Monopsoni dan Dampak Kesejahteraan Masya
Monopsoni dan Dampak Kesejahteraan Masyarakat
Kemajuan pesat sektor usaha di Indonesia, ternyata memberikan dampak
yang signifikan terhadap sektor lainnya, sektor hukum salah satunya. Hal
tersebut terkait dengan kenyataan bahwa sektor penting seperti usaha
memerlukan sebuah kepastian hukum, singkat kata sebuah undang-undang yang
sifatnya komprehensif sangat dinantikan. Beberapa praktik-praktik ekonomi yang
tidak sehat seperti kolusi dan nepotisme antara pemilik usaha besar lokal
dengan pemerintahan, menjadi alasan utama. Sebenarnya aturan tersebut telah
dibentuk namun tersebar dalam beberapa aturan secara sektoral. Sifat
sektoralnya, membuat peraturan tersebut menjadi kurang efektif terhadap
sasaran yang diinginkan. Selain itu, kegiatan perekonomian nasional semakin
jauh dari amanat pasal 33 UUD 1945 dan bersifat sangat monopolistik.
Khususnya selama masa pemerintahan orde baru, dimana pengusaha besar
nasional
didominasi
oleh
orang
terdekat
dari
penguasa.
Kenyataan
ini
berbanding terbalik dengan apa yang akan kita hadapi di masa mendatang, saat
kita dituntut untuk mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan secara
mandiri.
Singkatnya, praktik-praktik nyata dalam kegiatan usaha Indonesia yang
semakin tidak sehat, mengilhami badan legislatif setelahnya untuk sesegera
mungkin membentuk perundang-undangan tentang persaingan usaha. Sebagai
tambahan, aturan ini pada nantinya akan menjadi jembatan penyambung
hubungan bisnis antarbangsa. Hasil akhirnya antara lain dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat Internasional untuk berinvestasi di Indonesia. UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999, yang selanjutnya disebut Undang-Undang Anti
monopoli merupakan produk akhir sebagai perwujudan cita-cita tersebut diatas.
Dalam Undang-Undang Antimonopoli, terdapat beberapa perbuatan yang
dilarang untuk dilakukan pelaku usaha di Indonesia, salah satunya adalah
perbuatan Monopsoni. Berbalik dengan monopoli, yang lebih familiar, perbuatan
ini hanya dirangkumkan dalam pasal yang lebih sedikit. Untuk itu, salah satu
tujuan tulisan ini adalah mengenalkan arti praktik monopsoni dalam UndangUndang Antimonopsoni serta dampaknya terhadap social welfare.
Pembahasan
Definisi Monopsoni
Monopsoni adalah situasi pasar dimana hanya ada satu atau kelompok
pelaku usaha yang menguasai pasar dan berperan sebagai pembeli 1. Dalam
Black’s Law Dictionary, definisi monopsoni adalah “A market situation in which
one buyer control the market2. Praktik monopsoni dilakukan oleh pelaku usaha
dengan mengurangi pembeliannya pada input cost, selanjutnya mengakibatkan
turunnya harga dibawah level kompetitif. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat dari Natalie Rosenfelt, bahwa “A monopsonist exercises its
market power by reducing its purchase of an input, thereby decreasing its
input price below compatitive level”3.
Yang membedakan antara praktik monopsoni dan monopoli adalah
dampak yang dirasakan oleh konsumen dan produsen. Sebagai hasil dari
sebuah praktik monopoli, maka konsumen langsung yang akan dirugikan
dalam hal ini.
Pengaturan Monopsoni dalam UU Antimonopsoni
Larangan mengenai monopsoni di Indonesia diatur dalam Pasal 18
Undang-Undang Persaingan Usaha. Definisi monopsoni diletakkan pada
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Persaingan Usaha, bahwa monopsoni
adalah perbuatan pelaku usaha yang menguasai dan/atau menjadi
pembeli
tunggal
atas
suatu
barang
dan/atau
jasa
dalam
pasar
bersangkutan, dengan indikatornya selanjutnya diletakkan pada ayat (2)
pasal yang sama, bahwa pelaku usaha tersebut melakukan penguasaan
dalam penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebanyak lebih
dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar untuk satu jenis barang atau
jasa.. Penjabaran atas unsur-unsur yang terdapat pada pasal 18 ayat (1)
dan ayat (2) adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Persaingan
Usaha, yang dimaksud pelaku usaha adalah :
“Orang perorangan atau badan usaha, badan hukum atau
non badan hukum yang didirikan, berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik
1 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Indonesia, h.72
2 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary,9th. Ed, St. Paul-Minnesota, West Publishing Co,. 2004,h
1098
3 Natalie Rosenfelt, The Verdict of Monopsony, 2008, p.2.
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian,
menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang ekonomi.”
