Politik Kesejahteraan dan Reformasi Jams

Imran Thahir 1

Politik Kesejahteraan dan Reformasi Jamsosnas Pasca Orde Baru1
Oleh: Imran Thahir2
I. Pendahuluan
Jaminan sosial (social security) adalah kebijakan yang telah diterapkan di
berbagai negara untuk menjamin tegaknya seperangkat hak-hak setiap orang seperti
yang telah dirangkum dalam The Universal Declaration of Human Right (Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia) Tahun 1948. Kebijakan
tersebut juga menyangkut perlindungan tenaga kerja sesuai dengan amanat Konvensi
ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan
perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.
Sejak runtuhnya Orde Baru, berdasarkan konstitusi yang telah diamandemen
bahwa negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.3 Selain itu secara kontitusional dinyatakan bahwa jaminan sosial adalah
hak setiap orang, sehingga jaminan sosial tidak hanya diperuntukkan bagi warga
negara Indonesia saja melainkan warga negara asing yang juga tinggal di Indonesia
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam pengalaman berbagai negara bahwa pada dasarnya Sistem Jaminan Sosial
(social security system) merupakan program negara yang bertujuan memberi

kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebuah negara.
Melalui kebijakan dan program ini, setiap orang atau penduduk diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila tejadi hal-hal yang dapat
mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit,
mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Oleh karenanya, system jaminan sosial sering dikaitkan dengan isu kemiskinan dan
1

Dimuat Pada Jurnal Politikologi IPDN jatinangor, Desember 2013
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia
3
Pasal 28h dan Pasal 34 UUD 1945 Amandemen ke-4
2

Imran Thahir 2

kesenjangan kesejahteraan.4 Sistem jaminan sosial pada dasarnya sangat erat
kaitannya secara konsepsional dengan politik kemiskinan (politics of poverty) dan
negara kesejahteraan (welfare state). Menurut Pete Alcock, Politik kemiskinan adalah
sesuatu isu mainstream dalam negara kesejahteraan, sedangkan policy framework-nya

adalah dengan system jaminan sosial (social Security System).5
Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan beberapa
program jaminan sosial.6 Berbagai program tersebut baru mencakup sebagian kecil
masyarakat sedangkan sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan yang
memadai. Disamping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan sosial tersebut
belum memberikan perlindungan yang adil dan memadai sesuai dengan manfaat
program kepada seluruh rakyat.
Program-program kesejahteraan selama ini pada umumnya tidak menjangkau
seluruh penduduk dan warga negara sehingga sangat nyata belum mengejewantahkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu, berbarengan dengan
dipromosikannya demokrasi dan keadilan pasca runtuhnya Orde Baru juga
mendorong perbaikan kebijakan perlindungan sosial bagi seluruh komponen bangsa
dengan reformasi jaminan sosial nasional (Jamsosnas). Reformasi Jamsosnas tersebut
ditujukan untuk memperluas jangkauan penjaminan hak-hak sosial dan ekonomi bagi
seluruh rakyat tanpa kecuali. Selain itu, tujuan dari reformasi Jamsosnas tersebut
untuk menciptakan efisiensi ekonomi baik menyangkut aspek pengelolalaan maupun
4

Pete Alcock,. Understanding Poverty, 2nd Edition. Macmillan Press, 1997, hal 75
Ibid

6
Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tenang Jaminan Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), yang mencakup
program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan
kematian. Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun1981 dan program Asuransi Kesehatan (ASKES) yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 yang bersifat wajib bagi PNS/Penerima Pensiun/Perintis
Kemerdekaan/Veteran dana anggota keluarganya. Untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI),
anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan PNS Departemen Pertahanan/TNI/POLRI
beserta keluarganya telah dilaksanakan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemrintah Nomor 67 Tahun 1991 yang merupakan
perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971.
5

Imran Thahir 3

dampak atas perekonomian dengan menyatukan seluruh program-program jaminan
sosial dalam satu sistem jaminan sosial.
Cika-bakal kebijakan seperti ini pertamakali terlahir di Inggris Raya dengan

lahirnya Poor Law Act (1601) demi menjamin mereka yang terpinggirkan untuk
diberikan perlindungan sosial seperti jaminan kesehatan dan jaminan pekerjaan. 7
Kemudian, jaminan sosial atau dikenal dengan social security diperkenalkan oleh
Otto Von Bismark di Jerman jaman dulu (Prusia). 8 Pasca krisis ekonomi 1930-an,
Amerika Serikat telah meperkenalkan system kesejahteraan serupa melalui kebijakan
New Deal.9
Sistem jaminan sosial terpadu tersebut telah dipraktekkan di berbagai negara
dengan berbagai ciri system masing-masing. Dari segi pendanaan, sistem jaminan
sosial dapat dibedakan antara lain berdasarkan prinsip Beveridge, prinsip Bismarck,
atau prinsip pasar.10 Dalam prinsip Beveridge yang diambil dari nama ekonom Inggris
yang mereformasi sistern jaminan sosialnya, jaminan sosial didanai oleh pemerintah
lewat pajak. Rakyat tak perlu menerima tagihan atas layanan kesehatan, misalnya,
karena rumah sakit maupun praktisi kesehatan akan dibayar langsung oleh negara.
Karena mengandalkan pajak, proporsi upah yang dipotong pajak pun relatif besar
(20-50%). Sistem seperti ini dianut oleh Inggris, Spanyol, Selandia Baru, dan negaranegara Skandinavia.
7

Lihat misalnya uaraian Brodie, Marc. The Politics of the Poor_ The East End of London 1885-1914.
Oxford. Oxford University Press, 2004 atau dalam Tierney, Brian. Medieval poor law_ a sketch of
canonical theory and its application in England. University of California Press, 1959 atau dalam

Hindle, Steve. On the Parish: The Micro-Politics of Poor Relief in Rural England c. 1550-1750.
Oxford Studies in Social History, 2004
8
Tentang reformasi jaminan sosial Bismark di Jerman lihat misalnya Abrams, Lynn.
Bismarck_and_the_German_Empire_1871-1918. London. Routledge, 1995 atau dalam Bruno Palier.
A Long Goodbye to Bismarck: The Politics of Welfare Reform in Continental Europe.Amsterdam
University Press, 2010 atau dalam Martin Schludi. The Reform of Bismarckian Pension Systems_ A
Comparison of Pension Politics in Austria_ France_ Germany_ Italy and Sweden. Amsterdam
University Press, 2005
9
Lihat mislanya uraian tentang kebijakan Franklin D. Roosevelt tentang new deal berkaitan uraian
liberalism lama dan Baru dalam Ebenstein, William. Great Political Thinkers. New York. NY: holt
Rinehart, and Wunston, 1960 hal 623-672
10
Dinna Wisnu. Politik Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2012 hal
23-29

