Pengertian Drama Sejarah Drama dan Kateg
Pengertian Drama, Sejarah Drama, dan Kategori Drama
Oleh Mita Miftahul Jannah
Drama berasal dari kata Yunani draomai (Harymawan, 1988:1 dalam Hassanudin 2009:
2) yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Drama termasuk sebuah
genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialog atau
cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Menurut Dictionary of World Literature, kata drama
berarti segala pertunjukan yang memakai mimik.
Sejarah drama dapat dipaparkan menjadi dua kategori, yaitu sejarah drama di dunia dan di
Indonesia. Sejarah drama di dunia, secara singkat drama datang dari khazanah kebudayaan
Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini dari kebudayaan atau tradisi bersastra di
Yunani. Pada awalnya, di Yunani drama muncul dari rangkaian upacara keagamaan suatu
ritual pemujaan terhadap para dewa. Istilah drama itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh
Boen S. Oemarjati (1971), pada masa Aeschylus (525-456SM) –satu di antara tiga penyair
tragedi Yunani– sudah menyiratkan makna peristiwa, karangan, dan risalah. Pada masa awal
pertumbuhan, drama di Barat merupakan bentuk upacara agama yang dilaksanakan di
lapangan terbuka.
Perkembangan drama memperlihatkan adanya pergeseran dari ritual keagamaan menuju
suatu oratoria, suatu seni bebicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan
efektivitas komunikasi. Dari oratoria, kemudian perkembangan drama memperlihatkan
adanya dua kecenderungan besar. Di satu pihak, ada kecendernungan arotoria yang sarat
dengan musik sebagai elemen utamanya, kini dikenal dengan opera dan operet. Di pihak lain
muncul pula bentuk oratoria yang hanya mengandalkan cakapan atau dialog sebagai elemen
utama seperti yang kini kita kenal sebagai drama.
Sedangkan sejarah drama di Indoenesia, drama merupakan kegiatan untuk ritual
keagamaan (bandingkan dengan Sastrowardoyo, 1955:2-3; dan Oemarjati, 1971:15).
Perkembangan drama pada dasarnya bergantung pada sejauh mana masyarakat berinteraksi
dengan dunia luar. Bentuk drama di Indonesia awalnya hanya mengarah pada bentuk visual
saja, bukan dinominasikan sebagai hiburan.Bentuk awal drama Indonesia amat erat kaitannya
dengan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, awalnya kegiatan tersebut berupa ucapan
serta lafalan, tahap berikutnya, pementasan drama didukung oleh visualisasi dengan
memadukan musik dan tari di dalamnya.
Tahapan selanjutnya, drama dinobatkan sebagai media hiburan dan pertunjukan. Ceritacerita yang dipentaskan diangkat dari mitos-mitos dan legenda yang hidup di masyarakat. Hal
yang menarik untuk masyarakat saat menonton drama, bukan lah pada jalan ceritanya, tetapi
bagaimana cerita itu disampaikan dan membuat penonton terpesona melalui kemampuan
pemainnya yang bersifat supranatural. Sehingga kegiatan drama tetap dianggap sakral dan
serius.
Saat memasuki masa modern, yaitu pada tahun 1970-an sampai sekarang, pengarang
drama sudah banyak tersebar di Indonesia. Umumnya, pengarang drama saat ini adalah
mereka yang pernah bermain menjadi aktor. Berdasarkan pengalaman pentasnya, kemudian
mereka menyutradari pementasan drama. Oleh karena itu, sering kali warna dan corak naskah
drama yang dihasilkan lebih berorientasi pada suasana pentas, bukan pada jalinan cerita
(kelogisannya).
Menurut Aristoteles, unsur yang membangun drama adalah Plot, yaitu jalannya peristiwa;
watak, yaitu agen atau pelaksana sekaligus penokohan yang diperankan; tema, yaitu pikiran
utama atau hal yang dijadikan alasan dasar sebuah drama itu dibuat; bahasa, yaitu unsur atau
alat yang menerangkan watak; ritme, yaitu dinamika jalannya drama yang menciptakan
suasana hati penonton dapat berubah-ubah; dan terakhir adalah tontonan (spectacle), yaitu
segala sesuatu yang dapat dilihat, seperti tata panggung, tata rias, dan lain sebagainya.
