Kyai dan Perubahan Sosial dan

1. Gambaran Umum
Kalau menilik sejarah, kita tahu bahwa para agamawan sejak dahulu dinilai
sebagai penghambat bagi kemajuan. Karena tidak ada kemajuan tanpa perubahan,
maka mudah saja tudingan jari diteruskan kepada mereka sebagai pihak yang
menentang perubahan. Mereka yang mengatakan agamawan tidak dapat membawa
perubahan sosial beranggapan para agamawan merupakan sebuah ‘tradisi’ yang
stagnan, tidak dinamis.
Dalam menaggapi itu Gus Dur menyatakan dalam pengantarnya di Kyai dan
Perubahan Sosial (Hiroko, 1976) bahwa pernyataan di atas dapat kita rasakan dalam
ungkapan ‘harus ada kelompok dinamis yang akan memulai memodernisasi,
walaupun masih ada keberatan dari mereka yang mempertahankan tradisi’. Gus Dur
juga melanjutkan bahwa modernisasi dihadapkan kepada tradisi, perubahan kepada
status quo, dinamika pada keadaan statis. Upaya modernisasi dengan sendirinya
adalah pengikisan sikap tradisional , ini adalah semboyan semua pemrakarsa
modernisasi tanpa terkecuali, termasuk negeri Indonesia di akhir dasawarsa
enampuluhan dan dasawarsa tujuhpuluhan.
Namun, untuk masa-masa sekarang pernyataan-pernyataan semacam itu
terbantahkan dengan beberapa fakta yang telah ada di Indonesia. Sudah banyak
agamawan yang membuat sebuah terobosan-terobosan baru dalam menyampaikan
nilai-nilai agama masing-masing.
Di balik kebekuan lembaga-lembaga keagamaan, seringkali didapati

kemampuan para pemimpin agama untuk merumuskan ajaran-ajaran baru yang
membawa kepada perubahan dalam kehidupan masyarakat. Contoh terbaik dari
kenyataan ini adalah Mahatma Gandhi, yang merumuskan persamaan melalui
penentangan terhadap sistim kasta, dan menentang kebiadaban manusia melalui
gerakan menentang kelaliman dengan tidak menggunakan kekerasan. Perlawanan
tanpa kekerasan dan ajaran persamaan tanpa kasta itu bersumber sepenuhnya pada
pembaharuan ajaran agama Hindu.1

1 Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta, P3M, 1987) hlm xii

Dalam tulisan ini penulis membatasi permasalahan peranan pemimpin agama
dalam perubahan sosial dengan judul Peranan Kyai dalam Perubahan Sosial. Judul
ini terinspirasi oleh sebuah buku ‘Kyai dan Perubahan Sosial’ karangan Dr Hiroko
Horikoshi. Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan Hiroko di daerah
Wanaraja Garut. Dengan memfokuskan pada satu Kyai ‘sepuh’ di daerah tersebut,
yaitu Kyai Yusuf Tajri dari Cipari.
Dalam buku tersebut Hiroko memandang perubahan sosial Kyai melalui
pendekatan teori konsep ‘mediator’ atau perantara dan ‘cultural broker’ atau makelar
budaya. Menurutnya, konsep tentang ‘mediator’ ini muncul di kalangan mahasiswa
dari masyarkat yang kompleks sebagai pendekatan yang sangat berguna untuk

menganalisis perubahan dalam masyarkat dan peringkat integrasi nasional.2
Dalam tulisan ini penulis menggunakan teori psikologi sosial dalam
memandang kasus peranan kyai dalam melakukan perubahan sosial. Pembahasan
tentang kajian teoritis psikologi sosial akan dibahas pada bab selanjutnya, yaitu
tinjauan teoritis.
2. Tinjauan Teoritis
Dalam menganalisis kasus peranan kyai dalam melakukan perubahan sosial,
penulis menggunakan teori (perspektif) psikologi sosial. Psikologi sosial dalam kajian
ilmu sosial merupakan suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku individu sebagai
fungsi dari rangsang-rangsang sosial.3
Dalam definisi di atas terdapat istilah individu, ini menunjukkan bahwa unit
analisis dari psikologi sosial adalah individu, bukan masyarakat atau kebudayaan. Ini
juga bisa dipersepsikan bahwa tingkah laku individu dapat mempengaruhi tindakan
individu lain.
Dalam kajian psikologi sosial, kita temukan ada beberapa teori yang
digunakan untuk menganalisis suatu objek kajianya. Psikologi sosial menurut isinya
juga ada dua macam teori, antara lain ;


Teori Molar, yaitu teori tentang individu sebagai keseluruhan, misalnya

teori tentang tingkah laku individu dalam proses kelompok.

2 Ibid, hlm 5.
3 Sarlito, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta, Rajawali Press, 2010) hlm 4



Teori molekular, yaitu teori tentang fungsi-fungsi syaraf dalam suatu
organisme, misalnya teori konsistensi kognitif.4

Dari dua teori tersebut yang akan menjadi pusat analisis tulisan ini
menggunakan teori yang pertama, yaitu tingkah laku individu dalam proses
kelompok.
Robert H Lauer memandang psikologi sosial dengan istilah kepribadian.
Kemudian dia mengutip dari Hegen bahwa kepribadian dapat digambarkan dari sudut
kebutuhan, nilai-nilai, dan unsur-unsur kognitif. Kepribadian menurut Lauer ada dua
macam, kepribadian inovasi (kreatif) dan kepribadian otoriter.5
Kepribadian inovasi juga termasuk kategori perilaku kreatif. Setidak-tidaknya
kepribadian inovasi memiliki kualitas yang dapat membantu terciptanya perilaku
kreatif. Kepribadian inovasilah yang diharapkan untuk menyetir arah perubahan

sosial. Sulit terjadi bila melakukan perubahan menggunakan kepribadian otoriter.
Karena itu, dapat diperkirakan bahwa setiap masyarakat yang mengalami
kemacetan ekonomi, dirembesi oleh kepribadian otoriter. Kepribadian otoriter
membayangkan lingkungan sosialnya kurang teratur dibandingkan dengan dirinya
sendriri. Seseorang yang memiliki kepribadian otoriter tak yakin bahwa Ia dinilai oleh
lingkungan sosialnya. Ia membayangkan kekuasaan lebih sebagai fungsi dari posisi
yang diduduki seseorang ketimbang sebagai fungsi prestasi yang dicapai seseorang.6
Dari tinjaun-tinjauan teori yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan dan
dihubungkan dengan kasus ‘peranan Kyai dalam melakukan perubahan sosial’,
bahwa kyai yang memiliki kepribadian inovasi dapat melakukan perubahan sosial.
Kyai akan sulit melakukan perubahan jika memiliki kepribadian otoriter.

3. Gambaran Kasus

4 Ibid, hlm 6.
5 Robert H Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993) hlm131.
6 Ibid, hlm 131.

Ada banyak kasus tentang peranan kyai dalam melakukan perubahan sosial.
Perubahan tersebut tidak hanya untuk santrinya saja, namun masyarakat sekitar pun

merasakan perubahan yang dilakukan oleh seorang kyai. Namun dalam tulisan kali
ini, penulis memberikan kasus hanya satu saja.
Nama yang sudah tidak asing lagi di negeri Indonesia adalah KH Ali Mustafa
Ya’qub. Beliau merupakan kyai saya di Pesantren Darus-Sunnah Ciputat Tangerang
Selatan. Beliau mengasuh Pesantren Darus-Sunnah yang berada di Ciputat.
Pesantren Darus-Sunnah letaknya berada di daerah Ciputat Tangerang Selatan.
Tepatnya di belakang Fakultas Kedoteran UIN Jakarta, berada di kampung SD Inpres
Cirendeu.
Pesantren Darus-Sunnah meiliki santri 160, dengan rincian 100 santri putra 60
santri putri. Darus-Sunnah awal mula sampai sekarang merupakan pesantren yang
diperuntukkan mahasiswa yang masih haus untuk mendalami ilmu agama Islam.
Santri-santri Darus-Sunnah berasal dari berbagai macam Universitas dan jurusan.
Namun pada tahun ajaran 2014-2015 Darus-Sunnah membuka pendaftaran bagi
lulusan sekolah dasar.
Pesantren Darus-Sunnah merupakan suatu pesantren yang memfokuskan diri
kajianya ke dalam ilmu hadis. Para santri banyak mendalami ilmu-ilmu hadis, mereka
dituntut kelak untuk mengklarifikasi hadis-hadis palsu yang berkembang di
masyarakat. Tidak hanya itu saja, tentunya kelak dapat mengamlkan ajaran-ajaran
yang terkandung dalam hadis-hadis tersebut.
KH Ali Mustafa Ya’qub merupakan seorang kyai yang berwawasan luas.

Profesor dalam bidang ilmu hadis, beliau berdakwah di mana-mana. Selain mengasuh
kesibukan beliau di luar pesantren.
KH Ali Mustafa Ya’qub merupakan kyai yang sangat dikenal di tanah papua.
Karena beliau selalu mengirim santri-santrinya ke tanah Papua untuk berdakwah.
Pengaruh beliau di Papua sangatlah besar. Tidak hanya di Papua saja, di masyarakat
sekitar beliau disegani oleh warga.
Terbukti dengan adanya program-prgram pesantren Darus-Sunnah yang
berorientasi pada masyarakat. Seperti, kursus bahasa Arab dan Inggris untuk anak-

anak SD di warga sekitar Pesnatren, pengajian ibu-ibu di setiap RW, Pesantren
Ramadhan yang diperuntukkan untuk anak-anak skitar pesantren. Dan masih banyak
lagi kegiatan-kegiatan pesantren yang berorientasi masyarakat.
Antara masyarakat dan pesantren terjadi simbiosis mutualisme. Ini terjadi
ketika awal pembangunan Darus-Sunnah banyak warga yang gotong royong
membantu dalam pembangunan Darus-Sunnah. Kesempatan ini juga tidak di siasiakan oleh santri Darus-Sunnah dengan membuat program-program yang berorientasi
masyarakat.