Imran Thahir 4

Dalam. prinsip Bismarck yang diambil dari nama kanselir Jerman yang pertama

mendirikan sistem jaminan kesehatan di negeri itu, jaminan sosial didanai oleh iuran
pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Sistemnya diatur ketat oleh pemerintah,
sehingga meskipun penyelenggara layanan kesehatannya adalah pihak swasta, mereka
tak berorientasi profit. Sistem ini biasanya mengakomodasi model subsidi iuran bagi
kelompok atau kalangan tertentu yang dianggap penting oleh negara, misalnya
pegawai negeri dan militer. Sistem seperti ini dianut di Jerman, Perancis, Belanda,
Swiss, dan di beberapa negara Amerika Selatan.
Sistem yang ketiga adalah sistem pasar, seperti yang dilakukan oleh Amerika
Serikat, di mana jaminan sosial didanai oleh iuran pekerja dan pengusaha saja,
dikelola oleh lembaga-lembaga swasta, tetapi ada aturan pemerintah yang menjadi
patokan pengelolaan. Di sini faktor pilihan bagi konsumen dan prinsip pasar bagi
keikutsertaan lembaga pengelola menjadi pertimbangan utama.
Indonesia telah mengawali reformasi Jamsosnas dengan serangkaian penataan
dan penetapan aturan perundang-undangan. Secara tidak langsung bahwa dengan
reformasi Jamsosnas tersebut telah memberikan dasar atas pengakuan hak
kesejahteraan (welafere right) pada seluruh rakyat tanpa terkecuali. 11 Selain itu,
amanat konstitusi yang telah diamandemen tersebut menggariskan pula bahwa
pemerintah mengembangkan sebuah sistem jaminan sosial nasional.12 Amandemen
konstitusi tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan rangkaian reformasi sistem
jaminan sosial dengan keputusan-keputusan politik penting seperti Undang-Undang

tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJS).13 Sebelum dijalankannya reformasi
Jamsosnas ini, Indonsia adalah “negara tanpa system jaminan sosial (social security
system).”
11

14

Setelah serangkaian reformasi awal Jamsosnas itu barulah dianggap

Pasal 28h dan Pasal 34 UUD 1945 Amandemen ke-4
Undang-Undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
13
Undang-Undang No 24Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Sistem Jaminan Sosial (BPJS)
14
Sulastomo. Sistem Jaminan Sosial Nasional; mewujudkan amanah konstitusi. Jakarta, Penerbit Buku
Kompas, 2011 hal 15
12

Imran Thahir 5


memiliki sistem jaminan sosial yang belaku universal yang menjadi dasar dari
peraktek negara kesejahteraan (welfare state).15 Dengan reformasi Jamsosnas
akhirnya dipilih prinsip-prinsip pendanaan model Bismark.
Perjalanan reformasi Jamsosnas tersebut tidaklah berjalan mulus dan telah
memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun untuk menyelesaikan perangkat
perundang-undangannya saja. Bahkan untuk program implementasinya baru akan
dimulai setelah 12 tahun, pada 1 January 2014 yakni beroperasinya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Sedangkan untuk Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan rencananya akan mulai
beroperasi tahun 2015. Lamanya rentan waktu tersebut adalah buah dari berbagai
persoalan substansial dalam proses politik yang melatari formulasi dalam penyusunan
kebijakannya seperti perbedaan persepsi dan kepentingan politik oleh aktor-aktor
politik yang menjadi bagiannya.16 Fakta ini menunjukkan bahwa dalam proses
reformasi system jaminan sosial di Indonesia, berproses dengan power interplay
yang intensif antar kekuatan dan aktor-aktor politik yang memberikan dampak
terutama terkatung-katungnya selama enam tahun pembahasan Undang-Undang
tentang BPJS (2004-2011).
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memahami dan menguraikan secara singkat
dinamika politik yang menyertai proses politik dan power interplay dalam perjalanan

reformasi Jamsosnas di Indonesia. Atau dengan kata lain bahwa proses reformasi
Jamsosnas tersebut dapat dipahami dalam konteks ilmu politik melalui tinjauan dari
segi interaksi kekuasaan yang terjadi dalam dalam proses formulasi kebijakannya
berikut problem politik yang menyertainya. Seperti diuraikan di atas bahwa interaksi
kekuasaan dan proses politik yang tersebut diindikasikan sebagai sumber dari
lambannya proses pengambilan keputusan dan kebijakan reformasi Jamsosnas
tersebut.
15

Lihat uraian “negara tanpa system jaminan sosial” dalam Sulastomo. Sistem Jaminan Sosial
Nasional; mewujudkan amanah konstitusi. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2011 halaman 1-4
16
Sulastomo. Op Cit halaman 35

Imran Thahir 6

Dinamika politik yang dimaksudkan di atas melibatkan elit politik, partai politik,
birokrasi pemerintahan, kelompok penekan (pressure groups) dan kelompok
kepentingan (interest groups). Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa dalam
perjalanan reformasi, proses legislasi system jaminan menampilkan interaksi politik

yang meliputi kontroversi politik, pertarungan politik dan pertentangan pandangan
serta sikap politisi atas agenda-agenda tersebut. Tulisan ini juga akan menyoroti
dinamika pada level interaksi politik di lembaga legislatif dalam kaitannya hubunganhubungan sistem kekuasaan formal dan informal dengan actor-aktor politik lainnya.
II. Politik Kesejahteraan
Pemaparan di atas membawa kepada sebuah sudut pandang bahwa proses
reformasi Jamsosnas mengimplementasikan prinsip negara kesejahteraan berkaitan
erat dengan disiplin ilmu politik. Konteks ilmu politik disini adalah salah satunya
tentang proses legislasi sebagai arena politik untuk pembuatan keputusan tentang
reformasi Jamsosnas. Arena politik yang dimaksud adalah proses legislasi peraturan
perundang-undangan jamsosnas yang melibatkan interaksi kekuasaan di lembaga
legislatif. Dalam arena politik ini, debat tentang politik kesejahteraan dan kemiskinan
dipercaya memberikan nuansa interaksi kekuasaan yang terjadi untuk menghasilkan
kebijakan anti-kemiskinan (anti-poverty policy) yang akan diformulasikan sebagai
politik Jamsosnas.
Salah satu acuan buku tentang politik kemiskinan (politics of poverty) adalah
karya Pete Alcock, Understanding Poverty (1997).17 Buku yang komprehensif dan
mudah dipahami berkaitan dengan definisi, pengukuran dan distribusi kemiskinan.
Buku ini menganalisis berbagai perdebatan tentang penyebab dan solusi yang
mungkin, termasuk perdebatan kemiskinan dan negara kesejahteraan dalam arena
politik. Buku ini juga secara khusus membahas tentang konteks politik dari kebijakan


