MANAJEMEN LIKUIDITAS BANK SYARIAH docx

MANAJEMEN LIKUIDITAS BANK SYARI’AH
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah

:

Manajemen Bank Syari’ah

Dosen Pengampu

:

Drs. Wahab Zaenuri, M.M

Disusun Oleh :
Yuni Catur Sugianti

(132411160)

Ahmad Najih


(132411182)

M. Labib Fahmi Arif (132411194)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2014/2015

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank merupakan suatu lembaga yang berdiri di tengah keramaian kehidupan masyarakat
dengan mengusung misi sebagai badan intermediasi antara pihak surplus masyarakat dan
kaum deficit di dalamnya, dimana aktivitas inti di dalamnya adalah perputaran uang yang
terbentuk oleh skema funding serta landing ke khalayak umum, hal ini juga tidak berbeda
dengan yang ada di bank syari’ah, hanya saja dasar filosofis yang membedakan antara yang
berlabel syariah dan konvensional.
Suatu tujuan yang diharapkan tercapai oleh bank tentunnya harus ditopang oleh suatu sistem
yang terorganisir serta terkordinasi dengan baik antara unsur satu dengan yang lainnya,
untuk itulah disuntikkannya ilmu manajemen ke dalam sistem kegiatan bank dianggap

sebagai hal yang urgen dan harus dilakukan agar tercapainya cita-cita dari bank dapat
terwujud secara baik, dalam manajemen bank syariah terdapat beberapa fungsi operasional
ataupun pembagian sub pembahasan, diantaranya: manajemen likuiditas, manajemen dana,
mansjemen dana, manajemen pembiayaan, dan lain-lain.
Pada tulisan kali ini kami akan menuliskan salah satu fungsi operasional dari manajemen
bank syari’ah tersebut yaitu terkait manajemen likuiditas bank syari’ah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu likuiditas?
2. Apa itu Manajemen likuiditas?
3. Bagaimana Cara mengukur likuiditas?

PEMBAHASAN
A. Pengertian Likuiditas
Ketika kita membaca buku-buku literatur mengenai perbankan, biasanya beberapa
istilah asing yang berkaitan dengan bank dapat kita temukan di dalamnya, termasuk istilah
likuiditas. Namun terkadang sebagian dari para pembaca belum memahami apa maksud dari
likuiditas itu sendiri. Perlu diketahui bahwa pengertian dasar likuiditas adalah kemampuan
sesorang ataupun perusaaan dalam membayar kewajiban atau hutangnya yang sudah jatuh
tempo dengan hutang lancarnya.
Sedangkan dalam ruang lingkup perbankan, istilah likuiditas digunakan untuk

menyatakan kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup untuk
memenuhi kewajibannya setiap saat. Kewajiban tersebut dapat meliputi penarikan yang
tidak terduga seperti commitment loan dan penarikan-penarikan tidak terduga lainnya.
Secara sederhana likuiditas berarti tersedianya uang kas yang cukup apabila sewaktu-waktu
dibutuhkan.1
Lebih rinci diesbutkan oleh Josep E. Burns bahwa likuiditas bank harus terdiri dari tiga
unsur yaitu: jumlah dana, biaya dana, dan waktu yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan likuiditas bank. Josep menambahkan, semakin besar jumlah dana yang dapat
diperoleh suatu bank dalam waktu tertentu untuk memenuhi likuiditasnya, maka semakin
likuid bank tersebut. Begitu pula jika semakin cepat bank memperoleh sebuah dana, semakin
tingi pula likuiditas bank yang bersangkutan, dengan catatan tetap rendahnya biaya atas dana
yang diperolehnya tersebut dalam suatu periode tertentu, semain likuid pula bank yang
bersangkutan, karena dalam realitanya dalam memenuhi masalah likuiditasnya bank akan
terkendala oleh biaya yang timbul dari penyimpanan dana cadangan, serta waktu pencairan
aset yang tidak dapat dalam sekejap diuangkan untuk menutup kekurangan likuiditasnya.
Mengelola likuiditas dengan baik merupakan harga mati bagi setiap perbankan, baik itu
perbankan konvensional maupun perbankan syariah. Hal ini dimaksudkan agar risiko
likuiditas yang disebabkan oleh adanya kekurangan dana dapat diminimalisir, sehingga
dalam memenuhi kewajibanya bank tidak harus mencari dana dengan tingkat bagi hasil yang
1 Veithzal rivai dan arviyan Arifin, Islamic Banking Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi, (Jakarta:PT Bumi

