Julian Millie Muslim Etnis dan Muslim In

Mencermati Kejelian Julian Millie
Critical Review Terhadap Makalah Muslim Etnis dan Muslim Indonesia
Oleh Arief Permadi1
Abstrak
Julian Millie2 menganggap, masa-masa awal transformasi muslim etnis Hindia Belanda
menjadi warga negara Indonesia adalah bagian terpenting dari semua perkembangan
yang mempengaruhi lokalitas Islam di Indonesia. Critical review ini membahas kejelian
Millie menggunakan laporan Raden Satjadibrata tentang peringatan Maulid Nabi di
Bandung tahun 1931 sebagai pendekatan kajiannya dalam makalah berjudul, Muslim
Etnis dan Muslim Indonesia3.
Kata Kunci: Millie, muslim, etnis

A Pengantar
Julian Millie memulai kajiannya dengan asumsi bahwa dari semua perkembangan
yang mempengaruhi lokalitas Islam di Indonesia, yang paling penting adalah transformasi
muslim etnis Hindia Belanda menjadi warga negera Indonesia. Transformasi, yang
menurut Millie, tak tercapai saat Soekarno memprokamasikan kemerdekaan Indonesia.
Transformasi yang justru baru terbentuk saat munculnya konsepsi baru mengenai
masyarakat dan subjektivitas individu saat merebaknya nasionalisme dan reformasi Islam
pada awal abad ke-20.


1 Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Sunan Gunung Djati (UIN)
Bandung
2Julian Millie adalah Senior Lecturer pada Departement of Anthropology, Monash University. Melakukan
penelitian tentang tradisi dan kehidupan keagamaan masyarakat Sunda di Jawa Barat. Bukunya, antara lain:
The People’s Religions (2005), Splashed by The Saint, Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java (2009).
Ia juga menulis dan mengedit artikel di jurnal ilmiah dalam bidang antropologi dan kajian Indonesia. Aktif
dalam kegiatan profesional dengan menjadi dewan redaksi majalah digital Inside Indonesia.
3Kajian Julian Millie dalam makalahnya, Muslim Etnis dan Muslim Indonesia, menjadi bab tersendiri dalam
buku berjudul Islam dan Regionalisme: Studi Kontemporer Tentang Islam di Indonesia yang diterbitkan
Pusaka Jaya, Bandung, 2015. Buku ini merupakan bagian dari workshop yang terselenggara atas kerjasama
antara Monash University Australia, Nanzan University Jepang, dan Pascasarjana Universitas Isam Negeri
(UIN) Bandung sebagai penyelenggara.

1|Page

Kajian Millie dalam makalahnya ini berkaitan dengan transformasi tersebut.
Tentang pembentukan kembali praktik ibadah serta makna-makna lokalitas dalam praktik
ibadah tersebut.
B Deskripsi Satjadibrata
Sebagai peneliti yang telah lama mengamati tradisi dan kehidupan keagamaan

masyarakat Sunda di Jawa Barat, Millie memilih mendekati “transformasi” ini melalui
deskripsi tentang perubahan dalam bentuk-bentuk kegiatan ritual yang ditulis Raden
Satjadibrata (1886-1970)4 dalam feature-nya tentang peringatan Maulid Nabi yang dimuat
Parhiangan, majalahberbahasa Sunda terbitan Balai Pustaka, Agustus 19315.
Tentu saja, bukan tanpa alasan, Millie memilih feature tersebut sebagai pintu
masuknya. Fragmen peristiwa Maulid ketika itu digambarkan Satjadibrata dengan sangat
detail. Simak saja ketika Suryadibrata menggambarkan bahwa acara Maulid malam itu
berbeda dari Maulid biasanya. Maulid dilakukan di aula yang luas. Orang-orang
berdatangan dari luar kota. Ada yang datang dengan menumpang trem (kereta api)
seperti dirinya. Ada pula tamu-tamu dari Batavia yang datang dengan menumpang busbus sewaan yang kemudian diparkir di halaman gedung yang aulanya dipergunakan
sebagai tempat peringatan Maulid.
Satjadibrata juga menggambarkan “modernisasi” yang terjadi dalam Maulid ketika
itu dalam penggalan kalimat, “...di atas meja panitia ada ‘loudspeaker’ (alat untuk

4 Raden Satjadibrata adalah wartawan dan pengarang Sunda terkemuka pada awal abad ke-20. Ia bekerja di
Batavia (sekarang Jakarta) sebagai penyunting bahasa Sunda di Balai Pustaka, yakni lembaga yang didirikan
Pemerintah Kolonial untuk menyediakan bahan bacaan bagi masyarakat pribumi Hindia Belanda. Tugasnya
meliputi kegiatan menyunting majalah berbahasa Sunda, Parahiangan. Ayah Satjadibratamenjabat sebagai
Penghulu Sumedang. Itu sebabnya, Satjadibrata berhak menyandang gelar “Raden”, gelar yang dipakai oleh
keturunan bangsawan Sunda.

5 Judul asli: “Moeloed Nabi”, Parahiangan, No 32, 519-520

2|Page

memperkeras suara) yang dihubungkan dengan dua alat di sisi kanan dan kiri ruangan,
sehingga suara bisa lebih jelas terdengar bagi yang jauh.”6
Orang-orang Sunda dalam strata masyarakat ketika itu juga digambarkan
Satjadibrata dengan istilah bangsa oerang yang kebanyakan berdesakan di trem kelas
tiga. Berbeda dengan orang-orang Arab, yang kebanyakan berada di trem kelas satu, yang
kebetulan siang itu ia tumpangi dalam perjalanannya dari Batavia menuju Bandung.
Kelompok

sosial

yang

beragam

juga


digambarkan

Satjadibrata

saat

mendeskripsikan acara Maulid malam itu, mulai dari arak-arakan anak sekolah yang
membawa obor, hingga para pengisi acara, serta pihak-pihak yang mendukung
terselenggaranya acara, seperti orang-orang kaya dari kalangan Arab yang menyediakan
minuman ringan serta Radio Holland yang menyediakan pengeras suara. Penggambaran,
yang dalam pembacaan Millie merupakan upaya Satjadibrata mendeskripsikan persatuan
yang sedang timbul.
Amatan Satjadibrata yang kemudian dikutip Millie juga memberi gambaran mulai
adanya “komunitas dalam keanoniman”, yang menurut Anderson adalah salah satu ciri
masyarakat modern7.
Secara jeli, Millie juga mengutip deskripsi Satjadibrata saat Hadjie Oemar Said
Tjokroaminoto8 berpidato, mencoba menenangkan reaksi umat Islam atas “hujatan
terhadap nabi”, yang waktu itu dilakukan oleh Hoakiau9 dari Surabaya. Hal ini, kata Millie,
6Teks bahasa Sunda: Dina lebah medja komiteu aja “loudspeaker” (pakakas paragi ngabedaskeun sora)
disambungkeun kana doea parabot noe aja di sisi balandongan kentja-katuhu, soepaya sora tambah terang

kadengena ka noe djaoeh.
7 Menurut Benedict Anderson dalam bukunya, Imagined Communities: reflections on the Origin an Spread
of Nationalism (1983), masyarakat modern adalah kaum yang dapat dikenali terbentuk dari massa yang
tidak saling berhubungan dan tidak saling kenal.
8 Pemimpin besar Sarekat Islam (sebelumnya, Sarekat Dagang Islam), organisasi pertama di Indonesia,
didirikan Hadjie Samanhoedi, Oktober 1905.
9 Istilah untuk masyarakat Melayu Tionghoa, yang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Hoakiau di
Indonesia, dikatakan “... sudah ada sejak nenek moyang kita. Mereka itu sebenarnya orang-orang Indonesia,
yang hidup dan mati di Indonesia juga, tetapi karena suatu tabir politik tiba-tiba menjadi asing yang tidak
asing.”

3|Page

barangkali baru diketahui oleh Satjadibrata, tetapi dalam pidato Tjokroaminoto tersirat
bahwa hal-ihwal itu merupakan rongrongan terhadap kelompok yang di dalamnya
Satjadibrata menjadi anggotanya, sekalipun rongrongan itu terjadi di wilayah etnis lain,
yakni Jawa.
C Pembacaan Millie
Paper ini jelas menjadi cerminan dari kecermatan, sekaligus kejelian Julian Millie
dalam menjabarkan ide-idenya. Saya tak tahu, mana yang lebih dulu ditemukan Millie, ide

penulisan papernya ataukah feature Maulid-nya Satjadibrata. Namun, andaipun yang
terjadi adalah bahan feature Maulid-nya Satjadibrata sudah lebih dahulu dimiliki Millie
sebelum ide paper Muslim Etnis dan Muslim Indonesia ini muncul, kecermatan Millie
menggunakannyauntuk menggambarkan masa-masa awal transformasi muslim etnis
Hindia Belanda menjadi warga negeaa Indonesia, adalah sangat mengagumkan. Terlebih,
seperti yang diutarakannya, masa-masa awal transformasi muslim etnis Hindia Belanda
menjadi warga negara Indonesiaadalah bagian terpenting dari semua perkembangan yang
mempengaruhi lokalitas Islam di Indonesia.
Laporan Satjadibratamenciptakan geografi mengenai dua ruang berbeda yang
masih diisi oleh muslim di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, hingga kini. Pertama,
adalah ruang tradisi yang telah berurat dan berakar, sementara kedua adalah ruang
tempat umat Islam mempertahankan kesadaran reflektif mengenai peran mereka sebagai
warga di dunia yang telah berubah. Dalam konteks yang lebih kecil, yang pertama adalah
ruang ketundukan pada masyarakat lokal, sementara yang lain menekankan ruang yang
lebih lapang tempat adanya peluang dan kemungkinan yang lebih luas yang ditawarkan
oleh kebangsaan. Yang pertama adalah tempat adat dan warisan leluhur terasa bermakna,
yang lainnya adalah ruang kemajuan yang melampaui masa lalu leluhur. Yang pertama
4|Page

adalah ruang desa dan pemakaman, sementara lainnya adalah adalah ruang kampus,

parlemen, dan teknologi. Yang pertama adalah ruang bahasa daerah, yang sangat rukun,
saling mengenal, dan akrab, sementara lainnya adalah ruang tempat adanya ikatan formal
kewarganegaraan.
Millie mengatakan, laporan Satjadibrata tahun 1931 tentang peringatan
Maulidadalah pengakuan awal atas kontras-kontras tersebut. Pendekatan Millie
memperjelas kontras-kontras tersebut dan konteksnya di masa kini.

Literatur
Millie, Julian
2015, Muslim Etnis dan Muslim Indonesia dalam Islam dan Regionalisme: Studi
Kontemporer Tentang Islam di Indonesia, Pustaka Jaya, Bandung
Pramoedya Ananta Toer
1960, Hoa Kiau di Indonesia
Anderson, Benedict
1983, Imagined Communities: Reflections on the Origin an Spread of Nationalism.
London: Verso

5|Page