Konflik Pemekaran Wilayah Dari Adanya Di

Konflik Pemekaran Wilayah Dari Adanya Dinamika Politik Lokal

Oleh :
Mara Hasayangan
F1D009039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
PURWOKERTO
2011

I.
I.1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Hubungan antara otoritas pusat dengan otoritas daerah di negri ini merupakan masalah


serius yang telah menguras energi pemerintahan untuk secara cepat menanggulanginya. Masalah
yang dipersoalkan adalah mengenai kejelasan dari pembagiaan kekuasaan yang ideal antara
pemerintah pusat dengan daerah yang biasa dikenal dengan otonomi daerah. Dasar-dasar
kebijakan otonomi daerah telah ada sebelum terjadinya reformasi. Namun, perumusan kebijakan
otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat
lamban.
Setelah terjadinya reformasi yang dibarengi dengan tuntutan ketidakpuasan masyarakat di
berbagai daerah mengenai hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka
tidak ada jalan lain untuk mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut. Bahkan
dilaksanakan dengan skala yang sangat luas yang diletakan di atas landasan konstitusi. Sekarang,
berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telah diperbaharui sistem pemerintahan telah
memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Otonomi daerah menekankan pada prinsip demokrasi, peningkatan peran serta
masyarakat, dan pemerataan keadilan.
Banyaknya UU mengenai otonomi daerah seperti UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 5
Tahun 1979, serta UU No. 32 Tahun 1965 dimana pada intinya otonomi daerah adalah untuk
lebih meningkatkan pelayanan negara terhadap masyarakat. Otonomi daerah yang diberikan
pemerintah pusat kepada daerah diharapkan mampu meningkatkan pelayanan terhadap
masyarakat. Maksud baik pemerintah ini dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan Pusat dan

Daerah.
Salah satu strategi pemerintah pusat dalam meningkatkan pelayanan di daerah adalah
dengan diadakan pemekaran wilayah. Baik itu pemekaran propinsi, kebupaten, maupun desa,
seperti pemekaran wilayah Kabupaten Tasikmalaya dengan Kota Tasikmalaya. Kebijakan tentang
pemekaran ini dituangkan pemerintah dengan mengeluarkan PP No. 129 tentang Persyaratan
Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah.

Kebanyakan daerah yang dimekarkan justru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini
dikarenakan pemekaran ternyata hanya berujung pada konflik antara kabupaten induk dengan
daerah hasil pemekaran. Penyebab konflik tersebut karena pendapatan daerah induk pasca
pemekaran cenderung tetap bahkan turun, sedangkan bagi daerah hasil pemekaran pendapatan
langsung bisa tinggi dibandingkan dengan dareah induknya. Begitu juga yang terjadi di daerah
Tasikmalaya pasca pemekaran. Dengan berlakunya UU No 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Kota Tasikmalaya maka Wilayah Tasikmalaya terbagi menjadi Kabupaten Tasikmalaya dan Kota
Tasikmalaya. Pemkab Tasikmalaya dengan Kota Tasikmlaya tersebut mengalami konflik pasca
pemekaran. Faktor penyebab konflik, antara lain karena Kota Tasikmalaya tidak mengindahkan
kabupaten induk dalam hal keuangan, pengakatan pejabat, dan pemakaian gedung.1
I.2

Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konflik politik yang terjadi di Tasikmalaya pasca pemekaran wilayah?
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab konflik politik di Tasikmalaya pasca
I.3

pemekaran wilayah?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui konflik di Tasikmalaya pasca pemekaran wilayah.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab konflik politik di Tasikmalaya.