Aksara,2010), hlm.548

lebih tinggi dari tingkat bagi hasil yang ada di pasar, atau menjual sebagian dari asetnya
dengan resiko kerugian yang relatif besar, pada akhirnya pendapatan bank akan berkurang
dan tidak menutup kemungkinan kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut juga akan
hilang. Masalah likuiditas memang menjadi perhatian yang sangat penting bagi perbankan.
Supaya bank tidak mengalami kelebihan atau kekurangan dana likuid, maka bank perlu
mengatur (baca: me-manage) dananya secara terencana dan tepat.
B. Manajemen Likuiditas
Setelah disebutkan seberapa pentingnya likuiditas dalam perbankan, maka penerapan ilmu
manajemen ke dalamnya dianggap hal yang wajib dilakukan, adapun pengertian dari manajemen
likuiditas sendiri adalah proses pengendalian dari instrumen-instrumen likuid yang mudah
ditunaikan guna memenuhi kewajiban yang harus segera dibayar sesuai jatuh temponya.2
instrumen-istrumen likuiditas bagi bank syari’ah sendiri mulai dibentuk oleh bank sentral seiring
dengan menjamurnya IKB berbasis syari’ah di indonesia yang disertai pula dengan kesadaran
Bank Indonesia akan pentingnya pembuatan ketentuan-ketentuan banking yang sesuai dengan
landasan islam, adapun Instrumen likuiditas Bank Syari’ah yang telah ditentukan oleh Bank
Indonesia yaitu:
1.


Memiliki Primary Reserve
Dalam dunia perbankan, primary reserve terdiri dari :



Giro pada Bank Sentral, dikenal dengan istilah Giro Wajib Minimum (GWM) yaitu
simpanan minimum bank umum dalam giro pada Bank Indonesia, ketentuan mengenai
GWM bank syari’ah sudah diatur oleh Bank Indonesia dalam regulasi yang telah dibuatnya
yang menyatakan bahwa GWM dalam rupiah yang harus dipenuhi oleh bank sebesar 5%
dari dana pihak ketiga (DPK).3
Giro Wajib Minimum ini merupakan kewajiban bank dalam rangka mendukung
pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank dan berperan pula sebagai instrumen moneter untuk
mengendalikan jumlah uang beredar.



Kas pada vault, alat likuid ini berisi uang tunai yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi
kebutuhan transaksi sehari-hari.

2 Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Yogyakarta:Ekonisia, 2002), hlm. 45

3 Lihat Peraturan Bank Indoneisa No. 15/16/PBI/2013 tentang GWM dalam rupiah dan valuta asing bagi Bank
Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah



Giro pada Bank lain, Rekening giro pada bank lain bertujuan untuk melancarkan transaksi
antar bank (transfer, inkaso, transaks L/C, dan lain-lain).



Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso, Alat likuid ini terdiri dari cek bank
sentral atau bank koresponden yang belum secara efektif dikreditkan pada rekening bank
pada bank sentral atau bank koresponden.
Tujuan dari primary reserve (cadangan primer) ini adalah:
a.

Memenuhi reserve requirement yang ditempatkan dalam bentuk Giro Wajib
Minimum di Bank Indonesia.

2.


b.

Memenuhi keperluan operasional bank sehari-hari.

c.

Penyelesaian kliring antar bank.

d.

Memenuhi kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo.

Memiliki Secondary Reserve, merupakan cadangan yang berfungsi sebagai penyangga
Primary Reserve, ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek. Baik dalam kondisi
normal apalagi kondisi krisis atau pasar sedang ketat, kebutuhan likuiditas sulit untuk
diantisipasi dan dipenuhi segera terutama jika terjadi rush, sehubungan dengan hal tersbut
Cadangan Sekunder yang ditempatkan dalam bentuk surat-surat berharga (Marketable
Securities) dilakukan dalam rangka memaksimalisasi penempatan dana setiap saat. Oleh
karena itu, Marketable Securities tersebut harus memenuhi kriteria Short Term, High

Quality, Marketable.4
Adapun cadangan sekunder berupa surat-surat berharga bisa berupa:

 Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah sertifikat yang diterbitkan Bank
Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah.
Piranti tersebut dapat dijadikan sarana penitipan dana jangka pendek khususnya bagi bank
yang mengalami kelebihan likuiditas.5
 Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) adalah surat berharga negara yang diterbitkan
pemerintah berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset
SBSN, baik dalam mata uang rupiah ataupun mata uang asing. Pemerintah dalam hal ini
bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk yang diterbitkan

4 http://mudharabah-ekonomisyariah.blogspot.com/2010/05/manajemen-likuiditas-bank-syariah.html diakses pada
hari Rabu, 13 Mei 2015 jam 19:58.
5 Lihat Fatwa no. 36/DSN-MUI/X/2002 tentang SWBI

sampai dengan sukuk jatuh tempo. Jenis-jenis sukuk yang banyak beredar di pasaran
meliputi : Sukuk ijarah, Sukuk mudharabah, Sukuk musyarakah, Sukuk istisna’.6
3. Mempunyai akses ke pasar uang
Pasar uang yang dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar

modal syariah.


Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) : Pasar Uang Antar Bank Syariah merupakan
pasar bagi instrument keuangan jangka pendek (kurang dari 1 tahun). Pasar Uang Antar
Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah transaksi keuangan jangka pendek antar bank
berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing, yang digunakan
antara lain : Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah (SBIS), Deposito Antar-Bank Syariah,
Sertifikat Investasi Mudharabah Antar-Bank Syariah (SIMA), Fasilitas Bank Indonesia
Syari’ah (FASBIS), dan Fasilitas Likuiditas Intrahari bagi Bank Umum Berdasarkan
Prisnip Syari’ah (FLIS).7



Pasar Modal Syariah : Instrument di pasar modal syariah saat ini meliputi saham yang
masuk kategori Jakarta Islamic Index, Sukuk, dan reksadana syariah. Namun jika
dibandingkan dengan instrument keuangan pada Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS),
maka instrument pada Pasar Modal Syariah ini kurang likuid. Untuk itu kriteria high
quality dan marketable menjadi penting bagi pemilihan sukuk dan reksadana syariah.




Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS) merupakan instrument
terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank Syariah atau Unit Usaha
Syariah setelah terjadinya saldo giro negative dan tidak berhasilnya akses pasar uang
syariah untuk menutup kewajiban jangka pendek, sehinga Bank syari’ah tersebut dapat
meminta bantuan Bank Indonesia berupa pendanaan jangka pendek yang bersifat syariah
untuk membantu masalah likuiditasnya, dengan syarat masih memenuhi persyaratan
tingkat kesehatan dan permodalan. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek ini, yang disebut
dengan FPJPS, diberikan hanya kepada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang
mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun masih memenuhi persyaratan
tingkat kesehatan dan permodalan.

Dalam rangka mengatur likuditas ini terkadang pihak menajemen bank syariah dihadapkan
pada dua hal yang sama urgennya, yaitu menaikkan rasio likuiditas atau profabilitas, karena
6 Lihat Fatwa no. 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN
7 Muhamad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), hlm. 446.

kedua hal tersebut mempunyai korelasi negatif, dimana jika bank syari’ah menyimpan banyak
dana demi memenuhi primary maupun secondary reserve-nya maka dana yang akan

dialokasikan ke bagian landing pun akan tergerus, sehingga pencapaian laba yang diharapkan
bank syariah pun akan mengalami penurunan juga, sebaliknya jika bank syari’ah menggebu-gebu
mengejar profabilitas dengan mengeluarkan pembiayaan dengan jumlah banyak, maka akan
berdampak buruk jika suatu ketika terjadi penarikan bersama-sama atas tabungan nasabah yang
tidak dapat terpenuhi sehingga tingkat kecairan dana dari bank syari’ah pun akan rendah.
Selain itu, Bank yang selalu berhati-hati dalam menjaga likuiditas akan cenderung
memelihara alat likuid yang relatif lebih besar dari yang diperlukannya dengan maksud agar
terhindar dari kesulitan masalah likuiditas, Namun cara seperti ini akan menghadapkan bank
tersebut pada biaya yang besar yang disebabkan pemeliharaan alat likuid yang berlebihan, karena
dana yang banyak disimpan untuk cadangan likuiditas akan memakan biaya administrasi yang
tidak sedikit.
Masalah-masalah itu timbul karena bank yang gundah akan adanya idle funds yang terlalu
banyak mengendap dalam brankas bank tanpa terjamah oleh sistem pemutaran uang yang dapat
menghasilkan profit baginya, untuk itu manajemen likuiditas memerlukan bantuan manajemen
aset dan liabilitas (ALMA), dimana ALMA merupakan suatu cara yang digunakan untuk
mengatur keseimbangan antara aset yang didapat dari sisi landing dengan liabilitas dari skim
funding, dengan jangka waktu yang berbeda pula, dengan bantuan ALMA maka manajemen
likuiditas diharapkan menjadi lebih terstruktur dan terkordinir lebih baik.
Namun, sebaliknya jika bank syaria’ah tidak dapat menyeimbangkan antara penerimaan
liabilitas yang likuid dengan penginvestasian aset dalam bentuk non likuid, maka akan terjadi
gap yang lebar antara keduanya dan akan menimbulkan risiko likuiditas yang akan membuat
bank tersebut gulung tikar karena dilikuidasi oleh pihak yang berwenang. Maka dari itu, untuk
membantu dalam pengelolaan likuiditas para ekonom sudah merumuskan 4 macam teori, yaitu:
1. Commecial Loan Theory
Kajian teori ini dilakukan oleh Adam Smith dalam bukunya yang terkenal “the
wealth of nation”. Teori ini beranggapan bahwa bank hanya boleh memberikan
pinjaman “dengan surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan
sendirinya (self liquidating)”. Self liquidating berarti memberi pinjaman
mengandung makna untuk pembayaran kembali.

2. Shiftbility Theory
Teori tentang aktiva yang bisa dipindahkan, teori ini beranggapan bahwa likuiditas
sebuah bank tergantung pada kemampuan bank memindahkan aktivanya kepada
orang lain dengan harga yang dapat diramalkanya.
3. Anticipated Income Theory
Teori pendapatan yang diharapkan, artinya semua dana yang dialokasikan atau
setiap upaya mengalokasikan dana ditujukan pada sektor yang feasible dan layak
yang nantinya akan menguntungkan bagi bank.
4. The Liability Manajemen Theory
Teori ini menyatakan bagaimana bank dapat mengelola pasivanya sedemikian rupa
sehingga pasiva tersebut dapat menjadi sumber likuiditas.8
Teori-teori tersebut akan membentuk beberapa alternatif yang dapat digunakan bank syari’ah
dalam mencapai titik aman likuiditas, diantaranya: 1).menyediakan uang kas yang cukup, 2).
mengkonventir aset ke dalam uang kas, dan 3).meminjam dari bank lain.
C. Pengukuran Likuiditas
Sangat sulit untuk mengukur berapakah likuiditas yang memadai untuk suatu bank, hal ini
dikarenakan permintaan atau kebutuhan nasabah terhadap dana tidak dapat dipastikan dan
sulit untuk diperkirakan. Jumlah likuiditas yang diinginkan perbankan biasanya ditentukan
oleh perubahan tingkat deposito atau simpanan yang ada di bank dan permintaan nasabah
terhadap kredit atau transaksi lainya, tetapi ada dua patokan yang sering dijadikan sebagai
ukuran likuiditas dari bank, yaitu:
1. Statutory reserve requirement ratio (Giro Wajib Minimum)
Rasio GWM menunjukkan kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya dengan
segera dengan mengandalkan saldo gironya di BI, sudah disebutkan sebelumnya bahwa
batas minimum GWM dalam rupiah bagi bank syari’ah adalah 5%, tetapi untuk memenuhi
kelancaran likuiditas sebaiknya bank tidak merasa aman dengan batas pas sesuai peraturan
yang ada, tetapi harus berpegang kepada besarnya dana yang benar-benar mereka butuhkan.
Adapun rumus yang digunakan untuk mengetahui rasio Giro Wajib Minimum adalah:
Saldo Giro pada Bank Indonesia
GWM=
Kewajiban kepada pihak ketiga
8 Veithzal rivai dan arviyan Arifin,. hlm. 550

2. Financing to Deposit Ratio
FDR atau biasa disebut LDR (loan to Deposit Ratio) di bank konvensional adalah suatu
angka yang menunjukkan besarnya kemampuan bank dalam membayar kembali liabilitas
(penarikan dari dana titipan) dengan mengandalkan dana pembiayaan yang telah disalurkan,
sehingga semakin besar angka yang ditunjukkan oleh FDR mengartikan bahwa semakin
tidak likuidnya bank syari’ah tersebut, yang disebabkan oleh kelebihan pembiayaan yang
disalurkan daripada dana pihak ketiga yang dititipkan, sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi
gap, jumlah maksimum Financing to Deposit Ratio telah ditentukan oleh pemerintah
sebanyak 110%,9 penetapan batas rasio pembiayaan ini bertujuan agar bank syari’ah tidak
melakukan ekspansi yang berlebihan serta ingin melindungi kelangsungan hidup bank dan
melindungi konsumen pula. Adapun rumus penghitungan FDR adalah:
Total pembiayaan yang diberikan
FDR=

x 100%
Total Dana Pihak ketiga +Modal Inti

9 Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta:Rajawali Press, 2003), hlm. 272

PENUTUP
A. Kesimpulan
Bank sebagai lembaga intermediasi akan selalu mempertemukan pihak surplus dan
deficit dalam memenuhi kebutuhan mereka, darisitulah skim funding maupun landing akan
beraksi, tetapi tidak semua kegiatan operasional itu dapat berjalan dengan semena-mena dan
harus sesuai batas yang ditentukan demi kenyamanan bersama.
Salah satu batas tersebut adalah kecukupan likuiditas yang dimiliki oleh bank, dimana
bank harus selalu mempunyai persediaan uang kas untuk memenuhi kewajiban yang tidak
pasti datangnya, oleh karenanya kecukupan likuiditas ini perlu diatur dengan sistem
manajemen likuiditas agar tidak adanya resiko likuiditas yang menimpa bank syari’ah
tersebut dan akan menyebabkannya dilikuidasi.
B. Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari
kata sempurna, maka kami mohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
makalah kami yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Aamiin…
DAFTAR PUSTAKA
 Kasmir. 2003. Manajemen Perbankan. Jakarta:Rajawali Press
 http://mudharabah-ekonomisyariah.blogspot.com/2010/05/manajemen-likuiditas-bank-syariah.html diakses
pada hari Rabu, 13 Mei 2015 jam 19:58.

 Martono. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Yogyakarta:Ekonisia
 Rivai, Veithzal dan arviyan Arifin. 2010. Islamic Banking Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi.
Jakarta:PT Bumi Aksara