Pengertian dan Golongan Pestisida Organik

BAB I
PENDAHULUAN
Pestisida ini telah digunakan dalam berbagai bidang kehidupan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu di bidang-bidang pertanian,
kehutanan, perikanan, perindustrian, rumah tangga, gedung-gedung, transportasi,
pariwisata, dokumentasi, kesehatan masyarakat dan lain-lain (Munaf, 1997).
Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak terkendali seringkali memberikan
risiko keracunan pestisida bagi penggunanya. Risiko keracunan pestisida ini terjadi
karena penggunaan pestisida pada lahan pertanian. Penggunaan pestisida dengan
dosis besar dan dilakukan secara terus-menerus akan menimbulkan beberapa
kerugian, antara lain residu pestisida akan terakumulasi pada produk-produk
pertanian, pencemaran pada lingkungan pertanian, penurunan produktivitas,
keracunan pada hewan, keracunan pada manusia yang berdampak buruk
terhadap kesehatan. Manusia akan mengalami keracunan baik akut maupun kronis
yang berdampak pada kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 1-5 juta
kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian dengan tingkat kematian
mencapai 220.000 korban jiwa. Sekitar 80% keracunan dilaporkan terjadi di negaranegara sedang berkembang (Runia, 2008). Berbagai masalah yang timbul seperti
keracunan dan pencemaran yang semkain meningkat seiring dengan peningkatan
penggunaan pestisida. Pemerintah telah berusaha mengantisipasi berbagai
kemungkinan yang mungkin timbul, yakni dengan dikeluarkannya Peraturan

Pemerintah No.tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan
Penggunaan Pestisida. Terdapat 500 formulasi pestisida yang telah didaftarkan dan
mendapat izin dari Menteri Pertanian, 13 diantaranya tergolong dalam pestisida
terbatas (relatif sangat berbahaya). Import pestisida mencapai 3.000 ton/tahun,
sedangkan kapasitas produksi 16 formulator pestisida yang ada di Indonesia adalah
27.000 ton/tahun. Penggunaan pestisida terbesar adalah di sector pertanian, yakni
55% dari penyedian pestisida (Munaf, 1997).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Formulasi Pestisida
Menurut Butarbutar (2009), pestisida dalam bentuk teknis (technical grade) sebelum
digunakan perlu diformulasikan dahulu. Formulasi pestisida merupakan pengolahan
(processing) yang ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat yang berhubungan
dengan keamanan, penyimpanan, penanganan (handling), penggunaan, dan

keefektifan pestisida. Pestisida yang dijual telah diformulasikan sehingga untuk
penggunaannya pemakai tinggal mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam
manual. Menurut Munaf (1997), yang dimaksud dengan formulasi (formulated
product), ialah komposisi dan bentuk pestisida yang dipasarkan. Pestisida yang

terdapat dipasaran umumnya tidaklah merupakan bahan aktif 100%, karena selain
zat pengisi atau bahan tambahan yang tidak aktif 100%, karena selain zat pengisi
atau bahan tambahn yang tidak aktif (inert ingridient) juga da yang berisi campuran
dari 2 atau lebih pestisida.
Menurut Djojosumarto dalam Runia (2008), produk jadi yang merupakan campuran
fisik antara bahan aktif dan bahan tambahan yang tidak aktif dinamakan formulasi.
Formulasi sangat menentukan bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi
tertentu harus digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa
frekuensi dan interval penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida
dengan formulasi tersebut dapat digunakan secara efektif.
Selain itu, formulasi pestisida juga menentukan aspek keamanan penggunaan
pestisida dibuat dan diedarkan dalam banyak macam formulasi, sebagai berikut:
1. Formulasi Padat
a. Wettable Powder (WP),
merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran partikel beberapa mikron) dengan kadar
bahan aktif relatif tinggi (50-80%), yang jika dicampur dengan air akan membentuk
suspensi. Pengaplikasian WP dengan cara disemprotkan. Contohnya: Basimen 235.

b. Soluble Powder (SP),
merupakan formulasi berbentuk tepung yang jika dicampur air akan membentuk

larutan homogen. Digunakan dengan cara disemprotkan. Contohnya Dowpon M.

c. Butiran atau Granule (G),
umumnya merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi bahan aktif rendah
(sekitar 2%). Ukuran butiran bervariasi antara 0,7-1 mm. Pestisida dicampur degan
bahan pembawa, seperti tanah liat, pasir, tongkol jagung yang ditumbuk. Pestisida
butiran umumnya digunakan dengan cara ditaburkan di lapangan (baik secara
manual maupun dengan mesin penabur). Contoh: Lannate 2 D.

d. Water Dispersible Granule (WG atau WDG), berbentuk butiran tetapi
penggunaannya sangat berbeda. Formulasi WDG harus diencerkan terlebih dahulu
dengan air dan digunakan dengan cara disemprotkan.

e. Soluble Granule (SG), mirip dengan WDG yang juga harus diencerkan dalam air
dan digunakan dengan cara disemprotkan. Bedanya, jika dicampur dengan air, SG
akan membentuk larutan sempurna.

f. Tepung Hembus, merupakan sediaan siap pakai (tidak perlu dicampur dengan air)
berbentuk tepung (ukuran partikel 10-30 mikron) dengan konsentrasi bahan aktif
rendah (2%) digunakan dengan cara dihembuskan (dusting).


g. Pekatan debu atau Dust concentrate. Kadarnya biasnya antara 25-75%.

h. Umpan atau Bait (B). Bahan aktif pestisida dicampurkan dengan bahan pembawa.
Biasa terdapat dalam bentuk bubuk, pasta, dan butiran. Penggunaannya
dicampurkan dengan bahan makanan yang disukai hewan sasaran. Contoh: Zink
Fosfit (umpan bubuk), Klerat RM.

i. Tablet, terdapat dalam 2 bentuk:
1) Tablet yang bila terkena udara akan menguap menjadi fumigant, yang umumnya
digunakan untuk gudang-gundang atau perpustakaan. Contoh: Phostoxin tablet.
2) Tablet yang pada pengunaannya memerlukan pemanasan. Uap dari hasil
pemanasan dapat membunuh atau mengusir hama (nyamuk). Contoh: Fumakkila.

j. Padat lingkar. Biasa digunakan dengan membakar. Contoh: obat nyamuk bakar
Moon Deer 0,2 MC.

