Religi Dan Budaya Suku Dani Di Papua

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya
yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan
mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain
dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya
terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan
sungai Nin serta suku Simai.

Daftar isi
 1 Pengertian Suku Asmat
o 1.1 Kondisi Alam
o 1.2 Pertentangan
o 1.3 Persebaran
o 1.4 Kampung Asmat
o 1.5 Ciri Fisik
o 1.6 Mata Pencaharian
 1.6.1 Makanan Pokok
o 1.7 Pola Hidup
o 1.8 Cara Merias Diri
o 1.9 Ada istiadat suku asmat
o 1.10 Unik
o 1.11 Rumah Adat

o 1.12 Agama
o 1.13 Kepercayaan Dasar
 1.13.1 Roh-roh dan Kekuatan Magis
o 1.14 Sumber Alam dan Potensi Alam
o 1.15 Wanita Dalam Pandangan Suku Asmat
o 1.16 Bencana Yang Di Waspadai
o 1.17 Mitologi
o 1.18 Upacara Adat
o 1.19 Kepustakaan
o 1.20 Bibliografi
o 1.21 Pranala luar

Pengertian Suku Asmat
Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di antara sekian
banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang membuat suku
asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa
ornamen / motif yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan
patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang
dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu, seringkali juga
ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai

sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi
penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara
mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.

Kondisi Alam
Wilayah yang mereka tinggali sangat unik.Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring
laba-laba sungai.Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri
dengan nama Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau Distrik.Hampir setiap hari hujan
turun dengan curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap hari juga pasang surut laut masuk
kewilayah ini,sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan
berlumpur.Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk diatas tanah yang
lembek.Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini.Orang yang berjalan
harus berhati-hati agar tidak terpeleset,terutama saat hujan.

Pertentangan
Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara
yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya
dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk
dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya.
Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan. Namun hal ini sudah jarang

terjadi bahkan hilang resmi dari ingatan.

Persebaran
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan pegunungan
jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah
hutan belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata
sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua
itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat
sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak,
palu, dan sebagainya.

Kampung Asmat
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung
punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara
adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang
mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup
di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.

Ciri Fisik
Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit hitam dan berambut

keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat wanita sekitar 162 cm
dan tinggi badan laki-laki mencapai 172 cm.

Mata Pencaharian

Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang
lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak
dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu
binatang hutan seperti, ular, kasuari, burung, babi hutan dll. mereka juga selalu meramuh /
menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk
dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah.
Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama untuk mencari makan,
dengan cara berburu maupun berkebun, yang tentunya masih menggunakan metode yang
cukup tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan
istimewa bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang
ikan atau daging binatang hasil buruan.
Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga
bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan
karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit
menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu,

dan sebagainya.

Makanan Pokok
Makanan Pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka makan sagu yang dibuat
jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain adalah makan ulat sagu
yang hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah,ditaburi
sagu,dan dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap.
Namun yang memprihatinkan adalah masalah sumber air bersih.Air tanah sulit didapat karena
wilayah mereka merupakan tanah berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa
sebagai air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Pola Hidup
Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku asmat,mereka merasa dirinya
adalah bagian dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam
sekitarnya, bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran
dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar
menggambarkan kaki mereka

Cara Merias Diri
Suku asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka. mereka hanya

membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna
putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. sedangkan warnah hitam
mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. cara menggunakan pun cukup simpel,
hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan
untuk mewarnai tubuh.

Ada istiadat suku asmat

Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya para
Misionaris pembawa ajaran baru, maka mereka mulai mengenal agama lain selain agam
nenek-moyang. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama,
seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam. Seperti masyarakat pada umumnya, dalam
menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui berbagai proses,
yaitu :
 Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik
agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.
 Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara
sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang
terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun
atau 3 tahun.

 Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah
berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak
mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas
kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu
Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka
pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang
melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
 Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan
dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat
umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa
Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.

Unik
Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di
ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di
ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita
suku ini hingga berumur 5 tahun.

Rumah Adat
Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25 meter.Sampai

sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat
Pedalaman.Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun rumah tinggal diatas
pohon.

Agama
Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik,Protestan,dan Animisme yakni suatu ajaran dan
praktek keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung. Bagi Suku
Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual mereka.Setiap ritual ini diadakan,dapat

dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan. (Kal Muller,Mengenal
Papua,2008,hal.31)

Kepercayaan Dasar
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari dunia mistik
atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin
bila nenek moyangnya pada jaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah
pegunungan. Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat tiga
macam roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang jahat namun mati.
Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam di Teluk Flamingo, dewa itu bernama
Fumuripitis. Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam

berbagai macam roh yang mereka bagi dalam 3 golongan.
 Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
 Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
 Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar menyangkut
seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti
berikut ini :






Mbismbu (pembuat tiang)
Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
Yamasy pokumbu (upacara perisai)
Mbipokumbu (Upacara Topeng)

Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan

mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka,
demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat
patung dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta
perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.

Roh-roh dan Kekuatan Magis
 Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Mereka memiliki
kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang
semuanya disebut dengan setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori :
1. Setan yang membahayakan hidup. Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh
orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan
perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang
membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup. Setan dalam kategori ini dianggap oleh
masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya

saja suka menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh
yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang
disebut sebagai yi-ow

 Kekuatan magis dan Ilmu sihir
Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan adalah
dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan
sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan,
dan pemburuan binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang
curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan
kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan
topan.

Sumber Alam dan Potensi Alam
Selain ikan,cucut,kepiting,udang,teripang,ikan penyu,cumi-cumi,dan hewan lainnya yang
melimpah ruah.Daerah Asmat juga memiliki sumber daya alam yang amat luar biasa,seperti :
rotan,kayu,gahar,kemiri,kulit masohi,kulit lawang,damar,dan kemenyan.

Wanita Dalam Pandangan Suku Asmat
Simbolisasi perempuan dengan Flora & Fauna yang berharga bagi masyarakat Asmat (pohon/
kayu,kuskus,anjing,burung kakatua dan nuri,serta bakung),seperti kata Asmat
diatas,menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat menempatkan perempuan
yang sangat berharga bagi mereka.Hal ini tersirat juga dalam berbagai seni ukiran dan
pahatan mereka.Namun dalam gegap gempitanya serta kemasyuran pahatan dan ukiran
Asmat.Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan gadis Asmat yang tak terdengar dari
dunia luar.
Derita perempuan Asmat menjadi pelakon tunggal dalam menghidupi suku tersebut.Setiap
harinya mereka harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-anaknya,mulai dari
mencari ikan,udang,kepiting,dan tembelo sampai kepada mencari pohon sagu yang
tua,menebang pohon sagu,menokok,membawa sagu dari hutan,memasak dan
menyajikan.Setelah itu mencuci tempat makanan atau tempat masak termaksud mengambil
air dari telaga atau sungai yang jernih untuk keperluan minum keluarga.
Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati makanan yang
disediakan istrinya,mengisap tembakau,dan berjudi.Kadang suami membuat rumah atau
perahu,namun dengan batuan istri.Ada pula suami yang mau menemani istrinya mencari kayu
bakar.Sayangnya mereka hanya benar-benar menemani.Mendayung perahu,menebang
kayu,dan membawanya pulang adalah tugas istri.Suami yang cukup berbaik hati akan
membantu membawakan kapak istrinya.
Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya seperti sagu atau ikan,maka istri akan
menjadi korban luapan kemarahan.Jika mereka kalah judi,maka istri pula yang akan dijadikan
obyek kekesalan.Mereka yang tinggal di Agats,kini terbiasa pula untuk mabuk,mereka lebih

