
dan pengalaman adalah hal yang mutlak perlu karena ada relasi dependensi antara keduanya

dalam menghasilkan pengetahuan yang mengandung dalamnya kebenaran yang sejati. Salah satu
contoh dari relasi dependensi ini, dapat diambil dari pandangan atas buku doa. Buku doa adalah
refleksi atas hidup doa yang mendalam, baik dan benar. Oleh karena itu, buku ini tampil bukan
sebagai penghayatan atas doa melainkan refleksi atas penghayatan hidup doa sehingga haruslah
bersifat ilmiah agar hidup doa yang mendalam, baik dan benar dapat sungguh dipahami. Tapi
apakah refleksi ini mengganggu hidup doa ? Tentu saja tidak, namun justru mendukung
penghayatan hidup doa karena dari padanya manusia dimampukan untuk memahami
penghayatannya atas doa secara mendalam, baik dan benar sehingga dapat mengarahkan hidup
doanya sesuai pemahaman itu.
5.

Kebenaran Sebagai Asal dan Tujuan Rasio juga Pengalaman (Refleksi Kritis Atas
Devaluasi Terhadap Rasio dan Pengalaman)
Pada prinsipnya kebenaran dapat dimengerti sebagai hasil kerja intelek yang sesuai atau sepadan
dengan realitas dan diartikulasikan secara tepat.11[11] Pengertian ini mengandung maksud bahwa
kebenaran adalah predikat atas sebuah keputusan atau pertimbangan yang dibuat oleh daya rasio
manusia sebagai respon atas pengalaman empirik manusia dan predikat ini merupakan sifat
transenden dari manusia. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa dalam diri manusia terkandung
hasrat untuk mencapai kebenaran.
Konsekuensi dari pemaknaan tersebut, adalah rasio dan pengalaman sebagai bagian dari manusia

berasal dan senantiasa terarah pada kebenaran. Sehingga kebenaran tidaklah dibatasi hanya pada
pengetahuan yang bersifat ilmiah, tapi juga pengetahuan yang bersifat penghayatan. Karena jika
hakikat kebenaran dikaji lebih jauh lagi, maka akan ditemukan bahwa kebenaran terdiri dari dua
lapisan yang saling berkaitan satu sama lain.12[12] Lapisan yang dimaksud adalah kebenaran
10[10] Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hlm. 114-122
11[11] Ohoitimur, Yong. 2014. Metafisika Aquinas : Sifat-sifat Transendental Pengada. Hlm. 12
12[12] Ibid,.

ontik dan kebenaran epistemologis. Bahwa sesuatu dapat dikatakan mengandung dalamnya
kebenaran sejati bila sesuatu itu sungguh ada (dapat ditangkap oleh panca indra) dan dapat
diterima oleh intelek sehingga dapat pula dijelaskan.
Fakta di atas menegaskan bahwa rasio dan pengalaman merupakan bagian dari manusia yang
dengannya dan melaluinya manusia dimampukan untuk setia pada kebenaran sebagai sifat
transendental seorang manusia. Atau dengan kata lain, rasio dan pengalaman berasal dari
kebenaran (sifat transcendental manusia) serentak pula kebenaran adalah akhir tujuan hidup
manusia dan kesanalah rasio dan pengalaman mengarah. Sehingga dalam mengusahakan sebuah
pengetahuan sebagai kebenaran, manusia tak bisa hanya bertumpu pada daya rasio atau daya
pengalaman semata apalagi sampai dengan mendevaluasi rasio atau pengalaman. Karena jika itu
sampai dilakukan maka tak akan pernah ada kebenaran yang sejati yang dimengerti sebagai
veritas est adequatio intellectus cum re. 13[13] Memisahkan rasio dari pengalaman sebagai
sumber pengetahuan yang sejati ibaratnya memisahkan jiwa dari tubuh, dan mengatakan bahwa
jiwalah substansi terpenting sedangkan jiwa tidak sambil menutup mata bahwa manusia yang
sejati adalah kesatuan tubuh dan jiwa.14[14] Akibatnya tak pernah bisa memahami manusia
secara utuh, dan kekacauan bisa terjadi bila pemahaman atas manusia dikomparasikan dengan
fakta-fakta yang keluar dari manusia itu sendiri. Untuk itu bagi kaum empiris dan kaum
rasionalis, perlu sebuah sikap kerendahan hati dan keterbukaan total atas kenyataan ini. 15[15]
Karena masalah utama bukan terletak pada memperjuangkan apa yang diyakini sebagai sebuah
kebenaran yang tertutup pada kritik karena dianggap sebagai kebenaran yang paling benar, tapi
lebih dari pada itu adalah menyadari hakikat dari apa yang diyakini dan apa yang ditentang dan
mengarahkan hal itu pada kebenaran yang sejati sebagai asal dan tujuan dari hakikat keyakinan
kita yang sebenarnya.
6. Kesimpulan
Kebenaran adalah kesesuaian intelek dengan realitas. Dalam kesesuaian tersebut terkandung
perbedaan antara intelek yang pada hakikatnya adalah hidup itu sendiri dan intelek yang tak lain
adalah rasio itu sendiri. Jika dipandang sebagai cara manusia untuk sampai pada kebenaran,
perbedaan tersebut mengakibatkan rasio dan pengalaman sebagai dua hal yang saling
13[13] L. Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta : Penerbit Gramedia. Hlm. 412-419
14[14] Ohoitimur, Johanis. 2006. Metafisika Sebagai Hermeneutika. Jakarta : Penerbit Obor. Hlm. 65-70
15[15] Hardono, Hadi P. 2001. Epistemology, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 24

bertentangan satu dengan yang lainnya. Namun jika dipandang dalam konteks tujuan akhir dari
keduanya yang adalah kebenaran, nyatalah bahwa keduanya saling membutuhkan dan saling
memperkaya dalam mencapai tujuan yang sama, itulah kebenaran. Dalam usaha untuk
memahami relasi ketergantungan tersebut, penghayatan dan refleksi ilmiah hadir sebagai dua
cara berpikir yang berbeda karena menekankan aspek cara memperoleh pengetahuan, namun
pada hakekatnya sama karena berasal dari hidup dan mengarah pada kebenaran yang adalah
hidup itu sendiri. penghayatan adalah pengakuan manusia atas kebenaran dan refleksi ilmiah
adalah sumber penjelasan atas pengakuan tersebut. Dengan demikian, keduanya adalah dua
bentuk berpikir yang berbeda essensinya, namun tak bisa dipisahkan satu sama lain.
 Daftar Pustaka
1. Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
2. Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Epistemologi
3. Sonny Keraf & Mikhael Dua. Tahun . Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta
: Penerbit Kanisius.
4. Martin Heidegger, being and time, tranl. By. John macqarrie and Edward robinson (new York :
harper).
5. Ohoitimur, Yong. 2014. Metafisika Aquinas : Sifat-sifat Transendental Pengada.
6. L. Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta : Penerbit Gramedia. Hlm. 412-419
7. Ohoitimur, Johanis. 2006. Metafisika Sebagai Hermeneutika. Jakarta : Penerbit Obor. Hlm. 6570
Hardono, Hadi P. 2001. Epistemology, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 24