2. Formulasi Cair
a. Emulsifiable Concentrate atau Emulsible Concentrate (EC), merupakan sediaan
berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan bahan aktif yang cukup

tinggi. Oleh karena menggunakan solvent berbasis minyak, konsentrat ini jika
dicampur dengan air akan membentuk emulsi (butiran benda cair yang melayang
dalam media cair lainnya). Bersama formulasi WP, formulasi EC merupakan
formulasi klasik yang paling banyak digunakan saat ini. Menurut Butarbutar (2009),
EC (emulsible atau emulsifiable concentrates) adalah larutan pekat pestisida yang
diberi emulsifier (bahan pengemulsi) untuk memudahkan penyampurannya yaitu
agar terjadi suspensi dari butiran-butiran kecil minyak dalam air. Suspensi minyak
dalam air ini merupakan emulsi. Bahan pengemulsi adalah sejenis detergen (sabun)

yang menyebabkan penyebaran butir-butir kecil minyak secara menyeluruh dalam
air pengencer. Secara tradisional insektisida digunakan dengan cara penyemprotan
bahan racun yang diencerkan dalam air, minyak, suspensi air, dusting, dan butiran.
Penyemprotan merupakan cara yang paling umum, mencakup 75% dari seluruh
pemakaian insektisida, yang sebagian besar berasal dari formulasi Emulsible
Concentrates. Bila partikel air diencerkan dalam minyak (kebalikan dari emulsi)
maka hal ini disebut emulsi invert. EC yang telah diencerkan dan diaduk hendaknya
tidak mengandung gumpalan atau endapan setelah 24 jam. Contoh: grothion 50 EC,
Basudin 60 EC

b. Water Soluble Concentrate (WCS), merupakan formulasi yang mirip dengan EC,

tetapi karena menggunakan sistem solvent berbasis air maka konsentrat ini jika
dicampur air tidak membentuk emulsi, melainkan akan membentuk larutan
homogen. Umumnya formulasi ini digunakan dengan cara disemprotkan. Contoh:
Azidrin 15 WSC.
c. Aquaeous Solution (AS), merupakan pekatan yang bisa dilarutkan dalam air.
Pestisida yang diformulasi dalam bentuk AS umumnya yang dimorfulasikan dalam
bentuk garam herbisida asam yang memiliki kelarutan tinggi dalam air. Pestisida
yang diformulasi dalam bentuk ini digunakan dengan cara disemprotkan. Contoh: 2metil-4-klorofenoksiasetat (MCPA) dan 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D).
d. Soluble Liquid (SL), merupakan pekatan cair. Jika dicampur air, pekatan cair ini
akan membentuk larutan. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprotkan.

e. Ultra Low Volume (ULV), merupakan sediaan khusus untuk penyemprotan dengan
volume ultra rendah, yaitu volume semprot antara 1-5 liter/hektar. Formulasi ULV
umumnya berbasis minyak karena untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah
digunakan butiran semprot yang sangat halus.
f. Pekatan dalam minyak (Oil concrentrat) adalah formulais cair yang berisi bahan
aktif dalam kosentrasi tinggi yang dilarutkan dalam pelarut hidrokarbon aromatik
seperti xilin atau nafta. Penggunaannya biasa diencerkan dengan pelarut
hidrokarbon yang lebih murah (missal solar), baru disemprotakan atau dikabutkan
(fogging). Contoh: Sevin 4 Oil.

g. Formulasi aerosol. Dalam hal ini pestisida dilarutkan dalam elarut organik, dalam
kosentrasi rendah dimasukkan dalam kaleng berisi gas yang bertekanan, dikemas
dalam bentuk aerosol siap pakai. Contoh: Flygon aerosol.
h. Bentuk cair yang mudah menguap (liquefied gases). Pestisida ini terdapat dalam

bentuk gas yang dimanpatkan pada tekanan tertentu dalam suatu kemasan.
Penggunaannya ialah dengan cara fumigasi ke dalam ruangan atau tumpukan bahan
makanan atau penyuntikan ke dalam tanah. Contoh: Methyl bromide.
3. Kode Formulasi pada Nama Dagang
Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif pestisida dicantumkan di belakang
nama dagangnya. Adapun prinsip pemberian nama dagang sebagai berikut:

a. Jika diformulasi dalam bentuk padat, angka di belakang nama dagang
menunjukkan kandungan bahan aktif dalam persen. Sebagai contoh herbisida
Karmex 80 WP mengandung 80% bahan aktif. Insektisida Furadan 3 G berarti
mengandung bahan aktif 3%.

b. Jika diformulasi dalam bentuk cair, angka di belakang nama dagang menunjukkan
jumlah gram atau mililiter (ml) bahan aktif untuk setiap liter produk. Sebagai contoh,
fungisida Score 250 EC mengandung 250 ml bahan aktif dalam setiap liter produk

Score 250 EC.

c. Jika produk tersebut mengandung lebih dari satu macam bahan aktif maka
kandungan bahan-bahan aktifnya dicantumkan semua dan dipisahkan dengan garis
miring. Sebagai contoh, fungisida Ridomil Gold MZ 4/64 WP mengandung bahanbahan aktif metalaksil-M 4% dan mankozeb 64% dan diformulasi dalam bentuk WP.
B. Toksisitas Pestisida
1. Bahaya Pestisida
Walaupun pestisida ini mempunyai manfaat yang cukup besar pada masyarakat,
namun dapat pula memberikan dampak negative pada manusia dan lingkungan.
Pada manusia pestisida dapat menimbulkan keracunan yang dapat mengancam jiwa
manusia atau menimbulkan penyakit atau cacat. Dapat dikatakan bahwa tidak satu
pun zat kimia yang tanpa resiko, namun dapat digunakan dengan aman dan efektif
bila cara memegang, menggunakan, menyimpan, transportasi sesuai dengan
petunjuk atau aturan yang tertera pada label dalam wadah atau pembungkus dari
pabrik yang memproduksinya.
Gambar 2.12. Mekanisme Keracunan Pestisida

2. Toksisitas Akut Pestisida
Besarnya daya racun suatu pestisida dinilai dari toksiksitasnya. Toksiksitas akut


pestisida dapat dinyatakan dengan 2 simbol, yaitu: LD 50 (Lethal Dose 50) atau LC
50 (Lethal Concentration 50) ialah kadar atau kosentrasi pestisida yang diperkirakan
dapat membunuh 50 persen binatang percobaan. Satuannya ialah mg bahan aktif
suatu pestisida per kg berat badan binatang percobaan (mg/kg). Penentuaan
toksiksitas akut pestisida dapat digunakan bintang percobaan: tikus putih, anjing,
burung atau ikan. Dikatakan bahwa tikus secara biologis mempunyai sifat sama
seperti manusia, sehingga dapat diasumsikan bahwa sensitivitas pada tikus relatif
sama dengan manusia.
Toksiksitas pestisida sangat tergantung pada cara masuknya pestisida ke dalam
tubuh. Pada penentuan toksiksitas pestisida per oral, pestisida diberikan melalui
makanan dan diperoleh LD 50 oral, dan yang melalui kulit diperoleh LD 50 dermal,
dan bila pemaparan melalui air atau udara (terhisap) ditentukan LC 50 selama 24
jam, 48 jam, 96 jam, dan seterusnya (lama waktu pemaparan). LC umumnya
dinyatakan dalam ppm (part per million) atau ppb (part per bilion).

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan toksiksitas suatu
pestisida ialah:
a. Route pemakaian atau pemaparan per oral, dermal, inhalasi.
b. Untuk LC 50 perlu dinyatakan berapa lama waktu pemaparan, biasanya dipakai
waktu 24 jam, 48 jam, atau 96 jam.

c. Pestisida umunya dinyatakan dalam bentuk bahan aktif tunggal, dan jarang sekali
sebagai bahan formula.
d. Toksiksitas yang ditetapkan bersifat akut, bukan toksiksitas kronis.
e. Semakin kecil angka toksiksitas suatu pestisida semakin toksik (semkain kuat efek
toksiknya).
f. Nilai LD 50 atau LC 50 akan berubah bila bercampur dengan bahan kimia yang
tidak toksik, tetapi bersifat sinergis atau antagonis terhadap bahan aktif.
g. Pencampuran dengan bahan sinergis mengakibatkan pestisida tersebut semakin
toksik (LD 50 semkin kecil), dan sebaliknya dengan bahan antagonis akan
menurunkan toksiksitasnya.

3. Toksikologi Pestisida
a. Organofosfat
Contoh produk antara lain: diazinon, fention, dikholorfost, dimetoat, malation, TH.
Biasanya digunakan sebagai insektisida untuk pembasmi hama tanaman. OP
merupakan antikholinesterase menetap yang bekerja memfosforilasi enzim
kolinesterase secara menetap, sehingga enzim ini tidak dapat aktif lagi. Enzim ini
berfungsi menghidrolisis neurotrasmiter asetilkolin (ACh) menjadi kolin (tidak aktif)
dan asam asetat. Pada keracunan, karena hamper semua enzim tersebut tidak aktif,
terjadi penumpukan Ach dalam sinaps koliergik yang menimbulkan gejala


perangsangan terus-menerus saraf muskarinik dan nikotinik. Semua jenis OP
diabsorbsi dengan baik melalui oral, inhalasi, maupun kulit yang sehat. Gejala
keracunan OP muncul dengan cepat (beberapa menit sampai beberapa jam) dan
rangkaian gejala sangan progresif. Gejala permulaan berupa enek, muntah, rasa
lemah, sakit kepala, dan gangguan penglihatan. Gejala SSP berupa ataksia,
hilangnya refeks, bingung, sukar bicara, kejang disusul paralisis otot pernapasan
sehingga dapat menimbulkan kematian.

b. Karbamat
Contoh dari karbamat yaitu: carbaryl, carbofuran, cartab. Karabamat digunakan
sebagai insektisida. Seperti halnya dengan OP karbamat juga merupakan
antikolinesterase, tetapi inaktivasi enzim kolinesterase oleh karbamat hanya bersifat
sementara karena reaksinya reversible. Sebagian insektisida karbamat diserap
dengan baik melalui oral, inhalsi, dan kulit yang sehat. Diantaranya juga banyak
yang tidak diserap melaui kulit, tetapi peringatan yang sama tetap berlaku karena
ada diantaranya yang toksiknya sama dengan insektisida OP yang paling toksik.
Gejala keracunan sama dengan insektisida OP, tetapi gejala ini tidak berlangsung
lama. Meskipun gejala keracunannya cepat menghilang, tetapi karena munculnya
cepat dan menhebat dengan cepat, kematian tetap dapat terjadi, terutama karena
depresi pernapasan yang tidak cepat mendapat pertolongan.

c. Organoklorin
Contoh dari organoklorin yaitu aldrin, chlordane, DDT. Semua OC diserap dengan
baik melalui oral, inhalasi, dan kulit yang sehat. Pada para pekerja yang terpapar
OC, keracunan yang terjadi biasanya akibat absorbs melalui kulit dan terakumulasi
dalam tubuh. Gejala keracunan akut muncul 20 menit sampai 12 jam, dengan gejala
sentral berupa kejang epileptiform yang kadang didahului malaise, sakit kepala,
enek, muntah, termor, fasikulasi otot lengan dan tungkai, serta menurunya
kesadaran. Gejala keracunan kronis biasanya terjadi pada para pekerja yang
terpapar OC, berupa gejela-gejala aspesifik seperti sakit kepala, pusing, mengantuk,
susah tidur, tidak dapat memusatkan pikiran dan kelemahan.

d. Rodentisida Antikoagulan (AC)
Produk komersial yang termasuk rodentisida AC diantaranya brodifakum,
kumatetraril, difasinon. Penggunaan rodentisida antikoagulan sebagai rodentisida
untuk membasmi tikus. Antikoagulam merupakan penghambat kompetitif vitamin K
dalam sintesis faktor-faktor pembekuan darah (faktor II protrombin, faktor VII, XI dan
X di dalam hati), sehingga terjadi penururnan kadar faktor-faktor tersebut dalam
darah dan terjadi gangguan mekanisme koagulasi darah. Setelah beberapa waktu

akan terjadi pengososngan faktor-faktor tersebut dalam sirkulasi darah yang
berakibatterjadinya perdarahan. Dalam toksik AC menimbulkan perdarahan di dalam
tubuh, dan inilah yang mendasari kerjanya sebagai rodentisida dan toksisitasnya
pada manusia. Kerja ini dapat diantagonisir oleh vitamin K1. AC hanya menimbulkan
keracunan bila tertelan, karena rodentisida hanya dapat diserap malalui saluran
cerna. Gejala keracunan rodentisida segera setelah makan terjadi rasa tidak enak
dan muntah, akan tetapi pada beberapa kasus gejala tidak terlihat dalam beberapa
hari sebelum gejala keracunan sebenarnya terlihat. Gejala dan tanda yang khas
terjadi akibat meningkatnya kecenderungan perdarahan yang dapatberupa
perdarahan pada hidung, saluran cerna dan gusi, perdarahan pada air kemih dan
tinja.

e. Rodentisida Seng Fosfid (ZP)
Penggunaan rodentisida seng fosfid ini adalah untuk racun tikus. ZP tersedia dalam
bentuk bubuk berwarna hitam seperti bubuk arang. Efek toksik seng fosfid (ZP)
didasarkan atas terbentuknya fosfin (hydrogen fosfiddPH3), suatu gas yang sangat
toksik. Gas ini terbentuk bila ZP bereaksi dengan asam kuat, misalnya dengan asam
lambung. Oleh karena itu ZP hanya menimbulkan keracunan bila ZP tertelan atau
bila terinhalasi gas fosfin yang terbentuk dari ZP yang terkena atau tercampur
dengan asam kuat. Bila ZP tertelan maka akan timbul gejala enek, muntah, sesak
napas, dan dapat merusak pembuluh darah. Bila gas fofin terinhalasi timbul rasa
nyeri di daerah diafragma, sesak napas, rasa lemah, tremor, kejang, dan udema
paru yang dapat menyebabkan kematian.

f. Senyawa Piretroid
Contoh produk komersial piretroid antara lain Cypermethrin, Deltamethrin, dan
Fenvalerate. Penggunaan senyawa piretroid adalah untuk insektisida. Tanda dan
gejala keracunan akibat senyawa piretroid diantaranya iritasi mukosa saliva, rasa
nyeri local pada muka, dan efek ini bersifat reversibel dan tidak memerlukan
pengobatan khusus.

g. Senyawa Dinitrofenolik
Contoh produk dari senyawa ini antara lain DNOC (Dinitro-cresol), Binapacryl, dan
Dinoseb. Cara kerja dinitrofenol ini akan mengganggu proses fosforilasi oksidatif dan
keracunan terjadinya karena kecepatan metabolisme meningkat secara mendadak.
Gejala keracunan dapat berupa tremor, pernapasan cepat, berkeringat, insomnia,
gelisah, haus, suhu tubuh meningkat, takikardi dan kelemahan. Kulit yang menadi
kuning dan adanya warna kuning pada sclera menunjukkan adanya pemaparan
dengan dinitrofenol.

C. Penanganan Pestisida
Usaha atau tindakan pencegahan yang perlu dilakukan dalam pemakaian pestisida
adalah (Wikipedia, 2011):
1. Mengetahui dan memahami dengan yakin tentang kegunaan suatu pestisida.
Jangan sampai salah berantas. Misalnya, herbisida jangan digunakan untuk
membasmi serangga. Hasilnya, serangga yang dimaksud belum tentu mati,
sedangkan tanah dan tanaman telah terlanjur tercemar.
2. Mengikuti petunjuk-petunjuk mengenai aturan pemakaian dan dosis yang
dianjurkan pabrik atau petugas penyuluh.
3. Jangan terlalu tergesa-gesa menggunakan pestisida. Tanyakan terlebih dahulu
pada penyuluh.
4. Jangan telat memberantas hama, bila penyuluh telah menganjurkan
menggunakannya.
5. Jangan salah dalam memakai pestisida. Lihat faktor lainnya seperti jenis hama
dan kadang-kadang usia tanaman juga diperhatikan.
6. Menggunakan tempat khusus untuk pelarutan pestisida dan jangan sampai
tercecer.
7. Memahami dengan baik cara pemakaian pestisida.

Pengamanan pengelolaan pestisida adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan
untuk mencegah dan menanggulangi keracunan dan pencemaran pestisida terhadap
manusia dan lingkungannya. Perlengkapan pelindung pestisida terdiri dari
(Prijanto, 2009):
1. Pelindung kepala (topi)
2. Pelindung mata (goggle)
3. Pelindung pernapasan (repirator)
4. Pelindung badan (baju overall/apron)
5. Pelindung tangan (glove)
6. Pelindung kaki (boot).

Persyaratan pembuangan dan pemusnahan limbah pestisida sebagai
berikut:
1. Sampah pestisida sebelum dibuang harus dirusak/dihancurkan terlebih dahulu
sehingga tidak dapat digunakan lagi.
2. Pembuangan sampah/limbah pestisida harus ditempat khusus dan bukan di
tempat pembuangan sampah umum.
3. Lokasi tempat pembuangan dan pemusnahan limbah pestisida harus terletak
pada jarak yang aman dari daerah pemukiman dan badan air.
4. Pembuangan dan pemusnahan limbah pestisida harus dilaksanakan melalui
proses degradasi atau dekomposisi biologis termal dan atau kimiawi.

Menekan risiko dan menghidari dampak negatif penggunaan pestisida bagi
pengguna, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Peraturan Perundangan
2. Pendidikan dan Latihan
3. Peringatan Bahaya
4. Penyimpanan Pestisida
5. Tempat Kerja
6. Kondisi Kesehatan Pengguna
7. Peralatan Pelindungan (Djojosumarto dalam Prijanto, 2009).

Pengertian dan Penggolongan Pestisida

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pestisida (sida, cide = racun) sampai kini masih merupakan salah satu cara utama yang digunakan
dalam pengendalian hama. Yang dimaksud hama di sini adalah sangat luas, yaitu serangga,
tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria
dan virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran mikroskopis), siput,
tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan (Diana, 2009).
Di Indonesia pestisida banyak digunakan baik dalam bidang pertanian maupun kesehatan. Di
bidang pertanian pemakaian pestisida dimaksudkan untuk meningkatkan produksi pangan.
Banyaknya frekuensi serta intensitas hama dan penyakit mendorong petani semakin tidak bisa
menghindari pestisida. Di bidang kesehatan, penggunaan pestisida merupakan salah satu cara
dalam pengendalian vektor penyakit. Pengguaan pestisida dalam pengendalian vektor penyakit
sangat efektif diterapkan terutama jika populasi vektor penyakit sangat tinggi atau untuk
menangani kasus yang sangat menghawatirkan penyebarannya (Munawir, 2005).
Pestisida merupakan racun yang mempunyai nilai ekonomis terutama bagi petani. Pestisida
memiliki kemampuan membasmi organisme selektif (target organisme), tetatpi pada praktiknya
pemakian pestisida dapat menimbulkan bahaya pada organisme non target. Dampak negatif
terhadap organisme non target meliputi dampak terhadap lingkungan berupa pencemaran dan
menimbulkan keracunan bahkan dapat menimbulkan kematian bagi manusia (Tarumingkeng,
2008).
Pernyataan serupa diungkapkan oleh Quijano at all (2001), penggunaan pestisida memang
memberikan keuntungan secara ekonomis, namun juga memberikan kerugian diantaranya residu
yang tertinggal tidak hanya pada tanaman, tapi juga air, tanah dan udara, Penggunaan terusmenerus akan mengakibatkan efek resistensi berbagai jenis hama.
Hal tersebut di atas dapat terjadi terutama jika pestisida digunakan secara tidak tepat baik pada

cara, dosis maupun organisme sasarannya. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang lebih
mendalam tentang pestisida.
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pestisida
2. Mengetahui jenis-jenis atau penggolongan pestisida
______________________________________________________________________________
A. Pengertian Pestisida
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida yang berasal dari kata caedo
berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh
hama..Secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai bahan yang digunakan untuk
mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung
maupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia (Sartono, 2001). USEPA dalam
Soemirat (2005) menyatakan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan
untuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan,
tanaman, dan mikroorganisme penggangu.
Pengertian pestisida menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 dalam Kementrian
Pertanian (2011) dan Permenkes RI No.258/Menkes/Per/III/1992 adalah semua zat kimia
dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagianbagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan
3. Mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan atau ternak
5. Memberantas atau mencegah hama-hama air
6. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam bangunan
rumah tangga alat angkutan, dan alat-alat pertanian
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan tanaman, tanah dan
air.
Menurut PP RI No.6 tahun 1995 dalam Soemirat (2005), pestisida juga didefinisikan
sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh dan perangsang tubuh, bahan lain,
serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman.
Sementara itu, The United States Environmental Control Act dalam Runia (2008)
mendefinisikan pestisida sebagai berikut :
1. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk
mengendalikan, mencegah atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat,
nematoda, gulma, virus, bakteri, serta jasad renik yang dianggap hama; kecuali virus,
bakteri, atau jasad renik lain yang terdapat pada hewan dan manusia.
2. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur
pertumbuhan atau mengeringkan tanaman.
Menurut Depkes (2004) dalam Rustia (2009), pestisida kesehatan masyarakat adalah
pestisida yang digunakan untuk pemberantasan vektor penyakit menular (serangga, tikus)

atau untuk pengendalian hama di rumah-rumah, pekarangan, tempat kerja, tempat umum
lain, termasuk sarana nagkutan dan tempat penyimpanan/pergudangan. Pestisida terbatas
adalah pestisida yang karena sifatnya (fisik dan kimia) dan atau karena daya racunnya,
dinilai sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan lingkungan, oleh karenanya hanya
diizinkan untuk diedarkan, disimpan dan digunakan secara terbatas.
B. Penggolongan Pestisida
Pestisida mempunyai sifat-sifat fisik, kimia dan daya kerja yang berbeda-beda, karena itu dikenal
banyak macam pestisida. Pestisida dapat digolongkan menurut berbagai cara tergantung pada
kepentingannya, antara lain: berdasarkan jasad sasaran yang akan dikendalikan, berdasarkan
cara kerja, berdasarkan struktur kimianya, asal dan sifat kimia, berdasarkan bentuknya dan
pengaruh fisiologisnya.
1. Jenis Pestisida Menurut Jasad Sasaran

Menurut Kementrian Pertanian (2011), ditinjau dari jenis jasad yang menjadi sasaran penggunaan
pestisida dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain:
a. Akarisida,
berasal dari kata akari, yang dalam bahasa Yunani berarti tungau atau kutu. Akarisida sering juga
disebut Mitesida. Fungsinya untuk membunuh tungau atau kutu. Contohnya Kelthene MF dan

Trithion 4 E.
b. Algasida,
berasal dari kata alga, bahasa latinnya berarti ganggang laut, berfungsi untuk membunuh algae.
Contohnya Dimanin.
c. Alvisida,
berasal dari kata avis, bahasa latinnya berarti burung, fungsinya sebagai pembunuh atau penolak
burung. Contohnya Avitrol untuk burung kakaktua.
d. Bakterisida,
Berasal dari katya latin bacterium, atau kata Yunani bakron, berfungsi untuk membunuh bakteri.
Contohnya Agrept, Agrimycin, Bacticin, Tetracyclin, Trichlorophenol Streptomycin.
e. Fungsida,
berasal dari kata latin fungus, atau kata Yunani spongos yang artinya jamur, berfungsi untuk
membunuh jamur atau cendawan. Dapat bersifat fungitoksik (membunuh cendawan) atau
fungistatik (menekan pertumbuhan cendawan). Contohnya Benlate, Dithane M-45 80P, Antracol
70 WP, Cupravit OB 21, Delsene MX 200, Dimatan 50 WP.
f. Herbisida,
berasal dari kata lain herba, artinya tanaman setahun, berfungsi untuk membunuh gulma.
Contohnya Gramoxone, Basta 200 AS, Basfapon 85 SP, Esteron 45 P
g. Insektisida,
berasal dari kata latin insectum, artinya potongan, keratan segmen tubuh, berfungsi untuk
membunuh serangga. Contohnya Lebaycid, Lirocide 650 EC, Thiodan, Sevin, Sevidan 70 WP,
Tamaron
h. Molluskisida,
berasal dari kata Yunani molluscus, artinya berselubung tipis atau lembek, berfungsi untuk
membunuh siput. Contohnya Morestan, PLP, Brestan 60.
i. Nematisida,
berasal dari kata latin nematoda, atau bahasa Yunani nema berarti benang, berfungsi untuk
membunuh nematoda. Contohnya Nemacur, Furadan, Basamid G, Temik 10 G, Vydate.
j. Ovisida,
berasal dari kata latin ovum berarti telur, berfungsi untuk merusak telur.

k. Pedukulisida,
berasal dari kata latin pedis, berarti kutu, tuma, berfungsi untuk membunuh kutu atau tuma.
l. Piscisida,

berasal dari kata Yunani Piscis, berarti ikan, berfungsi untuk membunuh ikan. Contohnya Sqousin
untuk Cypirinidae, Chemish 5 EC.
m. Predisida,
berasal dari kata Yunani Praeda berarti pemangsa, berfungsi sebagai pembunuh predator.
n. Rodentisida,
berasal dari kata Yunani rodere, berarti pengerat berfungsi untuk membunuh binatang pengerat.
Contohnya Dipachin 110, Klerat RMB, Racumin, Ratikus RB, Ratilan, Ratak, Gisorin.
o. Termisida,
berasal dari kata Yunani termes, artinya serangga pelubang kayu berfungsi untuk membunuh
rayap. Contohnya Agrolene 26 WP, Chlordane 960 EC, Sevidol 20/20 WP, Lindamul 10 EC, Difusol
CB.
p. Silvisida,
berasal dari kata latin silva berarti hutan, berfungsi untuk membunuh pohon atau pembersih
pohon.
q. Larvasida,
berasal dari kata Yunani lar, berfungsi membunuh ulat (larva). Contohnya Fenthion, Dipel
(Thuricide).
2. Pestisida berdasarkan cara kerjanya
Dilihat dari cara kerja pestisida tersebut dalam membunuh hama dapat dibedakan lagi menjadi
tiga golongan, yaitu (Soemirat, 2005):
a. Racun perut
Berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran memakan pestisida. Pestisida yang
termasuk golongan ini pada umumnya dipakai untuk membasmi serangga-serangga pengunyah,
penjilat dan penggigit. Daya bunuhnya melalui perut. Contoh: Diazinon 60 EC.
b. Racun kontak
Berarti mempunyai daya bunuh setelah tubuh jasad terkena pestisida. Organisme tersebut terkena
pestisida secara kontak langsung atau bersinggungan dengan residu yang terdapat di permukaan
yang terkena pestisida. Contoh: Mipcin 50 WP.
c. Racun gas
Berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran terkena uap atau gas. Jenis racun yang
disebut juga fumigant ini digunakan terbatas pada ruangan ruangan tertutup.