rentan untuk mengamuk,sehingga istripun yang akan lebih banyak menerima tindak
kekerasan.
Kadangkala laki-laki Asmat mengukir,jika mereka ingin tau atau jika hendak
menyelenggarakan pesta.Ketika laki-laki mengukir,maka tugas perempuan akan semakin
bertambah.Perempuan harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain yang
diinginkan suami mereka agar dapat terus bertenaga untuk mengukir.Semakin lama laki-laki
mengukir,semakin banyak pula makanan yang harus mereka sediakan.Hal itu berarti akan
semakin lelah perempuan Asmat,karena harus memangur,meramah,dan mengolah sagu,dan
bahkan menjaring ikan,lebih tragisnya lagi,jika ukiran itu dijual,maka uangnya hanya untuk
suami yang membuatnya,perempuan Asmat tidak menerima imbalan apapun untuk jerih
payahnya menyediakan makanan. Padahal tanpa makanan itu,satu ukiranpun tidak akan
selesai dibuat.(Dewi Linggasari,2004,Yang Perkasa Yang Tertindas. Potret Hidup Perempuan
Asmat.Yogyakarta : Bigraf Publishing,bekerjasama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan
The Fourt Foundation.Hal.22).

Bencana Yang Di Waspadai
Bencana bagi Suku Asmat kurang lebih ada 3,yaitu ;
 Penyakit Malaria
 Buaya
 HIV/AIDS
Setelah virus HIV/AIDS marak di Asmat dan mulai merenggut korban jiwa,semakin
bertumpuk daftar persoalan yang harus dihadapi PEMDA dan seluruh masyarakat
Asmat.Sebagai sebuah Kabupaten baru yang tengah sibuk-sibuknya melakukan pembenahan
infrastruktur dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka menyelenggarakan sebuah
pemerintahan baru,dalam berbagi aspek,berjangkitnya HIV/AIDS ini merupakan sebuah
pukulan telak yang bakal menyedot dana,waktu,tenaga,dan pikiran dari segenap komponen
masyarakat Asmat,instansi-instansi terkait dalam jajaran pemerintahan Kabupaten Asmat
khususnya dan sudah pasti butuh Pemerintah Pusat perlu segera mengambil langkah-langkah
penanggulanggannya.

Mitologi
Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun
dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap
hari. Menururt keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di
suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di
tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam
mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya
Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya
raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang
terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang
mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung
Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew
dan mengukir dua patug yang sangat indah serta membuat sebuah genderang em, yang sangat
kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan

sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak
lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian
menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat.

Upacara Adat
Ritual/ Upacara suku Asmat yaitu
 Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi
mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka
percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang
baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih
karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian
orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau
terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan
kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang
sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan
dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia.
Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian
mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan
dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk
dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit
sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha
untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani
mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang
dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam
pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan
tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan
keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di
sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk
utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada
saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis
setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis
rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan
menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang
lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah
disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya
dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan
dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya
bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam
kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu

yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung
panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan
seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan
beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa
menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian.
Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di
hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur,
keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
 Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses
pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon
dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap
untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali
penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat
mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa
itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air,
maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya.
Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu.
Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang
berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan
seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah
berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau
berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu.
Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru
bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh
di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan
penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri
dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan
merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan
semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang
saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan
pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh
dengan maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap
berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan
makanan.
 Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab
berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu

keluarga. Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah
mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga
dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih
6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama
pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut
dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang
sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada
waktu upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini,
wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya.
Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan
makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang
telah meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di
muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu
berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu
diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas
suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan
akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan
agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga
memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan.
Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
 Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je).
Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini
dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat
nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang
akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk.
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri
oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan
upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.

Kepustakaan
 Koentjaraningrat (1998) Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta
 Koentjaraningrat (1980) Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press
 Sudarman, Dea (1993) Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Jakarta:
Delata

Bibliografi
 http;//www.scribd.com/Suku_Asmat/5-11-2011
 http;//www.ksupointer.com/Suku_Asmat_Sosok_Budaya_Indonesia_diPapua/5-112011
 http;//www.lestariweb.com/Indonesia/Papua_People_Asmat/5-11-2011

Pranala luar
 (Indonesia) Kisah Suku Asmat
 (Indonesia) Suku Di Papua