4. Analisis
Pengertian Kyai


Pengertian Kyai menurut Nurkholis Majid, perkataan ‘Kyai’ agaknya berarti
tua, pernyataan dari panggilan orang jawa kepada kakeknya yaitu “Yahi”, yang
merupakan singkatan dari kata “Kyai”, dan kepada nenek perempuanya dipanggil
“Nyahi”. Tetapi di situ juga terkandung makna rasa pensucian pada orang tua,
sebagaimana kecenderungan itu umum di kalangan orang Jawa. Sehingga “Kyai”
tidak saja berarti tua (yang kebetulan saja maknanya sama dengan syaikh dalam
bahasa Arab) tetapi juga berarti sakral, keramat, dan sakti. Maka benda-benda yang
dianggap keramat, seperti keris pusaka, tombak pusaka, gamelan pusaka, dan pusakapusaka keraton juga disebut “Kyai”.7
Pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para
pendiri Pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan untuk Allah dan
menyebarlaskan serta memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui
kegiatan-kegiatan Pesantren.8
Horikoshi membedakan antara Kyai dan Ulama. Karena Kyai memiliki
pengaruh kharismanya yang luas. Kyai dipercaya memiliki keunggulan baik secara
moral maupun sebagai orang alim. Pengaruh Kyai diperhitungkan baik oleh pejabatpejabat nasional maupun oleh masyarakat umum jauh lebih beraati daripada ulama
desa.

Untuk mempertajam perbedaan antara kedua corak kepemimpinan Islam
tersebut, ada baiknya dikemukakan kembali ciri-ciri ulama secara umum. Peran
ulama lebih menghujam ke dalam sistem sosial dan struktur masyarakat desa yang

khas, lokal dan otonom. Tradisi lembaga ulama dan ortodoksi diwariskan dari
generasi ke generasi, dilaksanakan dan didukung oleh keluarga ulama yang secara
7 Nircolis Majid, Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997) hlm 20.
8 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai : Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang; Kalimasaheda Press,
1993) hlm, 14.

tradisional mencetak dan menyediakan kader ulama bagi wilayah pedesaan. Dengan
demikian status keunggulan ulama disahkan oleh faktor keturunan keluarga Ulama,
seperti juga peranan moral dan keagamaan mereka di dalam masyarakat tertentu.9
Peran Kyai Dalam Perubahan Sosial
Dalam kasus ini KH Ali Mustafa Ya’qub telah melakukan suatu perubahan
sosial di sekitar pesantrenya melalui program-program pesantren yang berorientasi
masyarakat.
Pada awal mula beliau menetap di daerah tersebut beliau sering mengadakan
pengajian-pengajian untuk warga sekitar. Namun seiring dengan berlalunya zaman,
beliau banyak mendapatkan undangan di luar kota bahkan ke luar negeri. Akhirnya,
pengajian-pengajian tersebut sekarang dilanjutkan oeh santrinya.
Korelasi Teori dengan Kasus
Teori yang digunakan penulis adalah teori psikologi sosial. Korelasinya
dengan kasus yang sudah dikemukakan adalah bahwa KH Ali Mustafa Ya’qub

merupakan individual yang memiliki pengaruh untuk perubahan bagi masyarakat,
tidak hanya masyarakat di sekitar pesantrenya saja, namun di luar pesantren juga
mendapatkan pengaruhnya.
Dalam kaitanya dengan kepribadian inovasi yang dikemukakan dalam kajian
teoritis diatas, bahwasanya KH Ali Mustafa Ya’qub dalam berdakwah (dakwah juga
termasuk perubahan, merubah yang buruk menjadi baik) memiki kepribadian inovasi
atau kreatif. Ini dibuktikan dengan banyaknya buku yang ditulis oleh beliau. Beliau
telah menulis buku kurang lebih 30 buku, dan banyak lagi tulisan-tulisan artikel
beliau di jurnal, koran, dan lain sebagainya. Dengan kreatifitas beliau ini dakwah
(baca; perubahan) yang beliau galakkan dapat dirasakan oleh seantro nusantara.
5. kesimpulan
pada akhir pembahasan dalam tulisan ini penulis menyatakan bahwa Kyai
yang di’persepsi’kan oleh orang-orang sebagai ‘tradisi’ yang dapat menghambat
perubahan sosial ternyata tidaklah benar. Kyai juga sangat berpengaruh bagi
masyarakat dalam melakukan perubahan sosial.
9 Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, hlm 211.

Dari kasus tadi dapat penulis simpulkan bahwasanya inidividu yang akan
melakukan suatu perubahan sosial dituntut untuk memiliki kepribadian inovasi atau
kreatif.


Daftar Pustaka
Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta, P3M, 1987)
Sarlito, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta, Rajawali Press, 2010)
Lauer, Robert H , Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993)

Majid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadina, 1997)
Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai : Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang;
Kalimasaheda Press, 1993)

Peranan Kyai dalam Perubahan Sosial
Tugas ini diajukan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Sosiologi Perubahan
Sosial

Oleh :
Ahmad Munsorif

Dosen Pembimbing :
Wati Nilamsari, M.Si


Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2014