Berdasarkan unsur yang membangun drama tersebut, drama dapat dibedakan berdasarkan
jenisnya. Segala hal yang terlihat membentuk pementasan drama tersebut secara utuh. Maka,
kategori drama dapat dibedakan menjadi beberapa di antaranya: (1) drama tragedi, umumnya
bersifat ritual keagamaan, sehingga pertunjukannya berlangsung serius, khidmat, puitis, dan
filosofis. Para pemain drama ini selalu menghadapi dilema moral yang sulit, dan di akhir
cerita, biasanya tokoh utama mengalami duka yang berat; (2) drama komedi, kata komedi
berasal dari kata komoida, artinya membuat gembira. Dalam membangun kegembiraan dan
kesukacitaan, pengarang drama lebih menumpukan hadirnya gelak tawa melalui pemilihan
diksi yang cerdas. Karena warna drama ini penuh dengan gelak tawa, seringkali drama ini
juga disebut drama gelak.
Kemudian, di Yunani Kuno, jenis drama komedi dibagi menjadi dua macam berdasarkan
cerita yang dipentaskan. Pertama, bertemakan sosial politik dan kenegaraan, biasanya disebut
komedi lama. Kedua, bertemakan permasalahan kehidupan sehari-hari, biasanya disebut
komedi baru; (3) drama tragikomedi, drama yang menggabungkan antara tragedi dan komedi.
Drama ini hasil perpaduan dua kecenderungan emosional yang sangat mendasar pada diri
manusia; (4) melodrama, berasal dari alur opera yang diciptakan dengan iringan musik. Atau
berupa sebuah pementasan tanpa ada percakapan apa pun, dalam hal ini emosi penonton
dibangun melalui musik; (5) Farce, secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah sajian
drama yang berifat karikatural. Sebagai kisahan, ia bercorak komedi, tetapi gelak yang
muncul itu sendiri ditampilkan melalui ucapan dan perbuatan. Dalam konteks masa kini,
banyak yang menyamakan farce dengan “komedi situasi” di sejumlah tayangan televisi.
Daftar Referensi
Budianta, Melani, dkk. 2008. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk
Perguruan Tinggi). Jogja: IndonesiaTera
Brahim. 1968. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Asia Timur Baru
Hassanuddin. 2009. Drama Karya Dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa
Oleh Mita Miftahul Jannah
Drama berasal dari kata Yunani draomai (Harymawan, 1988:1 dalam Hassanudin 2009:
2) yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Drama termasuk sebuah
genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialog atau
cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Menurut Dictionary of World Literature, kata drama
berarti segala pertunjukan yang memakai mimik.
Sejarah drama dapat dipaparkan menjadi dua kategori, yaitu sejarah drama di dunia dan di
Indonesia. Sejarah drama di dunia, secara singkat drama datang dari khazanah kebudayaan
Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini dari kebudayaan atau tradisi bersastra di
Yunani. Pada awalnya, di Yunani drama muncul dari rangkaian upacara keagamaan suatu
ritual pemujaan terhadap para dewa. Istilah drama itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh
Boen S. Oemarjati (1971), pada masa Aeschylus (525-456SM) –satu di antara tiga penyair
tragedi Yunani– sudah menyiratkan makna peristiwa, karangan, dan risalah. Pada masa awal
pertumbuhan, drama di Barat merupakan bentuk upacara agama yang dilaksanakan di
lapangan terbuka.
Perkembangan drama memperlihatkan adanya pergeseran dari ritual keagamaan menuju
suatu oratoria, suatu seni bebicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan
efektivitas komunikasi. Dari oratoria, kemudian perkembangan drama memperlihatkan
adanya dua kecenderungan besar. Di satu pihak, ada kecendernungan arotoria yang sarat
dengan musik sebagai elemen utamanya, kini dikenal dengan opera dan operet. Di pihak lain
muncul pula bentuk oratoria yang hanya mengandalkan cakapan atau dialog sebagai elemen
utama seperti yang kini kita kenal sebagai drama.
Sedangkan sejarah drama di Indoenesia, drama merupakan kegiatan untuk ritual
keagamaan (bandingkan dengan Sastrowardoyo, 1955:2-3; dan Oemarjati, 1971:15).
