Positvisme dan Post Positivisme ilmu

Positvisme dan
Post-Positivisme
14:14 BY DUENDHA ABDILLAH NO COMMENT

Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19.Titik tolak pemikirannya,
segala yang diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga
metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan segala yang
tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif.
Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk
dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan).
A. Pengertian Positivisme
Positivisme dalam bahasa Inggris, yaitu: positivism, dalam bahasa
Latin positivus, ponere yang berarti meletakkan. Positifisme sekarang
merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekanakan aspek
faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah dan umumnya
positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada
suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain, positivime
merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam
(empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik.


Filsafat positifisme lahir pada abad ke-19.Titik tolak
pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang faktual dan yang
positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan
segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman
obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur
untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa
tokoh diantaranya, August Comte (1798-1857), Jonh S. Mill (18061873), Herbert Spencer (1820-1903).[1]
Para Tokoh Positivisme:
a. August Comte (1798-1857)
Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karya penting, Cours de
Philosofia Positif (kursus tentang filsafat positif), dan berjasa dalam
mencipta ilmu sosiologi.
Menurut pendapatnya pemikiran manusia dapat berkembang dalam
tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah/positif.
Tahap teologis yaitu manusia mengarahkan pandangannya kepada
hakikat yang batiniyah (sebab pertama).Disini manusia percaya pada
kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak.Artinya dibalik semua
kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
Tahap metafisis, yaitu manusia hanya sebagai tujuan pergeseran
dari tahap teologis.Sifat yang khas adalah kekuatan yang tadinya bersifat

adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai
pengertiaan abstrak, yang diintegrasikan dengan alam.
Tahap ilmiah/ positif, yaitu manusia mulai mengetahui dan sadar,
bahwa upaya pengenalan teologis dan metafisis tidak ada
gunanya.Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum yang
berasal dari fakta-fakta pengamatan dengan memakai akal.Tahap-tahap
tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga
di bidang ilmu pengetahuan.
Di akhir hidupnya, ia berupaya membangun agama baru tanpa
teologi atas dasar filsafat positifnya. Agama baru tanpa teologi ini
mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan
“cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.
Sebagai istilah ciptaannya yang terkenal altruis, yaitu menganggap

bahwa soal utama bagi manusia adalah usaha untuk hidup bagi
kepentingan orang lain.[2]
Positivisme Dan Aliran Lainpositivisme tampil sebagai jawaban
terhadap ketidak mampuan filsafat spekulatif (misalnya, idealisme
Jerman klasik) untuk memecahkan masalah filosofis yang muncul
sebagai suatu akibat dari perkembangna ilmu.Kaum positivis menolak

spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.
Posuitivisme menyatakan salah dan tidak bemakna semua masalah,
konsep dan proposisi dari filsafat tradisional tentang ada, substansi,
sebab dan sebagainya, yang tidak dapat dipecahkan atau diverifikasi
oleh pengalaman yang berkaiatan dengan suatau tingkat yang tinggi dari
alam abstrak. Ia menyatakan dirinya sebagai suatu filsafat non metafisik,
yang sama sekali baru, yang dibentuk berdasrkan ilmu-ilmu empiris dan
menyediakan metodelogi bagi ilmu-ilmu tersebut.
Pada hakikatnya poitivisme merupakan empirisme, yang disegisegi tertentu sampai pada kesimpulan logis ekstrim: karena pengetahuan
apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk,
maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Aliaran filsafat ini ditandai oleh pendewaan ilmu dan metode
ilmiah.Pada versi-versi awalnya, metode-metode ilmiah dianggap
berpotensi tidak saja memperbaharui filsafat tetapi juga
masyarakat.Istilah ini diperkenalakan oleh Saint-Simon menurutnya;
implikasi-implikasi
filsafat
positif
mencakup
pembaharuanpembaharuan politik, pendidikandan agama.

b. J.S.Mill
John Stuart Mill (1806-1873) atau salah satu sahabat Comte.Tapi
ada pikiran-pikirannya yang bertentangan dengan Comte, seperti Mill
menerima peikologi sebagai ilmu yang paling fundamental.Mill juga
meneruskan prinsip-prinsip positivisme dalam bidang logika.
c. H. Spencer
Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori
evolusi ia telah mendahului Carles Darwin, ia memutuskan menulis
karya tulis yang menetrpkan prinsip evolusi srta sistematis. Hasilnya
karya yang berjudul A system of synthetic philosophy. Menurutnya kita

hanya bisa mengenal gejala-gejala saja walaupun dibelakang gejala
tersebut ada dasar yang absolut, tetapi absolut itu tidak dapat dikenal.
B. Pembagian Positivisme
Positivisme dapat dibagi menjadi dua, yaitu positivisme logis dan
positivisme moral.
1. Positivisme Logis
Positivisme logis merupakan aliran pemikiran yang membatasi
pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau
analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.Tugas pertama