17

Alcock. Ibid

Imran Thahir 7

anti-kemiskinan yang disebutnya sebagai politik kemiskinan.18 Buku ini secara
khusus juga membahas politik kemiskinan dalam satu bagiannya.
Menurut Alcock, kemiskinan adalah problem politik sebab secara alamiah
merupakan dampak dari proses pembangunan19. Sedangkan persoalan kemiskinan
sebagai bagian dari konsep politik sebab keputusan politik tentang kebijakan antikemiskinan menjadi bagian dari debat politik dan arena pertarungan ideologis. 20
Sehingga pengambilan keputusan (decicion making) dalam kebijakan anti-kemiskinan
akan erat kaitannya dengan demokrasi dan proses demokratis itu sendiri. Seperti
diketahui bahwa dalam pengalaman berbagai negara, demokrasi dan proses
demokratis berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan di berbagai belahan
dunia.21
Pete Alcock menegaskan bahwa policy framework dari politik kemiskinan adalah
implementasi social security system (system jaminan sosial).22 Sebagai konsep dan
problem politik serta sebagai hasil dari proses politik, isu kemiskinan dengan
pendekatan negara kesejahteraan mengisyaratkan adanya sebuah keputusan politik
melalui proses politik. Sehingga tipe negara kesejahteraan dan model penerapan
system jaminan sosial akan sangat dipengaruhi oleh proses dan struktur politik
berikut system kepartaian yang ada pada tiap-tiap negara.
David Brady dalam bukunya Democracy Rich and People Poor (2009)
mengaitkan dinamika politik dengan masalah kemiskinan. Dalam Bab khusus tentang
politics of poverty, Ia melihat adanya keterkaitan antara pengaruh partai berkuasa di
Inggris dan Swedia dengan perubahan kebijakan kesejahteraan dan kemiskinan. 23
Pandangan ini diperkuat oleh studi Klingerman (1999) dkk yang menyebutkan bahwa
corak dan keragaman ideology kepartaian sangat memberikan corak bagi sikap partai18

Ibid
Ibid, hal 13
20
Ibid hal 19
21
Zen, Amartya. Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan. Bandung, Mizan, 2000
22
Alcock, Ibid hal 197-230
23
David Brady. Democracy Rich and People Poor; How Politics Explain Poverty. Oxford University
Press, 2009 hal 94
19

Imran Thahir 8

partai politik atas isu kemiskinan dan penerapan system jaminan sosialnya.24
Misalnya partai kiri (right parties) akan lebih cenderung untuk lebih progressif
dalam reformasi system jaminan sosial dibandingkan dengan partai kanan (left
parties).25 Disamping itu pula, perilaku elit atau actor partai politik akan sangat
mempengaruhi sikap partai politik terhadap isu kemiskinan.
James Midgley dalam studinya tentang Social Policy and Poverty in East Asia:
The Role of Social Security (2009) menyebutkan bahwa adanya polemik tentang
peran kebijakan jaminan sosial. Olehnya disebutkan bahwa, polemik tersebut
disebabkan perbedaan perspektif tentang jaminan sosial. Midgey menyebutkan pula
bahwa sebagian pemikir menekankan jaminan sosial sebagai peran penanggulangan
kemiskinan dan yang lain menantang gagasan tersebut. Sebagian pemikir yang
menolak anggapan tersebut berargumen bahwa program jaminan sosial pada dasarnya
tidak dimaksudkan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Mereka menunjukkan
bahwa jaminan sosial seperti diperkenalkan oleh Von Bismark (Jerman) hanyalah
untuk alasan politik, ekonomi, demografi dan budaya.26 Sehingga pada dasarnya tidak
akan memberikan konstribusi pada pencegahan kemiskinan.
Akhirnya Midgey menegaskan bahwa perbedaan sikap atas pandangan terhadap
jaminan sosial dan kesejahteraan umum lebih disebabkan perbedaan pengetahuan dan
pemahaman. Dalam studinya tersebut menyimpulkan bahwa gejala kemiskinan dan
kesejahteraan bisa disalah ditafsirkan bahwa orang miskin tidak pantas mendapat
dukungan adalah lebih mencerminkan kurangnya publisitas oleh pihak berwenang
(pemerintah). Menurut Midgey, jika temuan empirisnya di Hong Kong dapat
digeneralisasi, hanya akurasi pengetahuan tentang siapa orang miskin dan
kesejahteraan

yang

cenderung

mendorong

tindakan

pro-welfare.27

Midgey

menjelaskan bahwa masyarakat di negara-negara sistem kesejahteraan residual pada
24

Hans Dieter Klingerman, Richard I. Hofferbert dan Ian Budge. Partai Kebijakan dan Demokrasi.
Yogyakarta, Jentera, 1999, hal 15
25
Ibid
26
James Midgley dalam studinya tentang Social Policy and Poverty in East Asia: The Role of Social
Security (2009) halaman 21
27
Ibid halaman 180

Imran Thahir 9

dasarnya memiliki sikap yang kurang bersahabat terhadap orang miskin dan kurang
mendukung kebijakan tentang kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, penelitian
empirisnya tersebut membuktikan bahwa pengetahuan yang akurat tentang kebijakan
publik akan dapat mengurangi sikap tidak bersahabat tersebut, tidak terkecuali dalam
negara kesejahteraan residual seperti Hong Kong.
Dinna Wisnu tentang Politik Jaminan Sosial di Indonesia; Menciptakan Rasa
Aman dalam Ekonomi Pasar (2012) adalah salah satu buku yang mengkaji tentang
reformasi Jamsosnas di Indonesia sebagai studi perbandingan politik (comparative
politics studies) dengan Singapura dan Philipina.28 Meski diangkat sebagai studi
politik tersirat bahwa dari sisi penekanan judul, buku ini menunjukkan bahwa
gagasan yang dikembangkan oleh penulisnya adalah alasan yang lebih bersifat
ekonomi. Buku ini bertolak dari asumsi bahwa individu perlu mendapat dukungan
akibat dirugikan oleh proses ekonomi pasar.29 Sedangkan landasan untuk mendukung
individu yang beresiko kesejahteraan adalah bahwa untuk menopang kelangsungan
ekonomi pasar itu sendiri.30
Akan tetapi hasil studi Dinna Wisnu ini dapat pula memberikan dasar teoritik
penting untuk memahami konteks politik dalam reformasi Jamsosnas di Indonesia.
Antara lain bahwa dalam proses pengembangan sistem jaminan sosial merupakan
hasil dari tarik menarik antar berbagai kepentingan. Digambarkannya bahwa
setidaknya di belahan dunia mana pun, system jaminan sosial lahir dari tarik menarik
kepentingan, negoisasi, pencarian titik konsesi, yang durasi waktunya bisa berpuluh
bahkan berates tahun.31 Studi ini menyimpulkan antara lain bahwa reformasi
Jamsosnas di Indonesia sulit dilepaskan dari kontroversi politik, pertarungan politik

28

Buku ini bersumber dari penelitian disertasi doctoral penulisnya pada Ohio State University yang
berjudul Governing Social Security in Indonesia (2006).
29
Wisnu, Dinna. Politik Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2012
halaman 23
30
Ibid halaman 24
31
Ibid halaman 49