Perkembangan drama pada dasarnya bergantung pada sejauh mana masyarakat berinteraksi
dengan dunia luar. Bentuk drama di Indonesia awalnya hanya mengarah pada bentuk visual
saja, bukan dinominasikan sebagai hiburan.Bentuk awal drama Indonesia amat erat kaitannya
dengan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, awalnya kegiatan tersebut berupa ucapan
serta lafalan, tahap berikutnya, pementasan drama didukung oleh visualisasi dengan
memadukan musik dan tari di dalamnya.
Tahapan selanjutnya, drama dinobatkan sebagai media hiburan dan pertunjukan. Ceritacerita yang dipentaskan diangkat dari mitos-mitos dan legenda yang hidup di masyarakat. Hal
yang menarik untuk masyarakat saat menonton drama, bukan lah pada jalan ceritanya, tetapi
bagaimana cerita itu disampaikan dan membuat penonton terpesona melalui kemampuan
pemainnya yang bersifat supranatural. Sehingga kegiatan drama tetap dianggap sakral dan
serius.
Saat memasuki masa modern, yaitu pada tahun 1970-an sampai sekarang, pengarang
drama sudah banyak tersebar di Indonesia. Umumnya, pengarang drama saat ini adalah
mereka yang pernah bermain menjadi aktor. Berdasarkan pengalaman pentasnya, kemudian
mereka menyutradari pementasan drama. Oleh karena itu, sering kali warna dan corak naskah
drama yang dihasilkan lebih berorientasi pada suasana pentas, bukan pada jalinan cerita
(kelogisannya).
Menurut Aristoteles, unsur yang membangun drama adalah Plot, yaitu jalannya peristiwa;
watak, yaitu agen atau pelaksana sekaligus penokohan yang diperankan; tema, yaitu pikiran
utama atau hal yang dijadikan alasan dasar sebuah drama itu dibuat; bahasa, yaitu unsur atau
alat yang menerangkan watak; ritme, yaitu dinamika jalannya drama yang menciptakan
suasana hati penonton dapat berubah-ubah; dan terakhir adalah tontonan (spectacle), yaitu
segala sesuatu yang dapat dilihat, seperti tata panggung, tata rias, dan lain sebagainya.
Berdasarkan unsur yang membangun drama tersebut, drama dapat dibedakan berdasarkan
jenisnya. Segala hal yang terlihat membentuk pementasan drama tersebut secara utuh. Maka,
kategori drama dapat dibedakan menjadi beberapa di antaranya: (1) drama tragedi, umumnya
bersifat ritual keagamaan, sehingga pertunjukannya berlangsung serius, khidmat, puitis, dan
filosofis. Para pemain drama ini selalu menghadapi dilema moral yang sulit, dan di akhir
cerita, biasanya tokoh utama mengalami duka yang berat; (2) drama komedi, kata komedi
berasal dari kata komoida, artinya membuat gembira. Dalam membangun kegembiraan dan
kesukacitaan, pengarang drama lebih menumpukan hadirnya gelak tawa melalui pemilihan
diksi yang cerdas. Karena warna drama ini penuh dengan gelak tawa, seringkali drama ini
juga disebut drama gelak.
Kemudian, di Yunani Kuno, jenis drama komedi dibagi menjadi dua macam berdasarkan
cerita yang dipentaskan. Pertama, bertemakan sosial politik dan kenegaraan, biasanya disebut
komedi lama. Kedua, bertemakan permasalahan kehidupan sehari-hari, biasanya disebut
komedi baru; (3) drama tragikomedi, drama yang menggabungkan antara tragedi dan komedi.
Drama ini hasil perpaduan dua kecenderungan emosional yang sangat mendasar pada diri
manusia; (4) melodrama, berasal dari alur opera yang diciptakan dengan iringan musik. Atau
berupa sebuah pementasan tanpa ada percakapan apa pun, dalam hal ini emosi penonton
dibangun melalui musik; (5) Farce, secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah sajian
drama yang berifat karikatural. Sebagai kisahan, ia bercorak komedi, tetapi gelak yang
muncul itu sendiri ditampilkan melalui ucapan dan perbuatan. Dalam konteks masa kini,
banyak yang menyamakan farce dengan “komedi situasi” di sejumlah tayangan televisi.
Daftar Referensi
Budianta, Melani, dkk. 2008. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk
Perguruan Tinggi). Jogja: IndonesiaTera
Brahim. 1968. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Asia Timur Baru
Hassanuddin. 2009. Drama Karya Dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa