Pembelajaran Tertulis Hambatan Investasi pdf
Pembelajaran Tertulis:
Hambatan Investasi dan Pendanaan Proyek
Energi Terbarukan di Indonesia
Hotel Pullman, 1 Maret 2016
ditulis oleh Henriette Imelda, Deni Gumilang
© GIZ melalui kerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas dan Otoritas Jasa Keuangan
Pada tanggal 1 Maret 2016, bertempat di Hotel Pullman Jakarta Pusat, Deutsche Gesellchaft für
Internationale Zusammenarbeit (GIZ) bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, mengadakan Focus Group Discussion
dengan judul "Hambatan Investasi dan Pendanaan Proyek Energi Terbarukan di Indonesia". FGD ini
menghadirkan empat narasumber: (i) Bapak Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform
(IESR) yang menyampaikan hasil studi dengan judul ͞Mapping barriers, risk mitigation instrument and
financing mechanism to enhance investment on renewable energy͟; (ii) Bapak Darwin Trisna Djajawinata,
Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI); (iii) Bapak Rifki Hasan, Assistant Vice President Danareksa
Capital, dan (iv) Bapak Rico Syah Alam, Direktur PT Buana Surya Persada.
FGD ini dibuka oleh Ibu Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup dari Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Ibu Wahyuningsih Darajati menyampaikan bahwa
kebutuhan akan energi di masa yang akan datang, akan meningkat. Pada saat yang bersamaan, pada
tahun 2009 yang lalu, Indonesia sudah menyampaikan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah
kaca hingga 26% di tahun 2020, dan pada pertemuan COP 21 UNFCCC di Paris pada bulan Desember 2015,
Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29% di tahun 2030 dengan upaya
sendiri. Komitmen ini, akan dituangkan dalam revisi Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011, yang saat ini
sedang dalam proses penyelesaian.
Ibu Wahyuningsih Darajati juga menyampaikan pentingnya keterlibatan dan kerja sama para
pemangku kepentingan yang ada di dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca, terutama dari sektor
energi. Bagaimana pemangku kepentingan yang lain diluar pemerintah bisa berkontribusi dalam
pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca, apa yang dibutuhkan oleh pemerintah agar
pemangku kepentingan lain dapat berkontribusi secara maksimal.
Fokus kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca di bidang energi antara lain: energi baru dan
terbarukan, di mana sesuai dengan kebijakan energi nasional (KEN), energi baru dan terbarukan
ditargetkan mencapai 23% dari bauran energi nasional pada tahun 2025. Fokus lainnya adalah
pemanfaatan gas metana dan peningkatan efisiensi penggunaan listrik. Beberapa target yang telah
ditetapkan untuk memenuhi target dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) adalah jumlah kapasitas
terpasang pembangkit energi terbarukan mencapai 46.3 GW dan biofuel sebanyak 16.1 kiloliter. Total
~1~
investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan pembangkit energi terbarukan tersebut diperkirakan
USD 110-135 milyar hingga tahun 2025.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan "Roadmap Keuangan Berkelanjutan di
Indonesia", yang memiliki sejumlah sasaran strategis, di antaranya adalah meningkatkan supply dan
demand pendanaan keuangan berkelanjutan. Salah satu kendala dalam pelaksanaan ini antara lain adalah
bagaimana dapat mempertemukan antara pasokan pendanaan dengan kebutuhan pendanaannya.
Terdapat beberapa kendala pembiayaan kegiatan energi terbarukan, diantaranya adalah:
1. Keengganan dari bank dalam menyediakan pendanaan, dikarenakan tingkat keberhasilan yang rendah
dan ketidakpercayaan bank terhadap kelayakan proyek.
2. Kapasitas teknis bank yang terbatas untuk mengevaluasi proyek energi terbarukan. Untuk melakukan
hal ini, diperlukan adanya divisi-divisi yang melakukan assessment, yang mungkin tidak dimiliki oleh
perbankan. Capacity building untuk bank menjadi sangat penting dengan diversifikasi kegiatan-kegiatan
yang akan dikerjakan.
3. Panduan internal bank tidak mendukung pendanaan proyek seperti yang dibutuhkan, khususnya dalam
kaitannya dengan proyek-proyek lingkungan/perubahan iklim.
4. Belum adanya insentif yang menarik bagi lembaga keuangan dalam pelaksanaan peningkatan "green
portfolio"
5. Tingginya suku bunga bank
Adapun tujuan dari diskusi ini adalah:
Mendalami lebih rinci hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh institusi jasa keuangan yang ada dalam
mendukung pendanaan proyek-proyek kegiatan energi terbarukan, serta memahami tantangan yang
dihadapi oleh pengembang energi terbarukan untuk berinvestasi dan mendapatkan pendanaan dari
institusi jasa keuangan domestik.
Clean Energy Financing in Indonesia : A Mapping
Paparan ini disampaikan oleh Bapak Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform
(IESR), terkait dengan temuan dari berbagai literatur yang ada terkait dengan pendanaan energi bersih di
Indonesia. Dalam lima tahun terkakhir, studi-studi yang terkait dengan perubahan iklim, energi
terbarukan dan efisiensi energi telah banyak dilakukan. Apabila seluruh rekomendasi yang dipaparkan
dalam studi tersebut dilaksanakan, maka tantangan-tantangan yang ada terkait dengan pendanaan energi
bersih, bisa diatasi.
Pembicaraan mengenai energi terbarukan bukan lagi merupakan hal yang baru. Ketika
pemerintah memutuskan untuk melakukan energi terbarukan, tujuan utama yang ingin dicapai pada saat
~2~
itu adalah untuk mengamankan pasokan energi, dikarenakan ketika pembahasan tersebut dilakukan, saat
itu harga minyak dunia sangat tinggi, sehingga kelangkaan energi tidak bisa dihindari.
Di akhir tahun 2009, banyak pihak berbicara mengenai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Kemudian, muncul Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah No.
79/2014 yang mencantumkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, dan 31% di
tahun 2050. Demikian pula untuk efisiensi energi, dimana diharapkan terjadi penurunan elastisitas energi
dari saat ini 1.6 menjadi di bawah 1 di tahun 2025.
Gambar 1 Diskusi mengenai hambatan investasi dan pendanaan energi terbarukan di Indonesia
Indonesia masih memerlukan energi untuk melistriki daerah-daerah yang terpencil. Kementerian
ESDM bahkan mencatat masih ada 1.200 desa di Indonesia yang belum memiliki akses pada listrik. Untuk
melistriki desa-desa tersebut, energi terbarukan lah yang seharusnya menjadi motor. Energi terbarukan
yang kita miliki sendiri sebenarnya belum optimal pemanfaatannya. Bahkan, jika kita menganalisis sumber
daya energi terbarukan di Indonesia, dapat dilihat bahwa pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia
masih sangat kecil. Saat ini, panas bumi masih dilihat sebagai potensi yang paling besar, dan baru-baru ini
ditemukan bahwa matahari dan angin juga memiliki potensi yang sangat besar. Angin, contohnya,
berdasarkan wind map terakhir, potensinya sampai 107 GW. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada
potensi energi yang belum dioptimalkan.
Untuk mencapai target KEN, perlu dibangun kira-kira 36 GW dalam 10 tahun. Ini artinya, setiap
tahun Indonesia perlu membangun pembangkit listrik sebesar 3.6 GW. Ini jumlah yang sangat besar. Tidak
hanya itu, melihat kemajuan dari kegiatan-kegiatan efisiensi energi (demand side) hingga kini, juga belum
~3~
digarap secara baik. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan pendingin di hotel-hotel di Indonesia. Elastisitas
energi Indonesia saat ini adalah 1.6, cukup tinggi bila dibandingkan dengan Singapura 1.1, dan Thailand
1.4. Saat ini, diperlukan investasi sekitar USD 118-135 milyar untuk mencapai komposisi energi terbarukan
hingga 23% di tahun 2025. Untuk upaya pencapaian target KEN di bidang efisiensi energi, dibutuhkan
sekitar USD 6.1 milyar untuk retrofit.
Seringkali dalam pengembangan energi baru terbarukan, fokus diberikan kepada pendanaannya,
dan tidak memperhatikan keekonomian proyek dan juga kondisi politik ekonominya. Ini harus ditanyakan
apa memang perencanaannya salah atau memang tidak sesuai dengan kebutuhan investor.
Terdapat tiga elemen pokok untuk hambatan-hambatan finansial yang ada di Indonesia:
1. Pengalaman bank dan non-bank yang masih sedikit, di mana institusi pendanaan di Indonesia hampir
tidak memiliki cukup pengalaman untuk menilai suatu proyek;
2. Persepsi terkait dengan resiko dan bagaimana melihat kesempatan. Sering kali resiko dilihat terlalu
besar, namun tidak pernah ada upaya yang dilakukan untuk memitigasi resiko-resiko tersebut;
3. Kondisi pendanaan yang tersedia. Permintaan pendanaan seringkali tidak sesuai dengan pasokan
pendanaannya.
Sedangkan hambatan-hambatan non-finansial yang ada, adalah:
1. Negosiasi terkait PPA (Power Purchasing Agreement), FiT (Feed in Tariff) dan PLN;
2. Kapasitas pengembang untuk mengembangkan proyek yang bagus juga minim, misalnya bagaimana
mencari EPC (Engineering, Procurement, Construction) yang tepat untuk solar di Indonesia.
Bagaimana dengan pengalaman bank? Dari 87 bank yang di-survey di tahun 2014, 25% dari bank
tersebut menyalurkan pendanaan untuk energi terbarukan. Sebagian besar maturity-nya memang lebih
dari empat tahun; jadi, hanya 25%. Mungkin 25-30%, jadi mungkin kurang dari 20% yang punya
pengalaman untuk mendanai energi terbarukan.
Dari asuransi, hanya empat asuransi yang menawarkan produk yang terkait dengan proyek energi
terbarukan. Tapi yang menawarkan asuransi proyek hanya dua dari 22, yang satu panas bumi dan hidro,
sementara yang satu lainnya hanya hidro. Berdasarkan fakta ini, memang harus diakui bahwa Indonesia
belum memiliki pengalaman dalam memanfaatkan instrumen pendanaan. Hasil survey tersebut juga
menyatakan bahwa belum pernah ada bank yang berpengalaman di dalam melakukan project finance.
Hal berikutnya adalah bukan hanya dari pengalaman bank, namun juga bagaimana persepsi yang
ada terhadap resiko tersebut. Sebenarnya tidak hanya bank, tapi seluruh pihak yang terlibat yang terkait
dengan energy financing, pada kenyataannya memiliki kapasitas pengetahuan yang rendah. Kemampuan
para bankers untuk memahami teknologi energi terbarukan sangat terbatas, dan karena keterbatasannya
itu, keputusan untuk memberikan kredit tidak dapat ditetapkan.
~4~
Akibat tidak adanya pengetahuan detail terkait energi, sumber daya manusia di dalam bank
sangat terbatas untuk bisa meninjau studi-studi teknis, seperti feasibility study, kebutuhan untuk
melakukan construction work dan keistimewaan dari masing-masing teknologi terbarukan: angin,
matahari, biomassa (sampah, dll). Berbicara mengenai jenis teknologi sampah saja, contohnya, ada
berbagai macam, ada anaerobic digestion atau zero waste. Demikian halnya jika kita berbicara mengenai
incinerator, yang juga memiliki jenis yang beragam. Mulai dari yang paling bawah kualitasnya sampai ke
yang paling tinggi. Bank tidak terlalu memahami perihal ini. Ini memang salah satu kelemahan dari bankbank di Indonesia yang memang tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas di dalam institusinya.
Bisa dibayangkan jika pihak bank menerima proposal. Tanpa pengetahuan, kemudian diputuskan
untuk mempekerjakan konsultan. Namun, karena keterbatasan pengetahuan, bahkan tipe konsultan yang
dibutuhkan pun, tidak dapat diputuskan. Berdasarkan hasil studi yang ada, dari empat feasibility study,
hanya satu yang memuaskan, sisanya tidak memuaskan. Hal ini menyatakan bahwa, pemilihan konsultan
pun akan menjadi sulit tanpa adanya pengetahuan dan jaringan.
Karena pendanaan energi bersih dilihat sebagai investasi yang beresiko, termasuk energi
terbarukan dan energi efisiensi dan yang lain-lain, investment grid audit; oleh karena itu, bank pada
umumnya akan meminta dokumentasi yang kompleks. Dokumentasi yang harus diajukan sangat banyak,
sampai bank tersebut diyakinkan dengan proposal yang diajukan. Bagi project developer dengan
kemampuan finansial yang terbatas, ketentuan dokumen yang banyak ini menyulitkan dan mahal bagi
mereka. Sehingga, tidak semua project developer bisa memenuhi persyaratan yang dimintakan oleh bank.
Padahal kriteria yang digunakan oleh bank untuk menilai project developer dilakukan melalui 5C1. Jika
dokumentasi yang dimintakan oleh bank tidak dapat dipenuhi oleh project developer, maka project
developer ini akan mendapatkan penilaian yang tidak baik terkait dengan condition dan character,
walaupun mungkin, project developer tersebut memiliki capital, collateral, dan condition.
Hal lainnya yang juga berpengaruh adalah pengalaman negatif (negative experience) dari bank
terhadap proyek-proyek energi terbarukan. Boleh dikatakan bahwa selama lima tahun terakhir banyak
proyek-proyek yang macet.
Ada juga hal yang terkait dengan kepercayaan, yang diakibatkan oleh ketidakjelasan kebijakan.
Misalnya penetapan Feed in Tariff (FiT). Jika dilihat dari tahun 2012-2015, ada FiT yang di-revisi sampai
tiga kali, seperti untuk biomassa atau biogas. Demikian pula halnya untuk panas bumi, FiT-nya dari tahun
2009 sudah berganti. Ketidakjelasan ini membuat keraguan di pihak investor. Apalagi, pada umumnya jika
FiT berubah, harga jual listriknya lebih tinggi. Jadi, investor memutuskan untuk menunggu. Inilah yang
terjadi di hidro.
Hal lainnya yang menjadi hambatan adalah lack of adequate financial instrument, di mana
kebutuhan pendanaan dan pendanaan yang tersedia tidak sesuai. Contohnya adalah hutang. Sebagian
besar hutang akan mature pada 5-7 tahun, padahal maturity project untuk energi terbarukan pada
umumnya sekitar 15-25 tahun. Proyek seperti ini mungkin baru balik modal setelah 10 tahun, namun,
bank meminta dalam waktu lima tahun, hutang sudah dibayar. Ketidaksesuaian inilah yang seringkali
1
5C : character, capacity, capital, condition, dan collateral.
~5~
merugikan. Grace period yang ditetapkan adalah dua tahun. Padahal dalam waktu dua tahun itu, seringkali
tidak cukup hanya untuk persiapan saja. Kerangka yang digunakan oleh bank seringkali tidak sama dan
bunganya juga tinggi. Ketentuan kolateral yang diberlakukan sekitar 120%-150% dari total, di mana ini
tidak favorable untuk energi terbarukan, apalagi untuk energi terbarukan dengan skala 1-10 MW.
Indonesia juga tidak memiliki skema project finance, demikian pula mezzanine finance. Hanya PT
SMI yang memiliki produk mezzanine finance. Bank di Indonesia juga sangat jarang yang memiliki
mezzanine finance. Untuk equity, dalam memenuhi 30% dari ketentuan equity, hal tersebut sangat sulit.
Ketentuan dalam daftar negatif investasi juga memberikan kendala tersendiri. Jika dalam daftar negatif
investasi maksimal 140%, maka investor asing akan reluctant, karena kepemilikan mereka itu dibatasi
hingga 49% aja, sehingga mereka tidak menguasai. Ada lagi aturan terkait dengan deposit, di mana 5%
dari biaya modal dibuat deposit. Ini membuat negative liquiditas. Untuk PLN dengan 35 GW-nya, deposit
yang diberlakukan bukan hanya 5% melainkan 10%.
Indonesia juga tidak memiliki risk mitigation instrument. Pada umumnya bank tidak mau
mengambil construction risk, sehingga construction risk diberikan kepada EPC. Jika EPC yang melakukan
hal ini tidak berpengalaman, maka hal ini akan berbahaya. Sementara de-risking instrument yang ada di
pasar itu hampir-hampir tidak tersedia, hanya dua dari 22, dan itu pun pengalamannya dari tiga proyek.
Masih banyak juga yang lainnya, seperti FiT, difficult collaboration between IPP dan PLN (tidak ada
trust). Untuk mengatasi masalah-masalah ini sebenarnya bisa dilihat beberapa pilihan kebijakan, dan ini
seharusnya menjadi tanggung jawab dari beberapa pihak. OJK, misalnya yang terkait dengan kolateral dan
peraturan perbankan. Kemudian suku bunga yang tinggi, dengan kisaran 13-14%. Intinya adalah untuk
menyelesaikan masalah-masalah ini, tidak mungkin dilakukan hanya satu pihak saja, harus ada kolaborasi
dari pemangku kepentingan lainnya.
Peran dari pendanaan publik sebenarnya sangat penting, namun, hingga kini belum dijajaki.
Misalnya, jika pengurangan resiko mau dilakukan secara serius, untuk mobilisasi dana APBN yang terbatas,
dapat dioptimalkan melalui resource mapping. Hal ini dapat dilakukan misalnya sampai per kecamatan
atau bahkan per desa, seperti berapa kecepatan angin di suatu daerah, atau berapa radiasi panas matahari
yang ada di situ, atau berapa besar debit air. Apabila ini sudah disiapkan, tahapan berikutnya adalah
klarifikasi, sehingga kalau investor datang, akan jadi lebih mudah. Ini yang dilakukan oleh PLN di tahun
1980-an, dengan pendanaan Bank Dunia. Project-project yang saat ini sudah ada, sebenarnya berasal dari
resource mapping tersebut. Resource mapping sudah ada dari tahun 1980-an, yang kemudian datanya
beredar kemana-mana, dan dipakai oleh investor.
Pengembangan kapasitas. Isu pengembangan kapasitas ini cukup menarik, dan mungkin bisa
menjadi model ICCTF ke depan. Akses pada pendanaan, grant convertible to loan, ini dilakukan untuk
memenuhi gap terkait dengan equity. Kalau mau menutupi gap dengan equity itu sulit, kecuali jika diberi
pinjaman terlebih dahulu, untuk modal kerja awal sekitar 10% atau 15%. Ketika project-nya sudah jadi,
kemudian distrukturkan pendanaannya, yang tadinya grant bisa di-konversi ke loan. Ini yang akan jadi
model revolving fund. Hal ini bisa dilakukan untuk ICCTF, atau SMI jika mendapatkan akses pada GCF.
~6~
2. Pengalaman PT SMI di dalam pendanaan energi bersih
PT SMI merupakan institusi pendanaan di Indonesia yang menerapkan project finance dan norecourse2, atau lebih tepatnya limited recourse. Hal ini dikarenakan dalam menerapkan hal-hal ini masih
banyak tantangannya. Limited recourse dilakukan, supaya dapat melihat bagaimana pembiayaan itu bisa
langsung ke project sponsor-nya atau langsung ke project owner. Walau demikian, masih tetap berharap
bahwa project sponsor tetap memberikan dukungan pada project-nya, mana kala ada ketidakmampuan
membayar project.
PT SMI sendiri berdiri sebagai institusi non-bank, atau, menggunakan nomenklatur yang ada di
bawah OJK, Institusi Keuangan Non-bank (IKNB). Itu sebabnya, PT SMI diberikan fleksibilitas, walaupun
tetap diawasi, termasuk dalam multi-finance. Pembiayaan inti dari PT SMI adalah yang terkait dengan
pendanaan dan investasi. Tapi karena status PT SMI termasuk dalam IKNB, maka status mereka adalah
seperti kegiatan lainnya, advisory maupun employed. Untuk proyek-proyek yang masih mengalami
masalah dalam dokumentasi yang menjadi requirement dari sisi kredit pembiayaan investasi, biasanya
akan diberikan investasi di sisi proyek.
Portfolio PT SMI masih banyak bergerak di mini-hydro. Berdasarkan pengalaman dari PT SMI,
memang ada kesulitan pada saat melakukan limited recourse, terutama dari keluaran listrik yang bisa
dibeli. Untuk kegiatan-kegiatan energi terbarukan lainnya, seperti angin, matahari, juga sedang dijajaki.
Saat ini, status PT SMI masih sebagai project advisory. PT SMI melapor kepada Kementerian Keuangan,
dan karena tidak melaporkan ke BUMN, maka bentuk badan PT SMI adalah Persero. PT SMI memiliki
tujuan untuk memiliki proyek energi terbarukan, dan memiliki project sponsor yang kuat dengan
menggunakan equity, memiliki cashflow project yang cukup stabil, sebagai bagian dari enabling
environment. Itu sebabnya, PT SMI berharap untuk bisa mewujudkan enam poin yang terdapat di
presentasi (Lihat Gambar 2).
PT SMI menyebutkan bahwa untuk peningkatan kapasitas, PT SMI mendapatkan bantuan dari
program USAID ICED untuk melakukan review dan peningkatan kapasitas, dimulai dari 0.5 MW untuk mini
hydro yang didanai oleh PT SMI. Saat ini, portfolio PT SMI untuk mini-hydro sudah cukup banyak.
Proposal dari project developer nanti masuk, kemudian akan ditinjau, dicek kelengkapan
dokumennya, feasibility study, tinjauan teknis, tinjauan segi legal, akan dilakukan di tahap awal oleh
bagian kredit. Bagian kredit kemudian akan mengajukan ke bagian risk committee dan risk management.
Walaupun PT SMI selalu berusaha untuk mengedepankan energi terbarukan, namun, bagian manajemen
resiko selalu melihat perbedaan. Ini adalah contoh dari bagaimana teman-teman risk management
melihat suatu proyek energi, khususnya mini-hydro. Biasanya, bagian resiko di PT SMI akan memberikan
2
A non-recourse debt is a type of loan that is secured by collateral, which is usually property. If the borrower
defaults, the issuer can seize the collateral, but cannot seek out the borrower for any further compensation, even
if the collateral does not cover the full value of the defaulted amount.
~7~
warna untuk menentukan bagian mana yang beresiko. Jika warnanya semakin terang, maka resiko pada
komponen tersebut semakin rendah (Lihat Gambar 3).
~8~
Gambar 2 Lokasi proyek energi terbarukan PT SMI
~9~
Gambar 3 Studi kasus PT SMI tentang pendanaan mini hydro power plant
Untuk kasus pendanaan mini-hydro, bagian resiko di PT SMI menilai bahwa, PLN memberikan
resiko yang sangat rendah. Hal ini dapat dimaklumi, karena PLN adalah proven offtaker, supported by the
Government, dan sebagainya. Aspek-aspek inilah yang memberikan penilaian yang cukup baik. Pada
bagian sponsor, seringkali sponsor yang dihadapi adalah mereka yang bisa beralih dari bisnis yang noninvestment ke investment.
Untuk technology adviser, jika masuk ke dalam bisnis tersebut, bisnis utamanya lebih ke
mechanical engineering. Ketika masuk dalam bisnis mini-hydro, karena kebanyakan pekerjaan mini-hydro
itu banyak di civil works, maka harus juga berhadapan dengan faktor kestabilan tanah. Jika pada saat mau
dibangun dan dioperasikan, tanahnya longsor, maka COD (Cash On Delivery) yang diharapkan berjalan
pada waktu tersebut harus tertunda selama satu tahun. Oleh karenanya, akan terjadi perencanaan ulang,
dan harus dilakukan structuring.
Untuk hal seperti ini, jika investasi asing masuk, maka hal tersebut akan sangat menolong PT SMI
karena mereka punya pengetahuannya. Sebenarnya tidak ada salahnya juga untuk Indonesia, karena
pengetahuan yang dimiliki oleh investor asing akan diberikan kepada kita. Proyek kedua bisa dilakukan
sendiri. Dari sisi operator misalnya, mereka dapat melihat bagaimana mereka mengelola portfolio dari
proyek yang mereka tangani.
Terkait dengan EPC sebagai kontraktor, hanya beberapa nama yang mungkin bisa dibilang boleh
masuk dalam rating yang lebih memadai. Salah satu pengalaman PT SMI adalah proyek angin, yang juga
menarik. Posisinya, PT SMI dengan UNDP, bersamaan mencari investor. Ketika mencari investor, kembali
lagi kekhawatiran mengenai kepemilikan sebesar 49% muncul. Walau demikian, dari sisi pendanaan, hal
ini sangat reliable.
Hal spesifik lainnya yang terkait dengan energi terbarukan adalah dari sisi green liability. Jadi,
untuk proyek-proyek seperti solar PV, wind, fluktuasinya cukup besar dari sisi sistem. Ketika grid di
Indonesia masih berada dalam konteks yang cukup tertinggal, kesulitan akan muncul di sisi PLN.
Masalah lain yang dihadapi adalah terkait dengan feasibility study. Pengalaman PT SMI, ada satu
proyek minihydro PT SMI di Solok Sumatera Barat, di mana sudah ada kesepakatan dengan pengembang
bahwa listrik yang akan dihasilkan sebesar 8 MW. Namun, pihak manajemen PLN menyampaikan bahwa
permintaannya sebenarnya tidak demikian. Maka permintaan yang tadinya dilempar ke satu titik,
sementara ada permintaan yang cukup potensial, dan mungkin bisa di-unlock untuk memenuhi kebutuhan
di tempat tersebut, sampai akhirnya tidak bisa memenuhi permintaan yang ada di sana.
Pengalaman PT SMI membuktikan, bahwa dari sisi pendanaan akan ada kesenjangan. Misalnya
tentang FiT; itu given. Demikian pula dengan equity, hal tersebut juga given. Biasanya yang terkait dengan
peminjam hanya terbatas pada angka, mungkin 50% dari pembiayaannya. Equity investor hanya mungkin
memberikan 20%. Ada remaining gap sebesar 30%. Siapa yang dapat menutupi 30% tersebut? Kolaborasi
~ 10 ~
lebih lanjut dengan lembaga-lembaga donor, ICCTF, mungkin juga dengan lembaga-lembaga multilateral,
dengan memberikan grant to loan, mungkin dapat menyelesaikan masalah kesenjangan ini.
Walau demikian, mekanisme grant to loan akan menyebabkan accounting-nya menjadi sulit.
Lebih baik memberlakukan pinjaman lunak berjangka panjang. Peran SMI sendiri adalah sebagai pemasok
dari produk-produk tersebut. Namun, karena sifatnya persero, maka ruangnya masih terbatas. Perihal
pricing juga, membuat PT SMI harus menerbitkan surat hutang, karena sumber pendanaan yang dimiliki.
PMN saat ini sedang sulit, sehingga PT SMI harus menerbitkan surat hutang atau dari lembaga-lembaga
donor lain, di pasar. Inilah proses yang sedang dijalani.
PT SMI mendapatkan bantuan dari AfD sebesar USD 100 juta, dan juga sebuah fasilitas di mana
jika terjadi kegagalan proyek, maka fasilitas itu dapat digunakan sebagai pintu dan masuk sebagai equity.
Fasilitas ini disebut dengan Kuasa Equity Facility. Model-model seperti ini bisa digunakan untuk lembagalembaga donor, dalam membantu lembaga-lembaga perbankan yang jauh lebih konservatif daripada PT
SMI.
Terkait dengan proses pengajuan dokumentasi untuk kredit, jika berbicara mengenai limited
recourse, karena yang akan menjadi basic lending-nya adalah project asset, maka dokumen yang
diperlukan akan sangat banyak. Namun, untuk mempermudah project developer, SMI akan mengeluarkan
template-template yang bisa membantu project developer. Ini memang hal-hal yang memang harus
dilakukan dalam jangka waktu dekat.
3. Pembelajaran dari Danareksa Capital
Sama seperti PT SMI, Danareksa Capital merupakan anak perusahaan dari Danareksa Persero,
yang merupakan BUMN yang saat ini sudah menjadi holding company di bawah pengaturan OJK dalam
institusi pendanaan nonbank. Fungsi Danareksa Capital sendiri, bergerak di bidang private equity dan
investment serta financial advisory. Danareksa persero didirikan pada tahun 1976, sementara Danareksa
Capital berdiri di tahun 2010. Walau demikian, Danareksa Capital sudah masuk ke dalam beberapa
investasi baik secara equity, project financing, risk financing maupun triangular financing.
Seperti layaknya perusahaan untuk private equity, posisi Danareksa Capital memang berbeda
dengan PT SMI, di mana Danareksa Capital hanya menjembatani saja, dan tidak memegang long-term
debt untuk financing.
Salah satu portfolio Danareksa Capital adalah pembiayaan untuk mini hydro power plant dengan
nilai 95 miliar rupiah, proyek ini sebenarnya dimulai pada tahun 2012. Walau demikian, Danareksa Capital
baru masuk pada tahun 2014 di mana tahap konstruksi sudah mencapai hingga 60%. Awalnya bank sudah
menyatakan berminat untuk membiayai, namun tiba-tiba karena kemudian banyak project-project PLTMH
yang menyebabkan bank mengalami overrun cost, delay of commissioning, sehingga bank yang tadinya
membiayai project tersebut, menyatakan masuk COD. Lalu, project tersebut dialihkan ke Danareksa
Capital, di mana Danareksa Capital diminta untuk membiayai project tersebut. Saat itu yang dilakukan
~ 11 ~
oleh Danareksa Capital adalah menganalisa, melakukan due dilligence, mencoba untuk menggandeng
technical consultant, yang kemudian memasuki pendanaan tersebut hanya tiga minggu sebelum COD.
Sebagai bagian dari exit strategy, Danareksa Capital sudah memiliki bank yang akan membiayai atau take
over pendanaannya. Jadi fungsi Danareksa Capital sebenarnya adalah untuk menjembatani ketika bank
tidak mau mengambil construction risk, dan Danareksa Capital mengambil resiko dari sisi pembiayaan.
Namun, semuanya kembali lagi ke investor.
Untuk masuk ke project, keputusan akan kembali kepada investor. Sebagai sebuah private equity,
Danareksa Capital juga memiliki investor yang mengharapkan return dari bank maupun bunga di pasar
modal. Termin tenor yang diberlakukan juga tidak panjang; hanya sekitar 1.5-2 tahun, maksimum. Itu
untuk proyek PLTMH. Selama mengerjakan proyek PLTMH, Danareksa Capital menghadapi beberapa
kendala bahkan ketika technical consultant sudah digandeng. Kendala yang dihadapi terkait dengan
proyek ini adalah di construction risk. Misalnya, sempat ada resiko konstruksi seperti adanya longsor.
Longsor ini akan menunda commissioning dan juga COD. Dalam hal seperti ini, pada umumnya akan
diperlukan semacam equity injection, melalui BUMD terkait misalnya. Misalnya satu proyek di mana
BUMD Jabar menjadi back up dari proyek. Peran yang akan dimainkan oleh BUMD tersebut adalah setiap
ada equity injection, mitigation risk yang diberlakukan adalah asuransi. Asuransi yang pernah digunakan
adalah Jasindo.
Pada proyek tersebut, lack of experience baik dari project developer maupun juga dari EPC sebagai
kontraktor, tapi dalam pelaksanaan proyek sangat dimungkinkan untuk terjadi dispute antara project
owner dan EPC. Walaupun EPC yang digunakan adalah EPC BUMN yang sudah berpengalaman. Bagi
institusi pendanaan seperti Danareksa Capital, tantangan di aspek finansial menjadi salah satu risk
concern dari institusi pendanaan. Hal ini disebabkan karena jika terjadi dispute antara EPC dan project
owner, otomatis pengembalian pendanaan juga akan terlambat. Itu terjadi di proyek minihydro.
Kedua, pembelajaran dari proses untuk mendanai proyek PLTS dengan size 1 MW3. Berdasarkan
penilaian Danareksa Capital, energi terbarukan berbasis surya memang masih baru di Indonesia,
walaupun potensinya cukup besar. Proyek ini juga merupakan proyek on-grid yang ditempatkan di wilayah
timur Indonesia, di mana dibangun untuk mengurangi kebutuhan solar; jadi lebih ke arah energi efisiensi.
Memang kalau dilihat di NTT itu banyak nelayan yang di siang hari malah ada di rumah,
menyalakan TV, kulkas, listriknya dipasok dari tenaga surya ini. Kompleksitasnya dibandingkan dengan
minihydro, memang surya lebih sederhana, karena yang dipegang bukan konstruksi listrik, tapi lebih ke
energy design system.
Danareksa Capital juga menggandeng technical consultant dari Jerman untuk melakukan
assessment. Setelah melakukan pertemuan dengan final producer-nya, termasuk untuk inverter, yang
dinilai dapat memitigasi resiko-resiko yang ada, maka Danareksa Capital kemudian memutuskan untuk
mendanai proyek tersebut. Dana yang dikeluarkan sekitar 70-80% dari total project cost, namun,
Danareksa Capital juga meminta back-up dari holding-nya/project sponsor. Selain mengikat asset-asset
3
Danareksa Capital dalam forum diskusi ini menyatakan bahwa untuk pendanaan PLTS dengan kapasitas yang
lebih besar 1MW, Danareksa Capital mungkin adalah institusi pendanaan pertama yang mendanai.
~ 12 ~
tersebut, mekanisme asset equity facility juga ditetapkan, di mana Danareksa Capital memiliki hak atas
kepemilikan saham. Apabila terjadi kegagalan project, maka Danareksa Capital berhak untuk mengambil
saham proyek yang adalah 51%. Untuk berikutnya, Danareksa Capital menyatakan ketertarikannya untuk
masuk dari sisi equity. Tapi karena ini salah satu teknologi yang relatif baru di Indonesia, Danareksa Capital
memutuskan untuk masuk ke project financing terlebih dahuulu. Hambatan juga terkait dengan FiT dan
regulasi.
Kalau dari sisi source of funding, OJK sempat menempatkan Danareksa Capital pada posisi
membolehkan Danareksa Capital untuk mengelola dana ventura. Potensi dari dana ventura ini adalah bisa
menarik dana pensiun atau asuransi, untuk masuk ke dalam proyek-proyek energi terbarukan. Dana
ventura ini tidak masuk dalam pendanaan, hanya boleh untuk equity, pembiayaan. Namun, dari sisi
investor Danareksa Capital, ketentuan ini sedikit bertentangan, karena para investor cenderung untuk
masuk sebagai pendanaan, bukan equity. Terkait dengan hal ini, Danareksa Capital memberikan masukan
kepada OJK untuk merevisi bagian terkait dengan IKNB.
4. PT Buana Energy Surya Persada
PT Buana Energy Surya Persada adalah sebuah perusahaan yang memiliki fokus pada pembangkit
listrik berbasiskan energi terbarukan. Saat ini masih mengerjakan hal terkait dengan PLTS, namun ke
depannya berminat untuk masuk ke minihydro dan biomass.
Menurut analisis dari PT Buana Energy Surya Persada, saat ini terdapat tiga sumber energi
terbarukan yang memiliki potensi yang besar: surya, mini-hydro, dan biomassa. Dibandingkan ketiga
sumber tersebut, yang memiliki resiko paling rendah adalah surya. Terdapat empat komponen utama
dalam pengembangan energi surya: solar module (yang berfungsi untuk mengubah cahaya menjadi
listrik), inverter yang memiliki fungsi untuk mengubah arus searah menjadi arus bolak-balik, molding
system yang berfungsi sebagai dudukan solar module, storage dan distribution system.
Berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh PT Buana Energy Surya Persada, dinyatakan bahwa
garansi yang ditawarkan oleh manufaktur maupun kontraktor EPC, memberikan status aman bagi PT
Buana Energy Surya Persada. Kontrak yang dibuat dengan PLN adalah selama 20 tahun, sedangkan
produknya sendiri bisa digaransi dari 10-25 tahun, sedangkan keseluruhan sistem energi terbarukan akan
digaransi minimal lima tahun.
PT Buana Energy Surya Persada merupakan produk dari Permen no. 17/2013 sebelum dicabut dan
di revisi. Permen tersebut mengatur tata cara bagaimana mendapatkan proyek ini, diatur pula tentang FiT
dan kuota kapasitas. Sebelumnya ada 80 lokasi yang bisa ditenderkan, total 140 MWp. Sayangnya, hingga
akhir tahun lalu, baru tujuh lokasi yang ditenderkan: Kupang yang dibangun oleh LEN, Sumba dibangun
oleh PT Buana Energy Surya Persada, Tambua, Kota Baru, Gorontalo, Maumere, dan lokasi lainnya.
Memang saat ini masih fokus pada NTT. Mungkin pertimbangan yang digunakan adalah radiasi di NTT
memang salah satu yang terbaik di Indonesia. Selain itu pula, kebutuhan listrik di Sumba Timur, 100%
pemenuhan kebutuhan listriknya melalui diesel. Jadi, mungkin pemerintah sebenarnya melihat ini sebagai
~ 13 ~
solusi, mungkin saat ini yang dilihat adalah harga minyak murah, namun sebenarnya bukan hal itu yang
terjadi. Harga juga menjadi pertimbangan, dan yang kedua masalah availability/ketersediaan.
Terkait dengan masalah ketersediaan. Mungkin saat ini harga solar murah, namun ketersediaan
solar di tempat tersebut tidak terjamin. Bahkan pada saat melakukan sosialisasi pada masyarakat
setempat, masyarakat menyatakan bahwa frekuensi listrik tersedia jauh lebih sedikit daripada frekuensi
listrik tidak tersedia. Hal ini artinya adalah tidak tersedianya listrik merupakan suatu hal yang biasa. Ini
menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri, bagaimana caranya mengembangkan suatu daerah apabila
infrastruktur energi tidak tersedia? Tanpa infrastruktur energi, pembangunan pun tidak akan terjadi.
Strategi bekerja dari PT Buana Energy Surya Persada adalah setelah mendapatkan kontrak Power
Purchase Agreement (PPA) dengan PLN selama 20 tahun, EPC dan financial institution (baik yang
perbankan maupun yang non-perbankan) kemudian digandeng untuk bekerja sama. Dalam pengelolaan
PLTS, listrik yang dihasilkan akan dibayarkan oleh PLN, kemudian uangnya itu akan dibayarkan untuk
institusi pendanaan itu sendiri, financial debt institution. Penekanan yang diberikan oleh PT Buana Energy
Surya Persada di sini adalah, ketika ada kontrak dari PLN, atau setelah membangun pembangkit listrik
berbasiskan energi terbarukan, engagement dengan institusi pendanaan menjadi cukup penting. Hal ini
disebabkan karena, tanpa dukungan pendanaan dari proyek itu sendiri, maka proyek tidak akan dapat
berlangsung.
Dalam pencapaian financial close, PT Buana Energy Surya Persada memberikan pembelajarannya.
Apa yang dihadapi adalah, ketika tender dimenangkan pada bulan Maret tahun 2013, penandatanganan
PPA baru dilakukan pada tanggal 20 Agustus tahun yang lalu. Itu artinya, diperlukan waktu lebih dari satu
tahun untuk persiapan dokumentasinya. Permasalahan yang dihadapi adalah, setelah memenangkan
tender, pemenang tender harus memberikan dana sebesar 20% dari CAPEX. Itu artinya ada dana dari
pengembang yang terendap selama lebih dari satu tahun. Saat ini institusi pendanaan masih
memperlakukan resiko dari energi terbarukan, sama untuk seluruh teknologi. Padahal seharusnya ada
perbedaan perlakuan terhadap masing-masing teknologi.
Saat ini, dalam setiap pembahasan mengenai pembiayaan teknologi energi terbarukan, yang
diundang barulah divisi bisnis; ada baiknya, divisi resiko juga mengetahui tentang pemaparan ini secara
langsung. Pada umumnya, sisi manajemen resiko hanya mendapatkan informasi dari data tertulis. Itu
sebabnya, disarankan pemerintah melalui OJK, bisa memberikan sosialisasi kepada perbankan untuk
semua divisi, bukan hanya divisi bisnis, tapi juga divisi manajemen resiko.
Perbankan juga melihat bagaimana kredibilitas dari PLN. Tetapi kadang-kadang perbankan kurang
percaya dengan PLN. Padahal, segala sesuatunya memang sudah di-set seperti itu. Contohnya, ketentuan
untuk FiT, PLN itu hanya mengelas, sedangkan ketentuan yang sebenarnya sudah diatur oleh Kementerian
ESDM dan juga Kementerian Keuangan. Tidak ada sosialisasi bahwa top-up itu berasal dari Pemerintah.
Selanjutnya, untuk PLN, ada juga masalah mengenai perjanjian jual beli tenaga listrik. PPA itu harus
menyenangkan semua pihak bukan hanya PLN, atau pengembang, tapi juga penyandang dana. PerMen
ESDM No. 17 tahun 2014 misalnya, begitu program ini belum jalan 100%, tiba-tiba harus di-cancel untuk
revisi. Ini akan menimbulkan persepsi yang tidak jelas baik dari segi pengembang maupun di sisi
~ 14 ~
pendanaan. Kalau perubahan terjadi terus menerus, akan membuat pengembang menjadi tidak tertarik
untuk mengerjakan proyek. Di sinilah peran pemerintah sebagai regulator dijalankan, untuk menyusun
regulasi.
Gambar 4 Diskusi mengenai hambatan dan investasi energi terbarukan di Indonesia
5. Diskusi
Dalam diskusi, beberapa isu muncul terkait dengan paparan yang diberikan:
A. Sinkronisasi antar kebijakan
Pemerintah saat ini sudah punya banyak kebijakan, tapi, masalahnya adalah kebijakan tersebut
tidak terhubung dengan yang dimiliki oleh OJK. Saat ini, misalnya, PTPN IV sedang membangun
pembangkit listrik dengan menggunakan energi terbarukan. Tahun ini akan dibangun dengan kapasitas 2
MW, dan 1 PLTMH 4 MW. PTPN IV juga akan membuat green-diesel, dengan tingkatan lebih advance dari
bio-diesel. Masalahnya kembali ke tarif. Tarif yang ditentukan oleh ESDM sudah cukup baik. Namun, ketika
sudah ke PLN, seringkali tidak semulus dengan apa yang ada di PerMen, yang sudah jelas, seakan-akan
bisa langsung jual. Hal ini sepertinya harus dibenahi.
Terkait dengan perbankan, PTPN IV menyatakan bahwa sampai dengan saat ini belum ada
hambatan terkait dengan perbankan. Masalah justru muncul di sisi off-taker-nya.
B. Perijinan di tingkat pemerintah daerah
Masalah izin di tingkat pemerintah daerah juga harus menjadi satu pemahaman antara pusat dan
daerah. Ada yang merasa bahwa itu adalah proyek yang menghasilkan uang, sehingga harus mendapatkan
sesuatu dari hal tersebut. Ini jadi hambatan. PTPN IV mengajukan izin beberapa waktu yang lalu, namun
baru delapan bulan kemudian izin tersebut keluar.
~ 15 ~
PT SMI menyatakan bahwa dalam hal ini, diperlukan adanya semacam template atau standar.
Terkait dengan perizinan, memang sangat penting untuk mengikutsertakan pemerintah. Misalnya izin
pinjam-pakai, mengurusnya cukup menyita waktu dari sisi pengembang. Proses penyiapan proyek
sebenarnya bisa dibantu oleh Pemerintah, ketika izin semua diperoleh, indikatif PPA-nya sudah ada, baru
kemudian dilelang. Hal tersebut sepertinya lebih menarik.
Beberapa hambatan yang juga diidentifikasi oleh Bappenas dalam hal ini adalah terkait masalah
regulasi, seperti izin, regulasi untuk hutan, serta permasalahan proses izin yang sangat panjang.
C. Pendanaan clean energy
Bappenas menyatakan bahwa clean energy adalah produk yang mewah dan mahal, terutama
untuk Indonesia. Sisi yang lain, Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Indonesia
punya potensi untuk menjadi produsen bahan bakar nabati terbesar di dunia. Namun kebijakan ini tidak
ada, contohnya, untuk memproduksi green-diesel, kita perlu biaya konversi USD 160/ton. Apa yang
dilakukan oleh ESDM adalah menyediakan USD 125/ton, karena mengacu pada minyak bumi. Padahal,
harusnya Indonesia sudah meninggalkan paradigma minyak bumi dan harus mulai masuk dengan
paradigma bahan bakar nabati. Itu lah yang seharusnya menjadi referensi. Referensi yang digunakan
jangan lagi menggunakan MOPS singapura, misalnya, melainkan menggunakan harga biodiesel-nya
Indonesia, misalnya untuk harga BBN.
Terkait dengan biaya ini, siapa yang akan membayarkan selisihnya; apakah Pertamina, PLN, atau
pihak pengembang? Pihak pengembang kemungkinan besar tidak akan mau melakukannya. Sedangkan
Pertamina dan PLN juga tidak boleh melakukan hal tersebut, sesuai dengan UU PT. Pertanyaannya
kemudian adalah apakah subsidi akan ada? Ini musti dibereskan, agar Indonesia menjadi negara yang
ramah lingkungan, di mana semua energinya berasal dari energi terbarukan. Apakah mungkin ada
kesepakatan baik dari Bappenas maupun keuangan, untuk memberikan special rate guna
mengembangkan proyek-proyek ini. Jika menggunakan rate 15%, bisa dipastikan ini tidak menjadi
menarik. Karena dari Bank Mandiri saja, suku bunga yang diberikan adalah 9%. Jadi, di mana istimewanya
pendanaan energi terbarukan ini?
Peserta dari Gikoko menyebutkan bahwa solusi yang mungkin untuk diberlakukan adalah subsidi
dari kementerian langsung diberikan kepada proyek.
PT SMI menyatakan bahwa saat ini telah didirikan sebuah unit khusus di dalam PT SMI sendiri;
yaitu unit pendanaan untuk energi terbarukan. Di dalam unit tersebut, telah disiapkan anggaran terkait
dengan penyusunan dokumen dan lain-lain. Walau demikian, PT SMI menyatakan bahwa mereka tidak
dapat bergerak sendiri, dan memerlukan dukungan dari pihak lain seperti OJK, ESDM, Bappenas, dan juga
profesional.
D. Pembentukan taskforce
Pembentukan taskforce menjadi sebuah usulan di dalam diskusi. Hal ini disebabkan karena,
hambatan-hambatan pengembangan energi terbarukan sudah diketahui, dan sudah seharusnya ada
~ 16 ~
stimulus terkait dengan kebijakan ini. Stimulus ini diperlukan, terutama karena memang dari sisi bisnis
bank, saat ini energi terbarukan masih masuk dalam kategori 'high risk'. Jika hal ini ingin diatasi,
peningkatan kapasitas,perlu dijembatani regulasi dengan stimulus ataupun relaksasi supaya bank bisa
masuk secara bertahap. Kalau melihat ke belakang, UMKM pun awalnya juga dibuat gradual, tahun 2015
bunganya 15%, di tahun 2016 jadi 10%.
Menurut OJK, sebenarnya bobot permasalahan itu lebih banyak di sektor real, sehingga harusnya
yang lead adalah kementerian terkait dan OJK akan menyesuaikan. Salah satu yang saat ini difokuskan
adalah dari sisi pendanaannya, tentang bagaimana OJK mendorong perbankan untuk semakin terbiasa
dengan project based financing. Masalah dari pembiayaan yang ada adalah rata-rata project owner-nya
itu adalah pengusaha menengah dengan modal sangat terbatas.
E. Pembentukan sindikasi
Usulan lain adalah terkait dengan pembentukan sindikasi, dimana ada pertukaran pengetahuan
dan energi yang ada. Danareksa Capital menyatakan perlunya sindikasi, dan hal tersebut yang dilakukan
terkait dengan beberapa proyek, terutama yang terkait dengan equity dan project financing, di mana
harus ada exit strategy. Misalnya untuk proyek-proyek ini, yang dari awal sudah mengikutsertakan bank
dan telah dilakukan penyesuaikan terms.
PT SMI juga menyatakan kesiapannya terkait dengan pembentukan sindikasi. PT SMI sendiri
menyatakan bahwa PT SMI tidak mengambil seluruh pembiayaan energi terbarukan, melainkan menjadi
katalisator.
F. Kolaborasi antar pihak
Mengambil contoh untuk pencapaian bauran energi terbarukan sebesar 23% dari total energi di
Indonesia. Berbicara mengenai energi terbarukan, sebenarnya komposisi terbesar didominasi oleh big
hydro power dan juga panas bumi, yang investasinya luar biasa besar. Seringkali, dana yang diperlukan di
luar kemampuan. Sedangkan untuk yang skala kecil sebenarnya terletak di wilayah Indonesia Timur.
Namun, yang jadi pertimbangan dengan pembangunan sistem energi di wilayah tersebut adalah: (i). single
buyer, PLN; (ii). kecil-kecil, kemungkinan grid system-nya adalah island mode, jadi tidak masuk dengan
grid-nya PLN. ; (iii). Ukurannya kecil dan tersebar, yang merupakan tantangan bagi para pengembang,
terutama pengembang lokal, bukan Jakarta.
Sebetulnya energi terbarukan bisa menjadi engine of growth kalau berbicara mengenai REBID
(renewable energy based industrial development, ukurannya besar, dan itu sangat mungkin untuk
dibangun di daerah timur dengan tambang yang memerlukan smeltering plant, dan lain-lain) dan REBED
(Renewable Energy based Economy Development), apalagi jika dikembangkan di Indonesia Timur.
Dengan kompleksitas seperti itu, seharusnya OJK tidak hanya bergerak di Jakarta saja, demikian
pula dengan PT SMI; namun, harus ada yang bisa merambah ke daerah. Apakah mungkin untuk dibuat
suatu tim kolaborasi antara bank, sebagai financing resources, kemudian OJK sebagai auditor, kemudian
Dirjen EBTKE, Kementerian ESDM sebagai regulator, serta konsultan yang memiliki pengalaman dan
~ 17 ~
reputasi yang baik. Kolaborasi inilah yang diperlukan untuk dapat mencapai target bauran energi
terbarukan sebesar 23% dari total energi di Indonesia.
G. Harga dan pricing policy
Pricing policy menjadi penting dalam hal ini, karena jika tidak, maka masalah pengembangan
energi terbarukan di Indonesia tidak akan pernah selesai. Menurut Fabby Tumiwa, referensi harga yang
digunakan harus ditinjau ulang. Apakah menggunakan harga CPO ekspor sebagai basis, atau
menggunakan model cost-plus, yang menggambarkan biaya yang diperlukan untuk menghasilkan CPO dan
biodiesel dibandingkan dengan menggunakan harga market. Pricing policy memang penting, tapi
bagaimana formulanya, itu yang perlu ditetapkan. Jika menghitung dana CPO fund, misalnya, untuk
membayarkan subsidi biofuel, pada tingkatan harga tertentu, dana tersebut tidak akan cukup. Jika ingin
menjadikan Indonesia sebagai Saudi Arabia-nya CPO, maka isu terkait dengan pricing policy memerlukan
diskusi lebih lanjut.
H. Resiko teknis dari pengembangan energi terbarukan
Sumber energi terbarukan seperti air, matahari, angin, mungkin tidak memiliki resiko
keberlanjutan bahan baku. Tapi kalau untuk biomassa, resiko keberlanjutan bahan baku mungkin untuk
terjadi. Ada kebijakan bahkan dari pemerintah sendiri, bahwa kalau biomassa itu diekspor malah bebas
pajak, tapi kalau digunakan dalam negeri malah kena PPN. Namun, saat ini dengan perdagangan, sudah
ada peraturan akan ada bea ke luar karena itu turunannya sawit, bahwa ekspor tersebut akan dikenakan
biaya sebesar 10% dari biaya ekspor.
Menurut Danareksa Capital, saat ini bioenergi belum dikembangkan karena proposal yang masuk
baru hidro (PLTMH) dan solar. Sebelumnya ada juga yang datang ke Danareksa Capital, yaitu angin. Tapi
Danareksa Capital menilai bahwa, angin memiliki resiko yang tinggi. Setelah dipelajari, beberapa lokasi di
Indonesia, kecepatan anginnya tidak sustain. Jadi, perputaran turbinnya akan sangat terpengaruh; dan
bagi project owner, ini sangat beresiko. Sebenarnya yang harus dilihat bukan hanya dari sektornya, namun
juga dari backup dan holding dari sponsornya.
I. Pembangunan energi terbarukan lainnya
Beberapa teknologi energi terbarukan sebenarnya sudah grid parity, artinya cost-effective dengan
fossil fuel, misalnya solar PV. Solar PV saat ini melalui kontrak-kontrak terbaru, harganya adalah USD 78c/kWh. Jadi, tidak semahal dulu. Saat ini, pada utility scale dengan biaya USD 7-8c/kWh dan proyeknya
sudah jalan; beberapa bahkan sudah commission. Secara sumber daya, Indonesia memiliki sumber daya
tersebut. Indonesia bisa mengembangkan di Jawa; kalaupun ada permasalahan lahan, bisa diatasi dengan
rooftop. Di luar Jawa juga bisa, tapi tentunya ini harus size-specific.
Paradigma lainnya adalah apakah kita akan tetap dengan paradigma centralized powerplant,
dihubungkan dengan grid, atau model decentralized power plant yang kemudian masuk ke satu ekosistem
yang design system-nya menjadi berbeda, sekaligus pilihan-pilihan pembangkitnya.
~ 18 ~
J. Merit order PLN4
Terkait dengan masalah merit order dari PLN, bagi PLN sendiri, ini merupakan masalah resiko di
sistem. Memang merit order yang akan sangat menentukan berapa yang mau masuk ke sistem. Oleh
karena itu, pasti pembangkit yang lebih murah dulu yang akan didahulukan. Oleh karena itu, memang
prinsip merit order ini akan menyebabkan pembangkit yang paling mahal akan masuk belakangan. Jadi
memang untuk energi terbarukan, jika ini memang mau dimasukkan ke sistem, solusinya memang hanya
dua: (i) untuk membuat harga energi terbarukan kompetitif; (ii) jika energi terbarukan tidak bisa costcompetitive, maka memang harus diberlakukan subsidi.
Tujuan PLN adalah berusaha untuk mempertahankan, atau membuat system cost-nya murah.
Oleh karena itu pembangkit yang lebih murah dulu yang akan didahulukan dan pembangkit yang paling
mahal akan masuk belakangan.
Pertanyaan lain yang timbul adalah: siapa yang akan menanggung system reability cost? Di
Amerika, system reability cost harus ditanggung oleh Independent Power Producer (IPP), karena yang
punya transmission-nya bukan utility, tapi system operation-nya. Sehingga semua peserta, siapa pun juga,
harus menanggung system reability cost-nya. Di Indonesia, hal ini belum berlaku. Oleh karena itu memang
menjadi dilema untuk PLN, karena semakin banyak energi terbarukan yang masuk, maka PLN harus
menanggung system IP yang lebih besar. Ini memang harusnya ditanggung dengan menggunakan regulasi.
Ini aspek-aspek yang terkait dengan merit order dan reability cost. Merit order dan reability cost,
memang harus dibahas, dan regulasi yang ada belum lengkap. Banyak aspek regulasi yang ada di Indonesia
adalah regulasi yang sifatnya di permukaan, umum. Padahal integrasi energi terbarukan dengan grid,
regulasi yang ada sudah harus melingkupi faktor teknis.
K. Pembelajaran dari pihak-pihak atau negara-negara lain
Skema pendanaan juga harus berbeda, beberapa pembelajaran misalnya dari kasus-kasus di India,
atau Banglades, cukup menarik. Jika ingin mempelajari penggunaan skema pendanaan untuk energi
terbarukannya, mereka menggunakan instrument development financing; seperti development bank, tapi
dana murahnya diambil dari international financial institution (KfW atau bilateral), dapat bunga murah.
Itulah yang kemudian digunakan untuk mendanai pembangunan. Model-model seperti ini yang belum
pernah digali.
Itu sebabnya, pengembangan energi terbarukan yang akan masuk ke pasar
Hambatan Investasi dan Pendanaan Proyek
Energi Terbarukan di Indonesia
Hotel Pullman, 1 Maret 2016
ditulis oleh Henriette Imelda, Deni Gumilang
© GIZ melalui kerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas dan Otoritas Jasa Keuangan
Pada tanggal 1 Maret 2016, bertempat di Hotel Pullman Jakarta Pusat, Deutsche Gesellchaft für
Internationale Zusammenarbeit (GIZ) bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, mengadakan Focus Group Discussion
dengan judul "Hambatan Investasi dan Pendanaan Proyek Energi Terbarukan di Indonesia". FGD ini
menghadirkan empat narasumber: (i) Bapak Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform
(IESR) yang menyampaikan hasil studi dengan judul ͞Mapping barriers, risk mitigation instrument and
financing mechanism to enhance investment on renewable energy͟; (ii) Bapak Darwin Trisna Djajawinata,
Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI); (iii) Bapak Rifki Hasan, Assistant Vice President Danareksa
Capital, dan (iv) Bapak Rico Syah Alam, Direktur PT Buana Surya Persada.
FGD ini dibuka oleh Ibu Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup dari Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Ibu Wahyuningsih Darajati menyampaikan bahwa
kebutuhan akan energi di masa yang akan datang, akan meningkat. Pada saat yang bersamaan, pada
tahun 2009 yang lalu, Indonesia sudah menyampaikan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah
kaca hingga 26% di tahun 2020, dan pada pertemuan COP 21 UNFCCC di Paris pada bulan Desember 2015,
Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29% di tahun 2030 dengan upaya
sendiri. Komitmen ini, akan dituangkan dalam revisi Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011, yang saat ini
sedang dalam proses penyelesaian.
Ibu Wahyuningsih Darajati juga menyampaikan pentingnya keterlibatan dan kerja sama para
pemangku kepentingan yang ada di dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca, terutama dari sektor
energi. Bagaimana pemangku kepentingan yang lain diluar pemerintah bisa berkontribusi dalam
pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca, apa yang dibutuhkan oleh pemerintah agar
pemangku kepentingan lain dapat berkontribusi secara maksimal.
Fokus kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca di bidang energi antara lain: energi baru dan
terbarukan, di mana sesuai dengan kebijakan energi nasional (KEN), energi baru dan terbarukan
ditargetkan mencapai 23% dari bauran energi nasional pada tahun 2025. Fokus lainnya adalah
pemanfaatan gas metana dan peningkatan efisiensi penggunaan listrik. Beberapa target yang telah
ditetapkan untuk memenuhi target dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) adalah jumlah kapasitas
terpasang pembangkit energi terbarukan mencapai 46.3 GW dan biofuel sebanyak 16.1 kiloliter. Total
~1~
investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan pembangkit energi terbarukan tersebut diperkirakan
USD 110-135 milyar hingga tahun 2025.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan "Roadmap Keuangan Berkelanjutan di
Indonesia", yang memiliki sejumlah sasaran strategis, di antaranya adalah meningkatkan supply dan
demand pendanaan keuangan berkelanjutan. Salah satu kendala dalam pelaksanaan ini antara lain adalah
bagaimana dapat mempertemukan antara pasokan pendanaan dengan kebutuhan pendanaannya.
Terdapat beberapa kendala pembiayaan kegiatan energi terbarukan, diantaranya adalah:
1. Keengganan dari bank dalam menyediakan pendanaan, dikarenakan tingkat keberhasilan yang rendah
dan ketidakpercayaan bank terhadap kelayakan proyek.
2. Kapasitas teknis bank yang terbatas untuk mengevaluasi proyek energi terbarukan. Untuk melakukan
hal ini, diperlukan adanya divisi-divisi yang melakukan assessment, yang mungkin tidak dimiliki oleh
perbankan. Capacity building untuk bank menjadi sangat penting dengan diversifikasi kegiatan-kegiatan
yang akan dikerjakan.
3. Panduan internal bank tidak mendukung pendanaan proyek seperti yang dibutuhkan, khususnya dalam
kaitannya dengan proyek-proyek lingkungan/perubahan iklim.
4. Belum adanya insentif yang menarik bagi lembaga keuangan dalam pelaksanaan peningkatan "green
portfolio"
5. Tingginya suku bunga bank
Adapun tujuan dari diskusi ini adalah:
Mendalami lebih rinci hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh institusi jasa keuangan yang ada dalam
mendukung pendanaan proyek-proyek kegiatan energi terbarukan, serta memahami tantangan yang
dihadapi oleh pengembang energi terbarukan untuk berinvestasi dan mendapatkan pendanaan dari
institusi jasa keuangan domestik.
Clean Energy Financing in Indonesia : A Mapping
Paparan ini disampaikan oleh Bapak Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform
(IESR), terkait dengan temuan dari berbagai literatur yang ada terkait dengan pendanaan energi bersih di
Indonesia. Dalam lima tahun terkakhir, studi-studi yang terkait dengan perubahan iklim, energi
terbarukan dan efisiensi energi telah banyak dilakukan. Apabila seluruh rekomendasi yang dipaparkan
dalam studi tersebut dilaksanakan, maka tantangan-tantangan yang ada terkait dengan pendanaan energi
bersih, bisa diatasi.
Pembicaraan mengenai energi terbarukan bukan lagi merupakan hal yang baru. Ketika
pemerintah memutuskan untuk melakukan energi terbarukan, tujuan utama yang ingin dicapai pada saat
~2~
itu adalah untuk mengamankan pasokan energi, dikarenakan ketika pembahasan tersebut dilakukan, saat
itu harga minyak dunia sangat tinggi, sehingga kelangkaan energi tidak bisa dihindari.
Di akhir tahun 2009, banyak pihak berbicara mengenai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Kemudian, muncul Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah No.
79/2014 yang mencantumkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, dan 31% di
tahun 2050. Demikian pula untuk efisiensi energi, dimana diharapkan terjadi penurunan elastisitas energi
dari saat ini 1.6 menjadi di bawah 1 di tahun 2025.
Gambar 1 Diskusi mengenai hambatan investasi dan pendanaan energi terbarukan di Indonesia
Indonesia masih memerlukan energi untuk melistriki daerah-daerah yang terpencil. Kementerian
ESDM bahkan mencatat masih ada 1.200 desa di Indonesia yang belum memiliki akses pada listrik. Untuk
melistriki desa-desa tersebut, energi terbarukan lah yang seharusnya menjadi motor. Energi terbarukan
yang kita miliki sendiri sebenarnya belum optimal pemanfaatannya. Bahkan, jika kita menganalisis sumber
daya energi terbarukan di Indonesia, dapat dilihat bahwa pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia
masih sangat kecil. Saat ini, panas bumi masih dilihat sebagai potensi yang paling besar, dan baru-baru ini
ditemukan bahwa matahari dan angin juga memiliki potensi yang sangat besar. Angin, contohnya,
berdasarkan wind map terakhir, potensinya sampai 107 GW. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada
potensi energi yang belum dioptimalkan.
Untuk mencapai target KEN, perlu dibangun kira-kira 36 GW dalam 10 tahun. Ini artinya, setiap
tahun Indonesia perlu membangun pembangkit listrik sebesar 3.6 GW. Ini jumlah yang sangat besar. Tidak
hanya itu, melihat kemajuan dari kegiatan-kegiatan efisiensi energi (demand side) hingga kini, juga belum
~3~
digarap secara baik. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan pendingin di hotel-hotel di Indonesia. Elastisitas
energi Indonesia saat ini adalah 1.6, cukup tinggi bila dibandingkan dengan Singapura 1.1, dan Thailand
1.4. Saat ini, diperlukan investasi sekitar USD 118-135 milyar untuk mencapai komposisi energi terbarukan
hingga 23% di tahun 2025. Untuk upaya pencapaian target KEN di bidang efisiensi energi, dibutuhkan
sekitar USD 6.1 milyar untuk retrofit.
Seringkali dalam pengembangan energi baru terbarukan, fokus diberikan kepada pendanaannya,
dan tidak memperhatikan keekonomian proyek dan juga kondisi politik ekonominya. Ini harus ditanyakan
apa memang perencanaannya salah atau memang tidak sesuai dengan kebutuhan investor.
Terdapat tiga elemen pokok untuk hambatan-hambatan finansial yang ada di Indonesia:
1. Pengalaman bank dan non-bank yang masih sedikit, di mana institusi pendanaan di Indonesia hampir
tidak memiliki cukup pengalaman untuk menilai suatu proyek;
2. Persepsi terkait dengan resiko dan bagaimana melihat kesempatan. Sering kali resiko dilihat terlalu
besar, namun tidak pernah ada upaya yang dilakukan untuk memitigasi resiko-resiko tersebut;
3. Kondisi pendanaan yang tersedia. Permintaan pendanaan seringkali tidak sesuai dengan pasokan
pendanaannya.
Sedangkan hambatan-hambatan non-finansial yang ada, adalah:
1. Negosiasi terkait PPA (Power Purchasing Agreement), FiT (Feed in Tariff) dan PLN;
2. Kapasitas pengembang untuk mengembangkan proyek yang bagus juga minim, misalnya bagaimana
mencari EPC (Engineering, Procurement, Construction) yang tepat untuk solar di Indonesia.
Bagaimana dengan pengalaman bank? Dari 87 bank yang di-survey di tahun 2014, 25% dari bank
tersebut menyalurkan pendanaan untuk energi terbarukan. Sebagian besar maturity-nya memang lebih
dari empat tahun; jadi, hanya 25%. Mungkin 25-30%, jadi mungkin kurang dari 20% yang punya
pengalaman untuk mendanai energi terbarukan.
Dari asuransi, hanya empat asuransi yang menawarkan produk yang terkait dengan proyek energi
terbarukan. Tapi yang menawarkan asuransi proyek hanya dua dari 22, yang satu panas bumi dan hidro,
sementara yang satu lainnya hanya hidro. Berdasarkan fakta ini, memang harus diakui bahwa Indonesia
belum memiliki pengalaman dalam memanfaatkan instrumen pendanaan. Hasil survey tersebut juga
menyatakan bahwa belum pernah ada bank yang berpengalaman di dalam melakukan project finance.
Hal berikutnya adalah bukan hanya dari pengalaman bank, namun juga bagaimana persepsi yang
ada terhadap resiko tersebut. Sebenarnya tidak hanya bank, tapi seluruh pihak yang terlibat yang terkait
dengan energy financing, pada kenyataannya memiliki kapasitas pengetahuan yang rendah. Kemampuan
para bankers untuk memahami teknologi energi terbarukan sangat terbatas, dan karena keterbatasannya
itu, keputusan untuk memberikan kredit tidak dapat ditetapkan.
~4~
Akibat tidak adanya pengetahuan detail terkait energi, sumber daya manusia di dalam bank
sangat terbatas untuk bisa meninjau studi-studi teknis, seperti feasibility study, kebutuhan untuk
melakukan construction work dan keistimewaan dari masing-masing teknologi terbarukan: angin,
matahari, biomassa (sampah, dll). Berbicara mengenai jenis teknologi sampah saja, contohnya, ada
berbagai macam, ada anaerobic digestion atau zero waste. Demikian halnya jika kita berbicara mengenai
incinerator, yang juga memiliki jenis yang beragam. Mulai dari yang paling bawah kualitasnya sampai ke
yang paling tinggi. Bank tidak terlalu memahami perihal ini. Ini memang salah satu kelemahan dari bankbank di Indonesia yang memang tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas di dalam institusinya.
Bisa dibayangkan jika pihak bank menerima proposal. Tanpa pengetahuan, kemudian diputuskan
untuk mempekerjakan konsultan. Namun, karena keterbatasan pengetahuan, bahkan tipe konsultan yang
dibutuhkan pun, tidak dapat diputuskan. Berdasarkan hasil studi yang ada, dari empat feasibility study,
hanya satu yang memuaskan, sisanya tidak memuaskan. Hal ini menyatakan bahwa, pemilihan konsultan
pun akan menjadi sulit tanpa adanya pengetahuan dan jaringan.
Karena pendanaan energi bersih dilihat sebagai investasi yang beresiko, termasuk energi
terbarukan dan energi efisiensi dan yang lain-lain, investment grid audit; oleh karena itu, bank pada
umumnya akan meminta dokumentasi yang kompleks. Dokumentasi yang harus diajukan sangat banyak,
sampai bank tersebut diyakinkan dengan proposal yang diajukan. Bagi project developer dengan
kemampuan finansial yang terbatas, ketentuan dokumen yang banyak ini menyulitkan dan mahal bagi
mereka. Sehingga, tidak semua project developer bisa memenuhi persyaratan yang dimintakan oleh bank.
Padahal kriteria yang digunakan oleh bank untuk menilai project developer dilakukan melalui 5C1. Jika
dokumentasi yang dimintakan oleh bank tidak dapat dipenuhi oleh project developer, maka project
developer ini akan mendapatkan penilaian yang tidak baik terkait dengan condition dan character,
walaupun mungkin, project developer tersebut memiliki capital, collateral, dan condition.
Hal lainnya yang juga berpengaruh adalah pengalaman negatif (negative experience) dari bank
terhadap proyek-proyek energi terbarukan. Boleh dikatakan bahwa selama lima tahun terakhir banyak
proyek-proyek yang macet.
Ada juga hal yang terkait dengan kepercayaan, yang diakibatkan oleh ketidakjelasan kebijakan.
Misalnya penetapan Feed in Tariff (FiT). Jika dilihat dari tahun 2012-2015, ada FiT yang di-revisi sampai
tiga kali, seperti untuk biomassa atau biogas. Demikian pula halnya untuk panas bumi, FiT-nya dari tahun
2009 sudah berganti. Ketidakjelasan ini membuat keraguan di pihak investor. Apalagi, pada umumnya jika
FiT berubah, harga jual listriknya lebih tinggi. Jadi, investor memutuskan untuk menunggu. Inilah yang
terjadi di hidro.
Hal lainnya yang menjadi hambatan adalah lack of adequate financial instrument, di mana
kebutuhan pendanaan dan pendanaan yang tersedia tidak sesuai. Contohnya adalah hutang. Sebagian
besar hutang akan mature pada 5-7 tahun, padahal maturity project untuk energi terbarukan pada
umumnya sekitar 15-25 tahun. Proyek seperti ini mungkin baru balik modal setelah 10 tahun, namun,
bank meminta dalam waktu lima tahun, hutang sudah dibayar. Ketidaksesuaian inilah yang seringkali
1
5C : character, capacity, capital, condition, dan collateral.
~5~
merugikan. Grace period yang ditetapkan adalah dua tahun. Padahal dalam waktu dua tahun itu, seringkali
tidak cukup hanya untuk persiapan saja. Kerangka yang digunakan oleh bank seringkali tidak sama dan
bunganya juga tinggi. Ketentuan kolateral yang diberlakukan sekitar 120%-150% dari total, di mana ini
tidak favorable untuk energi terbarukan, apalagi untuk energi terbarukan dengan skala 1-10 MW.
Indonesia juga tidak memiliki skema project finance, demikian pula mezzanine finance. Hanya PT
SMI yang memiliki produk mezzanine finance. Bank di Indonesia juga sangat jarang yang memiliki
mezzanine finance. Untuk equity, dalam memenuhi 30% dari ketentuan equity, hal tersebut sangat sulit.
Ketentuan dalam daftar negatif investasi juga memberikan kendala tersendiri. Jika dalam daftar negatif
investasi maksimal 140%, maka investor asing akan reluctant, karena kepemilikan mereka itu dibatasi
hingga 49% aja, sehingga mereka tidak menguasai. Ada lagi aturan terkait dengan deposit, di mana 5%
dari biaya modal dibuat deposit. Ini membuat negative liquiditas. Untuk PLN dengan 35 GW-nya, deposit
yang diberlakukan bukan hanya 5% melainkan 10%.
Indonesia juga tidak memiliki risk mitigation instrument. Pada umumnya bank tidak mau
mengambil construction risk, sehingga construction risk diberikan kepada EPC. Jika EPC yang melakukan
hal ini tidak berpengalaman, maka hal ini akan berbahaya. Sementara de-risking instrument yang ada di
pasar itu hampir-hampir tidak tersedia, hanya dua dari 22, dan itu pun pengalamannya dari tiga proyek.
Masih banyak juga yang lainnya, seperti FiT, difficult collaboration between IPP dan PLN (tidak ada
trust). Untuk mengatasi masalah-masalah ini sebenarnya bisa dilihat beberapa pilihan kebijakan, dan ini
seharusnya menjadi tanggung jawab dari beberapa pihak. OJK, misalnya yang terkait dengan kolateral dan
peraturan perbankan. Kemudian suku bunga yang tinggi, dengan kisaran 13-14%. Intinya adalah untuk
menyelesaikan masalah-masalah ini, tidak mungkin dilakukan hanya satu pihak saja, harus ada kolaborasi
dari pemangku kepentingan lainnya.
Peran dari pendanaan publik sebenarnya sangat penting, namun, hingga kini belum dijajaki.
Misalnya, jika pengurangan resiko mau dilakukan secara serius, untuk mobilisasi dana APBN yang terbatas,
dapat dioptimalkan melalui resource mapping. Hal ini dapat dilakukan misalnya sampai per kecamatan
atau bahkan per desa, seperti berapa kecepatan angin di suatu daerah, atau berapa radiasi panas matahari
yang ada di situ, atau berapa besar debit air. Apabila ini sudah disiapkan, tahapan berikutnya adalah
klarifikasi, sehingga kalau investor datang, akan jadi lebih mudah. Ini yang dilakukan oleh PLN di tahun
1980-an, dengan pendanaan Bank Dunia. Project-project yang saat ini sudah ada, sebenarnya berasal dari
resource mapping tersebut. Resource mapping sudah ada dari tahun 1980-an, yang kemudian datanya
beredar kemana-mana, dan dipakai oleh investor.
Pengembangan kapasitas. Isu pengembangan kapasitas ini cukup menarik, dan mungkin bisa
menjadi model ICCTF ke depan. Akses pada pendanaan, grant convertible to loan, ini dilakukan untuk
memenuhi gap terkait dengan equity. Kalau mau menutupi gap dengan equity itu sulit, kecuali jika diberi
pinjaman terlebih dahulu, untuk modal kerja awal sekitar 10% atau 15%. Ketika project-nya sudah jadi,
kemudian distrukturkan pendanaannya, yang tadinya grant bisa di-konversi ke loan. Ini yang akan jadi
model revolving fund. Hal ini bisa dilakukan untuk ICCTF, atau SMI jika mendapatkan akses pada GCF.
~6~
2. Pengalaman PT SMI di dalam pendanaan energi bersih
PT SMI merupakan institusi pendanaan di Indonesia yang menerapkan project finance dan norecourse2, atau lebih tepatnya limited recourse. Hal ini dikarenakan dalam menerapkan hal-hal ini masih
banyak tantangannya. Limited recourse dilakukan, supaya dapat melihat bagaimana pembiayaan itu bisa
langsung ke project sponsor-nya atau langsung ke project owner. Walau demikian, masih tetap berharap
bahwa project sponsor tetap memberikan dukungan pada project-nya, mana kala ada ketidakmampuan
membayar project.
PT SMI sendiri berdiri sebagai institusi non-bank, atau, menggunakan nomenklatur yang ada di
bawah OJK, Institusi Keuangan Non-bank (IKNB). Itu sebabnya, PT SMI diberikan fleksibilitas, walaupun
tetap diawasi, termasuk dalam multi-finance. Pembiayaan inti dari PT SMI adalah yang terkait dengan
pendanaan dan investasi. Tapi karena status PT SMI termasuk dalam IKNB, maka status mereka adalah
seperti kegiatan lainnya, advisory maupun employed. Untuk proyek-proyek yang masih mengalami
masalah dalam dokumentasi yang menjadi requirement dari sisi kredit pembiayaan investasi, biasanya
akan diberikan investasi di sisi proyek.
Portfolio PT SMI masih banyak bergerak di mini-hydro. Berdasarkan pengalaman dari PT SMI,
memang ada kesulitan pada saat melakukan limited recourse, terutama dari keluaran listrik yang bisa
dibeli. Untuk kegiatan-kegiatan energi terbarukan lainnya, seperti angin, matahari, juga sedang dijajaki.
Saat ini, status PT SMI masih sebagai project advisory. PT SMI melapor kepada Kementerian Keuangan,
dan karena tidak melaporkan ke BUMN, maka bentuk badan PT SMI adalah Persero. PT SMI memiliki
tujuan untuk memiliki proyek energi terbarukan, dan memiliki project sponsor yang kuat dengan
menggunakan equity, memiliki cashflow project yang cukup stabil, sebagai bagian dari enabling
environment. Itu sebabnya, PT SMI berharap untuk bisa mewujudkan enam poin yang terdapat di
presentasi (Lihat Gambar 2).
PT SMI menyebutkan bahwa untuk peningkatan kapasitas, PT SMI mendapatkan bantuan dari
program USAID ICED untuk melakukan review dan peningkatan kapasitas, dimulai dari 0.5 MW untuk mini
hydro yang didanai oleh PT SMI. Saat ini, portfolio PT SMI untuk mini-hydro sudah cukup banyak.
Proposal dari project developer nanti masuk, kemudian akan ditinjau, dicek kelengkapan
dokumennya, feasibility study, tinjauan teknis, tinjauan segi legal, akan dilakukan di tahap awal oleh
bagian kredit. Bagian kredit kemudian akan mengajukan ke bagian risk committee dan risk management.
Walaupun PT SMI selalu berusaha untuk mengedepankan energi terbarukan, namun, bagian manajemen
resiko selalu melihat perbedaan. Ini adalah contoh dari bagaimana teman-teman risk management
melihat suatu proyek energi, khususnya mini-hydro. Biasanya, bagian resiko di PT SMI akan memberikan
2
A non-recourse debt is a type of loan that is secured by collateral, which is usually property. If the borrower
defaults, the issuer can seize the collateral, but cannot seek out the borrower for any further compensation, even
if the collateral does not cover the full value of the defaulted amount.
~7~
warna untuk menentukan bagian mana yang beresiko. Jika warnanya semakin terang, maka resiko pada
komponen tersebut semakin rendah (Lihat Gambar 3).
~8~
Gambar 2 Lokasi proyek energi terbarukan PT SMI
~9~
Gambar 3 Studi kasus PT SMI tentang pendanaan mini hydro power plant
Untuk kasus pendanaan mini-hydro, bagian resiko di PT SMI menilai bahwa, PLN memberikan
resiko yang sangat rendah. Hal ini dapat dimaklumi, karena PLN adalah proven offtaker, supported by the
Government, dan sebagainya. Aspek-aspek inilah yang memberikan penilaian yang cukup baik. Pada
bagian sponsor, seringkali sponsor yang dihadapi adalah mereka yang bisa beralih dari bisnis yang noninvestment ke investment.
Untuk technology adviser, jika masuk ke dalam bisnis tersebut, bisnis utamanya lebih ke
mechanical engineering. Ketika masuk dalam bisnis mini-hydro, karena kebanyakan pekerjaan mini-hydro
itu banyak di civil works, maka harus juga berhadapan dengan faktor kestabilan tanah. Jika pada saat mau
dibangun dan dioperasikan, tanahnya longsor, maka COD (Cash On Delivery) yang diharapkan berjalan
pada waktu tersebut harus tertunda selama satu tahun. Oleh karenanya, akan terjadi perencanaan ulang,
dan harus dilakukan structuring.
Untuk hal seperti ini, jika investasi asing masuk, maka hal tersebut akan sangat menolong PT SMI
karena mereka punya pengetahuannya. Sebenarnya tidak ada salahnya juga untuk Indonesia, karena
pengetahuan yang dimiliki oleh investor asing akan diberikan kepada kita. Proyek kedua bisa dilakukan
sendiri. Dari sisi operator misalnya, mereka dapat melihat bagaimana mereka mengelola portfolio dari
proyek yang mereka tangani.
Terkait dengan EPC sebagai kontraktor, hanya beberapa nama yang mungkin bisa dibilang boleh
masuk dalam rating yang lebih memadai. Salah satu pengalaman PT SMI adalah proyek angin, yang juga
menarik. Posisinya, PT SMI dengan UNDP, bersamaan mencari investor. Ketika mencari investor, kembali
lagi kekhawatiran mengenai kepemilikan sebesar 49% muncul. Walau demikian, dari sisi pendanaan, hal
ini sangat reliable.
Hal spesifik lainnya yang terkait dengan energi terbarukan adalah dari sisi green liability. Jadi,
untuk proyek-proyek seperti solar PV, wind, fluktuasinya cukup besar dari sisi sistem. Ketika grid di
Indonesia masih berada dalam konteks yang cukup tertinggal, kesulitan akan muncul di sisi PLN.
Masalah lain yang dihadapi adalah terkait dengan feasibility study. Pengalaman PT SMI, ada satu
proyek minihydro PT SMI di Solok Sumatera Barat, di mana sudah ada kesepakatan dengan pengembang
bahwa listrik yang akan dihasilkan sebesar 8 MW. Namun, pihak manajemen PLN menyampaikan bahwa
permintaannya sebenarnya tidak demikian. Maka permintaan yang tadinya dilempar ke satu titik,
sementara ada permintaan yang cukup potensial, dan mungkin bisa di-unlock untuk memenuhi kebutuhan
di tempat tersebut, sampai akhirnya tidak bisa memenuhi permintaan yang ada di sana.
Pengalaman PT SMI membuktikan, bahwa dari sisi pendanaan akan ada kesenjangan. Misalnya
tentang FiT; itu given. Demikian pula dengan equity, hal tersebut juga given. Biasanya yang terkait dengan
peminjam hanya terbatas pada angka, mungkin 50% dari pembiayaannya. Equity investor hanya mungkin
memberikan 20%. Ada remaining gap sebesar 30%. Siapa yang dapat menutupi 30% tersebut? Kolaborasi
~ 10 ~
lebih lanjut dengan lembaga-lembaga donor, ICCTF, mungkin juga dengan lembaga-lembaga multilateral,
dengan memberikan grant to loan, mungkin dapat menyelesaikan masalah kesenjangan ini.
Walau demikian, mekanisme grant to loan akan menyebabkan accounting-nya menjadi sulit.
Lebih baik memberlakukan pinjaman lunak berjangka panjang. Peran SMI sendiri adalah sebagai pemasok
dari produk-produk tersebut. Namun, karena sifatnya persero, maka ruangnya masih terbatas. Perihal
pricing juga, membuat PT SMI harus menerbitkan surat hutang, karena sumber pendanaan yang dimiliki.
PMN saat ini sedang sulit, sehingga PT SMI harus menerbitkan surat hutang atau dari lembaga-lembaga
donor lain, di pasar. Inilah proses yang sedang dijalani.
PT SMI mendapatkan bantuan dari AfD sebesar USD 100 juta, dan juga sebuah fasilitas di mana
jika terjadi kegagalan proyek, maka fasilitas itu dapat digunakan sebagai pintu dan masuk sebagai equity.
Fasilitas ini disebut dengan Kuasa Equity Facility. Model-model seperti ini bisa digunakan untuk lembagalembaga donor, dalam membantu lembaga-lembaga perbankan yang jauh lebih konservatif daripada PT
SMI.
Terkait dengan proses pengajuan dokumentasi untuk kredit, jika berbicara mengenai limited
recourse, karena yang akan menjadi basic lending-nya adalah project asset, maka dokumen yang
diperlukan akan sangat banyak. Namun, untuk mempermudah project developer, SMI akan mengeluarkan
template-template yang bisa membantu project developer. Ini memang hal-hal yang memang harus
dilakukan dalam jangka waktu dekat.
3. Pembelajaran dari Danareksa Capital
Sama seperti PT SMI, Danareksa Capital merupakan anak perusahaan dari Danareksa Persero,
yang merupakan BUMN yang saat ini sudah menjadi holding company di bawah pengaturan OJK dalam
institusi pendanaan nonbank. Fungsi Danareksa Capital sendiri, bergerak di bidang private equity dan
investment serta financial advisory. Danareksa persero didirikan pada tahun 1976, sementara Danareksa
Capital berdiri di tahun 2010. Walau demikian, Danareksa Capital sudah masuk ke dalam beberapa
investasi baik secara equity, project financing, risk financing maupun triangular financing.
Seperti layaknya perusahaan untuk private equity, posisi Danareksa Capital memang berbeda
dengan PT SMI, di mana Danareksa Capital hanya menjembatani saja, dan tidak memegang long-term
debt untuk financing.
Salah satu portfolio Danareksa Capital adalah pembiayaan untuk mini hydro power plant dengan
nilai 95 miliar rupiah, proyek ini sebenarnya dimulai pada tahun 2012. Walau demikian, Danareksa Capital
baru masuk pada tahun 2014 di mana tahap konstruksi sudah mencapai hingga 60%. Awalnya bank sudah
menyatakan berminat untuk membiayai, namun tiba-tiba karena kemudian banyak project-project PLTMH
yang menyebabkan bank mengalami overrun cost, delay of commissioning, sehingga bank yang tadinya
membiayai project tersebut, menyatakan masuk COD. Lalu, project tersebut dialihkan ke Danareksa
Capital, di mana Danareksa Capital diminta untuk membiayai project tersebut. Saat itu yang dilakukan
~ 11 ~
oleh Danareksa Capital adalah menganalisa, melakukan due dilligence, mencoba untuk menggandeng
technical consultant, yang kemudian memasuki pendanaan tersebut hanya tiga minggu sebelum COD.
Sebagai bagian dari exit strategy, Danareksa Capital sudah memiliki bank yang akan membiayai atau take
over pendanaannya. Jadi fungsi Danareksa Capital sebenarnya adalah untuk menjembatani ketika bank
tidak mau mengambil construction risk, dan Danareksa Capital mengambil resiko dari sisi pembiayaan.
Namun, semuanya kembali lagi ke investor.
Untuk masuk ke project, keputusan akan kembali kepada investor. Sebagai sebuah private equity,
Danareksa Capital juga memiliki investor yang mengharapkan return dari bank maupun bunga di pasar
modal. Termin tenor yang diberlakukan juga tidak panjang; hanya sekitar 1.5-2 tahun, maksimum. Itu
untuk proyek PLTMH. Selama mengerjakan proyek PLTMH, Danareksa Capital menghadapi beberapa
kendala bahkan ketika technical consultant sudah digandeng. Kendala yang dihadapi terkait dengan
proyek ini adalah di construction risk. Misalnya, sempat ada resiko konstruksi seperti adanya longsor.
Longsor ini akan menunda commissioning dan juga COD. Dalam hal seperti ini, pada umumnya akan
diperlukan semacam equity injection, melalui BUMD terkait misalnya. Misalnya satu proyek di mana
BUMD Jabar menjadi back up dari proyek. Peran yang akan dimainkan oleh BUMD tersebut adalah setiap
ada equity injection, mitigation risk yang diberlakukan adalah asuransi. Asuransi yang pernah digunakan
adalah Jasindo.
Pada proyek tersebut, lack of experience baik dari project developer maupun juga dari EPC sebagai
kontraktor, tapi dalam pelaksanaan proyek sangat dimungkinkan untuk terjadi dispute antara project
owner dan EPC. Walaupun EPC yang digunakan adalah EPC BUMN yang sudah berpengalaman. Bagi
institusi pendanaan seperti Danareksa Capital, tantangan di aspek finansial menjadi salah satu risk
concern dari institusi pendanaan. Hal ini disebabkan karena jika terjadi dispute antara EPC dan project
owner, otomatis pengembalian pendanaan juga akan terlambat. Itu terjadi di proyek minihydro.
Kedua, pembelajaran dari proses untuk mendanai proyek PLTS dengan size 1 MW3. Berdasarkan
penilaian Danareksa Capital, energi terbarukan berbasis surya memang masih baru di Indonesia,
walaupun potensinya cukup besar. Proyek ini juga merupakan proyek on-grid yang ditempatkan di wilayah
timur Indonesia, di mana dibangun untuk mengurangi kebutuhan solar; jadi lebih ke arah energi efisiensi.
Memang kalau dilihat di NTT itu banyak nelayan yang di siang hari malah ada di rumah,
menyalakan TV, kulkas, listriknya dipasok dari tenaga surya ini. Kompleksitasnya dibandingkan dengan
minihydro, memang surya lebih sederhana, karena yang dipegang bukan konstruksi listrik, tapi lebih ke
energy design system.
Danareksa Capital juga menggandeng technical consultant dari Jerman untuk melakukan
assessment. Setelah melakukan pertemuan dengan final producer-nya, termasuk untuk inverter, yang
dinilai dapat memitigasi resiko-resiko yang ada, maka Danareksa Capital kemudian memutuskan untuk
mendanai proyek tersebut. Dana yang dikeluarkan sekitar 70-80% dari total project cost, namun,
Danareksa Capital juga meminta back-up dari holding-nya/project sponsor. Selain mengikat asset-asset
3
Danareksa Capital dalam forum diskusi ini menyatakan bahwa untuk pendanaan PLTS dengan kapasitas yang
lebih besar 1MW, Danareksa Capital mungkin adalah institusi pendanaan pertama yang mendanai.
~ 12 ~
tersebut, mekanisme asset equity facility juga ditetapkan, di mana Danareksa Capital memiliki hak atas
kepemilikan saham. Apabila terjadi kegagalan project, maka Danareksa Capital berhak untuk mengambil
saham proyek yang adalah 51%. Untuk berikutnya, Danareksa Capital menyatakan ketertarikannya untuk
masuk dari sisi equity. Tapi karena ini salah satu teknologi yang relatif baru di Indonesia, Danareksa Capital
memutuskan untuk masuk ke project financing terlebih dahuulu. Hambatan juga terkait dengan FiT dan
regulasi.
Kalau dari sisi source of funding, OJK sempat menempatkan Danareksa Capital pada posisi
membolehkan Danareksa Capital untuk mengelola dana ventura. Potensi dari dana ventura ini adalah bisa
menarik dana pensiun atau asuransi, untuk masuk ke dalam proyek-proyek energi terbarukan. Dana
ventura ini tidak masuk dalam pendanaan, hanya boleh untuk equity, pembiayaan. Namun, dari sisi
investor Danareksa Capital, ketentuan ini sedikit bertentangan, karena para investor cenderung untuk
masuk sebagai pendanaan, bukan equity. Terkait dengan hal ini, Danareksa Capital memberikan masukan
kepada OJK untuk merevisi bagian terkait dengan IKNB.
4. PT Buana Energy Surya Persada
PT Buana Energy Surya Persada adalah sebuah perusahaan yang memiliki fokus pada pembangkit
listrik berbasiskan energi terbarukan. Saat ini masih mengerjakan hal terkait dengan PLTS, namun ke
depannya berminat untuk masuk ke minihydro dan biomass.
Menurut analisis dari PT Buana Energy Surya Persada, saat ini terdapat tiga sumber energi
terbarukan yang memiliki potensi yang besar: surya, mini-hydro, dan biomassa. Dibandingkan ketiga
sumber tersebut, yang memiliki resiko paling rendah adalah surya. Terdapat empat komponen utama
dalam pengembangan energi surya: solar module (yang berfungsi untuk mengubah cahaya menjadi
listrik), inverter yang memiliki fungsi untuk mengubah arus searah menjadi arus bolak-balik, molding
system yang berfungsi sebagai dudukan solar module, storage dan distribution system.
Berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh PT Buana Energy Surya Persada, dinyatakan bahwa
garansi yang ditawarkan oleh manufaktur maupun kontraktor EPC, memberikan status aman bagi PT
Buana Energy Surya Persada. Kontrak yang dibuat dengan PLN adalah selama 20 tahun, sedangkan
produknya sendiri bisa digaransi dari 10-25 tahun, sedangkan keseluruhan sistem energi terbarukan akan
digaransi minimal lima tahun.
PT Buana Energy Surya Persada merupakan produk dari Permen no. 17/2013 sebelum dicabut dan
di revisi. Permen tersebut mengatur tata cara bagaimana mendapatkan proyek ini, diatur pula tentang FiT
dan kuota kapasitas. Sebelumnya ada 80 lokasi yang bisa ditenderkan, total 140 MWp. Sayangnya, hingga
akhir tahun lalu, baru tujuh lokasi yang ditenderkan: Kupang yang dibangun oleh LEN, Sumba dibangun
oleh PT Buana Energy Surya Persada, Tambua, Kota Baru, Gorontalo, Maumere, dan lokasi lainnya.
Memang saat ini masih fokus pada NTT. Mungkin pertimbangan yang digunakan adalah radiasi di NTT
memang salah satu yang terbaik di Indonesia. Selain itu pula, kebutuhan listrik di Sumba Timur, 100%
pemenuhan kebutuhan listriknya melalui diesel. Jadi, mungkin pemerintah sebenarnya melihat ini sebagai
~ 13 ~
solusi, mungkin saat ini yang dilihat adalah harga minyak murah, namun sebenarnya bukan hal itu yang
terjadi. Harga juga menjadi pertimbangan, dan yang kedua masalah availability/ketersediaan.
Terkait dengan masalah ketersediaan. Mungkin saat ini harga solar murah, namun ketersediaan
solar di tempat tersebut tidak terjamin. Bahkan pada saat melakukan sosialisasi pada masyarakat
setempat, masyarakat menyatakan bahwa frekuensi listrik tersedia jauh lebih sedikit daripada frekuensi
listrik tidak tersedia. Hal ini artinya adalah tidak tersedianya listrik merupakan suatu hal yang biasa. Ini
menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri, bagaimana caranya mengembangkan suatu daerah apabila
infrastruktur energi tidak tersedia? Tanpa infrastruktur energi, pembangunan pun tidak akan terjadi.
Strategi bekerja dari PT Buana Energy Surya Persada adalah setelah mendapatkan kontrak Power
Purchase Agreement (PPA) dengan PLN selama 20 tahun, EPC dan financial institution (baik yang
perbankan maupun yang non-perbankan) kemudian digandeng untuk bekerja sama. Dalam pengelolaan
PLTS, listrik yang dihasilkan akan dibayarkan oleh PLN, kemudian uangnya itu akan dibayarkan untuk
institusi pendanaan itu sendiri, financial debt institution. Penekanan yang diberikan oleh PT Buana Energy
Surya Persada di sini adalah, ketika ada kontrak dari PLN, atau setelah membangun pembangkit listrik
berbasiskan energi terbarukan, engagement dengan institusi pendanaan menjadi cukup penting. Hal ini
disebabkan karena, tanpa dukungan pendanaan dari proyek itu sendiri, maka proyek tidak akan dapat
berlangsung.
Dalam pencapaian financial close, PT Buana Energy Surya Persada memberikan pembelajarannya.
Apa yang dihadapi adalah, ketika tender dimenangkan pada bulan Maret tahun 2013, penandatanganan
PPA baru dilakukan pada tanggal 20 Agustus tahun yang lalu. Itu artinya, diperlukan waktu lebih dari satu
tahun untuk persiapan dokumentasinya. Permasalahan yang dihadapi adalah, setelah memenangkan
tender, pemenang tender harus memberikan dana sebesar 20% dari CAPEX. Itu artinya ada dana dari
pengembang yang terendap selama lebih dari satu tahun. Saat ini institusi pendanaan masih
memperlakukan resiko dari energi terbarukan, sama untuk seluruh teknologi. Padahal seharusnya ada
perbedaan perlakuan terhadap masing-masing teknologi.
Saat ini, dalam setiap pembahasan mengenai pembiayaan teknologi energi terbarukan, yang
diundang barulah divisi bisnis; ada baiknya, divisi resiko juga mengetahui tentang pemaparan ini secara
langsung. Pada umumnya, sisi manajemen resiko hanya mendapatkan informasi dari data tertulis. Itu
sebabnya, disarankan pemerintah melalui OJK, bisa memberikan sosialisasi kepada perbankan untuk
semua divisi, bukan hanya divisi bisnis, tapi juga divisi manajemen resiko.
Perbankan juga melihat bagaimana kredibilitas dari PLN. Tetapi kadang-kadang perbankan kurang
percaya dengan PLN. Padahal, segala sesuatunya memang sudah di-set seperti itu. Contohnya, ketentuan
untuk FiT, PLN itu hanya mengelas, sedangkan ketentuan yang sebenarnya sudah diatur oleh Kementerian
ESDM dan juga Kementerian Keuangan. Tidak ada sosialisasi bahwa top-up itu berasal dari Pemerintah.
Selanjutnya, untuk PLN, ada juga masalah mengenai perjanjian jual beli tenaga listrik. PPA itu harus
menyenangkan semua pihak bukan hanya PLN, atau pengembang, tapi juga penyandang dana. PerMen
ESDM No. 17 tahun 2014 misalnya, begitu program ini belum jalan 100%, tiba-tiba harus di-cancel untuk
revisi. Ini akan menimbulkan persepsi yang tidak jelas baik dari segi pengembang maupun di sisi
~ 14 ~
pendanaan. Kalau perubahan terjadi terus menerus, akan membuat pengembang menjadi tidak tertarik
untuk mengerjakan proyek. Di sinilah peran pemerintah sebagai regulator dijalankan, untuk menyusun
regulasi.
Gambar 4 Diskusi mengenai hambatan dan investasi energi terbarukan di Indonesia
5. Diskusi
Dalam diskusi, beberapa isu muncul terkait dengan paparan yang diberikan:
A. Sinkronisasi antar kebijakan
Pemerintah saat ini sudah punya banyak kebijakan, tapi, masalahnya adalah kebijakan tersebut
tidak terhubung dengan yang dimiliki oleh OJK. Saat ini, misalnya, PTPN IV sedang membangun
pembangkit listrik dengan menggunakan energi terbarukan. Tahun ini akan dibangun dengan kapasitas 2
MW, dan 1 PLTMH 4 MW. PTPN IV juga akan membuat green-diesel, dengan tingkatan lebih advance dari
bio-diesel. Masalahnya kembali ke tarif. Tarif yang ditentukan oleh ESDM sudah cukup baik. Namun, ketika
sudah ke PLN, seringkali tidak semulus dengan apa yang ada di PerMen, yang sudah jelas, seakan-akan
bisa langsung jual. Hal ini sepertinya harus dibenahi.