dipersiapkan untuk ilmu dan yang kedua khusus untuk filsafat.Menurut
positivisme logis, filsafat ilmu murni mungkin hanya sebagai suatu
analisis logis tentang bahasa ilmu.Fungsi analisis ini di satu pihak
mengurangi metafisika, yaitu filsafat dalam arti tradisional, dan di lain
pihak, meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.[3]
Ajaran Pokok Positivisme Logis:
Positivisme logis empunyai beberapa ajaran pokok, diantaranya,
Penerimaan prinsip verifiabilitas, yang merupakan kriteria untuk
menentukan bahwa suatu pernyataan mempunyai arti kognitif.Arti
kognitif suatu pernyataan tergantung pada apakah pernyataan itu dapat
diverifikasi atau tidak. Semua pernyataan dalam matematika dan logika
bersifat analitis ( tautologi) dan benar per definisi. Konsep-konsep
matematika dan logika tidak di verifikasi tetapi merupakan kesepakatan
defisional yang diterapkan pada realitas.Metode ilmiah merupakan
sumber pengetahuan satu-satunya yang tepat tentang realitas.
Filafat merupakan analisis dan klarifikasi makna dengan logika
dan metode ilmiah. (beberapa ahli positivisme logis berupaya untuk
menghilangkan semua filsafat yang tidak tersusun segabai ilmu-ilmu
logika-matematik). Bahasa pasa hakikatnya merupakan suatu
kalkulus. Dengan formalisasi bahasa dapat ditangani sebagai suatu

kalkulus, yaitu dalam memecahkan masalah-masalah filosofis ( atau
memperlihatkan yang mana darimasalah-masalah itu merupakan yang
semu) dan dalam hal menjelaskan dasar-dasar ilmu. Pernyataanpernyataan metafisik tidakbermakna.Pernyataan-pernyataan itu tidak
dapat diverifikasi secara empiris dan bukan tautologi yang berguna.
Tidak ada cara yang mungkin untuk menentukan kebenarannya atau

kesalahannyadengan mengacu pada pengalaman, seperti ucapan “Yang
tiada itu sendiri tiada”, yang dipelopori oleh martin Heidegger, “yang
mutlak mengatasi waktu“,“Allah adalah sempurna“, ada murni tidak
mempunyai cirri, pernyataan-pernyataan metafisik adalah pernyataan
semu.
Dalambentuk positivisme ekstrim, pernyataan-pernyataan tentang
eksisitensi dunia luar dan pikiran luar yang bebas dari pikiran kita
sendiri, dianggap tidak bermakna, karena tidak ada cara empiris untuk
mengadakan verifikasi terhadapnaya.
Penerimaan terhadap teori emotif dalam aksiologi.Nilai-nilai
tidak ada apabila tidak bergantung pada kemampuan manusia untuk
menetapkan nilai-nilai.Nilai-nilai tidak merupakan objek-objek di dunia,
tidak dapat ditemukan dengan percccobaan, dan tidak dapat diperiksa,
atau dialami sebagaimana kita mengalami atau mengadakan verifikasi

terhadap eksistensi objek-objek.
2. Positivisme Moral
Positivisme moral menegaskan bahwa nilai-nilai didasarkan pada
kebudayaan dan perkambangannya sesuai dengan variasi-variasi waktu
dan tempat. Oleh karenaitu, kebaikan atau nilai moral kegiatan manusia
tidak terikat secara niscaya dan secara tidak berubah dengan hakikat
pribadi manusia, tetapi sama sekali tunduk kepada semua variasi yang
mungkin.Bukti utama bagi positivisme moral adalah kesaksian sejarah.
Setiap bangsa dan setiap kebudayaan mengembangakan nilai moralnya
sendiri dan nilai-nilai sering ditemukan bertentangan.Apa yang
sebelumnya diperbolehkan seakan-akan pada suatu generasi kemudian
kurang mendapat penghargaan dari manusia atau bahkan malah bersifat
tidak sopan.
C. POSPOSITIVISME
Salah satu bentuk paradigma pospositivisme adalah paradigma
interpretatif.Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang
menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman
dalam ilmu sosial.Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari
dunia social dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek
yang sedang dipelajarinya.Manusia secara terus menerus menciptakan

realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain

(Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan
interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan
bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).
Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper
lahir
di Vienna, Austria, 28
Juli 1902 dan
meninggal
di London, Inggris, 17 September 1994 (umur 92 tahun). Popper
merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam
bidang psikologi belajar.Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi,
sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.Falsifikasi adalah gagasan
melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan.Dengan menganggap
teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan tersebut
hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya.
Di zaman yang lebih modern Albert Einstein juga melakukan
falsifikasi teori tentang relativitas dalam mekanika.Einstein pada tahun
1905

