Menggunakan Televisi untuk Mengembangkan. doc
Menggunakan Televisi untuk Mengembangkan Minat Baca Anak?
Dua Model dari Amerika Serikat
Christopher A. Woodrich
International Indonesia Forum
Abstrak
Meskipun Indonesia memiliki sejarah kesusastraan yang panjang serta industri
penerbitan yang cukup aktif, masyarakat seakan tidak tertarik dengan membaca.
Banyak program sudah diterapkan oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah
untuk mengatasi masalah tersebut, tetapi hasilnya belum memadai. Karena itu,
pendekatan lain sangat diperlukan.
Makalah ini berargumentasi bahwa adaptasi dari karya sastra dapat mendukung
pendidikan literasi serta pembudayaan membaca di Indonesia. Untuk mendukung
argument tersebut, makalah ini membahas dua acara televisi dari Amerika Serikat:
Reading Rainbow (1983–2006) dan Wishbone (1995–2001). Kedua acara televisi
ini, yang banyak meraih penghargaan, menawarkan dua model untuk adaptasi
karya sastra—pembacaan langsung dan penyederhanaan—yang dapat diterapkan
di Indonesia sesuai dengan kebudayaan setempat. Diharapkan bahwa, melalui
adaptasi, anak-anak dapat lebih terlibat dalam proses belajar-mengajar dan lebih
menghargai dan menikmati dunia membaca.
Latar Belakang
Sejarah kesusastraan di Indonesia sudah dimulai setidaknya pada abad ke-9 Masehi,
ketika Kakawin Ramayana pertama kali ditulis (Coedès 1968, 128). Kini, industri penerbitan
di Indonesia tergolong cukup besar; sebanyak 1.317 penerbit terkumpul dalam Ikatan
Penerbit Indonesia, dan sekitar 40.000 buku diterbitkan di Indonesia setiap tahun. Pada
tahun 2013, pasar buku Indonesia bernilai 48,1 juta Euro ("Information on the Indonesian
book market"). Pada tahun 2015, ketika Indonesia menjadi tamu terhormat di Frankfurt
Book Fair, ada sebanyak 850 buku (dari kurang-lebih 300 pengarang) yang diterjemahkan
dari atau ke dalam bahasa Indonesia ("Terima Kasih Indonesia").
Meskipun demikian, Indonesia sering dinilai memiliki tingkat literasi serta minat
membaca yang rendah. Menurut survei yang dilaksanakan Program of International Student
Assessment pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-64 (dari 65 negara) dalam
kemampuan membaca siswa ("Low literacy"). Sementara itu, menurut survei yang
dilaksanakan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016, Indonesia
menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam "perilaku melek huruf" (literate behavior
characteristics) seperti akses perpustakaan dan minat membaca ("Indonesia ranks").
Kenyataan ini cukup problematis, mengingat bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan
dengan tingkat fanatisme dan penyensoran yang tinggi: tingkat literasi yang rendah
membuat orang takut dengan hal-hal yang baru, sehingga tidak mau menerima cara berpikir
lain ("Low literacy", "Societies with poor literacy").
Sejumlah program sudah dimulai oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah
untuk meningkatkan literasi dan membudayakan membaca. Sastra sudah dimasukkan ke
dalam kurikulum, dan sejak pertengahan tahun 2016 siswa SMA sudah diwajibkan membaca
di kelas selama lima belas menit setiap hari. Orang tua diharapkan dapat membantu anak
mereka mengembangkan minat membaca; menurut mantan Menteri Pendidikan Anies
Basweden, "gerakan [membaca] yang tersebar tidak akan terhenti, sebab ia tidak
berdasarkan perintah, bantuan dana, atau proyek, tetapi bersifat menular" ("Indonesia
ranks"). Namun, keberhasilan program-program seperti ini belum memuaskan, dan banyak
siswa masih beranggapan bahwa membaca itu tugas yang berat. 1 Karena itu, sangatlah
penting untuk menggunakan pendekatan lain, yang menggunakan rasa ingin tahu anak untuk
mendukung usaha peningkatan literasi.
Salah satu pendekatan yang dapat membantu ialah adaptasi, representasi cerita
(karya sastra, di sini) melalui film. Melalui proses ini, cerita dari karya sastra dapat
disampaikan kepada anak-anak dan pemuda-pemudi dan, dengan demikian, memancing
mereka untuk membaca (Moses, 2009). Untuk mendukung argumen ini, makalah ini
membahas Reading Rainbow (1983–2006) dan Wishbone (1996–2001), dua acara televisi
dari Amerika Serikat yang menerapkan dua model adaptasi yang berbeda untuk
meningkatkan literasi dan membudayakan membaca. Setelah menguraikan kedua acara
tersebut secara singkat, makalah ini merumuskan model-model adaptasi yang digunakan
serta beberapa halangan yang harus diatasi sebelum model-model tersebut dapat diterapkan
di Indonesia.
Reading Rainbow
Reading Rainbow merupakan acara televisi untuk anak-anak yang ditayangkan di
Public Broadcasting Service (PBS) dari tahun 1983 hingga tahun 2006 dan dibawa oleh
1
Misalnya, salah satu siswa penulis di Yogyakarta pernah mengakui bahwa ia telah membayar
seseorang sebanyak Rp 500.000 untuk menyelesaikan laporan buku yang dia tidak mau menulis sendiri. Dua
siswa lain menggunakan waktu "wajib membaca" untuk diam-diam mengerjakan PR atau belajar.
LeVar Burton, seorang aktor yang dikenal untuk perannya di serial Roots dan Star Trek: The
Next Generation. Reading Rainbow terdiri dari 155 episode. Dalam setiap episode, Burton
atau seorang tamu (seringnya seorang selebritis) membacakan suatu karya sastra anak secara
langsung. Ilustrasi dari buku yang dibaca juga dipajangkan ketika karya dibaca. Tema dari
buku yang dibacakan terus dikembangkan dalam beberapa bagian lain dari setiap episode,
misalnya melalui wawancara atau penjelasan mengenai topik yang berkaitan. Misalnya,
setelah buku Laura Numeroff If You Give a Mouse a Cookie (1985) dibacakan, bowling dan
domino digunakan untuk menjelaskan tema kausalitas dan rangkaian peristiwa.
Pada umumnya, karya-karya yang dibacakan di Reading Rainbow merupakan terbitan
baru, dimaksud untuk pembaca yang masih SD, dan cukup ringkas sehingga dapat dibaca
secara tuntas dalam waktu 10 menit. Selain If You Give a Mouse a Cookie (1985), karya yang
dibacakan termasuk buku cerita seperti Gila Monsters Meet You at the Airport (Marjorie W.
Sharmat, 1980) dan Little Nino's Pizzeria (Karen Barbour, 1987), serta puisi seperti All the
Colors of the Race (Arnold Adoff, 1982). Beberapa karya sastra anak terkenal, termasuk
karya-karya Dr. Seuss, tidak pernah dibacakan. Sebelum suatu buku dibacakan, PBS
memperoleh izin dari penerbit. Ada pula beberapa buku yang dibacakan kemudian diangkat
menjadi serial televisi oleh PBS, misalnya The Magic School Bus: Inside the Earth (Joanna
Cole, 1987), yang dibacakan pada tahun 1990 kemudian dijadikan bagian dari serial The
Magic School Bus pada tahun 1994, dan Arthur's Eyes (Marc Brown, 1979), yang dibacakan
pada tahun 1983 kemudian dijadikan bagian dari serial Arthur pada tahun 1996.
Pada bagian akhir dari setiap
episode Reading Rainbow, tiga resensi
buku disampaikan tiga anak (penonton
Reading Rainbow) melalui video. Anakanak tersebut dipilih melalui lomba
resensi buku tertulis yang diadakan di
perpustakaan-perpustakaan di Amerika
Serikat. Resensi dibaca dan dinilai juri,
dan anak-anak yang resensinya terseleksi
kemudian
diberi
kesempatan
untuk
merekam resensi mereka. Bagian ini
Bagan 1: Seorang anak meresensi buku di
Reading Rainbow
meningkatkan keterlibatan penonton dalam acara Reading Rainbow: anak-anak di seluruh
Amerika Serikat dapat menyampaikan pendapat mereka sendiri tentang buku yang dibaca
melalui siaran nasional. Pengalaman ini kerap dinilai berharga, dan banyak resensi sudah
diunggah ke YouTube oleh penulisnya (yang sudah tumbuh dewasa).
Reading Rainbow, yang diproduksi dengan dukungan para pendidik dan ahli anakanak, meraih lebih dari tiga puluh penghargaan selama ia ditayangkan, termasuk sejumlah
Daytime Emmy Awards for Outstanding Children's Series. Pada tahun 1997, survei yang
diadakan PBS menemukan bahwa para guru beranggapan bahwa acara televisi ini sangat
berguna untuk pendidikan (Raphael 2014). Rekaman Reading Rainbow sudah dijual dalam
bentuk DVD, dan sejumlah produk lain juga dapat dibeli.
Setelah Reading Rainbow dibatalkan PBS karena kekurangan dana, pada tahun 2010
Burton membeli hak atas Reading Rainbow dan menyatakan bahwa acara tersebut akan
diproduksi dan disiarkan secara independen. Dua tahun kemudian, Reading Rainbow
Skybrary diluncurkan di iPad (dan kemudian untuk platform lain). App ini kini menawarkan
lebih dari 500 buku anak-anak, 200 "field trip", serta sejumlah fitur lain kepada para
langganan.2 Kampanye Kickstarter pada tahun 2014 berhasil mengumpulkan $6.478.916 (dari
$1.000.000 yang hendak dikumpul). Uang ini digunakan untuk mengembangkan app Reading
Rainbow Skybrary dan memberikan fasilitas gratis kepada sekolah-sekolah yang kurang
mampu. Kenyataan bahwa lebih dari 100,000 orang menyumbangkan uang kepada Reading
Rainbow, dan bahwa nostalgia untuk acara ini dapat ditemukan secara luas di internet,
menunjukkan bahwa Reading Rainbow sudah memiliki dampak kultural yang sangat besar.
Wishbone
Wishbone merupakan serial televisi
yang ditayangkan di PBS dari tahun 1995
hingga tahun 2001. Serial ini, yang berlatar
Oakdale, Texas, menceritakan seekor anjing
bernama Wishbone dan pemiliknya, seorang
siswa SD yang bernama Joe Talbot. Tokoh
Wishbone merupakan daya tarik utama
serial ini: anjing sangat umum dipelihara di
Amerika Serikat dan bahkan dianggap
sebagai "teman terbaik manusia", dan jenis
Bagan 2: Wishbone, tokoh utama
dari series Wishbone
anjing yang dipilih—Jack Russell Terrier, yang panjangnya biasanya hanya 25–38 cm—tidak
2
Harga langganan, sampai bulan September 2016: $9.99 untuk satu bulan, $29.99 untuk enam bulan,
atau $49.99 untuk satu tahun.
menakutkan untuk anak-anak kecil. Kenyataan bahwa Wishbone dapat "berbicara" (dengan
suara Larry Brantley) dan menyampaikan pikirannya yang lucu juga berfungsi untuk
memikat penonton.
Setiap episode terdiri dari dua cerita yang mengalir secara paralel. Satu cerita
mengikuti petualangan Wishbone dengan Joe dan kawan-kawannya (misalnya mengikuti
Olimpiade Sains,3 atau menyelidiki suatu kejahatan4). Cerita lainnya merupakan adaptasi
singkat (biasanya tiga atau empat adegan) dari karya sastra terkenal, seperti Frankenstein
(Mary Shelley, 1818) atau The Hound of the Baskervilles (Sir Arthur Conan Doyle, 1902),
dengan Wishbone "memerankan" salah satu tokoh utama, misalnya Frankenstein atau
Sherlock Holmes. Kedua cerita memiliki tema yang serupa, yang sering mengajarkan
pelajaran penting kepada penonton, misalnya berbahayanya sains yang tidak terkontrol atau
pentingnya menyelidiki sesuatu sebelum mengambil kesimpulan. Pada bagian penghabisan
dari (hampir) setiap episode, Wishbone (atau, setepatnya, pengisi suaranya) menyampaikan
sedikit informasi mengenai bagaimana episode itu diproduksi atau jenis karya sastra yang
dipaparkan. Bagian ini pun mendukung misi Wishbone untuk mendidik para penontonnya.
Sejumlah karya diadaptasi dalam series Wishbone. Sebagian besar karya tersebut
merupakan novel. Namun, ada pula karya drama (a.l. Romeo and Juliet), cerita pendek (a.l.
"The Purloined Letter"), cerita agama (a.l. "David and Goliath") dan mitos (a.l "Hercules")
yang difilmkan. Karya-karya yang diadaptasi diambil dari sejumlah tradisi sastra, termasuk
susastra Barat (dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Yunani, dsb.) serta sastra rakyat
pribumi Afrika dan Amerika (a.l. "Anansi", "The People Could Fly", dan "The Story of the
Deathless Voice"). Semua karya yang diangkat sudah masuk wilayah umum (tidak berhak
cipta) di Amerika Serikat.
Untuk mendukung pendidikan literasi, sejumlah series buku berdasarkan Wishbone
ditulis. Setiap buku dalam series Wishbone Classics menceritakan kembali satu episode
dalam bahasa sederhana, supaya pembaca muda dapat mengikuti cerita Wishbone serta karya
sastra yang diadaptasi. Series lain, The Adventures of Wishbone, mengadaptasi episode
(sebagian besar dari series pertama) dalam novel singkat (120 halaman) untuk pembaca
remaja. Sementara itu, Super Adventures of Wishbone, yang terdiri dari empat buku,
menceritakan kembali pengalaman Wishbone dalam novel yang agak panjang (250 halaman).
Dua buku dalam series diangkat dari episode atau film Wishbone, sementara dua buku
lainnya merupakan karya baru. Semua series buku ini diterbitkan antara tahun 1995 dan
3
4
Di episode "Frankenbone".
Di episode "The Slobbery Hound".
2001. Beberapa episode Wishbone dirilis dalam bentuk video cassette, dan semua episode
sudah dapat ditonton di YouTube secara bebas.
Wishbone tergolong cukup berhasil. Series ini meraih sejumlah penghargaan,
termasuk empat Daytime Emmy Awards. Satu survei (Calverta dan Kotler 2003, 307)
menemukan bahwa Wishbone merupakan series pendidikan paling popular di PBS. Wishbone
juga pernah digunakan dalam kurikulum sekolah di Texas (Cooter et al. 1999, 891-896).
Dampak series ini serta peran pentingnya dalam perkembangan penonton dapat dilihat,
misalnya, dari kenyataan bahwa ia merupakan perkenalan pertama penonton dengan karya
sastra klasik seperti Pride and Prejudice (Nickel 2013). Sampai sekarang, banyak media
popular di Amerika Serikat masih membahas Wishbone. Judul artikel-artikel seperti "11
Times 'Wishbone' Taught Us Everything We Needed to Know about Life" (Burt 2015) dan "6
Times the 'Wishbone' Episode Was Better than the Book" (Cook-Wilson 2016) pun
menunjukkan nostalgia yang nyata. Dalam satu artikel di MTV, Kayti Burt menyatakan:
"Entah apa lagi yang diajarkan Wishbone, yang jelas ia sudah membuat kita jatuh
cinta dengan segala bentuk cerita—buku, televisi, holodeck, dsb. Untuk si anjing
peminat sastra itu, naratif bukanlah sesuatu yang pantas diejek atau dihindari.
Naratif merupakan alat yang dapat digunakan untuk memahami kehidupan kita
dan orang-orang di sekitar kita. Ia menawarkan petualangan yang tak berujung."5
Dua Model Adaptasi
Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa Reading Rainbow dan Wishbone menerapkan
dua model adaptasi yang berbeda untuk meningkatkan kemelekan huruf dan mengembangkan
minat membaca. Model yang digunakan Reading Rainbow cukup berbeda dengan model
adaptasi yang umum, sebab model tersebut menggunakan pendekatan pembacaan langsung—
yang didukung oleh penggunaan efek suara, intonasi, serta teknik perfilman untuk
memaparkan ilustrasi—dalam bercerita. Model ini, bersama dengan format "majalah" (yaitu
kompilasi cerita dan adegan yang saling berkaitan), paling tepat untuk mengadaptasi sastra
anak. Sastra dewasa dan remaja terlalu panjang untuk dibaca secara langsung dalam satu
episode, yang hanya berdurasi tiga puluh menit. Para pemain di Reading Rainbow bergontaganti, selain pembaca acara. Model ini memungkinkan penonton menjadi terlibat secara
langsung.
5
Aslinya: Whatever else Wishbone might have taught us, he instilled in us a love of stories in all
forms — books, television, holodeck, etc. For the literary pup, narratives were not something to be
scoffed at or avoided at all costs. They are tools for understanding our own lives and the people
around us. They are the possibility for endless adventure.
Sementara itu, model Wishbone menggunakan pendekatan adaptasi yang lebih umum:
karya sastra dewasa dipersingkat dan dicocokkan dengan media televisi. Dalam kasus
Wishbone, ini berarti setiap adaptasi karya sastra hanya berdurasi kurang-lebih lima belas
menit (dengan sisa waktunya digunakan oleh cerita Joe dan kawan-kawannya), salah satu
tokoh dari setiap karya yang diadaptasi "diciptakan kembali" sebagai anjing, dan beberapa
adegan yang lucu dimasukkan untuk menarik perhatian penonton. Series ini menggunakan
format episode, yang memungkinkan adanya kontinuitas tetapi juga menjamin bahwa setiap
episode dapat berdiri sendiri. Karena Wishbone menggunakan format ini, maka para pemain
tidak mungkin gonta-ganti. Format ini juga menghalangi pelibatan penonton.
Kedua model ini memiliki beberapa ciri yang sama. Setiap episode menggabungkan
pendidikan literasi, pembudayaan membaca, dan pendidikan non-literasi, termasuk character
building. Beberapa unsur dari setiap episode berkaitan secara tematis, sehingga penonton
memperoleh pelbagai pelajaran yang berpusat kepada satu topik tertentu. Kedua acara televisi
ini juga ditayangkan melalui jaringan penyiaran umum dan didukung secara finansial oleh
pemerintah, sehingga kepentingan komsersil dapat dihindari. Selain itu, baik Reading
Rainbow maupun Wishbone dipindahkan ke media baru setelah acara tersebut dibatalkan oleh
PBS.
Poin-poin penting dari kedua model ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Reading Rainbow
Pembacaan langsung
Sastra anak
Format majalah
Didukung pelajaran lain yang berkaitan
secara tematis
Pembawa acara yang tidak berubah, lainnya
bergonta-ganti
Ditayangkan di jaringan penyiaran umum
Melibatkan penonton secara langsung
Wishbone
Adaptasi yang dipersingkat
Susastra
Format episode / cerita
Didukung pelajaran lain yang berkaitan
secara tematis
Pemain utama tidak berubah
Ditayangkan di jaringan penyiaran umum
Tidak melibatkan penonton secara langsung
Menerapkan Model Adaptasi di Indonesia?
Sebelum model-model ini dapat diterapkan di Indonesia, ada sejumlah masalah yang
harus dipecahkan. Yang pertama, dan mungkin yang paling menonjol, ialah masalah
penyiaran. Sebagaiman sudah dinyatakan di atas, Reading Rainbow dan Wishbone disiarkan
di PBS, salah satu jaringan penyiaran umum yang digunakan terutama untuk menayangkan
acara televisi yang mendidik. PBS disubsidi oleh pemerintah Amerika Serikat dan didukung
dengan sumbangan dari individu dan perusahaan; tidak ada iklan. Di Indonesia, belum ada
sistem penyiaran sedemikian rupa. Apabila saluran televisi yang sudah ada digunakan, maka
iklan dapat masuk ke dalam acara televisi yang menerapkan model adaptasi, yang akan
berdampak buruk kepada pesan mendidik acara tersebut. Namun, apabila pengaruh komersial
dapat dihindari, maka acara yang disiarkan secara luas dapat ditonton oleh orang-orang di
seluruh Indonesia, termasuk di daerah pedalaman.
Acara seperti ini juga dapat disiarkan melalui Internet, baik dengan sistem streaming
seperti YouTube atau app untuk telepon pintar. Penyiaran sedemikian rupa memungkinkan
konten disebarluaskan secara bebas, tanpa iklan, dan mengurangi ongkos penyiaran.
Penggunaan streaming dan/atau app juga memungkinkan konten lebih muda dibawa ke
tempat lain: penonton dapat menikmati acara mendidik di telepon pintar atau komputer sesuai
dengan kehendak mereka sendiri. Namun, audiens yang dapat dicapai dengan pendekatan
sedemikian rupa masih terbatas. Bahkan di perkotaan di Indonesia—terutama di luar Jakarta
—akses internet masih terbatas, dan kecepatan koneksi tergolong cukup rendah,6 sehingga
penggunaan internet akan mengalami banyak masalah, terutama di daerah pedesaan.
Memperoleh izin untuk mengadaptasi novel atau karya sastra lain juga merupakan
tantangan besar. Sebagian besar karya sastra Indonesia modern masih berhak cipta; 7 demikian
pula sebagian besar karya sastra anak di Indonesia. Dengan demikian, karya yang diadaptasi
dengan model-model yang ditawarkan di atas harus minta izin dari pemilik hak cipta untuk
mengadaptasi suatu karya sastra. Karena itu, biaya yang akan dihabiskan untuk memenuhi
tuntutan hokum untuk mengadaptasi karya sastra akan cukup tinggi, kecuali apabila
pemegang hak cipta tidak minta ganti rugi.
Alternatif lain ialah hanya mengadaptasi karya sastra tradisional, terutama yang
berasal dari kelisanan. Rata-rata karya sastra lisan sudah masuk wilyah umum, sehingga ia
dapat diadaptasi secara bebas dan orisinil. Pendekatan sedemikian rupa sudah digunakan di
Malaysia dalam serial Pada Zaman Dahulu. Namun, efektif-tidaknya pendekatan seperti ini
untuk mengembangkan literasi penonton belum diuji. Apabila tradisi lisan diutamakan, maka
tradisi tulis (sastra) akan diabaikan, sehingga mungkin kurang berpengaruh pada tingkat
literasi dan minat pembaca.
Tantangan lain ialah penyesuaian model dan ajaran dengan konteks budaya Indonesia.
Banyak penelitian dan perencanaan diperlukan sebelum model adaptasi dapat diterapkan.
6
7
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyatakan bahwa 40% dari penduduk Indonesia (100
juta orang) sudah bias mengakses internet; sebagian besar dari pengguna ini (65.2 juta orang) menggunakan
telepon pintar ("Indonesia Has 100 Million Internet Users"). Akamai Technologies, menurut Kompas
("Kecepatan Internet Indonesia"), menyatakan bahwa rata-rata kecepatan di Indonesia baru mencapai 3.9
Mbps, di bawah kecepatan rata-rata di seluruh dunia (5.6 Mbps).
Menurut Undang-Undang Hak Cipta 2014, hak cipta atas karya tulis berlangsung seumur penulis dan
tujuh puluh tahun kemudian.
Aktualisasi dari dua model di atas tentu akan berubah: acara yang menggunakan model
Wishbone, misalnya, mungkin akan diprotes kalua dibintangi oleh anjing. Selain itu, nilainilai yang hendak diajarkan kepada anak-anak berbeda di Amerika Serikat dan di Indonesia.
Dalam konteks sosio-politik sekarang, tema percintaan dan kekerasan dalam novel Sitti
Nurbaya (Marah Rusli, 1922) mungkin ditolak oleh para orang tua.
Kesimpulan
Makalah sederhana ini telah memaparkan dua model adaptasi yang berbeda, yang
masing-masing berdasarkan acara televisi Reading Rainbow dan Wishbone. Kedua model ini
dapat digunakan untuk pendidikan literasi dan membudayakan membaca. Model Reading
Rainbow berpusat pada pembacaan langsung karya sastra anak, yang didukung oleh beberapa
materi yang berkaitan dengan tema-tema buku tersebut. Sementara itu, model Wishbone
berpusat pada adaptasi (alih wahana) beberapa adegan dari karya susastra yang dinilai
representatif. Di model ini pula, tema-tema yang ada dalam karya yang diadaptasi
dikembangkan melalui unsur-unsur lain dari setiap episode. Kedua model ini, dalam
aktualisasinya di Amerika Serikat, pada awalnya ditayangkan oleh jaringan penyiaran umum.
Namun, seiring dengan perkembangan dalam mediascape dan teknologi, kedua aktualisasi ini
sudah dialihkan ke media lain: Reading Rainbow telah dijadikan app untuk telepon pintar,
sementara Wishbone dapat ditonton di YouTube.
Sebelum kedua model adaptasi ini dapat diterapkan dalam konteks Indonesia untuk
melawan tingkat melek huruf serta minat membaca yang rendah, ada sejumlah halangan yang
harus diatasi. Penyiaran/distribusi yang tepat harus ditemukan, masalah akuisisi hak atas
karya harus dipecahkan, dan bentuk aktualisasi yang sesuai dengan konteks budaya Indonesia
harus dirumuskan. Apabila halangan-halangan tersebut diatasi, sangat mungkin adaptasi
dapat mendukung pendekatan berbasis kurikulum untuk meningkatkan kemelekan huruf dan
mengembangkan minat membaca.
Daftar Pustaka
Burt, Kayti. 2015. "11 Times 'Wishbone' Taught Us Everything We Needed to Know about
Life". MTV.com. Diunduh dari http://www.mtv.com/news/2227909/wishbone-lifelessons/ pada tanggal 7 September 2016.
Calverta, Sandra L. dan Jennifer A. Kotler. 2003. "Lessons from Children’s Television: The
Impact of the Children’s Television Act on Children’s Learning". Applied
Developmental Psychology 24. 275–335.
Coedès, George. 1968. Walter F. Vella, peny. The Indianized States of Southeast Asia.
Honolulu: East-West Center Press.
Cook-Wilson, Winston. 2016. "6 Times the 'Wishbone' Episode Was Better than the Book".
Inverse.com. Diunduh dari https://www.inverse.com/article/12930-6-times-thewishbone-episode-was-better-than-the-book pada tanggal 7 September 2016.
Cooter, Robert B. Jr, Earlene Mills-House, Peggy Marrin, Barbara A. Mathews, et al. 1999.
"Family and Community Involvement: The Bedrock of Reading Success". The Reading
Teacher 52(8): 891-896.
Frankfurt Book Fair. 2016. "Information on the Indonesian book market". Buchmess.de.
Downloaded from
http://www.buchmesse.de/images/fbm/dokumente-ua-pdfs/2015/book_market_indonesi
a_52246.pdf on 5 September 2016.
Frankfurt Book Fair. 2016. "Terima Kasih Indonesia". Buchmess.de. Diunduh dari
http://www.buchmesse.de/en/guestofhonour/review/ pada tanggal 7 Agustus 2016.
"Indonesia Has 100 Million Internet Users, Internet Penetration at 40%". 2016, 17 Mei.
Indonesia Investments. Diunduh dari
http://www.indonesia-investments.com/news/todays-headlines/indonesia-has-100million-internet-users-internet-penetration-at-40/item6827 pada tanggal 11 September
2016.
"Indonesia ranks second-last in reading interest: Study". 2016, 29 August. The Jakarta Post.
Diunduh dari http://www.thejakartapost.com/life/2016/08/29/indonesia-ranks-secondlast-in-reading-interest-study.html pada tanggal 5 September 2016.
"Low literacy rate leads to fanaticism, experts say". 2016, Mei 20. The Jakarta Post. Diunduh
dari http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/20/low-literacy-rate-leads-tofanaticism-experts-say.html pada tanggal 5 September 2016.
Moses, Annie M. 2009. "What Television Can (and Can't) Do to Promote Early Literacy
Development". YC Young Children 64(2). 275–335.
Nickel, Eleanor Hersey. 2013. "When Darcy Is a Dog: How Wishbone Introduces Children to
Jane Austen". Persuasions On-Line 34(1). Diunduh dari
http://www.jasna.org/persuasions/on-line/vol34no1/nickel.html pada tanggal 7
September 2016.
"Societies with poor literacy rate prone to censorship". 2016, Mei 9. The Jakarta Post.
Diunduh dari http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/09/societies-with-poorliteracy-rate-prone-to-censorship.html pada tanggal 5 September 2016.
Yusuf, Oik. 2016, 1 April. "Kecepatan Internet Indonesia Naik Dua Kali Lipat". Kompas.
Diunduh dari
http://tekno.kompas.com/read/2016/04/01/19290007/Kecepatan.Internet.Indonesia.Naik
.Dua.Kali.Lipat pada tanggal 11 September 2016.
Dua Model dari Amerika Serikat
Christopher A. Woodrich
International Indonesia Forum
Abstrak
Meskipun Indonesia memiliki sejarah kesusastraan yang panjang serta industri
penerbitan yang cukup aktif, masyarakat seakan tidak tertarik dengan membaca.
Banyak program sudah diterapkan oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah
untuk mengatasi masalah tersebut, tetapi hasilnya belum memadai. Karena itu,
pendekatan lain sangat diperlukan.
Makalah ini berargumentasi bahwa adaptasi dari karya sastra dapat mendukung
pendidikan literasi serta pembudayaan membaca di Indonesia. Untuk mendukung
argument tersebut, makalah ini membahas dua acara televisi dari Amerika Serikat:
Reading Rainbow (1983–2006) dan Wishbone (1995–2001). Kedua acara televisi
ini, yang banyak meraih penghargaan, menawarkan dua model untuk adaptasi
karya sastra—pembacaan langsung dan penyederhanaan—yang dapat diterapkan
di Indonesia sesuai dengan kebudayaan setempat. Diharapkan bahwa, melalui
adaptasi, anak-anak dapat lebih terlibat dalam proses belajar-mengajar dan lebih
menghargai dan menikmati dunia membaca.
Latar Belakang
Sejarah kesusastraan di Indonesia sudah dimulai setidaknya pada abad ke-9 Masehi,
ketika Kakawin Ramayana pertama kali ditulis (Coedès 1968, 128). Kini, industri penerbitan
di Indonesia tergolong cukup besar; sebanyak 1.317 penerbit terkumpul dalam Ikatan
Penerbit Indonesia, dan sekitar 40.000 buku diterbitkan di Indonesia setiap tahun. Pada
tahun 2013, pasar buku Indonesia bernilai 48,1 juta Euro ("Information on the Indonesian
book market"). Pada tahun 2015, ketika Indonesia menjadi tamu terhormat di Frankfurt
Book Fair, ada sebanyak 850 buku (dari kurang-lebih 300 pengarang) yang diterjemahkan
dari atau ke dalam bahasa Indonesia ("Terima Kasih Indonesia").
Meskipun demikian, Indonesia sering dinilai memiliki tingkat literasi serta minat
membaca yang rendah. Menurut survei yang dilaksanakan Program of International Student
Assessment pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-64 (dari 65 negara) dalam
kemampuan membaca siswa ("Low literacy"). Sementara itu, menurut survei yang
dilaksanakan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016, Indonesia
menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam "perilaku melek huruf" (literate behavior
characteristics) seperti akses perpustakaan dan minat membaca ("Indonesia ranks").
Kenyataan ini cukup problematis, mengingat bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan
dengan tingkat fanatisme dan penyensoran yang tinggi: tingkat literasi yang rendah
membuat orang takut dengan hal-hal yang baru, sehingga tidak mau menerima cara berpikir
lain ("Low literacy", "Societies with poor literacy").
Sejumlah program sudah dimulai oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah
untuk meningkatkan literasi dan membudayakan membaca. Sastra sudah dimasukkan ke
dalam kurikulum, dan sejak pertengahan tahun 2016 siswa SMA sudah diwajibkan membaca
di kelas selama lima belas menit setiap hari. Orang tua diharapkan dapat membantu anak
mereka mengembangkan minat membaca; menurut mantan Menteri Pendidikan Anies
Basweden, "gerakan [membaca] yang tersebar tidak akan terhenti, sebab ia tidak
berdasarkan perintah, bantuan dana, atau proyek, tetapi bersifat menular" ("Indonesia
ranks"). Namun, keberhasilan program-program seperti ini belum memuaskan, dan banyak
siswa masih beranggapan bahwa membaca itu tugas yang berat. 1 Karena itu, sangatlah
penting untuk menggunakan pendekatan lain, yang menggunakan rasa ingin tahu anak untuk
mendukung usaha peningkatan literasi.
Salah satu pendekatan yang dapat membantu ialah adaptasi, representasi cerita
(karya sastra, di sini) melalui film. Melalui proses ini, cerita dari karya sastra dapat
disampaikan kepada anak-anak dan pemuda-pemudi dan, dengan demikian, memancing
mereka untuk membaca (Moses, 2009). Untuk mendukung argumen ini, makalah ini
membahas Reading Rainbow (1983–2006) dan Wishbone (1996–2001), dua acara televisi
dari Amerika Serikat yang menerapkan dua model adaptasi yang berbeda untuk
meningkatkan literasi dan membudayakan membaca. Setelah menguraikan kedua acara
tersebut secara singkat, makalah ini merumuskan model-model adaptasi yang digunakan
serta beberapa halangan yang harus diatasi sebelum model-model tersebut dapat diterapkan
di Indonesia.
Reading Rainbow
Reading Rainbow merupakan acara televisi untuk anak-anak yang ditayangkan di
Public Broadcasting Service (PBS) dari tahun 1983 hingga tahun 2006 dan dibawa oleh
1
Misalnya, salah satu siswa penulis di Yogyakarta pernah mengakui bahwa ia telah membayar
seseorang sebanyak Rp 500.000 untuk menyelesaikan laporan buku yang dia tidak mau menulis sendiri. Dua
siswa lain menggunakan waktu "wajib membaca" untuk diam-diam mengerjakan PR atau belajar.
LeVar Burton, seorang aktor yang dikenal untuk perannya di serial Roots dan Star Trek: The
Next Generation. Reading Rainbow terdiri dari 155 episode. Dalam setiap episode, Burton
atau seorang tamu (seringnya seorang selebritis) membacakan suatu karya sastra anak secara
langsung. Ilustrasi dari buku yang dibaca juga dipajangkan ketika karya dibaca. Tema dari
buku yang dibacakan terus dikembangkan dalam beberapa bagian lain dari setiap episode,
misalnya melalui wawancara atau penjelasan mengenai topik yang berkaitan. Misalnya,
setelah buku Laura Numeroff If You Give a Mouse a Cookie (1985) dibacakan, bowling dan
domino digunakan untuk menjelaskan tema kausalitas dan rangkaian peristiwa.
Pada umumnya, karya-karya yang dibacakan di Reading Rainbow merupakan terbitan
baru, dimaksud untuk pembaca yang masih SD, dan cukup ringkas sehingga dapat dibaca
secara tuntas dalam waktu 10 menit. Selain If You Give a Mouse a Cookie (1985), karya yang
dibacakan termasuk buku cerita seperti Gila Monsters Meet You at the Airport (Marjorie W.
Sharmat, 1980) dan Little Nino's Pizzeria (Karen Barbour, 1987), serta puisi seperti All the
Colors of the Race (Arnold Adoff, 1982). Beberapa karya sastra anak terkenal, termasuk
karya-karya Dr. Seuss, tidak pernah dibacakan. Sebelum suatu buku dibacakan, PBS
memperoleh izin dari penerbit. Ada pula beberapa buku yang dibacakan kemudian diangkat
menjadi serial televisi oleh PBS, misalnya The Magic School Bus: Inside the Earth (Joanna
Cole, 1987), yang dibacakan pada tahun 1990 kemudian dijadikan bagian dari serial The
Magic School Bus pada tahun 1994, dan Arthur's Eyes (Marc Brown, 1979), yang dibacakan
pada tahun 1983 kemudian dijadikan bagian dari serial Arthur pada tahun 1996.
Pada bagian akhir dari setiap
episode Reading Rainbow, tiga resensi
buku disampaikan tiga anak (penonton
Reading Rainbow) melalui video. Anakanak tersebut dipilih melalui lomba
resensi buku tertulis yang diadakan di
perpustakaan-perpustakaan di Amerika
Serikat. Resensi dibaca dan dinilai juri,
dan anak-anak yang resensinya terseleksi
kemudian
diberi
kesempatan
untuk
merekam resensi mereka. Bagian ini
Bagan 1: Seorang anak meresensi buku di
Reading Rainbow
meningkatkan keterlibatan penonton dalam acara Reading Rainbow: anak-anak di seluruh
Amerika Serikat dapat menyampaikan pendapat mereka sendiri tentang buku yang dibaca
melalui siaran nasional. Pengalaman ini kerap dinilai berharga, dan banyak resensi sudah
diunggah ke YouTube oleh penulisnya (yang sudah tumbuh dewasa).
Reading Rainbow, yang diproduksi dengan dukungan para pendidik dan ahli anakanak, meraih lebih dari tiga puluh penghargaan selama ia ditayangkan, termasuk sejumlah
Daytime Emmy Awards for Outstanding Children's Series. Pada tahun 1997, survei yang
diadakan PBS menemukan bahwa para guru beranggapan bahwa acara televisi ini sangat
berguna untuk pendidikan (Raphael 2014). Rekaman Reading Rainbow sudah dijual dalam
bentuk DVD, dan sejumlah produk lain juga dapat dibeli.
Setelah Reading Rainbow dibatalkan PBS karena kekurangan dana, pada tahun 2010
Burton membeli hak atas Reading Rainbow dan menyatakan bahwa acara tersebut akan
diproduksi dan disiarkan secara independen. Dua tahun kemudian, Reading Rainbow
Skybrary diluncurkan di iPad (dan kemudian untuk platform lain). App ini kini menawarkan
lebih dari 500 buku anak-anak, 200 "field trip", serta sejumlah fitur lain kepada para
langganan.2 Kampanye Kickstarter pada tahun 2014 berhasil mengumpulkan $6.478.916 (dari
$1.000.000 yang hendak dikumpul). Uang ini digunakan untuk mengembangkan app Reading
Rainbow Skybrary dan memberikan fasilitas gratis kepada sekolah-sekolah yang kurang
mampu. Kenyataan bahwa lebih dari 100,000 orang menyumbangkan uang kepada Reading
Rainbow, dan bahwa nostalgia untuk acara ini dapat ditemukan secara luas di internet,
menunjukkan bahwa Reading Rainbow sudah memiliki dampak kultural yang sangat besar.
Wishbone
Wishbone merupakan serial televisi
yang ditayangkan di PBS dari tahun 1995
hingga tahun 2001. Serial ini, yang berlatar
Oakdale, Texas, menceritakan seekor anjing
bernama Wishbone dan pemiliknya, seorang
siswa SD yang bernama Joe Talbot. Tokoh
Wishbone merupakan daya tarik utama
serial ini: anjing sangat umum dipelihara di
Amerika Serikat dan bahkan dianggap
sebagai "teman terbaik manusia", dan jenis
Bagan 2: Wishbone, tokoh utama
dari series Wishbone
anjing yang dipilih—Jack Russell Terrier, yang panjangnya biasanya hanya 25–38 cm—tidak
2
Harga langganan, sampai bulan September 2016: $9.99 untuk satu bulan, $29.99 untuk enam bulan,
atau $49.99 untuk satu tahun.
menakutkan untuk anak-anak kecil. Kenyataan bahwa Wishbone dapat "berbicara" (dengan
suara Larry Brantley) dan menyampaikan pikirannya yang lucu juga berfungsi untuk
memikat penonton.
Setiap episode terdiri dari dua cerita yang mengalir secara paralel. Satu cerita
mengikuti petualangan Wishbone dengan Joe dan kawan-kawannya (misalnya mengikuti
Olimpiade Sains,3 atau menyelidiki suatu kejahatan4). Cerita lainnya merupakan adaptasi
singkat (biasanya tiga atau empat adegan) dari karya sastra terkenal, seperti Frankenstein
(Mary Shelley, 1818) atau The Hound of the Baskervilles (Sir Arthur Conan Doyle, 1902),
dengan Wishbone "memerankan" salah satu tokoh utama, misalnya Frankenstein atau
Sherlock Holmes. Kedua cerita memiliki tema yang serupa, yang sering mengajarkan
pelajaran penting kepada penonton, misalnya berbahayanya sains yang tidak terkontrol atau
pentingnya menyelidiki sesuatu sebelum mengambil kesimpulan. Pada bagian penghabisan
dari (hampir) setiap episode, Wishbone (atau, setepatnya, pengisi suaranya) menyampaikan
sedikit informasi mengenai bagaimana episode itu diproduksi atau jenis karya sastra yang
dipaparkan. Bagian ini pun mendukung misi Wishbone untuk mendidik para penontonnya.
Sejumlah karya diadaptasi dalam series Wishbone. Sebagian besar karya tersebut
merupakan novel. Namun, ada pula karya drama (a.l. Romeo and Juliet), cerita pendek (a.l.
"The Purloined Letter"), cerita agama (a.l. "David and Goliath") dan mitos (a.l "Hercules")
yang difilmkan. Karya-karya yang diadaptasi diambil dari sejumlah tradisi sastra, termasuk
susastra Barat (dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Yunani, dsb.) serta sastra rakyat
pribumi Afrika dan Amerika (a.l. "Anansi", "The People Could Fly", dan "The Story of the
Deathless Voice"). Semua karya yang diangkat sudah masuk wilayah umum (tidak berhak
cipta) di Amerika Serikat.
Untuk mendukung pendidikan literasi, sejumlah series buku berdasarkan Wishbone
ditulis. Setiap buku dalam series Wishbone Classics menceritakan kembali satu episode
dalam bahasa sederhana, supaya pembaca muda dapat mengikuti cerita Wishbone serta karya
sastra yang diadaptasi. Series lain, The Adventures of Wishbone, mengadaptasi episode
(sebagian besar dari series pertama) dalam novel singkat (120 halaman) untuk pembaca
remaja. Sementara itu, Super Adventures of Wishbone, yang terdiri dari empat buku,
menceritakan kembali pengalaman Wishbone dalam novel yang agak panjang (250 halaman).
Dua buku dalam series diangkat dari episode atau film Wishbone, sementara dua buku
lainnya merupakan karya baru. Semua series buku ini diterbitkan antara tahun 1995 dan
3
4
Di episode "Frankenbone".
Di episode "The Slobbery Hound".
2001. Beberapa episode Wishbone dirilis dalam bentuk video cassette, dan semua episode
sudah dapat ditonton di YouTube secara bebas.
Wishbone tergolong cukup berhasil. Series ini meraih sejumlah penghargaan,
termasuk empat Daytime Emmy Awards. Satu survei (Calverta dan Kotler 2003, 307)
menemukan bahwa Wishbone merupakan series pendidikan paling popular di PBS. Wishbone
juga pernah digunakan dalam kurikulum sekolah di Texas (Cooter et al. 1999, 891-896).
Dampak series ini serta peran pentingnya dalam perkembangan penonton dapat dilihat,
misalnya, dari kenyataan bahwa ia merupakan perkenalan pertama penonton dengan karya
sastra klasik seperti Pride and Prejudice (Nickel 2013). Sampai sekarang, banyak media
popular di Amerika Serikat masih membahas Wishbone. Judul artikel-artikel seperti "11
Times 'Wishbone' Taught Us Everything We Needed to Know about Life" (Burt 2015) dan "6
Times the 'Wishbone' Episode Was Better than the Book" (Cook-Wilson 2016) pun
menunjukkan nostalgia yang nyata. Dalam satu artikel di MTV, Kayti Burt menyatakan:
"Entah apa lagi yang diajarkan Wishbone, yang jelas ia sudah membuat kita jatuh
cinta dengan segala bentuk cerita—buku, televisi, holodeck, dsb. Untuk si anjing
peminat sastra itu, naratif bukanlah sesuatu yang pantas diejek atau dihindari.
Naratif merupakan alat yang dapat digunakan untuk memahami kehidupan kita
dan orang-orang di sekitar kita. Ia menawarkan petualangan yang tak berujung."5
Dua Model Adaptasi
Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa Reading Rainbow dan Wishbone menerapkan
dua model adaptasi yang berbeda untuk meningkatkan kemelekan huruf dan mengembangkan
minat membaca. Model yang digunakan Reading Rainbow cukup berbeda dengan model
adaptasi yang umum, sebab model tersebut menggunakan pendekatan pembacaan langsung—
yang didukung oleh penggunaan efek suara, intonasi, serta teknik perfilman untuk
memaparkan ilustrasi—dalam bercerita. Model ini, bersama dengan format "majalah" (yaitu
kompilasi cerita dan adegan yang saling berkaitan), paling tepat untuk mengadaptasi sastra
anak. Sastra dewasa dan remaja terlalu panjang untuk dibaca secara langsung dalam satu
episode, yang hanya berdurasi tiga puluh menit. Para pemain di Reading Rainbow bergontaganti, selain pembaca acara. Model ini memungkinkan penonton menjadi terlibat secara
langsung.
5
Aslinya: Whatever else Wishbone might have taught us, he instilled in us a love of stories in all
forms — books, television, holodeck, etc. For the literary pup, narratives were not something to be
scoffed at or avoided at all costs. They are tools for understanding our own lives and the people
around us. They are the possibility for endless adventure.
Sementara itu, model Wishbone menggunakan pendekatan adaptasi yang lebih umum:
karya sastra dewasa dipersingkat dan dicocokkan dengan media televisi. Dalam kasus
Wishbone, ini berarti setiap adaptasi karya sastra hanya berdurasi kurang-lebih lima belas
menit (dengan sisa waktunya digunakan oleh cerita Joe dan kawan-kawannya), salah satu
tokoh dari setiap karya yang diadaptasi "diciptakan kembali" sebagai anjing, dan beberapa
adegan yang lucu dimasukkan untuk menarik perhatian penonton. Series ini menggunakan
format episode, yang memungkinkan adanya kontinuitas tetapi juga menjamin bahwa setiap
episode dapat berdiri sendiri. Karena Wishbone menggunakan format ini, maka para pemain
tidak mungkin gonta-ganti. Format ini juga menghalangi pelibatan penonton.
Kedua model ini memiliki beberapa ciri yang sama. Setiap episode menggabungkan
pendidikan literasi, pembudayaan membaca, dan pendidikan non-literasi, termasuk character
building. Beberapa unsur dari setiap episode berkaitan secara tematis, sehingga penonton
memperoleh pelbagai pelajaran yang berpusat kepada satu topik tertentu. Kedua acara televisi
ini juga ditayangkan melalui jaringan penyiaran umum dan didukung secara finansial oleh
pemerintah, sehingga kepentingan komsersil dapat dihindari. Selain itu, baik Reading
Rainbow maupun Wishbone dipindahkan ke media baru setelah acara tersebut dibatalkan oleh
PBS.
Poin-poin penting dari kedua model ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Reading Rainbow
Pembacaan langsung
Sastra anak
Format majalah
Didukung pelajaran lain yang berkaitan
secara tematis
Pembawa acara yang tidak berubah, lainnya
bergonta-ganti
Ditayangkan di jaringan penyiaran umum
Melibatkan penonton secara langsung
Wishbone
Adaptasi yang dipersingkat
Susastra
Format episode / cerita
Didukung pelajaran lain yang berkaitan
secara tematis
Pemain utama tidak berubah
Ditayangkan di jaringan penyiaran umum
Tidak melibatkan penonton secara langsung
Menerapkan Model Adaptasi di Indonesia?
Sebelum model-model ini dapat diterapkan di Indonesia, ada sejumlah masalah yang
harus dipecahkan. Yang pertama, dan mungkin yang paling menonjol, ialah masalah
penyiaran. Sebagaiman sudah dinyatakan di atas, Reading Rainbow dan Wishbone disiarkan
di PBS, salah satu jaringan penyiaran umum yang digunakan terutama untuk menayangkan
acara televisi yang mendidik. PBS disubsidi oleh pemerintah Amerika Serikat dan didukung
dengan sumbangan dari individu dan perusahaan; tidak ada iklan. Di Indonesia, belum ada
sistem penyiaran sedemikian rupa. Apabila saluran televisi yang sudah ada digunakan, maka
iklan dapat masuk ke dalam acara televisi yang menerapkan model adaptasi, yang akan
berdampak buruk kepada pesan mendidik acara tersebut. Namun, apabila pengaruh komersial
dapat dihindari, maka acara yang disiarkan secara luas dapat ditonton oleh orang-orang di
seluruh Indonesia, termasuk di daerah pedalaman.
Acara seperti ini juga dapat disiarkan melalui Internet, baik dengan sistem streaming
seperti YouTube atau app untuk telepon pintar. Penyiaran sedemikian rupa memungkinkan
konten disebarluaskan secara bebas, tanpa iklan, dan mengurangi ongkos penyiaran.
Penggunaan streaming dan/atau app juga memungkinkan konten lebih muda dibawa ke
tempat lain: penonton dapat menikmati acara mendidik di telepon pintar atau komputer sesuai
dengan kehendak mereka sendiri. Namun, audiens yang dapat dicapai dengan pendekatan
sedemikian rupa masih terbatas. Bahkan di perkotaan di Indonesia—terutama di luar Jakarta
—akses internet masih terbatas, dan kecepatan koneksi tergolong cukup rendah,6 sehingga
penggunaan internet akan mengalami banyak masalah, terutama di daerah pedesaan.
Memperoleh izin untuk mengadaptasi novel atau karya sastra lain juga merupakan
tantangan besar. Sebagian besar karya sastra Indonesia modern masih berhak cipta; 7 demikian
pula sebagian besar karya sastra anak di Indonesia. Dengan demikian, karya yang diadaptasi
dengan model-model yang ditawarkan di atas harus minta izin dari pemilik hak cipta untuk
mengadaptasi suatu karya sastra. Karena itu, biaya yang akan dihabiskan untuk memenuhi
tuntutan hokum untuk mengadaptasi karya sastra akan cukup tinggi, kecuali apabila
pemegang hak cipta tidak minta ganti rugi.
Alternatif lain ialah hanya mengadaptasi karya sastra tradisional, terutama yang
berasal dari kelisanan. Rata-rata karya sastra lisan sudah masuk wilyah umum, sehingga ia
dapat diadaptasi secara bebas dan orisinil. Pendekatan sedemikian rupa sudah digunakan di
Malaysia dalam serial Pada Zaman Dahulu. Namun, efektif-tidaknya pendekatan seperti ini
untuk mengembangkan literasi penonton belum diuji. Apabila tradisi lisan diutamakan, maka
tradisi tulis (sastra) akan diabaikan, sehingga mungkin kurang berpengaruh pada tingkat
literasi dan minat pembaca.
Tantangan lain ialah penyesuaian model dan ajaran dengan konteks budaya Indonesia.
Banyak penelitian dan perencanaan diperlukan sebelum model adaptasi dapat diterapkan.
6
7
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyatakan bahwa 40% dari penduduk Indonesia (100
juta orang) sudah bias mengakses internet; sebagian besar dari pengguna ini (65.2 juta orang) menggunakan
telepon pintar ("Indonesia Has 100 Million Internet Users"). Akamai Technologies, menurut Kompas
("Kecepatan Internet Indonesia"), menyatakan bahwa rata-rata kecepatan di Indonesia baru mencapai 3.9
Mbps, di bawah kecepatan rata-rata di seluruh dunia (5.6 Mbps).
Menurut Undang-Undang Hak Cipta 2014, hak cipta atas karya tulis berlangsung seumur penulis dan
tujuh puluh tahun kemudian.
Aktualisasi dari dua model di atas tentu akan berubah: acara yang menggunakan model
Wishbone, misalnya, mungkin akan diprotes kalua dibintangi oleh anjing. Selain itu, nilainilai yang hendak diajarkan kepada anak-anak berbeda di Amerika Serikat dan di Indonesia.
Dalam konteks sosio-politik sekarang, tema percintaan dan kekerasan dalam novel Sitti
Nurbaya (Marah Rusli, 1922) mungkin ditolak oleh para orang tua.
Kesimpulan
Makalah sederhana ini telah memaparkan dua model adaptasi yang berbeda, yang
masing-masing berdasarkan acara televisi Reading Rainbow dan Wishbone. Kedua model ini
dapat digunakan untuk pendidikan literasi dan membudayakan membaca. Model Reading
Rainbow berpusat pada pembacaan langsung karya sastra anak, yang didukung oleh beberapa
materi yang berkaitan dengan tema-tema buku tersebut. Sementara itu, model Wishbone
berpusat pada adaptasi (alih wahana) beberapa adegan dari karya susastra yang dinilai
representatif. Di model ini pula, tema-tema yang ada dalam karya yang diadaptasi
dikembangkan melalui unsur-unsur lain dari setiap episode. Kedua model ini, dalam
aktualisasinya di Amerika Serikat, pada awalnya ditayangkan oleh jaringan penyiaran umum.
Namun, seiring dengan perkembangan dalam mediascape dan teknologi, kedua aktualisasi ini
sudah dialihkan ke media lain: Reading Rainbow telah dijadikan app untuk telepon pintar,
sementara Wishbone dapat ditonton di YouTube.
Sebelum kedua model adaptasi ini dapat diterapkan dalam konteks Indonesia untuk
melawan tingkat melek huruf serta minat membaca yang rendah, ada sejumlah halangan yang
harus diatasi. Penyiaran/distribusi yang tepat harus ditemukan, masalah akuisisi hak atas
karya harus dipecahkan, dan bentuk aktualisasi yang sesuai dengan konteks budaya Indonesia
harus dirumuskan. Apabila halangan-halangan tersebut diatasi, sangat mungkin adaptasi
dapat mendukung pendekatan berbasis kurikulum untuk meningkatkan kemelekan huruf dan
mengembangkan minat membaca.
Daftar Pustaka
Burt, Kayti. 2015. "11 Times 'Wishbone' Taught Us Everything We Needed to Know about
Life". MTV.com. Diunduh dari http://www.mtv.com/news/2227909/wishbone-lifelessons/ pada tanggal 7 September 2016.
Calverta, Sandra L. dan Jennifer A. Kotler. 2003. "Lessons from Children’s Television: The
Impact of the Children’s Television Act on Children’s Learning". Applied
Developmental Psychology 24. 275–335.
Coedès, George. 1968. Walter F. Vella, peny. The Indianized States of Southeast Asia.
Honolulu: East-West Center Press.
Cook-Wilson, Winston. 2016. "6 Times the 'Wishbone' Episode Was Better than the Book".
Inverse.com. Diunduh dari https://www.inverse.com/article/12930-6-times-thewishbone-episode-was-better-than-the-book pada tanggal 7 September 2016.
Cooter, Robert B. Jr, Earlene Mills-House, Peggy Marrin, Barbara A. Mathews, et al. 1999.
"Family and Community Involvement: The Bedrock of Reading Success". The Reading
Teacher 52(8): 891-896.
Frankfurt Book Fair. 2016. "Information on the Indonesian book market". Buchmess.de.
Downloaded from
http://www.buchmesse.de/images/fbm/dokumente-ua-pdfs/2015/book_market_indonesi
a_52246.pdf on 5 September 2016.
Frankfurt Book Fair. 2016. "Terima Kasih Indonesia". Buchmess.de. Diunduh dari
http://www.buchmesse.de/en/guestofhonour/review/ pada tanggal 7 Agustus 2016.
"Indonesia Has 100 Million Internet Users, Internet Penetration at 40%". 2016, 17 Mei.
Indonesia Investments. Diunduh dari
http://www.indonesia-investments.com/news/todays-headlines/indonesia-has-100million-internet-users-internet-penetration-at-40/item6827 pada tanggal 11 September
2016.
"Indonesia ranks second-last in reading interest: Study". 2016, 29 August. The Jakarta Post.
Diunduh dari http://www.thejakartapost.com/life/2016/08/29/indonesia-ranks-secondlast-in-reading-interest-study.html pada tanggal 5 September 2016.
"Low literacy rate leads to fanaticism, experts say". 2016, Mei 20. The Jakarta Post. Diunduh
dari http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/20/low-literacy-rate-leads-tofanaticism-experts-say.html pada tanggal 5 September 2016.
Moses, Annie M. 2009. "What Television Can (and Can't) Do to Promote Early Literacy
Development". YC Young Children 64(2). 275–335.
Nickel, Eleanor Hersey. 2013. "When Darcy Is a Dog: How Wishbone Introduces Children to
Jane Austen". Persuasions On-Line 34(1). Diunduh dari
http://www.jasna.org/persuasions/on-line/vol34no1/nickel.html pada tanggal 7
September 2016.
"Societies with poor literacy rate prone to censorship". 2016, Mei 9. The Jakarta Post.
Diunduh dari http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/09/societies-with-poorliteracy-rate-prone-to-censorship.html pada tanggal 5 September 2016.
Yusuf, Oik. 2016, 1 April. "Kecepatan Internet Indonesia Naik Dua Kali Lipat". Kompas.
Diunduh dari
http://tekno.kompas.com/read/2016/04/01/19290007/Kecepatan.Internet.Indonesia.Naik
.Dua.Kali.Lipat pada tanggal 11 September 2016.