II.
II.1

PEMBAHASAN

Konflik Politik Yang Terjadi Di Tasikmalaya Pasca Pemekaran Wilayah (Peta


Konflik)
Konflik yang terjadi antara Kabupaten Tasikmalaya dengan Kota Tasikmalaya
disebabakan karena perbedaan keinginan antara pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya dengan
1 Anonim 1. Konflik Pemekaran Tasikmalaya dalam situs www.wikipedia.com, diakses tanggal 7 oktober 2011

Kota Tasikmalaya. Kabupaten Tasikmalaya menghendaki agar penyerahan aset disertai dengan
pemberian konpensasi. Namun, pihak Kota Tasikmalaya berpegang pada regulasi yang ada, yang
mana disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 2001 bahwa pemberian aset dari Kabupaten
Tasikmalaya kepada Kota Tasikmalaya tanpa ada ganti rugi. Aset tersebut antara lainnya seperti
sarana-sarana olahraga, sekolah, perguruan tinggi, dan fasilitas umum lainnya.
Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya setelah resmi dimekarkan, muncul konflik
keuangan mengenai pembagian aset dan pendapatan daerah. Penyebabnya adalah
ketidakseimbangan antara pendapatan daerah yang diperoleh oleh wilayah kota dan kabupaten.
Hampir sebagian sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri atas retribusi parkir,
pasar, rumah sakit, dan terminal bus menjadi hak wilayah kota. Hal ini berakibat pada penurunan
PAD kabupaten Tahun 2001, kabupaten bisa mengumpulkan Rp. 25 miliar, setahun berikutnya
PAD kabupaten merosot menjadi Rp. 14 miliar, sebaliknya, Kota Tasikmalaya pada tahun yang
sama sudah mendapat PAD sebasar Rp. 21,3 miliar.2 Padahal, setelah melahirkan kota,
Kabupaten Tasikmalaya membutuhkan banyak dana untuk menyusun anggaran daerah, memberi
dukungan kepada daerah pemekaran, mengembangkan potensi dan wilayah, serta memindah

lokasi ibu kota kabupaten.3
Dalam UU No. 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya tersebut, diatur
batas-bats wilayah dan sejumlah ketentuan lainnya, seperti kewajiban yang harus dilakukan
Pemkab Tasikmalaya pasca berdirinya Kota Tasikmalaya. Dalam UU disebutkan, wilayah Kota
Tasik meliputi delapan kecamatan, yaitu: Kecamatan Cihideung, Cipedes, Tawang, Indihiang,
Kawalu, Cibeureum, Tamansari, dan Kecamatan Mangkubumi. Selain itu dalam UU tersebut
juga disebutkan bahwa penyerahan aset dari Kabupaten Tasikmalaya pada Kota Tasikmalaya
dilakukan paling lambat satu tahun setelah pemekaran. Sayangnya, sampai saat ini, setelah 5
tahun berlalu penyerahan tersebut tidak dilaksanakan secara penuh.
Konflik yang terjadi di Tasikmalaya juga merupakan konflik yang berdimensi politik. Hal
itu terjadi karena masing-masing pihak berupaya keras untuk mempertahankan sumber yang
sama, dalam hal ini adlah aset-aset seperti perkantoran dan Ruamah Sakit dengan melibatkan elit
politik. Pertentangan keinginan ini disebabkan oleh adanya salah satu pihak dalam proses
pemekaran yang diperlakukan tidak adil.
Selain itu konflik yang terjadi di Tasikmalya bisa dilihat dari awal proses formulasi
tenatng peraturan pemekaran tersebut. Banyak kepentingan dari partai politik, kelomok
2 Anonim 2. Pemekaran Tasikmlaya Bebani Anggaran dalam situs www.google.com, diakses tanggal 7 oktober 2011
3 ibid

kepentingan, dan elemen masyarakat lainnya dalam proses formulasi kebijakan. sehingga ketika

pemekaran wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya terjadi, akibatnya adalah
terjadinya konflik berkepanjangan.
Pada permulaan proses pemekaran banyak terjadi pertentangan yang tajam antara
Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya mengenai pemakaian gedung,
pembagiaan aset, dan pegawai.4 Padahal tujuan pemekaran wilayah sebagaimana tercantum pada
UU tersebut adalah untuk meningakatkan pelayanan publik. Dalam UU ditegaskan bahwa
pembentukan Kota Tasikmalaya dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa dengan
perkembangan dan kemajuaan Provinsi Jawa Barat pada umumnya dan Kabupaten Tasikmalaya
pada khususnya serta adnaya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan dengan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, perlu meningkatakan
penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan kemajuan pada masa yang akan
datang.5