b. Unsur barang, berdasarkan pasal 1 angka 16 Undang-Undang
Persaingan Usaha :
“Barang adalah setiap benda, baik berujud atau tidak
berujud,
bergerak
atau
tidak
bergerak,
yang
dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunaka atau dimanfaatkan
oleh konsumen atau pelaku usaha”
c. Unsur Jasa berdasarkan pasal 1 angka 17 Undang-Undang
Persaingan Usaha adalah :
“Jasa adalah tiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.”
maka dapat disimpulkan jika monopsoni dapat terjadi baik dalam
komoditas perdagangan berupa barang atau jasa sekalipun, selama
terdapat pelaku usaha yang menguasai pembelian atas barang tersebut
yang berdampak pada nilai jual.
Merujuk pada teori pendekatan yuridis dalam interpretasi pasalpasal
hukum
persaingan
usaha,
dengan
diletakkannya
indikator
pengenaan pasal 18 UU Antimonopoli, maka pendekatan yang digunakan
dalam pendekatan pasal ini menggunakan Rule of Reason. Pengertian
pendekatan Rule of Reason adalah perumusan untuk menyatakan bahwa
suatu
perbuatan
yang
dituduhkan
melanggar
hukum
persaingan,
diperlukan pertimbangan keadaan disekitar kasus tersebut. Fungsinya
untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara
tidak patut, sehingga penegak hukum wajib dapat menunjukkan akibatakibat anti persaingan, atau kerugian yang ditimbulkan serta bersifat
nyata terhadap persaingan.4. Kesimpulannya, berdasarkan pengaturan
dalam UU Antimonopsoni, dikatakan sebuah praktik monopsoni jika
sebuah praktik telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 18
Ayat 2 (dua) UU Antimonopsoni.
4 Materi kuliah Hukum Persaingan Usaha 2005, Universitas Indonesia mengutip dari Daniel V., et.all.,
Comprehensive Business Law: Principles and Cases., Kent publishing Company., 1987., hal 1042. yang dikutip
dari Hukum Persaingan Usaha, Elips.
Dampak Praktik Monopsoni
Sebagai sebuah praktik yang dilarang dalam sebuah UndangUndang, dapat dipastikan jika praktik ini memberikan dampak yang
signifikan terhadap masyarakat. Efek atau dampak yang ditimbulkan
akibat kekuatan monopsoni atau praktik monopsoni, menurut Aryeh
Friedman5 digolongkan menjadi dua golongan, yakni Adverse welfare
effects dan Distributional effects.
1. Welfare
effects,
atau
dampak
yang
berpengaruh
pada
kesejahteraan baik bagi pelaku usaha lainnya, juga bagi
masyarakat sebagai end-user dari suatu komoditi tertentu.
2. Distributional effects, atau dampak yang berpengaruh pada
sistem pendistribusian produk.
Keduanya dapat diketahui dengan memahami apakah penjual di
upstream market sebagai monopolist, dan apakah monopsonist juga
bertindak sebagai monopolist di downstream market, dan jika pelaku
usaha sebagai oligopsonist apakah mereka saling bersaing di downstream
market. Apabila hal yang menjadi tolok ukur tersebut terbukti, maka hasil
atau outcome akan dikurangi kuantitasnya dan meningkatkan harga pada
downstream market. Apabila tidak terbukti, maka cost savings sepertinya
akan dikenakan pada konsumen.
Pertama, Welfare Effects, dampak tersebut dapat dirasakan secara
otomatis sebagai akibat pengenaan cost savings pada harga akhir sebuah
barang dan jasa. Setelah penambahan cost savings, secara otomatis
harga
jual
komoditi
juga
bertambah.
