Desentralisasi dan Kemiskinan 21. doc

DESENTRALISASI DAN KEMISKINAN:
TELAAH KONSEPTUAL TENTANG INKOMPABILITAS OTONOMI DAERAH
DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN DI DAERAH

Pendahuluan
Secara substantif, gagasan awal digulirkannya kebijakan otonomi daerah
(desentralisasi) adalah demi memberikan peluang kepada pemerintah daerah (Provinsi,
Kabupaten, dan Kota) untuk mempercepat terwujudnya tata pemerintahan yang baik
(good governance). Dengan demikian, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang
besar untuk mendorong proses kebijakan menjadi lebih partisipatif, responsif, dan
akuntabel, karena kendali dari proses kebijakan dan alokasi anggaran sepenuhnya ada di
tangan pemerintah daerah dan DPRD. Maka, tujuan pemberian otonomi kepada daerah,
yaitu agar masing-masing daerah bersangkutan memiliki hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, sehingga secara kolateral dapat meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Terkait tujuan-tujuan tersebut, pemerintah
daerah dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya melakukan berbagai
tindakan hukum, baik yang terikat atas kaidah-kaidah hukum material yaitu Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara, maupun hukum formal atau hukum acara
administrasi (Syafrudin, 2000).
Dengan


demikian,

secara

substantif,

desentralisasi

adalah

penyerahan

kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan
rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam
kerangka NKRI. Dengan memindahkan proses pengambilan keputusan agar lebih dekat
dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang
dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah, hal tersebut akan meningkatkan relevansi
antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus
tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah di tingkat daerah dan

nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan,
dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya

sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan
lokal.
Akan tetapi, dalam realisasinya banyak fenomena yang menjadi indikasi bahwa
semangat otonomi (desentralisasi) politik maupun desentralisasi fiskal tidak simetris
dengan tujuan pembangunan ekonomi, yakni akselerasi pertumbuhan ekonomi sekaligus
pemerataan terhadap akses pertumbuhan ekonomi tersebut. Kerap kali otonomi sekedar
dimaknai sebagai arena penguatan wewenang politik pemerintah daerah, atau makin
luasnya hak pengelolaan fiskal di daerah, sehinggga banyak daerah hanya fokus pada
angka pertumbuhan ekonomi (PDRB) tanpa memperhatikan substansi reduksi indeks
gini, pengurangan angka kemiskinan maupun pemerataan akses publik terhadap
pembangunan di daerah.
Sebagai contoh provinsi Jawa Timur. Di mana capaian pertumbuhan ekonominya rata-rata per tahun selalu lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata capaian
nasional.
Tabel. 1
Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan Jawa Timur

Sumber; Biro Administrasi Perekonomian Jatim

Gambaran tersebut menjadi indikasi bahwa salah satu dampak desentralisasi
politik dan desentralisasi fiskal dapat membawa implikasi negatif terhadap elevasi
tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah. Akan tetapi selalu ada dilema di balik
tingginya angka pertumbuhan, yakni kualitas pemerataan pembangunan yang pada
akhirnya berkorelasi dengan tingkat kemiskinan.

Dalam konteks Jawa Timur, problem klasik tersebut masih menjadi momok yang
menakutkan. Indikasinya, Indeks Ratio Gini yang menjadi parameter untuk mengukur
tingkat

pemerataan

pembangunan

masih

berada

pada


level

yang

kurang

menggembirakan. Berdasarkan LKPJ Gubernur Tahun Anggaran 2015, posisi indeks
gini ratio Jatim berada di angka 0,40 persen atau bertambah buruk dari capaian di tahun
2014 yang menembus angka 0,37 persen.
Tabel. 2
Indeks Gini Ratio di Jatim