Imran Thahir 10

dan obyekan kalangan politisi.32 Kesemua itu menurutnya dapat mengganggu tujuan
atas tujuan sistem jaminan sosial itu sendiri.
Hasil studi-studi di atas mendeskripsikan berbagai konteks politik dari system
jaminan sosial yang berkaitan dengan relasi politik (political relation) dan interaksi
kekuasaan (power interaction) dan permainan kekuasaan (power interplay). Bahkan
Dinna Wisnu menegaskan bahwa dalam pengalaman reformasi Jamsosnas di
Indonesia terdapat sejumlah besar aspek reformasi yang sebenarnya cukup dibahas
dan disepakati bisa mentah lagi akibat perdebatan antarkelompok yang sifatnya
berulang-ulang saja.33
III. Pembangunan Ekonomi dan Politik Kesejahteraan di Indonesia
Demokratisasi dan reformasi 1998 dipicu oleh krisis finansial regional Asia yang
menyeret kepada krisis ekonomi dan krisis multidimensial di Indonesia. Ketika itu,
diawali oleh krisis beberapa mata uang di Asia seperti baht dan won yang juga
menggiring rupiah, ringgit dan peso terdepresiasi serta ikut dalam pusaran krisis.
Krisis itu serta merta meruntuhkan optimisme pertumbuhan ekonomi Asia seperti
Indonesia, Thailand dan Korea Selatan yang ketika itu dijuluki “the Asian miracle”.
Antara tahun 1973-1996 beberapa negara di Asia mengalami mengalami
pertumbuhan ekonomi yang stabil dan mengesankan antara 3,5 sampai 7,1 persen
seperti Indonesia, China, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia. Petumbuhan
ekonomi negera-negara tersebut jauh melampaui petumbuhan negara-negara industri
utama seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis dan Italy yang
hanya mengukir pertumbuhan rata-rata di bawah 2 persen.34
Bagi Indonesia, terpaan krisis tersebut merupakan pukulan yang teramat berat
dan mencoreng prestasi gemilang pembangunan pemerintahan Orde Baru yang diukir
selama lebih dari tiga puluh tahun. Dalam catatan Jason Furman dan Joseph E.
Stigliz (1998), Orde Baru adalah regim yang menghantarkan Indonesia sebagai salah
32

Ibid halaman n 187
Ibid halaman 187
34
Josep E Stigliz and Shahid Yusuf. Rethinking The East Asian Miracle. Word Bank, 2001 halaman 2
33

Imran Thahir 11

satu negara Asia Tenggara yang sukses dalam pertumbuhan, stabilitas dan penurunan
angka kemiskinan.35 Perekonomian Orde Baru selama tiga decade lebih ketika itu
memang prestisius yang ditopang oleh kestabilan sosial politik.
Salah satu kunci keberhasilan pembangunan regim Soeharto adalah dengan
angka pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, yang sebelumnya justeru mewarisi situasi
ekonomi yang sangat buruk. Diantaranya, akhir pemerintahan regim Soekarno, Inflasi
naik tak terkendali dari 19 persen pada 1960 dan mencapai puncak sebesar 636 persen
pada 1966.36 Pemerintahan Soekarno dimasa demokrasi terpimpin maupun era
sebelumnya, bukannya tidak melakukan upaya penyusunan dan menjalankan program
pembangunan. Seperti program banteng, Program Rencana Urgensi Ekonomi 19511956,

Rencana

Pembangunan

Lima

Tahun

Pertama

1956-1960,

Rencana

Pembangunan semesta delapan tahun di era demokrasi terpimpin dan semuanya gagal
total.
Penyebab kegagalan ekonomi Orde Lama adalah akibat lebih disibukkan untuk
”menyelesaikan revolusi nasional”, Soekarno tidak cukup berusaha meminimalkan
dampak slogan-slogan itu terhadap ekonomi.37 Sebelumnya, bidang sosial-ekonomi
diketepikan karena keutamaan perjuangan negara di awal-awal kemerdekaan. 38 Selain
itu, kebijakan ekonomi terutama periode 1950 sampai 1957 di Indonesia dapat
dipahami sebagai tahun-tahun pertarungan tanpa harapan antara sekelompok kecil
pemimpin politik yang pragmatis dan konservatif dan koalisi politik yang semakin
kuat, yang pada umumnya berorientasi radikal.39

35

Furman, Jason, And Joseph E. Stiglitz. 1998. “Economic Crises: Evidence and Insights from East
Asia.” Brookings Papers on Economic Activity, no. 2 halaman 1–114.
36
Stephen Grenville, ”Monetary Policy and the Formal Financial Sector”, dalam dalam Booth, Anne
& Peter McCawley (eds.), The Indonesian Economy during the Soeharto Era. Petaling Jaya: Oxford
University Press, 1981 halaman 102-125
37
J.D.Legge. Sukarno–A Political Biography. Ringwood, Victoria: Penguin Books Australia, 1972
halaman 328-29
38
G. McT. Kahin, Nationalism and revolution in Indonesia, Ithace: Cornell University Press, 1978,
halaman 573
39
Bruce Glassburnuer. The Economy of Indonesia— Selected Readings. Ithaca and London: Cornell
University Press halaman 71

Imran Thahir 12

Sebaliknya, indikasi prestasi ekonomi pemerintahan Soeharto dapat dilihat dari
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan berkelanjutan (mulai tahun 19672007) menjadikan Indonesia digolongkan kedalam ekonomi industri baru (Newly
Industrializing Economies, NIEs) Asia Tenggara. Antara tahun 1967-1990-an,
pendapatan per kapita riil meningkat lebih dari tiga kali. Proporsi penduduk yang
hidup dalam kemiskinan absolut menurun tajam dari 60% tahun 1966 menjadi 15%
pada tahun 1990.
Seiring dengan peningkatan pertumbuhan, Indonesia juga dalam kurun enam
program pembangunan lima tahun (Pelita) memperlihatkan peningkatan penanaman
modal dan perbaikan sumber daya manusia secara signifikan yang keberadaanya
menjadi pendorong utama pertumbuhan. Peningkatan ini menghasilkan akumulasi
modal fisik maupun SDM bagi pembangunan secara umum. Sebagai ilustrasi adalah
adanya peningkatan signifikan penanaman modal domestik (dalam negeri) yang ratarata meningkat sebesar 50,43% pertahun selama kurun waktu 1976-1997. Beberapa
capaian prestasi ini sehingga Indonesia digolongkan sebagai salah satu “Keajaiban
Asia” tersebut.
Salah satu kunci keberhasilan Orde Baru itu adalah strategi pembangunan yang
lebih

bercirikan

ekonomi

sebagai

panglima

(ESP),

berkebalikan

dengan

kecenderungan Orde Lama yang dianggap lebih mengedepankan politik sebagai
panglima (PSP).40 Regim Orde Baru memberikan kepercayaan yang sebesar besarnya
pada kalangan teknokrat dalam rangka untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Perihal ini sesuai dengan pandangan Richard Robison, Orde Baru digambarkan
sebagai negara teknokrat, selain oleh gambaran berbagai referensi lainnya sebagai
negara birokratik, negara komprador dan negara qua negara. 41 Selain itu, keberhasilan
pembangunan ekonomi Orde Baru dikaitkan dengan bangkitnya kapitalisme
domestik, terutama pada kalangan usahawan non-pribumi.
40

Mohtar Mas’oed. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta, Pusataka Pelajar 1994 halaman
37
41
Richard Robison. Soeharto dan bangkitnya kapitalisme Indonesia. Jakarta, Komunitas Bambu, 2012
halaman 85-92

Imran Thahir 13

Selang beberapa dekade dengan catatan emas demikian, akhirnya Soeharto jatuh
pada paruh 1998 dan meyerahkan kekuasaan pasca Indonesia diterpa krisis ekonomi
yang menghantarkan kolapsnya perekonomian. Perekonomian yang stagnan tersebut
selanjutnya melemahkan jantung kekuasaan, yakni delegitimasi pemerintahan
Soeharto.

