Realitas dan Hiperrealitas perempuan wiryanti

ANTARA REALITAS DAN HIPEREALITAS
Simulasi bukan lagi wilayah, sebuah wujud, atau subtansi refernsial. Ia adalah
penciptaan lewat model-model suatu yang real, yang tanpa asal-usul realitas:
sebuah hipereal. Wilayah tidak lagi mendahului peta yang mendahului wilayah—
precession of simulacra. (Jean Baudrillard: Simulation, Semiotext).

Ruang Modernisme dan Postmodernisme
Permulaan kata postmodernisme ini berawal dari gerakan kebudayaan,
yang berusaha ‘mengingkari’ ruang modernisme. Gerakan kebudayaan sebagai
pelopor pencarian model yang khas dalam modernisme, yaitu mencari dasar dari
segala pengetahuan tentang “apa”nya realitas dari segala realitas. Berharap dari
sebuah realitas yang didapatkan dari ‘representasi’ massa ke dalam ruang obyektif
yang bisa dibayangkan dan memiliki identitas bentuk suatu masyarakat massa.
Realitas dalam postmodernisme merupakan suatu dari yang ‘pasti’ dan
sebuah bentuk kesadaran massa, kesadaran dari bentuk postmodernisme berawal
dari tradisi filsafat yang berasal dari fenomenologi suatu keadaan massa pada
masyarakat kontemporer. Postmodernisme sebagai bentuk kritik dari modernisme,
dalam modernisme filsafat memang berpusat pada epistemologi, yang bersandar
pada gagasan tentang subyektivitas realita.
Dalam modernisme, gagasan tentang subyektivitas dalam struktur filsafat
tradisi modernisme memiliki ruang pemahaman antara subyektivitas masyarakat

yang keterkaitan dengan struktur fenomenologi kehampaan dalam realitas atas
tradisi ‘kekuasaan’ modernisme. Modernisme memiliki wilayah atau ruang privat
maupun publik yang mempunyai makna relasi antara subyek dan obyek. Subyek
dikonstruksi dalam relasi masyarakat tradisi menuju era modernisme. Pemaknaan
antara relasi subyek masyarakat tradisi, masyarakat postmodernisme memiliki
ruang dalam bentuk gerakan post-strukturalis yang dimaksudkan bahwa gerakan
tersebut untuk melawan kritik suatu dimensi dalam filsafat.

1
Nathanologi.Modernitas Juggernaut

Dimensi filsafat yang membentuk ruang postmodernisme melawan
kontradiktif modernisme, modernisme sebagai bentuk masyarakat yang berasal
dari kesadaran esensial diri. Kesadaran yang dapat membentuk suatu masyarakat
post-modernisme antara realitas subyektif. Unsur-unsur subyektivitas yang
mendasari modernisme, masyarakat yang merupakan unsur subyektif memiliki
tujuan interaktif dalam masyarakat. Gerakan modernisme berawal dari gerakan
masyarakat struktur fundamental yang menginginkan bentuk suatu kemapanan
pada masyarakat yang melebihi segala realitas.
Realitas dan Imaji

Dalam sebuah persoalan postmodernisme, imaji merupakan sebuah bentuk
dari segala realita yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat kontemporer,
imaji yang memiliki keterkaitan antara sebuah realitas memiliki umpan dalam
sebuah wacana filsafat. Persoalannya apakah sebuah imaji mempunyai makna
dalam sebuah masyarakat postmodernisme yang meliputi ruang makna simbol
dalam struktur masyarakat. Imaji atau fantasikah yang mendasari simbol untuk
manusia dalam memahami realitas. Imaji dalam masyarakat membentuk suatu
‘khayalan interpretatif’ atas keinginan manusia dalam memperoleh impian
realitas. Realitas dari segala realitas, yang dapat membentuk sebuah image dalam
pemahaman diskursif realitas.
Kenapa Realitas Dipersoalkan?
Awal dari realitas, mungkin mempersoalkan filsafat yang tidak dapat
membentuk suatu jawaban tepat. Realitas dari filsafat merupakan cermin dari
segala cermin yang memiliki esensi konteks hidup manusia. Cermin yang dapat
membentuk realitas dari masyarakat, realitas filsafat dalam tradisi posmodernisme
yang dari bentuknya esensial eksistensi diri humanis. Realitas yang merujuk
tradisi humanis filsafat eksistensialisme menurut Sartre merupakan sebuah simbol
dari gejala psikologi dalam imaji suatu individu. Imajinasi adalah suatu bentuk
hasrat atau keinginan yang timbul atas individu untuk mencapai puncak kekayaan
‘bayangan’ yang diperoleh atas media di dalam diri identitasnya. Antara realitas