Hasilnya,
masyarakat
harus
membayar lebih untuk sebuah komoditi tersebut. Jika keadaan ini
berlanjut, kemudahan masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa
tertentu yang telah menjadi hak akan terganggu. Secara otomatis, itu
akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, pelaku usaha
lain yang dimaksud adalah pelaku usaha yang menggunakan produk
5 Aryeh Friedman, Monopsony, Sherman Act Section 2 Spring Meeting 2002, p1
barang dan jasa dari monopsonist. Sebagai sebuah ilustrasi, BPPC
membeli
seluruh
pasokan
cengkeh
dari
petani
cengkeh.
Dengan
menggunakan kekuatan monopsoni yang dimiliki, BPPC dapat mengatur
harga belinya, yang terkadang dibawah standar harga pasar. Oleh
karenanya, petani dengan keterpaksaan bersedia menjual hasil panen
dengan resiko kehilangan keuntungan. Hal tersebut membuktikan jika
praktik monopsoni dapat merugikan pelaku usaha lain. Kerugian pelaku
usaha lain, dapat pula dibuktikan dengan tingginya harga jual sebuah
barang dan jasa setelah terjadi praktik monopsoni oleh buruh yang
meningkatkan biaya produksi suatu komoditas. Pelaku usaha yang
dirugikan adalah perantara dari distribusi sebuah komoditi. Sebagai
sebuah ilustrasi, Perusahaan A menjual sebuah barang produksi dengan
harga lebih tinggi, maka Perusahaan B yang menggunakan komoditas
tersebut sebagai bahan baku juga akan menambah nilai produksinya.
Bertambahnya nilai produksi pada akhirnya akan berdampak pada harga
jual produk, yang jika tidak memenuhi daya beli masyarakat, maka produk
tersebut akan ditinggalkan. Sebagai hasilnya, Perusahaan B
akan
kehilangan konsumen.
Kedua, Distributional Effects, sistem pendistribusian produk barang
dan jasa akan mengalami hambatan. Pihak distributor akan menolak
untuk menjadi perantara perdagangan barang dan jasa, jika sebuah
produk
itu
tidak
memenuhi
daya
beli
masyarakat
dan
memiliki
kecenderungan untuk tidak diminati. Sebagai sebuah konsekuensi,
masyarakat akan kesulitan untuk mendapatkan barang dan jasa yang
dibutuhkan.
Kedua efek yang disebutkan oleh Friedmann, lebih mengarah pada
social effects yang ditimbulkan oleh monopsoni. Dengan kata lain, efek
tersebut merupakan dampak monopsoni dalam hal non pricing.
Kesimpulan
Praktik monopsoni merupakan praktik terlarang untuk pelaku usaha
yang telah diatur secara yuridis dalam UU Antimonopoli. Larangan
tersebut guna melindungi kepentingan masyarakat secara general,
khususnya produsen dan konsumen yang secara jelas akan dirugikan
melalui praktek ini. Sekalipun telah diatur, pendekatan yuridis yang
digunakan cenderung lunak. Sehingga memudahkan pelaku usaha untuk
menyamarkan praktik monopsoni yang dilakukan. Dampak yang dapat
ditimbulkan adalah, terjadinya pembatasan atas sebuah komoditi yang
berakhir pada tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas komoditas
tertentu. Serta, tingginya harga jual yang ditetapkan oleh pelaku usaha
sebagai akibat turunan monopsoni, yakni perilaku monopolistik, sehingga
menurunkan
daya
beli
suatu
barang
oleh
masyarakat.
Fakta
ini
selanjutnya akan berdampak langsung terhadap operasional pelaku usaha
baik barang maupun jasa, yang dengan menurunnya jumlah permintaan
pasar, maka menurun pula proses produksi. Pada akhirnya, pengurangan
jumlah pekerja menjadi jalan keluar. Hal-hal
diatas adalah gambaran
singkat dampak praktik monopsoni dalam lingkup social welfare.
Saran
Pengaturan mengenai praktik monopsoni sangat diharapkan lebih
mengikat, sehingga pelaku usaha memiliki rasa takut dan jera untuk
memulai atau bahkan mengulangi praktik tersebut. Hal ini ditujukan untuk
meminimalisir dampak-dampak praktik monopsoni, khususnya dampak
sosial masyarakat, demi mewujudkan sebuah kondisi sosial ekonomi yang
madani.
