20 Masalah Dalam Menulis dan Cara Mengat
20 Masalah Dalam Menulis dan Cara
Mengatasinya
Posted by Asha Deborah in Original Work, Tips, Writing
Source
Hai semua! \^o^/ Masalah dalam menulis itu banyak. Serius. Tapi saya udah
berusaha tulis dengan singkat dan lengkap :) Supaya bacanya gak
kepanjangan, mending kamu baca aja mana masalah yang sedang kamu
hadapi. Yuk, langsung aja ke tekapeh! :D
Glosarium
Reader : Pembaca
Author : Penulis
Summary : Sinopsis
Review : Komentar
Flame : Kritik pedas, pada umumnya tidak membangun
1. Sulit menentukan judul
Padahal menentukan judul termasuk gampang lho, karena kita yang paling
tahu cerita kita :) Anggap aja ini sebuah game! Ini nih syarat-syarat gamenya :3
Tentukan waktu untuk berpikir, bisa maksimal 1 menit, 2 menit, dst.
Kamu harus tulis 1-6 kata yang merangkum seluruh isi ceritamu (misalnya
Apel Merah karena di ceritamu apel merah memegang peran yang penting).
Kata-katanya ga boleh kepisah, alias nyambung.
Boleh pakai bahasa asing, tapi usahakan simple agar mudah diingat.
Usahakan buat judul yang bikin pembaca gak bisa nebak jalan ceritanya.
Hayo, siapa bilang buat judul itu susah? :D Ini namanya brainstorming ^3^
Kenapa emangnya kalo judulnya pasaran?
Ya gapapa sih. Tapi kalau judulmu pasaran, akan jadi sulit di cari. Misalnya
kamu cari cewe bernama ‘Jessica’ di sekolah, sedangkan di situ ada 5 orang
yang bernama sama. Kamu sendiri ga ingat nama akhir Jessica, mau ga mau
kamu harus cek satu-satu ‘kan mana Jessica yang kamu cari?
Terus kenapa kalau judulku ga nyambung/ga menarik?
Masalah sih gak. Tapi sayang dong kalo ceritamu bagus tapi judulnya ga
mengundang selera. Sayang juga kalau reader kepincut dengan ceritamu
karena judulnya, tapi ceritamu sendiri gak berkaitan dengan judulmu. Ini bisa
jadi nilai minus.
2.
Alur
terpaksa
dicepetin
Karena sibuk atau supaya ga bertele-tele, mau gak mau alur dicepetin. Gak
masalah asal gak ketahuan, bisa kamu siasati dengan baik dan gak
menganggu jalan cerita. Jangan sampai deh, reader tahu. Dan kamu gak
perlu juga kasitau, kecuali readermu nanya :3 Biarlah itu menjadi rahasia di
antara kita #tsaaah.
3. Sedikit review dan reader
Me too, garfield, me too.
source
Ingat! Review bukan segala-galanya. Kamu menulis untuk menyalurkan ide
dan bikin hatimu senang. Reader itu bonus. Kalau di review bagus, kalau gak
ya woles. Dengan ini kamu gak cepet putus asa dan mau terus berkembang,
karena kamu menulis berdasarkan passion kamu, bukan kata orang.
Setelah itu, intropeksi! Kalau kualitas ceritamu yang kurang, coba perbaiki
lagi (silakan baca ini). Setelah itu, cintailah ceritamu! Terus, belajarlah jadi
sales dengan sepenuh hati (‘-‘)b
...Hah? Jadi sales?
source
Iya, bener, jadi sales! Saat saya mempromosikan cerita saya, saya berusaha
meyakinkan orang kalau cerita saya layak dibaca, dan mereka gak akan
nyesal karena udah abisin waktu untuk baca cerita saya. Caranya simple
kok, cukup pandai-pandai dalam memilih kata. Ini contohnya.
Saat kau meratapi kepergiannya, sadarkah kau bahwa dia ada di
sampingmu, frustasi karena kau tak bisa melihatnya? Tangannya menggapai
udara, suaranya membentur kehampaan, namun kau tak kunjung sadar.
Bacalah dan kau akan mengerti.
Sebenarnya, belum tentu reader ga pernah merasakan kehilangan. Tapi
dalam summary, saya buat seolah-olah kesedihan dalam cerita itu lebih
sedih dari kesedihan yang pernah reader rasakan. Dan reader baru benarbenar ngerti kalo udah baca. Kalau gitu mau gak mau reader harus baca
‘kan?
Terakhir, promosi di socmed (perbanyak teman yang suka menulis dan atau
membaca!). Jangan cuma share link aja ya, promosikan dengan menarik agar
orang tertarik baca, ok? ;)
4. Muncul ide saat sedang sibuk
Saat lagi sibuk-sibuknya, semua ide mendadak muncul dan bikin kamu
pusing. Kalau kamu bukan penulis, tentu kamu harus memprioritaskan
kesibukanmu yang lain. Ide yang muncul itu disimpen aja dulu sampai kamu
punya waktu untuk menulisnya. Atau kamu cicil menulis setiap hari sesuai
kemampuan kamu.
Tapi aku malah keburu lupa sebelum idenya sempat ku catat T^T
Kalau gitu, kamu harus melatih ingatanmu. J.K Rowling sendiri mendapat ide
tentang Harry Potter di dalam kereta, dan dia berusaha keras mengingatnya
selama perjalanan. Kalau idenya udah bener-bener nempel, baru kamu tulis
dan kamu kembangkan. Kalau keburu lupa, anggap aja bukan jodoh.
5. Muncul ide saat sedang menulis cerita lain
Once upon a time... terus ngeblank.
source
Ini nih, beberapa pilihan metode yang bisa kamu pakai :
Tinggalin sebentar cerita yang lama, tulis cerita yang baru.
Kelebihan : Kalau bosen sama cerita lama, bisa refreshing dengan menulis
cerita baru.
Kelemahan : Cerita lama terancam terbengkalai.
Lanjutin cerita yang lama, tulis cerita yang baru belakangan
Kelebihan : Cerita lama gak terbengkalai, dan kita udah ada cadangan cerita
yang akan ditulis begitu cerita lama selesai ditulis.
Kelemahan : Keburu lupa atau hilang mood sama cerita yang baru.
Pindah-pindah. Kalau lagi mood tulis cerita baru, tulis cerita baru.
Kalo ga, ya tulis cerita lama.
Kelebihan : Selain ga cepet bosen, kedua ceritanya cepat selesai.
Kelemahan : Bisa jadi kedua cerita tidak maksimal karena lompat-lompat.
Silakan pilih yang cocok sama kepribadianmu :3 Kalau saya suka yang ketiga
karena saya mudah bosan.
6. Cerita terasa klise/membosankan
Coba baca dulu ini sebelum tahu ceritamu klise/tidak ;D Disitu juga tertera
cara mengatasinya kok. Tapi ingat, klise itu tidak salah selama bisa kamu
olah dengan baik.
7. Susah rutin menulis cerita
Susahnya jadi murid ye...
source
Gunakan teknik freewriting, di mana kamu bebas menulis apa aja yang ada
di pikiranmu. Seperti nulis diary, tapi mungkin lebih abstrak lagi. Berapa
lama menulisnya? Tulis tangan atau diketik? Terserah kamu. Kalau Asha
menulis selama lima belas menit dengan cara menulis secara manual (pakai
tangan). Ini untuk olahraga tangan aja, supaya bisa rutin menulis setiap
harinya. Jadi saat ada waktu untuk menulis cerita, rasanya gak kaku lagi ;)
8. Plotnya lari-lari
Emangnya plot punya kaki? Coba deh kerangka cerita. Kalau kamu ada ide
baru dan ternyata cocok dengan ceritamu, kamu boleh menulis
ulang/memotong bagian yang dianggap ga penting. Kalo pun bisa dibuat jadi
cerita bersambung, dibuat aja, jangan dipaksakan jadi cerita yang sekali
baca langsung habis. Kalo ceritamu masih bisa berjalan tanpa ide baru, ide
baru itu bisa dimasukkan saja ke cerita baru.
9. Memulai menulis
Writer's block rese!
source
Saya juga pernah merasakan hal yang sama. Udah ada ide, udah nyusun
plot, pas di depan laptop, malah bengong. Ada tiga cara untuk masalah ini,
yaitu : paksain diri untuk nulis, tinggalin sebentar untuk refreshing, atau
pancing diri sendiri lewat teknik freewriting. Kamu boleh coba ketiganya
untuk tau yang mana paling efektif.
10. Gak ada ide dan atau mood
Kamu bingung mau nulis apa? Mulailah menulis dari hal yang paling dekat
denganmu, jadi ga ribet. Untuk mengendalikan mood, coba deh, disiplinkan
diri menulis setiap hari. Bisa jadi kamu nulis perasaanmu, ide, atau potongan
scene yang ingin kamu masukkan ke cerita. Kalau bisa jangan meng-edit
cerita kalau belum selesai, karena bisa buat mood dan imajinasi hilang. Tulis
dulu apa adanya, supaya kamu tahu sejauh mana kemampuanmu. Kalau
masih kurang, coba baca ini deh ;)
11. Kekurangan motivasi
Gue udah gak ada motivasi lagi, sob
Coba inget lagi tujuan utama menulis, tulis gede-gede dan tempel di kamar.
Terus coba buat target, sehari mau ngetik berapa banyak sesuai
kemampuan. Satu kalimat juga oke, dan hasilnya ga harus sempurna. Ingetin
dirimu, kalo kamu ga nulis sehari aja, berarti kamu ngelewatin kesempatann
untuk kamu berlatih jadi penulis yang sukses =))
12. Sulit menulis transisi dari satu adegan ke adegan lain dengan
baik
Untuk menghindari hal ini, jangan mengganti adegan secara tiba-tiba.
Jelaskan pelan-pelan tokohmu berada di mana dan hendak ke mana. Jangan
buat tokohmu berada di rumah, lalu akhirnya berada di sekolah, padahal
sebelumnya tokoh gak ada mengungkit apa-apa tentang sekolah.
Setelah itu, coba pandang dari sudut pembaca dan tokoh sendiri. Apa yang
perlu kamu tambahkan atau kurangi agar cerita terasa alami? Tapi ada
baiknya kamu intropeksi ceritamu setelah menulis cerita sampai selesai,
agar mood-nya gak keburu hilang karena mengedit kesalahan.