II.2

Faktor Penyebab Konflik Politik

Melihat peta konflik yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditemukan bahwa salah
satu faktor penyebab konflik yang palig mendasar adalah karena regulasi tentang pemekaran
tersebut tidak memberikan kepuasan pada salah satu pihak, dalam hal ini adalah Kabupaten

Tasikmlaya. Sedangkan untuk Kota TAsikmalaya dengan adanya UU tersebut Nampak
diuntungkan. Dalam tahap formulasi kebijakan juga terkesan tergesa-gesa, karena adanya
desakan dari berbagai pihak terutama partai politik untuk segera dibentuk Kota Tasikmalaya.
Maksud dari desakan ini tidak lain adalah hanya untuk mengejar jatah kursi yang ada di Kota
Tasikmlaya jika seandainya Kota Tasikmalaya jadi dibentuk.

4 Anonim 3. Pemkab Tasikmalaya Dinilai Lamban Serahkan Aset dalam situs www.google.com, diakses tanggal 7
oktober 2011
5 Rusli, Yana. Dua Desa Di Kabupaten Tasikmalaya Ingin Gabung Ke DOB Pangandaran dalam situs
www.google.com, diakses tanggal 7 oktober 2011

Dari formulasi yang terkesan tidak memperhatikan keberadaan Kabupaten Tasikmalaya
pasca pemekaran, maka sudah dapat dipastikan bahwa regulasi tersebut akan menimbulakan
banyak konflik. Pada formulasi UU No. 10 Tahun 2001 memberikan lima kecamatan tambahan
kepada Kota Tasikmalaya sehingga Pemerintahan Kota Tasikmalaya mempunyai delapan
kecamatan yang semuanya itu merupakan daerah penghasil PAD terbesar Kabupaten
Tasikmalaya.6 Dengan tidak memperhatikan kondisi semacam ini regulasi tersebut dibentuk yang
mana pada akhirnya, implementasi di lapangan memperlihatkan hal yang tidak diinginkan oleh
berbagai pihak, yaitu konflik politik.
Ketimpanagan PAD anatra Kabupaten Tasikmalaya dengan Kota Tasikmlaya pasca

pemekaran juga merupakan faktor penyebab terjadinya konflik. Kota Tasikmalaya pasca
pemekaran sudah mempunyai pendapatan daerah sekitar 25 miliar sedangkan Kabupaten
Tasikmalaya hanya 15 miliar.7 Perbedaan PAD ini akibat dari adanya pembagian asset daerah
yang kurang menguntungkan salah satu pihak. Disatu sisi Kabupaten Tasikmalaya harus
menyerahkan seluruh asset yang dimilikinya kepada Kota Tasikmalaya, disisi lain juga
Kabupaten Tasikmalaya harus membangun ibu kota kabupaten yang baru.
Hal tersebut menunjukan bahwa terjadinya konflik dalam suatu masyarakat sangat
tergatung dari sumber potensi konflik dalam suatu masyarakat sangat tergantung dari sumber
potensi konflik pada masyarakat tertentu. Berkaitan dengan sumber-sumber konflik,
Konjaraningrat (dalam Hasan: 2001) mengatakan bahwa sedikitnya ada 4 macam konflik dalam
masyarakat majemuk, yaitu:8
1. Adanya persaingan antara kelompok dalam memperoleh sumber kehidupan,
2. Adanay kelompok yang memaksakan kebudayaan kepada kelompok etnik lain,
3. Adanya golongan agama yang memaksakan ajarannya kepada golongan agama lain,
dan lain-lain.

6 Anonim 1. Konflik Pemekaran Tasikmalaya dalam situs www.wikipedia.com, diakses tanggal 7 oktober 2011.
7
Anonim 2. Pemekaran Tasikmlaya Bebani Anggaran dalam situs www.google.com, diakses tanggal 7
oktober 2011.

8

Nurhasim, moch (ed). 2005. Konflik Antar Elit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah. Pustaka
Pelajar: Jakarta.