Kemajuan pesat sektor usaha di Indonesia, ternyata memberikan dampak
yang signifikan terhadap sektor lainnya, sektor hukum salah satunya. Hal
tersebut terkait dengan kenyataan bahwa sektor penting seperti usaha
memerlukan sebuah kepastian hukum, singkat kata sebuah undang-undang yang
sifatnya komprehensif sangat dinantikan. Beberapa praktik-praktik ekonomi yang
tidak sehat seperti kolusi dan nepotisme antara pemilik usaha besar lokal
dengan pemerintahan, menjadi alasan utama. Sebenarnya aturan tersebut telah
dibentuk namun tersebar dalam beberapa aturan secara sektoral. Sifat
sektoralnya, membuat peraturan tersebut menjadi kurang efektif terhadap
sasaran yang diinginkan. Selain itu, kegiatan perekonomian nasional semakin
jauh dari amanat pasal 33 UUD 1945 dan bersifat sangat monopolistik.
Khususnya selama masa pemerintahan orde baru, dimana pengusaha besar
nasional
didominasi
oleh
orang
terdekat
dari
penguasa.
Kenyataan
ini
berbanding terbalik dengan apa yang akan kita hadapi di masa mendatang, saat
kita dituntut untuk mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan secara
mandiri.
Singkatnya, praktik-praktik nyata dalam kegiatan usaha Indonesia yang
semakin tidak sehat, mengilhami badan legislatif setelahnya untuk sesegera
mungkin membentuk perundang-undangan tentang persaingan usaha. Sebagai
tambahan, aturan ini pada nantinya akan menjadi jembatan penyambung
hubungan bisnis antarbangsa. Hasil akhirnya antara lain dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat Internasional untuk berinvestasi di Indonesia. UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999, yang selanjutnya disebut Undang-Undang Anti
monopoli merupakan produk akhir sebagai perwujudan cita-cita tersebut diatas.
Dalam Undang-Undang Antimonopoli, terdapat beberapa perbuatan yang
dilarang untuk dilakukan pelaku usaha di Indonesia, salah satunya adalah
perbuatan Monopsoni. Berbalik dengan monopoli, yang lebih familiar, perbuatan
ini hanya dirangkumkan dalam pasal yang lebih sedikit. Untuk itu, salah satu
tujuan tulisan ini adalah mengenalkan arti praktik monopsoni dalam UndangUndang Antimonopsoni serta dampaknya terhadap social welfare.
Pembahasan
Definisi Monopsoni
Monopsoni adalah situasi pasar dimana hanya ada satu atau kelompok
pelaku usaha yang menguasai pasar dan berperan sebagai pembeli 1. Dalam
Black’s Law Dictionary, definisi monopsoni adalah “A market situation in which
one buyer control the market2. Praktik monopsoni dilakukan oleh pelaku usaha
dengan mengurangi pembeliannya pada input cost, selanjutnya mengakibatkan
turunnya harga dibawah level kompetitif. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat dari Natalie Rosenfelt, bahwa “A monopsonist exercises its
market power by reducing its purchase of an input, thereby decreasing its
input price below compatitive level”3.
Yang membedakan antara praktik monopsoni dan monopoli adalah
dampak yang dirasakan oleh konsumen dan produsen. Sebagai hasil dari
sebuah praktik monopoli, maka konsumen langsung yang akan dirugikan
dalam hal ini.
Pengaturan Monopsoni dalam UU Antimonopsoni
Larangan mengenai monopsoni di Indonesia diatur dalam Pasal 18
Undang-Undang Persaingan Usaha. Definisi monopsoni diletakkan pada
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Persaingan Usaha, bahwa monopsoni
adalah perbuatan pelaku usaha yang menguasai dan/atau menjadi
pembeli
tunggal
atas
suatu
barang
dan/atau
jasa
dalam
pasar
bersangkutan, dengan indikatornya selanjutnya diletakkan pada ayat (2)
pasal yang sama, bahwa pelaku usaha tersebut melakukan penguasaan
dalam penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebanyak lebih
dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar untuk satu jenis barang atau
jasa.. Penjabaran atas unsur-unsur yang terdapat pada pasal 18 ayat (1)
dan ayat (2) adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Persaingan
Usaha, yang dimaksud pelaku usaha adalah :
“Orang perorangan atau badan usaha, badan hukum atau
non badan hukum yang didirikan, berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik
1 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Indonesia, h.72
2 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary,9th. Ed, St. Paul-Minnesota, West Publishing Co,. 2004,h
1098
3 Natalie Rosenfelt, The Verdict of Monopsony, 2008, p.2.
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian,
menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang ekonomi.”
b. Unsur barang, berdasarkan pasal 1 angka 16 Undang-Undang
Persaingan Usaha :
“Barang adalah setiap benda, baik berujud atau tidak
berujud,
bergerak
atau
tidak
bergerak,
yang
dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunaka atau dimanfaatkan
oleh konsumen atau pelaku usaha”
c. Unsur Jasa berdasarkan pasal 1 angka 17 Undang-Undang
Persaingan Usaha adalah :
“Jasa adalah tiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.”
maka dapat disimpulkan jika monopsoni dapat terjadi baik dalam
komoditas perdagangan berupa barang atau jasa sekalipun, selama
terdapat pelaku usaha yang menguasai pembelian atas barang tersebut
yang berdampak pada nilai jual.
Merujuk pada teori pendekatan yuridis dalam interpretasi pasalpasal
hukum
persaingan
usaha,
dengan
diletakkannya
indikator
pengenaan pasal 18 UU Antimonopoli, maka pendekatan yang digunakan
dalam pendekatan pasal ini menggunakan Rule of Reason. Pengertian
pendekatan Rule of Reason adalah perumusan untuk menyatakan bahwa
suatu
perbuatan
yang
dituduhkan
melanggar
hukum
persaingan,
diperlukan pertimbangan keadaan disekitar kasus tersebut. Fungsinya
untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara
tidak patut, sehingga penegak hukum wajib dapat menunjukkan akibatakibat anti persaingan, atau kerugian yang ditimbulkan serta bersifat
nyata terhadap persaingan.4. Kesimpulannya, berdasarkan pengaturan
dalam UU Antimonopsoni, dikatakan sebuah praktik monopsoni jika
sebuah praktik telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 18
Ayat 2 (dua) UU Antimonopsoni.
4 Materi kuliah Hukum Persaingan Usaha 2005, Universitas Indonesia mengutip dari Daniel V., et.all.,
Comprehensive Business Law: Principles and Cases., Kent publishing Company., 1987., hal 1042. yang dikutip
dari Hukum Persaingan Usaha, Elips.
Dampak Praktik Monopsoni
Sebagai sebuah praktik yang dilarang dalam sebuah UndangUndang, dapat dipastikan jika praktik ini memberikan dampak yang
signifikan terhadap masyarakat. Efek atau dampak yang ditimbulkan
akibat kekuatan monopsoni atau praktik monopsoni, menurut Aryeh
Friedman5 digolongkan menjadi dua golongan, yakni Adverse welfare
effects dan Distributional effects.
1. Welfare
effects,
atau
dampak
yang
berpengaruh
pada
kesejahteraan baik bagi pelaku usaha lainnya, juga bagi
masyarakat sebagai end-user dari suatu komoditi tertentu.
2. Distributional effects, atau dampak yang berpengaruh pada
sistem pendistribusian produk.
Keduanya dapat diketahui dengan memahami apakah penjual di
upstream market sebagai monopolist, dan apakah monopsonist juga
bertindak sebagai monopolist di downstream market, dan jika pelaku
usaha sebagai oligopsonist apakah mereka saling bersaing di downstream
market. Apabila hal yang menjadi tolok ukur tersebut terbukti, maka hasil
atau outcome akan dikurangi kuantitasnya dan meningkatkan harga pada
downstream market. Apabila tidak terbukti, maka cost savings sepertinya
akan dikenakan pada konsumen.
Pertama, Welfare Effects, dampak tersebut dapat dirasakan secara
otomatis sebagai akibat pengenaan cost savings pada harga akhir sebuah
barang dan jasa. Setelah penambahan cost savings, secara otomatis
harga
jual
komoditi
juga
bertambah.