13. Gak bisa konsentrasi
source
Coba jauhin hal-hal yang bikin gak fokus. Buatlah komitmen, misalnya kamu
berhasil konsentrasi menulis tanpa online/nonton (makan dan mandi tetep
harus jalan lho ya) kamu akan memberi dirimu hadiah ;) Setelah menulis
sesuai waktu yang kamu tentukan, kamu boleh nge-break 15 menit,
misalnya. Jadi kamu ga harus tersiksa karena nahan godaan lama-lama.
14. Bingung cara mendeskripsikan perasaan ini sesuatu
Ampun, aku gak bisa nulis deskripsi
yang keren!
source
Don’t think too much, dan kata-kata akan mengalir sendiri. Kalau gak bisa
nulis bagian itu, skip dulu, tulis bagian lain yang lebih mudah. Gak usah mikir
kalo deskripsimu itu harus sempurna and what-so-ever. Tulis aja apa yang
ada di otak. Kamu juga bisa banyak baca cerita yang satu genre denganmu
untuk jadi referensi, tapi bukan berarti ditiru gaya nulisnya ya :3
15. Diksi kata kurang bervariasi
Kalau kamu tidak mau memakai kata yang sama berulang-ulang, coba buat
kamus sendiri. Caranya, tiap kali kamu kata/kalimat yang bagus di
puisi/cerpen/novel, kamu catat. Jadi saat kamu bingung, kamu bisa melihat
kamusmu, agar diksimu semakin bervariasi.
Tapi aku bingung gimana caranya menjadikan ide di otak ke tulisan
Anggap aja seperti main puzzle. Pertama kamu tulis sepotong-potong, dari
awal sampai akhir cerita. bahasanya gak perlu baku, anggap aja kamu lagi
cerita ke teman kamu. Kalo bingung mau ngomong apa, pake 5W + 1H aja.
Kayak gini :
“Oh, pertama Alan ketemu sama Kristoff. Di mana? Di sebuah tempat.
Tempat ini tuh, banyak bangunan tua, gak terawat, tapi kelihatan cantik.
Alan itu ganteng, pakai kacamata, matanya biru. Apalagi si Kristoff.” Dan
seterusnya.
Baru
nanti
kamu
susun
jadi
kalimat
:D
16. Rasa minder yang tak berkesudahan (?)
source
Hanya dengan percaya bahwa kamu dapat melakukannya, itu
berarti 50% kesuksesan sudah ada di tanganmu! - Primadonna
Angela
Supaya semangat terus, cari saja kata-kata mutiara dari penulis terkenal di
google atau goodreads.com :D Reader itu bisa lho, membedakan mana cerita
yang dibuat dengan hati, dengan hati-hati, dan dengan asal. Reader juga
bisa membedakan author yang pede dan yang gak. Semuanya bisa terlihat
dari cerita yang dibuat. Nah, kalau kamu aja gak menulis dengan perasaan
dan pikiran yang positif, jangan salahkan siapa-siapa kalau orang lain begitu
juga :) Cintai dulu karyamu, baru orang lain bisa cinta juga, oke?
17. Kena plagiat
Karyamu diplagiat? Sebentar, tepuk tangan dulu dong. Berarti ceritamu
bagus sampai diplagiat. Nah setelah itu, coba tegur plagiatornya. Kalau dia
gak mau berubah, kamu boleh blokir dia, dan proteksi karyamu lebih ketat
lagi.
18. Dituduh plagiat/niru/semacamnya
source
Nah, ini kebalikan dari yang tadi. Dituduh plagiat/niru! Santai dulu. Pertama,
minta buktinya. Kalo dia salah, udah maafin aja. Kalo dia salah dan masih
ngotot, cuekin aja. Kalo kamu terbukti agak meniru karyanya, minta maaf
dan berusaha agar lain kali menulis dengan lebih original. Gampang ‘kan?
Jangan sampai peristiwa kayak gini bikin down :3
19. Dikritik dengan bahasa yang pedas nan tajam
source
Bedakan flame dengan konkrit ya. Konkrit itu walaupun pedes tapi ada poinpoin yang berguna untuk memperbaiki cerita. Kalo flame itu caci maki tanpa
alasan yang jelas. Kalau di flame, mending cuekin aja. Kalau dia flame terusterusan, silakan block dia. Jangan ambil hati kata-kata yang kasar. Penulis
profesional saja pasti dikritik. Jadi kamu harus bisa menghadapi kritik dengan
kepala dingin, seperti apapun isinya :D
20.
Bosan
menulis/merasa
terbebani
Menulis itu di bawa santai aja, apalagi kalo tujuannya untuk menyenangkan
diri sendiri. Kalau kamu bosan, kamu bisa coba melakukan hobi kamu yang
lain, baru mulai menulis lagi ;) Jangan patah semangat ya!
HAYO, TANTANG DIRIMU!
Adakah masalah di atas yang masih menimpamu? Coba cari tahu akar dari
masalah tersebut dan coba cari solusinya. Ga perlu buru-buru, karena
kadang jawaban dari masalah ditemukan lewat trial and error :)
HEADLINE HIGHLIGHT
Membongkar 10 Hambatan Menulis
Published: 07.09.12 13:10:53
Updated: 25.06.15 00:48:13
Hits : 2,266
Komentar : 45
Rating : 21
Ilustrasi/ Admin (shutterstock)
Dua hari lalu saya membuat status di Facebook. Isinya kurang lebih "Apa hambatan terbesar
Anda saat memulai menulis artikel?". Ada beberapa jemaah Facebook yang membalas pesan itu.
Dan jawaban atas respons mereka saya tulis dalam artikel sederhana ini. Pertama, terlalu
banyak pikiran Rekan Gerry Sugiran AS menyebutkan kendala terbesarnya ialah terlalu banyak
pikiran. "Banyak yang mau ditulis malah bikin bingung," kata Gerry. Dalam buku Menulis
dengan Telinga, bagian itu sudah saya tulis dengan Bab "Tulisan Rampung, Ide Baru
Ditampung." Kalau mau menulis sampai tuntas, mau tak mau pikiran memang fokus ke situ. Soal
banyak ide bersilewaran di kepala, itu sudah pasti. Dan boleh jadi ide baru itu lebih segar. Ide
baru bisa sama dan sebangun dengan bangunan tulisan yang dibikin, bisa juga memasuki dunia
baru. Cara paling gampang ialah dengan meneruskan konsep awal tulisan dengan mencatat ide
baru pada kertas kerja baru. Maka, ketika menulis, jemari kita berada di tuts papan ketik atau
qwerty ponsel, sementara sesekali bolpoin bekerja menulis ide baru yang berseliweran. Saya kira
aktivitas mencatat di kertas ini sesekali.
Cerpenis Lampung Ika Nurliana juga beropini sama. Kata dia, hambatan terbesar dalam menulis
ialah ide berlapis seperti kue lapis. Nah lo! Ini maksudnya, saat kita menulis, ide-ide liar—baik
berkenaan maupun tidak dengan konten yang sedang ditulis—berhamburan di kepala. Dibiarkan
sayang, mau dicatat, kok rasanya mengganggu aktivitas utama menulis. Kembali ke soal
mencatat di kertas, ini penting. Tegasnya, jika saat menulis ada ide datang, catat saja di kertas.
Atau bikin lembar baru di layar monitor.
Mengapa? Sebab, ide yang bersileweran itu rata-rata masih berhubungan dengan tema yang
sedang kita fokuskan. Percayalah! Justru ide yang ada di kepala bakal mengayakan artikel yang
kita buat. Jadi, jangan malah jadi masalah kalau saat menulis idenya datang bak tamu tak
diundang. Tamu itu sumber rezeki. Maka, muliakan tamu itu. Berbahagialah jika saat menulis
kita dilimpahi ide yang datang secara beruntun. Kedua, bingung mau mulai dari mana
Teman Nawal Djajasinga bilang first step, how to begin? Saat ide sudah ada, kita dengan percaya
diri mengaktifkan komputer. Kita yakin dalam sekali duduk sebuah tulisan akan kelar. Tapi,
begitu jari berada di papan ketik, kita bingung. Mau menulis apa? Kalimat apa yang enak ditulis
lebih dulu? Judulnya mesti duluan atau belakangan? Dan sederet kebingungan lain. Ini persoalan
klasik. Tak saja menghadang penulis pemula, penulis profesional acap menemukan momentum
seperti ini.
Satu yang bisa menolong ialah membuat kerangka karangan terlebih dahulu. Saya meyakini
setiap kita yang melewati jenjang pendidikan sekolah dasar mendapat dasar-dasar mengarang
dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Nah, inilah saat di mana kita menggunakan teknik sederhana
tapi sangat membantu. Bikinlah satu baris kalimat pendek sebagai wakil dari paragraf yang kita
buat. Bikinlah sebanyak mungkin. Poin per poin. Atau buat dalam model peta pikiran. Saya acap
cuma membuat selarik kalimat dan bertanda centang. Kalau sudah dapat 30 poin, insya Allah itu
satu artikel padat yang bagus. Tak terlalu panjang, juga tak terlalu pendek. Sebab, masing-masing
poin mewakili satu alinea. Tinggal kita pilih mana yang mau ditempatkan di atas, di bawahnya
lagi, selanjutnya, dan seterusnya. Tidak membikin kerangka juga tidak mengapa. Akan tetapi,
ragangan ini setidaknya menjadi solusi saat kita bingung mau menulis apa di kesempatan
perdana di depan layar monitor. Ketiga, tidak punya waktu
Sohib Dias Marendra yang sekarang menetap di Jakarta bilang, tinggal di Ibu Kota bikin otak
dan hati malas bekerja. Mungkin keruwetan, kemacetan, dan segala perniknya membuat malas
dalam menulis. Sahabat Naqiyyah Syam, ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung, juga
beralibi sama: waktu. Mungkin ini alasan paling banyak yang diungkapkan kita saat ditanya apa
kendala utama soal menulis. "Enggak ada waktu," kata kita. Benarkah demikian?
Buat kita yang selama 24 jam bekerja secara penuh memang sulit untuk mengalokasikan waktu
untuk menulis. Jangankan buat itu, mungkin sekadar melaksanakan salat lima waktu saja tak
sempat. Tapi apa iya ada orang yang semua waktunya untuk bekerja dan melakoni satu hal yang
sama? Saya kira tidak.
Soal waktu dalam menulis memang bergantung pada kepiawaian kita mengaturnya. Kalau
memang ingin serius di bidang ini, setidaknya menjadi penulis yang baik, waktu memang kudu
disiapkan. Jangan beralasan waktu tidak ada. Kitalah yang yang menciptakan momentum itu.
Ini seperti seorang ujung tombak tim sepak bola. Ia bertugas mencetak gol. Fans dan pelatih tak
mau tahu bagaimana ikhtiarnya mencetak gol. Mau pakai kaki, tangan, tumit, terserah. Mau
lewat tendangan bebas, tendangan penalti, juga tak soal. Yang penting bikin gol. Kalau sulit
menunggu di kotak penalti lawan, ya agak turun menjemput bola. Sesekali pakai tembakan
spekulasi jarak jauh juga tak apa. Tujuan akhirnya gol. Penulis juga demikian. Misinya adalah
menghasilkan tulisan.
Soal waktu ia menuntaskannya, terserah. Cari alokasi yang paling baik. Ada yang suka menulis
di pagi hari. Ada yang senang menulis di siang hari usai makan siang. Ada pula yang di waktu
malam menjelang tidur. Terserah saja. Kalau kita mau memberikan kontribusi buat masyarakat
dalam ranah tulisan, kita pasti bisa meluangkan waktu untuk menulis.
Setiap orang punya pekerjaan yang berbeda. Maka itu, waktu yang bisa disempatkan untuk
menulis juga berbeda. Asalkan punya niat yang kuat untuk bisa menulis, insya Allah waktu itu
bisa disediakan secara mandiri.
Keempat, tersangkut di paragraf awal
Bagian ini juga sudah saya dedahkan dalam buku Menulis dengan Telinga. Tak apa saya ulangi
dan tambah dengan bahan lain. Khususnya untuk Mukhtar Gani. Ini kondisi di mana kita sulit
menemukan lead atau teras tulisan. Bagian ini buat sebagian orang memang mahasulit. Sebab,
inilah kuncinya. Sukses di lead, sukses terus sampai tulisan khusnul khatimah. Tapi kalau tidak
sukses, berjam-jam di depan layar komputer tak bakal bisa menghasilkan karya.
Bikinlah kalimat yang saat itu menyangkut dalam pikiran. Tulis saja itu. Soal apakah
berhubungan dengan konten tulisan, nanti dulu itu. Terus saja menulis. Bikin enak. Bikin santai.
Bikin nyaman. Kalau sudah dapat sepuluh paragraf, itu sudah sukses. Sebab, awal kalimat yang
kita bikin sudah mampu membuat kita meneruskan tulisan meski belum kelar. Toh nanti ada
proses penyuntingan. Dibaca lagi. Dirasa-rasai. Diubah. Dibikin padat. Dan sebagainya.
Dulu, orang kalau jatuh cinta, bikin surat dengan orang yang ia sukai. Kertas disiapkan. Begitu
menulis awal, belum pas. Kertas disobek atau diremukkan. Begitu terus sampai kertas habis. Itu
artinya belum ketemu kalimat pembuka yang bagus. Tapi begitu dapat kalimat yang enak,
tulisannya bakal rampung. Sama saja dengan menulis artikel. Kalau sudah dapat titik enaknya,
lanjut, Gan! Kuncinya, tulis saja apa yang ada di pikiran saat itu juga. Jangan menunda!
Kelima, tidak klik dengan tulisan
Istri saya, Sekar Sari Indah Cahyani, yang mengeluhkan ini. Maksudnya, tulisan sih sudah jadi.
Tapi kok setelah dirasa-rasai tidak klik. Tidak sesuai dengan maksud di awal. Kok malah melebar
ke mana-mana. Saya kira ini bagus sebagai bentuk autokritik. Sebelum orang membaca dan
mengapresiasi, seorang penulis terlebih dahulu mengkritik tulisannya. Sehingga didapati bahwa
tulisan itu tak seperti harapan. Ini mungkin tidak terlampau mengkhawatirkan karena persoalan
menulisnya sudah rampung. Kalau memang dirasa tulisan tidak klik, coba lihat kerangka yang
mungkin pernah dibuat. Sudah sesuai belum konten tulisan dengan ragangan. Sudah masuk
semua belum item yang dipersiapkan. Kalau sudah semua, berprasangka baik saja. Jangan
sampai kekritisan itu malah kontraproduktif.
Kuncinya, syukuri bahwa tulisan sudah jadi. Persoalan sekarang ialah menilai apakah karya itu
sesuai dengan harapan atau belum. Kalau malah terlalu keras dengan tulisan, nanti bisa bikin
frustrasi dan kita merasa lemah untuk itu. Alih-alih produktif, kita malah kontraproduktif.
Keenam, tidak pede dengan tulisan sendiri
Rekan Ngesti Fitriyah mengujarkan ini kepada saya. Saya pikir ini sama dengan poin
sebelumnya. Cuma masalahnya, bisa jadi rasa ketidakpercayaan itu muncul setelah kita mulai
menulis. Menulis sih menulis. Lancar sih lancar. Tapi semakin ke sini kok semakin garing. Galau
jadinya. Antara yakin dan tak yakin. Kita kemudian merasa tidak percaya diri. Hmmm, ini kasus
menarik. Tapi setidaknya, bersyukur bahwa dalam rentang ini kita masih terjaga dalam menulis.
Langkah terbaik adalah meneruskan tulisan itu sampai titik terakhir. Setelah itu, baca lagi semua.
Baris per baris. Kalimat per kalimat. Maknai lagi. Edit yang ketat. Bisa jadi, ini hanya perasaan
kita saja yang mungkin tipikal orang yang perfeksionis. Ya bagus ini. Cuma kalau jadinya
kontraproduktif kan tidak bijak juga. Maka itu, kalau sudah kelar, membiasakan memberikan
tulisan kepada dua atau tiga rekan kita sangat bagus. Mereka nanti yang akan menilai tulisan itu
bagus atau tidak. Jadi, percaya diri saja. Anak muda sekarang bilang, cemungudh ea! Hahahaha.
Ketujuh, enggak mood
Kawan lama saya, Setyajie Kuntowibisono, mengatakan ini. Ia mengeluh ketiadaan mood
membuatnya sulit dalam menulis. Ini juga klasik. Saya menjawabnya dengan ringkas. Kalau kita
sudah meniatkan menulis sebagai salah satu amal, apa pun kondisi kejiwaan kita, menulis mesti
dilakoni. Apa kita sedang senang, menulis mesti dijaga. Kondisi badan yang capek dan penat
juga tak alasan untuk tidak menulis. Ibarat orang bekerja, meski capek, tetap bekerja. Sebab, itu
tanggung jawab. Responsibilitas. Seorang kepala rumah tangga, meski sakit sedikit, pasti tetap
bekerja. Sebab, itu tanggung jawabnya. Mau makan apa anak dan istri di rumah kalau kepala
keluarga tidak bekerja? Sama dengan menulis. Kalau sudah jadi “kewajiban”, kebutuhan, apa
pun kondisinya, menulis tetap dilakoni. Sampai kapan? Sampai kita tak bisa lagi menulis.
Kedelapan, lingkungan yang tidak mendukung
Rekan Ade Nugraha mengatakan lingkungannya tidak mendukung untuk menulis. Berisik kata
dia. Wah, kalau ini kan kondisi setiap orang pasti berbeda. Ada lingkungan sekitar yang ramai,
ada yang senyap. Ini soal sikap kita saja atas lingkungan sekitar. mau dijadikan penghambat bisa,
tapi bisa juga peluang. Lingkungan yang berisik bisa jadi bahan tulisan tuh. Mengapa lingkungan
kita jadi berisik? Kenapa tidak damai-damai saja? Dan sebagainya. Kalau misalnya lingkungan
itu tak bisa lagi diandalkan, ya mesti hijrah. Hijrah? Ya hijrah. Misalnya rumah kita berisik.
Tetangga sedang ada kendurian. Tapi kita mesti menulis dan ada artikel yang diburu untuk
dirampungkan. Maka berhijrahlah, cari lingkungan yang kondusif, yang tenang, yang
mendukung. Perpustakaan misalnya. Atau rumah teman. Bisa juga di masjid, di hutan kota, dan
sebagainya.
Kesembilan, bahasanya payah
Afnan Luthfi, adik kelas di SMAN 2 Bandar Lampung, mengatakan ini. “Kak Adian, rasanya
kalau mau mengarang itu, bahasa saya payah banget. Kenapa ya?”. Aha, ini dia yang menarik.
Bahasa. Ya, bahasa. Menulis itu senjatanya memang bahasa. Penguasaan terhadap banyak
kosakata dan teknik menulis kalimat yang baik adalah senjata andalan. Bagaimana mungkin kita
bisa menulis kalau minat kita terhadap bahasa sangat rendah. Saya katakan minat. Sebab, ini
bukan perkara bakat. Yang penting kita minat menulis, minat dengan bahasa, suka membaca, dan
senang mencoba.
Bahasa payah itu, dalam benak saya, hanya saat kita menulis dengan bahasa gaul alias alay yang
sekarang digandrungi anak muda. Nah, dalam menulis artikel, apalagi diniatkan dipublikasikan
di media, bahasa yang dipakai pasti yang resmi. Ejaannya yang baik. Diksinya yang baku. Pola
yang kita pelajari saat SD: subjek, predikat, objek, dan keterangan—SPOK—mesti dipahami
dengan baik.
Ada lo redaktur Opini surat kabar yang jeli betul memperhatikan setiap kalimat. Kalau ada yang
ia tidak sukai, pasti diubahnya. Bahkan kalau mayoritas tulisan kita bahasanya payah, langsung
ia hapus. Kasihan kan, sudah capek-capek menulis, eh langsung dibabat sama redaktur opininya.
Bahasa yang baik dalam ranah jurnalistik ialah bahasa yang mudah dicerna, padat, ringkas, tidak
bertele-tele. Intinya mudah dipahami. Kalau saat menulis kita yang menulis sudah berkerut-kerut
dahinya, itu tanda bahasa kita masih payah. Edit lagi. Diganti.
Salah satu kuncinya ialah jangan menulis kelewat panjang dalam satu kalimat. Ada ukuran dalam
Fog Index bahwa kalimat yang baik terdiri dari tak lebih 14 kata. Bisa delapan kata, itu bagus.
Kalimat yang ditatahkan dengan kata yang sedikit banyak untungnya. Pembaca mudah
memahami, redaktur pun menyukai. Bahasa buat saya berbanding lurus dengan keterampilan kita
menulis satu kalimat dengan diksi sedikit.
Tulisan itu, meski mungkin kontennya tidak kuat, asal pendek, mudah dipahami. Tapi kalau
panjang sekali, mengesalkan pembaca. Napas tersengal-sengal dibuatnya. Satu alinea, satu tanda
titik. Itu pasti melelahkan. Kalimat yang panjang itu punya tanda: napas terengah-engah tapi
kalimat belum tuntas. Maka, kita bisa berlatih menulis dengan pendek-pendek. Kalau kita
terbiasa mengirim pesan via SMS, itu sarana berlatih yang bagus. Tulislah pesan dengan kata
yang lengkap tanda disingkat. Atur kalimat sesuai dengan ejaan yang baik. Jika memungkinkan,
bikinlah pola SPOK. Insya Allah bahasa kita tidak akan payah lagi.
Kesepuluh, merasa kurang ilmu
Sebetulnya, merasa kurang ilmu ini bagus. Positif sekali. Dengan begitu kita selalu merasa
kurang dan tidak jemawa. Sahabat Arif Rahman bertanya soal ini. Menurut saya, ini lebih kepada
penguasaan kita terhadap tema yang mau ditulis. Kalau tidak menguasai, memang selayaknya
tidak usah ditulis. Sebab, kita tidak yakin dengan tema yang mau ditulis. Pesan sederhananya
ialah menulislah yang kita bisa. Menulislah dengan basis terkuat kita.
Kita diciptakan dengan kecerdasan dan potensi masing-masing. Tidak sama antara satu dan yang
lain. Termasuk penguasaan atas tema tulisan. Kalau kita bekerja sehari-hari di bank syariah,
menulislah soal itu. Kalau kita guru, menulislah tema pendidikan. Jangan menulis yang temanya
tidak kita kuasai dengan baik.
Perihal ilmu yang masih kurang, tapi basisnya sudah kita kuasai, itu persoalan lain. Misalnya,
saya memang senang menulis tentang dunia kepengarangan. Saya kuat di situ. Saya fokus di
tema itu. Soal kemudian saya mencari banyak literatur penunjang, itu positif. Sebab, saya ingin
tulisan saya kaya perpektif dan pembaca bisa mendapat banyak pengetahuan. Saya kuat di tema
itu, tapi terus berlatih agar bertambah kuat. Itu maksudnya. Tapi kalau saya tidak kuat di filsafat
kemudian memaksakan, menurut saya itu butuh bahan bakar yang banyak. Bukannya tidak bisa,
tapi itu ranah yang sama sekali baru buat saya. Saya butuh tenaga ekstra untuk menguasai itu.
Maka, carilah basis terkuat kita dalam menulis.
Kulminasi tertinggi penulis ialah personal branding. Kita punya satu atau dua tema yang sangat
dikuasai. Jadi, ketika nama kita disebut, orang bisa memersepsikan kita ahli di bidang itu. “Oh,
kalau pelatihan penulisan Bang Adian saja yang menjadi narasumber. Ia banyak menulis soal itu
dan bukunya juga soal itu.” Ini kalimat contoh saja. Supaya gampang. Daripada “memfitnah”
contoh lain, saya saja jadi contoh “fitnah”-nya, hehehe. Sampai di sini mudah-mudahan bisa
dimaknai dengan baik. Selamat menulis kawan-kawan!
7 Tips, Menulis Jadi Gampang
Published: 30.11.12 11:58:52
Updated: 24.06.15 20:25:52
Hits : 2,888
Komentar : 2
Rating : 7
Menjadi penulis yang baik, tentunya mengharuskan kita untuk berlatih dan bekerja keras
semaksimal mungkin. Anda bisa menulis dimana saja, di blog pribadi, mengirim artikel ke media
massa, atau bahkan dengan hanya membuat catatan harian. Yang penting hal tersebut dilakukan
secara konsisten.
Ini adalah 7 tips penting saat menulis yang mampu saya berikan:
1. Menulislah dengan ringkas dan tidak berbelit-belit. Bisa anda dapatkan dengan rutinitas
menulis. Setiap kata yang anda tulis memiliki makna atau tidak ada kata yang sekedar
menambah panjang tulisan.
2. Saat menulis jangn melakukannya sambil mengedit, agar supaya apa yang anda pikirkan dapat
tertuang secara continue.
3.Lakukan pembagian paragraf, dalam mengungkapkan suatu ide pikiran yang akan anda
tuangkan. Dampaknya akan membuat pembaca merasa nyaman dengan tulisan anda.
4. Menulislah dengan spesifik berdasarkan judul yang telah anda buat. layaknya diskusi yang
mengambang jauh dari topik membuat orang menjadi risih begitupula tulisan yang mengambang
jauh dari topik akan membuat pembaca merasa tertipu dan kurang nyaman.
5. Menulislah dengan bahasa yang komunikatif, dengan pembaca. Usahakan tulisan tidak
sekedar text book, yang hanya berisi bacaan 1 arah. Buatlah tulisan seakan-akan anda sedang
berhadapan dengan pembaca.
6. Menulislah dengan informasi utama yang jelas. Hal itu membuat tulisan anda lebih dapat
dipercaya. lengkapi keterangan waktu, tempat, dan keterangan lainnya yang dianggap perlu.
7. Tunjukkan integritas anda dengan menulis yang jujur. menulis yang jujur akan membuat
tulisan anda jelas dan membuat pembaca tidak bingung dengan isi tulisan anda.
Dua Kata Sederhana Yang Akan Membuat
Keterampilan Menulis Anda Berkembang
Pesat
Posted on by caramenulisbuku453
Mungkin kita seringkali kagum pada keterampilan menulis seseorang yang semakin baik setiap
hari sedangkan kemampuan kita masih jalan ditempat. Mungkin juga kita sering merasa iri pada
penulis lain yang telah mampu menulis dengan lancar sedangkan kita menyusun paragraf
menjadi bab saja sulitnya minta ampun.
Atau mungkin juga kita sering merasa terpesona membaca buku orang lain sedangkan buku kita
belum rampung juga ditulis. Lalu kita bertanya, bagaimana, sih, cara menjadi penulis seperti
mereka?
Jawabannya ada pada dua kata sederhana yang memiliki pengaruh besar ini: practice (latihan)
yang massive (banyak). Mari saya tunjukkan sebuah contoh perbandingan.
Mengapa seorang bocah umur lima tahun di Amerika sana sangat lancar berbahasa inggris,
padahal mereka tidak pernah belajar bahasa inggris di sekolah? Dan mengapa pula kita orang
Indonesia, setelah belajar bahasa inggris bertahun-tahun di kelas, masih banyak yang tidak bisa
berbahasa inggris?
Dan lebih parahnya lagi, ternyata kita sering diajarkan oleh orang yang belum tentu juga
menguasai bahasa inggris (walau sering mengaku sarjana bahasa inggris! Maaf numpang
nyindir… he.. he…)
Contoh ini sama dengan perbandingan kita dan penulis sukses itu.
Mengapa kita sering sekali merasa sulit menciptakan tulisan yang baik dan menarik? Dan
mengapa pula penulis hebat itu sangat lihai menciptakan tulisan yang baik, menarik dan bahkan
menggugah?
Jawabannya karena kita jarang sekali latihan menulis atau bahkan sering sekali merasa malas
untuk melakukannya. Sedangkan penulis yang telah sukses itu telah menulis banyak hal dalam
waktu yang lama. Mereka telah memutuskan untuk menulis setiap hari walaupun hanya beberapa
menit. Mereka telah mengorbankan waktu dan tenaga mereka untuk sesuatu yang mereka
impikan sehingga mereka telah menjadi diri mereka yang sekarang.
Felix Siauw (Seorang Best Spiritual Motivator, Asli Palembang) dalam satu buku best sellernya,
How To Master Your Habits, menuliskan,
“Bila seseorang banyak melatih dan mengulang, terpaksa ataupun sukarela, dia pasti akan
menguasai keahlian tertentu. Inilah namanya pembentukan kebiasaan alias habits.”
Benar sekali Bang Felix, setuju bangets. Bila kita banyak (massive) melatih (practice) minat kita
maka dalam keadaan terpaksa ataupun sukarela, pasti kita bakal menguasainya.
Apa yang ditulis Bang Felix ternyata sama dengan apa yang ditulis oleh Malcolm Gladwell
dalam bukunya Outliers.
“Bahwa penguasaan dalam suatu bidang tertentu merupakan kunci utama dari kesuksesan, dan
penguasaan tersebut hanya bisa diperoleh oleh seseorang jika telah melakukan latihan minimal
10.000 jam.”
Ya, kita akan menguasai keahlian apapun yang kita minati setelah kita berlatih selama 10 ribu
jam. Kalo dihitung-hitung, 10 ribu jam itu sama dengan dua tahun. Jadi bila kita ingin ahli
melakukan suatu hal, menulis misalnya, berarti kita harus berlatih menulis satu jam setiap hari
selama kurang lebih dua tahun.
Yups, saya setuju dengan dua pendapat dua master diatas. Saya setuju karena saya telah
mengalami dan merasakannya. Ketika saya telah menulis (practice) selama kurang lebih dua
tahun (massive), maka saya baru bisa merasakan kemampuan dan keterampilan menulis saya
bertambah bagus. Pikiran dan tangan saya terasa sudah menyatu, keduanya sudah mulai bisa
berjalan seiring seirama, bebas dari writing block. Aktivitas menulis saya pun menjadi lancar.
Saya mulai bisa menulis dengan mengalir. Mantap!
Jadi, anda pun bisa menjadi penulis hebat seperti penulis lain yang telah sukses itu. Syaratnya
anda harus mau latihan (practice) menulis dalam waktu yang lama (massive) dengan penuh
kesungguhan.
Tidak ada yang instan dan magic disini. Anda hanya perlu menekan diri anda untuk mau menulis
setiap hari walaupun beberapa menit atau beberapa jam. Atur jadwal anda untuk mengisi minggu
dan bulan anda dengan menulis. Anda harus bersedia menjalani prosesnya dengan tekun. Anda
harus bisa menikmati suka dukanya dengan sabar sampai tulisan anda terbit dan bisa dibaca serta
dinikmati banyak orang. Apakah anda siap?
Mengatasinya
Posted by Asha Deborah in Original Work, Tips, Writing
Source
Hai semua! \^o^/ Masalah dalam menulis itu banyak. Serius. Tapi saya udah
berusaha tulis dengan singkat dan lengkap :) Supaya bacanya gak
kepanjangan, mending kamu baca aja mana masalah yang sedang kamu
hadapi. Yuk, langsung aja ke tekapeh! :D
Glosarium
Reader : Pembaca
Author : Penulis
Summary : Sinopsis
Review : Komentar
Flame : Kritik pedas, pada umumnya tidak membangun
1. Sulit menentukan judul
Padahal menentukan judul termasuk gampang lho, karena kita yang paling
tahu cerita kita :) Anggap aja ini sebuah game! Ini nih syarat-syarat gamenya :3
Tentukan waktu untuk berpikir, bisa maksimal 1 menit, 2 menit, dst.
Kamu harus tulis 1-6 kata yang merangkum seluruh isi ceritamu (misalnya
Apel Merah karena di ceritamu apel merah memegang peran yang penting).
Kata-katanya ga boleh kepisah, alias nyambung.
Boleh pakai bahasa asing, tapi usahakan simple agar mudah diingat.
Usahakan buat judul yang bikin pembaca gak bisa nebak jalan ceritanya.
Hayo, siapa bilang buat judul itu susah? :D Ini namanya brainstorming ^3^
Kenapa emangnya kalo judulnya pasaran?
Ya gapapa sih. Tapi kalau judulmu pasaran, akan jadi sulit di cari. Misalnya
kamu cari cewe bernama ‘Jessica’ di sekolah, sedangkan di situ ada 5 orang
yang bernama sama. Kamu sendiri ga ingat nama akhir Jessica, mau ga mau
kamu harus cek satu-satu ‘kan mana Jessica yang kamu cari?
Terus kenapa kalau judulku ga nyambung/ga menarik?
Masalah sih gak. Tapi sayang dong kalo ceritamu bagus tapi judulnya ga
mengundang selera. Sayang juga kalau reader kepincut dengan ceritamu
karena judulnya, tapi ceritamu sendiri gak berkaitan dengan judulmu. Ini bisa
jadi nilai minus.
2.
Alur
terpaksa
dicepetin
Karena sibuk atau supaya ga bertele-tele, mau gak mau alur dicepetin. Gak
masalah asal gak ketahuan, bisa kamu siasati dengan baik dan gak
menganggu jalan cerita. Jangan sampai deh, reader tahu. Dan kamu gak
perlu juga kasitau, kecuali readermu nanya :3 Biarlah itu menjadi rahasia di
antara kita #tsaaah.
3. Sedikit review dan reader
Me too, garfield, me too.
source
Ingat! Review bukan segala-galanya. Kamu menulis untuk menyalurkan ide
dan bikin hatimu senang. Reader itu bonus. Kalau di review bagus, kalau gak
ya woles. Dengan ini kamu gak cepet putus asa dan mau terus berkembang,
karena kamu menulis berdasarkan passion kamu, bukan kata orang.
Setelah itu, intropeksi! Kalau kualitas ceritamu yang kurang, coba perbaiki
lagi (silakan baca ini). Setelah itu, cintailah ceritamu! Terus, belajarlah jadi
sales dengan sepenuh hati (‘-‘)b
...Hah? Jadi sales?
source
Iya, bener, jadi sales! Saat saya mempromosikan cerita saya, saya berusaha
meyakinkan orang kalau cerita saya layak dibaca, dan mereka gak akan
nyesal karena udah abisin waktu untuk baca cerita saya. Caranya simple
kok, cukup pandai-pandai dalam memilih kata. Ini contohnya.
Saat kau meratapi kepergiannya, sadarkah kau bahwa dia ada di
sampingmu, frustasi karena kau tak bisa melihatnya? Tangannya menggapai
udara, suaranya membentur kehampaan, namun kau tak kunjung sadar.
Bacalah dan kau akan mengerti.
Sebenarnya, belum tentu reader ga pernah merasakan kehilangan. Tapi
dalam summary, saya buat seolah-olah kesedihan dalam cerita itu lebih
sedih dari kesedihan yang pernah reader rasakan. Dan reader baru benarbenar ngerti kalo udah baca. Kalau gitu mau gak mau reader harus baca
‘kan?
Terakhir, promosi di socmed (perbanyak teman yang suka menulis dan atau
membaca!). Jangan cuma share link aja ya, promosikan dengan menarik agar
orang tertarik baca, ok? ;)
4. Muncul ide saat sedang sibuk
Saat lagi sibuk-sibuknya, semua ide mendadak muncul dan bikin kamu
pusing. Kalau kamu bukan penulis, tentu kamu harus memprioritaskan
kesibukanmu yang lain. Ide yang muncul itu disimpen aja dulu sampai kamu
punya waktu untuk menulisnya. Atau kamu cicil menulis setiap hari sesuai
kemampuan kamu.
Tapi aku malah keburu lupa sebelum idenya sempat ku catat T^T
Kalau gitu, kamu harus melatih ingatanmu. J.K Rowling sendiri mendapat ide
tentang Harry Potter di dalam kereta, dan dia berusaha keras mengingatnya
selama perjalanan. Kalau idenya udah bener-bener nempel, baru kamu tulis
dan kamu kembangkan. Kalau keburu lupa, anggap aja bukan jodoh.
5. Muncul ide saat sedang menulis cerita lain
Once upon a time... terus ngeblank.
source
Ini nih, beberapa pilihan metode yang bisa kamu pakai :
Tinggalin sebentar cerita yang lama, tulis cerita yang baru.
Kelebihan : Kalau bosen sama cerita lama, bisa refreshing dengan menulis
cerita baru.
Kelemahan : Cerita lama terancam terbengkalai.
Lanjutin cerita yang lama, tulis cerita yang baru belakangan
Kelebihan : Cerita lama gak terbengkalai, dan kita udah ada cadangan cerita
yang akan ditulis begitu cerita lama selesai ditulis.
Kelemahan : Keburu lupa atau hilang mood sama cerita yang baru.
Pindah-pindah. Kalau lagi mood tulis cerita baru, tulis cerita baru.
Kalo ga, ya tulis cerita lama.
Kelebihan : Selain ga cepet bosen, kedua ceritanya cepat selesai.
Kelemahan : Bisa jadi kedua cerita tidak maksimal karena lompat-lompat.
Silakan pilih yang cocok sama kepribadianmu :3 Kalau saya suka yang ketiga
karena saya mudah bosan.
6. Cerita terasa klise/membosankan
Coba baca dulu ini sebelum tahu ceritamu klise/tidak ;D Disitu juga tertera
cara mengatasinya kok. Tapi ingat, klise itu tidak salah selama bisa kamu
olah dengan baik.
7. Susah rutin menulis cerita
Susahnya jadi murid ye...
source
Gunakan teknik freewriting, di mana kamu bebas menulis apa aja yang ada
di pikiranmu. Seperti nulis diary, tapi mungkin lebih abstrak lagi. Berapa
lama menulisnya? Tulis tangan atau diketik? Terserah kamu. Kalau Asha
menulis selama lima belas menit dengan cara menulis secara manual (pakai
tangan). Ini untuk olahraga tangan aja, supaya bisa rutin menulis setiap
harinya. Jadi saat ada waktu untuk menulis cerita, rasanya gak kaku lagi ;)
8. Plotnya lari-lari
Emangnya plot punya kaki? Coba deh kerangka cerita. Kalau kamu ada ide
baru dan ternyata cocok dengan ceritamu, kamu boleh menulis
ulang/memotong bagian yang dianggap ga penting. Kalo pun bisa dibuat jadi
cerita bersambung, dibuat aja, jangan dipaksakan jadi cerita yang sekali
baca langsung habis. Kalo ceritamu masih bisa berjalan tanpa ide baru, ide
baru itu bisa dimasukkan saja ke cerita baru.
9. Memulai menulis
Writer's block rese!
source
Saya juga pernah merasakan hal yang sama. Udah ada ide, udah nyusun
plot, pas di depan laptop, malah bengong. Ada tiga cara untuk masalah ini,
yaitu : paksain diri untuk nulis, tinggalin sebentar untuk refreshing, atau
pancing diri sendiri lewat teknik freewriting. Kamu boleh coba ketiganya
untuk tau yang mana paling efektif.
10. Gak ada ide dan atau mood
Kamu bingung mau nulis apa? Mulailah menulis dari hal yang paling dekat
denganmu, jadi ga ribet. Untuk mengendalikan mood, coba deh, disiplinkan
diri menulis setiap hari. Bisa jadi kamu nulis perasaanmu, ide, atau potongan
scene yang ingin kamu masukkan ke cerita. Kalau bisa jangan meng-edit
cerita kalau belum selesai, karena bisa buat mood dan imajinasi hilang. Tulis
dulu apa adanya, supaya kamu tahu sejauh mana kemampuanmu. Kalau
masih kurang, coba baca ini deh ;)
11. Kekurangan motivasi
Gue udah gak ada motivasi lagi, sob
Coba inget lagi tujuan utama menulis, tulis gede-gede dan tempel di kamar.
Terus coba buat target, sehari mau ngetik berapa banyak sesuai
kemampuan. Satu kalimat juga oke, dan hasilnya ga harus sempurna. Ingetin
dirimu, kalo kamu ga nulis sehari aja, berarti kamu ngelewatin kesempatann
untuk kamu berlatih jadi penulis yang sukses =))
12. Sulit menulis transisi dari satu adegan ke adegan lain dengan
baik
Untuk menghindari hal ini, jangan mengganti adegan secara tiba-tiba.
Jelaskan pelan-pelan tokohmu berada di mana dan hendak ke mana. Jangan
buat tokohmu berada di rumah, lalu akhirnya berada di sekolah, padahal
sebelumnya tokoh gak ada mengungkit apa-apa tentang sekolah.
Setelah itu, coba pandang dari sudut pembaca dan tokoh sendiri. Apa yang
perlu kamu tambahkan atau kurangi agar cerita terasa alami? Tapi ada
baiknya kamu intropeksi ceritamu setelah menulis cerita sampai selesai,
agar mood-nya gak keburu hilang karena mengedit kesalahan.
13. Gak bisa konsentrasi
source
Coba jauhin hal-hal yang bikin gak fokus. Buatlah komitmen, misalnya kamu
berhasil konsentrasi menulis tanpa online/nonton (makan dan mandi tetep
harus jalan lho ya) kamu akan memberi dirimu hadiah ;) Setelah menulis
sesuai waktu yang kamu tentukan, kamu boleh nge-break 15 menit,
misalnya. Jadi kamu ga harus tersiksa karena nahan godaan lama-lama.
14. Bingung cara mendeskripsikan perasaan ini sesuatu
Ampun, aku gak bisa nulis deskripsi
yang keren!
source
Don’t think too much, dan kata-kata akan mengalir sendiri. Kalau gak bisa
nulis bagian itu, skip dulu, tulis bagian lain yang lebih mudah. Gak usah mikir
kalo deskripsimu itu harus sempurna and what-so-ever. Tulis aja apa yang
ada di otak. Kamu juga bisa banyak baca cerita yang satu genre denganmu
untuk jadi referensi, tapi bukan berarti ditiru gaya nulisnya ya :3
15. Diksi kata kurang bervariasi
Kalau kamu tidak mau memakai kata yang sama berulang-ulang, coba buat
kamus sendiri. Caranya, tiap kali kamu kata/kalimat yang bagus di
puisi/cerpen/novel, kamu catat. Jadi saat kamu bingung, kamu bisa melihat
kamusmu, agar diksimu semakin bervariasi.
Tapi aku bingung gimana caranya menjadikan ide di otak ke tulisan
Anggap aja seperti main puzzle. Pertama kamu tulis sepotong-potong, dari
awal sampai akhir cerita. bahasanya gak perlu baku, anggap aja kamu lagi
cerita ke teman kamu. Kalo bingung mau ngomong apa, pake 5W + 1H aja.
Kayak gini :
“Oh, pertama Alan ketemu sama Kristoff. Di mana? Di sebuah tempat.
Tempat ini tuh, banyak bangunan tua, gak terawat, tapi kelihatan cantik.
Alan itu ganteng, pakai kacamata, matanya biru. Apalagi si Kristoff.” Dan
seterusnya.
Baru
nanti
kamu
susun
jadi
kalimat
:D
16. Rasa minder yang tak berkesudahan (?)
source
Hanya dengan percaya bahwa kamu dapat melakukannya, itu
berarti 50% kesuksesan sudah ada di tanganmu! - Primadonna
Angela
Supaya semangat terus, cari saja kata-kata mutiara dari penulis terkenal di
google atau goodreads.com :D Reader itu bisa lho, membedakan mana cerita
yang dibuat dengan hati, dengan hati-hati, dan dengan asal. Reader juga
bisa membedakan author yang pede dan yang gak. Semuanya bisa terlihat
dari cerita yang dibuat. Nah, kalau kamu aja gak menulis dengan perasaan
dan pikiran yang positif, jangan salahkan siapa-siapa kalau orang lain begitu
juga :) Cintai dulu karyamu, baru orang lain bisa cinta juga, oke?
17. Kena plagiat
Karyamu diplagiat? Sebentar, tepuk tangan dulu dong. Berarti ceritamu
bagus sampai diplagiat. Nah setelah itu, coba tegur plagiatornya. Kalau dia
gak mau berubah, kamu boleh blokir dia, dan proteksi karyamu lebih ketat
lagi.
18. Dituduh plagiat/niru/semacamnya
source
Nah, ini kebalikan dari yang tadi. Dituduh plagiat/niru! Santai dulu. Pertama,
minta buktinya. Kalo dia salah, udah maafin aja. Kalo dia salah dan masih
ngotot, cuekin aja. Kalo kamu terbukti agak meniru karyanya, minta maaf
dan berusaha agar lain kali menulis dengan lebih original. Gampang ‘kan?
Jangan sampai peristiwa kayak gini bikin down :3
19. Dikritik dengan bahasa yang pedas nan tajam
source
Bedakan flame dengan konkrit ya. Konkrit itu walaupun pedes tapi ada poinpoin yang berguna untuk memperbaiki cerita. Kalo flame itu caci maki tanpa
alasan yang jelas. Kalau di flame, mending cuekin aja. Kalau dia flame terusterusan, silakan block dia. Jangan ambil hati kata-kata yang kasar. Penulis
profesional saja pasti dikritik. Jadi kamu harus bisa menghadapi kritik dengan
kepala dingin, seperti apapun isinya :D
20.
Bosan
menulis/merasa
terbebani
Menulis itu di bawa santai aja, apalagi kalo tujuannya untuk menyenangkan
diri sendiri. Kalau kamu bosan, kamu bisa coba melakukan hobi kamu yang
lain, baru mulai menulis lagi ;) Jangan patah semangat ya!
HAYO, TANTANG DIRIMU!
Adakah masalah di atas yang masih menimpamu? Coba cari tahu akar dari
masalah tersebut dan coba cari solusinya. Ga perlu buru-buru, karena
kadang jawaban dari masalah ditemukan lewat trial and error :)
HEADLINE HIGHLIGHT
Membongkar 10 Hambatan Menulis
Published: 07.09.12 13:10:53
Updated: 25.06.15 00:48:13
Hits : 2,266
Komentar : 45
Rating : 21
Ilustrasi/ Admin (shutterstock)
Dua hari lalu saya membuat status di Facebook. Isinya kurang lebih "Apa hambatan terbesar
Anda saat memulai menulis artikel?". Ada beberapa jemaah Facebook yang membalas pesan itu.
Dan jawaban atas respons mereka saya tulis dalam artikel sederhana ini. Pertama, terlalu
banyak pikiran Rekan Gerry Sugiran AS menyebutkan kendala terbesarnya ialah terlalu banyak
pikiran. "Banyak yang mau ditulis malah bikin bingung," kata Gerry. Dalam buku Menulis
dengan Telinga, bagian itu sudah saya tulis dengan Bab "Tulisan Rampung, Ide Baru
Ditampung." Kalau mau menulis sampai tuntas, mau tak mau pikiran memang fokus ke situ. Soal
banyak ide bersilewaran di kepala, itu sudah pasti. Dan boleh jadi ide baru itu lebih segar. Ide
baru bisa sama dan sebangun dengan bangunan tulisan yang dibikin, bisa juga memasuki dunia
baru. Cara paling gampang ialah dengan meneruskan konsep awal tulisan dengan mencatat ide
baru pada kertas kerja baru. Maka, ketika menulis, jemari kita berada di tuts papan ketik atau
qwerty ponsel, sementara sesekali bolpoin bekerja menulis ide baru yang berseliweran. Saya kira
aktivitas mencatat di kertas ini sesekali.
Cerpenis Lampung Ika Nurliana juga beropini sama. Kata dia, hambatan terbesar dalam menulis
ialah ide berlapis seperti kue lapis. Nah lo! Ini maksudnya, saat kita menulis, ide-ide liar—baik
berkenaan maupun tidak dengan konten yang sedang ditulis—berhamburan di kepala. Dibiarkan
sayang, mau dicatat, kok rasanya mengganggu aktivitas utama menulis. Kembali ke soal
mencatat di kertas, ini penting. Tegasnya, jika saat menulis ada ide datang, catat saja di kertas.
Atau bikin lembar baru di layar monitor.
Mengapa? Sebab, ide yang bersileweran itu rata-rata masih berhubungan dengan tema yang
sedang kita fokuskan. Percayalah! Justru ide yang ada di kepala bakal mengayakan artikel yang
kita buat. Jadi, jangan malah jadi masalah kalau saat menulis idenya datang bak tamu tak
diundang. Tamu itu sumber rezeki. Maka, muliakan tamu itu. Berbahagialah jika saat menulis
kita dilimpahi ide yang datang secara beruntun. Kedua, bingung mau mulai dari mana
Teman Nawal Djajasinga bilang first step, how to begin? Saat ide sudah ada, kita dengan percaya
diri mengaktifkan komputer. Kita yakin dalam sekali duduk sebuah tulisan akan kelar. Tapi,
begitu jari berada di papan ketik, kita bingung. Mau menulis apa? Kalimat apa yang enak ditulis
lebih dulu? Judulnya mesti duluan atau belakangan? Dan sederet kebingungan lain. Ini persoalan
klasik. Tak saja menghadang penulis pemula, penulis profesional acap menemukan momentum
seperti ini.
Satu yang bisa menolong ialah membuat kerangka karangan terlebih dahulu. Saya meyakini
setiap kita yang melewati jenjang pendidikan sekolah dasar mendapat dasar-dasar mengarang
dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Nah, inilah saat di mana kita menggunakan teknik sederhana
tapi sangat membantu. Bikinlah satu baris kalimat pendek sebagai wakil dari paragraf yang kita
buat. Bikinlah sebanyak mungkin. Poin per poin. Atau buat dalam model peta pikiran. Saya acap
cuma membuat selarik kalimat dan bertanda centang. Kalau sudah dapat 30 poin, insya Allah itu
satu artikel padat yang bagus. Tak terlalu panjang, juga tak terlalu pendek. Sebab, masing-masing
poin mewakili satu alinea. Tinggal kita pilih mana yang mau ditempatkan di atas, di bawahnya
lagi, selanjutnya, dan seterusnya. Tidak membikin kerangka juga tidak mengapa. Akan tetapi,
ragangan ini setidaknya menjadi solusi saat kita bingung mau menulis apa di kesempatan
perdana di depan layar monitor. Ketiga, tidak punya waktu
Sohib Dias Marendra yang sekarang menetap di Jakarta bilang, tinggal di Ibu Kota bikin otak
dan hati malas bekerja. Mungkin keruwetan, kemacetan, dan segala perniknya membuat malas
dalam menulis. Sahabat Naqiyyah Syam, ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung, juga
beralibi sama: waktu. Mungkin ini alasan paling banyak yang diungkapkan kita saat ditanya apa
kendala utama soal menulis. "Enggak ada waktu," kata kita. Benarkah demikian?
Buat kita yang selama 24 jam bekerja secara penuh memang sulit untuk mengalokasikan waktu
untuk menulis. Jangankan buat itu, mungkin sekadar melaksanakan salat lima waktu saja tak
sempat. Tapi apa iya ada orang yang semua waktunya untuk bekerja dan melakoni satu hal yang
sama? Saya kira tidak.
Soal waktu dalam menulis memang bergantung pada kepiawaian kita mengaturnya. Kalau
memang ingin serius di bidang ini, setidaknya menjadi penulis yang baik, waktu memang kudu
disiapkan. Jangan beralasan waktu tidak ada. Kitalah yang yang menciptakan momentum itu.
Ini seperti seorang ujung tombak tim sepak bola. Ia bertugas mencetak gol. Fans dan pelatih tak
mau tahu bagaimana ikhtiarnya mencetak gol. Mau pakai kaki, tangan, tumit, terserah. Mau
lewat tendangan bebas, tendangan penalti, juga tak soal. Yang penting bikin gol. Kalau sulit
menunggu di kotak penalti lawan, ya agak turun menjemput bola. Sesekali pakai tembakan
spekulasi jarak jauh juga tak apa. Tujuan akhirnya gol. Penulis juga demikian. Misinya adalah
menghasilkan tulisan.
Soal waktu ia menuntaskannya, terserah. Cari alokasi yang paling baik. Ada yang suka menulis
di pagi hari. Ada yang senang menulis di siang hari usai makan siang. Ada pula yang di waktu
malam menjelang tidur. Terserah saja. Kalau kita mau memberikan kontribusi buat masyarakat
dalam ranah tulisan, kita pasti bisa meluangkan waktu untuk menulis.
Setiap orang punya pekerjaan yang berbeda. Maka itu, waktu yang bisa disempatkan untuk
menulis juga berbeda. Asalkan punya niat yang kuat untuk bisa menulis, insya Allah waktu itu
bisa disediakan secara mandiri.
Keempat, tersangkut di paragraf awal
Bagian ini juga sudah saya dedahkan dalam buku Menulis dengan Telinga. Tak apa saya ulangi
dan tambah dengan bahan lain. Khususnya untuk Mukhtar Gani. Ini kondisi di mana kita sulit
menemukan lead atau teras tulisan. Bagian ini buat sebagian orang memang mahasulit. Sebab,
inilah kuncinya. Sukses di lead, sukses terus sampai tulisan khusnul khatimah. Tapi kalau tidak
sukses, berjam-jam di depan layar komputer tak bakal bisa menghasilkan karya.
Bikinlah kalimat yang saat itu menyangkut dalam pikiran. Tulis saja itu. Soal apakah
berhubungan dengan konten tulisan, nanti dulu itu. Terus saja menulis. Bikin enak. Bikin santai.
Bikin nyaman. Kalau sudah dapat sepuluh paragraf, itu sudah sukses. Sebab, awal kalimat yang
kita bikin sudah mampu membuat kita meneruskan tulisan meski belum kelar. Toh nanti ada
proses penyuntingan. Dibaca lagi. Dirasa-rasai. Diubah. Dibikin padat. Dan sebagainya.
Dulu, orang kalau jatuh cinta, bikin surat dengan orang yang ia sukai. Kertas disiapkan. Begitu
menulis awal, belum pas. Kertas disobek atau diremukkan. Begitu terus sampai kertas habis. Itu
artinya belum ketemu kalimat pembuka yang bagus. Tapi begitu dapat kalimat yang enak,
tulisannya bakal rampung. Sama saja dengan menulis artikel. Kalau sudah dapat titik enaknya,
lanjut, Gan! Kuncinya, tulis saja apa yang ada di pikiran saat itu juga. Jangan menunda!
Kelima, tidak klik dengan tulisan
Istri saya, Sekar Sari Indah Cahyani, yang mengeluhkan ini. Maksudnya, tulisan sih sudah jadi.
Tapi kok setelah dirasa-rasai tidak klik. Tidak sesuai dengan maksud di awal. Kok malah melebar
ke mana-mana. Saya kira ini bagus sebagai bentuk autokritik. Sebelum orang membaca dan
mengapresiasi, seorang penulis terlebih dahulu mengkritik tulisannya. Sehingga didapati bahwa
tulisan itu tak seperti harapan. Ini mungkin tidak terlampau mengkhawatirkan karena persoalan
menulisnya sudah rampung. Kalau memang dirasa tulisan tidak klik, coba lihat kerangka yang
mungkin pernah dibuat. Sudah sesuai belum konten tulisan dengan ragangan. Sudah masuk
semua belum item yang dipersiapkan. Kalau sudah semua, berprasangka baik saja. Jangan
sampai kekritisan itu malah kontraproduktif.
Kuncinya, syukuri bahwa tulisan sudah jadi. Persoalan sekarang ialah menilai apakah karya itu
sesuai dengan harapan atau belum. Kalau malah terlalu keras dengan tulisan, nanti bisa bikin
frustrasi dan kita merasa lemah untuk itu. Alih-alih produktif, kita malah kontraproduktif.
Keenam, tidak pede dengan tulisan sendiri
Rekan Ngesti Fitriyah mengujarkan ini kepada saya. Saya pikir ini sama dengan poin
sebelumnya. Cuma masalahnya, bisa jadi rasa ketidakpercayaan itu muncul setelah kita mulai
menulis. Menulis sih menulis. Lancar sih lancar. Tapi semakin ke sini kok semakin garing. Galau
jadinya. Antara yakin dan tak yakin. Kita kemudian merasa tidak percaya diri. Hmmm, ini kasus
menarik. Tapi setidaknya, bersyukur bahwa dalam rentang ini kita masih terjaga dalam menulis.
Langkah terbaik adalah meneruskan tulisan itu sampai titik terakhir. Setelah itu, baca lagi semua.
Baris per baris. Kalimat per kalimat. Maknai lagi. Edit yang ketat. Bisa jadi, ini hanya perasaan
kita saja yang mungkin tipikal orang yang perfeksionis. Ya bagus ini. Cuma kalau jadinya
kontraproduktif kan tidak bijak juga. Maka itu, kalau sudah kelar, membiasakan memberikan
tulisan kepada dua atau tiga rekan kita sangat bagus. Mereka nanti yang akan menilai tulisan itu
bagus atau tidak. Jadi, percaya diri saja. Anak muda sekarang bilang, cemungudh ea! Hahahaha.
Ketujuh, enggak mood
Kawan lama saya, Setyajie Kuntowibisono, mengatakan ini. Ia mengeluh ketiadaan mood
membuatnya sulit dalam menulis. Ini juga klasik. Saya menjawabnya dengan ringkas. Kalau kita
sudah meniatkan menulis sebagai salah satu amal, apa pun kondisi kejiwaan kita, menulis mesti
dilakoni. Apa kita sedang senang, menulis mesti dijaga. Kondisi badan yang capek dan penat
juga tak alasan untuk tidak menulis. Ibarat orang bekerja, meski capek, tetap bekerja. Sebab, itu
tanggung jawab. Responsibilitas. Seorang kepala rumah tangga, meski sakit sedikit, pasti tetap
bekerja. Sebab, itu tanggung jawabnya. Mau makan apa anak dan istri di rumah kalau kepala
keluarga tidak bekerja? Sama dengan menulis. Kalau sudah jadi “kewajiban”, kebutuhan, apa
pun kondisinya, menulis tetap dilakoni. Sampai kapan? Sampai kita tak bisa lagi menulis.
Kedelapan, lingkungan yang tidak mendukung
Rekan Ade Nugraha mengatakan lingkungannya tidak mendukung untuk menulis. Berisik kata
dia. Wah, kalau ini kan kondisi setiap orang pasti berbeda. Ada lingkungan sekitar yang ramai,
ada yang senyap. Ini soal sikap kita saja atas lingkungan sekitar. mau dijadikan penghambat bisa,
tapi bisa juga peluang. Lingkungan yang berisik bisa jadi bahan tulisan tuh. Mengapa lingkungan
kita jadi berisik? Kenapa tidak damai-damai saja? Dan sebagainya. Kalau misalnya lingkungan
itu tak bisa lagi diandalkan, ya mesti hijrah. Hijrah? Ya hijrah. Misalnya rumah kita berisik.
Tetangga sedang ada kendurian. Tapi kita mesti menulis dan ada artikel yang diburu untuk
dirampungkan. Maka berhijrahlah, cari lingkungan yang kondusif, yang tenang, yang
mendukung. Perpustakaan misalnya. Atau rumah teman. Bisa juga di masjid, di hutan kota, dan
sebagainya.
Kesembilan, bahasanya payah
Afnan Luthfi, adik kelas di SMAN 2 Bandar Lampung, mengatakan ini. “Kak Adian, rasanya
kalau mau mengarang itu, bahasa saya payah banget. Kenapa ya?”. Aha, ini dia yang menarik.
Bahasa. Ya, bahasa. Menulis itu senjatanya memang bahasa. Penguasaan terhadap banyak
kosakata dan teknik menulis kalimat yang baik adalah senjata andalan. Bagaimana mungkin kita
bisa menulis kalau minat kita terhadap bahasa sangat rendah. Saya katakan minat. Sebab, ini
bukan perkara bakat. Yang penting kita minat menulis, minat dengan bahasa, suka membaca, dan
senang mencoba.
Bahasa payah itu, dalam benak saya, hanya saat kita menulis dengan bahasa gaul alias alay yang
sekarang digandrungi anak muda. Nah, dalam menulis artikel, apalagi diniatkan dipublikasikan
di media, bahasa yang dipakai pasti yang resmi. Ejaannya yang baik. Diksinya yang baku. Pola
yang kita pelajari saat SD: subjek, predikat, objek, dan keterangan—SPOK—mesti dipahami
dengan baik.
Ada lo redaktur Opini surat kabar yang jeli betul memperhatikan setiap kalimat. Kalau ada yang
ia tidak sukai, pasti diubahnya. Bahkan kalau mayoritas tulisan kita bahasanya payah, langsung
ia hapus. Kasihan kan, sudah capek-capek menulis, eh langsung dibabat sama redaktur opininya.
Bahasa yang baik dalam ranah jurnalistik ialah bahasa yang mudah dicerna, padat, ringkas, tidak
bertele-tele. Intinya mudah dipahami. Kalau saat menulis kita yang menulis sudah berkerut-kerut
dahinya, itu tanda bahasa kita masih payah. Edit lagi. Diganti.
Salah satu kuncinya ialah jangan menulis kelewat panjang dalam satu kalimat. Ada ukuran dalam
Fog Index bahwa kalimat yang baik terdiri dari tak lebih 14 kata. Bisa delapan kata, itu bagus.