Sumber; Biro Administrasi Perekonomian Jatim
Artinya, pertumbuhan yang relatif tinggi masih dinikmati oleh sebagian kecil
kalangan penduduk. Sehingga justru menghasilkan ketimpangan perekonomian yang
cukup lebar. Ketimpangan perekonomian tersebut terepresentasi dalam indikator
persentase angka kemiskinan di Jawa Timur.
Persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk Jawa Timur, pada
tahun 2014, mencapai 12,28 persen. Capaian tahun 2014, juga telah mengalami
pertumbuhan positif, yang mengalami penurunan sebesar 0,45 persen dibandingkan

dengan capaian tahun 2013 yang mencapai 12,73 persen. Namun kondisi tersebut
stagnan atau tidak mengalami kemajuan di tahun 2015 yang ditandai dengan posisi
prosentase angka kemiskinan yang tidak beranjak dari pencapaian tahun 2014.

Tabel. 3
Angka Kemiskinan di Jawa Timur 2013-2015

Tahun

Persentase

2013

12,73

2014

12,28

2015


12,28

Sumber: Nota Penjelasan LKPJ Gubernur Jatim 2015
Gambaran di atas mengenai tidak kompatibelnya wewenang besar yang dimiliki
pemerimtah daerah di era reformasi berupa hak politik dan hak pengelolaan manajemen
fiskal maupun anggaran publik dengan capaian indikator makro pembangunan
(ekonomi). Yakni tingginya pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti dengan
pemerataan maupun reduksi angka kemiskinan. Fenomena tersebut memantik diskusi
lebih jauh mengenai relasi antara desentralisasi dan fenomena ketimpangan sosial
(kemiskinan) di era otonomi daerah dewasa ini.
Diskursus Tentang Desentralisasi dan Ketimpangan Pembangunan
Desentralisasi dan penanggulangan kemiskinan adalah dua wilayah yang hampir
tidak pernah saling menyapa, baik secara teoretis maupun empiris. Hingga sekarang
perdebatan desentralisasi terutama terfokus pada tata pemerintahan, dan jarang yang
dikaitkan dengan kemiskinan. Dalam literatur ekonomi tentang kemiskinan,
desentralisasi telah lama diabaikan. Bahkan penelitian tentang pengeluaran publik dan
penargetan rakyat miskin hampir tidak pernah menyentuh desentralisasi. Di Indonesia,
praktik desentralisasi hanya sibuk bicara tentang kewenangan, penataan kelembagaan,
peningkatan PAD, dan lain-lain. Sementara, program penanggulangan kemiskinan

masih menjadi wilayah Jakarta yang dibangun secara sentralistik.
Adakah relevansi antara desentralisasi dengan kemiskinan? Bagaimana
mendesakkan penanggulangan kemiskinan melalui desentralisasi? Bagian ini hendak
memberikan jawaban itu secara teoretik. Saya berpendapat bahwa desentralisasi adalah

sebuah alat, bukan sebuah tujuan, untuk membangun tata pemerintahan yang efisien dan
partisipatoris. Desentralisasi tentu bukan sebuah alat untuk tujuan tunggal yang
ditetapkan secara sempit, dan oleh karena itu desentralisasi menjalankan risiko sangat
luas dan ditujukan pada berbagai tujuan. Bahkan, jika desentralisasi berpengaruh pada
penanggulangan kemiskinan, dan jika hubungan di bawah kondisi yang ditetapkan
dengan baik adalah positif secara umum dan menguat, maka pengaruh penanggulangan
kemiskinan