Dengan adanya faktor-faktor penyebab konflik, maka faktor konflik politik yang menjadi
dasar adanya konflik di Tasikmalaya, yaitu perbedaan kepentingan antar kelompok yang satu
dengan yang lainnya. Adapun dampak dari adanya pemekaran tersebut adalah masalah
perekonomian dari Kabupaten Tasikmalaya yaitu perbedaan yang sangat tajam dalam hal
pendapatan dari kedua belah pihak. Hal ini banyak cukup mengahambat pada pembangunan
Kabupaten Tasikmalaya, dimana pembangunan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan
menurunnya sumber pendapatan dari Kabupaten Tasikmalaya dan ridak adanya timbale balik
yang cukup pada pemberian asset-aset, maka hal ini sangat merugikan Kabupaten tasikmalaya.
Disatu sisi Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya harus memindahkan ibu kota kabupaten tetapi
disisi lain dana yang dibutuhkan untuk membangun sarana dan prasarana tidak mencukupi.

III.
III.1

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Dalam pemekaran wilayah yang terjadi di Tasikmalaya, ternyata menimbulkan konflik
politik yang berlarut-larut. Perbedaan kepentingan dari pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya
dan pemerintahan Kota Tasikmalaya inilah yang menyebabkan konflik politik. Perbedaan
kepentingan ini dikarenakan salah satu pihak dalam proses pemekaran diperlakukan tidak adil.
Dari pembahasan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan:
1. Konflik politik yang terjadi di Tasikmalaya adalah konflik elit birokrasi antara Kabupaten
Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya. Masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang

berbeda dalam masalah konflik tersebut. Kabupaten Tasikmalaya menginginkan agar
penyerahan asset tersebut dibarengi dengan ganti rugi kepada Kabupaten Tasikmalaya,
sedangkan pihak Kota Tasikmalaya tetap pada peraturan yang ada tentang pembentukan
Kota Tasikmalaya.
2. Faktor penyebab konflik politik di awal pembentukan Kota Tasikmalaya adalah karena
pembagian keuangan, gedung, dan pegawai yang kurang menguntukan salah satu pihak,
yang dalam hal ini adalah Kabupaten tasikmalaya.
III.2 Saran
Konflik politik yang terjadi di Tasikmalay tidak boleh dibiarkan berlarut-larut

karena akan menimbulakan citra negatif. Penyeleseaian kasus di Tasikmalaya butuh intervensi
segera dari pemerintah pusat, karena kedua pemerintahan tersebut sifatnya sejajar dimana sangat
sulit untuk salah satu pihak yang mengalah.
Oleh karena itu diperlukan pihak ketiga untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan
segera, yang dalam hal ini adalah pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya, yaitu pemerintah
pusat. Campur tangan pemrintah untuk memastikan bahwa tujuan pemekaran wilayah mencapai
target kesejahteraan masyarakat, pembangunan daerah yang berkelanjutan, peningkatan
pelayanan masyarakat, serta membangun daerah secara kreatif, inovatif, dan mandiri sesuai
dengan aspirasi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Ahira, Anne. Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kerajinan dalam situs www.google.com,
diakses tanggal 7 oktober 2011.
Anonim 1. Konflik Pemekaran Tasikmalaya dalam situs www.wikipedi.com, diakses tanggal 7
oktober 2011.
Anonim 2. Pemekaran Tasikmlaya Bebani Anggaran dalam situs www.google.com, diakses
tanggal 7 oktober 2011.
Anonim 3. Pemkab Tasikmalaya Dinilai Lamban Serahkan Aset dalam situs www.google.com,
diakses tanggal 7 oktober 2011.

Anonim 4. Sebanyak 80% Pemekaran Wilayah Bermasalah dalam situs www.google.com,
diakses tanggal 7 oktober 2011.
Budiarjo, Miriam. 1988. Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai. Yayasan Obor
Indonesia: Jakarta.
Gafar, Affan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar: Jakarta.
Ibrahim, Syarief. 2002. Pemerintahan, Otonomi Daerah, Identifikasi Etnis Dan Konflik
Horizontal dalam jurnal AIPI No. 18 Jakarta.
Karim, Gaffar. 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Nurhasim, moch (ed). 2005. Konflik Antar Elit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Pustaka Pelajar: Jakarta.
Rusli, Yana. Dua Desa Di Kabupaten Tasikmalaya Ingin Gabung Ke DOB Pangandaran dalam
situs www.google.com, diakses tanggal 7 oktober 2011.