3. Pestisida Berdasarkan Struktur Kimia
Menurut Pohan (2004), jika dilihat dari segi struktur kimianya, pestisida dibagi atas:
a. Orgahochlorine
Pestisida jenis ini mengandung unsur-unsur Carbon, Hidrogen, dan Chlorine. Misal : DDT

b. Orgahoposphate
Pestisida yang mengandung unsur : P, C, H misal : tetra ethyl phyro posphate (TEPP )
c. Carbamate
Pestisida yang mengandung gugus Carbamate. Misal : Baygon, Sevin dan Isolan.
d. Lain-Lain
Diluar ketiga jenis diatas, pestisida ini mengandung senyawa organik, serychin, senyawa sulphur
organik dan dinytrophenol.
Sedangkan menurut Dep.Kes RI Dirjen P2M dan PL 2000 dalam Diana (2009), berdasarkan
struktur kimianya pestisida dapat digolongkan menjadi :
a. Golongan organochlorin
Pestisida organochlorin misalnya DDT, Dieldrin, Endrin dan lain-lain. Umumnya golongan ini
mempunyai sifat: merupakan racun yang universal, degradasinya berlangsung sangat lambat larut
dalam lemak.
b. Golongan organophosfat
Pestisida organophosfat misalnya diazonin dan basudin. Golongan ini mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut : merupakan racun yang tidak selektif degradasinya berlangsung lebih cepat atau
kurang persisten di lingkungan, menimbulkan resisten pada berbagai serangga dan memusnahkan
populasi predator dan serangga parasit, lebih toksik terhadap manusia dari pada organokhlor.
c. Golongan carbamat termasuk baygon, bayrusil, dan lain-lain.
Golongan ini mempunyai sifat sebagai berikut : mirip dengan sifat pestisida organophosfat, tidak
terakumulasi dalam sistem kehidupan, degradasi tetap cepat diturunkan dan dieliminasi namun
pestisida ini aman untuk hewan, tetapi toksik yang kuat untuk tawon.
d. Senyawa dinitrofenol misalnya morocidho 40EC.
Salah satu pernafasan dalam sel hidup melalui proses pengubahan ADP (Adenesone-5diphosphate) dengan bantuan energi sesuai dengankebutuhan dan diperoleh dari rangkaian
pengaliran elektronik potensial tinggi ke yang lebih rendah sampai dengan reaksi proton dengan
oksigen dalam sel. Berperan memacu proses pernafasan sehingga energi berlebihan dari yang
diperlukan akibatnya menimbulkan proses kerusakan jaringan.
e. Pyretroid
Salah satu insektisida tertua di dunia, merupakan campuran dari beberapa ester yang disebut
pyretrin yang diekstraksi dari bunga dari genus Chrysanthemum. Jenis pyretroid yang relatif stabil
terhadap sinar matahari adalah : deltametrin, permetrin, fenvalerate. Sedangkan jenis pyretroid
yang sintetis yang stabil terhadap sinar matahari dan sangat beracun bagi serangga adalah :
difetrin, sipermetrin, fluvalinate, siflutrin, fenpropatrin, tralometrin, sihalometrin, flusitrinate.
f. Fumigant
Fumigant adalah senyawa atau campuran yang menghasilkan gas atau uap atau asap untuk
membunuh serangga , cacing, bakteri, dan tikus. Biasanya fumigant merupakan cairan atau zat
padat yang murah menguap atau menghasilkan gas yang mengandung halogen yang radikal (Cl,
Br, F), misalnya chlorofikrin, ethylendibromide, naftalene, metylbromide, formaldehid, fostin.

g. Petroleum
Minyak bumi yang dipakai sebagai insektisida dan miksida. Minyak tanah yang juga digunakan
sebagai herbisida.
h. Antibiotik
Misalnya senyawa kimia seperti penicillin yang dihasilkan dari mikroorganisme ini mempunyai efek
sebagai bakterisida dan fungisida.
Sedangkan menurut Prijanto (2009), berdasarkan jenis bentuk kimianya dapat digolongkan
menjadi :
a. Organofosfat
Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain : Azinophosmethyl, Chloryfos,
Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion, Parathion,
Diazinon, Chlorpyrifos.
Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II. Pada awal sintesisnya
diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif
sebagai insektisida, tetapi juga cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan
ditemukan komponen yang protein terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia seperti
malathion, tetapi masih sangat toksik terhadap insekta.

Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida lainnya dan sering
menyebabkan keracunan pada manusia. Bila tertelan, meskipun hanya dalam jumlah sedikit,
dapat menyebabkan kematian pada manusia.
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel
darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis acetylcholine
menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine
meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan
perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh
bagian tubuh.

Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul sangat bergantung
pada adanya stimulasi asetilkholin persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat
maupun perifer. Gejala awal seperti salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare (SLUD) terjadi pada
keracunan organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga
kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot polos.
b. Karbamat
Insektisida karbamat berkembang setelah organofosfat. Insektisida ini biasanya daya toksisitasnya
rendah terhadap mamalia dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat efektif untuk
membunuh insekta. Pestisida golongan karbamat ini menyebabkan karbamilasi dari enzim asetil
kholinesterase jaringan dan menimbulkan akumulasi asetil kholin pada sambungan kholinergik
neuroefektor dan pada sambungan acetal muscle myoneural dan dalam autonomic ganglion, racun
ini juga mengganggu sistem saraf pusat.
Struktur Karbamat dapat dilihat di bawah ini :

Struktur karbamat seperti physostigmin, ditemukan secara alamiah dalam kacang Calabar (calabar
bean). Bentuk carbaryl telah secara luas dipakai sebagai insektisida dengan komponen aktifnya
adalah SevineR.
Mekanisme toksisitas dari karbamat adalah sama dengan organofosfat, dimana enzim achE
dihambat dan mengalami karbamilasi.
c. Organoklorin
Organoklorin atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok yang
diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling populer dan pertama kali disinthesis adalah
“Dichloro-diphenyl-trichloroethan” atau disebut DDT.