Akhirnya Ia mundur setelah mendapatkan tekanan dari kalangan

intelektual serta mahasiswa dan kerelaannnya untuk lengser keprabon dari kursi
presiden juga akibat ditinggalkan oleh para kongsi politik dan ekonominya.42
Problem ekonomi Indonesia pada dasarnya telah bermula pada tahun 1990-an
yang mendorong kepada derelgulasi finansial yang serius.43 Kondisi diakibatkan oleh
lonjakan kredit sector swasta pada 1980-an dan mendorong pemerintah untuk
menaikkan tingkat bunga. Selain itu, pinjaman luar negeri besar-besaran pada masa
itu memberikan bukti dikemudian hari bahwa Indonesia rentan terimbas imforted
inflation. Dan ketika rupiah ikut dalam pusaran krisis regional Asia, Indonesia tidak
sebatas goyah secara finansial namun sektor ril pun ikutan hancur lebur akibat hyper
inflation. Selanjutnya, kerentanan perekonomian Indonesia juga diindikasikan dengan
kegagalan keberlanjutan reformasi ekonomi setelah tahun 1993 dan mengakibatkan
melambatnya pertumbuhan ekonomi.44
Gambaran kolapsnya ekonomi dan jatuhnya kekuasaan Orde Baru di atas telah
lebih menunjukkan signifikannya kaitan antara situasi ekonomi dan stabilitas
kekuasan di Indonesia. Fakta terutama yang terlihat bahwa ternyata kemorosotan
ekonomi tersebut telah membukakan peluang perubahan politik secara mendasar,
yang bagi situasi Indonesia sebelum masa itu teramat sulit untuk terjadi dalam kurun
tigapuluh tahun kekuasaan Orde Baru. Dengan kekuasaan yang represif,
menancapkan stabilitas sosial politik
42

demi mengejar pertumbuhan ekonomi.

David C. Kang. “Transaction Costs and Crony Capitalism in East Asia “Journal of Comparative
Politics, Vol. 35, No. 4 (Jul., 2003), halaman 439-458. Lihat juga ulasan dalam, David C. Kang. Crony
Capitalism. Cambridge. Cambridge University Press, 2002, halaman 189, lihat juga ulasan Stephen
Haber. Crony Capitalism and Economic Growt in Latin America Theory and Evidence.Hoover
Institution on War, Revolution and Peace, 2002, halaman xv
43
Kevin Evan, “Economic Update” dalam Geoff Forrester, editor. Post-Soeharto Indonesia: Renewal
or Chaos?. Singapura, ISEAS 1999 halaman 105-128
44
Ibid

Imran Thahir 14

Keruntuhan

Orde

Baru

akibat

krisis

demi

krisis

sampai

kepada

krisis

multidimensional menggambarkan bahwa kekuasaan kokoh nan prestisius tersebut
hanyalah sebatas “rumah kartu”.
Rapor gemilang pemerintahan Soeharto dibangun dengan sistem ekonomi politik
crony capitalism atau kapitalisme perkoncoan.45 Seperti dalam studi O’Donnel,
Kapitalisme jenis ini sangat identik dengan pola kekuasaan birokratik otoriter, 46 yang
dalam kasus Indonesia misalnya, keberhasilan kebangkitan kapitalisme adalah tidak
lain dari oligarki kapitalis di bawah sebuah sistem birokrat otoriter yang terbentuk
dari persekutuan politico-birokratis dan keluarga-keluarga kapitalis terkemuka. 47
Perihal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan dan kue pembangunan ketika itu
hanya dinikmati dan diperoleh sebagian kecil kalangan tertentu saja.
Dalam studi Andrinof Chaniago tentang “Gagalnya Pembangunan, Membaca
Ulang Keruntuhan Orde Baru” menyebut sebagai wajah suram Indonesia, dan
menyimpulkannya sebagai gagalnya pembangunan.48 Andrinof menganalisis bahwa
"hulu"‐nya memang sudah sarat dengan kepentingan yang tidak pro‐masyarakat, dan,
di sisi yang lain, "hilir"‐nya pun menimbulkan berbagi persoalan sosial‐politik dan
ekonomi yang akut. Andrinof menunjukkan dengan menyebutnya sebagai "tujuh
ketimpangan warisan Orde Baru".49 Melalui hasil penelitian lapangan, ia
memperlihatkan bagaimana hak‐hak publik atas ruang dan lokasi strategis telah
diambil alih oleh kekuatan modal. Wilayah Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang,
dan Bekasi), yang seharusnya dirancang sebagai tempat‐tempat strategis bagi
kekuatan publik, karena strategi kebijakan pembangunan yang memang tidak pro‐
45

Lihat misalnya uraian M. R. J Vakitiotis. Indonesian Politics Under Suharto: The Rise and Fall of
the New Order. London Routledge, 1998
46
O'Donnell, Guillermo. Bureaucratic Authoritarianism: Argentina 1966-1973 in Comparative
Perspective. Berkeley, University of California, 1988
47
Lihat Robinson, Richard dan Vedi R, Hadiz. 2004. "The Genesis of Oligarchy: Soeharto's New
Order 1965-1982", dalam Reorganising Power in Indonesia the Politics of Oligarchy in an Age of
Markets. New York, Routledge Curzon, halaman 136-167.
48
Andrinof Chaniago. Gagalnya Pembangunan, Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru (Edisi
Revisi). Jakarta, LP3ES, 2012,
49
Ibid halaman 193-208

Imran Thahir 15

masyarakat, lambat‐laun digeser oleh aliansi antara kekuatan modal besar dan
kalangan birokrat dan penguasa (sipil dan militer). Mal‐mal besar, apartemen dan
hotel mewah, jalan tol yang menggusur rakyat, real estat, dan berbagai tempat
hiburan dan wisata lainnya yang tidak diperuntukkan buat publik secara umum adalah
contohnya.
Lanjut menurut Andrinof, pada saat Indonesia mengalami bonanza minyak, pada
episode kedua Orde Baru (etatisme baru), semua persoalan yang ada diselesaikan
dengan uang pemerintah, yang saat itu memang sangat melimpah. Semuanya
disupervisi, dikelola, dan dikerjakan oleh negara melalui berbagai departemen dan
BUMN.50 Negara bertindak sebagai pengawas sekaligus pelaku ekonomi, dan
kalangan swasta kroni menjadi anak yang menyusu semua uang hasil minyak
tersebut. Tak mengherankan, saat itu hingga akhir‐akhir menjelang krisis ekonomi
bermunculan kelas pengusaha baru yang tiba‐tiba menjadi besar. Mereka terakhir
inilah yang diuntungkan oleh kebijakan Orde Baru yang lebih mengutamakan elit
dalam negara.51 Mereka inilah pula akhirnya adalah oligarkis politik dan ekonomi di
akhir Orde Baru dan sesudahnya.52
Olehnya, Orde Baru dan keruntuhannya pada dasarnya telah menyisakan tema
yang sangat krusial yakni tentang ketimpangan dalam kesejahteraan sosial. Perihal ini
kontras atas kesan prestasi Orde Baru yang sukses dalam statistik indikator makroekonomi seperti pertumbuhan, inflasi, investasi, penciptaan lapangan kerja,
kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Sehingga bahwa fakta pertumbuhan
ekonomi selama Orde Baru berikut penurunan angka kemiskinan serta kecilnya
kesenjangan kesejahteraan yang dilambangkan dengan indeks gini yang cenderung
mendekati angka nol hanyalah menunjukkan kesejahteran semu belaka. Kontradiksi
ini setidaknya dapat melambangkan bahwa terlalu sedikitnya populasi yang
mendominasi pendapatan dan kesejahteraan, sehingga besaran indeks gininya terlihat
50

Ibid halaman 46
Log cit
52
Richard dan Vedi R, Hadiz, log cit
51

Imran Thahir 16

lebih kecil. Kembali ke krisis 1997-1998, tampaknya terdapat cukup alasan untuk
mengatakan bahwa krisis demi krisis tersebut telah menimbulkan dampak sosialekonomi-politik yang luar biasa bagi Indonesia.
Perihal di atas adalah unik sebab problema disorientasi kesejahteraan bukannya
diakibatkan kegagalan pasar (market failure) akan tetapi justeru oleh kegagalan
negara. Kondisi ini bagi Indonesia sendiri akhirnya bukanlah menjadi alasan untuk
mengalihkan kepada solusi yang bertumpu kepada peranan pasar. Oleh karenanya,
solusi pasca krisis 1997-1998 telah didahului dengan perbaikan factor-faktor nonekonomi seperti reformasi politik, hukum dan birokrasi.
Berangkat dari kenyataan persoalan kemiskinan, kesenjangan kesejahteraan dan
kegagalan pembangunan seperti yang diuraikan di atas, politik kemiskinan dalam
konteks negara kesejahteraan sangat penting untuk diketengahkan untuk memberi
tekanan pada kebijakan dan keputusan politik. Sebab bertolak dari pengalaman Orde
Baru, campur tangan negara yang besar dalam menciptakan, mengalokasikan dan
mendistribusikan

kesejahteraan

telah

gagal

dengan

kenyataan

gagalnya

pembangunan. Quasi kapitalisme negara dengan kalangan pengusaha tertentu
kekuasaan Orde Baru yang berlatar KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) di masa
lalu telah disaksikan berujung pada gagal dan stagnannya perekonomian. Dan dalam
kasus Indonesia ini, kegagalan negara (state failure) adalah sangat tepat untuk
mendapatkan vonis sebagai penyebab mencuatnya krisis yang lebih serius dalam area
yang lebih luas dan saling berhimpit.
Di Indonesia, persoalan campur tangan negara dalam urusan alokasi dan
distribusi kesejahteran secara tersirat adalah bersifat keharusan

konstitusionil.

Negara Indonesia 17 Agustus 1945 pada dasarnya adalah negara yang mengusung
gagasan negara kesejahteraan atau wellfare State sesuai pembukaan UUD 1945 yang
sejak awal telah menegaskan gagasan Negara kesejahteraan. Sebagaimana naskah asli
pembukaan itu menyatakan. “…Pemerintah Negara Indonesia Merdeka jang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memadjukan ketertiban umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

Imran Thahir 17

melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial,…”.
Terutama dalam pandangan Ir. Soekarno selaku founding father Indonesia yang
melihat kesejahteraan sebagai sesuatu yang sangat urgens bagi kemerdekaan bangsa.
Dalam sebuah pidatonya menegaskan bahwa,
“…prinsip kesedjahteraan, prinsip: tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia
Merdeka ... Maka oleh karena itu djikalau kita memang betul-betul mengerti,
mengingat, mentjintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal
sociale rechtvaardigheid ini, jaitu bukan sadja persamaan politiek. Saudarasaudara, tetapi pun diatas lapangan ekonomi kita harus mengadakan
persamaan, artinja kesedjahteraan bersama jang sebaik-baiknya.”53
Akan tetapi pada kenyataannya, problem kemiskinan adalah persoalan kesejahteraan
umum yang masih menjadi masalah pelik yang dihadapi Indonesia hingga sekarang
ini. Sampai dengan tahun 2011 seperti dalam Tabel 1.1, tingkat kemiskinan nasional
telah dapat diturunkan menjadi 12,49 persen dari 13,33 persen di Tahun 2010.54 Akan
tetapi, angka kemiskinan nasional ini

dianggap tetap tinggi mengingat jumlah

penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan masih pada kisaran hampir tiga
puluh juta jiwa yang masih tidak beruntung. Perihal ini sudah jelas bertolak belakang
dengan prinsip kesejahteraan yang ingin diwujudkan dalam negara nasional
Indonesia.
Rangkaian data dan fakta menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia hingga Maret
2012 jumlah penduduk miskin turun menjadi 29,13 juta, turun dari 30,02 juta per
Maret 2011. Secara persentase, tingkat kemiskinan per Maret 2012 menjadi 11,96
persen, membaik dari 12,49 persen. Dibandingkan dengan data pada 1990 persentase
kemiskinan sebesar 15,1 persen atau setara 27,2 juta penduduk kala itu. Pada 2010,
persentase penduduk miskin sebesar 13,33 persen atau sebesar 31,02 juta jiwa dan
sedikit berkurang lagi pada 2012 menajdi 11, 9 persen. Jadi, selama 20 tahun terakhir
53
54

G. McT. Kahin log cit, halaman 75-76.
Laporan BPS;2012

Imran Thahir 18

dapat dikatakan bahwa telah ada kemajuan untuk menekan angka kemiskinan akan
tetapi kelihatannya bahwa persentase penduduk miskin tidak banyak mengalami
penurunan dan kondisi kesejahteraan rata-rata tidak membaik dengan meningkatnya
jumlah penduduk yang miskin. Kelihatannya persentase kemiskinan menurun akan
tetapi dibarengi peningkatan jumlah penduduk miskin akibat peningkatan populasi
penduduk.

20.00

0.45
0.40
16.00
0.35
0.30
12.00
0.25
0.20
8.00
0.15
0.10
4.00
0.05
0.00
0.00
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
tingkat kemiskinan
rasio gini

Rasio Gini

Kemiskinan dan GDP (%)

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Indeks Gini, 2002-2011

pertumbuhan GDP

Sumber: diolah dari berbagi Laporan BPS
Selain itu pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan stabilitas
pertumbuhan (GDP) antara 2002-2011, tetapi juga memperlihatkan semakin
melebarnya kesenjangan sosial yang ditunjukkan dengan besaran indeks Gini (gini
ratio). Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
stabil dalam beberapa tahun terakhir justeru menjadi lahan yang subur bagi
peningkatan ketimpangan pendapatan. Rasio Gini (yang menjadi alat ukur

Imran Thahir 19

ketimpangan pendapatan dari skala 0 sampai 1) menunjukkan peningkatan. Pada
tahun 1990, rasio gini Indonesia masih 0,29, lalu pada 2002 Rasio Gini meningkat
menjadi 0,32. Keadaan tersebut semakin parah pada 2010 yang telah melesat menjadi
0,38 (makin tinggi berarti kian timpang). Bahkan, pada 2011 Rasio Gini Indonesia
mencetak rekor baru menjadi 0,41 (Tabel 1).
Data tersebut menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya Rasio Gini di
Indonesia masuk dalam ketimpangan menengah, angka di bawah 0,4 menunjukkan
ketimpangan rendah. Rasio gini menunjukkan proporsi penduduk yang menikmati
pendapatan dan kekayaan dan Indeks gini 0,41 menunjukkan bahwa 1 persen
penduduk menguasai hingga 41 persen total kekayaan di Indonesia. Semakin
melebarnya kesenjangan kesejahteraan tersebut adalah ironis sebab semenjak
Indonesia melakukan pembangunan secara sistematis sejak 1966 tidak pernah angka
Gini Rasio menembus 0,4 yang berarti bahwa proses pembangunan makin
terkonsentrasi pada sekelompok kelas ekonomi saja, yaitu kelas menengah ke atas.
Perihal ini pula mengindikasikan bahwa setelah 15 tahun reformasi, ketimpangan
ekonomi semakin lebar.55
Realitas kemiskinan di Indonesia tersebut di atas tidak dapat dipisahkan dengan
arena politik sebab berkaitan dengan persoalan kemiskinan secara konteks dan
kebijakan politik. Terminologi politik kemiskinan (politics of Poverty) adalah identik
dengan kelahiran konsep negara kesejahteraan dengan argumentasi bahwa negara
kesejahteraan adalah pertama dan terutama sebagai political artifact atau bagian dari
sejarah dan kompromi politik berkaitan dengan isu kemiskinan.56
III. Konteks Politik Reformasi Jamsosnas
Telah dijelaskan dan diuaraikan di atas, bahwa proses reformasi system jaminan
sosial di Indonesia melalui formulasi kebijakan (policy formulation) dalam proses
politik yakni terutama dalam proses legislasi di lembaga perwakilan rakyat, DPR55

Laporan utama Harian Kompas “Ketimpangan Makin Lebar”, Selasa 21 May 2013
Robert E. Goodin. The_Political Theory of the Welfare State. New Jersey, Priceton University
Press, 1988 halaman 3
56

Imran Thahir 20

MPR RI. Proses legislasi tersebut melalui beberapa tahap penyusunan peraturan yang
dimulai dengan amandemen pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 (tahun 2000),
Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang system jaminan sosial nasional, dan
Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Ketiga formulasi perundang-undangan tersebut melalui proses politik
dengan berbagai konteks politik yang berlainan. Perbedaan konteks politik terutama
dilatarbelakangi oleh penyusunan perundang-undangan dengan latar politik yang
berbeda. Amandemen pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 dan penyusunan
Undang-Undang No 40 Tahun 2004 disusun dan diputuskan oleh lembaga legislatif
dan lembaga eksekutif hasil pemilu 1999 yang berbeda dengan konteks politik
penyusunan Undang-Undang No 24 Tahun 2011 yakni disusun dibawah formasi
politik hasil pemilu tahun 2009.
Konteks politik hasil pemilu 1999 dan 2009 tidaklah sama jika didasarkan pada
jumlah partai politik yang berpartisipasi dalam masing-masing pemilu dan akhirnya
yang berhasil lolos dan mendudukkan wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. Seperti diketahui bahwa pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai
politik dengan berbagai latar belakang ideologis dan akhirnya hanya 21 partai politik
yang berhasil mendulang kursi di DPR-RI. Sedangkan pemilu 2009 diikuti oleh 38
partai politik nasional dan menghasilkan hanya 9 partai politik yang meraih kursi di
DPR-RI. Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1, komposisi Sembilan partai politik
teratas perolehan suaranya memperlihatkan konfigurasi partai yang jauh berbeda
antara pemilu 1999 dan pemilu 20098. Misalnya dari sisi pemenang pemilu, pada
pemilu 1999 dimenangkan oleh PDIP dengan 153 kursi sedangkan Pemilu 2009
justeru dimenangkan oleh Partai Demokrat dengan perolehan 148 kursi.

Tabel 2. Perbandingan Perolehan Suara Sembilan Partai Teratas Pemilu 1999
Dan 2009

Imran Thahir 21

Uru- Pemilu 1999
Partai Politik
tan

Perolehan

Kursi DPR
1
PDIP
153
2
Golkar
120
3
PPP
59
4
PKB
51
5
PAN
35
6
PBB
13
7
Partai Keadilan
6
8
PKP
6
9
PNU
3
Sumber: diolah dari berbagai sumber57

Pemilu 2009
Partai Politik

Perolehan

Partai Demokrat
Partai Golkar
PDI Perjuangan
PKS
PAN
PPP
PKB
Gerindra
Hanura

Kursi DPR
148
106
94
57
46
38
28
26
17

Dari gambaran sekilas di atas dapat mengindikasikan bahwa corak kompetisi dan
pertarungan politik pada arena legislatif di dua periode pemilihan tersebut tidaklah
sama akibat perbedaan jumlah partai politik dan perbedaan keragaman partai politik
yang terdapat di lembaga tersebut. Sisi pertarungan politik dalam DPR-RI 1999-2004
yang nyaris memperlihatkan kompetisi ideologis terutama akibat pertarungan pada
agenda amandemen pertama UUD 45 mengenai posisi Piagam Jakarta dalam
konstitusi. Selain itu, pertikaian politik yang melibatkan kekuatan-kekuatan politik di
berbagai arena politik yang akhirnya berujung dengan dimaksulkannya Gus Dur dan
naiknya Megawati Soekarnoputri ke kursi RI-1 sangat jelas akan berpengaruh kuat
pada perjalanan reformasi jamsosnas tersebut.
Perbedaan konteks politik di balik reformasi Jamsosnas tersebut sudah jelas akan
memberikan konsekuensi pada proses legislasi untuk menyusun aturan perundangundangannya. Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan atau proses
legislasi seperti pada reformasi Jamsosnas tersebut merupakan rangkaian formulasi
kebijakan (policy formulation) melalui proses demokratis yang melibatkan aktoraktor politik seperti partai politik dan termasuk politisi-politisi yang ada di