akan

menambah

sebuah

dimensi


pada

tantangan

maksimalisasi

desentralisasi.
Pada pertengahan 1990-an, ada fokus pada reformasi sektor publik,
pengembangan kapasitas dan penguatan institusi, dan kapasitas negara untuk
mengurangi kemiskinan (Lipton dan van der Gaag, 1993). Akhir-akhir ini, perhatian
yang meningkat ditaruh untuk membuka kesempatan, pada sumberdaya manusia,
meningkatkan keamanan, dan memfasilitasi pemberdayaan. Semua ini berhubungan erat
dengan pelayanan publik, yang berhubungan secara langsung dengan desentralisasi.
Dengan demikian, desentralisasi dan kemiskinan telah bersama-sama menjadi fokus
melalui penelitian good governance yang berhubungan dengan implikasi kemiskinan
(misal Dethier, 2000).
Pemerintah lokal umumnya tahu betul tentang kebutuhan dan pilihan lokal
ketimbang pemerintah pusat, yang punya kapasitas terbatas untuk mengumpulkan
informasi. Dalam desentralisasi, secara teoretis, monitoring dan kontrol pelaku lokal

oleh komunitas lokal adalah lebih mudah. Pemerintah lokal mungkin lebih akuntabel,
lebih responsif terhadap rakyat miskin dan lebih baik dalam memberikan ruang
partisipasi rakyat miskin dalam proses politik. Pembuatan keputusan pada tingkat lokal
memberikan tanggung jawab, kepemilikan, menjadi dorongan yang lebih kuat kepada
aktor-aktor lokal, dan informasi lokal dapat sering mengidentifikasi cara-cara
penyediaan layanan publik yang lebih murah dan lebih tepat (Bardhan, 1997a).
Namun, ada juga bahaya dan kerugian bagi rakyat miskin karena desentralisasi.
Masalah pengendalian pengeluaran yang lebih ruwet dalam desentralisasi daripada
dalam sistem terpusat, dapat timbul, dan mungkin mengarah pada perebutan sumber
daya publik oleh elite lokal. Desentralisasi dapat juga mengarah pada perpecahan
masyarakat dan pengabaikan rakyat miskin dengan adanya oligarki elite lokal dan
(mengarah) pada korupsi.

Desentralisasi bisa juga memperburuk ketegangan politik antardaerah jika
daerah-daerah tersebut mempunyai tingkat pendapatan dan sumber daya alam yang
berbeda secara signifikan. Memperhitungkan ekonomi dalam penyediaan pelayanan dan
barang publik, dan perlunya kebijakan fiskal yang terkoordinasi, sebuah pemerintahan
terpusat dianggap dapat lebih baik mengelola masalah eksternalitas.
Sementara desentralisasi yang berhasil mungkin memperbaiki efisiensi dan
responsivitas sektor publik terhadap kebutuhan rakyat miskin, desentralisasi yang tidak

berhasil mengancam stabilitas ekonomi dan politik yang berakibat negatif bagi
penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan bisa meningkatkan kemiskinan.
Hubungan Konseptual
Besley (1997) membuat pendekatan penanggulangan kemiskinan ke dalam dua
alternatif: teknokratik atau institutional. Yang pertama menekankan target dan
menyelidiki bentuk program mobilisasi sumberdaya yang terbatas kepada rakyat miskin.
Pendekatan yang kedua mencatat, bahwa rakyat miskin kekurangan kekuasaan politik,
dan menegaskan bahwa ketidakmampuan birokrasi dam korupsi mengganggu pelayanan
publik. Karena itu penanggulangan kemiskinan butuh pengembangan institusi, dan
perubahan struktur politik, perbaikan tata pemerintahan, dan perubahan sikap terhadap
rakyat miskin. Desentralisasi mempunyai implikasi untuk dua-duanya dari dua
pendekatan yang luas ini. Desentralisasi memfasilitasi bentuk program teknokratik yang
lebih efektif, seperti target daerah mungkin dipermudah, akuntabilitas birokrasi
mungkin diperkuat, dan pengelolaan program penanggulangan kemiskinan mungkin
ditingkatkan. Juga desentralisasi dapat menawarkan kerangka kerja legal dan bertindak
sebagai sebuah alat pendekatan institusi terhadap pengurangan kemiskinan., seperti
desentralisasi mungkin meningkatkan kekuasaan politik rakyat miskin melalui
partisipasi yang meningkat.
Mengambil dua golongan pendekatan penanggulangan kemiskinan yang luas ini
sebagai sebuah dasar, kita bisa bergerak dari pendukung dan penolak desentralisasi ke

arah sebuah kerangka kerja konseptual. Saya secara esensial membedakan antara dua
rangkaian hubungan: hubungan pemberdayaan politik dan hubungan efisiensi. Pertama,
pada sebuah latar ekonomi politik, desentralisasi meningkatkan partisipasi rakyat
miskin, difasilitasi oleh kekuasaan pengawasan yang meningkat dan peningkatan pilihan

investasi pro-poor. Kedua, dari perspektif manajemen ekonomi, desentralisasi
membantu pemerintah lokal memperbaiki efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik
kepada rakyat miskin dan efisiensi penargetan program penyerah-terimaan.
Sementara pertimbangan efisiensi dan persamaan digambarkan dalam posisi
independen. Dengan melibatkan rakyat miskin dalam menjalankan, memantau dan
mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik pada tingkat lokal, akuntabilitas
pemerintah lokal meningkat mengarah pada efisiensi penyediaan barang publik yang
lebih banyak.
Desentralisasi, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan
Desentralisasi adalah sebuah cara untuk memungkinkan masyarakat sipil ikut
serta dalam proses kebijakan dan dengan demikian, untuk meningkatkan transparansi
dan predictability pembuatan keputusan. Pemerintah lokal umumnya lebih tahu tentang,
dan lebih tanggap terhadap, kebutuhan pilihan penduduk lokal daripada pemerintah
pusat. Adalah lebih mudah bagi mereka untuk mengidentifikasi dan menjangkau rakyat
miskin selama politik lokal memungkinkan ini. Desentralisasi juga mempunyai
keuntungan utama bahwa pejabat lokal dapat secara lebih mudah diawasi dan
dikendalikan oleh komunitas lokal daripada para pejabat di pemerintah pusat, jika
peraturan hukum ada di tingkat lokal.
Apakah partisipasi lokal dalam tata pemerintahan lokal akan benar-benar
mempunyai pengaruh positif pada kelompok-kelompok berpendapatan rendah, adalah
tidak jelas. Partisipasi, supaya berjalan, memerlukan pertama, pendidikan minimum,
kemampuan dasar, dan persamaan berdasarkan gender, agama atau kasta. Kedua,
pemberdayaan rakyat pada tingkat lokal. Seringkali, prasyarat ini tidak diberikan.
Lagipula, elit lokal sering mempunyai akses langsung terhadap dan pengaruh atas para
pejabat lokal, dan menolak sharing kekuasaan secara partisipatif dengan rakyat miskin
(Narayan et al., 2000). Jika komunitas atau negara tidak dapat mempengaruhi tindakan
dan kekuasaan kepemimpinan lokal, maka ini sering mengarah pada investasi yang
menguntungkan kepentingan elite dan membuat investasi yang rendah dalam pelayanan
publik bagi rakyat miskin. Ada juga fakta bahwa pada banyak setting, misal komunitas
yang heterogen dan ekonomi pedesaan yang terbelakang, manfaat program sosial
desentralisasi direbut oleh elite lokal (Bardhan, 1999, Galasso dan Ravallion, 2000).

Koalisi pro-poor seperti koperasi atau organisasi petani sangat penting untuk
memperbaiki hasil desentralisasi dari perspektif keadilan. Elite yang berkuasa mungkin
punya sedikit dorongan untuk membiarkan institusi partisipatif berkembang. Mahal dan
kawan-kawan (2000) menguji hipotesis bahwa desentralisasi dan demokratisasi yang
meningkat pada tingkat lokal mempengaruhi secara positif angka pendaftaran dan
kematian anak segera sesudah pengaruh keadaan sosial ekonomi, organisasi masyarakat
sipil, persoalan perebutan sumberdaya lokal oleh kelompok elite. Mereka menemukan
bahwa indikator-indikator demokratisasi dan partisipasi publik, seperti