memaparkan
teori
elektrodinamika
benda
yang
bergerak.Diamemanfaatkan teori elektro-dinamika dari Maxwell, untuk
menemukan batasan dari mekanika Newton, membenturkan kedua teori,
yakni mekanika klasik dengan teori elektro-magnetisme.Einstein hendak
menunjukan bahwa kerangka fisika dan mekanika klasik yang berbasis
ruang dan waktu absolut, yang secara matematik dituliskan sebagai
transformasi Galileo Galilei, tidak berlaku dalam kecepatan amat
tinggi.Einstein sekaligus membantah teori dari Heinrich Hertz mengenai
medium yang disebut ether pembawa cahaya, dimana gaya listrik dan
gaya magnet tidak dapat melampaui batasan ruang. Dengan teorinya
yang dijuluki sebagai Teori Relativitas Khusus itu Einstein menunjukan
ternyata tidak ada waktu absolut, akan tetapi hanya ada ruang- waktu
yang tergantung dari relasi-sistem. Dengan kata lain, dalam ruang-waktu
yang memuai secara cepat, pengukur waktu yang berdetik cepat-pun
akan berjalan lebih lambat. Teori elektro-dinamika benda bergerak itu,
kemudian terbukti dalam percobaan di laboratorium menggunakan jam

atom, serta dalam pengamatan waktu paruh dari partikel yang bergerak
dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.
Kembali pada pemikiran Karl Popper tentang gagasan prinsip
falsifikasinya. Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguhsungguh bersifat kritis, apabila mau membuang parameter yang mula-

mula dipaksakan (imposed regulaties). Pandangan ini disebut pula
sebagai rasionalisme kritis di mana rasionalisme tidak berarti bahwa
pengetahuan didasarkan pada nalar seperti dikatakan Descartes dan
Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional dibentuk lewat sikap yang
selalu terbuka untuk kritik. Inilah di antaranya prinsip falsifikasi yang
diutarakan oleh Popper dalam melakukan kritik terhadap paradigma
positivisme yang dianggap kaku dengan cara menggunakan serta hanya
mengakui metoda ilmiah yang umumnya digunakan (bersifat
positivistik).
Senada dengan Karl Popper adalah I. Lakatos dalam tulisannya
berjudul History of Science and its Rational Reconstructions pada
buku Boston Studies in the Phylosophy of Science (1971) yang juga
menyetujui model deduktif dalam metode ilmiah. Namun Lakatos
menyangkal adanya kemungkinan untuk experimentum crucis, yaitu
keadaan bahwa satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori.Ia

berpendapat bahwa yang terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu
sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain.
Teori-teori beruntun atau berdampingan sebagai alternative.Jika itu
menghasilkan teori yang lebih baik, itu disebut program penelitian
progresif, kalau tidak dinamakan degeneratif. Van Peursen tidak
menggolongkan kritik Lakatos ini ke dalam paradigma konstruktivisme,
tapi dia mengistilahkannya pemikiran Lakatos tersebut sebagai “bentuk
peralihan yang
mendekati kelompok ini (konstruktivisme).
Untuk mengetahui pospositivisme dapat kita gambarkan dalam 4
bagian
1. Harus diakui bahwa aliran ini bukan merupakan filsafat baru dalam
bidang keilmuan, tetapi memang sangat dekat dengan paradigma
positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya
bahwa pospositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap
suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan
demikian, suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
2. Pandangan aliran positivisme bukan suatu realitas yang menolak
adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan

atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan
akhir dari pandangan pospositisme.
3. Banyak pospositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut
realismedan ini, menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya
sebuah kenyataan. Realisme mengungkap bahwa semua pandangan itu
benar sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang
dianggap terbaik dan benar. Pospositivisme menolak pandangan bahwa
masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan
benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
4. Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, Maka tidak ada
sesuatu yang benar-benar pasti. Pandangan ini tidak bisa diterima karena
objektivitas nerupakan indeikator kebenaran yang melandasi
penyelidikan yang ingin ditekankan bahwa objektivitas tidak menjamin
untuk mencapai kebenaran.
Pospositivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif
Asumsi terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak),
Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi,
kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi Edmund Husserl
(1859-1938) Gagasan Dasar Phenomenologi dari Franz Bremento (18381917): “all consciousness is by its very nature intentional, that is,
directed toward some object”.
Phenomenologi dari Husserl (Phenomenologi modern). Kesadaran
berilmupengetahuan yg pertama-tama adalah kesadaran manusia tentang
objek-objek intensional. Dua arti objek intensional: semantik dan
ontologik.
Makna semantik intensional: bila tidak dapat ditampilkan rumusan
equivalennya (satu makna).Ontologik: sesuatu dikatakan intensional bila
kesamaan identitas tidak menjamin utk dikatakan equivalen atau identik
 PARADIGMA POSPOSITIVISME
Merupakan versi modifikasi dari positivisme (Positivisme terbukti
gagal memahami realitas) Hasil penelitian yang berasal dari manipulasi
statistical modelling relatif semakin kontradiktif, parsial dan kurang
memberi gambaran yang jelas tentang situasi masyarakat dimana
penelitian itu dilakukan. Terjadi pergeseran paradigma (khun) dari











positivisme ke neopositivisme yang kemudian bermetamorfose menjadi
postpositivism.
ASUMSI ONTOLOGIS
PARADIGMA POSPOSITIVISME
“Critical realist” –Seperti halnya realitas dalam klaim positivisme,
namun penganut paradigma ini menyatakan bahwa realitas tak pernah
bisa dipahami secara utuh, karena keterbatasan kemampuan manusia.
Selain itu sifat alam (fisik dan sosial) itu tidak akan pernah ditemukan
secara utuh.
ASUMSI EPISTIMOLOGIS
PARADIGMA POSPOSITIVISME
“Modified dualism –objectivity” – objektivitas tetap sesuatu yang
ideal, tak ada perdebatan tentang perlunya objektivitas dalam suatu
penelitian, tetapi hal tersebut hanya bisa didekati. Peneliti sosial tidak
akan pernah menghindari efek interaksi antara peneliti dengan obyek
yang diteliti. Jadi klaim objektivitas dari penganut pasitivisme adalah
suatu kemustahilan.
ASUMSI AKSIOLOGIS PARADIGMA
POSPOSITIVISME
“Controlled value-free” –Para penganut paradigma pospositivisme
mempercayai bahwa sistem nilai memegang peranan dalam suatu
penelitian, tetapi peneliti bisa mengontrolnya. Jadi menolak prinsip
aksiologis paradigma positivisme
ASUMSI METODOLOGIS PARADIGMA
POSPOSITIVISME
“Modified experimental-manipulative” : Para penganut
pospositivisme tetap mengandalkan model-model eksperimen,
manipulasi dan mengontrol variabel penelitian, menggunakan metode
survey, menyusun hipotesis, seperti halnya klaim positivisme, tetapi
mereka juga mengakui metode kualitatif sebagai metode ilmiah yang
dapat digunakan dalam mendekati kebenaran ilmiah.
PERBEDAAN LAIN ANTARA PARADIGMA
POSITIVISME DENGAN POSPOSITIVISME
Menekankan analisis parsial dan dekontekstualisasikan
(decontextualization) VS Menekankan analisis menyeluruh dan

kontekstualisasi (contextualization) Menekankan pemisahan VS
Menekankan integrasi Menekankan generalisasi VS Menekankan
spesifikasi Pertimbangan hanya pada objektivitas dan kuantifikasi VS
Pertimbangan juga pada subjektifitas dan non-kuantifikasi
Ketergantungan pada keahlian dan pengetahuan orang lain, peneliti
sebagai orang luar VS Pertimbangan juga diambil dari partisipan dan
pengetahuan lokal; peneliti sebagai orang dalam. Memberikan fokus
perhatian pada controlling VS Memberi fokus pada understanding

BAB III
KESIMPULAN
Positifisme sekarang merupakan istilah umum untuk posisi
filosofis yang menekanakan aspek faktual pengetahuan, khususnya
pengetahuan ilmiah dan umumnya positivisme berupaya menjabarkan
pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi).
Ataudengan kata lain, positivime merupakan suatu aliran filsafat yang
menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi
filosofi satau metafisik.
Untuk mengetahui pospositivisme dapat kita gambarkan dalam 4
bagian
1. Harus diakui bahwa aliran ini bukan merupakan filsafat baru dalam bid
ang keilmuan,
tetapi memangsangat dekat dengan
paradigma
positivisme.
Salah satu indikator
yang
membedakan
antara
keduanyabahwa pospositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terh
adap suatu temuan hasil observasi melaluiberbagai macam metode.
2. Pandangan aliran positivisme bukan suatu realitas
yang
menolak adanya realitas dari suatu teori.
Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivis
me, tetapi merupakanperkembangan akhir dari pandangan pospositisme.

3. Banyak pospositivisme
yang
berpengaruh
yang
merupakan penganut realisme dan
ini,
menunjukkanbahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan.
Realisme mengungkap bahwa semuapandangan itu benar sedangkan real
is hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan
benar.
Pospositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentuka
n banyak hal sebagaihal
yang
nyata
dan
benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
4. Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda,
Maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Pandangan ini tidak
bisa diterima karena objektivitas merupakan indeikator kebenaran
yang melandasipenyelidikan
yang
ingin ditekankan bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai ke
benaran.
DAFTARPUSTAKA