57

Tabel di atas diadaftasi dari Tempo (19 Maret 2004) dan Kompas (16 Oktober 2009)

Imran Thahir 22

dalamnya.58 Proses demikian mutlak dipahami sebagai konsekuensi dari pilihan
sistem dan mekanisme demokratis. Sebagaimana sepatutnya dalam proses formulasi
kebijakan dalam mekanisme demokrasi, partai-partai politik tersebut berkompetisi
untuk memperjuangkan kepentingan politik (political articulation) sesuai dengan
flatform atau manifesto partai politik masing-masing.
Dalam teori penyusunan kebijakan demokratis yang menyatakan bahwa tuntutan
masyarakat dijembatani oleh system kepartaian yang kompetitif. 59 Dengan demikian
bahwa demokrasi modern yang identik dengan demokrasi perwakilan menyiratkan
adanya kompetisi partai politik untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat yang
diwakilinya. Oleh karena itu, kongruensi antara apa yang dinyatakan oleh partaipartai dan apa yang dilakukan oleh pemerintah menjadi penting dalam demokrasi
perwakilan.60 Dengan kata lain bahwa dalam kompetisi politik antar partai-partai di
parlemen seharusnya dapat menggambarkan kompetisi untuk menentukan atau
membatasi tindakan atau kebijakan pemerintah.
Lebih lanjut seperti yang diungkapkan oleh Harry S. Truman yang mantan
Presiden Amerika Serikat bahwa platform-platform partai merupakan kontrak dengan
rakyat,61 maka selayaknya bahwa kompetisi partai atau fraksi di legislatif dibatasi
oleh flatform politik dari masing-masing-masing partai. Atau dengan kata lain bahwa
eksistensi partai di parlemen adalah perjuangan politik merelisasikan maksud dari
flatform partai politik masing-masing dalam kebijakan pemerintahan ataupun
tercermin dalam regulasi politik melalui formulasi peraturan perundang-undangan
serta komposisi prioritas anggaran negara.
Dalam teori pengambilan keputusan demokratis, corak kompetisi politik di
lembaga legislative dikenal tiga model kompetisi yakni model mandat, model agenda

58

Paul Pennings, Hans Keman and Jan Kleinnijenhuis. Doing Research in Political Science. London,
Sage, 2006 Hal 184
59
Klingemann, Hans-Dieter and Dieter Fuchs ed. Citizens and the State Oxford: Oxford University
Press.Fuch and Klingermann 1993
60
Klingerman Ibid, Hal 1
61
Ibid hal 11

Imran Thahir 23

dan model ideologis.62 Model agenda lebih mencerminkan bahwa dalam kompetisi
politik di parlemen oleh partai-partai besar berkecenderungan berubah penekanan
programatisnya sesuai dengan perkembangan situasi lingkungannya, sehingga dua
atau lebih partai besar dapat menerjemahkan penekanan programatisnya dalam
prioritas kebijakan yang sama.63 Model mandat lebih mencerminkan bahwa kompetisi
politik berhenti sampai kepada pemilihan umum yang pemenangnya menentukan
kebijakan sesuai dengan yang ditawarkannya kepada pemilih dan mengesampingkan
program dan agenda kebijakan partai-partai politik yang kalah dalam pemilu.64
Sedangkan model ideologis lebih mencerminkan bahwa kompetisi partai-partai yang
lebih menekankan pertarungan yang didasarkan pada ideology masing-masing partai
dengan basis yang kurang lebih abadi.65 Ketiga model kompetisi politik ini dalam
pengamatan di berbagai negara nyatanya tidak dijalankan secara parsial, namun
terkadang dengan variasi antar ketiga model kompetisi tersebut.66
Akan tetapi, persaingan atau kompetisi politik dalam legislatif di Indonesia
berkecenderungan tidak menunjukkan pola-pola kompetitif seperti yang dijelaskan
dalam model-model persaingan partai politik sesuai yang diuraikan di atas. Misalnya
penelitian tentang perilaku legislatif di Indonesia justeru memperlihatkan bahwa para
anggota legislatif lebih menunjukkan perilaku oportunistik dan lebih menonjolkan
kepentingan pribadi (self interest) oleh masing-masing politisi.67 Oleh kalangan
politikus di lembaga legislatif cenderung dimanfaatkan sebagai arena untuk
menumpuk kekayaan melalui permainan anggaran dan berbagai peluang yang
mengarah kepada transaksi politis. Sehingga tidak heran jika menyeruak berbagai
kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif atau anggota Banggar di
DPR-RI dengan berbagai latar belakang fraksi atau partai politik. Kasus-kasus
62

Ibid hal 80-99
Ibid
64
Ibid
65
Ibid
66
Ibid
67
Disertasi Syukri Abdullah, Perilaku Oportunistik Legislatif dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya. Sekolah Pascasarjana UGM (Tidak Dipublikasikan) 2012
63

Imran Thahir 24

penyelewengan sumberdaya finansial tersebut lebih menegaskan bahwa terdapatnya
distorsi kepentingan rakyat dalam proses politik.
Terdapat pula studi lainnya yang menunjukkan bahwa keberadaan partai-partai
politik di Indonesia dalam dua periode pemilu antara 1999-2004 dan 2004-2009 lebih
memperlihatkan bahwa adanya kerjasama antara berbagai partai untuk membagi
sumber-sumber keuangan di pemerintahan dan parlemen untuk kepentingan partainya
masing-masing.68 Kenyataan tersebut lebih menegaskan sikap opurtunistik partai
sehingga partai tidak lagi mewakili segmen-segmen yang ada di masyarakat dan
menjadi kepentingan dirinya sendiri.69 Oleh Katz dan Meir kenyataan politik seperti
itu disebut sebagai kartelisasi politik.70 Dan reformasi Jamsosnas dapat juga
tersandera oleh konteks politik kartel tersebut dengan indikasi lambannya penuntasan
proses legislasi di DPR. Politik transaksionis dapat dianggap tidak terelakkan dalam
proses tersebut mengingat besarnya mobilisasi finansial dalam pembiayaan programprogram Jamsosnas nantinya.
Berbeda dengan di Indonesia, isu kesejahteraan justeru menjadi arena kompetisi
politik yang intensif di berbagai negara demokratis yang didasarkan perbedaan yang
lebih bersifat ideologis. Seperti yang terlihat dalam kasus reformasi jaminan sosial di
Amerika Serikat pada masa Presiden Bill Clinton (1996) dan terakhir oleh
pemerintahan Presiden Obama (2013) yang k