2
Nathanologi.Modernitas Juggernaut

dan imajinasi memiliki sebuah makna dalam suatu tradisi idenitas filsafat, yang
memiliki ruang yang sama (Tedjoworo: 2001).
Realitas dalam ruang yang terdapat simbol-simbol kultural terdapat dalam
masyarakat postmodernis, realitas yang memiliki bentuk imaji suatu individu
masyarakat kontemporer. Bentuk imaji yang terdiri dari realitas antara realitas
simbol yang memiliki manisfestasi kultural obyektif realitas. Persoalan realitas
tidak serumit dalam tradisi postmodernisme, realitas memiliki makna teks
diskursif yang dikembangkan. Persoalan diskursif memiliki relasi-relasi kuasa
dalam bentuk imajiner. Kekuatan imajinasi dalam setiap manusia memiliki
bentuk-bentuk diskursif yang memberikan ruang gerak dalam tradisi wacana
[diskursif], dengan memiliki tujuan esensi ‘pemetaan’ realitas. Apakah realitas
selama ini dapat ‘dipercaya’ dalam suatu tradisi. Filsafat realitas yang memiliki
hubungan paradoks antara tradisi dan modernitas. Modernitas dalam memetakan
sebuah konsep yang merupakan pendefenisian dari bentuk struktur antar
hubungan dialogis yang bersifat inheren. Persoalan imaji dalam bentuk realitas
postmodernis, gambaran atau bayangan dari suatu bentuk esensi yang memiliki

nilai-nilai ‘plus’ dalam suatu massa.
Persoalan Postmodernisme
Setiap masyarakat dapat menentukan pembentukan atas suatu realitas,
dalam hal tersebut mungkin memiliki bentuk suatu esensi atas setiap tindakan.
Tindakan dalam suatu postmodernisme menentukan citra dalam bentuk diri.
Sebagai istilah-payung memang postmodernisme dalam arti luas ini bisa terasa
kosong, bisa diisi apapun juga. Akan tetapi barangkali ia mesti dilihat ibarat
keranjang besar, kosong, meskipun keranjangnya ada. Dan itu sebetulnya sama
saja dengan istilah “modern” sendiri, yang juga bisa diisi apapun juga.
Orang bisa menyebut teknologi modern, pola pikir modern, pesantren
modern, bahkan gaya cukuran modern atau gudeg modern,dst. Dan orang bahkan
bisa menyebut berbagai aliran filsafat yang satu sama lain saling bertentangan
macam rasionalisme, empirisme, materialisme dan idealisme, semua sebagai

3
Nathanologi.Modernitas Juggernaut

filsafat “modern”, alias berada dalam satu keranjang yang sama. Artinya,
keranjangnya toh ada. Ada kecenderungan-kecenderungan dasar yang sama.
Beberapa kecenderungan dasar umum postmodernisme yang bisa

dianggap sebagai kerangka keranjang, misalnya, (1) kecenderungan menganggap
segala klaim tentang ‘realitas’ (diri subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dsb.) sebagai
konstruksi semiotis, artifisial dan ideologis, (2) skeptis terhadap segala bentuk
keyakinan tentang ‘substansi’ objektif (meski tidak selalu menentang konsep
tentang universalitas), (3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara
dan sistem (pluralisme), (4) paham tentang ‘sistem’ sendiri dengan konotasi
otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan
‘jaringan’, ‘relasionalitas’ ataupun ‘proses’ yang senantiasa saling-silang dan
bergerak dinamis, (5) dengan begitu cara pandang yang melihat segala sesuatu
dan sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan; segala
unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah
‘postmodernisme’ sendiri pun mesti dimengerti dalam interelasinya dengan
‘modernisme’, alih-alih melihatnya sebagai oposisi), (6) melihat secara holistik
berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya, emosi,
imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb., serta (7) menghargai segala hal ‘lain’
(otherness),yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan
dipinggirkan oleh wacana modern (misal, kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal,
paranormal, agama, sehingga segala hal dan pengalaman yang selalu mengelak
dan pola rumusan kita).
Akan tetapi, keluasan memang berarti juga kekaburan. inilah memang

masalahnya, kekaburan istilah ‘postmodern’ sebagian besar adalah karena
kekaburan istilah ‘modern’ itu sendiri. ‘modern’ dalam arti mana yang dikritik
‘postmodernisme’ itu. Berbagai kekisruhan dalam menempatkan situasi mana
dijalur mana berakar pada persoalan itu. Artinya, kendati postmodernisme bisa
dicanangkan prinsip-prinsip dasarnya yang sama, membuatnya bisa mencakup
demikian banyak aliran, toh selalu bisa juga dilihat perbedaan-perbedaannya pada
tingkat rincian-rincian.

4
Nathanologi.Modernitas Juggernaut

Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme dari postmodernitas.
Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk
menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri
adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke
ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral.
Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena, negara-bangsa pecah
menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar, partaipartai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial, kelas
sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang
memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi seksual, serta prinsip

kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang
menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual.
Sementara itu postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru
yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsepkonsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya
representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier (Adian: 2001).
Sama dengan Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan
postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernisme, jika sungguh-sungguh
ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam
sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspekaspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu postmodernitas
dimengertinya sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi-institusi
modernitas. Namun, alih-alih menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih
suka menggunakan istilah “modernitas yang teradikalisasi” (radicalized
modernity) untuk menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat
dan sedang melaju kencang bak Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu
dunia yang mrucut (runaway world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas yang
mewartakan berakhirnya epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang
terjadi sekarang ini adalah “modernitas yang sadar diri” (Giddens: 2001).
Sementara

itu


tulisan,

Bambang

Sugiharto

mengatakan

bahwa

‘postmodernisme’ memang merupakan istilah yang kontroversial sekaligus

5
Nathanologi.Modernitas Juggernaut

ambigu. Postmodernisme itu bagaikan rimba belantara yang dihuni oleh aneka
satwa--suatu istilah yang “memayungi” segala aliran pemikiran yang satu sama
lain seringkali tak persis saling berkaitan. Namun kiranya cukup jelas, katanya,
bahwa dalam postmodernisme gagasan-gagasan seperti “filsafat”, “rasionalitas”,

dan

“epistemologi”

dipertanyakan

kembali

secara

radikal.

Problem

postmodernisme menurut dia adalah problem keterbatasan bahasa, khususnya
keterbatasan fungsi deskriptif bahasa. Dia mengusulkan agar bahasa dilihat fungsi
transformatifnya. Muncullah metafor mula-mula diperkenalkan oleh Ricoeur—
yang dapat menjadi titik terang untuk melihat persoalan-persoalan yang diajukan
oleh postmodernisme. Metafor tidak menunjukkan suatu kebenaran absolut,
melainkan suatu “kebenaran yang bertegangan” (tensional truth) (Bambang

Sugiharto: 2000).
Lain lagi dengan, Terry Eagleton, mengungkapkan dalam The Illusions of
Postmodernism bahwa biasanya memang dibedakan antara postmodernisme dan
postmodernitas. Pembedaan ini cukup berguna baginya. Akan tetapi, dia sendiri
lebih senang menggunakan istilah postmodernisme, sebab istilah ini dapat
mencakup keduanya. Postmodernitas biasanya dimengerti sebagai gaya berpikir
yang curiga terhadap pengertian klasik tentang kebenaran, rasionalitas, identitas,
obyektivitas, curiga terhadap ide kemajuan universal atau emansipasi, curiga akan
satu kerangka kerja, grand narrative atau dasar-dasar terdalam dalam penjelasan.
Berlawanan dengan norma-norma pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia
sebagai yang kontigen, tak berdasar, tak seragam, tak stabil, tak dapat ditentukan,
seperangkat kebudayaan yang plural atau penafsiran yang melahirkan skeptisisme
terhadap obyektivitas kebenaran, sejarah dan norma-norma, kodrat yang
terberikan serta koherensi identitas. Sementara itu postmodernisme dimengerti
sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan jaman ini
ke dalam suatu seni yang diwarnai oleh ketakmendalaman, ketakterpusatan,
ketakberdasaran; seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta
pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya ‘tinggi’ dan
budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian (Terry: 1996).


6
Nathanologi.Modernitas Juggernaut