Kalimat yang ditatahkan dengan kata yang sedikit banyak untungnya. Pembaca mudah
memahami, redaktur pun menyukai. Bahasa buat saya berbanding lurus dengan keterampilan kita
menulis satu kalimat dengan diksi sedikit.
Tulisan itu, meski mungkin kontennya tidak kuat, asal pendek, mudah dipahami. Tapi kalau
panjang sekali, mengesalkan pembaca. Napas tersengal-sengal dibuatnya. Satu alinea, satu tanda
titik. Itu pasti melelahkan. Kalimat yang panjang itu punya tanda: napas terengah-engah tapi
kalimat belum tuntas. Maka, kita bisa berlatih menulis dengan pendek-pendek. Kalau kita
terbiasa mengirim pesan via SMS, itu sarana berlatih yang bagus. Tulislah pesan dengan kata
yang lengkap tanda disingkat. Atur kalimat sesuai dengan ejaan yang baik. Jika memungkinkan,
bikinlah pola SPOK. Insya Allah bahasa kita tidak akan payah lagi.
Kesepuluh, merasa kurang ilmu
Sebetulnya, merasa kurang ilmu ini bagus. Positif sekali. Dengan begitu kita selalu merasa
kurang dan tidak jemawa. Sahabat Arif Rahman bertanya soal ini. Menurut saya, ini lebih kepada
penguasaan kita terhadap tema yang mau ditulis. Kalau tidak menguasai, memang selayaknya
tidak usah ditulis. Sebab, kita tidak yakin dengan tema yang mau ditulis. Pesan sederhananya
ialah menulislah yang kita bisa. Menulislah dengan basis terkuat kita.
Kita diciptakan dengan kecerdasan dan potensi masing-masing. Tidak sama antara satu dan yang
lain. Termasuk penguasaan atas tema tulisan. Kalau kita bekerja sehari-hari di bank syariah,
menulislah soal itu. Kalau kita guru, menulislah tema pendidikan. Jangan menulis yang temanya
tidak kita kuasai dengan baik.
Perihal ilmu yang masih kurang, tapi basisnya sudah kita kuasai, itu persoalan lain. Misalnya,
saya memang senang menulis tentang dunia kepengarangan. Saya kuat di situ. Saya fokus di
tema itu. Soal kemudian saya mencari banyak literatur penunjang, itu positif. Sebab, saya ingin
tulisan saya kaya perpektif dan pembaca bisa mendapat banyak pengetahuan. Saya kuat di tema
itu, tapi terus berlatih agar bertambah kuat. Itu maksudnya. Tapi kalau saya tidak kuat di filsafat
kemudian memaksakan, menurut saya itu butuh bahan bakar yang banyak. Bukannya tidak bisa,
tapi itu ranah yang sama sekali baru buat saya. Saya butuh tenaga ekstra untuk menguasai itu.
Maka, carilah basis terkuat kita dalam menulis.
Kulminasi tertinggi penulis ialah personal branding. Kita punya satu atau dua tema yang sangat
dikuasai. Jadi, ketika nama kita disebut, orang bisa memersepsikan kita ahli di bidang itu. “Oh,
kalau pelatihan penulisan Bang Adian saja yang menjadi narasumber. Ia banyak menulis soal itu
dan bukunya juga soal itu.” Ini kalimat contoh saja. Supaya gampang. Daripada “memfitnah”
contoh lain, saya saja jadi contoh “fitnah”-nya, hehehe. Sampai di sini mudah-mudahan bisa
dimaknai dengan baik. Selamat menulis kawan-kawan!
7 Tips, Menulis Jadi Gampang
Published: 30.11.12 11:58:52
Updated: 24.06.15 20:25:52
Hits : 2,888
Komentar : 2
Rating : 7
Menjadi penulis yang baik, tentunya mengharuskan kita untuk berlatih dan bekerja keras
semaksimal mungkin. Anda bisa menulis dimana saja, di blog pribadi, mengirim artikel ke media
massa, atau bahkan dengan hanya membuat catatan harian. Yang penting hal tersebut dilakukan
secara konsisten.
Ini adalah 7 tips penting saat menulis yang mampu saya berikan:
1. Menulislah dengan ringkas dan tidak berbelit-belit. Bisa anda dapatkan dengan rutinitas
menulis. Setiap kata yang anda tulis memiliki makna atau tidak ada kata yang sekedar
menambah panjang tulisan.
2. Saat menulis jangn melakukannya sambil mengedit, agar supaya apa yang anda pikirkan dapat
tertuang secara continue.
3.Lakukan pembagian paragraf, dalam mengungkapkan suatu ide pikiran yang akan anda
tuangkan. Dampaknya akan membuat pembaca merasa nyaman dengan tulisan anda.
4. Menulislah dengan spesifik berdasarkan judul yang telah anda buat. layaknya diskusi yang
mengambang jauh dari topik membuat orang menjadi risih begitupula tulisan yang mengambang
jauh dari topik akan membuat pembaca merasa tertipu dan kurang nyaman.
5. Menulislah dengan bahasa yang komunikatif, dengan pembaca. Usahakan tulisan tidak
sekedar text book, yang hanya berisi bacaan 1 arah. Buatlah tulisan seakan-akan anda sedang
berhadapan dengan pembaca.
6. Menulislah dengan informasi utama yang jelas. Hal itu membuat tulisan anda lebih dapat
dipercaya. lengkapi keterangan waktu, tempat, dan keterangan lainnya yang dianggap perlu.
7. Tunjukkan integritas anda dengan menulis yang jujur. menulis yang jujur akan membuat
tulisan anda jelas dan membuat pembaca tidak bingung dengan isi tulisan anda.
Dua Kata Sederhana Yang Akan Membuat
Keterampilan Menulis Anda Berkembang
Pesat
Posted on by caramenulisbuku453
Mungkin kita seringkali kagum pada keterampilan menulis seseorang yang semakin baik setiap
hari sedangkan kemampuan kita masih jalan ditempat. Mungkin juga kita sering merasa iri pada
penulis lain yang telah mampu menulis dengan lancar sedangkan kita menyusun paragraf
menjadi bab saja sulitnya minta ampun.
Atau mungkin juga kita sering merasa terpesona membaca buku orang lain sedangkan buku kita
belum rampung juga ditulis. Lalu kita bertanya, bagaimana, sih, cara menjadi penulis seperti
mereka?
Jawabannya ada pada dua kata sederhana yang memiliki pengaruh besar ini: practice (latihan)
yang massive (banyak). Mari saya tunjukkan sebuah contoh perbandingan.
Mengapa seorang bocah umur lima tahun di Amerika sana sangat lancar berbahasa inggris,
padahal mereka tidak pernah belajar bahasa inggris di sekolah? Dan mengapa pula kita orang
Indonesia, setelah belajar bahasa inggris bertahun-tahun di kelas, masih banyak yang tidak bisa
berbahasa inggris?
Dan lebih parahnya lagi, ternyata kita sering diajarkan oleh orang yang belum tentu juga
menguasai bahasa inggris (walau sering mengaku sarjana bahasa inggris! Maaf numpang
nyindir… he.. he…)
Contoh ini sama dengan perbandingan kita dan penulis sukses itu.
Mengapa kita sering sekali merasa sulit menciptakan tulisan yang baik dan menarik? Dan
mengapa pula penulis hebat itu sangat lihai menciptakan tulisan yang baik, menarik dan bahkan
menggugah?
Jawabannya karena kita jarang sekali latihan menulis atau bahkan sering sekali merasa malas
untuk melakukannya. Sedangkan penulis yang telah sukses itu telah menulis banyak hal dalam
waktu yang lama. Mereka telah memutuskan untuk menulis setiap hari walaupun hanya beberapa
menit. Mereka telah mengorbankan waktu dan tenaga mereka untuk sesuatu yang mereka
impikan sehingga mereka telah menjadi diri mereka yang sekarang.
Felix Siauw (Seorang Best Spiritual Motivator, Asli Palembang) dalam satu buku best sellernya,
How To Master Your Habits, menuliskan,
“Bila seseorang banyak melatih dan mengulang, terpaksa ataupun sukarela, dia pasti akan
menguasai keahlian tertentu. Inilah namanya pembentukan kebiasaan alias habits.”
Benar sekali Bang Felix, setuju bangets. Bila kita banyak (massive) melatih (practice) minat kita
maka dalam keadaan terpaksa ataupun sukarela, pasti kita bakal menguasainya.
Apa yang ditulis Bang Felix ternyata sama dengan apa yang ditulis oleh Malcolm Gladwell
dalam bukunya Outliers.
“Bahwa penguasaan dalam suatu bidang tertentu merupakan kunci utama dari kesuksesan, dan
penguasaan tersebut hanya bisa diperoleh oleh seseorang jika telah melakukan latihan minimal
10.000 jam.”
Ya, kita akan menguasai keahlian apapun yang kita minati setelah kita berlatih selama 10 ribu
jam. Kalo dihitung-hitung, 10 ribu jam itu sama dengan dua tahun. Jadi bila kita ingin ahli
melakukan suatu hal, menulis misalnya, berarti kita harus berlatih menulis satu jam setiap hari
selama kurang lebih dua tahun.
Yups, saya setuju dengan dua pendapat dua master diatas. Saya setuju karena saya telah
mengalami dan merasakannya. Ketika saya telah menulis (practice) selama kurang lebih dua
tahun (massive), maka saya baru bisa merasakan kemampuan dan keterampilan menulis saya
bertambah bagus. Pikiran dan tangan saya terasa sudah menyatu, keduanya sudah mulai bisa
berjalan seiring seirama, bebas dari writing block. Aktivitas menulis saya pun menjadi lancar.
Saya mulai bisa menulis dengan mengalir. Mantap!
Jadi, anda pun bisa menjadi penulis hebat seperti penulis lain yang telah sukses itu. Syaratnya
anda harus mau latihan (practice) menulis dalam waktu yang lama (massive) dengan penuh
kesungguhan.
Tidak ada yang instan dan magic disini. Anda hanya perlu menekan diri anda untuk mau menulis
setiap hari walaupun beberapa menit atau beberapa jam. Atur jadwal anda untuk mengisi minggu
dan bulan anda dengan menulis. Anda harus bersedia menjalani prosesnya dengan tekun. Anda
harus bisa menikmati suka dukanya dengan sabar sampai tulisan anda terbit dan bisa dibaca serta
dinikmati banyak orang. Apakah anda siap?