frekuensi

pemilu, adanya organisasi non-pemerintah, asosiasi orangtua-guru di negara yang
desentralistik pada umumnya punya pengaruh positif.
Desentralisasi, Pelayanan Publik dan Investasi Pro-poor
Dari perspektif informasi dan ongkos transaksi, externalities memberikan
argumen sentralisasi jika otoritas pusat mempunyai kemampuan tidak terbatas untuk
mengumpulkan, memproses dan menyebarkan informasi. Tetapi ada keuntungan pada
desentralisasi karena otoritasi pusat pada umumnya tidak mempunyai kemampuan itu.
Desentralisasi dapat menjadi sangat kuat dalam mencapai tujuan pembangunan dengan
menugaskan hak kontrol kepada orang yang mempunyai informasi dan dorongan untuk
membuat keputusan yang paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan itu (Bardhan dan
Mookherjee, 1998). Contohnya, informasi lokal dapat sering mengidentifikasi cara-cara
penyediaan barang publik yang lebih murah dan lebih tepat dengan kebutuhan lokal
(Bardhan, 1997a).
Desentralisasi juga dapat dilihat sebagai sebuah cara untuk meningkatkan
akuntabilitas para pejabat lokal dengan membawa otoritas ke tingkat lokal (BC Smith,
1985). Pembuatan keputusan lokal memberikan pertanggungjawaban, kepemilikan dan
oleh karenanya dorongan yang lebih kuat kepada pelaku lokal. Ada beberapa fakta
bahwa, dengan membuat para pejabat lokal lebih akuntabel dan meletakkan
pertanggungjawaban di tangan stakeholders lokal, kualitas dan efisiensi pelayanan
publik bertambah baik (Bardhan, 1997a)..
Namun, ada juga contoh yang berlawanan. Apa yang dapat diraih oleh
pemerintah lokal bergantung pada sumber daya dan pertanggungjawaban (yang)
dihibahkan. Pemisahan tanggungjawab keuangan dari administrasi pengeluaran dapat

mengarah pada ketidakefisienan. Transparansi fiskal menurun ketika pemerintah lokal
kuat dan tidak bergantung pada pemerintah nasional. Desentralisasi dapat juga
menciptakan perpecahan pasar domestik (misal India, Rusia). Pajak dan peraturan adat
dapat menjadi halangan pertukaran barang antar daerah. Tanzi (2000) mencatat bahwa
kondisi tertentu harus dipenuhi sebelum desentralisasi dapat terjadi dengan berhasil. Ini
termasuk kondisi yang berhubungan dengan administrasi pajak, sistem manajemen
pengeluaran publik, atau ketidakleluasaan anggaran

yang ketat, yang berasal dari

desentralisasi administratif dan politik.
Dalam desentralisasi, setiap tingkat pemerintahan merasa berhak menambah
regulasinya sendiri. Akibat perpecahan pasar domestik (persaingan pajak) dapat
mengarah pada penyimpangan alokasi sumber daya. Legislasi yang berlebihan mungkin
sebuah akibat, dan juga digerakkan oleh jangkauan perebutan rente oleh para birokrat
dan pembuat kebijakan. Ini mungkin juga berlaku pada pelayanan publik yang diartikan
untuk memenuhi kebutuhan rakyat miskin. Regulasi dalam bidang-bidang seperti
kesehatan, sanitasi dan perlindungan lingkungan sering mengakibatkan biaya yang
signifikan bagi perusahaan dan oleh karena itu, sering membuka praktik korupsi.
Bahkan ketika para birokrat akuntabel terhadap pemerintah lokal, keuntungan dapat
direbut oleh kelompok-kelompok kepentingan dengan implikasi efisiensi. Perebutan
mengarah pada beberapa persoalan dalam penyelenggaraan pelayanan publik lokal,
termasuk keefektifan biaya dan persoalan pasar gelap. Birokrat korup akan cenderung
terlalu menekan biaya, menyelewengkan barang publik untuk dijual kembali kepada
bukan rakyat miskin pada pasar gelap, memberikan prioritas kepada kelompokkelompok sosial ekonomi yang kuat (Dethier, 2000). Peningkatan kompleksitas
desentralisasi mungkin meningkatkan penyelenggaraan yang baik, tetapi juga
meningkatkan kesempatan penyalahgunaan dana.
Banyak negara desentralistik punya persoalan korupsi endemik misalnya
Nigeria, India, China dan juga Indonesia. Korupsi meningkatkan kemiskinan, dan pada
tingkat itu, kemiskinan ditingkatkan atau dikurangi oleh desentralisasi. Gupta, Davoodi
dan