Terkait dengan perbankan, PTPN IV menyatakan bahwa sampai dengan saat ini belum ada
hambatan terkait dengan perbankan. Masalah justru muncul di sisi off-taker-nya.
B. Perijinan di tingkat pemerintah daerah
Masalah izin di tingkat pemerintah daerah juga harus menjadi satu pemahaman antara pusat dan
daerah. Ada yang merasa bahwa itu adalah proyek yang menghasilkan uang, sehingga harus mendapatkan
sesuatu dari hal tersebut. Ini jadi hambatan. PTPN IV mengajukan izin beberapa waktu yang lalu, namun
baru delapan bulan kemudian izin tersebut keluar.
~ 15 ~
PT SMI menyatakan bahwa dalam hal ini, diperlukan adanya semacam template atau standar.
Terkait dengan perizinan, memang sangat penting untuk mengikutsertakan pemerintah. Misalnya izin
pinjam-pakai, mengurusnya cukup menyita waktu dari sisi pengembang. Proses penyiapan proyek
sebenarnya bisa dibantu oleh Pemerintah, ketika izin semua diperoleh, indikatif PPA-nya sudah ada, baru
kemudian dilelang. Hal tersebut sepertinya lebih menarik.
Beberapa hambatan yang juga diidentifikasi oleh Bappenas dalam hal ini adalah terkait masalah
regulasi, seperti izin, regulasi untuk hutan, serta permasalahan proses izin yang sangat panjang.
C. Pendanaan clean energy
Bappenas menyatakan bahwa clean energy adalah produk yang mewah dan mahal, terutama
untuk Indonesia. Sisi yang lain, Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Indonesia
punya potensi untuk menjadi produsen bahan bakar nabati terbesar di dunia. Namun kebijakan ini tidak
ada, contohnya, untuk memproduksi green-diesel, kita perlu biaya konversi USD 160/ton. Apa yang
dilakukan oleh ESDM adalah menyediakan USD 125/ton, karena mengacu pada minyak bumi. Padahal,
harusnya Indonesia sudah meninggalkan paradigma minyak bumi dan harus mulai masuk dengan
paradigma bahan bakar nabati. Itu lah yang seharusnya menjadi referensi. Referensi yang digunakan
jangan lagi menggunakan MOPS singapura, misalnya, melainkan menggunakan harga biodiesel-nya
Indonesia, misalnya untuk harga BBN.
Terkait dengan biaya ini, siapa yang akan membayarkan selisihnya; apakah Pertamina, PLN, atau
pihak pengembang? Pihak pengembang kemungkinan besar tidak akan mau melakukannya. Sedangkan
Pertamina dan PLN juga tidak boleh melakukan hal tersebut, sesuai dengan UU PT. Pertanyaannya
kemudian adalah apakah subsidi akan ada? Ini musti dibereskan, agar Indonesia menjadi negara yang
ramah lingkungan, di mana semua energinya berasal dari energi terbarukan. Apakah mungkin ada
kesepakatan baik dari Bappenas maupun keuangan, untuk memberikan special rate guna
mengembangkan proyek-proyek ini. Jika menggunakan rate 15%, bisa dipastikan ini tidak menjadi
menarik. Karena dari Bank Mandiri saja, suku bunga yang diberikan adalah 9%. Jadi, di mana istimewanya
pendanaan energi terbarukan ini?
Peserta dari Gikoko menyebutkan bahwa solusi yang mungkin untuk diberlakukan adalah subsidi
dari kementerian langsung diberikan kepada proyek.
PT SMI menyatakan bahwa saat ini telah didirikan sebuah unit khusus di dalam PT SMI sendiri;
yaitu unit pendanaan untuk energi terbarukan. Di dalam unit tersebut, telah disiapkan anggaran terkait
dengan penyusunan dokumen dan lain-lain. Walau demikian, PT SMI menyatakan bahwa mereka tidak
dapat bergerak sendiri, dan memerlukan dukungan dari pihak lain seperti OJK, ESDM, Bappenas, dan juga
profesional.
D. Pembentukan taskforce
Pembentukan taskforce menjadi sebuah usulan di dalam diskusi. Hal ini disebabkan karena,
hambatan-hambatan pengembangan energi terbarukan sudah diketahui, dan sudah seharusnya ada
~ 16 ~
stimulus terkait dengan kebijakan ini. Stimulus ini diperlukan, terutama karena memang dari sisi bisnis
bank, saat ini energi terbarukan masih masuk dalam kategori 'high risk'. Jika hal ini ingin diatasi,
peningkatan kapasitas,perlu dijembatani regulasi dengan stimulus ataupun relaksasi supaya bank bisa
masuk secara bertahap. Kalau melihat ke belakang, UMKM pun awalnya juga dibuat gradual, tahun 2015
bunganya 15%, di tahun 2016 jadi 10%.
Menurut OJK, sebenarnya bobot permasalahan itu lebih banyak di sektor real, sehingga harusnya
yang lead adalah kementerian terkait dan OJK akan menyesuaikan. Salah satu yang saat ini difokuskan
adalah dari sisi pendanaannya, tentang bagaimana OJK mendorong perbankan untuk semakin terbiasa
dengan project based financing. Masalah dari pembiayaan yang ada adalah rata-rata project owner-nya
itu adalah pengusaha menengah dengan modal sangat terbatas.
E. Pembentukan sindikasi
Usulan lain adalah terkait dengan pembentukan sindikasi, dimana ada pertukaran pengetahuan
dan energi yang ada. Danareksa Capital menyatakan perlunya sindikasi, dan hal tersebut yang dilakukan
terkait dengan beberapa proyek, terutama yang terkait dengan equity dan project financing, di mana
harus ada exit strategy. Misalnya untuk proyek-proyek ini, yang dari awal sudah mengikutsertakan bank
dan telah dilakukan penyesuaikan terms.
PT SMI juga menyatakan kesiapannya terkait dengan pembentukan sindikasi. PT SMI sendiri
menyatakan bahwa PT SMI tidak mengambil seluruh pembiayaan energi terbarukan, melainkan menjadi
katalisator.
F. Kolaborasi antar pihak
Mengambil contoh untuk pencapaian bauran energi terbarukan sebesar 23% dari total energi di
Indonesia. Berbicara mengenai energi terbarukan, sebenarnya komposisi terbesar didominasi oleh big
hydro power dan juga panas bumi, yang investasinya luar biasa besar. Seringkali, dana yang diperlukan di
luar kemampuan. Sedangkan untuk yang skala kecil sebenarnya terletak di wilayah Indonesia Timur.
Namun, yang jadi pertimbangan dengan pembangunan sistem energi di wilayah tersebut adalah: (i). single
buyer, PLN; (ii). kecil-kecil, kemungkinan grid system-nya adalah island mode, jadi tidak masuk dengan
grid-nya PLN. ; (iii). Ukurannya kecil dan tersebar, yang merupakan tantangan bagi para pengembang,
terutama pengembang lokal, bukan Jakarta.
Sebetulnya energi terbarukan bisa menjadi engine of growth kalau berbicara mengenai REBID
(renewable energy based industrial development, ukurannya besar, dan itu sangat mungkin untuk
dibangun di daerah timur dengan tambang yang memerlukan smeltering plant, dan lain-lain) dan REBED
(Renewable Energy based Economy Development), apalagi jika dikembangkan di Indonesia Timur.
Dengan kompleksitas seperti itu, seharusnya OJK tidak hanya bergerak di Jakarta saja, demikian
pula dengan PT SMI; namun, harus ada yang bisa merambah ke daerah. Apakah mungkin untuk dibuat
suatu tim kolaborasi antara bank, sebagai financing resources, kemudian OJK sebagai auditor, kemudian
Dirjen EBTKE, Kementerian ESDM sebagai regulator, serta konsultan yang memiliki pengalaman dan
~ 17 ~
reputasi yang baik. Kolaborasi inilah yang diperlukan untuk dapat mencapai target bauran energi
terbarukan sebesar 23% dari total energi di Indonesia.
G. Harga dan pricing policy
Pricing policy menjadi penting dalam hal ini, karena jika tidak, maka masalah pengembangan
energi terbarukan di Indonesia tidak akan pernah selesai. Menurut Fabby Tumiwa, referensi harga yang
digunakan harus ditinjau ulang. Apakah menggunakan harga CPO ekspor sebagai basis, atau
menggunakan model cost-plus, yang menggambarkan biaya yang diperlukan untuk menghasilkan CPO dan
biodiesel dibandingkan dengan menggunakan harga market. Pricing policy memang penting, tapi
bagaimana formulanya, itu yang perlu ditetapkan. Jika menghitung dana CPO fund, misalnya, untuk
membayarkan subsidi biofuel, pada tingkatan harga tertentu, dana tersebut tidak akan cukup. Jika ingin
menjadikan Indonesia sebagai Saudi Arabia-nya CPO, maka isu terkait dengan pricing policy memerlukan
diskusi lebih lanjut.
H. Resiko teknis dari pengembangan energi terbarukan
Sumber energi terbarukan seperti air, matahari, angin, mungkin tidak memiliki resiko
keberlanjutan bahan baku. Tapi kalau untuk biomassa, resiko keberlanjutan bahan baku mungkin untuk
terjadi. Ada kebijakan bahkan dari pemerintah sendiri, bahwa kalau biomassa itu diekspor malah bebas
pajak, tapi kalau digunakan dalam negeri malah kena PPN. Namun, saat ini dengan perdagangan, sudah
ada peraturan akan ada bea ke luar karena itu turunannya sawit, bahwa ekspor tersebut akan dikenakan
biaya sebesar 10% dari biaya ekspor.
Menurut Danareksa Capital, saat ini bioenergi belum dikembangkan karena proposal yang masuk
baru hidro (PLTMH) dan solar. Sebelumnya ada juga yang datang ke Danareksa Capital, yaitu angin. Tapi
Danareksa Capital menilai bahwa, angin memiliki resiko yang tinggi. Setelah dipelajari, beberapa lokasi di
Indonesia, kecepatan anginnya tidak sustain. Jadi, perputaran turbinnya akan sangat terpengaruh; dan
bagi project owner, ini sangat beresiko. Sebenarnya yang harus dilihat bukan hanya dari sektornya, namun
juga dari backup dan holding dari sponsornya.
I. Pembangunan energi terbarukan lainnya
Beberapa teknologi energi terbarukan sebenarnya sudah grid parity, artinya cost-effective dengan
fossil fuel, misalnya solar PV. Solar PV saat ini melalui kontrak-kontrak terbaru, harganya adalah USD 78c/kWh. Jadi, tidak semahal dulu. Saat ini, pada utility scale dengan biaya USD 7-8c/kWh dan proyeknya
sudah jalan; beberapa bahkan sudah commission. Secara sumber daya, Indonesia memiliki sumber daya
tersebut. Indonesia bisa mengembangkan di Jawa; kalaupun ada permasalahan lahan, bisa diatasi dengan
rooftop. Di luar Jawa juga bisa, tapi tentunya ini harus size-specific.
Paradigma lainnya adalah apakah kita akan tetap dengan paradigma centralized powerplant,
dihubungkan dengan grid, atau model decentralized power plant yang kemudian masuk ke satu ekosistem
yang design system-nya menjadi berbeda, sekaligus pilihan-pilihan pembangkitnya.
~ 18 ~
J. Merit order PLN4
Terkait dengan masalah merit order dari PLN, bagi PLN sendiri, ini merupakan masalah resiko di
sistem. Memang merit order yang akan sangat menentukan berapa yang mau masuk ke sistem. Oleh
karena itu, pasti pembangkit yang lebih murah dulu yang akan didahulukan. Oleh karena itu, memang
prinsip merit order ini akan menyebabkan pembangkit yang paling mahal akan masuk belakangan. Jadi
memang untuk energi terbarukan, jika ini memang mau dimasukkan ke sistem, solusinya memang hanya
dua: (i) untuk membuat harga energi terbarukan kompetitif; (ii) jika energi terbarukan tidak bisa costcompetitive, maka memang harus diberlakukan subsidi.
Tujuan PLN adalah berusaha untuk mempertahankan, atau membuat system cost-nya murah.
Oleh karena itu pembangkit yang lebih murah dulu yang akan didahulukan dan pembangkit yang paling
mahal akan masuk belakangan.
Pertanyaan lain yang timbul adalah: siapa yang akan menanggung system reability cost? Di
Amerika, system reability cost harus ditanggung oleh Independent Power Producer (IPP), karena yang
punya transmission-nya bukan utility, tapi system operation-nya. Sehingga semua peserta, siapa pun juga,
harus menanggung system reability cost-nya. Di Indonesia, hal ini belum berlaku. Oleh karena itu memang
menjadi dilema untuk PLN, karena semakin banyak energi terbarukan yang masuk, maka PLN harus
menanggung system IP yang lebih besar. Ini memang harusnya ditanggung dengan menggunakan regulasi.
Ini aspek-aspek yang terkait dengan merit order dan reability cost. Merit order dan reability cost,
memang harus dibahas, dan regulasi yang ada belum lengkap. Banyak aspek regulasi yang ada di Indonesia
adalah regulasi yang sifatnya di permukaan, umum. Padahal integrasi energi terbarukan dengan grid,
regulasi yang ada sudah harus melingkupi faktor teknis.
K. Pembelajaran dari pihak-pihak atau negara-negara lain
Skema pendanaan juga harus berbeda, beberapa pembelajaran misalnya dari kasus-kasus di India,
atau Banglades, cukup menarik. Jika ingin mempelajari penggunaan skema pendanaan untuk energi
terbarukannya, mereka menggunakan instrument development financing; seperti development bank, tapi
dana murahnya diambil dari international financial institution (KfW atau bilateral), dapat bunga murah.
Itulah yang kemudian digunakan untuk mendanai pembangunan. Model-model seperti ini yang belum
pernah digali.
Itu sebabnya, pengembangan energi terbarukan yang akan masuk ke pasar