Hasilnya,
masyarakat
harus
membayar lebih untuk sebuah komoditi tersebut. Jika keadaan ini
berlanjut, kemudahan masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa
tertentu yang telah menjadi hak akan terganggu. Secara otomatis, itu
akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, pelaku usaha
lain yang dimaksud adalah pelaku usaha yang menggunakan produk
5 Aryeh Friedman, Monopsony, Sherman Act Section 2 Spring Meeting 2002, p1
barang dan jasa dari monopsonist. Sebagai sebuah ilustrasi, BPPC
membeli
seluruh
pasokan
cengkeh
dari
petani
cengkeh.
Dengan
menggunakan kekuatan monopsoni yang dimiliki, BPPC dapat mengatur
harga belinya, yang terkadang dibawah standar harga pasar. Oleh
karenanya, petani dengan keterpaksaan bersedia menjual hasil panen
dengan resiko kehilangan keuntungan. Hal tersebut membuktikan jika
praktik monopsoni dapat merugikan pelaku usaha lain. Kerugian pelaku
usaha lain, dapat pula dibuktikan dengan tingginya harga jual sebuah
barang dan jasa setelah terjadi praktik monopsoni oleh buruh yang
meningkatkan biaya produksi suatu komoditas. Pelaku usaha yang
dirugikan adalah perantara dari distribusi sebuah komoditi. Sebagai
sebuah ilustrasi, Perusahaan A menjual sebuah barang produksi dengan
harga lebih tinggi, maka Perusahaan B yang menggunakan komoditas
tersebut sebagai bahan baku juga akan menambah nilai produksinya.
Bertambahnya nilai produksi pada akhirnya akan berdampak pada harga
jual produk, yang jika tidak memenuhi daya beli masyarakat, maka produk
tersebut akan ditinggalkan. Sebagai hasilnya, Perusahaan B
akan
kehilangan konsumen.
Kedua, Distributional Effects, sistem pendistribusian produk barang
dan jasa akan mengalami hambatan. Pihak distributor akan menolak
untuk menjadi perantara perdagangan barang dan jasa, jika sebuah
produk
itu
tidak
memenuhi
daya
beli
masyarakat
dan
memiliki
kecenderungan untuk tidak diminati. Sebagai sebuah konsekuensi,
masyarakat akan kesulitan untuk mendapatkan barang dan jasa yang
dibutuhkan.
Kedua efek yang disebutkan oleh Friedmann, lebih mengarah pada
social effects yang ditimbulkan oleh monopsoni. Dengan kata lain, efek
tersebut merupakan dampak monopsoni dalam hal non pricing.
Kesimpulan
Praktik monopsoni merupakan praktik terlarang untuk pelaku usaha
yang telah diatur secara yuridis dalam UU Antimonopoli. Larangan
tersebut guna melindungi kepentingan masyarakat secara general,
khususnya produsen dan konsumen yang secara jelas akan dirugikan
melalui praktek ini. Sekalipun telah diatur, pendekatan yuridis yang
digunakan cenderung lunak. Sehingga memudahkan pelaku usaha untuk
menyamarkan praktik monopsoni yang dilakukan. Dampak yang dapat
ditimbulkan adalah, terjadinya pembatasan atas sebuah komoditi yang
berakhir pada tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas komoditas
tertentu. Serta, tingginya harga jual yang ditetapkan oleh pelaku usaha
sebagai akibat turunan monopsoni, yakni perilaku monopolistik, sehingga
menurunkan
daya
beli
suatu
barang
oleh
masyarakat.
Fakta
ini
selanjutnya akan berdampak langsung terhadap operasional pelaku usaha
baik barang maupun jasa, yang dengan menurunnya jumlah permintaan
pasar, maka menurun pula proses produksi. Pada akhirnya, pengurangan
jumlah pekerja menjadi jalan keluar. Hal-hal
diatas adalah gambaran
singkat dampak praktik monopsoni dalam lingkup social welfare.
Saran
Pengaturan mengenai praktik monopsoni sangat diharapkan lebih
mengikat, sehingga pelaku usaha memiliki rasa takut dan jera untuk
memulai atau bahkan mengulangi praktik tersebut. Hal ini ditujukan untuk
meminimalisir dampak-dampak praktik monopsoni, khususnya dampak
sosial masyarakat, demi mewujudkan sebuah kondisi sosial ekonomi yang
madani.