Alfonso-Terme

ketidakmerataan

(1998)

pendapatan

memperlihatkan
dan

kemiskinan

bahwa

korupsi

meningkatkan

melalui

saluran-saluran

seperti

pertumbuhan yang lebih mudah, pajak yang mundur, target program-program sosial
yang kurang efektif, ketidaksamaan akses terhadap pendidikan, kebijakan berat sebelah

yang menyokong ketidakmerataan dalam kepemilikan aset, pengeluaran sosial yang
berkurang, dan risiko investasi yang lebih tinggi bagi rakyat miskin. Juga ditemukan
bahwa korupsi meningkatkan (angka) kematian bayi dan menurunkan harapan hidup
dan melek huruf (Kaufmann et al., 1999b). Analisis silangnasional memperlihatkan
bagaimana korupsi yang surut adalah seperti pajak. Contohnya, rumah tangga miskin di
Ekuador harus menghabiskan tiga kali lebih banyak suap sebagai share pendapatan
mereka bagi akses terhadap pelayanan publik ketimbang rumah tangga yang lebih kaya.
Demikian pula, berbagai survei tentang pejabat publik di Amerika Latin pada akhir
1990-an, para birokrat ditemukan mendiskriminasikan terhadap rakyat miskin dengan
membatasi akses terhadap pelayanan dasar dan gagal mengejar penanggulangan
kemiskinan (Bank Dunia, 2000). Kedekatan antara yang memerintah dan yang
diperintah mungkin mengurangi korupsi karena akuntabilitas dan transparansi yang
diperbaiki. Namun, ada juga fakta empiris dan teori ekonomi yang menunjukkan bahwa
desentralisasi mungkin meningkatkan korupsi dan mengurangi akuntablitas (lihat RoseAckermann, 1997). Beberapa contoh tampak bahwa korupsi sering lebih tersebar luas
pada tingkat lokal daripada tingkat nasional (Tanzi, 2000). Seringkali lebih mudah
untuk melaksanakan peraturan hukum diantara para orang-orang asing daripada diantara
tetangga atau teman pada tingkat lokal. Juga lebih mudah untuk membeli suara atau
pengaruh pada setting lokal. Namun, sebuah kesimpulan umum tentang hubungan
antara desentralisasi dan korupsi tidak dapat digambarkan, dan khususnya bagaimana
(desentralisasi) berhubungan dengan pelayanan rakyat miskin, perlu penelitian yang
lebih lanjut.
Dalam konteks Indonesia, mungkin orang tidak terlalu yakin bahwa
desentralisasi akan memberikan dukungan secara positif terhadap penanggulan
kemiskinan. Soalnya, secara empirik, praktik otonomi daerah justru diikuti dengan
tampilnya raja-raja kecil, perluasan korupsi, membangkaknya birokrasi dan masih
banyak lagi. Tetapi desentralisasi tidak bisa begitu saja dihentikan, karena desentralisasi
adalah sebuah keniscayaan untuk membangun kemandirian masyarakat lokal.