Mekanisme toksisitas dari DDT masih dalam perdebatan, walaupun komponen kimia ini sudah
disintesis sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya pengaruh toksiknya terfokus pada neurotoksin
dan pada otak. Saraf sensorik dan serabut saraf motorik serta kortek motorik adalah merupakan
target toksisitas tersebut. Dilain pihak bila terjadi efek keracunan perubahan patologiknya tidaklah
nyata. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat menyebabkan keracunan, hal
tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam. Perkiraan LD50 untuk manusia adalah 300-500
mg/Kg. DDT dihentikan penggunaannya sejak tahun 1972, tetapi penggunaannya masih
berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, bahkan sampai sekarang residu DDT masih dapat
terdeteksi. Gejala yang terlihat pada intoksikasi DDT adalah sebagai berikut: Nausea, vomitus,
paresthesis pada lidah, bibir dan muka, iritabilitas, tremor, convulsi, koma, kegagalan pernafasan,
kematian.
4. Pestisida berdasarkan asal dan sifat kimianya
Penggolongan pestisida menurut asal dan sifat kimia menurut Butarbutar (2009) adalah:
a. Hasil alam: Nikotinoida, Piretroida, Rotenoida dll.
b. Sintetik
1) Anorganik: garam-garam beracun seperti arsenat, flourida, tembaga sulfat dan garam merkuri.
2) Organik:
a) Organo khlorin: DDT, BHC, Chlordane, Endrin dll.
b) Heterosiklik: Kepone, mirex dll.
c) Organofosfat: malathion, biothion dll.
d) Karbamat: Furadan, Sevin dll.
e) Dinitrofenol: Dinex dll.
f) Thiosianat: lethane dll.
g) Sulfonat, sulfida, sulfon.
h) Lain-lain: methylbromida dll.

Sedangakn menurut Soemirat (2005) Klasifikasi pestisida menurut asal dan struktur atau golongan
zat kimianya antara lain:
a. Pestisida alamiah:
1) Pyrethum: Pyrethrin, Cinerin
2) Derris: Rotenon
b. Pestisida sintetik:
1) Senyawa halogen organik: DDT, Lindan
2) Senyawa fosfatester organik: Dichlorvos, Malathion
3) Senyawa karbamat : Prpoxur, Dimetilan
4) Derivat kumarin : Cumachlor
5) Senyawa Dinitrofenol : Dinobuton
Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka pestisida
dapat dibedakan ke dalam empat golongan yaitu:
a. Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia, contoh: organoklorin,
organofospat, dan karbamat.
b. Pestisida Nabati, yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, contoh: neem oil yang
berasal dari pohon mimba.
c. Pestisida Biologi, yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia, contoh: jamur,
bakteri atau virus.
d. Pestisida Alami, yaitu pestisida yang berasal dari bahan alami, contoh: bubur bordeaux.
5. Pestisida berdasarkan bentuknya
Dengan melihat bentuk fisiknya, pestisida digolongkan kedalam beberapa bentuk :
a. Tepung hembus
b. Tepung semprot ( Wetable Powder)
c. Minyak
d. Aerosol
e. Rook patroner
Sedangakan menurut Yuantari (2009) berdasarkan bentuk formulasi, pestisida dapat digolongkan
dalam bentuk:
a. Butiran (Granule=G)
Berbentuk butiran yang cara penggunaanya dapat langsung disebarkan dengan tangan tanpa
dilarutkan terlebih dahulu.
b. Tepung (Dust=D)
Merupakan tepung sangat halus dengan kandungan bahan aktif 1-2% yang penggunaanya dengan
alat penghembus (duster).
c. Bubuk yang dapat dilarutkan (wettable powder=WP)
Berbentuk tepung yang dapat dilarutkan dalam air yang penggunaanya disemprotkan dengan alat

penyemprot atau untuk merendam benih. Contoh: Mipcin 50 WP.
d. Cairan yang dapat dilarutkan
Berbentuk cairan yang bahan aktifnya mengandung bahan pengemulsi yang dapat digunakan
setelah dilarutkan dalam air. Larutannya berwarna putih susu tapi berwarna coklat jernih yang
cara penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot.
e. Cairan yang dapat diemulsikan
Berbentuk cairan pekat yang bahan aktifnya mengandung bahan pengemulsi yang dapat
digunakan setelah dilarutkan dalam air. Cara penggunaanya disemprotkan dengan alat
penyemprot atau di injeksikan pada bagian tanaman atau tanah. Contoh: Sherpa 5 EC.
f. Volume Ultra Rendah
Berbentuk cairan pekat yang dapat langsung disemprotkan tanpa dilarutkan lagi. Biasanya
disemprotkan dengan pesawat terbang dengan penyemprot khusus yang disebut Micron Ultra
Sprayer. Contoh: Diazinon 90 ULV.
g. Aerosol (A)
Aerosol merupakan formulasi yang terdiri dari campuran bahan aktif berkadar rendah dengan zat
pelarut yang mudah menguap (minyak) kemudian dimasukkan ke dalam kaleng yang diberi
tekanan gas propelan. Formulasi jenis ini banyak digunakan di rumah tangga, rumah kaca, atau
perkarangan.
h. Umpan beracun (Poisonous Bait = B)
Umpan beracun merupakan formulasi yang terdiri dari bahan aktif pestisida digabungkan dengan
bahan lainnya yang disukai oleh jasad pengganggu.
6. Pestisida berdasarkan pengaruh fisiologisnya
Menurut Yusniati (2008) dalam Diana (2009), pestisida juga diklasifikasikan berdasarkan pengaruh
fisiologisnya, yang disebut farmakologis atau klinis, sebagai berikut:
a. Senyawa Organofospat
Racun ini merupakan penghambat yang kuat dari enzim cholinesterase pada syaraf. Asetyl cholin
berakumulasi pada persimpangan-persimpangan syaraf (neural jungstion) yang disebabkan oleh
aktivitas cholinesterase dan menghalangi penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan otot-otot.
Golongan ini sangat toksik untuk hewan bertulang belakang.Organofosfat disintesis pertama kali di
Jerman pada awal perang dunia ke-II.
Bahan tersebut digunakan untuk gas syaraf sesuai dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada
awal sintesisinya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan
yang sangat efektif sebagai insektisida tetapi juga toksik terhadap mamalia. Penelitian
berkembang tersebut dan ditemukan komponen yang paten terhadap insekta tetapi kurang toksik
terhadap manusia (misalnya : malathion).
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering
menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat
menyebabkan kematian, tetapi diperlukan beberapa milligram untuk dapat menyebabkan

kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma
dan kholinesterase dalam sel darah merah. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu
± 2 minggu.

Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain
1) Asefat,
Diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan hama-hama
penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat
tanah), penggorok daun dan wereng. LD50 (tikus) sekitar 1.030 – 1.147 mg/kg; LD50 dermal
(kelinci) > 10.000 mg/kg menyebabkan iritasi ringan pada kulit (kelinci).
2) Kadusafos
Merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus) sekitar 37,1
mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan tidak menyebabkan
iritasi pada mata.
3) Klorfenvinfos
Diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta bekerja sebagai racun
kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang. LD50 (tikus) sekitar 10 mg/kg; LD50
dermal (tikus) 31 – 108 mg/kg.
4) Klorpirifos
Merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja sebagai racun
kontak, racun lambung, dan inhalasi. LD50 oral (tikus) sebesar 135 – 163 mg/kg; LD50 dermal
(tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.
5) Kumafos
Ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat non-sistemik untuk mengendalikan serangga
hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 – 41 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 860 mg/kg.

6) Diazinon
Pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan insektisida dan akarisida nonsistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi. Diazinon juga
diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment). LD50 oral (tikus) sebesar 1.250
mg/kg.
7) Diklorvos (DDVP)
Dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida ini bersifat non-sistemik,
bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi. Diklorvos memiliki efek knockdown
yang sangat cepat dan digunakan di bidang-bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta
insektisida rumah tangga.LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.
8) Malation
Diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pro-insektisida yang dalam proses
metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Insektisida
dan akarisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun lambung, serta memiliki
efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk
mengendalikan vektor penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg; LD50 dermal (kelinci)
4.100 mg/kg.
9) Paration
Ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang digunakan di lapangan
pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang disarankan oleh G. Schrader. Paration
merupakan insektisida dan akarisida, memiliki mode of action sebagai racun saraf yang
menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun
lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk insektisida yang sangat beracun, LD50 (tikus)
sekitar 2 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.
10) Profenofos
Ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini memiliki aktivitas
translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama
(terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472
mg/kg.
11) Triazofos
Ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida, dan nematisida
berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos bersifat nonsistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan tanaman (translaminar) dan digunakan
untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 57 – 59 mg/kg;
LD50 dermal (kelinci) > 2.000 mg/kg.
b. Senyawa Organoklorin
Golongan ini paling jelas pengaruh fisiologisnya seperti yang ditunjukkan pada susunan syaraf
pusat, senyawa ini berakumulasi pada jaringan lemak. Secara kimia tergolong insektisida yang
toksisitas relatif rendah akan tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun ini bersifat
mengganggu susunan syaraf dan larut dalam lemak. Contoh insektisida ini pada tahun 1874
ditemukan DDT (Dikloro Difenil Tri Kloroetana) oleh Zeidler seorang sarjana kimia dari Jerman.

Pada tahun 1973 diketahui bahwa DDT ini ternyata sangat membahayakan bagi kehidupan
maupun lingkungan, karena meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam
jaringan melalui rantai makanan. DDT sangat stabil baik di air, di tanah, dalam jaringan tanaman
dan hewan.
c. Senyawa Arsenat
Pada keadaan keracunan akut ini menimbulkan gastroentritis dan diare yang menyebabkan
kekejangan yang hebat sebelum menimbulkan kematian. Pada keadaan kronis menyebabkan
pendarahan pada ginjal dan hati.
d. Senyawa Karbamat
Merupakan ester asam N-metilkarbamat atau turunan dari asam karbamik HO-CO-NH2. Pengaruh
fisiologis yang primer dari racun golongan karbamat adalah menghambat aktifitas enzym
cholinesterase darah dengan gejala-gejala seperti senyawa organofospat, tetapi pengaruhnya jauh
lebih reversible dari pada efek senyawa organofosfat.
e. Piretroid
Piretroid merupakan senyawa kimia yang meniru struktur kimia (analog) dari piretrin. Piretrin
sendiri merupakan zat kimia yang bersifat insektisida yang terdapat dalam piretrum, kumpulan
senyawa yang di ekstrak dari bunga semacam krisan piretroid (bunga Chrysantheum
cinerariaefolium) memiliki beberapa keunggulan, diantaranya diaplikasikan dengan takaran relatif
sedikit, spektrum pengendaliannya luas, tidak persisiten, dan memiliki efek melumpuhkan yang
sangat baik. Namun karena sifatnya yang kurang atau tidak selektif, banyak piretroid yang tidak
cocok untuk program pengendalian hama terpadu. Insektisida tanaman lain adalah nikotin yang
sangat toksik secara akut dan bekerja pada susunan saraf. Piretrum mempunyai toksisitas rendah
pada manusia tetapi menimbulkan alergi pada orang yang peka.
BAB III
PENUTUP
Pengertian pestisida dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973, PP RI No.6 tahun
1995, The United States Environmental Control Act, USEPA. Secara sederhana pestisida dapat
diartikan sebagai pembunuh hama.
Pestisida dapat digolongkan menurut berbagai cara tergantung pada kepentingannya, antara lain:
berdasarkan jasad sasaran yang akan dikendalikan, berdasarkan cara kerja, berdasarkan struktur
kimianya, asal dan sifat kimia, berdasarkan bentuknya dan berdasarkan pengaruh fisiologisnya.
1. Jenis Pestisida Menurut Jasad Sasaran
a. Akarisida
b. Algasida
c. Alvisida
d. Bakterisida
e. Fungsida
f. Herbisida
g. Insektisida
h. Molluskisida
i. Nematisida
j. Ovisida

k. Pedukulisida
l. Piscisida
m. Predisida
n. Rodentisida
o. Termisida
p. Silvisida
q. Larvasida
2. Pestisida berdasarkan cara kerjanya
a. Racun perut
b. Racun kontak
c. Racun gas
d. Pestisida sistemik
3. Pestisida Berdasarkan Struktur Kimia
Berdasarkan struktur kimianya, pestisida dibagi atas Orgahochlorine, Orgahoposphate, Carbamat,
Pyretroid dan pestisida yang mengandung senyawa organik, serychin, senyawa sulphur organik
dan dinytrophenol.
4. Pestisida berdasarkan asal dan sifat kimianya
Penggolongan pestisida menurut asal dan sifat kimia adalah Hasil alam (alamiah) dan pestisida
sintetik yang terdiri. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka
pestisida dapat dibedakan ke dalam empat golongan yaitu pestisida sintetik, nabati, biologi, dan
pest